Anda di halaman 1dari 5

Apa jadinya aku jika tanpa Nathan?

Itu adalah hal yang kerap Mika pikirkan akhir-akhir ini. Sejak kejadian hinaan di
kafe tadi sore, Mika jadi lebih pendiam, kalut dengan pikirannya sendiri. Sampai-
sampai Mika yakin sekali kalau kepalanya adalah tumbuhan pasti kini kepalanya sudah
bercabang ribuan karena menurut Nathan, Mika terlalu memikirkan hal-hal yang tak
seharusnya dipikirkan.

Jika saja ia bisa memilih, Mika ingin sekali mematikan hatinya dan hanya
mengandalkan logika. Mika ingin sekali hidup tanpa dihantui rasa bersalah dan
penyesalan. Sekarang Mika memahami mengapa Nathan mengatakan tak ada seorang pun
yang benar-benar mengetahui orang lain, sebab memang, sama seperti Mika dan Nathan
yang telah bersama sejak kecil sekali pun, ada banyak hal yang mereka tidak ketahui
satu sama lain. Kehidupan manusia layaknya sebuah kanvas, mereka memiliki warna
kehidupan yang beragam, tentang biru dan hitamnya yang sengaja diabu-abukan.

Sama seperti Mika, barangkali orang lain memang mengenalnya sebagai wanita yang
memiliki masa lalu terlalu nakal, pemberontak dan keras kepala. Namun ada beberapa
kegelapan yang hanya dirinya yang tahu. Mika bisa memilih menunjukkan apa saja yang
bisa ditunjukkan dan menyembunyikan apa saja yang memang perlu disembunyikan.

Menyembunyikan sekaligus mengubur. Mika mungkin bisa mengubur memori masa lampaunya
yang terlalu menyakitkan agar ia mati di dalam tanah dan tak mampu merangkak naik
ke permukaan, namun Mika tak bisa mencegah seseorang yang memang berniat menggali
lagi kuburannya.

Apa yang Mika sembunyikan bukan sesuatu yang dapat diterima siapapun. Mika yakin
fakta gila itu akan membuat beberapa orang terdekatnya jadi mengubah pandangan
tentang dirinya jika mereka tak melihatnya dari semua sisi. Itu sebabnya, setiap
kali seseorang menghina Mika dengan perkataan murahan, pelacur, atau sejenisnya,
Mika tak bisa untuk tak mengingat masa lalunya. Itu sebabnya pula ketika seseorang
beranggapan bahwa ia tak pantas untuk Nathan, membuat Mika jadi merasa menciut
karena pada kenyataannya Nathan memang terlalu baik untuk dirinya yang terlanjur
hitam pekat dan buruk rupa.

Nathan barangkali tak mengerti penyebabnya, maka biarlah tetap seperti itu sebab
Mika tak kuasa untuk membuka kembali pekatnya luka yang sudah ia kubur dalam-dalam.

"Lihat, kan? Aku sudah bilang padamu untuk tidak menemui Reza, Tante Amy atau pun
Anna secara pribadi. Kamu tahu hal ini menyakitkan tetapi kamu tidak berhenti
melakukannya."

Nathan berjongkok di hadapan Mika yang masih termangu di depan meja riasnya. Ia
baru saja selesai mengangkat telepon dari mamanya dan menyudahi telepon lebih cepat
karena cemas melihat Mika yang mendadak jadi pendiam dan sering melamun.

Nathan mengusap-usap lengan Mika, menatap istrinya dengan tatapan lembut. Tetapi
Mika cuma tersenyum singkat seolah ingin mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja,
namun sialnya ia tak mampu mengatakan hal semacam itu di depan Nathan setelah apa
yang telah terjadi.

"Tadi Mama menelepon, katanya besok dia akan datang untuk berinap," ujar Nathan,
mencoba mengalihkan pikiran Mika dari hal-hal negatif.

"Benarkah?" responsnya singkat.

Nathan mengangguk. "Besok kamu bisa belajar memasak lagi dengan Mama secara
langsung, aku juga akan pulang lebih cepat kalau kamu mau aku berada di rumah lebih
lama," tawarnya.

Melihat Mika yang lagi-lagi cuma tersenyum saat menanggapi, rasanya Nathan ingin
sekali pergi keluar dan menemui Reza, menuntut lelaki itu untuk bertanggung jawab
atau bila perlu menghantam kepalanya agar lelaki itu bisa berpikir jernih dalam
bertindak. Tetapi ia tahu hal tersebut tak akan mengubah apapun. Selama ini Nathan
memang sudah berusaha keras menahan diri untuk tidak langsung menyerang Reza secara
pribadi karena ia masih memikirkan dampak ke depannya. Nathan sangat menghargai
hubungan pertemanan dan berusaha membuat segalanya baik-baik saja.

Nathan bangkit, meraih bahu Mika untuk direngkuh. "Apa aku harus kembali ke
rumahnya untuk meminta pertanggung jawaban karena mereka telah membuatmu jadi
wanita pendiam seperti ini?"

Lalu Nathan merasakan gelengan kepala Mika di permukaan perutnya. Ia juga merasakan
kedua tangan Mika merengkuh pinggangnya.

"Aku ingin menangis, Nathan," lirih Mika dengan suara sendu.

"Ya sudah, menangislah." Nathan mengusap-usap puncak kepala Mika.

"Tetapi tidak bisa," adunya.

"Kenapa, hm?"

"Rasanya sakit, tetapi air matanya tidak mau keluar." Mika mendongak guna menatap
Nathan. Bibirnya terpaut rapat seolah menahan tangisannya agar tidak tumpah,
sementara matanya sudah memerah.

Nathan mengusap-usap sudah Mika lagi dengan pandangan lembut. "Kenapa? Kamu bisa
menangis sekarang. Aku di sini, Sayang."

Mendengar kata "Sayang" yang jarang sekali terucap dari kedua belah bibir Nathan,
membuat Mika semakin merasa sakit karena merasa bersalah sekaligus tidak tega jika
harus menangis di dekapan Nathan karena orang lain.

"Tidak, aku mau tidur saja," katanya, lalu kembali mendekap perut berotot Nathan
seraya menggigit bibir menahan tangis.

"Ya sudah berdiri, ayo ke kasur, memangnya kamu mau tidur seperti ini?"

Mika mengangguk-angguk, mengeratkan dekapannya. Membuat Nathan menggeleng-geleng


pelan, namun tak menolak saat pinggangnya didekap erat, ia malah mengusap-usap
surai Mika dan memberinya segala kasih seperti apa yang biasa Mika dapatkan selama
ini. Kendati ia tahu Mika tak benar-benar tertidur sebab Nathan merasakan tubuh
Mika yang kini sedikit bergetar, rungunya juga menangkap isakan lirih yang membuat
hatinya mencelus nyeri.

Nathan membiarkannya, ia hanya mendengarkan Mika yang akhirnya melepaskan tangis.


Nathan dengan sabar dan telaten mengusapi punggung istrinya yang sedang kesepian.
Posisi seperti ini membuat Nathan mendadak terpental jauh ke lubang masa lalu.

Saat itu, ketika semua hal mungkin terasa menyakitkan bagi Mika. Gadis berusia 22
tahun itu datang ke pada Nathan tanpa sepatah kata. Memeluk pinggang Nathan dan
menangis, berharap dirinya bisa bersembunyi di balik tubuh Nathan. Nathan tak
menanyakan alasan mengapa gadis yang ia cintai itu menangis tersedu-sedu, namun
Nathan memahami satu hal bahwa Mika sedang tak kuat menahan deritanya, ia tak kuasa
berkata sebab beratnya rahasia yang sedang ia topang. Nathan tak tahu itu apa, Mika
hanya berkata jika ia akan membawa kelamnya itu sampai mati seorang diri, ia tak
membiarkan seorang pun mengetahuinya. Katanya, Mika hanya butuh bersandar sejenak
kemudian ia akan menguburnya dalam-dalam.

Mungkin sama seperti kali ini, apa yang Mika rasakan barangkali sama seperti lima
tahun yang lalu. Air matanya, raut birunya, suara rintihannya, sama sekali tak
berbeda dari memori pahit kala itu. Nathan hanya cemas, jika kali ini rasa sakitnya
sama seperti kala itu, ia takut Mika akan berubah.

"Mika?" Nathan memanggil, sebab ia tak lagi mendengar isakan tangis wanitanya. Tak
lama setelah itu, Nathan merasakan perlahan tautan jemari Mika di pinggangnya
meluruh dan jatuh.

Karena Nathan tak mendengar respons dari sang istri, ia lantas mengangkat tubuh
Mika dan membawanya ke atas ranjang. Merebahkannya dengan pelan dan menyingkirkan
setiap helai rambut basah Mika yang menutupi wajahnya.

Nathan mendudukkan diri di samping Mika, menatap lekat paras kuyu istrinya. Kelopak
matanya terkulai lembut dengan bawah mata yang agak membengkak. Lelahnya terlukis
jelas di wajahnya yang putih dan memucat. Jemari Nathan menyeka sisa-sisa air mata
yang membekas di pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Kemudian ia mengusap-usap
puncak kepala Mika tanpa mengalihkan pandangannya.

Mika sedikit melenguh dan memiringkan tubuhnya menghadap Nathan, lalu ia merintih,
"Nath…."

"Iya, Sayang," sahutnya dengan suara rendah dan lembut.

"Dingin…." rintih Mika lagi dengan matanya yang masih terkulai.

Nathan segera menaikkan suhu pendingin ruangan dan menarik selimut untuk menutupi
tubuh Mika sebatas leher, Nathan juga mengusap-usap bahu Mika agar wanitanya lekas
terlelap.

"Sudah hangat?" Nathan bertanya lirih.

"Hm," lirih Mika. Kemudian tubuhnya bergerak dan lebih mendekat ke arah Nathan lalu
merintih lagi, "Sakit…"

"Apanya lagi, Sayaaang?"

Entah sadar atau tidak, masih dengan kedua mata yang terpejam, Mika memukul dadanya
dan terisak lagi. Nathan tahu, Nathan mengerti Mika terluka. Ia lantas segera ikut
merebahkan diri dan mengangkat kepala Mika agar berbantal lengannya.

"Sini, lebih rapat," perintah Nathan, menarik pinggang Mika dan merapatkan
tubuhnya. Ia mendekap Mika dan menepuk-nepuk punggungnya guna menenangkan
wanitanya. "Mana lagi yang sakit?"

Mika tak lantas menjawab, isakannya juga terhenti seiring dengan usapan Nathan yang
kian lembut. Wanitanya terlelap setelah mendapatkan kenyamanannya. Sementara Nathan
mendengarkan napas hangat Mika yang berembus pelan mengurai di wajahnya. Nathan
lantas mengecup puncak kepalanya, memejamkan mata dan merasakan betapa pun ia
teramat menyayangi Mika. Tak tega jika melihat wanitanya terpuruk begini. Ia tak
tahu apa yang sedang disembunyikan Mika, ia tak pernah bertanya sebab tahu kalau
Mika tak akan pernah mengatakannya. Jadi satu-satunya jalan hanya dengan bersabar
dan mencari tahu sendiri. Meski Nathan belum yakin dan masih bimbang harus
memulainya dari mana.

Ponsel Nathan berdering selagi ia masih sibuk meninabobokan Mika dengan mengusap-
usap punggung si wanita. Karena posisi Mika yang juga memeluk tubuhnya, Nathan
bergerak pelan untuk terlentang tanpa menyingkirkan tangan Mika guna meraih
ponselnya di atas nakas.

Nathan mengecek ponselnya dan satu balon pesan dari Reza muncul di sana.

Reza Arsen Naratama:


Maaf soal kejadian tadi, Nat. Bagaimana keadaan Mika sekarang?

Nathan berdecak setelah membaca pesan tersebut, merasa geram dan mendadak membenci
Reza.

"Masih saja mengganggu istri orang, Za?" desisnya. Ia lalu menatap Mika yang sudah
terlelap dengan memeluknya. Nathan ingin sekali mengabaikan pesan itu, tetapi ada
yang ingin ia katakan kepada Reza. Jadi Nathan mulai mengetikkan balasan untuk
Reza.

Arion Nathan Rajendra:


Istriku baik-baik saja karena ada aku di sisinya. Dia langsung tertidur pulas
setelah menyantap makan malamnya, meski malam ini agak lebih manja dari biasanya
karena maunya tidur di pelukan. Jangan cemas, dia sepenuhnya baik-baik saja dan aku
akan tetap membuatnya demikian.

Lalu tak lama Nathan melihat kalau Reza sedang mengetikkan balasannya.

Reza Arsen Naratama:


Syukurlah kalau begitu, besok ada waktu? Aku ingin berbicara, rasanya tidak enak
kalau cuma meminta maaf melalui pesan.

Arion Nathan Rajendra:


Sebaiknya kita menenangka diri masing-masing sebelum bertemu. Beri waktu, kalau
sempat aku akan mengabarimu.

Reza Arsen Naratama:


Lalu bagaimana dengan Mika? Apakah aku boleh menemuinya untuk meminta maaf?

Nathan menarik sebelah sudut bibirnya, tak menduga kalau Reza bakal meminta izin
darinya secara langsung. Rupanya Reza telah menyadari bahwa Mika adalah sepenuhnya
milik Nathan.

Arion Nathan Rajendra:


Demi kebaikan Mika, aku rasa sebaiknya kau tidak perlu menemui istriku secara
pribadi lagi. Aku bisa menyampaikan permintaan maafmu untuk Mika.

Reza Arsen Naratama:


Baiklah, terima kasih, Nat.

Nathan lantas meletakkan ponselnya kembali karena Mika yang mendadak melenguh dan
mengubah kepalanya jadi berada di atas dada Nathan dan merintih lagi, "Nat…"

"Iya, Sayang," Nathan mengusap pipi Mika, memastikan wanitanya tidak terbangun dan
tidur dengan nyaman.

"Mau pipis," lirihnya.

Nathan mengernyit, mencoba menatap Mika yang masih memejamkan matanya. "Kamu
mengigau, ya?" Nathan bertanya lirih, namun Mika tak menjawab dan malah mengusakkan
kepalanya di leher Nathan seolah mencari kehangatan. Kendati Nathan sebenarnya agak
cemas kalau-kalau Mika memang bermimpi sedang membuang air kecil.
Jadi tangan Nathan menyelinap di balik selimut dan menyentuh bokong Mika untuk
memastikan kalau istrinya tidak mengompol. "Jangan pipis sekarang, Mikayla,"
bisiknya, berharap suaranya sampai ke alam bawah sadar agar Mika tidak benar-benar
mengompol.

"Mmhh… pipis…" lirih Mika lagi, kali ini bibirnya mengerucut seolah merajuk karena
tidak dibolehkan untuk pipis di dalam mimpinya.

"Kalau mau pipis bangun, jangan pipis di mimpi, nanti kamu mengompol," ujar Nathan,
berusaha membangunkan Mika dan meminimalisir terjadinya kebocoran.

"Hiks…. Tidak mau," sahut Mika dengan mata yang masih tertutup dan raut wajah yang
seolah ingin menangis. "Nathan… Aku mau pipis…," Mika mengulanginya lagi, kali ini
sebelah kakinya diangkat dan di letakkan di atas paha Nathan.

"Mika?" Nathan mencoba memanggil agar Mika terbangun dan segera buang air kecil.
Tetapi Mika tidak menyahut. Tidak mungkin, kan, Nathan melepas celana pendek Mika
dan menggendongnya ke kamar mandi untuk membantu Mika buang air kecil. Namun kalau
dipikir lagi, barangkali opsi itu lebih baik daripada Mika harus mengombol di atas
ranjangnya. Kalau tidak salah, Mika memang belum buang air kecil sebelum tidur.

Nathan berusaha menarik tubuh Mika agar berada di atasnya kemudian ia bisa dengan
mudah menggendong Mika ke kamar mandi. Ketika ia berhasil memposisikan tubuh Mika
di atasnya, Nathan mati-matian menahan pusat tubuhnya agar tidak menegang karena
bersentuhan dengan milik Mika.

Tepat ketika Nathan hendak berusaha mendudukkan diri dan bersiap untuk menggendong
Mika, ia merasakan tubuh Mika bergetar seolah sedang pelepasan. Nathan panik bukan
main karena berpikir jika Mika mengompol dalam keadaaan seperti ini, namun ia heran
karena tak merasakan celananya basah.

"Sayang?" Nathan memanggil, memastikan jika Mika memang benar-benar sedang


bermimpi. Berikutnya, ia merasakan tubuhnya didekap erat dan Mika bergetar sekali
lagi seraya mendesah.

"Ngghh…. Nathan…. Pelan-pelanhh…."

Sontak manik Nathan membulat sempurna. Nathan yakin sekali kalau Mika sedang
bermimpi bercinta dengannya, ia tak bisa menyembunyikan segurat merah yang
merangkak naik ke pipinya dan tubuhnya yang mendadak tersetrum karena merasakan
miliknya menegang setelah mendengar Mika mendedahkan namanya. Nathan tidak tahu
dalam mimpi Mika mereka sedang dalam posisi bagaimana, namun Nathan dapat
membayangkannya. Sudah lama sejak Mika PMS, Nathan jadi merindukan mencumbu tubuh
Mika.

Nathan memanfaatkan posisinya yang seperti ini untuk mendapatkan pelepasannya


karena ia sudah terlanjut menegang.

Anda mungkin juga menyukai