Anda di halaman 1dari 6

"Hai, Maaf, ya. Aku baru berani datang setelah lima tahun berlalu.

" Mika berdiam


diri menatap batu pualam dengan pandangan sakit. Setelah melakukan dua jam
perjalanan, mereka akhirnya sampai. "Aku sudah menikah, Lan. Aku menikah dengan
lelaki yang baik."

'Meski aku tidak benar-benar mencintainya,' ujar Mika dalam hati. "Seperti katamu,
aku harus menikah dengan lelaki yang baik sepertimu."

"Dia suka bunga mawar dan edelweis." Mika mengusap batu pualam di hadapannya
setelah menyandarkan buket bunga yang ia beli di toko. Hatinya masih saja teriris
nyeri setiap menatap nama lelaki yang tak akan pernah ia lupakan segala
kebaikannya. "Aku tidak percaya ada seseorang yang rela mati demi seseorang,
mungkin kecuali Papa. Tetapi Arlan … Dia seharusnya tidak membuatku percaya dengan
hal itu."

Nathan yang mulanya berdiri di samping Mika, akhirnya berjongkok dan membaca nama
lelaki itu dengan saksama. Ia menatap kedua manik Mika yang tampak tulus dan teduh
saat menatap makam tersebut, tatapan yang tak pernah Nathan dapatkan selama ini.

"Kami selalu menghabiskan hari libur dengan menonton Power Rangers atau Spongebob.
Terkadang aku juga menonton pertandingan bola karena dia." Mika tersenyum ranum
sampai ujung matanya sedikit mengerut. "Dia suka mengenakan baju berwarna biru dan
sandal berwarna hijau yang dulu aku sebut sandal kodok. Matanya sipit, dia memiliki
lesung pipi yang begitu dalam, kulitnya putih dan semulus sutra. Jari jemarinya
panjang dan lemas, aku bisa membayangkan betapa halusnya ketika dia menggenggam
tanganku. Kalau sedang berjalan, rambutnya yang halus selalu bergerak-gerak. Dia
jarang tertawa sampai terpingkal-pingkal karena itu membuat matanya menghilang dan
dia jadi tidak bisa melihat. Tetapi aku pernah membuatnya terbahak hanya karena
sebuah gabungan kata konyol yang aku ucapkan." Mika menjeda, menahan napasnya
sejenak. "Dia lelaki pertama yang membuatku jatuh hati setelah Papa. Dia sangat
baik, suci dan polos, sampai-sampai aku berpikir kalau dia itu tidak nyata, dia
seperti seorang malaikat. Seseorang pernah bilang, cinta pertama memang akan
membekas sampai mati karena kebanyakan cinta pertama akan selalu gagal. Seharusnya
aku tidak menjadikan dia cinta pertama."

Melihat Mika tersenyum ranum seolah lelaki itu ada di sini saat mengingat hal-hal
kecil tentang dia, Nathan jadi menebak-nebak seberapa berharganya lelaki itu bagi
Mika.

"Dia pasti sangat berharga untukmu?" Nathan bertanya.

Mika mengangguk. "Iya, dia sangat mahal. Mama bilang, aku harus merelakannya dan
mengingat hal-hal buruk tentang dia agar cepat lupa. Tetapi tidak bisa, tidak ada
hal buruk yang dia lakukan dan itu yang membuatku sulit."

"Apa penyebab dia mati?"

"Aku."

Nathan tercengang, butuh waktu lama untuk mencerna satu kata itu. "Apa?"

Mika lalu menelan saliva berat, ia melirik Nathan dengan pandangan penuh sesal dan
rasa bersalah yang teramat besar. "Dia mati karena aku."

"Tidak mungkin," Nathan menolak percaya.

Dan Mika tak menjelaskan banyak hal, wanitanya cuma tersenyum masam dan menunduk,
ia tengah mengirim doa kepada langit, meminta maaf berkali-kali.
Nathan tak melakukan apapun, ia hanya memandangi Mika yang sedang khusyuk berdoa.
Nathan mengingat apa yang mamanya ucapkan semalam, sedikit cerita tentang cinta
pertama Mika.

Jadi ini, ini dia lelaki yang pertama kali singgah di hati Mika dan masih memiliki
tempat khusus di lorong hatinya sampai sekarang. Nathan masih penasaran mengapa
lelaki itu harus mati karena Mika. Nathan penasaran masa lalu apa lagi yang Mika
lalui dan tak ia ketahui selama ini.

"Sudah, ayo, pulang," Mika lantas berdiri, menatap Nathan dengan pandangan seolah
ia baik-baik saja.

Nathan melirik arlojinya. Mereka melakukan dua jam perjalanan dan hanya dua puluh
menit berada di sini. Tetapi Nathan pada akhirnya mengangguk, menggandeng tangan
Mika dan membawanya keluar tanah perkuburan. Mereka lantas masuk ke dalam mobil dan
melaju pulang.

Di sepanjang perjalanan, Mika tak banyak berbicara seperti biasanya. Mika bersandar
dengan wajahnya yang menghadap ke samping, ia menatap ke luar jendela dan tenggelam
pada pikirannya sendiri. Nathan tak menggangu, ia membiarkan Mika.

Tetapi tiga puluh menit berlalu, Nathan kira Mika tertidur, tetapi ia justru
mendengar suara isakan, ia menoleh dan menatap istrinya yang berusaha mengusap air
matanya. Sejak keluar dari tanah pemakaman, Mika berusaha untuk menahan
tangisannya, ia berusaha untuk tak membawa rasa bersalah dan penyesalannya. Tetapi
toh, semua itu terjadi tanpa kehendak Mika. Mika hanya kesal dengan pilihan lelaki
itu yang berujung dengan kematian.

"Mikayla?" Nathan memanggil, namun Mika justru semakin menyembunyikan wajahnya.


Tetapi isakan itu malah terdengar lebih jelas, tubuh Mika bergetar karena menahan
sesaknya dada.

"Sayang?"

Nathan mendadak cemas bukan main melihat Mika yang tersedu-sedu. Tangan kirinya
bergerak untuk meraih telapak tangan Mika, Nathan mencoba menenangkkannya dengan
mengusapi punggung tangan Mika.

"Mau berhenti sebentar?"

Mika tak menjawab pertanyaan Nathan, ia masih sibuk merasakan dadanya yang
terhimpit nyeri setiap kali memori itu berkelebat. Ini dia alasan mengapa Mika
enggan berkunjung ke makam Arlan, sebab setiap kali ia datang, rasanya masih saja
sama, menyesakkan dada. Seolah semua rasa sakit dan rasa bersalah yang Mika pendam
selama ini tumpah di sana. Berada di hadapan makam Arlan rasanya juga sama seperti
ia tengah melucuti segala dosa-dosanya.

Karena Mika tak kunjung menjawab, Nathan akhirnya menepikan mobilnya di parkiran
mini market. Ia mematikan mesin mobilnya dan segera keluar dari sana. Untuk hal
seperti ini, Nathan tahu Mika membutuhkan waktu sendiri untuk menumpahkan segala
tangisnya. Jadi ia meninggalkan Mika sendiri di mobil agar puas menangis, kebetulan
kaca mobil mereka gelap jadi Mika tak perlu cemas akan ada seseorang yang
melihatnya. Sementara ia masuk ke dalam mini market dan mencari sesuatu.

Setelah beberapa menit, Nathan kembali dengan bingkisan yang kemudian ia letakkan
di jok belakang. Nathan tak segera masuk ke dalam mobil, ia membuka pintu mobil
sebelah kiri dan menaruh susu kotak di dasbor mobil dan kemudian berdiri di samping
Mika dan menatap wanitanya yang masih berkabut.
"Sudah?" Nathan bertanya, jemarinya membantu Mika untuk menghapus sisa-sisa air
mata di pipinya. Lalu ia mendengar perut Mika bergemuruh. "Kalau sudah, minum
susunya. Karena masih satu jam lebih perjalanan, kita makan dulu sebelum pulang.
Kamu mau makan apa?"

Mika mendongak, menatap manik Nathan dengan nanar. Ia lupa tidak sarapan dan
sekarang sudah pukul sebelas siang. "Maunya kamu yang memasak," ujar Mika, lalu
menarik kemeja hitam Nathan dan menaruh kepalanya di atas perut lelakinya.

"Perut kamu sudah berbunyi, Sayang. Masih satu jam lebih perjalanan, memangnya kamu
kuat menahan lapar?" Nathan mengelus surai Mika.

Mika mengangguk. "Aku maunya kamu yang memasak, aku sedang ingin memakan masakan
kamu," ulang Mika.

Nathan terdiam sejenak, menembuskan napas pasrah sebelum akhirnya mengiyakan


permintaan Mika. "Di belakang ada camilan dan buah-buahan, kamu makan itu dulu
untuk meredakan rasa lapar."

Mika menarik diri, ia mengangguk dan mengambil jeruk di kantong plastik. Sementara
Nathan sudah berada di kursi kemudi dan menyalakan mesin mobilnya.

Mika mengupas kulit jeruk dan membuang kulitnya ke dalam kantong plastik kecil. Ia
memakannya serta menyuapi Nathan.

*****

Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka sempat mampir membeli bahan masakan
karena Mika mendadak menginginkan seafood dan mereka hanya memiliki sayuran beserta
ayam mentah di lemari pendinginnya. Nathan membeli udang, gurita dan lobster. Semua
ini terjadi setelah Mika menonton acara mukbang selagi menemani Nathan mengemudi.

Mika membantu Nathan mencuci seafood sementara Nathan bertugas untuk membuat
bumbunya yang kemudian terhenti sejenak karena ia harus menerima telepon dari
Hendrik.

Mika selesai menyikati lobsternya, ia tidak tahu cara membersihkan gurita dan
mengupas kulit udang.

"Ini bagaimana caranya, Nathan?"

"Kulit udangnya tidak perlu dikupas, Mikayla," ujar Nathan selagi memotongi cabai
dan bawang bombai.

"Iya, tetapi aku mau dikupas. Aku tidak suka kulit udang yang mengganggu citra rasa
daging udangnya, Sayang."

Nathan meluruhkan bahunya. Tentu saja dia tahu kalau Mika tidak menyukai kulit
udang. Nathan sering melihat Reza yang mengupasi kulit udang untuk Mika jika mereka
sedang makan bersama.

Jadi Nathan meninggalkan pekerjaannya dan mengambil alih pekerjaan Mika, sementara
Mika berada di sisi Nathan mengamati dengan saksama bagaimana cara membersihkan
udang dan gurita.

"Kenapa tidak suka, sih? Padahal kalau digoreng renyah, lho," ujar Nathan, melirik
Mika yang antusias memandangi cara Nathan mengupas kulit udang dengan telaten.
"Ya kalau tidak suka ya tidak suka, seperti kamu yang tidak suka buah naga dan
durian, padahal durian enak."

Nathan bergidik membayangkan bau durian. "Durian itu rasa dan baunya terlalu kuat."

"Tetapi enak, lembut. Apa lagi durian montong, manis sekali," ujar Mika. "Kalau
tidak suka ya sudah, besok-besok aku mau membeli durian dan membawanya ke rumah.
Aku akan memakannya di dapur, ruang tamu, lalu aku juga akan membawanya ke kamar."

Nathan menganga tak percaya, ia menatap Mika dengan sebuah peringatan. "Lalu aku
akan berada di kantor seharian dan tidak akan pulang ke rumah."

Mika memukul bokong Nathan. "Jahat sekali, kamu tidak takut kalau aku di rumah
kenapa-napa? Kalau ada yang menculik bagaimana?"

Nathan menatap Mika dengan pandangan aneh, mendadak Mika menyesal mengatakannya.
"Ah, tentu saja, kamu benar, aku harus berada di rumah kalau tidak mau seseorang
menculik istriku. Aku di rumah saja kamu bisa diculik, bagaimana kalau aku seharian
di kantor," sindirnya.

Mika berdecak lirih, lalu ia memikirkan topik lain agar mereka tidak lagi sampai
pada pembahasan yang seperti itu. "Kalau aku hamil dan mengidam ingin durian, kamu
mau membelikannya?"

Nathan tampak berpikir sejenak sebelum akhir nya menjawab, "Aku tidak sebenci itu
dengan durian. Kalau cuma membelikannya tidak masalah, selama aku tidak mencium
baunya. Aku bisa menggunakan masker."

"Kalau bayinya ingin kamu memakannya juga, bagaiman?"

Nathan memandang Mika, lalu terkekeh. "Memangnya bayi di dalam perut bisa berbicara
dan meminta agar papanya juga ikut memakan bayi?"

Mika mengerucutkan bibir. "Ya kalau kamu tidak mau memakannya aku merajuk. Pilih
aku yang marah atau makan durian?" Mika mendongak, mendesak Nathan agar segera
menjawabnya.

"Aku tidak bisa makan durian, tetapi aku bisa menyembuhkan kemarahanmu. Jadi aku
tetap tidak akan memakan durian."

Nathan sudah selesai membersihkannya dan menaruhnya ke dalam wadah. Ia lantas


membawanya ke atas meja. Nathan lalu mulai mengirisi guritanya menjadi kecil-kecil.

"Kalau begitu aku akan pulang ke rumah Mama karena kamu tidak mau menuruti
permintaanku," Mika pura-pura merajuk, membuat Nathan terkekeh lagi dan gemas
dengan tingkah istrinya.

"Wah, kamu benar-benar akan melakukan segalanya agar aku memakan durian, ya?"

"Kamu harus menuruti permintaan orang yang sedang mengidam, Sayang."

"Memangnya kamu sudah siap hamil?"

Mika mendadak terdiam, tiba-tiba tidak mood dengan segalanya. Pikirannya lagi-lagi
terbawa pada masa silam. Semenjak ia menikah, entah mengapa akhir-akhir ini memori
tentang masa lalunya yang kelam itu seolah mengatakan bahwa ia akan menghantui Mika
lagi. Mika menggigit bibirnya kala mendengar suara-suara tangisan bayi dalam
kepala. Dan hal itu sontak membuat emosi dalam diri Mika kembali naik.
Mika berbalik dan menuju wastafel, ia mencuci muka berharap suara-suara yang dulu
sempat hilang itu lenyap kembali. Ia mencengkeram wastafel ketika suara-suara
tersebut tak mau hilang dari kepalanya. Jantung Mika berdebar, tersentak-sentak
seolah ingin meledak. Napas Mika sedikit terengah, lalu ia berbalik dan memutuskan
untuk pergi dari lingkup dapur.

"Mika?"

Nathan jelas terheran melihat kepergian Mika yang tanpa kata-kata. Namun kini
Nathan sedang mencerna semuanya dan mulai menyambungkan nya satu per satu. Alasan
mengapa Mika ingin mempersiapkan diri dulu dan menunda kehamilan. Melihat Mika yang
melenggang pergi setelah Nathan mengungkit tentang kehamilan itu Nathan menyadari
bahwa semua permasalahannya memang di sana. Hanya saja Nathan belum cukup yakin apa
yang terjadi. Nathan masih memerlukan alasan detilnya.

Menunggu Mika bercerita adalah hal yang mustahil, Nathan harus memutar otak untuk
membuat Mika menceritakannya, well, rasanya ia harus melakukan sesuatu.

Nathan tak segera menghampiri Mika, lagi-lagi, ia memberikan Mika waktu untuk
menenangkan dirinya sendiri. Nathan memutuskan untuk menyelesaikan masakannya baru
menghampiri Mika dan mengajaknya berbicara lagi.

Setelah Nathan menyelesaikan masakannya dan hendak menghampiri Mika, ponsel di saku
celananya bergetar lagi dan Nathan memutuskan untuk mengangkatnya.

Panggilan dari Tora…

"Halo Nathan, kamu sudah tahu kan kalau aku di sini untuk menanyakan apakah kau
sudah menyiapkan rencana untuk mempertemukan ku lagi dengan Trixie?" ujarnya di
seberang telepon.

Nathan mengembuskan napas kesal, ia tahu apa yang ingin dikatakan lelaki itu. Tentu
saja semua ini tentang Trixie. Tidak mengangkat panggilan Tora adalah percuma,
sebab meski Nathan menghindarinya, lelaki itu pasti akan datang ke kantor atau
bahkan ke rumah. Seperti yang sudah semua orang tahu, Tora tidak pernah menyerah
untuk mencapai pada tujuannya.

"Aku akan memberikanmu nomornya dan kau berusahalah sendiri untuk menemuinya,"
tawar Nathan.

"Hei, ayolah, perjanjian awalnya tidak begitu. Aku ingin bertemu secara langsung,
bukan melalui ponsel, kawan. Aku ingin memberikan sesuatu yang berkesan untuknya."

Nathan berdecak. "Memangnya di mana kau ingin menemuinya?"

"Pesawat, kalau di pesawat kan dia tidak bisa kabur ke mana pun. Aku bisa duduk
berdua dengan dia. Kau liburan sejenak. Bagaimana?"

"Jangan gila, aku tidak bisa meninggalkan Mika," ketus Nathan.

"Dua hari saja, Nat. Pakailah alasan perjalanan bisnis. Ayolah, Nat. Ini lah harga
yang harus kau bayar."

"Tidak, aku tidak mau." Nathan lantas langsung memutuskan panggilannya secara
sepihak. Ia menatap ponselnya lagi sebab kali ini panggilan dari Hendrik.

"Ada apa lagi?" Nathan bersuara agak ketus di seberang telepon.

"Cuma ingin mengonfirmasi kebenaran, sekretaris papamu datang ke kantor, kau serius
akan menggantikannya datang ke acara amal terbesar yang diselenggarakan di Bali?"

Nathan terdiam sejenak, ia membeo. Ia memang berjanji pada papanya akan membantu
urusannya yang belum selesai, tetapi tidak ke Bali dengan jadwalnya yang padat
juga. Ia tidak bisa meninggalkan Mika dalam keadaan begini. Tetapi ia sedang
memikirkan, ini bisa jadi kesempatan untuk menyetujui permintaan Tora dan terbebas
dari hutang budinya. Toh, ia bisa mengajak Mika bersamanya.

"Tetapi berada di satu pesawat dengan istri dan mantan kekasih, apa tidak masalah,
ya?"

Anda mungkin juga menyukai