Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN RANTAI PASOK (SUPPLY CHAIN MANAGEMENT-SCM)

Supply Chain Management (SCM) adalah suatu metode penciptaan produk untuk
disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya tercakup berbagai komponen,
yaitu: the supplier of raw materials, the manufacturing units, warehouses, transporters,
retailers, and finally selling.

Manfaat penerapan konsep SCM dalam perusahaan yaitu: kepuasan pelanggan,


meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi,
peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.

A. Latar Belakang Munculnya SCM

Munculnya SCM dilatar belakangi oleh 2 hal pokok, yaitu:

1. Praktek manajemen logistik tradisional yang bersifat adversarial pada era


modern ini sudah tidak relevan lagi, karena tidak dapat menciptakan keunggulan
kompetitif.
2. Perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat dengan persaingan yang
semakin ketat.

Perkembangan lingkungan industri yang dinamis pada era global seperti sekarang ini
menjadi pemicu bagi banyak organisasi perusahaan untuk menggali potensi yang
dimiliki, serta mengidentifikasi faktor kunci sukses untuk unggul dalam persaingan yang
semakin kompetitif. Teknologi yang juga berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan
untuk diterapkan dalam iklim persaingan. Usaha-usaha yang dilakukan pada
akhirnyadiarahkan untuk memberikan produk terbaik kepada konsumen.

Konteks produk yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen dalam pengertian


manajemen produksi dan operasi adalah kombinasi produk  barang dan jasa. Industri
manufaktur tidak akan dapat bersaing apabila produk yang ditawarkan murni hanya
barang, dan industri jasa juga tidak memiliki daya tarik apabila yang ditawarkan kepada
konsumen murni berupa layanan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan produk
terbaik kepada konsumen meliputi kombinasi di antara keduanya, yaitu barang dan jasa
dalam porsi masing-masing yang ideal menurut perusahaan. Menyajikan produk dalam
arti luas tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sistem produksi operasi
yang harus dijalankan perusahaan. Mulai dari mengidentifikasi selera konsumen sampai
dengan mengupayakan seluruh kebutuhan input dari pemasok untuk memproduksi dan
mendistribusikan produk tersebut sesuai dengan selera konsumen yang dibidik.
Pada dasarnya konsumen mengharapkan dapat memperoleh produk yang memiliki
manfaat pada tingkat harga yang dapat diterima. Untuk mewujudkan keinginan
konsumen tersebut maka setiap perusahaan berusaha secara optimal untuk
menggunakan seluruh asset dan kemampuan yang dimiliki untuk memberikan value
terhadap harapan konsumen. Implementasi upaya ini tentunya menimbulkan
konsekuensi biaya yang berbeda di setiap perusahaan termasuk para pesaingnya.
Untuk dapat menawarkan produk yang menarik dengan tingkat harga yang bersaing,
setiap perusahaan harus berusaha menekan atau mereduksi seluruh biaya tanpa
mengurangi kualitas produk maupun standar yang sudah ditetapkan.

Salah satu upaya untuk mereduksi biaya tersebut adalah melalui optimalisasi
distribusi material dari pemasok, aliran material dalam proses produksi sampai dengan
distribusi produk ke tangan konsumen. Distribusi yang optimal dalam hal ini dapat
dicapai melalui penerapan konsep SupplyChain Management (SCM). SCM sesungguhnya
bukan merupakan suatu konsep yang baru. Menurut Jebarus (2001) SCM merupakan
pengembangan lebih lanjut dari manajemen distribusi produk untuk memenuhi
permintaan konsumen. Konsep ini menekankan pada pola terpadu yang
menyangkut proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga kepada
konsumen. Dari sini aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir adalah dalam satu
kesatuan tanpa sekat pembatas yang besar, sehingga mekanisme informasi antara
berbagai elemen tersebut berlangsung secara transparan. SCM merupakan suatu
konsep menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola
pendistribusian produk secara optimal. Pola baru ini menyangkut aktivitas
pendistribusian, jadual produksi, dan logistik 

Gambar 8.1 memberikan ilustrasi sebuah Supply Chain (SC) yang sederhana.
Sebuah SC akan memiliki komponen-komponen yang biasanya disebut channel . Semua
chanel bekerja untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir.

Gambar 8.1. Supply Chain yang di sederhanakan.


Pada kenyataannya struktur SC jauh lebih kompleks dari gambar 8.1. Berbagai
kemungkinan di lapangan bisa terjadi, antara lain:

1. Sebuah pemasok mungkin sekaligus adalah industri manufaktur,dengan kata lain


sebuah SC bisa saja melibatkan sejumlah industri manufaktur dalam satu rantai
hulu ke hilir.
2. SC tidak selalu merupakan rantai lurus.
3. Sebuah industri manufaktur bisa memiliki ratusan bahkan ribuan pemasok 
4. Produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah industri mungkin didistribusikan oleh
beberapa pusat distribusi yang melayani ratusan bahkan ribuan distributor,
retailer, pedagang kecil, dan sebagainya.

Setiap chanel dalam SC akan memiliki aktivitas-aktivitas yang saling mendukung.


Secara keseluruhan aktivitas-aktivitas tersebut meliputi perancangan produk,
pengadaan material, produksi, pengendalian persediaan, distribusi/transportasi,
penyimpanan/pergudangan, dukungan pelayanan kepada pelanggan, proses
pembayaran, dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih strategis ada aktivitas-
aktivitas seperti pemilihan pemasok, penentuanlokasi pabrik, gudang, pusat
distribusi, dan sebagainya.

Praktek tradisional, semua aktivitas tersebut dilakukan tanpa atau dengan sedikit
koordinasi. Istilah cross fungsional team misalnya tidak  banyak diaplikasikan dalam
manajemen SC tradisional. Pola hubungan manajemen logistik tradisional masih
bersifat adversarial, dalam arti pola hubungannya masih mementingkan pihak-pihak
secara individual tidak mengacu pada kinerja keseluruhan pihak yang menjadi
pembentuk sebuah SC, contohnya antara lain: Hubungan antara pemasok dengan
perusahaan yang disuplainya hanya terbatas pada transaksi jual beli. Pola-pola
negosiasi hanya mementingkan pihak-pihak secara individual. Pemasok ingin
secepatnya memindahkan atau menjual produknya secepat dan sebanyak mungkin
dengan harga yang tinggi, sementara perusahaan yang disuplainya menginginkan
harga yang murah dan pengiriman yang cepat dan tepat.

B. Perubahan Lingkungan Bisnis

Lingkungan Bisnis senantiasa berubah dan perubahan tersebut semakin lama semakin
cepat. Akselerasi perubahan ini disebabkan berkembangnya secara cepat faktor-faktor
penting, antara lain:

1. Tuntutan konsumen yang semakin kritis. Konsumen menjadi semakin rumit dan
terlalu banyak menuntut. Mereka menuntut harga murah, mutu tinggi untuk
setiap produk yang ditawarkan, penyerahan tepat waktu, dan sesuai dengan
selera mereka.
2. Infrastruktur telekomunikasi, informasi, transportasi, dan perbankan yang
semakin canggih memungkinkan berkembangnya model baru dalam aliran
material/produk.
3. Daur hidup produk. Daur hidup produk sangat pendek seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pasar.
4. Kesadaran konsumen akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan dalam
kehidupan, menuntut industri manufaktur memasukkan konsep-konsep ramah
lingkungan mulai dari proses perancangan produk, proses produksi maupun
proses distribusinya.
5. Globalisasi dan perubahan peta ekonomi dunia ke arah meningkatnya
kemampuan ekonomi negara-negara dunia ketiga, telah menciptakan banyak
paradigma baru dalam dunia bisnis, dan salah satu paradigma penting adalah
meningkatnya persaingan antara produk jasa di pasaran.

C. Definisi Supply Chain Management 

Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan perubahan


lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply Chain
Management (SCM) merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon persoalan
tersebut.

Supply Chain Management (SCM) menekankan pada pola terpadu menyangkut


proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir.
Dalam konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga
konsumen akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme
informasi antara berbagaikomponen tersebut berlangsung secara transparan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah
suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu
menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini
menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik.

Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah suatu
metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir, dimana di
dalamnya tercakup berbagai komponen, yaitu : the supplier of raw materials, the
manufacturing units, warehouses, transporters, retailers, and finally selling.

Dari 2 (dua) definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus utama dari SCM
adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua supply chain pada
hakekatnya memperebutkan pelanggan dari produk atau jasa yang ditawarkan. Semua
pihak yang berada dalam satu rantai supply chain harus bekerja sama satu dengan
lainnya semaksimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dengan harga murah,
berkualitas, dan tepat pengirimannya.

Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu
perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversarial adalah terfokusnya
ukuran keberhasilan dan aktivitas pada bagian-bagian kecil dari supply chain yang
justru sering berlawanan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada
pelanggan atau konsumen akhir.

D. Integrated Supply Chain

Semua perusahaan memerlukan sesuatu yang sangat ekonomis guna melakukan


kegiatan memproduksi untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencapai keinginan
tersebut, kelancaran arus material yang diperlukan pasti melibatkan lebih dari satu
rantai pasokan. Faktor kritis dalam rantai pasokan yang efisien adalah pembelian,
karena tugas pembeliaan untuk menyeleksi pemasok (berikut materialnya) dan
kemudian membangun hubungan yang saling menguntungkan. Tanpa pemasok yang
baik dan tanpa pembelian yang memadai, rantai pasokan tidak akan memiliki peran
untuk kondisi pasar pada masa seperti sekarang ini.

SCM diperlukan oleh perusahaan yang sudah mengarah pada pengelolaan dengan


sistem  just in time, karena konsep just in time sangat menekankan ketepatan waktu
kedatangan material dari pemasok sampai ketangan konsumen sesuai dengan yang
ditetapkan. Artinya, kedisiplinan dan komitmen seluruh mata rantai harus benar-benar
dilaksanakan, karena sistem  just in time tidak menekankan pada persediaan atau  zero
inventory . Sehingga apabila terjadi penyimpangan pada salah satu mata rantai saja,
maka akan mengganggu pasokan material secara keseluruhan dan menghambat
kelancaran tugas dari mata rantai yang lain, karena tidak adanya persediaan. Untuk
kondisi di Indonesia sistem  just in time akan berhasil kalau mata rantai terkait berada
dalam satu cluster.

Bagi perusahaan yang masih mementingkan persediaan karena karakteristik


material (misalnya faktor musiman) atau sebagai langkah antisipatif untuk menyiasati
lingkungan industri yang tidak stabil, SCM juga diperlukan. Peran SCM untuk jenis
perusahaan ini adalah menekan biaya persediaan, karena persediaan yang tidak optimal
akan menimbulkan dampak  biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya
backorder  (apabila terjadi  stockout ).
Baik perusahaan yang menerapkan sistem  just in time maupun yang masih
mementingkan persediaan, SCM yang dilaksanakan akan lebih optimal apabila
diterapkan secara terintegrasi oleh seluruh mata rantai pasokan yang terkait.

Menerapkan konsep SCM secara menyeluruh dan terintegrasi tentu bukan


merupakan hal yang mudah dilakukan perusahaan. Kesulitan akan banyak dialami
dalam kaitan dengan lingkungan eksternal yaitu hubungan dengan  supplier dan
distributor serta konsumen akhir. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan eksternal
relatif berada di luar kendali perusahaan, sehingga perlu upaya kedua belah pihak
untuk mencapai komitmen menjadi mata rantai yang saling berkoordinasi untuk
menyalurkan seluruh kebutuhan material sesuai yang dibutuhkan.

Sekilas konsep SCM memiliki kesamaan dengan manajemen logistik, karena


keduanya mengelola arus barang dan jasa melalui pembelian, pergerakan,
penyimpanan, adminitrasi, dan penyaluran barang. Selain itu baik SCM maupun
manajemen logistik juga memiliki kesamaan dalam hal peningkatan efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan barang. Perbedaan SCM dengan manajemen logistik
terletak pada orientasinya. SCM mengusahakan hubungan dan koordinasi antar proses
dari perusahaan- perusahaan lain dalam business pipelines , mulai dari  suppliers
sampai kepada pelanggan juga mengutamakan arus barang antar perusahaan,
sejak  paling hulu sampai paling hilir. Sedangkan manajemen logistik berorientasi pada
perencanaan dan kerangka kerja yang menghasilkan rencana tunggalarus barang dan
informasi di seluruh perusahaan, jadi lebih terfokus pada pengelolaan termasuk arus
barang dalam perusahaan.

Dalam perkembangannya, SCM telah banyak mengalami evolusi yang dapat


digambarkan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut (Indrajit dkk,2002):

1. Tahap 1, dalam tahap 1 ada semacam kesendirian dan ketidak-saling-


tergantungan fungsi produksi dan fungsi logistik. Mereka menjalankan
program-program sendiri yang terlepas satu sama lain (in-complete isolation).
Contohnya adalah bagian produksi yang hanya memikirkan bagaimana
membuat barang sesuai dengan mutu dan yang telah ditetapkan, dan sama
sekali tidak mau ikut memikirkan penumpukan inventory dan penggunaan
ruang gudang yang menimbulkan biaya persediaan yaitu biaya simpan.
2. Tahap 2, dalam tahap 2 perusahaan sudah mulai menyadari pentingnya
integrasi perencanaan walaupun dalam bidang yang masih terbatas, yaitu di
antara fungsi internal yang paling berdekatan, misalnya produksi dengan
inventory control  dan functional integration yang lain.
3. Tahap 3, dalam tahap 3 integrasi perencanaan dan pengawasan atas semua
fungsi yang terkait dalam satu perusahan (internal integration).
4. Tahap 4, dalam tahap 4 menggambarkan tahap sebenarnya dari  supply
chain integration, yaitu integrasi total dalam konsep
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan (manajemen) yang telah dicapai
dalam tahap 3 dan diteruskan ke upstreams yaitu suppliers dan downsterams
sampai ke pelanggan.

Evolusi SCM yang telah mencapai tahap keempat tersebut menunjukkan suatu
integrasi yang menyeluruh di antara seluruh komponen terkait sehingga menuntut
adanya transparansi arus informasi. Strategi kemitraan dapat digunakan untuk
mewujudkan kelancaran arus pasokan material dari pemasok sampai distributor
hingga ke tangan konsumen. Dengan strategi kemitraan maka perlu
mengembangkan komunikasi diantara semua pihak terkait, sehingga komunikasi
arus informasi maupun data yang dibutuhkan akan lebih lancar.

E. Manfaat SCM

Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan memberikan


manfaat yaitu (Jebarus, 2001) kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan,
menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan
perusahaan semakin besar.

1. Kepuasan pelanggan. Konsumen atau pengguna produk merupakan target


utama dari aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan perusahaan.
Konsumen atau pengguna yang dimaksud dalam konteks ini tentunya konsumen
yang setia dalam jangka waktu yang panjang. Untuk menjadikan konsumen
setia, maka terlebih dahulu konsumen harus puasdengan pelayanan yang
disampaikan oleh perusahaan.
2. Meningkatkan pendapatan. Semakin banyak konsumen yang setia dan menjadi
mitra perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan pendapatan perusahaan,
sehingga produk-produk yang dihasilkan perusahaan tidak akan ‘terbuang’
percuma, karena di minati konsumen.
3. Menurunnya biaya. Pengintegrasian aliran produk dari perusahan kepada
konsumen akhir berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur distribusi.
4. Pemanfaatan asset semakin tinggi. Aset terutama faktor manusia akan semakin
terlatih dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Tenaga
manusia akan mampu memberdayakan penggunaan teknologi tinggi
sebagaimana yang dituntut dalam pelaksanaan SCM.
5. Peningkatan laba. Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang setia
dan menjadi pengguna produk, pada gilirannya akan meningkatkan laba

perusahaan.
6. Perusahaan semakin besar. Perusahaan yang mendapat keuntungan dari segi
proses distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar, dan tumbuh lebih
kuat.

Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di atas merupakan manfaat
tidak langsung. Secara umum, manfaat langsung dari penerapan SCM bagi perusahaan
adalah :

1. SCM secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan
mengantarkannya kepada konsumen akhir. Manfaat ini menekankan pada fungsi
produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam fungsi ini dilakukan
penggunaan dari seluruh sumber daya yang dimilki dalam sebuah proses
transformasi yang terkendali, untuk memberikan nilai pada produk yang
dihasilkan sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan dan mendistribusikannya
kepada konsumen yang dibidik.
2. SCM berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang dipasok oleh
rantai suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau konsumen akhir tersebut.
Dalam hal ini fungsi pemasaran yang akan berperan. Melalui pelaksanaan SCM,
pemasaran dapat mengidentifikasi produk dengan karakteristik yang diminati
konsumen. Selanjutnya fungsi ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut
produk yang diharapkan konsumen tersebut dan mengkomunikasikan
kepada perancang produk. Apabila seleksi rancangan produk sudah dilakukan
dan dilakukan pengujian maka produk dapat diproduksi. Sehingga SCM akan
berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1 tersebut.

Ditinjau dari segi ongkos, masing-masing fungsi di atas berkaitan dengan ongkos,
yaitu:

1. Fungsi pertama berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yakni ongkos


material, ongkos penyimpanan, ongkos produksi, ongkos transportasi, dan
sebagainya.
2. Fungsi kedua berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan
produk, serta biaya-biaya akibat terpenuhinya aspirasikonsumen oleh produk
yang disediakan oleh rantai supply chain.
Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan harga produk yang
tidak laku dengan harga normal, atau ongkos kekurangan supply yang dinamakan
dengan  stockout cost.

F. Prinsip-prinsip SCM

Prinsip terpenting yang harus diperhatikan dalam sinkronisasi aktivitas-aktivitas


sebuah supply chain adalah menciptakan hasil yang lebih besar, tidak hanya bagi tiap
anggota rantai tetapi bagi keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi dari prinsip ini
membutuhkan perubahan- perubahan pada tingkatan strategis maupun taktis.
Sebaliknya kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen
mendefinisikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-
komponen supply chain yang kompleks ke arah yang sama.

Anderson, Britt & Frave (1997) memberikan 7 prinsip SCM untuk membantu para
manajer dalam merumuskan strategi pelaksanaan SCM, yaitu:

1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.


2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang
berbeda.
3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam
perencanaan kebutuhan (demand planning) sehingga bisa menghasilkan
ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang optimal.
4. Diferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan
percepat konversinya di sepanjang rantai supply.
5. Kelola sumber-sumber supply secara strategis untuk mengurangi ongkos
kepemilikan dari material maupun jasa.
6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supply yang
mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang
jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara keseluruhan
dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.

G. Persyaratan Penerapan SCM

Sebagai suatu konsep yang melibatkan banyak pihak sebagai mata rantai, SCM
menuntut beberapa persyaratan yang tidak hanya terkait dengan material, tetapi juga
informasi. Syarat utama dari penerapan SCM tentunya dukungan manajemen.
Manajemen semua level dari strategis sampai operasional harus memberikan dukungan
mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan, sampai
pengendalian.
Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat yang melibatkan faktor
eksternal yaitu pemasok dan distributor. Sebelum membangun komitmen dan
melaksanakan ‘kontrak kerja’ dengan para pemasok, maka perusahaan terlebih dahulu
harus melaksanakan evaluasi pemasok. Sebagai catatan, melaksanakan evaluasi
pemasok untuk pemasok yang ‘bermain’ dalam pasar yang monopoli tentunya sulit dan
tidak bisa dilaksanakan, sehingga yang perlu dilakukan untuk kondisi ini adalah
membangun kemitraan dalam suatu kesepakatan.

Evaluasi pemasok dilakukan apabila untuk material yang sama dapat diperoleh lebih
dari satu alternatif pemasok. Setidaknya ada tiga criteria dalam melakukan evaluasi
pemasok, yaitu: keadaan umum pemasok,keadaan pelayanan, dan keadaan material.
Beberapa contoh indikator darisetiap kriteria evaluasi pemasok adalah sebagai berikut
(Gaspersz, 2002):

1. Keadaan umum pemasok


a. Ukuran atau kapasitas produksi
b. Kondisi financial
c. Kondisi operasional
d. Fasilitas riset dan desain
e. Lokasi geografis
f. Hubungan dagang antar industry
2. Keadaan pelayanan
a. Waktu penyerahan material
b. Kondisi kedatangan material
c. Kuantitas pemesanan yang ditolak
d. Penanganan keluhan dari pembeli
e. Bantuan teknik yang diberikan
f. Informasi harga yang diberikan
3. Keadaan material
a. Kualitas material
b. Keseragaman material
c. Jaminan dari pemasok
d. Keadaan pengepakan (pembungkusan)

Dari ketiga kriteria tersebut, bobot (berdasarkan tingkat kepentingan) yang


terbesar diberikan pada kriteria keadaan material, karena keadaan material akan
mempengaruhi kinerja fungsi produksi dan operasi khususnya kualitas produk.
Selanjutnya dilakukan penilaian untuk setiap indikator dan dihitung total skor-nya.
Syarat berikutnya adalah pemilihan distributor sebagai perantara produk
perusahaan sampai ke tangan konsumen akhir. Intensitas saluran distribusi yang ideal
bagi suatu perusahaan adalah bagaimana menyajikan jenis produk secara luas dalam
pemuasan kebutuhan konsumen (Sitaniapessy, 2001). Penggunaan distributor yang
terlalu sedkit dapat membatasi penyebaran jenis produk dalam aktivitas pemasaran.
Sebaliknya, penggunaan distributor yang terlalu banyak dapat mengganggu brand
image dalam posisinya berkompetisi. Satu kunci yang penting dalam mengelola saluran
distribusi adalah menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan
serta membentuk suatu pola kemitraan yang menunjang pemasaran suatu produk
dalam area pemasaran tertentu.

Satu lagi persyaratan yang penting dalam penerapan SCM adalah transparansi
arus informasi. Untuk dapat mendukung arus informasi yang transparan dari seluruh
mata rantai yang terlibat dalam SCM diperlukan komitmen (dapat dicapai melalui
kemitraan dan kesepakatan) disertai dengan ketersediaan database.

Konsep database yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya kumpulan data yang
dikelola dan dikendalikan secara terpusat, melainkan data tersebut harus memenuhi
lima kriteria sebagai berikut :

1. Ketersediaan, kapanpun diperlukan harus tersedia disertai dengan


kemudahan akses.
2. Kemampuan dipergunakan untuk berbagi kebutuhan terkait.
3. Kemampuan data untuk selalu berkembang dalam konteks yang efektif.
4. Jumlah data tidak tergantung kondisi fisik penyimpan data(penyimpan data
yang harus menyesuaikan jumlah data).
5. Konsistensi dan validitas data.

H. Strategi Dasar SCM

Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat dengan konfigurasi fisik
maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi
jaringan antar chanel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak
bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah
supply chain.

Dalam SCM karakteristik produk ini dibedakan ke dalam 2 jenis yang didasarkan
pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas
permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown, dan sebagainya. Kedua jenis
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Produk fungsional, biasanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar, seperti garam, gula, sabun, minyak goreng, buku tulis, ballpoint, dan
sebagainya.
2. Produk inovatif, yaitu produk yang permintaannya biasanya sangat tidak stabil
dan sulit diramalkan. Produk inovatif ini biasanya muncul sebagai respon atas
perubahan pasar yang cepat atau sebagai akibat dari kemampuan teknologi dan
inovasi yang bagus. Contoh dari produk inovatif ini adalah komputer yang
perubahan rancangannya sudah dalam hitungan minggu atau bahkan hari. Ini
merupakan contoh produk inovatif yang dipacu oleh kemampuan perusahaan
melakukan inovasi (innovation driven). Contoh lain adalah pakaian yang
modelnya cepat berubah dan inilebih dipacu oleh kebutuhan pasar yang
mengisyaratkan perubahan model (market driven).

Untuk lebih jelasnya pembagian produk sesuai dengan karakteristiknya dapat


dilihat pada tabel 8.1.

Tabel 8.1. Produk fungsional vs invovatif


Karakteristik Fungsional Inovatif
Siklus hidup >2 tahun < 2 tahun
Variasi produk 10 - 20 per kategori Jutaan per kategori
Variabilitas permintaan Tinggi rendah
Kesalahan peramalan 10% 40% - 100%
Tingkat markdown 0% 10% - 25%
Margin keuntungan Rendah Tinggi
Lead time 6bl- 1thn 1 hari – 2 minggu
Aspirasi konsumen Harga murah cepat

Pernyataan kedua produk berdasarkan karakteristik di atas mengindikasikan kebutuhan


akan penanganan yang berbeda, baik dalam aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar
sebuah supply chain sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk masing-masing
produk, seperti ditunjukkan pada tabel 8.2.

Tabel 8.2. Strategi yang tepat berdasarkan jenis produk


Strategi Produk
Fungsional Inovatif
Lean Tepat Tidak tepat
Agile Tidak tepat Tepat

Strategi Lean Supply Chain adalah strategi efisiensi yang membutuhkan


dukungan struktur supply chain yang ramping dan terintegrasi dengan baik. Pada
produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih mudah dilakukan karena
siklus hidup produknya panjang atau selera konsumen yang tidak banyak berubah.
Dengan demikian ongkos-ongkos mediasi pasar akan merupakan fokus utama,
sehingga strategi yang tepat untuk produk-produk fungsional adalah efisiensi.

Fokus utama dalam mengelola Lean Supply Chain adalah menekan ongkos-
ongkos fisik disepanjang supply chain yang terdiri dari ongkos-ongkos material,
produksi, distribusi, penyimpanan dan sebagainya. Dalam lean supply chain koordinasi
yang baik antar chanel dalam rantai supply sangat diperlukan, termasuk di dalamnya
koordinasi untuk manangani dampak variabilitas dan ketidakpastian permintaan
maupun supply.

Untuk produk inovatif, keunggulan kompetitif produk terletak pada kemampuan


supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat berubah. Kunci keberhasilan
di sini adalah yang dinamakan agility. Agility untuk suatu supply chain harus
mempunyai kemampuan kecepatan dalam merespon kebutuhan pasar secara bersama-
sama sebagai suatu team. Kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada dalam
suatu supply chain.

Distributor yang handal tidak dapat menjamin keunggulan berkompetisi apabila


perusahaan yang mensuplai produk-produk yang didistribusikannya tidak mampu
secara cepat merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar. Dengan demikian
hubungan antar perusahaan merupakan faktor kritis dalam menciptakan agility suatu
supply chain. Strategi supply chain yang menekankan pada agility tentunya
memerlukan pola pikir yang berbeda dengan pola pikir untuk strategi supply chain yang
mendasarkan pada efisiensi.

I. Tantangan Penerapan SCM

Meskipun SCM memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem produksi dan
operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan disikapi
oleh perusahaan apabila akan menerapkannya. Tantangan yang pertama berasal dari
lingkungan makro dan juga lingkungan eksternal. Misalnya saja trend perekonomian
global yang menunjukkan adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain
itu juga kecenderungan perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan
banyak menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan
teknologi yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi oleh
perusahaan-perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola informasi
yang bergerak sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk. Sehingga sangat
perlu bagi perusahaanyang menerapkan SCM untuk memiliki peralatan fungsional
seperti(Watanabe, 2001):

1. Demand management/ forecasting


2. Advanced planning and scheduling
3. Transportation management
4. Distribution and deployment
5. Production planning
6. Available to promise
7. Supply Chain Modeler
8. Optimizer (Linier programming, non linier programming, heuristic, dan
genetic algorithm)

Selain tantangan-tantangan tersebut, tantangan yang juga seringdihadapi


khususnya negara berkembang adalah masalah infrastruktur termasuk birokrasi yang
rumit. Masalah ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tantangan SCM
yang lain, yaitu teknologi informasi.

Di sisi lain, ada juga tantangan yang dapat digolongkan dalam lingkungan mikro
atau di lingkungan perusahaan itu termasuk stakeholder-nya. Mengingat sebuah rantai
supply chain terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan,
maka pengelolaannya tidak mudah. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan
cepat begitu pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam
lingkungan keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena
kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak sekali tantangan yang bisa
mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply chain.

Lee & Bilington (1992) mendeskripsikan 14 tantangan yang harus diperhatikan


dalam SCM, yaitu:

1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap chanel


menentukan ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk
membuat ‘joint matrics’ yang mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.
2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, tidak ada pengukuran
terhadap kelambatan respon dalam pelayanan, dan sebagainya.
3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat.
4. Sistem informasi tidak efisien.
5. Dampak ketidakpastian diabaikan.
6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidakpastian tidak
diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut,kadang-
kadang terlalu statis dan generik.
7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah, service
levelnya tidak terukur, sistem insentifnya tidak tepat.
8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.
9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada
pertimbangan efek persediaan dan waktu respon.
10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.
11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.
12. Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan konsep
supply chain.
13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah.
14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasiinternal
saja, tidak bisa membedakan antara ‘immediate customers’ dengan ‘end
customers’.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, terlebih dahulu perusahaan harus


melakukan perbaikan dan membangun komitmen di lingkungan internal perusahaan
tersebut, baru kemudian membangun kemitraan dan komitmen dengan mata rantai lain
di lingkungan eksternal. Satu hal yang juga penting dalam mengatasi tantangan untuk
penerapan SCM adalah mengelola informasi dalam sebuah sistem yang harus
mendukung proses pengambilan keputusan di wilayah penerapan SCM.

J. Perkembangan-perkembangan Terbaru dalam SCM

Agar perusahaan selalu dapat memimpin dalam berkompetisi di pasaran, cara-cara


baru yang lebih inovatif perlu ditemukan atau dikembangkan. Seiring dengan
menyebarnya konsep-konsep SCM di dunia industri baik industri manufaktur atau jasa.
Konsep-konsep yang lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM
bermunculan. Konsep-konsep tersebut antara lain:

1. Just In Time (JIT), prinsip ini menekankan pada kemitraan yang erat antara
perusahaan dengan pemasoknya, dan pemasok akan memiliki wakil di
perusahaan yang disuplainya. Wakil tersebut berfungsi menggantikan peran
bagian pembelian di perusahaan pembeli. Atas nama perusahaan pembeli, wakil
tersebut akan membuat order pembelian ke perusahaannya berdasarkan rencana
produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan pembeli. Praktek ini
memungkinkan kedua belah pihak untuk merundingkan rencana-rencana
produksi maupun pembelian sehingga menguntungkan kedua belah pihak.
Perusahaan pembeli akan lebih mudah menegosiasikan jadwal pengiriman
karena wakil tadi sewaktu-waktu bisa ditemui di perusahaannya. Demikian pula
wakil tadi akan lebih banyak memberikan masukan tentang kemampuan
perusahaannyauntuk memasok kebutuhan material atau bahan baku yang
dibutuhkan perusahaan pembeli.

2. Vendor Managed Inventory (VMI), adalah merupakan salah satu variasi dari JIT
II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai bisnis retail.
Selama ini pihak retail yang berkewajiban membuat order pembelian untuk
menjaga kelangsungan persediaan dari setiap item yang terjual. Pada VMI
kebalikannya, justru pemasoklah yang berkewajiban untuk menentukan kapan
dan berapa jumlah suatu item harus dikirim ke retailnya, berdasarkan informasi
tingkat penjualandan ketersediaan stock yang ada di retail tersebut. Pada VMI
pertukaran informasi yang lancar sangat diperlukan. Pemasok akan mampu
membuat keputusan yang baik, apabila informasi tingkat kebutuhan maupun
tingkat persediaan yang dimiliki pihak retail bisa diakses dengan mudah.

3. Global Pipeline Management (GPM), konsep ini didasarkan padateori kontrol di


mana aliran material atau produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Aliran
material atau produk pada konsep GPM hendaknya dikendalikan oleh satu pihak
atau chanel dalam supply chain, yang lain mengikuti dan mendukung dengan
memberikan informasi yang diperlukan.

K. Rangkuman

1. Supply Chain Management (SCM) adalah suatu konsep yang menyangkut pola
pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian
produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian,
jadwal produksi, dan logistik.
2. Supply Chain Management (SCM) adalah suatu metode penciptaan produk untuk
disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya tercakup berbagai
komponen, yaitu: the supplier of raw materials, the manufacturing units,
warehouses, transporters,retailers, and finally selling.
3. Manfaat penerapan konsep SCM dalam perusahaan yaitu: kepuasan pelanggan,
meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang semakin
tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.
4. Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat dengan konfigurasi fisik
maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply chain, mulai dari
konfigurasi jaringan antar chanel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam
sebuah chanel tidak bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang
dihasilkan oleh sebuah supply chain.
5. SCM membedakan karakteristik produk ke dalam 2 jenis yang didasarkan pada
berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas
permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown, dan sebagainya.

====//====

Anda mungkin juga menyukai