Anda di halaman 1dari 39

USULAN PENELITIAN

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK ETANOL


UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum linn.) DAN EKSTRAK
ETANOL KULIT BAWANG PUTIH TERHADAP KEMATIAN LARVA
Aedes aegypti

FARIZA MAULINA ANDANI

2443019147

PROGRAM STUDI S1

FAKULTAS FARMASI

UNVIERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2023
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK ETANOL
UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum linn.) DAN EKSTRAK
ETANOL KULIT BAWANG PUTIH TERHADAP KEMATIAN LARVA
Aedes aegypti

PROPOSAL

OLEH:
FARIZA MAULINA ANDANI
2443019147

Pembimbing I Pembimbing II

Restry Sinanasari, M.Farm.,Apt. Dr. Rondius Solfaine, drh.,MP.AP.Vet.


NIK. 241.16.0921 NIK. 10526-ET

Mengetahui,
Ketua Penguji

apt. Sumi Wijaya, S.Si., Ph.D


NIK. 241.03.0558
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit akibat virus seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DengueHemorragic
Fever (DHF) menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian
serius. Dengan ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, karena merupakan
vektor pembawa penyakit DBD walaupun beberapa spesies diluar Aedes sp. juga dapat
berperan sebagai vector tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vector utama dalam penyebaran
penyakit DBD (Ula dan Mizani, 2022). Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit
infeksi yang disebabkan oleh Arthrophod borne virus dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot, dan nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, dan trombositopenia.

Para peneliti memperkirakan siklus 5 tahunan Demam Berdarah Dengue (DBD) akan
mencapai puncaknya pada 2015. Penyakit yang tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia
awalnya masuk sebelum 2011. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
jumlah kasus penderita DBD dari tahun 2016 hingga 2022 berfluktuatif, dimana terjadi
peningkatan yang tinggi ditahun 2016 dengan jumlah kasus 204.171 selanjutnya kasus
penderita DBD mengalami penurunan ditahun 2017 dan 2018 yaitu sebesar 68.407 dan 65.602.
Tahun 2019 jumlah kasus DBD mengalami peningkatan kembali yaitu sebesar 138.127
penderita, kemudian terjadi penurunan dari tahun 2020 hingga 2022 yaitu sebesar 103.509,
71.044 dan 13.776. Kasus DBD hingga 20 Februari 2022 menyebabkan kematian hingga 145
kasus (Sagala dan Asshegaf, 2022).

Melihat adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh Aedes aegypti tersebut maka
perlu dilakukan pengendalian. Pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan
secara kimia maupun hayati. Cara yang efektif adalah dilakukan pemberantasan nyamuk
dewasa dan larvanya dengan menggunakan larvasida. Larvasida merupakan golongan dari
pestisida yang dapat membunuh serangga belum dewasa atau sebagai pembunuh larva. Saat ini
banyak dilakukan penelitian dan pengembangan larvasida alami atau yang lebih ramah
lingkungan. Hal ini dikarenakan penggunaan insektisida kimia seperti abate berbahan aktif
temephos. Bahan tersebut walaupun memiliki efektivitas yang tinggi, akan tetapi berdampak
seperti keracunan bahan kimia yang dapat menyebabkan penyempitan bronkus, kejang
diafragma, kejang otot pernafasan, dan semakin sering menggunakan abate dapat menyebabkan
peningkatkan resisten nyamuk atau serangga sasaran (Dinata, Tinni dan Asep, 2017).
Hal ini juga menandakan bahwa manusia mampu dalam memanfaatkan dan juga
mengelola nilai-nilai potensial dari sumber daya alam sendiri guna untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya sendiri. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai larvasida sangatlah
banyak dan juga beragam, salah satunya menggunakanumbi bawang putih (Allium sativum L.)
dan limbah kulit bawang putih. Sehingga dengan inovasi ini diharapkan memberikan nilai
positif kepada masyarakat untuk memanfaatkan limbah organik ataupun bahan bersifat alami
yang ada disekitar kitatanpa kita sadari akan kaya manfaatnya.

Bawang putih (Allium sativum L.) adalah tanaman yang sering digunakan untuk dikenal
sebagai bumbu dapur, kini telah diketahui memiliki beragam kegunaan dalam menunjang
kehidupan manusia. Selain manfaat utamanya untuk bahan baku keperluan dapur, umbi bawang
putih juga dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku untuk pembuatan obat-obatan.

Salah satu tanaman yang dapat dikembangkan sebagai larvasida adalah kulit bawang
putih. Kulit bawang putih mengandung senyawa aktif seperti flavonoid, alkaloid, saponin,
tanin, steroid, dan triterpenoid. Menurut Farmakope Herba Indonesia (2008) kandung minyak
atsiri pada simplisia bawang putih tidak kurang dari 0,5% v/b, jadi sangat mudah menguap di
udara bebas. Minyak atsiri dari bawang putih (Allium sativum L.) ini diduga mempunyai
kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik. dilakukan pemberantasan nyamuk dewasa dan
larvanya dengan menggunakan larvasida. Larvasida merupakan golongan dari pestisida yang
dapat membunuh serangga belum dewasa atau sebagai pembunuh larva. Saat ini banyak
dilakukan penelitian dan pengembangan larvasida alami atau yang lebih ramah lingkungan. Hal
ini dikarenakan penggunaan insektisida kimia seperti abate berbahan aktif temephos. Bahan
tersebut walaupun memiliki efektivitas yang tinggi, akan tetapi berdampak seperti keracunan
bahan kimia yang dapat menyebabkan penyempitan bronkus, kejang diafragma, kejang otot
pernafasan, dan semakin sering menggunakan abate dapat menyebabkan peningkatkan resisten
nyamuk atau serangga sasaran (Dinata, Tinni dan Asep, 2017).

Hal ini juga menandakan bahwa manusia mampu dalam memanfaatkan dan juga
mengelola nilai-nilai potensial dari sumber daya alam sendiri guna untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya sendiri. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai larvasida sangatlah
banyak dan juga beragam, salah satunya menggunakanumbi bawang putih (Allium sativum L.)
dan limbah kulit bawang putih. Sehingga dengan inovasi ini diharapkan memberikan nilai
positif kepada masyarakat untuk memanfaatkan limbah organik ataupun bahan bersifat alami
yang ada disekitar kitatanpa kita sadari akan kaya manfaatnya.
Bawang putih (Allium sativum L.) adalah tanaman yang sering digunakan untuk dikenal
sebagai bumbu dapur, kini telah diketahui memiliki beragam kegunaan dalam menunjang
kehidupan manusia. Selain manfaat utamanya untuk bahan baku keperluan dapur, umbi bawang
putih juga dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku untuk pembuatan obat-obatan. Salah
satu tanaman yang dapat dikembangkan sebagai larvasida adalah kulit bawang putih. Kulit
bawang putih mengandung senyawa aktif seperti flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, steroid,
dan triterpenoid. Menurut Farmakope Herba Indonesia (2008) kandung minyak atsiri pada
simplisia bawang putih tidak kurang dari 0,5% v/b, jadi sangat mudah menguap di udara bebas.
Minyak atsiri dari bawang putih (Allium sativum L.) ini diduga mempunyai kemampuan
sebagai antibakteri dan antiseptik. M enunjukkan kandungan suatu senyawa dalam suatu
larutan. Pengertian PPM, sendiri ialah, PPM atau Part Per Million jika dibahasa Indonesiakan
akan menjadi bagian per sejuta bagian adalah satuan konsentrasi. Seperti halnya namanya yaitu
ppm, maka konsentrasinya merupakan perbandingan antara berapa bagian senyawadalam satu
juta bagian suatu sistem (Agus dan Pranata, 2019). Hasil analisis yang didapatkan menunjukkan
bahwa ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dapat membunuh larva Aedes
aegypti instar III sampai 98% dan untuk ekstrak etanol daun bawang putih sampai 75%.
Sedangkan penelitian uji aktivitas ekstrak etanol 70% kulit bawang putih (Allium sativum L.)
terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar III, rentang konsentrasi ekstrak etanol kulit bawang
putih 6.250 ppm- 7.520 ppm. Hasil pengamatan berdasarkan nilai persentase kematian larva
nyamuk Aedes aegypti sebesar 52% dan 85% (Sagala dan Asshegaf, 2022).

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan pengujian efektivita
larvasida ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang
terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan efektivitas ekstrak etanol umbi bawang putih putih (Allium sativum L.) dan
ekstrak etanol kulit bawang putih dalam membunuh larva Aedes aegypti. Diharapkan dapat
memberikan pengetahuan di masyarakat mengenai pemanfaatan umbi bawang putih (Allium
sativum L.) dan kulit bawang putih sebagai suatu produk larvasida.
1.2 Rumusan masalah
Bedasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Berapakah perbandingan 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50) dari ekstrak etanol umbi bawang putih
(Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang terhadapefektivitas larvasida Aedes
aegypti instar III yang diamati selama 24 jam ?
2. Berapakah perbandingan 𝐿𝐶50 (lethal concentration 50) dan 𝐿𝐶90 (lethal concentration
90) dari ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit
bawang terhadap efektivitas larvasida Aedes aegypti instar III yang diamati selama 24
jam ?
3. Berapakah perbandingan 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50) dari ekstrak etanol umbi bawang putih
(Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang terhadapefektivitas larvasida Aedes
aegypti instar III yang diamati selama 24 jam ?

1.3 Tujuan penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas dengan :
1. Mengetahui perbandingan 𝐿𝐶50 (lethal concentration 50) dan 𝐿𝐶90 (lethal
concentration 90) dari ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan
ekstrak etanol kulit bawang terhadap efektivitas larvasida Aedes aegypti instar III yang
diamati selama 24 jam.
2. Mengetahui perbandingan 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50) 𝐿𝐶90 (lethal concentration 90) dari
ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan kulit bawang putih terhadap
efektivitas larvasida Aedes aegypti instar III yang diamati selama 24 jam.

1.4 Hipotesis Penelitian


1. Ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) memiliki efektivitas sebagai
larvasida Aedes aegypti instar III lebih tinggi dibandingkan denganekstrak etanol kulit
bawang putih yang dilihat dari hasil 𝐿𝐶50 (lethal concentration 50) dan 𝐿𝐶90 (lethal
concentration 90).
2. Ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) memiliki efektivitas sebagai
larvasida Aedes aegypti instar III lebih tinggi dibandingkan denganekstrak etanol kulit
bawang putih yang dilihat dari hasil 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50).
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat dari penelitian ini bagi ilmu pengetahuan adalah untuk mengetahui
efektivitas dari ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan kulit
bawang putih sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang parasitologi, memberikan bukti ilmiah tentang
efek umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan kulit bawang putih terhadap
larva Aedes aegypti.
3. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan di masyarakat mengenai
pemanfaatan umbi dan kulit bawang putih sebagai suatu produk larvasida.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Definisi
Diantara penyakit kevektoran akibat nyamuk Aedes adalah demam berdarah dengue (DBD)
yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesiakarena penderitanya terus bertambah
dan penyebarannya semakin luas. Keadaan inierat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk
dan sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi.
Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang
berujung kematian. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan
dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi. Virus ini bisa masuk ke dalam tubuh manusia dengan
perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Amirullah, Malik, dan Rosmaya, 2019).
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-
tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Penyakit Demam Berdarah Dengue
dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih
banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan
proporsi penderita Demam Berdarab Dengue pada orang dewasa (Sukohar, 2014).
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus
yaitu :
1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather.
4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.

Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses).


Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever,
Japanese encehphalitis dan West Nile virus. Keempat type virus tersebut telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di
Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan
kasus yang berat (Sukohar, 2014).
2.1.3 Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular
yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering
menimbulkan wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun
1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama
kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan
kematian 24 orang (41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis barudidapat pada tahun
1972. Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung
menyebar ke seluruh tanah air Indonesia, sehingga sampai tahun1980 seluruh propinsi di
Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit, dan mencapai puncaknya pada
tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini
erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitaspenduduk dan sejalan dengan semakin
lancarnya hubungan transpotasi (Sukohar, 2014).
2.1.4 Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti, Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vector
yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat
di tularkan kembali pada manusia pada saat gigitanberikutnya. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuktersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif).
Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada
nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul(Sukohar, 2014).
2.1.5 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
a. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh: Menguras bak mandi/penampungan
air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti/menguras vas bunga dan
tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat
penampungan air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di
sekitar rumah dan lain sebagainya
b. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakanjentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14)
c. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan: Pengasapan/fogging (dengan
menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk
abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas
bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan ”3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu padawaktu tidur, memasang
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat
nyamuk, memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Sukohar,
2014).
2.2 Tinjauan tentang Larva Aedes Aegypti

Larva nyamuk Aedes aegypti memiliki bentuk silinder dan tubuhnya terdiri
dari tiga bagian yaitu kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen). Dengan ciri-
ciri fisik :
1. Kepala, sepasang mata, sepasang antena pendek dan bagian mulut yang
disesuaikan untuk mengunyah.
2. Dada,terdiri dari 3 segmen yang menyatu.
3. Perut, terdiri dari 9 segmen. Segmen pertama membawa sekelompok rambut,
4 insang dan 2 kelompok rambut.
4. Segmen ke-8, sisir (satu atau lebih baris duri), sepasang spirakel pernapasandan
satu corong pernafasan (siphon).
Dalam perkembangan larva mengalami 4 kali pergantian kulit
(molting/ecdysis) dari larva instar I hingga instar IV, dan pupa. Berikut 4 tingkatan
perkembangan (instar) larva Aedes aegypti sesuai dengan pertumbuhan larva :
a) Larva instar I : Ukuran sekitar 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum
jelas dan pada corong pernapasan masih belum jelas dan berlangsung 1-2 hari.
b) Larva instar II : Ukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri belum jelas dan corong
pernapasan mulai menghitam berlangsung 2-3 hari.
c) Larva instar III : Ukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman. Pada instar III ini memiliki sifon yang
gemuk, gigi sisir pada segmen abdomen ke-8 mengalami pergantian kulit dan
berlangsung 3-4 hari.
d) Larva instar IV : Ukuran 5-6 mm, dengan warna kepala gelap. Corong
pernapasan pendek dan gelap kontras dengan warna tubuhnya, setelah 2-3akan
mengalami pergantian kulit dan berubah menjadi pupa berlangsung selama 2-3 hari.
Larva menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memakan alga dan
bakteri. Larva memiliki pergerakan yang sangat lincah. Apabila larva sedang tidak
melakukan aktivitas atau mengambil napas, maka posisi tubuhnya membentuk sudut
dengan permukaan air dan siphonnya ditonjolkan ke arah permukaan air serta
berkembangbiak pada air jernih yang dasarnya bukan tanah. Larva memperoleh
makanan dengan bantuan sikat mulut yang berfungsi sebagai penghasil aliran air yang
dapat membawa makanan kedalam mulut Larva memperoleh makanan denganbantuan
sikat mulut yang berfungsi sebagai penghasil aliran air yang dapat membawa makanan
kedalam mulut (Shiff, Markell dan Voge, 1982).
2.2.1 Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut (Wahyuni dan Loren 2016) klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Order : Diptera
Subfamily : Culicinae
Suborder : Nematocera
Family : Culicidae
Genus : Aedes
Species : Ae. aegyptiL.
Nama Binomial : Aedes aegypti
2.2.2 Morfologi larva Aedes aegypti
Larva nyamuk Aedes aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen. Kepala
berkembang baik sepasang antena maupun kepala majemuk, serta sikat mulut yang menonjol.
Abdomen memiliki 9 ruas yang jelas, dan ruas terakhir dilengkapi tabung udara (siphon) untuk
mengambil oksigen serta dilengkapi dengan pectin pada segmen yang terakhir dengan ciri
pendek dan mengembung.
Pada segmen abdomen tidak ada rambut berbentuk kipas (Palmatus hairs) pada setiap
sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8-21 dan berbentuk duri. Pada
sisi thorax terdapat duri yang panjang berbentuk kurva dan adanya sepasang rambut di kepala
(Wahyuni dan Loren 2016).

Gambar 2.1 Larva nyamuk Aedes aegypti L. (Shiff, Markell danVoge, 1982)
Pupa merupakan stadium terakhir yang berada dalam air dan tidak memerlukan
makanan karena fase istirahat. Pada stadium ini dilakukan pembentukan mulut, ekstremitas dan
sayap didalam selubung yang menyelubungi chepalothorax Pupa mempunyai segmen di bagian
perutnya (struktur menyerupai dayung) sehingga terlihat seperti koma.

Gambar 2.2 Pupa Aedes aegypti L. (Shiff, Markell dan Voge, 1982)
Semua spesies nyamuk mengalami metamorfosis sempurna mulai dariinstar telur dan
berlanjut ke tahap larva dan pupa sebelum menjadi dewasa, yang muncul pada instar keempat,
dari pupa nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa beristirahat di permukaan air saat mengering dan
darah mengalir ke sayapnya Nyamuk bertelur baik secara tunggal atau berkelompok di
permukaan air setelah memakan darah. Saat menghisap darah dalam 24-36 jam. Nyamuk Aedes
aegypti bersifat antropofilik, namun terkadang nyamuk juga menghisap darah hewan (Shiff,
Markell danVoge, 1982)

.
Gambar 2.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti L. (Shiff, Markell dan Voge, 1982)

2.3 Tinjauan tentang Insektisida


Menurut Kusumastuti (2014), Insektisida merupakan kelompok pestisida yang
terbesar dan terdiri atas beberapa jenis bahan kimia yang berbeda, antara lain organoklorin,
organofosfat, kabamat, piretroid, dan DEET. Sampai saat ini, insektisida golongan sintetik
piretroid telah direkomendasikan untuk digunakandalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti
vektor demam berdarah dengue (DBD). Racun insektisida dari berbagai zat aktif tersebut tidak
hanya dirasakan olehserangga sasaran, tetapi bisa berakibat terhadap hewan peliharaan maupun
manusia. Organofosfat merupakan racun pengendali serangga yang paling toksik terhadap
binatang bertulang belakang. Akibat insektisida ini terjadi penumpukanasetilkolin. Gejalanya
adalah sakit kepala hingga kejang-kejang otot dan kelumpuhan.
Pada manusia, yang paling rentan terhadap racun insektisida adalah anak- anak. Mereka
cenderung memasukkan berbagai jenis barang yang ditemui ke dalam mulutnya. Jika yang
dimasukkan adalah insektisida, risikonya adalah kematian. Insektisida meracuni tubuh melalui
beberapa cara, yaitu tertelan, terhirup, terkena kulit atau mata.

2.4 Tinjauan tentang Abate


Produknya berupa cairan kental berwarna coklat. Temephos senyawa murni berupa
kristal putih padat, dengan titik lebur 30°C-30,5°C. Tidak larut dalam air pada suhu 20ºC
(kurang dari 1 ppm) dan Tidak larut dalam heksana. Larut dalam aseton, aseronitril, eter dan
kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon. Pestisida-pestisida yang tergolong di dalam
senyawa fosfat organik kerjanya menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan
gangguan pada aktivitassyaraf karena tertimbunnya asetilkolin pada ujung syaraf tersebut. Hal
ini lah yang mengakibatkan kematian. Jadi, seperti senyawa-senyawa organofosfat lainnya,
maka temephos juga bersifat antikolinesterase (Anadu, Anaso, dan Onyeka, 2014).

Gambar 2.4 Struktur Kimia Temephos (Anadu, Anaso, dan Onyeka, 2014)

Salah satu upaya pencegahan DBD yaitu dengan pemberian larvasida berupa cairan
konsentarsi temephos 50%. Abate menghambat produksi kolinesterase dan setelah 12 jam
paparan pada tingkat aplikasi 1 mg/L yang disetujui, kadar kolinesterase dalam copepoda mulai
berkurang dan mereka kehilangan kemampuan untuk makan dan berenang secara normal
(Grunertr et al., 2022). Temephos adalah larvasida yang paling banyak digunakanuntuk
membunuh larva Aedes aegypti.
Sejak tahun 1976 Indonesia telah menerapkan penggunaan larvasida temephos, yang
dikenal dengan nama Abate, yang merupakan larvasida berbahan dasar kimiasebagai salah satu
cara pemberantasan pertumbuhan larva (jentik-jentik) nyamuk. Namun, Penggunaan Abate
(temephos 1%) secara terus-menerus dapat mencemarkan kondisi air, terutama air minum.
Bagaimanapun temephos tidak dapat digunakan secara oral. Selain itu, penggunaan larvasida
sintetik ini rutin dapat menjadikan vektor nyamuk semakin resisten (Kartikasari, Suhaim dan
Ridha, 2022).

2.5 Tinjauan tentang Bawang Putih


2.5.1 Taksonomi Bawang Putih
Menurut (Moulia et al., 2018) klasifikasi dari Bawang Putih adalah:

Nama binomial : Allium sativum L.


Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Alliaceae
Upafamili : Allioideae
Bangsa : Allieae
Genus : Allium
Spesies : A. sativum
2.5.2 Nama-nama dari Bawang Putih
Tanaman ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah seperti dason putih
(Minangkabau), kasuna (Bali), bawang bodas (Sunda), bawang (Jawa Tengah), bhabang poote
(Madura), bawa badudo (Ternate), lasuna mawura (Minahasa), dan bawa fufer (Irian Jaya)
(Untari I , 2010).
2.5.3 Morfologi Bawang Putih

Bawang putih tumbuh secara berrumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30 -75 cm,
mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip
pita memiliki panjang mencapai 30–60 cm dan lebar 1–2,5cm. Tanaman memiliki 7–10 helai
daun berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang
bejumlah banyak. Umbi bawang putih berwarna putih terdiri dari 8–20 siung (anak bawang).
Kulit umbinya putih buram, berdiameter 3–3,5 cm Antara siung satu dengan yang lainnya
dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Bawang
putih yang semula merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, jenis
tertentu dibudidayakan di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian
tanah berkisar 200-250 meter di atas permukaan laut (Untari I , 2010).
2.5.4 Manfaat Bawang Putih

Salah satu tanaman yang mempunyai khasiat obat dan sebagai antimikroba adalah
bawang putih (Allium sativum L.). Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang
bertanggung jawab atas rasa, aroma, dan sifat farmakologi bawang putih seperti antibakteri,
antijamur, antioksidan, antikanker. Aktivitas biologi pada bawang putih telah banyak diteliti
(Moulia et al., 2018). Dan juga bisa sebagai larvasida yang dapat menyebabkan kematian
beberapa jenis hewan air dalam tahapan larva (Amirullah, Malik, dan Rosmaya, 2019). Kulit
bawang sendiri ternyata, mengandung beberapa senyawa- senyawa aktif yang bermanfaat bagi
tanaman, kandungannya meliputi, mineral, hormon auksin dan giberelin yang merupakan
hormon pemicu pertumbuhan tanaman, dan juga senyawa flavonoid dan acetogenin yang
berfungsi sebagai anti hama (Ula dan Mizani, 2022).
2.5.5 Metabolit Sekunder
Menurut Dinata, Tinni dan Asep (2017) kandungan kimia yang terdapat pada
bawang putih (Allium sativum L.) seperti saponin, flavonoid, tannin, alkaloid, allicin.
A. Saponin
Senyawa saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yaitu terdiri dari
senyawa hasil kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik
yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon)
( Gambar 2.6 ). Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan melalui metode ekstraksi
(Bintoro et al., 2017).

Gambar 2.6 Struktur Saponin (Noer et al., 2018)

B. Flavonoid
Kandungan lain dari bawang putih yang diduga berperan dalam kematian larva adalah
flavonoid yang bersifat sebagai racun perut (Stomach poisoning). Sebagian besar
flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosidanya.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon. (
Gambar. 2.7 ) dimana dua cincin benzena (C6) terikat oleh rantai propana (C3)
(Amirullah, Malik, dan Rosmaya, 2019). Senyawa flavonoid, merupakan senyawa yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan. Kemampuan senyawa flavonoid
sebagai antioksidan pada tanaman herbal seperti umbi bawang dayak (Eleutherine
palmifolia), daun bawang mekah (Eleutherine americana), dan beberapa genus bawang
(Allium sp) telah dibuktikan oleh banyak peneliti di seluruh dunia (Prasonto, Riyanti dan
Gartika, 2017).

Gambar 2.7 Struktur Flavonoid (Noer et al., 2018)


C. Tannin
Tannin adalah salah satu golongan senyawa polifenol yang juga banyak dijumpai pada
tanaman. Tanin dapat didefinisikan sebagai senyawa polifenol dengan berat molekul
yang sangat besar yaitu lebih dari 1000 g/mol serta dapat membentuk senyawa kompleks
dengan protein. Terlihat bahwa struktur senyawa tannin terdiri dari cincin benzena (C6)
yang berikatan dengan gugus hidroksil (-OH) ( Gambar 2.8 ). Tanin memiliki peranan
biologis yang besar karena fungsinya sebagai pengendap protein dan penghelat logam.
Oeh karena itu tannin diprediksi dapat berperan sebagai antioksidan biologis. karena
fungsinya sebagai pengendap protein dan penghelat logam. Oeh karena itu tannin
diprediksi dapat berperan sebagai antioksidan biologis

Gambar 2.8 Struktur Tannin (Noer et al., 2018)


D. Alkaloid
Ekstrak alkaloid secara umum dari beberapa jenis tanaman dilaporkan memiliki fungsi
medis dalam bidang kesehatan, seperti siamine yang merupakan alkaloid pada Cassia
siamea memiliki aktifitas sebagai antioksidan. Alkaloid merupakan senyawa yang
bersifat polar, sehingga akan terikat dalampelarut etanol (Titis, Fachriyah, dan Kusrini,
2013). Alkaloid berupa garam dapat mendegradasi membran sel untuk masuk ke dalam
dan merusak sel dan juga dapat mengganggu sistem kerja syaraf larva dengan
menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (Amirullah, Malik, dan Rosmaya, 2019).
E. Allicin
Allicin merupakan prekursor pembentukan allil sulfda, misalnya diallil disulfda
(DADS), diallil trisulfda (DATS), diallil sulfda (DAS), metallil sulfda, dipropil sulfda,
dipropil disulfda, allil merkaptan, dan allil metil sulfde. Allicin merupakan senyawa
organosulfur yang keberadaannya sebesar 70–80 persen dari total tiosulfnat (Moulia et
al., 2018).

Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif dalam hal ini
kandungan allicin dan dialil sulfide memiliki sifat bakterisida danbakteristatik. Allicin bekerja
dengan cara mengganggu sintetis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat berkembang
lebih lanjut. Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasite maupun bakteri, bekerja dengan
merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. Diduga struktur membran sel larva terdiri
dari protein dengan sulfhidril (SH) allicin akan merusak membrane sel larva sehingga terjadi
lisis. Toksisitas allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki
glutathione yang dapat melindungi selnya dari efek allicin. Senyawa-senyawa kimia tersebut
bersifat sebagai racun perut (Stomach poisoning) yang mengakibatkan allicin dapat
menghambat perkembangan larva instar IV yang akan berubah menjadi pupa dan akhirnya mati
karena membran selnya telah dirusak (Amirullah, Malik, dan Rosmaya, 2019).
2.6 Tinjauan tentang Bawang Putih Sebagai Bionsektisida
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian lebih mengarah kepada penggunaan bagian
umbi bawang putih yang digunakan sebagai larvasida seperti penelitian yang dilakukan Dinata,
Tinni dan Asep (2017) yaitu memanfaatkan ekstrak umbi bawang putih (Allium sativum L.)
terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini menggunakan larva nyamuk
Aedes aegypti instar III dikarenakan larva instar III mempunyai organ tubuh yang sudah
lengkap terbentukdan struktur dinding tubuhnya belum mengalami pengerasan sehingga sesuai
untuk perlakuan dengan senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid. Parameter penelitian ini
adalah parameter biologi dimana meliputi mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti. Menurut
Dinata, Tinni dan Asep (2017) meningkatnya toksisitas ekstrak Allium sativum L. karena
kandungan zat yang dimilikinya apabila terabsorbsi oleh larva nyamuk sebagai hewan uji
melebihi batas toleransi akan mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan pada tubuh larva.
Penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian ekstrak umbi bawang putih efektif
menyebabkan mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti.
Sedangkan penelitian uji bioinsektisida lainnya yang menggunakan bagian kulit bawang
putih seperti yang dilakukan oleh Ula dan Mirzani (2022) pemanfaatan limbah kulit bawang
putih menjadi biopestisida alami pada kelompok tani di desa Klorogan, kecamatan Geger,
kabupaten Madiun yang disemprot pada tanaman.
Begitu juga pada penelitian yang dilakukan Upa, Arimaswati dan Purnamasari (2017)
yaitu uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.) terhadap
pertumbuhan bakteri Salmonella typhii dan Shigella dysenteriae.

2.7 Tinjauan tentang Simplisia


Dalam buku Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2, Simplisia adalah bahan alam yang
telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan.
Pengeringan dapat dilakukan dengan perjemuran di bawahsinar matahari, diangin-angin, atau
menggunakan oven, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan dengan oven tidak lebih dari
60°C. Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai
bahan obat atau produk. DitJen POM RI (1989) Simplisia dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau
eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secaranspontan keluar dari tanaman
atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya
yang dengancara tertentu dipiahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.
2. Simplisia hewani
Simplisa hewani adalah simplisia hewan utuh, bagian hewan, atau belum berupa zat
kimia murni.
3. Simplisia Pelikan (Mineral)
Simplisia Pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan pelican(mineral) yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat

2.8 Tinjauan tentang Ekstraksi

2.8.1 Definisi
Dalam buku Farmakope Herbal Indonesia Edisi 2, disebutkan bahwa : Ekstrak adalah
sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati menuut cara yang
cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Menurut DitJen POM RI (2000), ekstrak
dapat dikelompokkan atas dasar sifatnya menjadi :
a. Ekstrak Cair
Ekstrak cair adalah sediaan cair dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-
masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktifdari 1 g simplisia
yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat
didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienap tuangkan (dekantasi).
Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan farmakope. Ekstrak cair dapat
dibuat dari ekstrak yang sesuai.
b. Ekstrak Kental
Sediaan ini kental pada keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan
airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya kandungan air dapat menyebabkan
ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri dan terjadinya peruraian
bahan aktifnya. Ekstrak kental sulit ditakar (penimbangan dan sebagainya).
c. Ekstrak Kering
Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan. Melalui
penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan sisanya 30 akan terbentuk
suatu produk yang memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5% (Ditjen
POM RI, 2000).
2.8.2 Tahap Pembuatan
Adapun tahapan pembuatan ekstrak menurut DitJen POM RI (2000) adalah sebagai
berikut:
1. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya Proses awal pembuatan ekstrak adalah
tahapan pembuatan simplisia kering (penyerbukan). Simplisia dibuat serbuk simplisia
dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat
mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut:
- Makin halus serbuk simplisia maka proses ekstraksi makin efektif- efisien,
namun makin halus serbuk maka makin rumit secara teknologiperalatan untuk
tahapan filtrasi.

- Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan interaksi


dengan benda keras (logam, dll) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat
berpengaruh pada senyawa kandungan, namun hal inidapat dikompensasi dengan
penggunaan nitrogen cair.
2. Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik untuk
senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa
tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya serta
ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yangdiinginkan.
Menurut DitJen POM RI (2000) tentang Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat, adapun faktorutama untuk mempertimbangkan pemilihan cairan penyari adalah
sebagaiberikut: Selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut,
ekonomis, ramah lingkungan, keamanan.
a. Air
Murah dengan pemakaian yang luas, pada suhu kamar adalah pelarut yang baik
untuk bermacam-macam zat misalnya garam-garam alkaloida, glikosida, asam
tumbuh tumbuhan, zat warna dan garam- garam mineral. Umumnya kenaikan
suhu dapat menaikkan kelarutan. Kekurangan dari air yaitu sebagai media
pertumbuhan jamur atau bakteri sehingga kurang baik untuk penggunaan jangka
lama.
b. Gliserin
Penyari yang digunakan untuk penarikan simplisia yang mengandung zat samak.
Gliserin adalah pelarut yang baik untuk tanin dan hasil-hasil oksidanya, jenis-
jenis gom dan albumin juga larut dalam gliserin. Kekurangan dari gliserin yaitu
tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak kering karena susah menguap.
c. Etanol

Pelarut universal yang mampu melarutkan senyawa metabolit sekunder, tidak


berbahaya, memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang lebar mulai
dari senyawa non polar sampai dengan polar dan mempunyai titik didih yang
rendah sehingga mudah menguap pada saat pembuatan ekstrak kental. Etanol
juga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur atau bakteri
sehingga selain digunakan sebagai cairan penyari juga sebagai pengawet.
Campuran airetanol lebih baik daripada air saja.
d. Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk pembuatan
sediaan untuk obat dalam atau sediaan yang nantinya disimpan lama.
e. Heksana
Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-minyak. Biasanya digunakan
untuk menghilangkan lemak dari simplisia yang mengandung lemak-lemak yang
tidak diperlukan sebelum simplisia dibuat sediaan galenik.
f. Asetonum
Tidak digunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut yang baik untuk
bermacam macam lemak, minyak atsiri, dan damar. Baunya kurang enak dan
sukar dihilangkan dari sediaan.
g. Kloroform

Tidak digunakan untuk sediaan dalam karena efek farmakologinya. Bahan pelarut
yang baik untuk basa alkaloida, damar, minyak lemakdan minyak atsiri. Sampai
saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yangdiperbolehkan adalah air dan alkohol
(etanol) serta campurannya. turunannya), heksana (hidrokarbon aliphatik),
toluen, hidrokarbol aromatik, kloroform (segolongannya) dan aseton umumnya
digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian(fraksinasi).
Metanol dihindari penggunaannya karena sifat yang toksik akut dan kronik,
namun demikian jika dalam uji terdapat adanya sisa pelarut dalam ekstrak
menunjukkan negatif maka metanol sebenarnya pelarut yang lebih baik dari
etanol (DitJen POMRI, 2000).
3. Separasi dan pemurnian
Tujuannya untuk menghilangkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal
mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga
diperoleh ekstrak yang lebih murni.
4. Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut) secara
penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi
kental/pekat.
5. Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk, masa kering rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan.
6. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal (DitJen POM RI, 2000).
2.8.3 Metode Ekstraki
A. Ektraksi dengan menggunakan pelarut
1. Cara dingin
- Maserasi
Maserasi adalah salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling
sederhana. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara merendamsampel
pada suhu kamar menggunakan pelarut etanol 70% selama 3-5 hari
sambil diaduk sesekali untuk mempercepat proses pelarutan analit.
Maserat kemudian disaring lalu dilakukan remaserasi sebanyak 3 kali
dengan perbandingan pelarut yang sama. Maserat yang didapatkan
kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator
kemudian dilanjutkan dengan waterbath hingga diperoleh ekstrak kental
(Prastiwi, Siska, dan Nila, 2017). ndikasi bahwa semua analit telah
terekstraksi secara sempurna adalah pelarut yang digunakan berwarna.
- Perkolasi
Perkolasi adalah Perkolasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat
cair yang dilakukan dengan jalan mengalirkan pelarut secara perlahan
pada sampel dalam suatu perlokator. Pada ekstraksi jenis ini, pelarut
ditambahakan secara terus menerus, schingga proses ekstraksi selalu
dilakukan dengan pelarut yang baru. Pola penambahan pelarut yang
dilakukan adalah menggunakan pola penetesan pelarut dari bejana
terpisah disesuaikan dengan jumlahpelarut yang keluar atau dilakukan
dengan penambahan pelarut dalam jumlah besar secara berkala.
- Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarutterbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat
termasuk proses ektraksi sempurna.
- Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
- Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30menit) dan
temperatur sampai titik didihair (DitJen POM RI, 2000).
- Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih dengan temperatur
terukur 96-98ºC selama waktu tertentu (15-20 menit).

2.8.4 Parameter Ekstrak


A. Parameter Spesifik
Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif
dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggungjawab
langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter spesifik
ekstrak menurut DitJen POM RI (2000), meliputi:
1. Identitas
Tujuannya untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari
senyawa identitas, meliputi :
a. Deskripsi tata nama : nama ekstrak (generik, dagang, paten),
nama lain tumbuhan, bagian tumbuh yang digunakan dan nama
Indonesia tumbuhan.
b. Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa
tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu.
2. Organoleptik
Tujuannya sebagai pengenalan awal yang sederhana menjadi
seobyektif mungkin. Dengan menggunakan panca indera
mendiskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol dan air) untuk ditentukan
jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara
gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam
pelarut lain misalnya heksana, diklorometan dan metanol. Tujuannya
untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
4. Penetapan Kromatogram

Pola Kromatogram tujuannya untuk memberikan gambaran awal


komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram, seperti
KLT, KCKT dan KG (DitJen POM RI 2000). Pada penelitian ini pola
kromatogram yang digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Bercak noda yangmuncul setelah penyemprotan pereaksi dihitung nilai
Rf-nya dengan rumus :

𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑛𝑜𝑑𝑎


Rf: 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛

B. Parameter Non Spesifik


Parameter spesifik ekstrak menurut DitJen POM RI (2000) meliputi:
1. Susut Pengeringan dan Bobot Jenis
Susut Pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan
pada temperatur 105ºC selama 30 menit atau sampai berat konstan,
yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Tujuan dilakukan parameter
susut pengeringan adalah untuk memberikan batasan maksimal
(rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan. Dalam hal khusus(jika bahan tidak mengandung minyak
menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan
kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan
udara terbuka
2. Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada suhu kamar
tertentu (25ºC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau
alat lainnya. Tujuan dilakukan parameter bobot jenis ini untuk
memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang
merupakan parameter khusus ekstrak cairsampai ekstrak pekat (kental)
yang masih dapat dituang.
a. Kadar air
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang
berada di dalam bahan dilakukan dengan cara yang tepat diantara
cara titrasi, destilasi, atau gravimetri. Tujuannya untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air di dalam bahan
Nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi. Menurut literatur, kadar air dalam
simplisia tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini bertujuan untuk
menghindari cepatnya pertumbuhan jamur.
b. Kadar abu
Parameter kadar abu adalah suatu pengukuran dari bahan yang
dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdekstruksi dan menguap sehingga tinggal unsur
mineral dan anorganik. Tujuannya untuk memberikan gambaran
kandungan mineral internaldan eksternal yang berasal dari proses
awal sampai terbentuknya ekstrak.
c. Penetapan kadar abu total
Ekstrak umbi bawang putih dan ekstrak kulit bawang putih
ditimbang seksama 2 g sampai 3 g, kemudian masukkan kurs yang
telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Kurs yang telah diisi ekstrak
dipijarkan hingga menjadi abu, kemudian didinginkan lalu
ditimbang. Air panas dapat ditambahkan jika arang tidak dapat
hilang kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu. Sampel
dipijarkan kembali hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
d. Kadar abu tidak larut asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu dididihkan dengan
25 mlasam sulfat encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut
dikumpulkan dalam asam kemudian disaring melalui kurs kaca
masir atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas dan
pijarkan hingga bobot tetap kemudian ditimbang. Kadar abu yang
tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara. Penetapan kadar abu larut air.
e. Penetapan kadar abu larut air
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu dididihkan dengan
25 mlair selama 5 menit, bagian yang tidak larut dikumpulkan
kemudian disaring melalui kurs kaca masir atau kertas saring
bebas abu, dicuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15
menit pada suhu tidak lebih dari 450ºC hingga bobot tetap. Kadar
abu yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang dikeringkan
di udara.

2.9 Uji Toksisitas

Toksisitas pada tanaman dapat membunuh larva karena memiliki aktivitas


sebagai racun. Uji toksisitas adalah merupakan uji untuk mengamati aktivitas
farmakologi suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat setelah terpapar atau
pemberian dalam dosis tertentu. Prinsip uji toksisitas adalah bahwa komponen bioaktif
selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis
rendah (Makiyah dan Sumirat, 2017). Uji toksisitas dilakukan dengan memperhitungkan
hal-hal yaitu:
1. LC50 (lethal concentration 50) adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan
kematian 50% dan LC90 (lethal concentration 90) adalah konsentrasi yang
dapat menyebabkan kematian 90% dari serangga uji (Hasyim, Setiawati dan
Lukman, 2019).
2. LT50 (Lethal Time 50) adalah waktu yang dibutuhkan suatu organisme agens
hayati untuk mematikan 50% serangga hama yang diuji (Hasyim, Setiawatidan
Lukman, 2019).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini bersifat true eksperimental. True experimental merupakan metode
dengan variabel yang dikendalikan penuh oleh peneliti sehingga menjadikan metode true
experimental sebagai metode eksperimen yang sebenarnya(Rikatsih et al., 2021). Penelitian ini
dilakukan Laboratorium penelitian Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan
Laboratorium Entomology Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya.

3.2 Variabel Penelitian


a) Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun
dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium
sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang putih sebagai larvasida.
b) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah
kematian dan waktu kematian Aedes aegypti instar III.
c) Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah suhu, pH larutan dan kelembaban
ruangan.

3.3 Bahan dan Alat Penelitian


3.3.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia umbi bawang
putih (Allium sativum L.) dan simplisia kulit bawang putih yang diperolehdari Laboratorium
Herbal Materia Medica Batu Malang Jawa Timur dalam bentuk serbuk halus dan sudah di
determinasikan, Larva Aedes aegypti Instar III yang diperoleh dari Institude of Tropical
Disease, abate 1% (PT. BASF, Indonesia), etanol70% (PT. Brataco Chemika, Indonesia),
aquadest, silika gel 60 𝐹254 (E. Merck, Germany), etil asetat
3.3.2 Alat Penelitian
Gelas ukur (Pyrex, Germany), timbangan analtik (Sartorius, Germany), kertas saring,
vial, thermometer, pipa kapiler, kaca objek dan penutupnya, termohygrometer, bejana merasi,
oven (Memmert, Germany), bejana KLT (Camag, Switzerland),, lampu 𝑈𝑉254. nm (Camag,
Switzerland), beaker glass (Pyrex, Germany), batang pengaduk, botol coklat, penangas air,
cawan porselen, cawan petri, pipet, pinset, corong, cuptest, dan senter.
3.4 Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini larva dibagi menjadi 12 kelompok dengan masing-masing
kelompok berisi 25 ekor larva. 1 kelompok kontrol positif dengan menggunakan Abate 1%
dengan kandungan Temephos yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai larvasida
kimia, dan 1 kelompok kontrol negatif menggunakan aquadest, 5 kelompok kontrol yang
diberikan paparan ekstrak etanol 70% umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan 5 kelompok
kontrol yang diberikan paparan etanol 70% kulit bawang putih dengan konsentrasi 4000; 8000;
12000; 16000; 20000 ppm. Setiap kelompok dilakukan pengulangan perlakuan sebanyak 3 kali,
pengulangan ini bertujuan untuk meminimalkan kesalahan dalam eksperimen dan juga untuk
meningkatkan ketepatan dalam eksperimen. Pengamatan jumlah kematian larva dilakukan
selama 24 jam, larvadiamati pada menit ke 5, 10, 15, 30, 60, 120, 240, 480, 720, 1440 dengan
cara memasukan setiap kelompok larva kedalam cuptest dengan menggunakan pipet. Setelah
itu dilanjutkan dengan mengamati hasil perbandingan antara kedua jenis pelarut yang paling
efektif sebagai larvasida Aedes aegypti.

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Pengamatan Organoleptis Simplisia
Parameter identitas dilakukan dengan mendeskripsikan tata nama meliputi :
pengamatan terhadap warna, bentuk dan bau dari serbuk kering umbi bawang putih dan kulit
bawang putih.
3.5.2 Maserasi Umbi Bawang Putih dan Kulit Bawang Putih
Sebanyak 500 g serbuk umbi bawang putih (Allium sativum L.) dilarutkan
dengan pelarut etanol 70% sebanyak 2500 ml dan 500 g serbuk kulit bawang putih
dilarutkan dengan pelarut etanol 70% sebanyak 2500 ml sampai seluruh serbuk
terendam dan di diamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Setelah 24 jam maserat
ditampung dan dilakukan remaserasi kembali. Ekstrak yang diperoleh kemudian
dituangkan ke dalam cawan penguap yang telah ditara, lalu diuapkan di ataswaterbath
dan hasilnya ditimbang (DitJen POM, 2000).
3.5.3 Standarisasi Ekstrak Kental
1. Parameter Spesifik
a) Identitas
Pemeriksaan identitas ekstrak kental bertujuan untuk memberikan
identitas obyektif dari nama dan senyawa spesifik yang dikandung
ekstrak kental. Parameter spesifik dalam penelitian ini sesuai standar
Farmakope Herbal Indonesia meliputi :
Nama ekstrak : Allii Sativi Bulbi Extractum
Spissum
Nama latin tumbuhan : Allium sativum L.
Bagian tumbuhan yang digunakan : umbi dan kulit
Nama indonesia tanaman yang digunakan : umbi bawang putih
Dan senyawa identitas : Alilsistein
b) Organoleptis
Parameter ini berisikan deskripsi tentang ekstrak kental berwarnacoklatan,
bau khas, rasa pedas, agak kelat (Kemenkes, 2017).
c) Penetapan Profil Kromatogram
Ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit
bawang putih dengan KLT penetapan parameter kromatogram bertujuan untuk
memberikan gambaran awal komposisikandungan kimia berdasarkan pola
kromatogram lapis tipis. Yang dilarutkan dengan etanol 70% ekstrak etanol
umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang putih,
kemudian ditotolkan pada lempeng KLT dengan menggunakan pipa kapiler.
Lempeng yang sudah ditotol dieluasi dengan toluen P:etil asetat P (70:30).
Setelah dielusi diamati profil KLT pada beberapa penampak bercak yaitu sinar
𝑈𝑉254.
2. Parameter Non Spesifik
Susut Pengeringan
Menimbang sampel 1 g dalam kurs lalu dimasukkan ke dalam cawanporselinyang
dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC hingga mencapai bobotkonstan yaitu
perbedaan 2 penimbangan berturut-turuttidak lebih dari 0,25%.Hasil yang diperoleh
dinyatakan dengan % susut pengeringan dengan susutpengeringan tidak lebih dari
10% (FHI, 2017).
3.5.4 Pembuatan Larutan Uji
Tahap pembuatan larutan uji, sebanyak 25 g ekstrak etanol umbi bawang putih
(Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang putih terstandar ditimbang dan
dilarutkan kedalam 1 liter aquadest di masing-masing sampel, kemudian dilakukan
pengenceran ke dalam masing-masing cuptest untuk mendapatkan konsentrasi 4000;
8000; 12000; 16000; 20000 ppm dengan cara sebagai berikut :
Kelompok I (kontrol negatif) : 100 ml aquadest
Kelompok II (kontrol positif) : Aquadest dan Abate 1% (1g/100 ml)
Kelompok III (Perlakuan I) : 16 ml dilarutkan ad 100 ml aquadest
Kelompok IV (Perlakuan II) : 32 ml dilarutkan ad 100 ml aquadest
Kelompok V (Perlakuan III) : 48 ml dilarutkan ad 100 ml aquadest
Perlakuan VI Perlakuan IV) : 64 ml dilarutkan ad 100 ml aquadest
Perlakuan VII (Perlakuan V) : 80 ml dilarutkan ad 100 ml aquadest
Pada masing-masing kelompok perlakuan maupun kelompok control dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali.
3.5.5 Pengujian Mortalitas Larva
Pengujian mortalitas larva Aedes aegypti instar III diperoleh dari penetasantelur
Aedes aegypti Laboratorium Entomology Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas
Airlangga Surabaya. Sebanyak 25 ekor larva dimasukkan kedalam masing-masing
cuptest yang telah disiapkan dengan menggunakan pipet. Pengamatan larva dilakukan
selama 24 jam, dan diamati pada menit ke 5, 10, 15, 30, 60, 120, 240, 480, 720, 1440
dengan menggunakan cahaya senter, lalu menghitung jumlah larva yang mati dilihat dari
larva yang mengambang dipermukaan dan tidak bergerak ketika diberi perlakuan secara
mekanik berupa sentuhan menggunakan pipet. Apabila larva tidak bergerak, dapat
disimpulkan bahwa larva tersebut mati. Kemudian larva pada setiap kelompok yang telah
mati dicatat jumlah dan waktu kematiannya. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali.
Berdasarkan WHO (2005), larvasida dianggap memiliki efek apabila dapat
menyebabkan kematian larva uji sebesar 10-95%.
3.6 Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Aedes aegypti instar III
yang didapatkan dari Laboratorium Entomology Institute of Tropical Disease (ITD)
Universitas Airlangga Surabaya. Berdasarkan rekomendasi dari WHO (2005), pemilihan larva
instar III karena larva ini ukurannya cukup besar sehingga mudah untuk diidentifikasi, selain
itu larva instar III merupakan sampel penelitian yang menjadi standar WHO. Pengulangan ini
bertujuan untuk meminimalkan kesalahan dalam eksperimen dan juga untuk meningkatkan
ketepatan dalam eksperimen.
3.6.1 Jumlah sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 25 ekor larva Aedes aegypti untuk masing-
masing perlakuan dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan. Banyaknya
pengulangan pada masing-masing perlakuan dalam penelitian ini didasarkan pada rumus
Federer (Widowati, Hikmayani dan Pamungkasari, 2012) yaitu :

(t-1) (r-1) ≥ 15
Dimana,
t = jumlah perlakuan
r = jumlah pengulangan
Pada penelitian ini ada 7 perlakuan, 2 untuk kontrol positif dan negatif. Sedangkan 5
untuk konsentrasi ekstrak, sehingga jumlah pengulangan pada penelitian ini :
(t-1)(r-1) ≥ 15
(12-1)( r-1) ≥ 15
11r-11≥ 15
11r ≥ 26
r ≥ 2,3 ≈ 3
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka jumlah pengulangan perlakuan dilakukan
sebanyak 3 kali, sehingga jumlah seluruh besar larva yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah :

Jumlah larva x jumlah pengulangan x jumlah perlakuan

Jadi, 25 x 3 x 12 = 900 ekor larva.


Rincian jumlah larva yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1. dan pada
tabel 3.2

Tabel.1 Rincian Jumlah Larva Sampel Kulit Bawang Putih


Jumlah Larva x
Perlakuan Jumlah Total
pengulangan
Kontrol (-) : Aquadest 25 larva x 3 kali 75 larva
Kontrol (+) : Abate 1% 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan I : Ekstrak etanol Umbi Bawang Putih 4000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan II : Eksrak etanol Umbi Bawang Putih 8000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan III : Ekstrak etanol Umbi Bawang Putih 12000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan IV : Ekstrak etanol Umbi Bawang Putih 16000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan IV : Ekstrak etanol Umbi Bawang Putih 20000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Tabel 3.2 Rincian Jumlah Larva Sampel Kulit Bawang Putih
Jumlah Larva x
Perlakuan Jumlah Total
pengulangan
Kontrol (-) : Aquadest 25 larva x 3 kali 75 larva
Kontrol (+) : Abate 1% 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan I : Ekstrak etanol kulit Bawang Putih 4000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan II : Eksrak etanol kulit Bawang Putih 8000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan III : Ekstrak etanol kuliti Bawang Putih 12000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan IV : Ekstrak etanol kulit Bawang Putih 16000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva
Perlakuan IV : Ekstrak etanol kulit Bawang Putih 20000 ppm 25 larva x 3 kali 75 larva

3.7 Parameter Pengamatan


Parameter yang diamati adalah mortalitas larva Aedes aegypti instar III pada (𝐿𝐶50 dan
𝐿𝐶90 ) lethal concentration dan 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50) setelah perlakuan dengan konsentrasi
berbeda yang dilakukan selama 24 jam dan uji perbandingan dengan mengamati pengaruh
ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit bawang. Larva
dikategorikan mati apabila terdapatnya larva yang mengambang dipermukaan dan tidak
bergerak ketika diberi perlakuan secara mekanik berupa sentuhan menggunakan pipet maka
dapat dikatakan ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan ekstrak etanol kulit
bawang putih tersebut berhasil dan jika tidak maka ekstrak tersebut tidak memiliki aktivitas
larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.

3.8 Teknik Analisis Data


Penelitian ini, data yang didapatkan berupa jumlah kematian larva Aedes aegypti setelah
diberi perlakuan. Untuk menganalisa data jumlah kematian larva selanjutnya akan dilakukan
uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan efektivitas pada kelompok uji,
setelah itu menggunakan metode analisa probit untuk mengetahui kadar (𝐿𝐶50 dan 𝐿𝐶90 ) lethal
concentration dan 𝐿𝑇50 (Lethal Time 50) dari ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum
L.) dan ekstrak etanol kulit bawang putih.
3.9 Skema Kerja
3.9.1 Skema Pembuatan Ekstraksi
Skema kerja pembuatan ekstrak kental umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan
ekstrak etanol kulit bawang putih dapat dilihat pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Skema Pembuatan ekstraksi


3.9.2 Skema Standarisasi Ekstraksi
Skema kerja standarisasi ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.) dan
ekstrak etanol kulit bawang putih terstandar dapat dilihat pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Skema Standarisasi ekstraksi


3.9.3 Skema Pengujian Mortalitas Larva
Skema kerja pengujian aktivitas ekstrak etanol umbi bawang putih (Allium sativum L.)
dan ekstrak etanol kulit bawang putih terhadap larva Aedes aegypti instar III dapat dilihat pada
gambar 3.3

Gambar 3.3 Skema Pengujian Mortalitas Larva


Keterangan :

KN : Kontrol Negatif, aquadest


KP : Kontrol Positif, diberikan larvasida Abate 1%
K1 : Konsentrasi ekstrak 4000 ppm
K2 : Konsentrasi ekstrak 8000 ppm
K3 : Konsentrasi ekstrak 12000 ppm
K4 : Konsentrasi ekstrak 16000 ppm
K5 : Konsentrasi ekstrak 20000 ppm
BAB IV
ANGGARAN PENELITIAN

4.1 Anggaran Dana Penelitian


Anggaran dana yang akan dikeluarkan pada penelitian ini sebesar Rp. 1.291.500,-
dengan rincian anggran dana sebagai berikut:

Tabel 4.1 Biaya Penelitian

Harga Per
No Jenis Biaya Kuantitas Satuan Sub Total
Unit
Simplisia umbi 1 kg Kg Rp. 230.000,- Rp.230.000,-
1.
bawang putih
Simplisia kulit 1 kg Kg Rp. 50.000,- Rp. 50.000,-
2.
bawang putih
3. Larva aedes aegypti 900 ekor Ekor Rp. 885,- Rp. 796.500,-
4. Aquadest 3 liter Liter Rp. 20.000,- Rp. 60.000,-
5. Abate 1% 2 bungkus Bungkus Rp. 2.500,- Rp. 5.000,-
6. Etanol 70% 5 liter Liter Rp. 75.000,- Rp. 150.000,-

Total Rp. 1.291.500,-


BAB V
JADWAL DAN LOKASI PENELITIAN

5.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat yaitu di Laboratorium Penelitian Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya dan Laboratorium Entomology Institute of Tropical Disease
(ITD) Universitas Airlangga Surabaya. Waktu penelitian dijabarkan dalam tabel 5.1

Tabel 5.1 Jadwal Penelitian

Jadwal Penelitian Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

Studi Literature √ √ √ √ √ √ √ √
Pendaftaran Sidang √
Sidang Proposal √
Penelitian √
Maserasi Ekstraksi
Ekstrasi
Uji Larvasida
Pendaftaran Skripsi
Sidang Skripsi
Daftar Pustaka

Agus, D. and Pranata, D,. 2019, Prototype Sistem Pendeteksi Kebocoran


Liquified Petroleum, 2: 11–20.
Amirullah, Nurhayu, Malik, and Rosmaya. 2019, Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
L.) dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk
Aedes aegypti, Jurnal Bionature, 20(1): 47-56.
Anadu, D. I., H. U. Anaso, and O. N.D. Onyeka. 2014, Acute Toxicity of the Insect
Larvicide Abate® (Temephos) on the Fish Tilapia Melanopleura and the Dragonfly
Larvae Neurocordelia Virginiensis, Journal of Environmental Science and Health-Part
B Pesticides, Food Contaminants, and Agricultural Wastes, 31(6): 1363.
Bintoro, Adi, Agus Malik Ibrahim, and Boima Situmeang. 2017, Jurusan Kimia
Sekolah Tinggi Analis Kimia Cilegon, Analisis dan Identifikasi Senyawa Saponin Dari
Bidara (Zhizipus mauritania L.) (Analysis and Identification of Saponin Compound from
Bidara Leaves (Zhizipus mauritania L.), JurnalITEKIMA, 2(1): 84-9.
Chapagain B, Wiesman Z. 2005, Larvacidal Effects Of Aqueus Extract Of Balanites
Aegyptica (Desert Date) Againts The Larvae Of Culex Pipiens. Afr.J. Biotechnology.
4(11): 1351-1354.
Courtney, A. 2012, Formularies, Pocket Handbook of Nonhuman Primate Clinical Medicine.
Dinata, Cahya, Rusmartini Tinni dan Saefulloh Asep. 2017, Perbandingan Efektivitas
Larvasida Ekstrak Etanol Umbi Bawang Putih (Allium sativim linn.) dan Ekstrak Etanol
Kulit Bawang Putih (Allium fistulosum linn.) terhadap Larva Aedes aegypti sebagai
Vektor Demam Berdarah Dengue, Prosidi Pendidikan Dokter, 3(2): 2-3.
Departemen Kesehatan RI. 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 5-6.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2017, Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 2,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 6-7.
Grunert, Ryan et al. 2022, Effects of Temephos (Abate®), Spinosad (Natular®), and
Diflubenzuron on the Survival of Cyclopoid Copepods, AmericanJournal of Tropical
Medicine and Hygiene 106(3): 818–22.
Harborne, J.B. 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan,
Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit ITB. 239.
Harborne. 1987, Metode Fitokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Edisi I.
Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB.
Hasyim A, Setiawati W, Lukman L, Marhaeni LS. 2019, Evaluasi Konsentrasi Lethal dan
Waktu Lethal Insektisida Botani Terhadap Ulat Bawang(Spodoptera exigua) di
Laboratorium. J. Hort. 29(1): 69- 80.
Hidayati,Kusumastuti Nurul. 2014, Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Antinyamuk Di
Desa Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. JurnalWidyariset. 17(3): 417–24.
Instar, A. and Mosquito. 2022, Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70 % Kulit
Bawang Putih (Allium sativum L.) Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti Instar Skin
Against Aedes Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Atau, Indonesia Natural
Research Pharmaceutical Journal,
7(2): 108–120.
Juniawati dan Miskiyah. 2014, Aktivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcusaureus. Bogor: Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Kusumastuti, Nurul H. 2014, Pengunaan Insektisida Rumah Tangga Anti Nyamuk Di Desa
Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Widyariset, 17(3): 417.
Makiyah, A., dan Sumirat T. 2017, Uji Toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan LD50
Ekstrak Etanol Umbi Iles-iles (Amorphophallus variabilis Bl.) pada Tikus Putih Strain
Wistar 49(3): 145- 155.
Moulia, M N, Syarief R, Iriani E S, Kusumaningrum H D dan Suyatma N E. 2018, Antimikroba
Ekstrak Bawang Putih, PANGAN 27(1): 55 – 66.
Noer, Shafa, Rosa Dewi Pratiwi, dan Efri G. 2018, Penetapan Kadar Senyawa Fitokimia
(Tanin, Saponin Dan Flavonoid) Sebagai KuersetinPada Ekstrak Daun Inggu (Ruta
angustifolia L.). Jurnal Eksakta 18(1): 19.
Prasonto, D., Riyanti, E. Dan Gartika, M. 2017, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Bawang
Putih (Allium sativum), ODONTO: Dental Journal, 4(2): 122.
Prastiwi, R., Siska dan Nila, M. 2017, Parameter Fisikokimia dan Analisis Kadar Allyl
Disulfide dalam Ekstrak Etanol 70% Bawang Putih (Allium sativum L.) dengan
Perbandingan Daerah Tempat Tumbuh Parameter, Fakultas Farmasi dan Sains,
Universitas Muhammadiyah, 4(1): 32-33.

Anda mungkin juga menyukai