Anda di halaman 1dari 1045

Struktur ; winrina au

By: @gyeoulwintr a.k.a Git

"Mikirin struktur bangunan itu pening, rin. Tapi kalo


mikirin kamu sih itu penting."
from this:
Winonna Mateen. 20 Tahun. Mahasiswa jurusan Teknik Sipil.
Vianca Karin. 20 Tahun. Mahasiswa jurusan Arsitektur.
•Winonna's circle
•Karin's circle
01.
Maket : tiruan tiga dimensi untuk memberikan visualisasi gambaran bangunan atau area
yang dimaksud.
Site model : gambaran respon bangunan terhadap lingkungan sekitar (contoh : bentuk
permukaan tanah)
02. tunggu
03. mb
04. winonna's pov
05. tobat
06.
07. mabok
08. A gasie
09. nahloh
10. Mika gimana si
11. Temu
August 13, 2021

Karin baru saja menyelesaikan penyampaian progress terakhir tugasnya dengan Pak Desta. Karin
melangkah dengan kondisi mood yang baik karena saat penyampaian tugasnya, Karin dipuji oleh
dosen nya.

Karin menuju mobil pribadi nya sambil membawa maket dan beberapa keperluan tugasnya. Seperti
anak jurusan arsitektur biasanya, Karin sedikit kewalahan membawa maket berskala 1:100 itu.

Langkah karin pun sangat hati-hati karena menurut dia maket nya adalah nyawa nya. Butuh berhari-
hari sampai semua tugas yang ada selesai.

Internal sekitar dua hari lagi, Karin sudah menyelesaikan sekitar 95% dari tugasnya. Hanya beberapa
bagian kecil yang perlu diperbaiki.

“Karin!”

Suara Gifani membuat langkah Karina terhenti. Karina mencari arah sumber suara dan menemukan
Gifani—teman seperjuangannya—sedang berjalan ke arah dirinya.

“Loh lo ngga review tugas sama Pak Desta?” tanya Karin.

“Gue urutan ke-10. Lo udah selesai?” Karina mengangguk.

Gifani melihat ke maket yang sedang dibawa oleh Karina, “Wah gila sih gue liat dari foto yang lo
upload di twitter udah bagus banget, gue liat langsung makin bagus.”

“Biasa aja kali, gi. Punya lo juga bagus itu, gue rasa sekarang lo mainnya kotak-kotak gitu ya
desainnya.” Karin dan Gifani tertawa kecil.

“Iya gue bosen banget kalo bentuknya melengkung-melengkung gitu.”

“As expected, seorang Gifani pasti selalu coba hal baru.”

TING!

Gifani merogoh handphone yang ada di kantong celana nya. “Eh, rin. Gue duluan ya, udah mulai
urutan ke-8 nih.”

“Okay! Good luck, gi. Pak Desta lagi galak tuh.” Karin ketawa, tentu Pak Desta tidak sedang galak.
Karin hanya ingin mengerjai temannya dan terbukti berhasil karna muka Gifani berubah menjadi
panik.

“Tuhan, ini kenapa parkiran penuh semua sih.”


“Ini kalo bukan karena si Mika gue gak bakal telat.”

“Mika emang terkadang kudu gue jadiin tumbal proyek.”

Winonna mencari parkiran untuk mobil yang dia bawa.

“Ah okay disitu.” Winonna segera bergegas mengambil tas dan keluar dari mobil. Winonna berlari
menuju lorong gedung C tempat kelas pagi ini berada.

Waktu menunjukkan pukul 8.25. Winonna mempercepat langkahnya, “Ayo bisa win, setengah
sembilan teng sampe kelas.” monolog Winonna.

Handphone Winonna bergetar, Winonna merogoh handphone nya dari saku.

“Halo”

“Win, lo dimana anjir ini udah mau setengah sembilan.”

“Ini gue lagi lari ke kelas.”

“Mika lagi nyusulin lo, win.”

“HAH—”

BRUKK...

“Eh—sorry-sorry.” Winonna baru saja menabrak seorang perempuan. Namun, Winonna tetap berlari
meninggalkan perempuan yang baru saja dia tabrak. Terdengar teriakan dan sumpah serapah di
belakang Winonna.

“Gue tutup dulu, na.” Winonna mematikan sambungan telfon dengan Nana dan kembali berlari
kencang menuju kelas.

“Gila lo win, nyaris banget telat 2 menit.” teriak Reska.

Winonna duduk di depan Reska dan tak henti mengambil napas dalam-dalam. “Mana si Mika
monyet? Gara-gara dia ngasih info palsu gue gak masang alarm pagi ini. Untung Nana telfon gue.”

“Lah, Mika nyamperin lo anjir?” jelas Reska.

“Hah? Gue gak ketemu dia perasaan.” Winonna mengambil minuman dari tas nya.

Beberapa saat kemudian, Mika datang bersama dengan Bu Neneng.

Winonna menatap tajam Mika, seakan berkata kena lo Mik abis kelas
12. akhlakn't
13. untung ada gifani
14. rara (temen bph karin yang ga deket deket banget)
15. deg degan gasie
16. gimana nih winonna?
17. semoga dijauhkan dari teman seperti winonna
18. sadar
19.
20. teknik bangunan : mata kuliah dimana diajarkan untuk merumuskan proses desain
teknis konstruksi dan struktur serta menganalisa teknologi bangunan
21.
22.
23. karin
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30. duarius
31. next day
32. selfie cantik dari karin
33. yakin nih ga tertarik?
34. reska sok asik
35.
36. mager gasi
37. neraka
38. kwangya university
39. bersama lia
40.
41. foto kedua adalah maket dan foto ketiga adalah model detail. Model detail sendiri adalah
potongan model untuk nunjukin bagaimana struktur fondasi dari atap sampai tanah.
42. winonna's pov
43. blonde
44. lama
45. Bertemu Siapa?

Winonna yang sedang asik bermain twitter serta melihat chat group bersama teman-temannya yang
mengolok dirinya sehabis dihubungi oleh pihak humas kampus, menerima pesan dari Mika untuk
segera menemuinya.

Winonna memutuskan untuk turun dari mobilnya dan berjalan menuju Kantek atau Kantin Teknik
untuk menemui Mika.

“Di dalem mobil aja berasa neraka nya, di luar begini tambah kerasa.”

“Harusnya gue isi aja kali ya format keluhan dari humas kampus, jarang banget ada pohon.”

“Kalo bukan karena Mika juga ogah banget gue ke kampus.”

Tangan Winonna membawa beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengerjakan tugas teknik
bangunan.

Setelah sampai di Kantin Teknik, Winonna melihat Mika yang sedang berbincang dengan orang lain.

“Woy, Mika!” teriak Winonna. Mika menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. “Eh Win, sini!”
Winonna berjalan menuju Mika.

“Kenalin ini Winonna Mateen. Temen deket gue. Win, kenalin ini anak arsitektur.” jelas Mika.

Winonna yang baru saja mau duduk menghentikan aktivitasnya, “Lo anak arsitektur? Kenapa akhir-
akhir ini hidup gue ditemuin sama anak arsi deh.” tanya Winonna.

“Haha Iya, Win. Kenalin gue Lia.” Winonna memegang tangan yang terulur di depannya, “Gue
Winonna, salam kenal.”

“Iya gue tau lo kok.” Lia tersenyum melihat Winonna.

“Loh kok lo bisa kenal gue?” tanya Winonna sambil mengeluarkan beberapa kertas yang dia bawa.

“Winonna Mateen, anak Teknik Sipil Angkatan 2018, langganan asdos, dan sempet jadi mahasiswa
favorit pas ospek fakultas. Siapa yang gak tau?” jelas Lia sambil meminum minumannya.

“Wah gila, mahasiswa favorit kan gak semua nya tau ya soalnya emang gak dipublikasiin. Lo tau
darimana gila?” Winonna merasa aneh karna orang yang baru saja ia temui ini mengetahui segalanya
tentang dirinya.

“Kakak gue anak sipil angkatan 16. Terus dia sempet cerita gitu deh tentang ospek fakultas.” jelas Lia.

“Abangnya si Bang Brian, Win.” Mika menyela.


“OHH BANG BRIAN? WAH GILA ITU ORANG PALING BAIK SEKAMPUS.” Winonna
bersemangat mengingat betapa baiknya kakak tingkat satu itu. Winonna masih ingat bagaimana Bang
Brian selalu memberikan Winonna nasihat akademik dan nasihat kehidupan.

“Biasa aja dia mah.” jelas Lia.

“Gak biasa, li.” Winonna meminum iced americano yang ia beli saat menuju kampus tadi.

“By the way, lo tau kan bocah satu ini nabrak temen lo?” tanya Mika.

“Tau lah, nabrak si Karin, kan?” Lia tertawa menunjukkan eye smile yang ia punya.

“Bahas itu mulu, gumoh gue. Temen lo nyebelin banget, li.” jelas Winonna.

“Dia sebenernya gak senyebelin yang lo liat, win. Lagian siapa sih yang gak marah tugasnya
dihancurin?” Winonna merespon dengan mendengus.

“Eh iya, ini gue kenapa disuruh ke kampus?” tanya Winonna.

“Oh iya, keasikan ngobrol sampe lupa gue. Dua hari lagi kan perhitungan suara, dari survei sementara
sih katanya kemungkinan besar gue bisa menang. Gue mau kasih tau lo dulu, si Reska gabisa kesini
soalnya.”

“Gak perlu pake survei juga gue tau lo pasti menang.” jelas Winonna.

“Ya nggak juga lah!”

“Terus kenapa si Lia disini?” tanya Winonna. Mika dan Lia melihat satu sama lain,

“Temenin gue”

“Temenin Mika.”

Winonna memicingkan mata nya, “Mencurigakan banget lo berdua, jangan keseringam beduaan nanti
ketiga nya setan!”

“Loh, lo dong setannya kan kita bertiga.”

“Emang mulut lo perlu dididik mik gue rasa.”

“Udah-udah balik lagi ke topik. Nah kan gue bilang kalo lo harus siapin wawancara kan? Kebetulan
tadinya cuman ada dua kandidat-”

“Terus? nambah kandidatnya?”

“Jangan motong dulu, setan. Kebetulan satu kandidatnya berencana mengundurkan diri, jadi dari pihak
bem merasa gak perlu ada wawancara lagi kalo gue menang.” jelas Mika.
“Kenapa mengundurkan diri?”

“Katanya sih, ada satu dan lain hal. Gue gak tau pasti, anak kongres yang kasih tau.”

Winonna mengangguk, “Berarti gue harus tetep siapin wawancara aja ya? Kan belum pasti kandidat
wakil satunya gak ikut.”

“Iya bener.”

Winonna lagi-lagi hanya mengangguk dan melanjutkan tugas yang diberikan oleh orang yang dia
tabrak.

“Susah ya, win?” tanya Lia sambil mendekat ke Winonna dan melihat-lihat yang Winonna kerjakan.

“Ya lumayan sih. Tapi ada beberapa yang gue masih inget sih, jadi gak begitu kesusahan banget.”

“Karin pas banget nanya sama lo, kesukaan dosen nih bocah walaupun kelakuannya kaya titisan dajjal.”
jelas Mika.

“Sembarangan ya kalo ngomong, gue tutup mulut lo pake lakban gypsum.” Winonna melempar kertas
bekas yang ada di dekatnya.

“Kasih tau temen lo tuh li, jangan kejam-kejam banget lah jadi orang. Bayangin ini tugas harus A
nilainya. Matkul gambar teknik gue aja jelek.”

“Jelek lo berapa si? A- kan? Sialan lo merendah untuk meroket.” Mika melempar kembali kertas yang
tadi dilempar oleh Winonna.

Lia hanya tertawa, belum aja habis ini panik.

“Eh, kandidat satunya mau dateng nih.” Lia memainkan handphone dan sesekali melihat ke kanan dan
ke kiri seperti mengecek sesuatu.

“Nah itu dia-disini!” teriak Lia.

“Hai-”

“Nah ini dia orangnya.”

“Kenalin, kandidat lo satunya, Vianka Karin. Arsitektur 18. Orang yang kemarin lo tabrak.” jelas Mika.
Kalo dunia boleh mengizinkan Winonna untuk benar-benar menjadikan Mika tumbal proyek, Winonna bersumpah
akan melakukannya saat ini juga.
46. flashback
47. nahloh
48. hiya
49. Kantin

“Mik, anjir yang bener aja dong” bisik Winonna kepada Mika yang masih menertawakan muka panik
dari temannya.

“Duduk situ, rin.” Lia menunjuk bagian kosong tepat di samping Winonna. Winonna yang tau tempat
sampingnya ditunjuk oleh Lia hanya bisa menunduk pasrah dan berpura-pura sibuk mengerjakan
kertas yang ada di depannya.

“Gue pake kursi itu aja deh gapapa.” Karin menunjuk kursi kosong di belakang Lia.

“Yakin? Gak sakit tuh tulang ekor lo?” tanya Lia. Karin yang mendengar hal tersebut hanya
memberikan tatapan tajam kepada Lia dan memosisikan dirinya berada pada samping Lia, tetapi tepat
di depan Winonna.

Lia bahaya banget mulutnya kalo gak ada Gifani begini.

“Oke, karena dua orang ini udah dateng semua gue mulai aja kali ya.” Mika mulai mengambil buku
catatan dari tas yang diletakan di sampingnya.

Winonna yang masih gugup karena orang di depan nya adalah Karin hanya bisa fokus kepada apa yang
sedang ia kerjakan sekarang sambil mendengar apa yang Mika katakan.

“Win, bisa berhenti dulu gak?” tanya Mika yang membuat aktivitas-berpura-pura-Winonna terhenti.

Karin yang berada di depannya hanya menatap Winonna sekilas dan mengalihkan tatapannya ke Mika.

“Hm.” Winonna memasukkan pensil yang dia pakai ke dalam tempat pensil miliknya.

“Jadi gini, gue kan memang menyalonkan diri untuk menjadi Ketua BEM Fakultas Teknik periode
selanjutnya. Dari hasil survei kasar nunjukin kalo gue kemungkinan besar menang,” Winonna dan yang
lain mulai fokus menyimak apa yang dibicarakan oleh Mika.

“Gue disuruh sama pengurus periode sekarang untuk segera menyiapkan ketua divisi beserta wakil
untuk jaga-jaga. Gue ngambil keputusan buat milih tiga orang, yaitu Winonna, Karin, dan Rara. Tapi
Rara katanya berencana untuk mengundurkan diri karena satu dan lain hal.” lanjut Mika.

“Ini berarti gue kemungkinan besar sama dia?” Winonna menunjuk orang yang berada di depannya
tanpa melihat ke Karin.

“Iya, kemungkinan besar bahkan bisa jadi pasti sama Karin.” jelas Mika. Lia cuman bisa tertawa ketika
melihat Karin yang memutar mata nya setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Mika.

“Gak bisa ya gue pindah divisi lain, mik?” tanya Winonna.

Mika menggeleng, “Gak bisa, gue percaya lo untuk megang divisi Human Resource and Development.“
“Kenapa gue gak-”

“Kalo gitu gue aja yang pindah posisi sama wakil lain.” potong Karin. Winonna melihat ke arah Karin
yang masih menatap fokus ke Mika.

Mika melihat Karin dan Winonna secara bergantian, “Gue coba liat dulu, tapi gue gak menjamin lo
bisa tuker posisi karena gue ngeliat potensi lo juga rin.”

Karin hanya mengangguk sebagai respon, “Kabarin gue secepatnya ya, mik.”

“Okay ada yang mau ditanyain lagi?” tanya Mika.

“Ada, lo sama Lia kenapa lengket banget akhir-akhir ini?” tanya Winonna yang membuat Karin
menahan tawa nya.

“Yee gak jelas lo nanya nya, skip!”

“Li, jelasin kenapa?” kali ini Karin yang bertanya kepada Lia. Lia hanya diam dan terlihat menahan
senyum,

“Tuh! Tuh! Wah bener sih kalian ada apa-apanya.” Winonna sampai berdiri melihat respon dari Lia.

“Win, lo sekali lagi ngomong gak gue ajak lagi ke sen-hmphh” Winonna berdiri dari kursi nya dan
segera menutup mulut Mika sambil menatap tajam Mika.

Jangan ngomong depan mereka

Karin yang melihat situasi sudah tidak terlalu penting dan badannya yang sudah terasa sangat lelah
memutuskan untuk izin pulang terlebih dahulu kepada Mika dan Lia, kecuali Winonna.

“Lo naik apa tadi kesini?” tanya Lia.

“Gereb, kalo gue nyetir bisa nabrak yang ada soalnya masih pusing karena begadang.” jelas Karin.

Mika yang mendengar hal tersebut langsung menepuk tangan dan menyenggol Winonna yang sedang
memainkan handphone nya, “Sama si setan satu ini aja, rin.”

Winonna yang merasa ada tanda bahaya menoleh ke Mika, “Apa-apaan anjir?”

“Kasian itu, dia begadang juga karena lo rusakin maket nya. Kalo dia kenapa-kenapa dijalan atau dicul-

“Ngaco banget lo kalo ngomong! Ngga ah, kan bisa sendiri. Tadi aja kesini bisa sendiri kok.”

“Iya gue bisa sendiri kok.”

Winonna dan Karin tidak melihat satu sama lain bahkan hanya satu kali mereka melihat satu sama lain
sejak bertemu tadi.
“Gue sama Mika mau ke mal dulu, ada yang perlu dibeli. Jadi kita disini dulu”

“Nah iya, udah lah win berdua aja. Katanya lo mau buru-buru balik.”

“Ngg-”

“Yaudah gapapa kok, santai aja. Gue udah bilang kan tadi kalo gue sendiri aja. Gue duluan ya.”

Karin langsung pergi meninggalkan ketiga orang tersebut dan berjalan ke luar kantin. Karin membuka
handphone nya dan mencari aplikasi untuk memesan mobil. Kenapa mobil? Karena Karin merasa jika
memakai motor maka bisa saja dia terjatuh karena terlalu mengantuk.

Mika yang melihat Karin pergi menatap Winonna, “Gimana si lo, win? Kasian asli.”

“Kalo kasian kenapa gak lo aja yang anter dia?”

“Ya kan gue nanti mau sama Lia pergi.”

“Yaudah gue juga masih mau di sini kok sebentar.”

Winonna mengambil laptop di tas nya dan menyalakan laptop tersebut. Winonna mengecek beberapa
tugas laporan yang sudah hampir selesai dikerjakan.

Baru 10 menit berlalu, Winonna merasa jika ia perlu di kost untuk mengerjakan tugasnya.

Lia dan Mika juga memutuskan untuk balik karena sudah tidak ada yang perlu dibicarakan.

“Lo duluan aja, gue mau ke toilet dulu.” jelas Winonna sambil merapihkan barang-barang miliknya di
meja.

“Yaudah, duluan ya win.”

“Iye, awas jangan bezinah lu bedua.”

“Hm, mulut.”

Winonna tertawa kecil, Mika dan Lia pergi meninggalkan Winonna.

Winonna yang baru saja keluar dari toilet merasa seperti keluar di dunia lain.

Bukan, bukan karena Winonna melihat hantu atau sejenisnya. Namun, Winonna melihat sekarang
awan sangat mendung dan sudah mulai gerimis.

“Untung gue gak jadi cuci mobil tadi.”


TING

Handphone Winonna berbunyi bersamaan dengan Winonna yang baru saja keluar dari gedung tempat
ia membuang air kecil.

“Loh?”

10 menit..

15 menit..

“Yaudahlah.”
50.
51.
52. notif hp nya winonna tadi
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68. Rumah

“Rumah lo dimana?”

“Iya?”

“Rumah, rumah lo dimana?” tanya Winonna.

Mobil hitam Winonna sudah mulai berjalan ke luar kampus. Winonna merasa aneh, barusan cuaca
yang ada sangat gelap. Namun, kali ini tiba-tiba cuaca menjadi cerah walaupun tetap turun hujan.

“Rumah gue di Elok Indah. Gak terlalu jauh dari kampus. Nanti lo turunin depan komplek perumahan
aja, gue beli payung untuk jalan sendiri.” Karin berusaha untuk menatap Winonna yang mengangguk
sebagai respon dan masih fokus menyetir.

“Ada cara mudah kenapa lo pake cara sulit, rin?” Walaupun terkesan tajam tapi Winonna mengatakan
hal itu dengan halus, sangat halus.

“H-hm maksud lo?”

“Ya mending gue anter aja sampe depan rumah lo. Tenang gue gak akan balik lagi untuk ngedemoin
lo karna ngebabuin gue tugas tekbang.” Winonna tertawa. Karin melihat punggung Winonna, “Kalo
lo gak keberatan sih gue gapapa.”

“Ya keberatan sih sebenernya,”

“Gue keberatan, tapi lebih berat lagi rasanya kalo gue denger lo sakit karena kehujanan padahal
sebenernya gue bisa aja anter lo sampe depan rumah.” jelas Winonna sambil sesekali melihat Karin
dari kaca spion tengah.

“Jangan geer, gue emang gak bisa liat orang sakit karena gue.” Winonna yang melihat Karin
menatapnya aneh memilih untuk memberikan klarifikasi.

Mobil Winonna berhenti di lampu merah, suasana canggung semakin terasa di setiap menitnya.

“Tugas gue gimana?” tanya Karin mencoba membuka topik baru.

“Aman kok. Besok jam 8 kan?” tanya Winonna.

“Iya, jam 8. Gak boleh telat.” Karin menatap Winonna, begitu juga Winonna yang menghadap
belakang untuk menatap Karin.

Satu detik..

Dua detik..
Winonna menyudahi kegiatan tatap-menatap yang dilakukan oleh dirinya dan Karin. “Iya elah, bawel
juga lo.” Winonna mengelus kasar stir yang sedang ia pegang.

“Itu depan nanti samping alfamerit lo belok kiri ya.” jelas Karin sambil memasukan handphone di
tangannya. Winonna hanya bergumam untuk memberi respon.

Sebelum mobil Winonna berjalan masuk ke dalam komplek perumahan Karin, satpam yang berjaga
memberhentikan mobil milik Winonna.

“Selamat siang-eh Mbak Karin.” senyum ramah dari satpam tersebut mengembang saat melihat salah
satu penumpangnya adalah Karin.

“Izin masuk ya, Pak.” Karin tersenyum ramah.

“Mbak gereb, ya? Bisa tolong tinggalkan KTP dulu disini.” tanya satpam pada Winonna. Winonna
menatap satpam bingung, “Muka saya kaya mba-mba gereb ya, pak?”

Satpam yang melihat Winonna menatap Karin. Karin tertawa, “Itu temen saya pak.”

“Oalaah mbak nya bilang dong! Abisan saya kira gereb soalnya Mbak Karin di belakang. Maaf ya
mbak!”

Winonna ikut tertawa, “Iya gapapa, pak. Jadi kapan nih gerbang nya bisa dibuka?” satpam tersebut
langsung bergegas untuk membuka gerbang dari perumahan tersebut dan memberikan arahan tangan
seakan memperbolehkan mobil Winonna untuk masuk.

“Terima kasih, ya. Maaf banget ngerepotin.”

Karin sudah di luar mobil Winonna dan berbicara pada Winonna yang berada di dalam mobil, menatap
Karina sambil membuka jendela mobil.

“Santai aja,” Karin mengangguk. Winonna menutup kembali jendela.

Karin balik badan dan mulai berjalan masuk ke dalam rumah karena kondisi masih gerimis.

Namun, Winonna kembali membuka jendela mobil,

“Eh, besok lo internal, kan? Good luck ya. Maaf gue bikin kekacauan kemarin, semoga beneran ikhlas
maafin nya.”

Belum sempat menjawab, Winonna sudah menaikan kembali jendela mobil dan melaju pergi.

Alam semesta menjadi saksi, takdir tidak akan bisa terus dihindari.
69.
70.
71.

72.
73.
74.

75.
76.

77.
78.
79.

80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.

97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109. next day
110.
111. Internal

Karin berjalan menuju wilayah Fakultas Teknik sambil membawa tugas-tugas yang akan dinilai dalam
internal nanti. Karin berjalan dengan hati-hati mengingat insiden tabrakan dengan Winonna yang
membuat Karin trauma.

Karin melihat Winonna berdiri dekat Gedung Departemen Arsitektur sambil memainkan handphone
dan melihat sekitar,

“Win!”

Winonna menoleh ke Karin yang baru saja memanggilnya, “Eh, rin.”

“Ini tugasnya.” Winonna memberikan sebuah map berukuran A1 kepada Karin. Winonna melihat
Karin sekilas, hanya sesekali membuat kontak mata.

“Ah iya, sebentar.” Karin mengambil map dari tangan Winonna dan pelan-pelan menurunkan
beberapa keperluan tugasnya dan meletakan di meja dekat dirinya.

Melihat Karin yang sedikit kebingungan meletakkan posisi yang pas untuk memegang tugas-tugas yang
ia bawa, Winonna berinisiatif memberikan bantuan untuk memasukkan tugas tekbang ke dalam tas
Karin.

“Mau gue bantu masukin ke tas lo?” tanya Winonna

“Eh gak usah, tas gue juga gak akan muat untuk kertasnya. Nanti yang ada lecek.” jelas Karin.

Karin meletakkan tugas tekbang yang diberikan oleh Winonna tepat dibawah maket yang ia bawa
bersama kertas lain berukuran A1 yang juga merupakan tugasnya.

“Lo beneran gapapa bawa begitu? Keliatan ribet banget.” tanya Winonna.

“Udah biasa kok, asal gak ada yang nabrak aja.” Karin tertawa kecil. Winonna menggaruk tengkuk nya
yang tidak gatal.

Make segala diingetin.

“Gue duluan ya? Thanks banget, win. Gue harap beneran dapet A ya sebagai bentuk tanggung jawab
lo.”

“Lo masih gak bisa maafin gue ya, rin?” tanya Winonna.

Karin cuman mendelikkan bahu kemudian berjalan meninggalkan Winonna.

“Rin, tunggu bentar!”

Winonna menyusul Karin dan berdiri tepat di depan Karin, “Hari ini lo internal, kan?”
Winonna mengeluarkan barang dari saku nya dan kemudian meletakkan di atas maket Karin,

“Almarhum nyokap gue suka kasih ini sebelum gue ada ujian atau penilaian, bisa buat gue lebih tenang
dan fokus.”

Karin melihat sebungkus cokelat di atas maket miliknya dan melihat Winonna yang tersenyum ke arah
nya.

“Ini lo nyogok gue, ya?” tanya Karin.

Dengan cepat Winonna menggelengkan kepala, “Engga kok. Gue kasih sebagai bentuk penyemangat
kok. Jangan suudzon, gak baik.”

Winonna meninggalkan Karin sebelum Karin mengucapkan terima kasih.

“Oh iya, nih tangkep!” Winonna melempar jepitan rambut Karin dan membuat Karin hampir terjatuh
karena mengambil jepitan rambut miliknya.

“Ih, winonna!” Karin menatap tajam Winonna. Winonna hanya tersenyum dan berjalan keluar dari
Gedung Departemen Arsitektur.

“Hampir aja maket gue jatoh” Karin mengelus maket yang ada di tangannya kemudian berjalan menuju
kelas nya.

“Ada yang abis dikasih cokelat nih.”

“Ada yang abis dibilang cantik juga nih.”

Karin menatap malas kedua temannya yang sedang meledek dan tertawa kecil, “Bawel deh kalian.”

“By the way, gimana kalian udah siap?” tanya Gifani.

“Siap gak siap lah, gue juga udah pasrah banget.” jelas Lia.

“Apalagi gue gila, lo liat nih model detail gue berubah dari yang awal. Ini bakal dikurangin sih nilainya.”
Karin menunjukkan model detail kepada teman-temannya.

“Tapi gue yakin lo maju eksternal lagi sih, rin.” Lia mengambil model detail Karin dan melihat secara
keseluruhan, “Gak terlalu jauh beda kok.”

“Kalo Karin gak eksternal mah aneh namanya, li.” Gifani tertawa kecil.

“Lo juga langganan eksternal ya, gi. Jangan merendah untuk meroket gitu dong.” Karin memukul kecil
bahu Gifani. Mereka bertiga tertawa.
Tak butuh waktu lama Pak Desta datang bersama beberapa dosen arsitektur lainnya kemudian
membuka internal.

Satu demi satu pekerjaan mahasiswa diliat dan diberi nilai, sampai pada akhirnya giliran Karin untuk
dinilai.

“Vianka Karin,” Pak Desta beserta para dosen melihat pekerjaan dari Vianka Karin.

“Iya pak.”

“Silahkan, dipresentasikan.” Karin memulai presentasi dengan menjelaskan tugas yang ia kerjakan.
Mulai dari model detail, maket, site model, denah potongan sampai ke 4 kertas A1.

Pak Desta dan para dosen melihat semua pekerjaan Karin dan sedikit berbincang untuk penilaian,
sesekali dosen tersebut melihat secara detail maket yang dibuat dan dosen lain melihat hasil A1
renderan yang dibuat oleh Karin.

“Ini kok berbeda dari progress akhir kamu ya, rin?” Pak Desta menunjuk model detail milik Karina.

“Iya pak, sempat ada beberapa masalah jadi saya harus mengulang kembali model detailnya. Tapi saya
tidak merubah sama sekali modelnya jadi semua masih sama, Pak.” jelas Karin. Para dosen
mengangguk dan kembali melihat pekerjaan dari Karin.

Setelah beberapa pertanyaan dilontarkan dan dijawab dengan lancar oleh Karin, para dosen berdiskusi
dan mulai memberikan penilaian atas pekerjaan Karin.

“Baik, Karin. Kamu selalu memberikan hasil yang baik di setiap studio, saya merasa puas atas pekerjaan
kamu. Sejauh ini saya paling puas sama hasil kamu dibandingkan dengan yang lain,”

Karin tersenyum dan mengangguk,

“Tapi sayang sekali, model detail kamu kurang memuaskan di studio kali ini. Saya tadinya mau
memberikan kamu nilai A karena semua udah memenuhi checklist. Tapi boleh deh saya kasih A- ya,
kamu maju eksternal lagi ya untuk studio ini.” jelas Pak Desta.

Karin menghela napas lega dan tersenyum lebar, “Terima kasih banyak bapak-bapak sekalian.”

“Ya. Tolong diperbaiki ya, saya gak mau kamu eksternal masih begini model detailnya.” Pak Desta
menepuk pundak Karin kemudian berjalan ke mahasiswa selanjutnya.

“Siap, Pak.”

“Wah gila sih bener kan lo eksternal lagi!” Gifani dan Lia datang ke meja presentasi setelah melihat
Karin selesai dinilai.

“Gue gak eksternal dulu nih studio kali ini.” jelas Gifani.
“Yah sayang banget, lo eksternal kan li?” tanya Karin. Lia hanya mengangguk sebagai respon.

“Kalian harus fokus tuh, terutama Karin nih ada yang deketin biasanya gak fokus.” ledek Gifani sambil
tertawa.

“Bawel deh lo, gi.”

“Bentar lagi juga ada yang jadian sih, gi.” Lia dan Gifani tertawa, Karin hanya menatap malas keduanya.

“Gimana cokelat nya? Enak?” Winonna muncul tiba-tiba saat Karin hendak memasukan barang-
barangnya ke dalam mobil.

“Kaget banget, kaya setan aja lo tiba-tiba muncul.”

Winonna hanya tertawa kecil, “Gimana? Enak gak?”

“Hm, jujur gue belom makan sih. Tadi gue sibuk siapin presentasi.” Karin memasukkan barang-
barangnya ke dalam mobil.

“Lancar?” tanya Winonna sambil menyender pada mobil Karin.

“Syukurnya lancar. Tapi model detail gue yang lo tabrak bikin nilai gue jadi dikurangin. Yah, mau
gimana lagi.” Karin sekarang menutup pintu mobil dan berhadapan dengan Winonna.

Winonna menunduk, “Gue minta maaf, Karin.”

Karin tertawa, “Kemarin aja lo marah-marah ke gue gak terima disalahin. Tapi jujur susah banget sih
mengingat lo hancurin pas banget final progress gue, asal lo tau aja anak arsitektur manapun bakal marah
banget kalo kerjaan mereka dihancurin pas setelah final progress.”

“Kita berdua udah pasti bakal jadi ketua bidang dan wakil ketua bidang. Kalo besok Mika menang,
gue sama lo otomatis kerja bareng,”

“Gue gak mau masih ada yang ngeganjal diantara kita berdua. Jadi, apa yang perlu gue lakuin biar lo
bener-bener maafin gue?” Kalimat terakhir diucapkan Winonna halus.

“Hm, gue gak tau. Jalanin aja dulu kali ya.”

Winonna hanya diam kemudian menatap lekat mata Karin, “Besok sebelum perhitungan suara, ayo
kita ke Aquarium di mal Nano Soho?”
112.
113.
114. sebelum itu
115.
116.
117.
118.
119.
120
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138. Kangen

“Lo serius gapapa?”

“Iya.”

“Okay, ini kunci mobilnya. Lo bisa nyetir, kan?”

“Bisa kok. Lo hati-hati di jalan jangan ngebut.”

“Iya, thanks, rin. Gue nitip ya nih bocah satu.” Reska berpamitan ke Karin untuk pergi mengantar
kakaknya yang ingin melahirkan.

Karin bisa sampai disini karena merasa kasihan dengan Reska yang harus buru-buru dan juga kondisi
Winonna yang sedang tidak baik.

Sebenernya tugas Karin sudah bisa dikatakan hampir selesai, tetapi Karin sebagai orang yang
perfeksionis merasa perlu banyak yang diperbaiki.

“Hngg..mamah”

“Mamahngh..”

“Winonna ayo berdiri dulu.” Karin membujuk Winonna untuk berdiri. Namun nihil, Winonna terus
jongkok dan menundukan kepala sambil terus meracau.

“Win, ayo udah malem banget ini.” Karin mengelus pundak Winonna. Tiba-tiba Winonna
mendongakkan kepala dan menangis, “Gue kangen mamah..”

“Gue gak mau papa hng..papah pulang..”

Karin melihat Winonna, muncul rasa kasihan terhadap Winonna. Bagaimanapun juga Karin pernah
berada di posisi Winonna, merindukan sang Ayah.

“Okay, kita coba ke kost dulu ya?” tanya Karin lembut sambil mengelus rambut Winonna.

Winonna terdiam, “Terus elus..mamah suka ngelus kepala.”

Jika Karin boleh jujur, Winonna yang sekarang sangat berbeda dengan Winonna saat berbicara
dengannya tadi pagi. Winonna seperti anak kecil yang kehilangan permen nya karena jatuh.

Karin terus mengelus kepala Winonna. Posisi mereka saling jongkok menghadap satu sama lain.

Beberapa menit berlalu, Karin merasa sudah waktunya untuk pulang.

“Pulang ya, Win?” tanya Karin. Winonna melihat Karin, kemudian mengangguk sebagai jawaban.
Karin menghela napas lega dan membantu Winonna untuk berdiri. Tidak sulit bagi Karin karna badan
Winonna yang kecil.

Karin membawa nya ke mobil milik Winonna.

“Winonna astaga..”

“Win ini lepas dulu..”

“Win..”

Winonna sedang mengalungkan tangannya di leher Karin dan tertawa kecil. Karin bersusah payah
untuk membopong badan Winonna.

Setelah sampai di depan pintu kost milik Winonna, “Oh iya, kunci pintu nya dimana.”

“Ehm, Win?”

“Hng?”

“Kunci pintu dimana?”

“Hng..gatau”

Karin menghela napas. Percuma menanyakan Winonna di saat seperti ini. Dengan tangan yang terus
bergelayutan di lehernya, Karin mencoba untuk merogoh kantong celana Winonna. Namun, hasilnya
nihil. Karin mencoba untuk merogoh tas dari Winonna dengan bersusah payah karena posisi mereka
saat ini.

“Win sebentar dulu.” Karin masih mencoba merogoh tas Winonna. Posisi muka mereka saat ini saling
berdekatan.

Duh ini gak bisa jauhan apa

Karin mencoba mendorong muka Winonna, tetapi Winonna malah semakin mendekatinya dan
meletakkan kepalanya pada leher Karin.

“Hm, bau mamah.”

Karin terus merogoh dan mendapatkan kunci pintu kost milik Winonna.

“Bau kamu kaya mamah..” Winonna masih terus meletakan kepala nya di leher Karin.

Badan Karin menegang. Posisi dimana Winonna meletakkan kepalanya adalah titik lemah dari
badannya ditambah dengan hembusan napas Winonna. Karin mencoba untuk menahan gejolak yang
ada di badannya dan membuka pintu.
“Kamu mirip mamah..” racau Winonna terus menerus.

“I-iya.”

Karin membawa Winonna ke kamar milik Winonna. Namun, posisi mereka yang masih seperti tadi
membuat Karin kesusahan untuk membawa Winonna ke kasur milik Winonna.

“Kamu siapa? Kamu mirip mamah..”

“Win, boleh lepas?” Karin berusaha untuk melepaskan Winonna yang masih mengalungkan tangannya
di leher Karin.

Winonna menggeleng, “Gak mau..mamah jangan pergi.”

“E-eh”

Posisi mereka saat ini sama-sama terjatuh di kasur Winonna. Masalahnya adalah Winonna berada di
atas Karin dengan kondisi tetap masih meletakkan kepala di leher milik Karin.

“Aduh lo nyusahin banget sih.” Karin sudah melewati batas kesabaran.

“Aduh, win jangan napas di leher gue.”

“Gak mau..jangan pergi.”

“Iya-iya ini gue gak pergi, tapi lepasin dulu.” Karin berusaha melepaskan tangan Winonna untuk
kesekian kalinya, tetapi tenaga Winonna jauh lebih besar.

“Tuhan, ini kenapa gue tadi iyain sih.”

“Gue berasa ngurus bayi besar.”

Tenaga Karin habis karena terus mencoba melepas tangan Winonna. Namun, terdengar suara
dengkuran halus dari Winonna. Karin mengintip sedikit dan melihat Winonna sudah tertidur.

Karin mencoba untuk melepaskan tangan milik Winonna dan berhasil. Kemudian Karin mendorong
Winonna ke samping badannya.

“ASTAGA WIN!”

Winonna malah semakin menarik Karin dan posisi mereka seperti berpelukan, “Jangan pergi.” jelas
Winonna dengan suara yang sangat kecil.

Karin mencoba melepas lagi, tetapi kali ini benar-benar tidak bisa dilepas. Karin sudah sangat lelah,
dia menghela napas kemudian melihat Winonna yang kini berada di depannya.

“Lo kangen banget ya sama nyokap lo?”


“Gue juga kangen sama papah.”

Karin tersenyum kecil, “Papah selalu dukung apapun yang gue mau. Dulu pas SD, gue suka banget
liat gedung-gedung tinggi kalo lagi jalan-jalan,”

“Gue selalu nanya ke papah gimana cara bangun gedung setinggi itu. Papah selalu jawab, tukang nya
terbang dan punya sayap.” Karin tertawa.

“Konyol banget, papah selalu bikin lelucon yang bikin gue ketawa dan gue percaya-percaya aja.”

“Sampai akhirnya, semakin besar gue semakin tau dunia profesi. Gue akhirnya paham kalo untuk bisa
bangun gedung tinggi kaya gitu, bisa merancang gedung-gedung keren yang bentuknya bahkan gak
pernah kepikiran sama kita itu ya harus jadi arsitek.”

“Papah selalu bilang, dia mau anaknya bisa bikin salah satu bangunan tinggi atau bangunan yang
berguna buat orang sekitar. Papah selalu yakinin gue setiap orang berhak punya mimpi yang besar dan
jangan pernah takut untuk wujudin mimpi itu. Papah gak pernah berhenti ngomong ke orang sekitar
kalo anaknya bakal jadi arsitek yang sukses nantinya,”

“Papah sebangga itu dengan mimpi gue, win.”

“Tapi sebelum gue bisa wujudin itu semua, papah udah dipanggil Tuhan. Tepat saat pengumuman gue
keterima di jurusan arsitek.”

Karin tertawa miris, dia tidak bisa menahan rasa sedih yang ia rasa. Winonna tidak mendengar, tapi
rasanya Karin sangat lega karena menceritakan apa yang ia pendam selama ini.

Karin menangis, “Gue juga kangen papah..”

Tangis Karin berhenti sebentar saat tangan Winonna memeluk erat dirinya, “Win? Lo bangun ya?”

Tidak ada respon, hanya dengkuran halus yang terdengar.

Karin kembali menangis dan terlelap karena terlalu lelah.

Kedua orang tersebut tidur dalam posisi saling memeluk satu sama lain. Tidak terpikir bagaimana
nantinya besok ketika matahari sudah terbit.
139.
140. Bangun

Pagi hari pukul 07.30, salah satu handphone mengeluarkan suara dan getaran. Salah satu dari kedua orang
yang tengah tertidur di kasur membuka matanya dan mencoba untuk mematikan suara yang bersumber
dari handphone

Lima menit kemudian, benda tersebut mengeluarkan suara dan getaran kembali. Bukan suara
panggilan, melainkan suara alarm.

“Duh..” Orang tersebut kembali terbangun dan mencoba mengumpulkan kesadaran.

Bentar ini kan bukan alarm gue

“Ah iya..”

Karin tersadar bahwa tadi malam dia mengantar Winonna-bayi besar-yang kondisinya tidak
memungkinkan untuk membawa mobil sendiri dan memutuskan untuk mematikan alarm dari
handphone milik Winonna.

Saat ingin bangun, pergerakan Karin tertahan dengan tangan Winonna yang masih memeluknya seperti
tadi malam. Karin menghela napas, ia coba meraba-raba saku celana nya.

Terdapat 25 panggilan tak terjawab dari kontak bernama “Mamah” dan 20 pesan dari Gifani. Karin
menghela napas lagi, kalo ia pulang ke rumah sekarang pasti mamahnya akan memarahinya habis-
habisan. Posisi Karin sekarang sangat tidak nyaman, tetapi dia tadi malam tertidur sangat nyenyak.

Ah iya tadi malam gue nangis

Karin mencoba untuk melepaskan tangan Winonna dari badannya, “Ah akhirnya, dari tadi malem
kek.”

Karin melihat Winonna yang masih tertidur, napasnya teratur dan pelan. Pipi berisi milik Winonna
seperti kempes sebelah karena kepala nya yang menyender pada kasur.

Karin tertawa kecil, “Gemes juga lo.”

“Tapi lo berutang budi sama gue ya, win.”

Karin bangun dari tempat tidur dan duduk untuk meredakan rasa pusing setelah bangun tidur. Karin
melihat sekeliling kamar dari Winonna, “Lumayan rapih juga anaknya.”

Karin berdiri dan melihat-lihat kamar Winonna yang ukurannya lumayan. Terlihat ada buku Advance
Construction Technology karangan Roy Chudley.

“Baca itu juga dia.” Karin tersenyum dan melanjutkan untuk menjelajahi kamar milik Winonna dan
melihat sebuah bingkai di meja belajar milik Winonna.
Ada seorang perempuan yang tengah merangkul Winonna sambil tersenyum lebar dalam foto tersebut,
“Mirip banget, pasti mamahnya. Cantik.” kini Karin tau, wajah cantik dari Winonna beras dari
mamahnya. Namun, asal pipi berisi milik Winonna masih tidak ia ketahui atau bisa saja memang sejak
dari kecil seperti itu.

“Hng..”

Erangan kecil milik Winonna membuat Karin menoleh ke arah kasur. Karin meletakkan bingkai foto
dan berjalan ke arah kasur, “Win?”

Winonna menoleh dan mencoba untuk duduk, Karin membantu Winonna untuk duduk di kasur.

“Hng..kok lo disini? Perasaan tadi lo sama Lia di kampus.”

Oh mimpiin gue nih anak

Karin tersenyum, “Gue punya kekuatan telepati.”

Winonna menatapnya bingung. Karin yang ditatap juga merasa kebingungan.

“Tapi kok lo bisa real banget gini?” tanya Winonna dengan suara serak khas bangun tidur.

Winonna menatap Karin bingung. Karin hanya diam saja, menunggu Winonna sadar bahwa ia tidak
sedang bermimpi.

Winonna mengangkat kedua tangannya, melihat jari-jari tangannya. “Jari gue..satu..dua..tiga..eh hng
satu..dua..empat”

Karin tertawa kecil. Jika Karin boleh mencubit pipi berisi Winonna, ia pasti sekarang sudah
mencubitnya dengan keras. Bagaimana tidak, Winonna yang beberapa hari lalu membuatnya naik
pitam dan membuatnya menangis saat ini sedang bertingkah seperti anak kecil.

Bohong jika Karin tidak merasa gemas terhadap perilaku Winonna yang sekarang masih terus
mengulang untuk menghitung jari-jari di tangannya.

“Kenapa harus hitung jari deh?” tanya Karin.

“Empat...lima...enam..tujuh..delapan..sembilan..sepuluh...SEPULUH! Berarti...” Winonna melihat


Karin, Karin masih tersenyum melihat muka Winonna yang persis seperti anak kecil.

“KARIN? LO VIANKA KARIN?” teriak Winonna.

“Jari gue 10 tandanya gue gak mimpi.” Winonna melihat jari nya lagi dan menatap Karin, “Kok lo ada
di kamar gue?”

“Kok lo bisa masuk?”

“Tadi malem gue sama Reska!”


“Sumpah lo nguntit gue ya?”

“Lo mau ap-huek” Winonna berlari meninggalkan Karin dan berjalan ke kamar mandi untuk
memuntahkan seluruh isi perutnya.

Karin memutar bola mata, “Masih aja sikap gak tau dirinya. Gak berubah ternyata.”

Karin berjalan keluar meninggalkan Winonna yang masih sibuk dengan kegiatannya memuntahkan isi
perutnya akibat semalam. Karin menuju dapur kecil milik Winonna, “Kost berapaan sih ini? Jelek abis
desainnya.”

Karin melihat sekeliling dan menuju kulkas milik Winonna, “Oke ada..ayam..hm...wortel..daun
bawang..” Karin memutuskan untuk mengambil ketiga bahan tersebut dan mengambil panci kecil yang
tergantung di dekat kulkas.

Karin memotong beberapa bagian kecil ayam kemudian memasak ayam tersebut dengan api kecil.
Karin membuat sop ayam untuk dirinya dan Winonna.

Karin terdiam sebentar, “Gue rela capek capek masakin kaya begini. Bener-bener tuh anak berutang
budi sama gue.”

Karin melanjutkan acara masak-memasaknya, Winonna tak kunjung keluar dari kamar. Karin
mendelikkan bahu.

“Lo..kenapa bisa di kost gue?” tanya Winonna yang berjalan dari kamar.

“Mending lo makan dulu baru tanya. Ini sop ayam bagus buat hangover.” Karin meletakkan mangkuk
di atas meja makan.

Winonna masih berdiri terdiam dan melihat ke arah mangkuk dan nasi di meja serta Karin yang sudah
duduk secara bergantian.

“Kenapa? Gue cantik?” goda Karin. Winonna mendengus dan berjalan ke meja makan kemudian
duduk berhadapan dengan Karin.

Winonna mengambil nasi dan sop yang dibuatkan oleh Karin. “Nasi nya gue pake dari sisa nasi yang
ada di magic jar lo. Tadi gue rasa masih bagus kok.” Winonna hanya mengangguk.

Kedua nya memakan makanan yang sudah tersedia. Suasana canggung menyelimuti ruangan tersebut.
Winonna yang masih penasaran mengapa Karin bisa ada di kost nya bahkan di kamarnya membuka
suara, “Udah bisa cerita kenapa lo bisa disini?”

“Ceritanya panjang. Intinya tadi malem lo mabok dan ya gue anterin.” jelas Karin.

“Kenapa lo anterin? Gue kan sama Reska?” tanya Winonna sambil menatap Karin.
“Tanya temen lo aja deh. Males banget pagi-pagi udah kaya wartawan aja lo nanya-nanya.”

Winonna mendengus lagi, percuma gue nanya dia

“By the way, kost lo jelek banget. Liat, ini ruangan gak bagus sirkulasi udara nya,”

“Ruangan tuh butuh yang namanya cross ventilation. Biar udara nya ngalir. Udara tuh alami win kita harus
mengikuti cara kerja mereka untuk jadiin keuntungan buat kita. Ini lo ruangannya cuman single sided
ventilation.” jelas Karin.

“Yang penting kebangun bangunannya.” Winonna menjawab sambil tetap memakan makanannya dan
tidak menatap Karin.

“Ya tapi gak bagus dong udara ruangan ini.”

“Kost-an juga kost-an gue. Lagian juga ini deket sama kampus ya dan murah.”

“Tapi gak worth it banget.”

“Mahasiswa mah yang penting ada tempat untuk istirahat setelah kuliah. Selama lingkungannya bersih,
strategis, dan dekat kampus gue mah fine-fine aja.”

“Gue sih kasih tau aja, win. Udara begini tuh gak bagus.”

“Gue juga ngasih tau aja, rin. Kalo gue gak sekaya itu bisa beli kost yang mahal dan dengan desain
yang bagus.”

Karin menatap Winonna tajam, Winonna yang merasa dirinya diperhatikan menoleh ke Karin dan
mendapatkan Karin yang tengah menatapnya tajam.

“Ya-ya..abisan lo pagi-pagi udah bawel aja.”

“Nyebelin banget sih lo.”

Winonna tidak merespon dan melanjutkan makannya.

Beberapa menit kemudian, kedua orang tersebut selesai sarapan pagi. Winonna mencuci piring serta
panci yang digunakan Karin untuk memasak.

“Lo kesini naik apa?” tanya Winonna.

“Ya naik mobil lo.” jelas Karin.

“Lo tadi malem kesana naik apa?” tanya Winonna lagi.


“Naik gereb.”

“Gila udah malam dan lo naik gereb? Bahaya Karin.” Winonna meninggikan suara ketika tau Karin
menggunakan gereb untuk menyusulnya tadi malam.

“Ya buktinya gue gapapa sekarang.”

Winonna menghela napas, “Jangan gitu lagi. Harusnya biarin aja gue tadi malem.”

“Dari tadi lo bangun, sama sekali gak ada omongan terima kasih ya?” Karin menatap Winonna.
Winonna menunduk, “Ah iya..makasih, rin.”

“Gak mau, makasih aja gak cukup. Anterin gue sekarang ke rumah.” jelas Karin.

“Tapi bukannya siang ini kita ke Aquarium di Mal Nano Soho? Kenapa harus pulang?” tanya Winonna
lembut.

Detak jantung Karin berdetak dengan cepat. Suara lembut dari Winonna dan rencana di siang hari
nanti entah mengapa membuatnya salah tingkah.

Aduh gue kenapa

“Ekhem-ya masa gue gak mandi. Gak ganti baju. Aneh juga lo.” Karin menutup salah tingkahnya
dengan berdeham kecil.

“Lo udah cantik sih gini doang.” Winonna tersenyum dan menunduk. Winonna tidak berbohong,
Karin memang belum mandi dan rambutnya kini hanya diikat acak ke atas. Namun, satu hal yang dari
tadi ia pikirkan adalah,

Karin tetap terlihat cantik.

“Hah? Gimana?” tanya Karin.

“Gapapa.”

“Jadi gimana? Lo setuju gak?”

Winonna menyetujui hal tersebut, tidak sulit permintaan dari Karin. Lagipula, Winonna merasa ia perlu
membalas budi atas bantuan Karin tadi malam sampai pagi ini.
141.
142.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151. sementara itu..
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160. siangnyaaa...
161.
162.
163. Ikan

Karin dan Winonna kini sudah berada di mal dan menuju ke tempat yang ingin mereka kunjungi.
Mereka berjalan berdampingan, sesekali Winonna jalan lebih cepat dibandingkan Karin. Karin
kesulitan untuk menyamai langkah Winonna walaupun kaki karin lebih panjang.

“Ih bisa gak si lo tuh jalan gak usah ngebut? Masih jam setengah satu kok, keburu elah.”

Winonna hanya melirik Karin, kemudian berjalan makin cepat.

“Ih Winonna!” teriak Karin.

Winonna tersenyum lalu berhenti dan membalikan badan melihat Karin yang memasang muka marah
kepadanya.

“Sini.”

“Apa?”

“Sini.” Winonna mengulurkan satu tangannya kepada Karin. Namun, Karina menghepaskan tangan
Winonna dan menjulurkan lidah nya ke Winonna, “Gue duluan. Wle.”

Karin berjalan mendahului Winonna kemudian berlari kecil. Winonna tertawa kecil dan menyusul
Karin.

Setelah berhasil mendekati Karin, Karin yang tidak tahu jika Winonna sudah berada di belakangnya
masih terus berjalan.

“Udah ngeduluin masih aja kesusul.”

Karin menoleh ke belakang, “Ih kok lo cepet banget sih!”

Winonna tertawa dan mengambil tangan Karin menggenggamnya erat, “Ayo barengan jalan cepetnya.”

Karin yang masih kaget tangannya digenggam Winonna hanya diam melihat Winonna yang tersenyum
lebar ke arahnya.

“Winonna! Ini bukan jalan cepet, ini mah lari.”

Winonna hanya tertawa dan masih terus melanjutkan langkahnya.

“Ih jangan cepet-cepet gue capek!”

Winonna berhenti, “Gemes banget sih lo. Kaki doang panjang tapi stamina nya jelek.” Winonna
mengacak pelan rambut Karin kemudian berjalan mendahului Karin.

“Eh tunggu! Suka banget sih ninggalin!” teriak Karin.


“Lo tuh niat ngajak gue jalan gak sih? Mana ada ngajak jalan tapi gue ditinggalin mulu.” Karin merasa
kesal karena terus-terusan ditinggal oleh Winonna.

“Siapa yang bilang ajak jalan? Orang lagi first date.” goda Winonna.

“Aneh lo.”

Winonna mengacak pelan rambut Karin lagi, “Bercanda,”

“Tapi boleh deh, latihan buat first date ya, rin?” tanya Winonna.

“ANEH BANGET SIH.”

“Lo harus tau, tempat ini tuh punya tiga lantai. Spesies hewan disini juga ribuan. Tempat kesukaan gue
sama sepupu gue itu di tempat piranha. Nanti ada deh gue tunjukin tempatnya piranha nya.” jelas
Winonna.

“Kaya tour guide deh lo. Cocok, beralih gih jadi sampingan.”

Karin melihat beberapa hewan disana dan tertarik pada satu hewan yang sedang diam.

“Win! Liat, ini bunglon gak sih?”

“Hah bukan ini mah.” Winonna mendekati Karin dan mengikuti arah mata Karin.

“Ih tapi liat deh ini tuh berubah warna nya ngikutin daun deket dia, tuh.”

“Itu karna lampu di atas ini ga sih warna hijau?” tanya Winonna.

“Liat nih namanya, ini bunglon.” Karin menunjuk pada nama yang tertera di dekat aquarium bunglon
tersebut.

“Kok gue gak liat ini ya pas ke sini sebelumnya.” Karin masih fokus melihat bunglon tersebut.

“Baru? Gak tau deh. Jujur gue juga baru liat padahal ini deket pintu masuk ya.”

Karin hanya mengangguk. Kemudian mereka melanjutkan ke tempat-tempat hewan lain.

“Nih, ini dia tempat piranha. Ayo masuk ke situ, bisa liat lebih jelas.” Winonna menarik tangan Karin
ke tempat untuk melihat piranha.

“Gila gelap banget tapi.” Karin melihat sekeliling area tersebut.


Winonna masih belum melepaskan tangannya dari tangan Karin, “Justru bagus. Tempat sekitarnya
gelap, tapi aquarium piranha nya terang banget. Keliatannya serem ya kaya di film yang biasa kita lihat,”

“Kalo lagi di kegelapan, orang pasti berpikir semua nya bakal sia-sia gak sih? Padahal sebenernya ada
titik terang di dekat dia, tapi dia terlalu takut untuk menuju titik terang itu.”

“Kaya tempat ini, paling sepi. Padahal piranhanya lucu banget itu berenang sana sini, rame-rame.” jelas
Winonna.

“Jujur, gak nyambung.” Karin melihat Winonna yang sedang meletakkan jarinya di kaca aquarium
sambil menunjuk piranha.

Winonna cuman tersenyum kecil dan kembali melihat piranha tersebut.

“Karin, kalo orang lagi jatuh cinta itu rasanya gimana?”


164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.

172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179. Depan Rumah

Mobil hitam milik Winonna sudah masuk di perkarangan kampus. Suasana di dalam mobil terasa
canggung sejak di lampu merah. Karin yang dari tadi terus memikirkan bagaimana cara berbicara
dengan Winonna, sesekali melihat ke arah Winonna.

Karin dan Winonna pergi ke kampus bersama untuk menghadiri perhitungan suara pemilihan ketua
BEM Fakuktas Teknik. Terlebih lagi, mereka berdua adalah partner kerja dalam rencana struktur
keanggotaan yang dibuat oleh Mika.

Winonna yang merasa orang yang disampingnya terlihat gelisah hanya mengerutkan kening, “Lo
kenapa?”

Karin menoleh ke Winonna dan merasa bingung harus menjawab apa. Sejak tadi Karin memikirkan
cara agar Winonna tidak terlalu memusingkan apa yang ada di twiter dengan cara mengajaknya
berbicara.

“Hm—gapapa sih.”

“Oh, abisan keliatan gelisah banget.”

Karin hanya tersenyum. Winonna mendapatkan tempat untuk memberhentikan mobilnya. Setelah
mematikan mesin mobil, Winonna melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil untuk keluar. Karin
pun melakukan hal yang sama.

Winonna dan Karin berjalan bersama ke tempat perhitungan suara berada. Sama seperti di mal,
Winonna jalan lebih dulu dibandingkan Karin.

“Win, pelan-pelan dong.” Karin mencoba untuk berlari kecil menyusul Winonna.

Kecil-kecil lincah banget si Winonna.

Winonna melihat ke belakang dan berhenti sehingga Karin bisa menyusulnya dan berjalan bersama.
Kini mereka berdua berjalan bersama. Winonna hanya diam. Karin mencoba untuk membuka
pembicaraan, “Soal yang di twitter l⁠—”

“Gapapa. Lo gak perlu khawatir.” Winonna melihat ke arah Karin.

“Tapi, gue udah coba untuk minta take down kok, win.” jelas Karin. Winonna tertawa kecil, “Kita kaya
abis diciduk lagi ngedate ya, rin. Padahal lagi jalan biasa. Kayaknya..”

“Kayaknya apa?” tanya Karin.

“Kayaknya emang cocok banget deh kita.” Winonna melanjutkan langkahnya meninggalkan Karin.

“Suka banget ninggalin sih nih orang? Mana tiba-tiba senyum gak jelas. Sinting gue rasa nih orang.”
Karin meneriaki nama Winonna dan berlari untuk menyusul Winonna.
Winonna dan Karin sudah memasuki ruangan tempat perhitungan suara. Disana terdapat banyak
orang dari berbagai jurusan di Fakultas Teknik. Winonna melihat sekitar, tidak banyak yang ia kenal.

Baru beberapa langkah masuk ke dalam ruangan tersebut, suara bisikan dari orang-orang di ruangan
tersebut mulai terdengar di telinga Karin dan Winonna. Karin melihat Winonna ketika terdengar suara
salah satu mahasiswa.

“Waduh ada pasangan baru nih!” mahasiswa disana tertawa. Winonna hanya merespon dengan
senyuman.

“Yah ray lo gak ada kesempatan lagi sih dapetin Karin.” satu teriakan lagi dari mahasiswa lain
menambah gelak tawa di ruangan tersebut.

Winonna ikutan tertawa dan menatap Karin, “Gini ya rasanya jadi artis kena skandal ketauan ngedate.”
Karin memukul kecil lengan Winonna.

“Jangan ikutan gak jelas gitu deh, win.”

Winonna dan Karin sedang mencari kursi kosong untuk mereka duduk. Namun, saat sedang mencari
kursi terdengar suara yang memanggil Winonna.

“Win! Winonna!”

Winonna dan Karin menoleh ke arah sumber suara dan mendapatkan Reska dan Mika sedang
melambaikan tangan ke arah kedua nya.

“Aduh ada Reska lagi.”

“Kenapa?” tanya Karin.

“Woy! Gila ya lo abis ngedate gak bilang-bilang. Eh⁠—hai Karin, ketemu lagi kita.” Reska tersenyum
ke arah Karin.

“Ngedate pala lo ngedate. Orang cuman jalan biasa.” jelas Winonna.

“Tapi aneh gak si mik tiba-tiba ngajak jalan? Biasanya karna emang suka sih mana, kemarin juga kan
bilang Karin itu can⁠—hmphh” Winonna menarik kepala Reska dan membekap mulut dari Reska.

“Aduh lo duluan aja deh, rin.” seru Winonna.

“Gimana? Dia nyusahin banget ya pas mabok?” tanya Mika mengalihkan pembicaraan.

“Hmph⁠—lepas setan.” Reska melepaskan tangan Winonna dari mulutnya.

“Gak usah bacot makanya, setan.”


Karin tertawa melihat perilaku Winonna dan temannya.

“Ya gitu deh, lumayan nyusahin sih. Mana sempet gak bilang makasih kalo gak gue ingetin kayaknya
gak bilang makasih deh.” jelas Karin kepada Mika.

“Wah iya! Dia juga gak makasih sama gue! Emang anak setan dia ini, rin.” Reska menunjuk Winonna
yang sedang menatapnya tajam.

“Kita sebagai temannya Winonna mau mengucapkan makasih ya, rin. Lo jadi repot-repot gitu.” jelas
Mika.

“Iya nih, gue makasih banget sama lo, rin. Kalo gak ada lo kayaknya sekarang Winonna udah ada di
TPA mau dibuang soalnya sampah.” Winonna hanya diam dan menatap Reska tajam.

“Haha, iya. Gapapa kok. Lagian dia udah membalas budi tuh.”

“Oh, make morning kis⁠—hmphhhh” Mulut dari Reska kembali dibekap oleh Winonna, “Mik gue harus
bawa ini anak. Bahaya banget anjir.” Winonna menarik Reska menjauh dari Mika dan Karin. Mika dan
Karin tertawa melihat kelakuan dari Reska dan Winonna.

“Btw, gimana? Lo udah siap belom nih?” tanya Karin.

“Duh, dibilang siap mah mau gak mau harus siap gue, rin. Tapi jujur agak gak pede sih lawannya si
Jeffrey.”

“Yaelah Jeffrey menang tampang doang, mik. Lo menang kualitas kerja, orang udah liat itu kok” jelas
Karin.

“Jangan gitu.” Mika tertawa. “Oh iya lo katanya dua hari lagi mau eksternal ya?” tanya Mika.

“Iya, kok lo tau?” tanya Karin.

“Dari Lia sih. Dia juga lagi siapin eksternal kan?” Karin menatap Mika. Dugaannya semakin kuat, Mika
dan sahabatnya pasti ada hubungan lebih dari teman. “Lo ada apa-apa ya sama Lia?” tanya Karin.

“Enggak kok, kita cum⁠—”

“Permisi semuanya, diharapkan untuk paslon satu dan paslon dua serta para mahasiswa fakultas teknik
mempersiapkan diri di kursi yang sudah disediakan karena sebentar lagi acara akan dimulai.” Suara
menginterupsi percakapan dari Mika dan Karin. Mika berpamitan kepada Karin. Karin mencari kursi
dan tak lama Winonna menyusul Karin bersama Reska. Mereka pun duduk berdekatan.

Setelah perhitungan suara selesai dilaksanakan, hasil menyebutkan bahwa Mika dan wakilnya keluar
sebagai Pemenang dalam pemilihan ketua dan wakil ketua BEM Fakultas Teknik.
Winonna beserta teman-temannya yang berasal dari Teknik Sipil meneriaki Mika dengan bangga.
Bukan tanpa alasan, jurusannya sudah tiga tahun gagal menang dalam pemilihan BEM Fakultas.

Mika dan pasangannya memberikan pidato kemenangan kepada mahasiswa lain. Acara diakhir
berlangsung cepat. Mika meminta Winonna, Karin, Reska serta pengurus dari kabinet nya untuk
berkumpul dan membuka rapat pertama untuk perkenalan pengurus.

Dua jam berlalu, rapat tersebut akhirnya usai setelah Mika dan juga wakilnya menjelaskan pesan-pesan
untuk menjalankan tugas sebagai pengurus BEM Fakultas Teknik kedepannya.

Walaupun masih banyak yang berbincang satu sama lain termasuk Winonna dan Reska. Karin meminta
izin kepada Mika untuk pulang terlebih dahulu karena harus mengejar tugas untuk eksternal yang akan
dilaksanakan dua hari lagi.

Winonna melihat Karin sudah membawa tas nya dan berbincang dengan Mika, asumsinya Karin akan
segera pulang. Setelah itu, Karin menyampaikan salam pamit kepada Mika.

Mika melambaikan tangan kepada Karin kemudian melihat ke arah Winonna dan berbisik kecil,
“Anterin sana.”

Karin berjalan menuju gerbang kampus sambil memesan gereb karena ia tidak membawa mobil hari
ini. Saat baru saja mau memesan mobil, handphone Karin diambil oleh seseorang.

“Biasain dong kalo mau balik izin dulu sama ketua divisi.”

Karin menghela napas. Di depannya kini ada Winonna yang sedang menunjukkan senyum lebar
kepadanya.

“Aneh banget sih lo. Gue kira maling tau gak?”

Winonna memberikan handphone yang ada di tangannya kepada pemiliknya. “Mana ada maling di
kampus,”

“Ya, lo malingnya.” Karin menyimpan handphone nya di saku celananya.

“Lo sama gue aja. Masa lo kesini sama gue tapi baliknya sendiri.” ajak Winonna.

“Lo gapapa anterin gue?” tanya Karin untuk memastikan.

“Ya gapapa lah, gak usah kaku gitu. Kita udah mau kerja bareng satu periode kedepan. Yuk.” tangan
Karin ditarik oleh Winonna tanpa seizin Karin. Karin hanya mengikuti Winonna dan sesekali meminta
Winonna untuk melambatkan langkahnya.

Mobil milik Winonna sudah sampai di depan rumah Karin. Winonna dan Karin keluar bersama.
“Win, makasih banyak ya? Gue seneng banget hari ini karena lo ngajakin ke Aquarium. Lo hati-hati
dijalan.”

“Iya. Gue seneng dengernya.”

Hening.

Tidak ada respon lagi dari keduanya. Karin merasa cukup pertemuan mereka malam ini dan ingin
masuk ke dalam rumah.

Namun, suara dari Winonna membuat Karin memberhentikan lengkahnya dan menoleh ke Winonna.

“Gue senyum dan dada gue berdegup kencang tanpa alasan,”

“Dan itu terjadi pas gue liat lo, rin. Tandanya gue ja—”

“Tandanya lo aneh.” Karin membalikan badannya dan lari masuk ke rumah.

“Loh? Karin?”

“Karin? Karin! Anu, Gue dimaafin kan?” teriak Winonna.

“Iya udah dimaafin.” balas Karin kemudian menutup pintu rumahnya.

Winonna masuk ke dalam mobil dengan senyum yang sangat lebar.

Alam memberikan bukti bahwa takdir tidak dapat dihindari.


180.
181.
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190. next day
191. Joke

Winonna mengendarakan mobilnya cukup kencang di jalan menuju bandara. Kondisi yang sepi
membuat dirinya memanfaatkan keadaan untuk memotong waktu. Badan yang terasa sangat lelah
akibat seharian beraktivitas hari sebelumnya membuat Winonna tidak sengaja tertidur saat sedang
menyiapkan baju untuk menginap di rumah utama nya dan beberapa perlengkapan kuliah sebelum
berangkat ke bandara. Sekarang sudah menunjukkan pukul 04.15 pagi. Papahnya pasti sudah turun
dari pesawat dan menunggu dirinya.

Setelah 20 menit berlalu, Winonna sampai di bandara. Winonna segera turun menuju tempat yang
diberi tahu oleh Papah nya.

“Winonna!” suara teriakan membuat Winonna mencari arah sumber suara di penjuru bandara. Terlihat
seorang pria berpakaian rapih sedang melambaikan tangannya ke Winonna. Winonna berjalan menuju
pria tersebut.

Pria tersebut meregangkan tangannya seakan ingin diberikan pelukan oleh Winonna. Winonna
tersenyum paksa dan memeluk Papahnya yang baru saja pulang dari mengerjakan tugas di luar kota.

“Kenapa bisa telat, hm?” Papah Winonna berbisik tepat di telinga Winonna sambil memeluk erat anak
satu-satunya.

“Ah, tadi adek ketiduran pas siapin baju dan perlengkapan kuliah, pah.” jelas Winonna kemudian
melepaskan pelukan terlebih dahulu.

“Adek tidur jam berapa memangnya?”

“Hm, tadi ada tugas kuliah jadi baru tidur jam dua dan harus bangun lagi jam tiga.” jelas Winonna.
Papah Winonna mengelus kepala Winonna, “Maafkan Papah, ya. Habis ini biar Papah saja yang
menyetir.”

Winonna benci ini. Winonna benci ketika yang mengelus kepalanya adalah Papahnya sendiri.
Kebiasaan mengelus kepala Winonna yang dilakukan oleh mamahnya selalu membuat rasa rindu
datang. Namun, rasa itu berubah ketika Papah nya lah yang mengelus kepalanya.

Winonna dan Papahnya berjalan menuju mobil milik Winonna. Kali ini yang mengendarai mobil
adalah Papahnya. Winonna ingin memanfaatkan waktu ini untuk tidur selama 2,5 jam sebelum
nantinya ia harus bersiap kuliah.

Namun ketika dirinya baru saja menutup mata nya, Papah Winonna mengajak nya berbicara.

“Papah menang sayembara, dek. Dapet penghargaan dari gubernur Sulawesi Selatan.” jelas Papah
Winonna.

“Oh ya? Selamat ya, pah. Kalo boleh tau, sayembara apa?” tanya Winonna.
“Desain Pulau Lanjukang, dek.” Papah Winonna tersenyum bangga. Winonna hanya mengangguk
paham.

Mata Winonna sudah terlalu berat ditambah udara dari AC mobil yang membuatnya tambah
mengantuk. Hanya selang dua menit, Winonna tertidur.

“Permisi!”

“Permisi, duh.”

Winonna berlari menuju kelas pagi hari ini. Waktu menunjukkan pukul 07.55. Langkah Winonna
memenuhi jalan menuju kelasnya. Mahasiswa pagi ini sedikit ramai. Namun, banyak dari mereka
berjalan di pinggir.

“Permisi—eh Karin.” Winonna hampir saja menabrak Karin untuk kedua kalinya. Namun, kali ini
Winonna bisa memberhentikan langkahnya. Ia memberikan senyum lebar ke Karin. Karin tidak
membalas dan hanya lanjut berjalan.

Winonna melanjutkan kembali langkahnya dengan tergesa-gesa karna waktu sudah menunjukkan
pukul 07.58.

Tepat pukul 08.00, Winonna sampai di kelas berbarengan dengan Bu Neneng yang baru saja masuk
kelas selang 5 detik dari dirinya.

“Telat mulu lo kalo kelas Bu Neneng.” Nana melihat Winonna yang baru saja masuk kelas.

“Jemput..hhh...bokap gue tadi pagi.” Winonna mengambil napas dalam-dalam ketika sudah duduk di
kursinya.

“Oh bokap lo balik. Lo di kost atau di rumah nanti?” tanya Reska.

“Rumah lah. Kalo di kost tuh mustahil kayaknya.” jelas Winonna.

Suara Bu Neneng yang memulai kelas menginterupsi ketiganya. Kelas pagi itu dimulai, kelas dengan
mata kuliah Struktur Baja.

“Warung Bibi dulu lah, yuk.” ajak Reska ketika kelas Bu Neneng yang berjumlah empat SKS selesai.

“Ayo deh, laper gue.” Nana memegang perutnya. Kelas yang berlangsung dari pagi sampai siang
membuat mahasiswa manapun pasti kelaparan. Ditambah lagi dengan otak yang bekerja keras.

“Boleh deh, tapi gue gak bisa lama ya. Gue harus ketemu sama ketua BEM universitas.” jelas Mika
sambil merapihkan beberapa buku yang berserakan di meja nya.

“Udah mulai sibuk aja lo.” Reska tertawa kecil.


“Minggu depan giliran pengurus yang lain mulai sibuk. Siap-siap aja.” Mika tersenyum meledek ke arah
Reska dan Winonna. Winonna hanya menggelengkan kepala sambil berdecak.

“Eh muka lo kusut banget dari tadi, win. Perlu disetrika sama setrikaan uwu di rumah gue nih.” Mika
dan Nana menatap ke arah orang yang diajak bicara oleh Reska.

“Ngantuk gue gila. Bayangin aja Gue ngejar deadline tugas Mekanika Tanah sampe jam 2 pagi dan
baru tidur jam segitu terus harus jemput bokap lagi.” jelas Winonna.

“Bokap lo kenapa gak pulang naik taksi deh?” tanya Nana.

“Ya lo kaya gak tau bokap gue aja.”

Keempat orang tersebut berjalan menuju Warung Bibi, tempat dimana mereka suka makan nasi ayam
kremes bersama.

Saat berjalan menuju Warung Bibi, keempat orang tersebut berpapasan dengan mahasiswa jurusan
arsitektur yang baru saja menyelesaikan kelas.

Terdapat Lia, Gifani, dan Karin yang sedang berbincang di dekat pintu keluar gedung.

“Li! Karin! Gifani! ” Mika menyapa ketiga orang tersebut dan mengajak teman-temannya untuk
menghampiri ketiga orang mahasiswa arsitektur tersebut.

“Eh, Hai guys!” sapa Lia sambil menunjukan senyum lebar. Gifani ikut memberikan senyuman kepada
teman-teman Mika, kecuali Karin. Karin hanya memberikan senyum kecil kemudian mengalihkan
pandangannya ke handphone yang dia pegang.

Winonna melihat hal tersebut semakin dibuat bingung. Entah salah apa yang telah ia perbuat. Namun,
Karin hari ini tampak tidak bersahabat.

Winonna berpikir ini semua ada hubungannya dengan kejadian semalam dan mencoba untuk berbicara
kepada Karin. Winonna pun meminta waktu kepada teman-temannya dan juga teman-teman Karin
untuk berbicara dengan Karin.

“Boleh tau gue ada salah apa?” tanya Winonna lembut. Suaranya sangat lembut dan pelan. Wanita yang
lebih pendek beberapa sentimeter dari Karin menatap lekat wajah orang yang ada di depannya.

Tidak ada respon dari Karin. Karin hanya diam menatap Winonna yang juga sedang menatapnya.

“Lo juga gak bales chat gue.” jelas Winonna.

“Apa ini ada hubungannya sama semalem, rin?”


Karin menghela napas, “Love is not a joke, win. Apalagi untuk tujuan tertentu ditambah dengan waktu
yang singkat itu tuh mustahil buat lo langsung suka sama gue. Sebelum lo menyampaikan perasaan ke
orang yang lo suka, make sure you tell the truth.“

“Bentar, denger ya. Gue emang suka bercanda, rin. Tapi gue serius sama apa yang gue bilang tadi
malam.”

“No, you are not. Lo ngelakuin itu semua, ngefake perasaan lo cuman biar gue maafin kan?” tanya Karin.

“Hah? Maksud lo? Gue gak ad-”

Drrt..

Drrt..

Papah's calling...

Mata Winonna dan Karin tertuju pada handphone milik Winonna. Winonna menghela napas.

Kenapa harus sekarang

“Gue duluan.” Karin pergi meninggalkan Winonna.

“Rin, sebentar!” Suara Winonna membuat langkah Karin terhenti.

“Mamah pernah bilang ke gue. Cinta bisa datang kapan aja dan dimana aja, rasa itu juga gak berbatas
waktu,”

“Mamah bilang, cinta itu ada ketika mata lo melihat tapi hati lo yang bergetar,”

“Gue gak pernah tau rasanya mata yang melihat tapi hati yang bergetar sampe gue ketemu lo.”

“Waktunya emang cepat, tapi cinta gak berbatas waktu, kan? Ya, karena cinta bisa datang kapan aja
dan dimana saja.”

Karin terdiam, tetapi sedetik kemudian Karin tetap berjalan meninggalkan Winonna.

Winonna menghela napas berat. Handphone Winonna terus bergetar. Winonna tidak ada pilihan lain,
Papahnya pasti akan menegurnya karna tidak mengangkat telepon darinya.
192.
193.
194.
195.

196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212. malamnya
213. next day
214.
215.
216.
217.
218.
219. Voucher

Karin memasukan handphone ke dalam saku nya ketika Gifani sudah memanggil namanya untuk
berangkat ke kampus hari ini. Sebenarnya Karin sudah menolak untuk diantar ke kampus karena tidak
enak sudah merepotkan Gifani dengan menginap di rumahnya tadi malam.

Namun, Gifani adalah Gifani. Temannya itu malah menambah ide untuk mengantarnya pulang karena
merasa Karin akan sangat kesulitan jika harus memesan gereb kembali.

“Udah siap?” tanya Gifani.

“Siap yang mana nih? Kalo siap eksternal jujur masih belom siap.” Karin tertawa kecil.

Mereka berdua berjalan keluar rumah dan berangkat menuju kampus.

Di dalam mobil, Gifani memilih untuk menyetel lagu agar Karin tidak terlalu gugup. Namun, temannya
itu masih terlihat gugup sambil sesekali menggigit bibirnya.

“Lo udah eksternal setiap tahun masih aja gugup?”

“Eksternal tahun ini beda, gi. Arsitek nya banyak banget ada 3 orang.” jelas Karin.

Gifani mengangguk pelan, paham akan kekhawatiran temannya. Setelah melihat file isi nama arsitek
yang akan datang hari ini, Gifani sudah merasa hawa tegang eksternal yang membuatnya bergidik ngeri.

“Semangat, rin. Gue yakin mereka suka sama hasil lo. Lo udah berusaha maksimal, kan? Semoga
hasilnya juga memuaskan, proses gak mengkhianati hasil kok.” Gifani menepuk pundak Karin,
memberikan kata semangat dan penenang untuk temannya.

“Eh, ngomong-ngomong, lo tau kan uas teknik bangunan itu tertulis?” tanya Gifani.

Karin mengangguk, “Iya kemarin gue dikasih tau Lia.”

“Udah hubungin Winonna?”

Karin memandang Gifani kebingungan. Gifani yang merasa dirinya sedang ditatap menoleh ke Karin,
“Kenapa? Lo bukannya udah baikan sama dia? Minta tutor aja ke dia, lagian lo tau kan dia pinter
banget?”

Karin menghela napas berat, “Gue udah hubungin anak sipil lain. Namanya Jeka Nordian. Tapi belum
dibales sih.”

“Hah? Siapa yang rekomendasiin dia?” Gifani terdengar kaget. Bukan apa-apa, aneh sekali temannya
tidak mengetahui mengenai Jeka Nordian.

“Hmm dari Lia sih. Tadi malam dia telfon gue.”


“Duh, gak usah! Dia anaknya flirty abis. Kok Lia gak tau ya? Yang ada lo kalo sama dia mah risih,
percuma walaupun tuh anak emang gue akuin pinter.”

“Terus gue sama siapa dong?” tanya Karin. Dirinya sudah bingung memilih tutor untuk dirinya. Teknik
bangunan adalah mata kuliah kelemahannya dan saat UTS kemarin dirinya mendapatkan nilai C. Jika
UAS ia masih mendapatkan nilai C, dirinya bisa-bisa mengulang mata kuliah tersebut.

“Ya sama Winonna aja! Lo tuh ada cahaya depan mata malah cari yang gelap kemana-mana. Aneh!”
jelas Gifani.

Karin hanya terdiam mendengar perkataan Gifani. Entah mengapa perkataan Gifani membuatnya
teringat akan perkataan Winonna di Aquarium kemarin.

Karin dan Lia sudah menunggu di dekat studio untuk menyampaikan hasil kerja nya ke dosen dan
arsitek profesional. Gifani memberikan kata-kata tenang dan menyemangati kedua temannya itu.

Pukul 09.00 eksternal hari itu dimulai. Karin dan Lia masuk ke dalam studio.

Terlihat hanya ada 3 orang termasuk Pak Desta yang hadir dalam studio tersebut. Karin mengerutkan
dahi, dua orang arsitek yang dia baca namanya kemarin telah hadir. Namun, satu orang lagi tidak
terlihat hadir. Orang tersebut adalah Deliana Suryawinata, Arsitek kesukaannya.

Pak Desta menyampaikan bahwa akan ada arsitek tambahan yang kemungkinan telat datang dan
eksternal baru akan dimulai ketika arsitek ini sudah datang. Karin berasumsi bahwa arsitek tersebut
adalah arsitek kesukaannya. Sampai sekitar 5 menit berlalu, arsitek kesukaannya itu tidak kunjung
datang.

Tepat pukul 09.15, arsitek muda kesukaan Karin tersebut datang disusul dengan seorang pria
dibelakangnya.

“Selamat pagi, Pak.” Asitek wanita tersebut menyapa dosen beserta para arsitek yang sudah datang
terlebih dahulu.

“Wah selamat pagi, waduh kita kedatangan orang-orang hebat hari ini.” jelas Pak Desta.

Pak Desta memperkenalkan arsitek-arsitek yang datang kepada mahasiswa nya pagi itu, sampai pada
pria yang datang bersama arsitek kesukaannya,

“Nah satu ini menarik. Saya memang tidak mengundang beliau secara khusus, saya tidak terpikirkan
karena beliau sangat-sangat sibuk. Saya kaget ketika Mbak Deliana membawa beliau kesini,”

“Beliau memang mungkin tidak terlalu familiar bagi kalian mahasiswa arsitektur generasi ini. Namun,
beliau sangat terkenal sekali di kalangan mahasiswa arsitektur 7 tahun ke atas.”
“Beliau adalah Bapak Andera Wira. Beliau adalah orang yang mendesain salah satu tempat di Gelora
Bung Karno, yaitu Stadion Aquatic Senayan. Kalian semua pasti tau kan? Desainnya menarik, dengan
dibuat semi-indoor.”

Karin terpukau dengan penjelasan dari Pak Desta. Ia bertekad untuk mencari lebih lanjut karya dari
Andera Wira tersebut.

Eksternal telah selesai dengan perasaan lega dari Karin. Hasilnya dipuji habis-habisan karena desain
dan filosofi dari rumah yang ia buat. Temannya, Lia, juga mendapatkan pujian yang sama. Kedua orang
tersebut keluar dengan perasaan bahagia.

Gifani yang menunggu temannya tersebut menghampiri keduanya, “Gimana?”

“Syukur Puji Tuhan! Gue sama Lia dapet pujian dari arsitek nya, gi.”

“Kalian keren banget!” Gifani memeluk kedua temannya tersebut dan dibalas oleh keduanya.

“Duh tapi belum tenang gue. Minggu depan UAS.” sahut Lia.

“Oh iya. Yaudah nikmatin dulu kali ya hari sebelum UAS.” jelas Gifani.

“Iya nih. Gue mau pulang langsung deh, gila gue ngantuk banget baru tidur jam 5.” jelas Lia.

“Iya sih gue juga, nih bocahnya tidur jam 5 juga. Gue sih lebih duluan tidurnya.” Gifani tertawa kecil
setelah menunjuk Karin.

“Kalo tidur gak dapet A, gak sih?” Karin tertawa dan diikuti oleh temannya.

“Eh, gue mau ke toilet dulu. Gak tahan banget nih dari tadi nahan. Gifani lo pegang dulu maket gue,
ya?” Karin memberikan maket kepada Gifani. Lia pamit terlebih dahulu kepada Karin dan Gifani.

“Gue tunggu sini. Jangan lama-lama.” teriak Gifani.

Karin mencuci tangan setelah membuang air kecil. Kemudian merapihkan rambutnya, hari ini dirinya
tidak memakai make-up apapun sehingga kantong mata nya terlihat jelas.

Karin keluar toilet dan menuju Gifani untuk pulang ke rumah. Namun bukannya Gifani yang berada
disitu, tetapi wanita yang tingginya tidak terlalu jauh darinya lah yang sedang melambaikan tangan
kepadanya sambil memegang maket miliknya.

“Winonna?”

Winonna tersenyum ke arah Karin dan menghampirinya, “Hai. Gimana Eksternalnya? Lancar?”
Karin masih melihat Winonna, bagaimana bisa Winonna bisa disini dan membawa maketnya. Kemana
Gifani?

“Gifani mana?” tanya Karin.

“Oh, dia tadi pergi duluan karna orang tua nya tiba-tiba udah di bandara. Gak tau sih yang gue pahamin
begitu. Dia udah chat lo juga katanya.” jelas Winonna.

Karin mengambil handphone di sakunya kemudian melihat notifikasi dari Gifani.

'Rin, ortu gue tiba-tiba udah di bandara padahal harusnya siang ini. Sorry banget ya, gue nitip Winonna. Sekalian
deh lo bucin berdua.'

Karin membelakakan mata nya melihat kalimat terakhir dari Gifani. Karin bersumpah jika Gifani ada
di dekatnya ia pasti sudah memarahi temannya habis-habisan.

“Gimana? Dia udah kirim chat kan?” suara Winonna membuat Karin menoleh kepadanya. Karin
menghela napas, “Lo kenapa bisa disini? Kan yang disini arsitektur aja.”

“Oh-hm kebetulan gue lewat sini aja sih.” Winonna memberikan senyum kecil kepada Karin.

“Yaudah sini, gue pulang naik gereb aja.”

“Kebiasaan ya. Ada gue kenapa harus make gereb sih? Dah yuk pulang.” Winonna berjalan duluan
meninggalkan Karin. Karin mendengus kesal, ia tidak punya pilihan lain karena semua barangnya ada
di Winonna kecuali tas yang ia bawa.

“Gimana tadi eksternal? Pertanyaan gue belom dijawab.” Winonna mulai menyalakan mobilnya dan
menjalankan mobilnya.

“Ya Puji Tuhan lancar sih. Seneng juga ketemu banyak arsitek terkenal.” jelas Karin.

Winonna hanya mengangguk, “Kenapa gak bawa mobil sendiri?”

“Kenapa? Lo keberatan nganterin gue?” tanya Karin.

“Gue gak ngomong itu loh. Gue cuman nanya aja lo kenapa gak bawa, biasanya bawa sendiri.”

“Panjang ceritanya. Gue males ceritain dan gak penting juga gue harus cerita ke lo.”

“Biasa aja kali nada suaranya.” Winonna menepuk pelan kepala Karin. Karin kaget dengan perilaku
tiba-tiba dari Winonna.

“Ih apaan sih! Rambut gue berantakan lo pegang-pegang.” Karin merapihkan rambutnya sambil
membuka kamera handphone nya.
“Masih cantik kok. Lagian gue nepuk pelan bukan acak-acak rambut lo.” Winonna tersenyum sambil
masih tetap fokus melihat ke jalan.

Karin merasa perilaku Winonna semakin hari semakin aneh. Perkataan mengenai perasaan Winonna
kembali muncul, dia merasa bahwa dirinya harus berhati-hati karena tidak tahu apa sebenarnya maksud
perilaku Winonna akhir-akhir ini.

“Udah ada tutor buat tekbang?” tanya Winonna.

“Belum.” Karin mengingat bahwa dirinya belum mendapatkan tutor untuk mempersiapkan UAS nya
nanti.

Winonna hanya mengangguk dan melanjutkan kembali fokusnya pada jalanan. Tujuan mobilnya
sekarang adalah ke rumah Karin. Setelah pertanyaan mengenai tutor tadi, tidak ada percakapan yang
dibuka kembali dan hanya lagu dari handphone milik Winonna yang terhubung ke bluetooth audi mobilnya
saja yang mengisi keheningan.

Beberapa menit kemudian mobil Winonna sampai di depan rumah Karin. Karin melihat hanya mobil
miliknya yang ada di rumah menandakan bahwa Mamahnya sudah pergi kembali untuk bekerja.

Karin mengucapkan rasa terima kasih ke Winonna sebelum ia membuka pintu dan keluar dari mobil.

Namun saat ingin melangkah keluar dari mobil, tangannya ditahan oleh Winonna.

“Nama lengkap gue Winonna Wira Mateen.”

“Okay? Terus?” tanya Karin.

Winonna hanya tersenyum,

“Gue mau jadi tutor lo. Lo gak perlu khawatir karena gue bisa dikatakan jago untuk materi terkait
tekbang,”

“Tapi, Voucher pembelajaran kita dibuka dengan pergi jalan-jalan malam ini. Gimana? Deal sama
voucher nya?”
220.
221.
222.
223.
224.
225.
226.
227. malamnya
228.
229.
230. Night

Setelah mendapatkan pesan diperbolehkan masuk ke pekarangan rumah oleh Karin untuk menunggu
selama lima meniy, Winonna memutuskan untuk keluar dari mobil dan mulai masuk pekarangan
rumah Karin.

Rumah Karin bisa dikatakan tidak terlalu besar, rumahnya dirasa jauh lebih besar. Namun, banyak
tanaman-tanaman yang berjejer rapih di halaman rumah nya. Winonna memutuskan untuk menunggu
di kursi kecil dekat pintu rumah Karin.

Setelah lima menit, Karin keluar. Winonna berdiri setelah melihat Karin keluar. Namun, ada satu hal
yang membuat Winonna memperhatikan Karin.

“Ada apa?” tanya Karin setelah melihat Winonna menatap dirinya.

“Lo tambah cantik kalo gak make make up.” Karin tidak merespon apa-apa. Dia berdeham untuk
mengalihkan arah pembicaraan, “Ini jadinya kita kemana?”

“Rahasia, Karin.”

Karin mendengus, “Kalo ternyata lo culik gue gimana? Gue harus tau sebelum kita pergi.”

“Ada pokoknya.”

Karin memutar bola matanya, menanyakan hal itu terasa percuma. Winonna tetap pada pendiriannya
untuk tidak memberitahu Karin perihal tempat yang akan mereka kunjungi.

“Ada nyokap lo? Gue mau minta izin.” Winonna melihat ke dalam rumah Karin. Karin menggeleng,
“Nyokap di luar kota.”

Winonna mengangguk. Mata Winonna kemudian tertuju pada baju yang dikenakan oleh Karin. Baju
tanpa lengan, Winonna khawatir angin malam akan membuatnya sakit jika memakai baju itu walaupun
ia menggunakan mobil. Namun, jika sudah di tempat pasti angin berhembus sangat kencang.

“Lo gapapa pake baju itu? Angin malam biasanya kenceng.” tanya Winonna.

“Ya gapapa? Gue biasa kok malam-malam make baju tanpa lengan.”

“Oh yaudah kalo gitu, yuk berangkat? Takut kemaleman.” Winonna dan Karin masuk menuju mobil.
Perjalanan mereka ke tempat tujuan tidak terlalu begitu jauh. Cahaya kota Jakarta menyambut mereka
malam itu. Sesekali terlihat hambatan pada jalan Ibukota tersebut, tetapi bukan hambatan yang
memakan waktu lama.

Karin yang mengetahui arah kemana mobil Winonna berjalan hanya bisa mengerutkan kening, “Lo
mau ajak gue ke Gelora Bung Karno?”

Winonna dengan cepat mengangguk dan tersenyum lebar, “Gapapa kan?”


“Gapapa kok. Gue khawatir lo ngajak gue ke pantai baru di PIK gitu. Kalo angin disana jelas bikin
gue masuk angin.”

“Engga kok.”

Karin dan Winonna kembali diam setelah percakapan singkat tadi. Lagi-lagi hanya lagu dari radio mobil
yang mengisi keheningan di antara mereka berdua.

“Jalan dikit gapapa kan?” Karin merespon dengan anggukan. Winonna dan Karin jalan sampingan.

Suasana Gelora Bung Karno malam itu cukup ramai. Banyak orang yang berolahraga. Winonna
mengeluarkan handphone dan membuka aplikasi gereb. Karin menatapnya bingung, buat apa Winonna
membuka aplikasi gereb disaat mereka disini.

“Lo ngapain buka gereb?” tanya Karin sambil melihat handphone Winonna. Winonna menoleh pada
Karin lalu kemudian tersenyum kecil, “Kita malam ini naik gerebwheels ya?”

Mata Karin terbuka lebar dan tangannya menutup mulut, “Oh my god! Win, gue kepengen banget naik
itu dari dulu tapi gak pernah kesampean karna gue gak ada temen.”

“Seneng dengernya.”

“Harus seneng! Lo jadi orang pertama yang nemenin gue naik gerebwheels.” sahut Karin. Karin tidak
bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan terus tersenyum lebar sambil sesekali melihat sekitar.
Winonna yang berada di sampingnya pun ikut tersenyum melihat ajakannya malam ini ternyata
membuat Karin—orang yang disukainya—senang.

Setelah berjalan sedikit, terlihat ada tempat gerebwheels berada. Terlihat skuter berwarna hijau berjejer
rapih dengan satu orang penjaga. Mata Karin berbinar melihat yang ada di depannya. Winonna tertawa,
Karin terlihat seperti anak kecil yang melihat mainan kesukaannya.

“Lo ada aplikasi nya kan?” tanya Winonna. Karin mengangguk.

“Oke, lo buka dulu aplikasi nya terus pilih yang wheels nanti bayar pake uang elektronik.” Karin
mengangguk dan mengikuti arahan dari Winonna.

“Abis itu nanti scan QR Code yang ada di skuter nya.” jelas Winonna. Karin mulai memindai QR Code
yang ada, tak lama ada suara dari skuter tersebut yang menandakan bahwa skuter tersebut sudah bisa
digunakan.

“Seneng banget!” Karin tersenyum lebar sambil memundurkan skuter miliknya. Winonna tidak
berhenti tersenyum sejak tadi. Karin terlalu menggemaskan. Jantung Winonna berdetak kencang. Perut
Winonna terasa geli setiap kali Karin ketawa kecil dan tersenyum.
Winonna benar-benar jatuh hati. Winonna masih terus menatap Karin. Jika harus mendeskripsikan
Karin, Winonna tidak sanggup. Karin terlalu indah untuk dilukiskan dalam sebuah kata, sangat indah.
Winonna bukanlah orang yang pandai menyusun kata, apalagi menyusun kata puitis untuk
mendeskripsikan indahnya Karin. Yang Winonna tau, dirinya benar-benar jatuh hati pada wanita
tercantik setelah mamahnya.

Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Karin—walau dengan kejadian yang kurang baik—di
waktu yang tepat. Karin benar-benar menyihir dirinya. Winonna benar-benar jatuh hati pada wanita
itu, Vianka Karin.

“Win? Ayo!” teriak kecil Karin. Winonna tersadar dari lamunannya kemudian mulai menjalankan
skuter nya bersama dengan Karin.

“Jago banget udah langsung bisa ngejalanin skuternya.” Winonna melihat Karin sudah lihai membawa
skuternya. Karin hanya tertawa dan menjulurkan lidahnya kemudian membalap Winonna. Winonna
benar-benar tidak bisa berhenti tersenyum. Winonna kemudian menyusul Karin.

“Karin, belok. Gue mau nunjukin lo sesuatu.” Winonna menunjuk jalan yang berada di kiri nya. Karin
menurut dan membelokkan skuternya ke jalan bagian kiri.

“Sini deketan skuternya.”

Skuter mereka berdua berjalan berdampingan. Semilir angin membuat rambut Karin terbawa ke arah
angin berhembus. Winonna memuaskan mata nya dengan sesekali melihat Karin yang masih
menikmati semilir angin dengan skuter nya.

Mereka berdua melewati beberapa pusat olahraga, sampai pada akhirnya,

“Tempat ini bokap gue yang desain.” Winonna menujuk Stadion Aquarium yang berada di bagian kiri
dirinya. Karin menoleh ke arah jari Winonna menunjuk dan menatap Winonna bingung.

“Desain?” tanya Karin. Winonna mengangguk.

“Bokap lo..?”

“Bokap gue arsitek, Karin.” Winonna tersenyum. Karin memberhentikan skuter nya yang membuat
Winonna juga berhenti dan menatap Karin, “Kenapa berhenti?”

“Bokap lo arsitek? Beneran?” Karin memegang tangan Winonna. Winonna sedikit terkejut dengan
perilaku Karin. Sedetik kemudian, Winonna mengangguk dan tersenyum lebar.

“Kenalin, Winonna Wira Mateen anaknya Andera Wira Mateen yang ngedesain Stadion Akuarium
Senayan.” Winonna mengulurkan tangannya untuk kedua kalinya perkenalan kepada Karin. Karin
masih menatap nya, wajah bingung campur terkejut masih terlihat jelas di Karin. Winonna tertawa,
Karin nya ini sungguh menggemaskan.
“Kenapa? Kaget?” tanya Winonna.

“Kaget Winonna! Bokap lo eksternalin gue tadi pagi!” Karin semakin memegang erat tangan Winonna.

“Kok lo gak bilang bokap lo arsitek dan yang akan eksternalin gue? Tau gitu gue cari muka aja sama
lo.” Winonna menggeleng pelan, Karin malam ini benar-benar menggemaskan. Lihat, Karin sekarang
tengah cemberut dan melipatkan kedua tangannya.

“Males aja mengakui bokap arsitek.” Winonna menundukan kepalanya. Karin memahami kondisi
Winonna, terlebih dirinya lah yang mengantar Winonna saat sempat mabuk dan mendegar semua
racauan dari Winonna. Karin memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

“Yaudah yuk jalan lagi waktunya 10 menit lagi.” ajak Karin. Winonna hanya mengangguk dan
menjalankan skuternya kembali.

Winonna dan Karin sekarang sedang berjalan berdua, kedua nya diam. Tidak ada percakapan yang
dimulai. Winonna tidak nyaman akan keadaan ini.

“Mau kesitu? Lebih sepi.” ajak Winonna. Karin menyetujui ajakan Winonna. Kedua nya berjalan ke
tempat yang dimaksud.

“Gimana hari ini?” tanya Winonna.

“Gue seneng banget. Biasanya kalo malam gini dan mamah lagi ke luar kota gue sendirian di rumah.
Hampir setiap hari gue selalu begitu, kerjaannya cuman nugas, belajar, nonton, tidur, makan. Itu-itu
aja. Gue udah jarang di ajak keluar malam, Win. Makasih banyak ya? Gue bener-bener seneng.” jelas
Karin.

“Dulu yang sering ajak jalan malam-malam itu papah.”

“Papah lo kemana?” tanya Winonna. Karin melihat Winonna, mengerutkan dahi. Kemudian tersadar,
saat ia bercerita mengenai papah nya,Winonna sedang dalam keadaan tidak sadar.

“Papah gue udah meninggal, Win.” Karin menunduk. Winonna memegang tangannya, “Maaf, gue gak
bermaksud.” Karin mengangguk. Tangan Winonna tidak ia lepaskan, Karin membiarkan tangannya
digenggam oleh Winonna.

“Papah dulu suka ajak gue keliling Jakarta. Orang tua gue bisa dibilang sangat sibuk. Tapi papah gue
selalu yang menyempatkan waktunya buat gue, Win. Papah cuman mau anak satu-satunya gak merasa
sendirian.”

“Gak ada yang bisa bikin nyaman selama jalan-jalan selain papah. Makanya gue udah jarang keluar
malam karena ya emang gak seru aja kalo gak sama papah.” jelas Karin.

“Sama gue seru ngga?” tanya Winonna meledek.


“Mau jawaban jujur atau bohong?” Karin melihat Winonna, Winonna menatapnya sekilas dan tertawa
kecil.

“Mau yang jujur-jujur aja deh walaupun kenyataan bisa menyakitkan.”

Karin dan Winonna tertawa bersama, kedua nya masih berjalan bersama sambil terus bergandengan
tangan.

“Lo orang pertama setelah papah yang bikin gue nyaman jalan di malam hari.” suara Karin melembut.
Winonna menoleh ke arah Karin, Karin menundukkan kepala dan terlihat menahan senyum.

“Oh ya? Makasih Tuhan.” Winonna mengadahkan tangannya ke atas. Seakan berterima kasih pada
Yang Maha Kuasa.

Karin yang melihat hal itu tertawa, “Apaan sih? Biasa aja kali.”

“Gak bisa biasa aja kalo gue ternyata bisa bikin lo seneng, Rin. Apalagi gue bisa menyaingi posisi papah
lo. Om serahin ke saya! Anaknya bakal saya bikin seneng.” Winonna berteriak ke atas langit. Karin
memukul kecil bahu Winonna. Keduanya tertawa lebar.

“Lo cantik kalo lagi ketawa,”

“Ah ralat, lo selalu cantik, Rin.”

Karin menghentikan langkahnya kemudian menatap Winonna, “Makasih ya pujiannya, Winonna Wira
Mateen.”

Winonna terdiam. Winonna benar-benar terdiam, tetapi hati nya berdetak sangat kencang. Karin baru
saja mengelus pelan pipi nya dan memberikan senyum termanis yang pernah Winonna lihat. Karin
berlari kecil meninggalkan Winonna sambil menutup muka nya.

Tidak hanya hati Winonna saja, hati Karin pun juga berdetak sangat kencang.

Winonna bersumpah malam ini. Tidak akan rasanya tujuan di hidupnya tercapai jika ia tidak bisa
memiliki Karin seutuhnya. Winonna benar-benar jatuh pada Karin, Winonna ingin memiliki Karin
sepenuhnya dan ingin memiliki senyum Karin sepenuhnya.

“Mamah, adek benar-benar jatuh cinta.” Winonna berbisik pelan ke langit seakan berbicara pada
Ibunda tercinta. Winonna melihat Karin yang berjalan tidak jauh darinya kemudian menyusul Karin.

Saat sudah mendekati Karin, Winonna mengeluarkan handphone dari saku celana nya.

“Karin, lihat sini!”

Cekrek..

Winonna mengabadikan Karin. Kali ini tidak diam-diam seperti di Aquarium. Karin pun tidak
keberatan dan beberapa kali berganti gaya ketika Winonna mengabadikan dirinya.
Winonna mendekat ke arah Karin. Menatap Karin lekat sebelum akhirnya berbicara,

“Karin, gue udah pernah bilang. Tapi rasanya gak cukup kalo cuman sekali,” Karin memperhatikan
Winonna.

“Karin lo bener-bener cantik. Lo wanita tercantik kedua setelah mamah. Karin, gue..” Winonna
menundukan kepalanya. Kali ini dirinya tidak berani menatap Karin.

“Gue..bener-bener gak jago menyusun kata, tapi kalo menyusun struktur gue emang jagonya. Gue
cupu masalah ini, rasanya omongan gue gak akan bisa meyakini lo bahwa gue beneran jatuh hati sama
lo, Rin. “

“Karin, gue suka sama lo. Gue..gue mau miliki lo sepenuhnya. Gue suka senyum lo, ketawa lo, dan
segala nya yang ada di diri lo.”

“I feel so unconfident, you may not feel the same way. Kadang mikir, should I go back? Tapi gue gak bisa kabur
dari perasaan sendiri, Karin. Gue cuman mau menyampaikan apa yang udah menyiksa gue akhir-akhir
ini.”

Karin memegang kedua tangan Winonna dan tersenyum,

“Tunjukin dan yakinin aku, Win.”


231.
232.
233.
234.
235.
236.
237.
238.
239.
240.
241.
242.
243.
244.
245.
246.
247.
248.
249.
250.
251.
252.
253. NEXT DAY
254.
255.
256.
257. Morning

Winonna dan Karin keluar dari kamar setelah mereka menerima ajakan sarapan pagi dari Papah
Winonna. Saat ini Karin cukup gugup, terlebih dia akan bertemu dengan salah satu penilai hasil kerja
nya di eksternal kemarin.

Karin mencoba menetralkan napasnya menghilangkan rasa gugup. Winonna melihat Karin sedang
berusaha menenangkan diri hanya bisa tersenyum. Winonna berinisiatif untuk memegang tangan
Karin untuk menenangkannya.

“Gapapa, papa pasti seneng liat salah satu anak arsitek yang kerjaannya dinilai bagus sama papa bisa
hadir di rumah ini.” ucap Winonna. Karin memberikan anggukan serta senyuman kepada Winonna.
Setidaknya perkataan Winonna membuatnya lebih tenang sekarang.

Setelah sampai di lantai bawah rumah Winonna, terlihat ada Papa dari Winonna yang sedang meminum
kopi dan melihat laptop seperti sedang mengerjakan sesuatu. Winonna yang melihat hal itu hanya bisa
tersenyum miris. Walaupun makanan sudah tersedia di meja makan, tetapi di saat seperti ini seharusnya
Papa nya tidak mengerjakan pekerjaannya.

“Pagi, Pa.” sapa Winonna.

“Pagi, Om.” Karin ikut menyapa Papah dari Winonna. Papah Winonna yang melihat kehadiran kedua
nya tersenyum dan menyapa balik, “Pagi kalian. Silahkan duduk.”

Winonna dan Karin duduk di kursi yang letaknya berhadapan langsung dengan Papah dari Winonna.
Suasana nya canggung, muka Winonna pun jadi tidak sehangat saat Karin melihat Winonna bangun.

“Vianka Karin?” Suara dari Papah Winonna memecah keheningan di ruangan tersebut. Karin yang
merasa nama nya dipanggil menoleh ke arah dari suara itu berasal.

“Iya, Om?”

“Saya senang dengan hasil kamu kemarin, simpel dan terstruktur dengan baik.” jelas Papah dari
Winonna.

“Makasih banyak, Om. Saya senang dengarnya.” Karin menunduk malu dan sesekali melihat ke arah
Papah Winonna.

“Bisa berarti ya kamu saya bawa di proyek saya? Style desain kamu persis dengan saya.”

“Aduh say-”

“Bisa kan ya mulai makan pagi nya?” Winonna membuka suara kemudian mengambil sendok makan
untuk dirinya dan Karin. Karin menatap Winonna, begitu juga Papahnya.

“Winonna, jangan biasakan seperti itu ya. Kami berdua sedang berbicara sebentar, tidak akan
memakan waktu banyak.” ucap Papah dari Winonna. Winonna hanya mendengus pelan dan tidak
membalas perkataan dari Papahnya. Papah dari Winonna kemudian meminta izin untuk mengangkat
telpon dari rekan kerja nya. Winonna lagi-lagi tersenyum miris.

Karin yang khawatir dengan keadaan yang ada diam-diam memegang tangan Winonna dari bawah
meja dan mengelus pelan tangan Winonna. Winonna menoleh ke Karin dan Karin memberikan
tatapan yang seakan berkata sabar

Winonna memberikan senyumannya kepada Karin, “Aku gapapa.” bisik Winonna pelan sambil
mengelus puncak kepala Karin.

“Seneng banget ya ngelus puncak kepala aku?” tanya Karin.

“Iya. Seneng dan suka banget. Kamu gak suka ya?”

“Suka banget dan seneng banget juga.” Karin tersenyum dan mengajak Winonna untuk makan yang
sudah ada. Winonna menyetujui hal tersebut dan memulai kegiatan makannya.

Mobil Winonna sampai di depan rumah Karin. Karin melepaskan seat belt nya dan memasukan
handphone nya ke dalam tas.

“Makasih banyak, ya? Malam tadi dan pagi ini.” Karin menatap Winonna tulus. Seraya tersenyum
manis ke arah lawan bicaranya tersebut.

“Asal kamu seneng, aku juga ngelakuin dengan senang hati, Karin.” jelas Winonna. Karin menepuk
pelan bahu Winonna, “Gombal mulu ya kamu tuh.”

“Gombal nya ke kamu doang sih.” Winonna tertawa kecil. Karin menunduk malu, dirinya yakin pipi
nya pasti memerah sekarang.

“Y-yaudah aku masuk dulu ya?”

“Iya. Eh sebentar..”

“Mulai belajar nya malam ini, mau?” tanya Winonna.

“Boleh, di rumah aku aja kan kebetulan mamah di luar kota.” jelas Karin.

“Oke. Nanti aku bakal kesini abis kelas. Mau dibawain sesuatu?” Karin menggeleng. Winonna
mengangguk dan membuka kunci pintu mobil sehingga Karin bisa keluar dari mobil.

Karin masih di dalam mobil dan tidak kunjung keluar. Winonna menatap Karin, “Masih mau jalan-
jalan?” Karin menggeleng. Dirinya tampak gelisah dan sesekali menggigit bibirnya.

“Kamu kenapa?”
Perilaku selanjutnya, membuat Winonna membelakakan matanya. Winonna berpikir untuk
menghilang dari bumi. Winonna berpikir apa yang sudah ia lakukan sampai,

Karin mencium pipinya cepat kemudian mengatakan, “Kalo kamu perilaku nya manis gini terus, aku
bisa jauh lebih cepat jatuh nya sama kamu.”
258.
259.
260.
261. Berbeda

Winonna dan sahabatnya sudah berada di kost milik Winonna. Setelah kelas, kedua sahabatnya pergi
ke kost milik Winonna dengan menumpang mobil dari Winonna, kecuali Mika yang membawa mobil
sendiri.

“Cepet jelasin maksud dari semua tweet yang lo update.” ucap Reska. Nana dan Mika yang sedang
memakan cemilan di samping Reska mengangguk setuju.

Winonna menghela napas, “Gue suka sama Karin.”

Mika dan Nana menghentikan kegiatan menyemilnya. Reska terdiam menatap Winonna. Winonna
melihat ketiga temannya terdiam dan menatapnya hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
itu.

Sedetik kemudian,

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA”

“Temen lo mik kena karma.”

“HAHAHAHA IYA GILA.”

“Primadona teknik lo lawan, win.”

“DIBILANG GAK BAKAL ADA YANG NOLAK PESONA VIANKA KARIN.”

“Gii minirik.”

“Gii gi ikin siki dii.”

“Halah, pret.”

Winonna menatap malas ketiga temannya yang ada di depannya. Ketiga temannya masih menertawai
dan meledekinya. Dua menit kemudian, ketiga temannya berhenti menertawainya sambil mengusap
air mata yang keluar akibat terlalu bersemangat ketika tertawa.

“Udah ketawanya?” tanya Winonna.

“Udah-udah.” Reska mengambil napas dalam untuk meredakan rasa ingin tertawa dari dirinya, begitu
juga dengan Mika dan Nana.

“Jadi gimana? Kok bisa lo suka sama dia?” tanya Nana. Winonna memperbaiki posisi duduknya untuk
sejajar dengan teman-temannya.

“Kalo diceritain gimana nya, jujur gue bingung. Gue gak tau, kayak itu semua datang tiba-tiba, perasaan
gue dateng tiba-tiba,”
“Gue suka apapun yang ada di dia. Gue suka ketawanya, gue suka senyumnya, gue suka rambut hitam
nya, gue suka mata nya, gue suka bibirnya, dan segala nya yang ada di dia.”

“Gila lo pernah bayangin gak seorang Winonna yang selama kuliahnya gak pernah ngomong masalah
cinta-cintaan, tiba-tiba begini.” ucap Mika.

“Gue aja bingung, mik. Karin doang yang bisa bikin gue begini.” jelas Winonna.

“Udah segala tidur bareng lagi lo. Curi start nya udah jago aja nih anak. Inget jangan zina lo berdua.”
ucap Reska.

“Mulut lo sampah.” Winonna melempar kacang ke Reska dan disambut tawa kecil dari Mika dan Nana.

“Terus lo udah bilang perasaan lo ke dia?” tanya Nana. Winonna mengangguk, “Udah. Dia mau gue
yakinin dia.”

“Udah lampu hijau sih. Pantesan dia update tentang lo terus.” Reska dan Mika mengangguk menyetujui
perkataan Nana.

“Gue harus gimana ya?” Winonna menunduk. Kondisi seperti ini adalah pertama kalinya bagi
Winonna. Winonna tidak tau banyak dengan apa yang harus dilakukan.

“Lo ada niatan mau nembak dia?” tanya Mika.

“Wah itu sih harus, kalo lo gak mau dia diambil orang. Kalo lo udah yakin sama perasaan lo, gas aja
udah.” jelas Reska. Nana menyetujui, “Dia juga banyak yang suka gak sih? Gak dari anak arsitektur
aja, tapi dari jurusan lain. Tapi beruntungnya, lo yang bisa deket dan ketemu secara langsung, ya walau
dengan kejadian tabrakan itu sih.”

“Gue udah yakin sama perasaan gue, sangat yakin. Tapi untuk masalah nembak, gue mau. Ya tapi, lo
tau lah gue mana ngerti begituan.” jelas Winonna.

“Kebanyakan belajar sih hidup lo. Belajar dan organisasi tuh kaya pacar lo selama ini tau gak? Eh-
cemilan gue, setan.” Nana merebut kembali cemilan dari Reska. Reska mendengus kesal.

“Nembak yang berkesan tuh gimana sih?” tanya Winonna.

Nana, Mika, dan Reska terdiam sambil berpikir. Keheningan beberapa menit menyelimuti keempatnya.
Sampai akhirnya, Reska membuka suara.

“Jadi yang berbeda dari yang lain. Yang berbeda itu bakal terus diinget, win.”

“Permisi. Karin, ini Winonna.” Winonna mengetuk pintu rumah Karin. Hari sudah malam, setelah
berdiskusi dengan sahabatnya dan mendapatkan jawaban, Winonna semakin percaya diri.
Namun, sekarang kakinya lemas karena ingin bertemu dengan Karin. Bukan karena gugup karena takut
tidak bisa menyampaikan materi teknik bangunan dengan baik, melainkan dirinya kembali teringat
bagaimana Karin menciumnya tadi pagi.

Ceklek..

“Hai, win. Masuk.” Karin tersenyum lebar menyambut Winonna. Winonna yang disambut membalas
senyum tersebut jauh lebih lebar, “Malam, Karin.”

Karin mempersilahkan Winonna untuk masuk ke dalam rumah. Namun, tidak ada buku-buku ataupun
alat belajar di meja ruang tamu milik Karin.

“Ini kita belajar dimana?”

“Ya, di kamar aku?” Winonna mengangguk kemudian mengikuti Karin untuk menuju kamarnya di
lantai dua. Selama menuju kamar Karin, terlihat banyak foto Karin selama masih kecil. Karin terlihat
menggemaskan saat masih kecil, terdapat foto Karin yang sedang memegang piala dengan gelar “Juara
1 Lomba Menggambar”. Winonna berasumsi, salah satu dorongan Karin menjadi mahasiswa arsitektur
adalah bakat menggambarnya.

“Sini, masuk.” ucap Karin.

Terlihat sudah tertata rapih meja kecil dan beberapa cemilan yang disediakan oleh Karin di kamarnya.
Winonna tertawa kecil, cemilan nya terlihat seperti persiapan untuk menonton film dan bukan untuk
belajar. Cemilan yang disediakan sangat banyak.

“Kenapa ketawa?” tanya Karin.

“Kamu tuh mau belajar atau mau nonton film sih? Banyak banget cemilannya.”

Karin merespon dengan cengiran kecil, “Aku kalo belajar harus sedia cemilan banyak.”

Winonna mengangguk kemudian duduk di dekat meja kecil yang sudah disediakan dan disusul oleh
Karin yang duduk di sampingnya.

“Yuk mulai?” ajak Winonna. Karin mengangguk. Winonna dan Karin memulai kegiatan belajarnya.
Karin sesekali bertanya ketika ada yang tidak dimengerti dari penjelasan Winonna. Winonna
menjelaskan dengan sangat pelan agar Karin bisa mengerti.

Winonna juga sesekali membuat sebuah game kecil yang membahas materi mengenai struktur. Karin
dengan mudah mengerti karena metode belajar Winonna yang menyenangkan, ditambah Karin yang
sebenarnya termasuk mahasiswa pintar di jurusannya. Namun, teknik bangunan adalah kelemahannya.

“Tapi win, kalo misalkan gak mau ada kolom di ruangan 5mx8m gimana?” tanya Karin.

“Salah satu solusinya bisa pake truss structure. Tapi ada kelamahannya, kayak misalkan harus didesain
juga posisi utilitasnya terus juga loading nya harus pake truk besar yang membutuhkan akses untuk ke
rumahnya.” jelas Winonna
“Susah ya, ada solusi lain?” tanya Karin. Winonna memandang atas sambil berpikir, “Ada sih. Misal
make beam, tapi itu mahal. Terus bisa juga fabricated wall atau waffle slab,”

“Itu sebenernya tergantung lagi sama si arsiteknya, rin.” Karin mengangguk.

Karin dan Winonna melanjutkan kegiatan belajarnya selama dua jam. Kegiatan belajar yang terlalu
menyenangkan membuat keduanya lupa untuk makan malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00
malam. Mereka memilih untuk menyudahi kegiatan belajar tersebut.

Karin berinisiatif untuk memesan makanan untuk dimakan bersama dengan Winonna. Pilihan
makanan Winonna serahkan kepada Karin, dia akan memakan apapun yang dipesankan.

Setelah makanan datang, mereka memakan makanan tersebut sambil berbincang sedikit untuk
mengulang yang sudah dipelajari sampai makanan nya sudah habis. Karin dan Winonna kemudian
membereskan buku-buku dan bekas cemilan yang ada, lalu duduk bersampingan dengan bersender
pada kasur milik Karin.

“Gimana? Udah ngerti yang kamu susah pahami?” tanya Winonna.

“Udah banget. Kamu lebih jago ngajarnya dibanding dosen aku.” ucap Karin dengan semangat.
Winonna memberikan senyum kecil, “Kamu juga udah berusaha untuk memahami, jadi gak semua
peran dalam memahami materi nya ada di aku.”

Karin menatap Winonna lekat dan tersenyum, “Win, makasih banyak ya? Kamu hadir dengan
membawa banyak banget momen yang gak pernah aku ekspetasikan sebelumnya.”

“Kehadiran kamu, kaya rencana yang tak terduga, Winonna.”

“Kehadiran kamu juga rencana yang tak terduga dan yang paling indah, Karin.”

“Dan, rencana tak terduga dan paling indah ini..bisa kan aku miliki sampai seterusnya?”

P.S Truss structure adalah struktur yang terdiri dari frame segitiga yang disatukan menjadi satu
kesatuan. sistem truss banyak ditemukan di jembatan, atap, serta bangunan tinggi namun tidak
menutup kemungkinan untuk digunakan di struktur bangunan kecil.

Beam adalah batang lurus ditumpu di dua atau lebih titik, mendapatkan pembebanan tunggal, merata
maupun beban kombinasi (termasuk beban momen) dimana defleksi yang terjadi terdiri atas defleksi
linier berarah tegak lurus sumbu aksial dan puntiran.
262.
263.
264.
265.
266.
267. ISI FILE YANG DIKIRIM WINONNA
lebih detail lagi.
268.
269.
270.
271.
272. sebelum acara nembak menembak karin
273.
274.
275.
276.
277.
278.
279.
280.
281.
282.
283.
284.
285.
286. Maper

disaranin sambil denger lagu Westlife – Nothing's Going to Change My Love for You

Setelah menjemput Karin di rumahnya, Winonna melajukan mobil nya menuju tempat yang akan
mereka kunjungi untuk kencan pertama. Tak seperti sebelumnya, Winonna dan Karin bersenandung
bersama selama mendengarkan lagu dari radio. Sesekali berbincang mengenai kehidupan kampus.

Karin merasa senang, perihal omongannya mengenai tidak ada yang membuatnya nyaman untuk
berjalan-jalan di malam hari selain Winonna dan Papahnya adalah kenyataan. Winonna bisa membawa
suasana saat dulu dirinya berjalan-jalan dengan Papahnya. Lelucon yang disampaikan sampai pujian-
pujian yang dilontarkan Winonna membuat Karin nyaman tiada tara.

Karin bahkan tidak menyangka jalan hidupnya akan seperti ini. Bertemu dengan Winonna, menangis
dan marah karena nya, lalu jatuh cinta padanya. Entah apa yang sebenarnya semesta rencanakan untuk
dirinya. Karin hanya tau, dirinya beruntung bertemu dengan Winonna.

“Eh, lagu ini.”

Lamunan Karin terpecah, “Kenapa lagu ini?”

“Lagu nya George Benson, Karin. Ini lagu kesukaan mamah.” jelas Winonna semangat. Karin
membesarkan volume suara dari radio tersebut dan mendengarkan secara saksama, “Bentar, aku gak
asing sama lagu ini.”

“Pasti gak asing. Ini pernah dinyanyiin ulang sama Westlife, Rin.” Karin masih mendengarkan sambil
mengingat-ngingat mengenai lagu yang ada di radio.

“Lagu ini, lagu pacaran mamah sama papah dulu. Katanya sih, Papah suka nyanyiin ini buat mamah
dulu.” jelas Winonna.

“Seneng deh aku denger lagu ini lagi, di kondisi yang sama-sama pacaran. Apa aku perlu nyanyi juga
ya buat kamu?” Karin menganggut cepat, “Nyanyiin buat aku!”

Winonna mulai bernyanyi mengikuti suara penyanyi yang terdengar dari radio. Karin terdiam, tidak
pernah dipikirkan olehnya bahwa suara Winonna akaj sebagus ini.

“Hold me now..touch me now..I don't wanna live without you..” Winonna bernyanyi sambil fokus menyetir,
sesekali tersenyum melihat ekspresi Karin yang tidak bisa dijelaskan apa maksudnya.

Karin suka ini, bagaimana dirinya mendengar suara merdu Winonna dan diselimuti lampu malam kota.
Semua terasa indah, hatinya menghangat dan darah berdesir hebat saat Winonna menggenggam
tangannya.

“Nothing's gonna change my love for you..you oughta know by now how much I love you..” Karin mengikuti
Winonna bernyanyi, Winonna menoleh dengan raut muka terkejut. Karin hanya tersenyum sambil
terus bernyanyi.
“The world may change my whole life through..but nothing's gonna change my love for you..” Winonna mencium
lembut punggung tangan Karin. Karin bersumpah, dirinya hanya ingin Winonna terus disampingnya,
mengukir memori indah entah sampai kapan. Karina mau suasana seperti dan bagaimana Winonna
memperlakukannya, akan terus ia rasakan.

Karin bersumpah, ia hanya ingin itu dari Winonna, tidak lebih.

Mobil Winonna terparkir di depan rumah yang tidak berpenghuni. Terlihat ramai motor dan mobil
serta para remaja menuju satu tempat dengan cahaya lampu yang terang.

Winonna melepas seat belt miliknya, begitu juga Karin. Karin yang masih tidak mengerti tempat yang
kini mereka kunjungi hanya bisa mengerutkan dahi. Winonna yang berada di sampingnya diam
memperhatikan wanitanya sambil bersandar di stir mobil.

“Bingung ya ini dimana?” tanya Winonna. Karin mengangguk, “Aku bener-bener gak tau ini dimana.”

Kali ini giliran Winonna yang mengerutkan dahi, “Serius kamu gak tau?” Karin kembali mengangguk.

“Padahal anak arsi di kampus kita terkenal sama anak-anak hits yang suka nongkrong dan solid.”

“Ya kan gak menjamin tau semua tempat yang ada.” jelas Karin.

Winonna tertawa kemudian menegakan badannya, “Ini namanya sambas. Ini terkenal sama sate
taichan nya, banyak anak-anak muda kesini kadang sama pacarnya atau sama temennya. Aku dulu
sering kesini sama Reska, Mika, dan Nana. Tapi karena tugas kuliah yang numpuk dan jaraknya agak
jauh, kita jadi jarang lagi deh kesini.” jelas Winonna.

“Win.” panggil Karin. Winonna menyahut, “Hm?”

“Aku belum pernah makan sate taichan.” Winonna melihat raut muka malu-malu pada Karin.

“Jangan ledek-”

“Serius? Kamu belum pernah makan taichan?” potong Winonna. Karin menghela napas, “Tuhkan
kamu pasti mau ledekin aku, kan?”

“Enggak ledekin, cuman aneh aja masa iya sih belom pernah makan taichan? Sate taichan senayan?”
tanya Winonna.

“Belum ih kan aku udah bilang belum makan sate taichan. Mamah terlalu strict untuk makanan-
makanan kaya gini, Win.” Winonna tertawa kecil, “Ya Tuhan, kamu tuh ngelewatin salah satu makanan
surgawi selain cimol!”

Karin hanya menggaruk pelan tengkuknya dan tertawa kecil. Winonna mengacak pelan rambut Karin,
“Mulai sekarang kamu harus coba sate taichan senayan, Rin. Ayo kita makan makanan surgawi!” teriak
Winonna sambil menggenggam tangan Karin kemudian mengangkatnya keatas berpose layaknya
superman.

Karin tertawa, Winonna selalu memiliki lelucon yang menarik untuk dirinya.

Winonna turun dan membuka pintu untuk Karin, memegang tangan Karin erat seakan tak ingin Karin
menjauh darinya walau satu sentimeter saja.

“Aku yang pertama lagi dong ya ngajak kamu makan sate taichan sambas?” tanya Winonna.

“Iya kamu yang pertama, Win.”

“Aku nih mencetak sejarah terus ya. Tapi, kamu juga orang pertama yang aku ajak ke sambas selain
sahabat aku, Rin.”

“Rame juga ya.” ucap Karin.

“Bang, tiga porsi ya.” sahut Winonna. Karin menoleh ke Winonna, “Tiga porsi? Kita kan cuman
berdua?”

Winonna hanya tersenyum dan menarik Karin untuk mencari kursi untuk dirinya dan Karin. Kondisi
yang ramai membuat Winonna kesusahan untuk mencari kursi. Hanya ada satu kursi tersedia di antara
banyaknya kursi yang ditempati para pembeli.

“Kamu duduk situ, ya?” Winonna menunjuk satu kursi di pojokan. Karin mengikuti arah jari Winonna
menunjuk, “Loh? Kamu gimana?”

“Aku mah gampang. Yuk, kesana.” ajak Winonna. Tidak ada pilihan bagi Karin untuk menolak ajakan
Winonna. Sambil terus mencari kursi kosong, Karin khawatir dimana nantinya Winonna duduk.

“Tunggu sini, ya? Aku cari minuman dulu. Kamu mau dingin atau engga?” tanya Winonna.

“Dingin aja deh.” Winonna mengangguk kemudian pergi meninggalkan Karin untuk membeli
minuman.

Setelah beberapa menit, Winonna datang membawa dua botol air mineral. Winonna memberikan satu
botol tersebut kepada Karin. Mereka menunggu sambil berbincang ringan. Selang lima menit
kemudian, pesanan mereka datang bersamaan dengan orang di samping Karin beranjak bangun karena
sudah menyelesaikan makanannya. Winonna pun segera menduduki kursi tersebut dan meminta
penjual untuk mengangkat bekas sate taichan milik orang sebelumnya.

“Nah ini namanya sate taichan.” ucap Winonna semangat. Karin mengeluarkan handphone nya
kemudian mengambil beberapa foto makanan yang ada di depannya.

“Kebiasaan ya cewe, sebelum makan harus foto.” ledek Winonna. Karin menatap Winonna, “Kamu
kan juga cewe.”
“Ya terkecuali aku.”

Karin hanya menggeleng pelan, “Yuk makan! Berdoa dulu.” Karin dan Winonna menggenggam kedua
tangannya di depan dada untuk berdoa bersama. Setelah selesai berdoa, Winonna mengambil satu
tusuk sate kemudian menyelupkan sate tersebut ke sambal khas taichan.

“Hm, rasanya gak pernah berubah. Padahal aku terakhir kesini semester tiga gara-gara nilai UAS aku
sama sahabat aku pada jelek semua.” jelas Winonna.

“Jelek semua? Kamu kan pinter?”

“Dosen semester tiga rese-rese, Rin. Udah mana aku kan aktif organisasi jadi agak sedikit terbengkalai.
Satu-satunya nilai aku yang bagus itu di Struktur Baja karena kebetulan aku jadi asdos di mata kuliah
semester bawah yang dosen pengampu nya beliau.” jelas Winonna. Karin hanya mengangguk dan
kembali memakan sate taichan miliknya. “Gimana? Enak?” tanya Winonna.

“Enak! Seger gitu karena jeruk nipis nya.” ucap Karin semangat. Tanpa diketahui Winonna, Karin
mencoba butiran-butiran putih dekat sambal taichan untuk dimakan. Tanpa rasa bersalah, Karin
menyerok habis butiran kecil tersebut kemudian memakannya.

“Hm, asin.” ucap Karin sambil menyipitkan mata nya menahan rasa asin yang menyerang lidahnya.
Winonna menoleh ke Karin dan mendapat bahwa kaldu jamur yang ada di makan habis oleh Karin.

“Astaga, Karin! Ini kaldu jamur kamu makan semua?” Karin mengangguk kemudian mengambil air
mineral yang ada dan meminumnya. Winonna tertawa lebar, “Aduh aneh-aneh aja kamu. Kenapa gak
nanya aku dulu?”

“Lupa” ucap Karin pelan. Winonna mengelus pelan bahu Karin, “Pacar aku gemes banget?”

Karin memukul pelan bahu Winonna, “Jangan kenceng-kenceng nanti kedengeran orang lain.”

Saat kedua nya asyik memakan sate taichan, tiba-tiba hujan datang. Masalahnya, meja yang mereka
tempati tidak memiliki terpal di atasnya seperti tempat makan pinggiran kebanyakan. Hujan tiba-tiba
menjadi deras. Penjual menyuruh pembeli yang duduk di meja tersebut untuk berteduh di depan TK
yang tidak jauh dari tempat penjual.

Winonna membawa dua porsi taichan yang ia pesan, begitu juga Karin membawa taichan miliknya
yang belum habis.

“Kamu gapapa makan sambil berdiri?”

“Gapapa kok, Win. Ini aku udah mau habis. Kamu tuh gimana? Masih ada satu porsi lagi. Lagian,
kenapa pesen tiga porsi deh?” Karin mencari tempat yang nyaman agar mereka bisa makan sambil
berteduh.

“Satu porsi taichan tuh gak cukup, Rin.” Winonna tertawa sambil memakan sate taichan di tangannya.
“Itu mah kamu aja. Aku segini kenyang kok.”
“Hah? Segitu kenyang?” Karin mengangguk. Winonna menggelengkan kepalanya, “Kamu unik
banget.”

“Tapi kamu suka, kan?”

“Kalo itu mah udah pasti, Karin.”


287.
288.
289.
290.
291.
292.
293.
294.
295.
296. besok pagi nya
297.
298.
299.
300.
301.
302.
303.
304. malamnya
305. Belajar

Waktu menunjukkan pukul 19.50, Reska sudah terlebih dahulu sampai di rumah Karin. Suasana
lingkungan rumah Karin yang sepi membuat Reska bergidik ngeri. Ketiga temannya belum juga datang,
walaupun sebenarnya dirinya lah yang terlalu cepat datang. Dirinya hanya duduk di motornya yang
terletak dekat pagar rumah milik Karin sambil melihat sekitar.

Lima menit berlalu, ketiga temannya belum kunjung datang. Reska saat ini berpikir bahwa lebih baik
ia menunggu di pos satpam terlebih dahulu. Namun, jarak yang lumayan jauh dari rumah Karin
membuat Reska kembali mengurungkan niatnya. Ditambah, bisa saja ketika dia menuju pos satpam,
ketiga temannya tersebut datang.

Srek..

Srek..

Reska menoleh pelan ke arah taman milik Karin. Tidak ada siapapun disana.

Srek..

Reska menoleh kembali untuk memastikan bahwa sumber suara berasal dari taman milik Karin.
Namun, nihil. Tidak ada siapapun disana. Reska mulai tidak nyaman dan mengeluarkan handphone
miliknya untuk memberikan pesan kepada temannya.

“Duh kemana sih nih pada.” ucap Reska. Reska terus mencoba menghubungi teman-temannya lewat
telpon, tetapi tidak ada jawaban.

Srek..

Bruk....

Suara kayu terjatuh membuat Reska kembali menoleh, “Aduh jujur ini mah, saya disini cuman
numpang belajar doang. Tolong jangan ganggu saya, saya masih harus lulus sarjana.” Reska
merapatkan tangannya sambil memohon ampun.

Srek..

“Hi..hi..hi..”

Bersamaan dengan suara cekikikan dari perempuan, ada wanita berambut panjang dan berbaju putih
muncul dari balik tembok halaman rumah Karin, “Reska...”

“WAAAHHH MAMAH.”

Winonna mengikuti Karin untuk mengambil beberapa cemilan yang akan disediakan di ruang tamu.
Langkah Karin yang berhenti membuat Winonna menabrak Karin yang ada di depannya.
“Ya ampun. Kamu jalan yang bener dong, Rin.”

Karin tertawa kecil kemudian memeluk Winonna, “Aku kangen.” Winonna hanya mematung, dirinya
belum terbiasa akan hal ini. Tangan Winonna ragu-ragu naik untuk mengelus pelan kepala milik
kekasihnya tersebut.

“Kita kan baru ketemu kemarin?” tanya Winonna sambil terus mengelus puncak kepala Karin.

“Gak tau. Aku tiba-tiba kangen kamu.” ucap Karin kemudian mengeratkan pelukannya pada Winonna.

'Duh nikmatnya membuat dosa', batin Winonna.

Karin melepas pelukannya dan menatap sekitar kemudian menatap Winonna lekat. Detik selanjutnya,
Karin mengecup pelan pipi dari Winonna.

“Ucapan terima kasih karena mau nemenin aku malam ini.” Karin tersenyum kemudian berjalan
menuju laci penyimpanan makanan ringan di sudut ruangan.

Winonna memasang raut muka mata yang terbelalak dan mulutnya yang terbuka. Kali ini Winonna
benar-benar terkejut akan sikap Karin yang tiba-tiba. Dirinya masih mencerna apa yang barusan terjadi.
Winonna memegang pipinya, “Karin..”

Suara nya yang terlampau pelan membuat Karin tidak mendengar panggilan Winonna. Karin yang
baru saja mengambil beberapa cemilan terkejut ketika Winonna sudah berada persis di belakangnya.
“Winonna! Kaget tau!” ucap Karin sambil membawa makanan di pelukannya.

Winonna hanya menatapnya datar. Karin melihat sekitar dan melihat badannya sendiri, mencari apa
yang salah dari dirinya ataupun di sekitarnya. Winonna semakin menatap Karina intens, “Kamu mulu
yang cium aku. Aku juga bisa, Rin.”

Winonna mendekatkan wajahnya kepada wajah Karin. Karin menelan ludah berat, wajah Winonna
semakin dekat. Hembusan napas Winonna mulai menerpa wajah Karin. Kedua nya menutup mata.
Bibir kedua nya hanya berjarak satu sentimeter.

“WOY! NGAPAIN SI LAMA BANGET”

Suara teriakan dari ruang tamu menginterupsi keduanya. Winonna dan Karin membuka mata
kemudian membuat jarak sambil berdeham. “A-anu..ayo kesana pasti udah ditunggu.” ucap Karin.
Karin berjalan melewati Winonna. Namun, tangan Winonna menahan tangan Karin. Winonna berjalan
ke depan Karin sehingga dirinya berhadapan dengan kekasihnya itu.

Winonna mengecup pelan bibir milik Karin. Lima detik kedua bibir itu saling menempel. Hanya
menempel, Winonna belum berani melakukan lebih dari itu.

“Aku juga mau rasain jadi orang yang cium, bukan dicium.”
Winonna serta beberapa temannya belajar bersama dan sesekali berdiskusi. Karin yang berbeda jurusan
dari mereka mengambil tempat yang sedikit berjauhan dari keempatnya. Sesekali Mika melemparkan
cemilan ke arah Nana yang terus menjawab pernyataan tidak masuk akal.

“Berarti mending make rangka beton bertulang gak sih? Secara kan dia lebih kuat untuk menahan
beban dibanding rangka baja biasa.” ucap Winonna.

“Tapi baja tuh daya tarik ke material nya lebih kuat gak sih? Jadi kenapa gak rangka baja aja?” tanya
Mika.

“Menurut gue, baja itu gak kaya beton bertulang. Beton bertulang kuat banget karna dia make lapisan
beton yang kuat terus campuran beton yang dituang di rangka ditambah rangka nya yang betulang,
menurut gue itu lebih baik sih.”

Mika mengangguk pelan diikuti oleh Reska dan juga Nana. Karin yang sedikit mendengarkan
percakapan Winonna dan temannya berkeinginan untuk menimbrung, “Baja juga gak bisa dibentuk di
tempat, harus dari pabriknya udah dibentuk sesuai yang diinginkan kan?” Winonna mengangguk.

“Baja juga rentan rusak karna cuaca, mudah korosi juga jadi perlu lapisan korosi. Tapi kalo hubungan
gue sama Karin sih, badai tsunami menerjang juga kuat.” ucap Winonna.

“Yeee! Bucin mulu lo!” kali ini Mika melempar kacang sukro kepada Winonna. Karin yang berada tak
jauh dari Karin hanya bisa tertawa kecil melihat kekasihnya itu.

“Terus gimana ya cara yang tepat biar rangka konstruksi nya ini kuat dan tepat walau ada goyangan
inul daratista?” tanya Reska.

“Suruh rangka nya pacaran aja, nanti juga nempel dengan kuat.” jelas Winonna.

“Ah gak jelas lo setan! Persis sama Pak diding.” ucap Reska dengan melempar lagi kacang sukro yang
ada di tangannya ke Winonna. Winonna menangkis kacang yang dilempar kepadanya, “Karin tolong,
ini aku dirundung sama mereka.”

“Tolong jangan kotorin rumah gue, Reska.” suara Karin menginterupsi kegiatan Reska yang asyik
melempari Winonna. Reska terdiam ketika Karin tengah menatapnya tajam.

“Aduh galak juga pawangnya. Ampun, Rin.”

“Mampus.” sahut Winonna.

“Diem lo, Win. Gue tau nakutin gue make kunti Karin tadi tuh ide lo kan?”

Mika dan Nana tertawa kencang diikuti oleh Karin dan Winonna. Reska mendengus kesal mengingat
bagaimana dirinya sampai terjatuh karena terkejut.

“Aduh lucu banget. Gue ada video nya nih.” Mika tertawa kencang. Reska memberikan protes kepada
keempat orang tersebut karena sudah mengerjai dirinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Teman-teman dari Winonna menyudahi kegiatan belajar
bersama di rumah Karin karena sudah memahami mengenai mata kuliah yang akan diujikan esok hari.
Reska, Mika, dan Nana membereskan beberapa sampah dan barang yang berantakan akibat ulah
mereka.

Winonna meminta izin untuk pergi ke toilet dulu dan meninggalkan handphone nya di meja ruang tamu.
Karin yang sedang membereskan beberapa barang yang ada teralihkan oleh suara getaran handphone
milik Winonna yang menampilkan beberapa pesan masuk.

Mata Karin membesar ketika melihat pesan masuk yang ada.

“Ini siapa..”
306.
307.
308.
309.
310.
311.
312.
313. Hari H UAS
314.
315.
316.
317.
318.
319. winonna random
320. NEXT DAY

Winonna serta ketiga sahabatnya keluar dari kelas dengan raut muka yang tidak bisa dijelaskan, entah
sedih ataupun marah. Winonna menghela napas berat, kehidupannya di semester yang sudah hampir
akhir ini terasa semakin berat. Jika orang merasakan salah jurusan saat mulai semester tiga, Winonna
justru merasakan saat ini, yaitu semester tujuh.

Tatapan Mika dan Nana terlihat kosong, seperti tidak ada nyawa. Mereka berjalan dengan mengikuti
jalur yang ada saja. Beberapa kali tertabrak pelan orang-orang yang melewati mereka. Reska hanya
melihat sekitar tanpa berbicara dengan posisi di belakang Winonna.

“Gue lulus matkul ini gak ya..”

“Mau optimis lulus juga berasa gak pantes.”

Mika dan Nana membuka pembicaraan diantara mereka berempat.

“Udahlah, pasrah aja. Gak usah dibahas lagi, masih ada ujian besok.” sahut Winonna. Reska
mengangguk setuju akan perkataan Winonna, “Tinggiin di matkul lain aja lah kalo gak mau IPK kita
semester ini dibawah tiga.”

“Bisa digoreng gue sama si Mateen kalo ada yang gak lulus mata kuliah semester ini atau IPK di bawah
tiga.”

“Ya sama, digoreng juga gue sama bokap nyokap.” ucap Mika.

Drrt..

Drrt...

Handphone milik Winonna bergetar. Winonna melihat jam yang melingkar di tangannya. Waktu
menunjukkan pukul 15.35. Winonna mengambil handphone-nya, terdapat pesan masuk dari Artha.

Aku udah deket Jakarta

Bilang temen kamu jangan telat.

Reska melihat Winonna yang sedang membalas pesan yang entah dari siapa pun bertanya, “Siapa?”

“Sepupu gue. Mending lo sekarang jemput deh, ngeri macet.” jelas Winonna.

“Sepupu? Lah sepupu lo bocah semua gimana naik pesawatnya? Ada Om lo apa gimana?” tanya Nana.
Nana dan Mika melihat Winonna dengan raut muka kebingungan. Reska menahan tawanya, “Kasih
tau tuh temen lo, Win.”

“Gue sebenernya ada sepupu juga yang umurnya beda dua tahun sama kita. Kebetulan dia lagi summer
break jadi ya liburan deh dia ke sini.” jelas Winonna. Mika dan Nana mengangguk. Pesan masuk dari
Papah Winonna untuk segera menjemput sepupunya membuat dirinya menyuruh Reska untuk segera
berangkat.

“Lah saudara lo udah landing apa gimana? Kok udah bisa nge-chat lo?” tanya Reska.

“Norak lo. Pesawat juga ada Wi-Fi kali.” sahut Mika. Reska mendengus kesal dan menatap sinis Mika,
“Yaelah gue kan gak tau.”

“Udah daripada lo bawel, mending sekarang berangkat.” Reska mengangguk, “Jangan lupa bayaran.”

“Iya bawel.”

“Inget ya, anterin nya ke kost gue. Jangan ke rumah gue. Nih kunci kost gue, awas lo aneh-aneh sama
sepupu gue.” Winonna melempar kunci kost miliknya ke Reska. Reska menangkap kunci tersebut dan
pergi meninggalkan ketiga sahabatnya.

“Ini aku di depan gedung.”

”....”

“Oke. Aku make kemeja kotak-kotak ya.”

”....”

“Iya yang paling cakep pokoknya.”

Winonna tertawa kecil mendengar celotehan dari bibir Karin ketika dirinya mengatakan ciri-ciri untuk
menemukan dirinya. Setelah selesai menyampaikan keberadaannya pada Karin, Winonna pun
mematikan sambungan telepon.

Selang beberapa menit kemudian, Karin datang menghampiri Winonna. Karin mengelus pelan bahu
Winonna sehingga membuat Winonna menoleh ke samping. Karin melemparkan senyum manisnya
kepada Winonna. Winonna pun mengajak Karin untuk makan terlebih dahulu ke Mekidi. Karin
menyetujui hal tersebut karena bagaimanapun juga berpikir menguras tenaganya sehingga rasa lapar
pun menyerang.

Setelah di mobil, Winonna menceritakan bagaimana sulitnya ujian yang dilakukannya tadi. Sesekali
Karin mengelus pelan pipi Winonna untuk menenangkan kekasihnya itu. Winonna yang merasa
nyaman ketika pipinya dielus pun menyenderkan kepalanya di tangan Karin ketika ada lampu merah
dan menggoyangkan kepalanya sehingga pipi tembamnya masuk ke dalam.

“Kalo kamu gimana ujian nya tadi?” tanya Winonna. Karin melihat atas sambil mengira-ngira, “Hmm,
gak susah sih. Cuman emang ada beberapa yang aku jawabnya lama. Soalnya konteksnya kota kan jadi
lebih luas lingkupnya dan lebih detail.” jelas Karin. Winonna mengangguk pelan mendengarkan
penjelasan Karin, “Hebat pacar aku. Pasti nilamu bagus, Rin.”
“Semoga.” ucap Karin.

“Eh iya, Artha sampe sini jam berapa?” tanya Karin.

Winonna terdiam sebentar, dirinya takut Karin akan marah karena dirinya memilih untuk menjemput
Karin dibanding Artha. Karin menunggu jawaban Winonna, “Win?”

“Eh, itu..tapi kamu jangan marah ya..” ucap Winonna. Karin mengerutkan dahi, hal apa yang membuat
Winonna takut dirinya marah. “Ada apa emang?” tanya Karin.

“Aku minta Reska buat jemput Artha karna aku udah janji jemput kamu. Soalnya awalnya Artha itu
jam 9 malam landing-nya tapi entah kenapa jadi jam empat sore.” jelas Winonna.

Karin tersenyum kemudian melonggarkam sedikit seat belt miliknya lalu mencium pelan pipi Winonna,
“Gapapa, Win. Tapi lain kali, pentingin keluarga dulu ya baru aku?”

Winonna membalas senyumnya kemudian mengangguk, “Lagi dong ciumnya.” Karin menggeleng
pelan dan memukul pelan bahu Winonna. “Gak mau, wle.”

Winonna mengerucutkan bibirnya, Karin yang melihatnya gemas jadi tidak tega untuk menolak
permintaan Winonna. Karin pun mencoba melonggarkan kembali seat belt miliknya kemudian
mencondongkan badannya ke Winonna.

Namun tepat saat Karin ingin mencium pipi Winonna, Winona dengan sengaja menengok ke arah
Karin sehingga bibir mereka lah yang bertemu. Winonna melepas terlebih dahulu tautan bibir
keduanya karena sedang menyetir.

“MODUS BANGET SI LO ANJIR.”

Karin memukul bahu Winonna. Winonna tertawa keras sambil memohon ampun.

“Tapi suka, kan?”

“WINONNA DEMI TUHAN LO GAK JELAS BANGET!” rengek Karin. Winonna hanya bisa
tertawa dan sesekali terus meledek Karin. Sambil berbicang-bincang dan meledek kekasihnya,
Winonna menjalankan mobilnya menuju restoran cepat saji untuk memesan beberapa makanan. Karin
meminta untuk take away karena sepupu Winonna sedang di Jakarta dan Winonna juga harus ke rumah
nya malam ini.
321.
322.
323.
324.
325. Ketahuan

Winonna dan Artha tengah menatap satu sama lain. Raut muka takut terpancar dari Winonna. Artha
mengelus pelan punggung tangan Winonna saat Papah Winonna datang menghampiri mereka.

“Karin?”

Winonna menunduk, dirinya terlalu takut menatap kedua mata Papahnya. Artha menatap Winonna
cemas, berharap bahwa yang didengar oleh Papah dari Winonna tidak sepenuhnya jelas.

“Dek, Papah nanya loh.” ucap Papah Winonna. Winonna mengangkat kepalanya ragu, badannya
bergetar. Artha yang disampingnya menggenggam erat tangan Winonna yang sudah sangat dingin.
Artha tau, sepupunya saat ini benar-benar merasa takut.

“Om, tad-”

“Iya. Adek sama Karin, Pah.” ucap Winonna memotong perkataan Artha. Artha menatap bingung
Winonna yang disampingnya. Winonna berdiri dari duduknya, menatap Papahnya takut.

“Adek suka sama Karin, Pah. Kalo Papah mau marahin Adek sekarang perkara ini adalah hal yang
tidak benar, silahkan. Tapi Adek minta maaf karena Adek gak bisa menahan rasa yang muncul ketika
Adek liat Karin, Pah.” jelas Winonna. Suaranya bergetar, tangannya tak lepas dari genggaman Artha.

“Winonna..” Papah Winonna menatap Winonna kemudian menghela napas berat.

Tak lama, terdengar suara isakan tangis. Winonna menangis, “Pah, kalo Papah mau pukul Adek kaya
yang Papah lakuin dulu ke Mamah, lakuin aja. Tapi itu semua gak akan merubah rasa Adek ke Karin,
Pah. Adek suk-enggak bahkan Adek udah sayang sama Karin. Adek merasa ada kehadiran Mamah
selama Karin ada. Adek melihat sosok Mamah di diri Karin, Pah.”

Perlakuan dari Papah Winonna setelahnya, membuat Winonna dan Artha terbelalak matanya. Rasa
yang pernah Winonna rasakan sebelumnya, rasa asing yang dirindukan menjalar di tubuh Winonna.

Untuk sekian lamanya, Papah Winonna memeluk Winonna. Memeluk erat Winonna. Seakan esok
adalah hari akhir. Tangannya mengelus pelan puncak kepala Winonna. Kehangatan menjalar di kedua
tubuh yang saling melekat. Winonna menangis semakin kencang. Sosok seorang Ayah yang
dirindukannya telah hadir kembali.

“Jika itu yang Winonna rasakan, lanjutkan. Lakukan sesuai kemauan kamu, Dek. Papah dukung
keputusan kamu,”

“Asal itu yang bikin Adek Winonna bahagia maka Papah akan bahagia juga.
326.
327.
328.
329.
330. SKIP ke hari akhir UAS
331.
332.
333.
334. Bolo-bolo

Karin memarkirkan mobilnya di halaman rumah Winonna. Artha sudah menunggu di depan pintu
dengan raut muka bahagia. Karin yang baru saja turun langsung menyapa Artha, “Hai!”

Winonna melihat dua wanita kesayangannya sedang berbincang sambari tertawa sesekali membuat
hatinya hangat. Pemandangan seperti ini sudah lama tidak ia lihat. Biasanya Mamahnya lah yang
menyapa Artha yang baru saja datang ke Jakarta, tetapi kini Artha lah yang menyapa Karin untuk
pertemuan pertama kalinya.

“Ya ampun, Win. Aku gak nyangka sepupu kamu secantik ini.” ucap Karin sambil merangkul Artha
yang tersipu karena ucapan Winonna.

“Ah Kak Karin bisa aja! Winonna nih pinter banget cari pacar, padahal dulu dia tuh bocah ingusan,
Kak. Kak Karin mau aja sama dia.” sahut Artha sambil menjulurkan lidahnya ke Winonna.

“Enak aja! Kamu tuh bocah ingusan yang jatuh di got depan!” Winonna tidak mau kalah dengan Artha
dan terus saling sahut-menyahut. Karin tertawa lebar, diakhiri dengan Artha yang mengajak keduanya
masuk ke dalam rumah.

“Kuliah dimana, ta?”

“Di Brisbane, Kak.” jawab Artha. Karin mengangguk sebagai respon, “Jurusan apa deh kamu?” tanya
Karin.

“Aku jurusan Ilmu Komunikasi, Kak. Kak Karin jurusan apa?”

“Aku Arsitektur, ta. Sama tuh kaya jurusan Papahnya Winonna.” jelas Karin. “Pantesan Om Wira
setuju aja! Udah cantik, sesama anak arsitektur. Gas banget lah.” canda Artha.

“Kamu mau jalan-jalan keliling Jakarta nih ceritanya?” tanya Karin. Artha mengangguk, “Mumpung di
Jakarta, Kak. Lagian juga aku ke Jakarta bisa dua sampai tiga tahun lagi.”

Winonna datang dengan keadaan sudah membersihkan badannya, bajunya pun sudah diganti.
Winonna berjalan menuju samping Karin. Tanpa permisi, Winonna tidur di paha Karin yang sedang
berbincang dengan Artha.

“Ih, Win. Bilang dong kalo mau tidur disini.” ucap Karin. Winonna hanya tersenyum kemudian
merubah posisinya menghadap Artha. “Kamu mau ke mana emangnya, ta?” tanya Winonna.

Artha menggelengkan kepala, “Ya aku gak begitu hafal, Win. Makanya aku ngajak kamu diskusi
tempat.” Winonna terdiam sambil berpikir kira-kira tempat mana yang menyenangkan untuk
dikunjungi di Jakarta.
“Eh biar gak sepi, gimana kalo kita ajak temen-temen kita aja, Win. Siapa tau mereka punya
rekomendasi tempat yang bagus.” sahut Karin. Winonna merubah posisi nya jadi duduk kemudian
mengangguk setuju atas usulan Karin. Artha pun tidak keberatan atas usulan itu.

“Ada Kak Reska dong?” tanya Artha semangat. Winonna memutar bola matanya, “Kenapa emang
kalo ada Reska?”

Artha kemudian tersenyum malu, “Ya gapapa sih.” Karin menatap kedua saudara di depannya ini,
tidak paham apa yang terjadi. “Kenapa emangnya Reska dan Artha, Win?” tanya Karin.

“Tau tuh, naksir kali.”

“Ya ampun. Gapapa kali, Reska juga baik kok. Tapi emang mulutnya suka gak jelas aja.” Karin tertawa
dan diikuti Artha. Artha kemudian bertanya-tanya mengenai Reska ke Karin. Winonna hanya menatap
malas keduanya sambil menghubungi temannya untuk datang ke rumahnya. Karin pun menghubungi
teman-temannya setelah diberitahu oleh Winonna.

Reska, Mika, Nana, Gifani, dan Lia datang ke rumah Winonna di waktu yang bersamaan. Seperti biasa,
Reska sebagai orang terheboh diantara teman-temannya mengucapkan salam dengan berteriak
sehingga membuat Winonna terlonjak kaget.

“Permisi paket!” teriak Reska. Terdengar sayup suara tertawa dari teman Winonna dan Karin.
Winonna menghela napas berat kemudian berjalan menuju pintu untuk membukanya.

“Kebiasaan banget mulut lo pantesnya di hutan.” ucap Winonna setelah membuka pintu rumahnya.
Reska hanya merespon dengan memberi tanda peace pada tangannya. Setelah itu, teman-temannya
dipersilahkan masuk.

“Eh Artha.” sapa Reska pada Artha. Karin yang mengetahui kondisinya pun menyenggol Artha untuk
merespon balik sapaan Reska. Artha tidak dapat menahan rasa malunya. “Pipi kamu merah banget,
ta.” bisik Karin. Artha memukul pelan lengan Karin karena dirinya salah tingkah.

“Ini siapa lo, Win?” tanya Lia sambil menunjuk Artha. Winonna menoleh, “Sepupu gue, Li.”

“Pacar masa depan gue, Li.” sahut Reska yang membuat Winonna melempar bantal kursi kepada
Reska, tetapi bantal tersebut dapat dihindari dan melayang ke arah Gifani. “Aduh, Win! Kenapa jadi
gue yang kena sih.”

Kejadian tersebut mengundang gelak tawa dari orang yang berada di ruang tengah rumah milik
Winonna.

“Sebenernya, kita mau ngapain disuruh kesini?” tanya Mika. Winonna pun menjelaskan maksud dan
tujuan dirinya dan Karin mengajak teman-temannya untuk datang ke rumahnya. Teman-temannya pun
dengan cepat menyetujui rencana tersebut, terlebih kini mereka sudah menyelesaikan UAS nya dan
berencana untuk melakukan refreshing sebelum berhadapan dengan baik tugas akhir maupun magang.
“Gimana kalo kita ngegambar aja peta rencana jalan-jalan kita?” ajak Karin. Winonna menyetujui hal
tersebut dan bergegas mengambil tab miliknya untuk dijadikan tempat menggambar.

“Okay, sekarang dari lo, Mik. Kira-kira tempat yang bagus ke mana?” tanya Winonna.

“Gue saranin ke TeamLab Future Park di Gandaria City sih, keren banget itu tempat gue belom
kesampean kesana juga.” jelas Mika. Nana yang di samping Mika mengangkat tangan, “Gue setuju
sama Mika. Tempatnya bagus banget. Kita harus kesana sih.”

“Okay, Mika dan Nana ke TeamLab Future Park ya.” Winonna mencatat list tempat yang disarankan
keduanya.

“Reska lo saranin apa? Yang bener ya awas lo ngaco.” ucap Winonna.

“Sensi banget lo sama gue. Nih, gue saranin Hot Stuff di Menteng. Gila itu best chicken burger in town!
Lo harus cobain seenggaknya sekali dalam hidu-”

“Gue setuju sama Reska! Gue pernah cobain dan itu enak banget!” ucap Gifani. Karin yang berada
tak jauh darinya buka suara, “Kok lo gak pernah ngajak gue?”

“Hehe, pas itu gue sama saudara juga sih, Rin.” jelas Gifani. Lia hanya menggelengkan kepala, “Boong
kali ah.” kemudian disambut gelak tawa Karin dan Gifani.

Winonna kembali mencatat saran dari Reska dan juga Gifani. Selanjutnya Lia menyarankan untuk ke
Cafe Batavia yang menjadi salah satu tempat cozy di Jakarta Barat. Winonna dan Karin memilih untuk
ke Segarra Ancol di akhir perjalanan jalan-jalan mereka.

“Jam enam pagi udah harus di rumah Karin. Rumah Karin tengah-tengah jadi lebih enak. Nanti yang
bawa mobil atur aja, tapi yang pasti Gue bawa mobil dan Karin sama gue.” jelas Winonna.

“Gimana kalo kita namain aja? Jadi Bolo-bolo team?” tanya Reska.

Semuanya tertawa dan mengangguk setuju atas usulan Reska.


335.
336.
337. Foto yang dimaksud
338. SKIP Jalan-Jalan.
339.
340.
341. Tentang Winonna

Winonna Karina, dan Artha telah sampai di rumah. Winonna menyuruh Karin untuk menginap di
rumahnya karena Karin kondisi rumah Karin yang hanya diisi oleh Karin, sedangkan Ibu dari Karin
sedang pergi ke luar kota. Winonna terlihat sangat lelah karena dirinya menyetir dari pagi hingga
malam.

Winonna terlebih dahulu pamit untuk membersihkan badan, disusul oleh Karin dan Artha di kamar
mandi yang tersedia. Setelah beberapa menit, Karin dan Artha selesai dan menuju ruang tengah. Artha
mengambil beberapa cemilan dan duduk di samping Karin.

“Gimana, Ta? Seneng gak?” tanya Karin. Artha membuka cemilan di tangannya, “Seneng banget,
Kak.”

“Syukurlah. Eh, Winonna mana ya?” tanya Karin. Artha menggeleng. Karin mencoba mengecek ke
kamar milik Winonna dan mendapati Winonna yang tertidur dengan handphone masih di tangannya.
Karin mencoba mengambil handphone milik Winonna dan meletakan di meja samping kasur. Setelah
itu, Karin menarik selimut untuk menutupi sebagian badan milik Winonna.

“Selamat tidur, sayang.” Karin mengecup pelan puncak kepala Winonna dan keluar kamar menuju
ruang tengah.

“Udah tepar anaknya, Ta.” Karin tertawa kecil. Artha ikut tertawa dan menawarkan cemilan kepada
Karin.

“Kak, gimana bisa pacaran sama Winonna?” tanya Artha. Karin menoleh kemudian tersenyum, “Awal
kita bisa ketemu tuh konyol banget, Ta.”

“Kebetulan pas itu aku baru aja selesai penilaian akhir sebelum presentasiin tugas aku. Tiba-tiba si
bocah satu itu lari karena telat dan nabrak aku. Alhasil, maket aku itu jatuh. Winonna malah lari dan
gak tanggung jawab.”

“Ya ampun, kalo Om Wira tau anaknya begitu bisa dimarahin abis-abisan.” sahut Artha. Karin tertawa
menanggapinya.

“Dari situ, aku mulai nyari orangnya siapa yang nabrak karena aku yakin dia beda jurusan. Beberapa
hari aku baru tau orangnya itu Winonna dari si Mika. Kita sempet cekcok gitu deh, Winonna keras
kepala banget gak mau ngaku kalo dia salah. Yaudah aku juga gak kalah keras kepala, aku mau dia
kerjain tugas aku yang kebetulan berhubungan sama konstruksi gitu.”

“Sampai akhirnya tiba-tiba dia ngide ngajakin aku ke Aquarium di Nano Soho. Terus dari situ berlanjut
jalan-jalan terus dan akhir dia ngenalin kalo Papahnya itu salah satu orang yang nilai tugas aku, Ta. Aku
panik banget, tapi ternyata Pak Andera menerima aku dengan baik Puji Tuhan. Gak lama dari situ dia
nyatain perasaan dia dan aku sempet ragu, jadi aku minta dia buat yakinin aku.”

“Tiba-tiba dia bikin kaya panel karya yang biasanya dibuat sama anak arsitektur dan buat bangunan
kayak exhibition yang isinya tenang perjalanan kita dan pesan-pesan dari dia untuk confess ke aku. Gimana
ya ta? Masa iya ada yang nolak setelah usaha sebanyak itu. Akhirnya aku terima dan kita pacaran.” jelas
Karin. Artha tersenyum ke Karin. Karin menatapnya bingung, “Kenapa, Ta?”

“Kak Karin itu pacar pertama Winonna.” ucap Artha. Karin menunduk malu, “Oh iya, kalo itu aku
tau.”

Artha memposisikan dirinya berhadapan langsung dengan Karin kemudian meletakan cemilannya di
meja.

“Winonna itu anaknya lempeng banget, Kak. Dia cuman suka belajar, tidur, dan main game. Semenjak
masuk kuliah, dia jadi suka ikut organisasi. Katanya sih biar dia gak di kamar mulu. Oh iya, Om Wira
tuh orangnya sibuk banget karena sering dapat proyek di luar kota. Winonna kecil jarang ketemu sama
Papahnya makanya dia jadi deket banget sama Mamahnya. Semua berjalan baik-baik saja, sampai saat
SMA Om Wira ketauan ada hubungan sama cewe lain,”

“Semenjak itu, Om Wira sering marah-marah ke Mamahnya Winonna. Selalu menghindar saat diminta
untuk penjelasan, sampai puncaknya Om Wira pas itu telfonan sama cewe lain dan Mamahnya tau.
Mamahnya ngebanting handphone Om Wira dan Om Wira lepas kendali sehingga melakukan kekerasan
ke Mamahnya Winonna. Winonna yang lagi di kamar langsung keluar dan liat Mamahnya sedang
dipukul sama Om Wira, Kak.”

Artha terdiam, kejadian yang terjadi cukup berat. Artha dapat merasakannya karena hanya padanya lah
Winonna bercerita. Artha menjadi saksi bagaimana Winonna melewati hari-hari beratnya.

“Winonna cuman bisa diam. Papahnya pergi setelah melakukan hal itu. Entah kemana, sampai
Winonna masuk kuliah. Mamah Winonna berusaha untuk membujuk Winonna agar mau berbicara
dan bertemu dengan Papahnya saat itu. Mamah Winonna berkata bahwa keadaan sudah membaik.
Winonna menolak saat itu walaupun Papahnya sudah benar-benar berubah menjadi pribadi yang lebih
baik, tetapi luka yang diderita Winonna masih tidak bisa dilupakan terlebih luka tersebut berkaitan
dengan Mamahnya.”

“Singkat cerita, hubungan mereka masih belum baik. Winonna semester dua saat itu, saat dimana
Mamah Winonna terkena serangan jantung dan Winonna sedang kuliah sehingga tidak ada orang di
rumah selain Mamahnya. Semua berlalu cepat, Mamah Winonna meninggal. Winonna hancur,
hubungannya dengan Papahnya semakin hancur. Winonna menyalahkan Papahnya atas kematian
Mamahnya karena seharusnya bisa saja Mamahnya dapat tertolong apabila ada orang di rumah.”

Artha menghela napas berat. Karin tidak dapat menahan tangisannya, kekasihnya melalui banyak hal-
hal berat.

“Winonna jadi mulai menyukai dunia malam. Winonna dulu sering minum, setau aku Winonna ketemu
sama keempat temannya pas mereka lagi ada kegiatan. Teman-temannya yang ngebantu Winonna
untuk bangkit. Dulu aku gak tau temannya siapa aja, tapi Winonna selalu bilang kalo dia punya teman
yang baik, teman yang membantu dia pulih. Tapi Papah Winonna salah paham dan menganggap
temannya membawa dampak buruk. Itu bikin hubungan keduanya semakin renggang.”
Artha melanjutkan cerita bahwa kedua hubungan ayah dan anak itu mulai membaik akhir-akhir ini.
Winonna mulai membuka diri kembali ke Papahnya, setelah Papahnya mengatakan akan mendukung
apapun keinginan Winonna.

“Winonna gak pernah cerita ini ke aku.” ucap Karin. Artha mengelus pundak Karin, “Winonna pasti
butuh waktu, Kak.”

“Aku gak mau ninggalin dia sendirian, Ta. Aku gak mau dia harus ngerasain jauh dari orang terdekat
dan orang yang dia sayang.”

“Iya, Kak. Winonna pasti juga berkeinginan hal yang sama.”

Artha mengambil minuman di dekatnya dan meminum minuman tersebut. Karin melakukan hal yang
sama.

“Winonna orang yang baik, Kak. Dia gak akan macam-macam sama orang yang dia sayang. Kalo dia
sayang, dia akan tulus banget. Aku bersyukur, Winonna ketemu Kak Karin karena aku yakin Kak Karin
juga orang yang baik dan tulus.”

Karin tersenyum mendengar perkataan tersebut. Sebenarnya, Karin jauh lebih merasa bersyukur
karena dipertemukan dengan Winonna. Dirinya menyukai dirinya sendiri saat bersama Winonna.

“Oh iya, Kak Karin tau kalo misalkan Winonna bakal ambil S2 di Brisbane?”
342.
343. Pulang

Setelah dua minggu berada di Jakarta, Artha memutuskan untuk balik ke Brisbane. Waktu yang terlalu
singkat membuat Winonna tidak bisa lepas dari Artha karena masih dilanda rindu. Winonna, Karin,
dan teman-teman hadir di rumah Winonna untuk bermain bersama berhubung Papah dari Winonna
masih di luar kota. Kecuali Gifani yang kebetulan sedang ada urusan bersama keluarganya.

Artha memutar bola mata ketika Winonna tidak mau melepaskan pelukannya di malam terakhir
sebelum dirinya pergi. Winonna masih memeluknya sejak satu jam yang lalu. Terkadang berpindah
posisi dengan merangkul dirinya, tetapi tidak ada jarak barang 50 cm pun dari Artha.

“Win, aku mau ke toilet ih.” ucap Artha sambil terus melepas rangkulan dari Winonna. Winonna
menggeleng dan masih merangkul Artha sambil menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Artha.

“Kak Karin, ini Winonna nya nih! Suruh lepas dulu.” teriak Artha kepada Karin yang baru saja datang
membawa makanan delivery yang diambil. Karin tertawa dan menegur Winonna, “Win, udah lepas tuh.
Kasian si Artha. Mending peluk aku.”

“Bucin teross.” sahut Mika yang sedang membuka bungkus makanan.

“Iri mah bilang aja, Mik.” ucap Karin. Reska dan Nana yang berada disampingnya hanya bisa tertawa.
Winonna yang merasa dirinya dibicarakan melihat ke arah Mika, “Lia gimana tuh?” tanya Winonna
sambil menunjuk Lia.

“Dih gak jelas.” Mika mengalihkan topik dengan mencoba untuk membagikan beberapa potong pizza
ke teman-temannya. Lia hanya bisa diam tertunduk malu sambil berpura-pura memainkan handphone-
nya.

“Ngalihin aja lo monyet.” sahut Winonna.

“Karin, cewe lo tuh ngomongnya.” teriak Mika mencari pembelaan. Karin menghela napas, “Win,
omongannya. Mending kamu lepasin dulu itu si Artha.”

Winonna menoleh pada Karin dan mengerecutkan bibir. Dirinya melepas rangkulan pada badan Artha
yang membuat Artha menghela napas karena Winonna yang akhirnya melepas rangkulan dari
badannya. “Aku nih ketemu Artha bisa dua sampai tiga tahun sekali, Rin. Kalo meluk kamu mah bisa
dua puluh empat per tujuh.”

“Emangnya aku mau?” tanya Karin.

“Lah tadi katanya mending peluk kamu. Ah, gimana sih?” Winonna menarik Karin untuk duduk
disampingnya kemudian menaruh kepala nya di paha Karin.

Setelah Artha balik dari toilet, Winonna menyampaikan kepada teman-temannya untuk tidak
menggunakan handphone terlebih dahulu dan fokus berbincang bersama terlebih Artha besok pagi
sudah pulang.
Semua teman-teman Winnona sengaja menginap di rumahnya agar esok hari dapat langsung
mengantar Artha karena penerbangan Artha merupakan penerbangan pagi. Setelah cukup malam,
mereka memutuskan untuk tidur agar tidak kesiangan besok pagi.

Winonna meminta izin pada Karin untuk tidur bersama Artha. Karin memaklumi kondisi yang ada
dan memperbolehkan tanpa bertanya banyak. Winonna dan Artha tidur di kamar yang disediakan
untuk Artha, sedangkan Karin tidur di kamar Winonna. Teman-temannya tidur di tempat yang
disediakan di kamar tamu.

“Cepet banget ya kamu tuh udah mau pulang aja.” ucap Winonna sambil merebahkan badannya di
samping Artha. Artha tertawa kecil, “Ya kalo aku disini terus yang ada kamu nempel ke aku mulu dan
Kak Karin kamu lupain, Win.”

Hening. Tidak ada balasan dari Winonna. Keduanya menatap dinding kamar. Artha menoleh ke
Winonna, “Kak Karin orangnya baik dan tulus, Win. Kamu harus jaga dia, kalo ngga aku marahin
kamu.”

“Tanpa kamu suruh juga aku pasti bakal jagain kesayangan aku, Ta. Termasuk kamu.”

“Aaah, Artha aku bakal kangen kamu banget.” ucap Karin sambil memeluk Artha. Winonna melihat
keduanya berpelukan tersenyum hangat, rasanya jauh lebih menenangkan dibanding tidak ada kelas
Ibu Neneng.

“Artha mau peluk juga dong.” ucap Lia. Artha mengangguk kemudian disusul oleh Mika, Nana, dan
Gifani untuk memeluk Artha. Namun saat Reska ingin memeluk Artha, kerah Reska ditarik oleh
Winonna sehingga membuatnya tertarik ke belakang.

“Kecuali lo. Enak aja.” ucap Winonna.

“Dih monyet, gue cuman mau salam perpisahan bukan modus.” Reska melepaskan tangan Winonna
dan dengan cepat memeluk Artha. Artha tersenyum saat Reska memeluknya, ditambah ada bisikan
hangat dari Reska yang tidak bisa didengar selain Artha dan dirinya.

“Jangan kelamaan bisa kali.” sahut Winonna. Reska kemudian melepaskan pelukannya pada Artha dan
menepuk pelan puncak kepala Artha.

“EH-WOY TANGAN!”

Tawa hangat meledak saat Winonna meneriaki Reska yang mencuri-curi kesempatan. Reska
menjulurkan lidahnya pada Winonna seakan berkata gue menang.

Pada akhirnya giliran Winonna yang akan memeluk Artha. Winonna memeluk Artha erat dan hangat.
Artha menutup matanya menikmati pelukan hangat dari sepupunya satu ini. Pelukan mereka cukup
lama. Sampai akhirnya,

“Aku tunggu kamu di Brisbane. Ayo kita rajut kisah masa kecil lagi, Win.”
344.
345.
346.
347. skip 6 bulan
348.
349.
350.
351.
352.
353. skip sabtu
354.
355.
356. skip malam ke bandung
357.
358.
359.
360.
361.
362.
370.
371. tw /// 18+

ini gak berat kontennya, tapi aku mohon banget untuk yang di bawah umur skip aja yaaa gak baca gapapa kok gak
akan merubah alur juga

Darah Winonna berdesir hebat ketika menerima pesan dari Karin. Badan Winonna terasa aneh.
Desiran aneh dalam diri Winonna menimbulkan warna merah di pipinya. Winonna segera
meninggalkan ballroom hotel dengan tergesa-gesa. Gambar yang dikirim Karin terus terngiang-ngiang.
Karin memang berpamitan untuk ke kamar terlebih dahulu karena terlalu lelah, tetapi tanpa Winonna
tahu Karin sedang menyusun rencana.

Winonna menekan tombol lantai 20 pada lift, berdiri dengan dada yang terus berdegup kencang.
Winonna tidak bisa menahan senyumnya. Karin memang penuh kejutan dan Winonna suka itu.

Pintu lift terbuka, Winonna berjalan menuju kamar yang ia tempati bersama dengan Karin. Winonna
memasukan kode untuk membuka pintu kamar.

Tit..

Winonna menutup pintu pelan, kemudian berjalan ke dalam untuk mencari Karin. Karin tengah duduk
membelakangi Winonna dengan menggunakan kemeja abu-abu kebesaran milik Winonna. Pundak
Karin terekspos jelas. Ah tidak, Winonna sering melihat pundak Karin yang terekspos jelas. Namun,
hari ini terasa berbeda. Pipinya memanas.

“Karin?” panggil Winonna. Karin menoleh pelan dan tersenyum kepada Winonna. Winonna
menghampiri Karin dan memeluk kekasihnya tersebut. Karin membalas pelukan Winonna.

“Lama banget ke atasnya.” bisik Karin di sela pelukan mereka berdu.

“Maaf ya. Tadi aku harus ngobrol sama temen lama Papah dulu.” ucap Winonna pelan. Karin
mengangguk pelan, badannya terlihat gelisah. Winonna mengernyitkan dahi, sebenarnya Karin
kenapa? Dari pagi Karin bertingkah aneh.

“Happy six month anniversary, Win.” ucap Karin.

“Haha, udah enam bulan ya? Aku bahagia sama kamu, Karin. Selamat enam bulan bersama,
kesayangan Winonna.” balas Winonna. Winonna mengelus pelan puncak kepala Karin. Karin semakin
mengeratkan pelukannya kepada Winonna.

“Gimana enam bulan sama aku, Rin?” tanya Winonna. Karin bergumam, “Kamu bikin aku seneng
walupun kadang sedikit nyebelin.” Karina tertawa kecil.

“Kalo kamu gimana enam bulan sama aku?”

“Pusing.”

“Kenapa?” tanya Karin.


“Pusing karena kamu penuh kejutan, kamu cantik banget, kamu bikin aku bahagia, kamu bikin nyaman,
kamu punya segalanya, Karin.” jelas Winonna.

Karin melepaskan pelukannya dengan Winonna. Dirinya menatap Winonna lekat. Karin menghapus
jarak keduanya, mengulum pelan bibir manis Winonna. Winonna cukup terkejut, tetapi dengan cepat
membalas kuluman manis dari Karin. Beberapa saat, kedua bibir tersebut masih terus berpautan satu
sama lain. Karin menuntun tangan Winonna untuk memegang pinggang miliknya, kemudian kedua
tangannya diletakkan di ceruk leher Winonna.

Winonna memperdalam ciuman diantara keduanya, menekan pinggang Karin sehingga Karin sedikit
terdorong ke depan. Hening. Tidak ada suara lain selain suara kedua bibir yang saling bermain.

Winonna menarik Karin untuk duduk di pangkuannya saat dirinya duduk di pinggiran kasur. Karin
melepas kemeja kebesaran milik Winonna kemudian kembali memeluk leher dari Winonna.

Winonna melepas pautan bibir keduanya, menatap lembut mata indah milik Karin. Karin tersipu malu
saat Winonna menatapnya seperti ini.

“Kenapa?” tanya Karin. Winonna tersenyum kemudian mencium pelan ceruk leher Karin. Pelan dan
lembut. Karin tidak bisa menahan lagi. Kali ini, Winonna benar-benar membuat dirinya gila. Winonna
terus mencium ceruk leher Karin dan terus bergerak ke bawah. Kemudian memberhentikan
kegiatannya,

“Win?” protes Karin.

“Do you like the way that feels, hm?” bisik Winonna seraya menyunggingkan senyuman pada Karin. Karin
mengangguk pelan. “Tell me what you want, Karin.” Winonna melepas dengan pelan pakaian yang masih
melekat pada Karin.

“Just show me what you can do, Win.”


372.
373. Jauh

Winonna meletakkan handphone-nya di meja dekat kasur, kemudian melihat Karin yang berada di
pinggir kasur dengan balutan selimut di badannya serta sedang merapihkan rambutnya yang cukup
berantakan. Rambutnya pun sebenarnya juga berantakan akibat ulah dari Karin tadi malam. Winonna
tersenyum malu saat teringat apa yang terjadi tadi malam.

“Rambut kamu berantakan juga udah cantik.”

Karin menoleh ke belakang, mendapati Winonna yang menatapnya lembut. Winonna menepuk bagian
kasur yang kosong disampingnya, “Sini, deketan sama aku.”

Karin beranjak menuju samping Winonna dan memeluk kekasihnya tersebut. Keduanya hanya terbalut
dengan selimut, gesekan kedua kulit tanpa sehelai benang pun sangat terasa. “Mau balik jam berapa?”
tanya Karin.

“Mau lama-lama aja kali ya sama kamu, kayak begini.” ucap Winonna. Karin menyambut ucapan
Winonna dengan memberikan pukulan kecil di lengan milik Winonna, “Jangan mancing deh.”

Winonna menarik tangan Karin dan menuntun Karin untuk duduk di pangkuannya. Karin menurut
dan menarik selimut untuk menutup tubuh keduanya. “Ngapain coba tadi malam juga aku udah liat.”
ucap Winonna. Karin kemudian menjitak kepala kekasihnya tersebut dan memberikan tatapan tajam.
Winonna tertawa dan memberikan kecupan kecil di pipi Karin, “Iya. Bercanda, Rin.”

Karin menenggelamkan kepalanya di leher Winonna. Winonna memeluk Karin dan mendekatkan
posisi badan Karin di depannya.

“Karin,” panggil Winonna, “Aku mau S2 di Australia. Aku udah persiapan untuk kesana dari dua bulan
lalu.”

“Iya, aku tau.” jawab Karin. Winonna mengernyitkan dahi, “Tau darimana?”

“Dari Artha, enam bulan yang lalu,” Karin menghela napas, “Tapi kamu gak pernah kasih tau aku
selama enam bulan itu.”

Winonna menundukkan kepalanya, “Maaf, Karin.”

Karin mengangkat kepalanya dan berusaha mengangkat kepala dari Winonna untuk menatapnya. Raut
muka bersalah terpancar jelas di wajah Winonna. Karin tersenyum lembut, merapihkan rambut
Winonna yang berantakan dan mengelus pelan puncak kepalanya.

“Aku sedih kamu gak pernah mau cerita ke aku dari dulu tentang itu. Padahal itu hal yang penting.
Bukan perihal nantinya kita bakal berjauhan beda benua, Win. Tapi gimana kamu belajar untuk
komunikasiin apapun yang menyangkut hubungan kita ke aku. Kalo hal kayak gitu aja kamu butuh
berbulan-bulan untuk ngomong padahal ini hal yang penting, gimana nanti kalo kamu disana? Apa iya
kamu bakal begini juga, Win?” tanya Karin. Winonna menggeleng pelan kemudian menggenggam
tangan Karin dan meletakkannya di pipinya, “Aku janji gak akan begitu lagi, Rin. Maaf kalo aku baru
ngomong, banyak pertimbangan dan urusan yang harus aku lakuin sampe akhirnya aku belum bisa
ngomong ke kamu masalah ini.” jelas Winonna.

“Pertimbangan dan urusan?”

“Iya. Terlalu banyak konflik di pikiran aku perihal ini, aku takut kamu gak mau kita jauhan apalagi
sampe beda negara dan bahkan beda waktu. Urusan yang lain, aku harus ngurus berkas dan keperluan
untuk aku bisa apply beasiswa, Rin,” Winonna mencium punggung tangan Karin, “Aku minta maaf.”

“Win, aku gak pernah masalah untuk kita LDR. Menurut aku , selama kita bisa saling percaya dan terus
berkomunikasi maka semuanya bakal baik-baik aja.” ucap Karin dengan menekankan kata
“berkomunikasi”.

“Jadi, kamu gak masalah aku ke luar negeri, Rin?” tanya Winonna.

“Enggak, Win. Buat apa aku permasalahkan mengenai apa yang pacar aku mau? Itu mimpi kamu, Win.
Jalani selagi kamu punya kesempatan. Aku cuma pacar kamu, gak berhak untuk ngelarang kamu ini-
itu apalagi perihal mimpi kamu. Aku cuman bisa dukung dan doa yang terbaik,”

“Dan jangan lupa untuk pulang, Win.”

“Jangankan pulang, Rin. Kalo aku bisa untuk ke Indonesia selama aku kosong, aku bakal kesini.” ucap
Winonna. Karin hanya mendengus pelan, “Jangan janji sesuatu yang belum tentu kamu tepatin, Win.”

“Percaya sama aku, Rin. Aku bukan orang yang suka ingkar janji.”
374.
375.
376.
377.
378. eits viery
379.
380. Depan

Karin melepaskan seatbelt-nya kemudian turun dari mobil. Cafe yang dijadikan tempat bertemu dengan
Viery tidak terlalu ramai. Namun, ada beberapa adik tingkat dari Karin yang terlihat di cafe itu. Hal itu
adalah hal biasa, mengingat cafe ini adalah tempat berkumpulnya mahasiswa jurusan Arsitektur.

Karin memasuki cafe tersebut dan melihat Viery yang sedang menatap kosong kursi di depannya.
Karin mengernyitkan dahi, Viery termasuk orang yang mudah bersosialisasi walaupun teman dekatnya
tidak sebanyak itu. Melihat Viery yang diam saja dan tidak membawa teman, membuat Karin menatap
Viery heran.

“Ry?” panggil Karin, “Ry?”

Karin melambaikan tangannya di depan wajah Viery, setelah beberapa detik Viery sedikit terlonjak
kaget. Viery meminta maaf kepada Karin dan menyapa Karin yang baru saja datang. Karin
dipersilahkan untuk duduk di depannya.

“Sorry banget harus bikin lo kesini malam-malam, padahal lo lagi ngerjain tugas akhir.” ucap Viery.
Karin mengangguk pelan.

“Mau pesen dulu minuman?” tanya Karin. Viery menyetujui hal tersebut dan memanggil pelayan untuk
ke meja mereka. Keduanya hanya memesan minuman. Karin yang melihat Viery sedikit pendiam
semakin dibuat heran.

Viery gak biasanya begini

“Lo kenapa? Gak biasanya begini.”

Viery tersenyum dan menggaruk pelan lehernya, “Karin, udah seberapa jauh persiapan tugas akhir lo?”

“Kok nanya balik? Gue kan nanya duluan.” Karin menyilangkan kedua tangannya.

“Gue, gue gak tau bisa lulus tahun ini atau engga, Rin.” Viery menundukkan kepalanya, “Gue gak
yakin sama kemampuan gue sendiri. Gak tau kenapa, gue merasa terbelakang diantara yang lain.
Termasuk lo.”

Viery tertawa miris, “Jadi seorang arsitektur itu gak mudah kan, Rin?”

Karin terdiam. Sebenarnya, hal itu juga yang menjadi permasalahan di dirinya sendiri. Viery benar,
untuk menjadi seorang arsitektur tidak lah mudah. Kalo Karin bisa katakan, rasanya pengerjaan tugas
akhir ini benar-benar membuat performa dari dirinya sendiri semakin turun karena rasa tidak percaya
dirinya. Adanya kehadiran Winonna memang membantu, tetapi tidak sepenuhnya. Karin tidak bisa
menjelaskan masalah dirinya sepenuhnya kepada Winonna.

“Lo diam? Gue anggep jawaban lo 'iya', Rin.” ucap Viery. Karina menatap Viery, “Iya. Jadi seorang
arsitektur dan bahkan proses menjadi seorang arsitektur itu gak mudah, Ry.”
“Rasa percaya diri gue berkurang.”

“Rasa percaya diri gue berkurang.”

Viery dan Karina saling menatap, kemudian tertawa. Tertawa lepas seperti sedang menonton orang
yang sedang melakukan komedi.

“Barengan nih? Sama-sama lagi gak percaya diri dong, ya?” tanya Karin. Viery masih tertawa dan
mengangguk setuju.

“Penyakit mahasiswa akhir tahun kali ya ini.” ucap Viery.

“Capek ya, Ry? Harus terus berpacu, mengejar ekspetasi dan juga mimpi lo.”

“Eh akhirnya realita gak sesuai ekspetasi, makin capek gak lo.” Keduanya tertawa kembali. Tak lama,
minuman yang dipesan datang. Karin dan Viery meminum minuman yang dipesan dan kembali
berbincang.

“Tapi ya harus dijalani ga sih, Ry? Kita sendiri yang mau masuk kolam, udah terlanjur basah masa mau
naik lagi? Mending sekalian aja basah abis itu nyelam terus cari dan ambil harta karun di dalam
kolamnya.” jelas Karin.

“Susah kadang, Rin. Tapi ya bener juga sih lo. Mau gak mau dijalani. Istirahat boleh, tapi gak boleh
nyerah, kan?” tanya Viery.

“Betul, Pak Komti.” Karin tertawa. Viery memang menjabat sebagai Komti dari angkatannya. Viery
menggelengkan kepala, “Duh, gak usah bawa jabatan dong ke pembicaraan ini.”

“Gimana lo sama si siapa tuh? Hm, Wino? Siapa?” tanya Viery.

“Winonna.” jawab Karin.

“Nah itu dia. Gimana sama dia?”

“Baik-baik aja sih. Cuman dia mau S2 di luar negeri, Ry. Khawatir dikit.” Viery memperbaiki posisi
duduknya dan menatap Karin.

“S2 ke mana?” tanya Viery.

“Australia.” jawab Karin. Viery terkekeh kecil. Karin memandang Viery, tidak mengerti mengapa Viery
tertawa.

“Gak jauh-jauh amat. Santai aja sih, Rin,” Viery meminum kembali minumannya, “Emang yang lo
khawatirin apa?”

“Ya kan siapa tau nyantol cewe disana, Ry.” Karin menundukkan kepalanya serayat mengerucutkan
bibirnya. Viery memandang Karin gemas, “Gemes dan cantik kaya gini masa diselingkuhin sih?
Winonna bego sih kalo sampe ngelakuin itu. Mending buat gue aja.”
“Ih apaan sih lo!” Karin menatap tajam Viery. Viery hanya tertawa lepas melihat Karin yang marah
kepadanya.

“Rin, justru yang perlu lo khawatirin itu lebih ke waktu kalian untuk masing-masing. Dibanding
selingkuh, menurut gue waktu buat pasangannya kalo udah sibuk tuh lebih berat, nah itu tantangan
buat kalian berdua.”
381.
382.
383.
384.
385.
386.
387. jadi enak -gifani
388.
389. 3 hari kemudian
390.
391.
392. dumb

Winonna dan Reska datang ke kantin setelah mendapatkan bimbingan dari dosen pembimbing. Nana
dan Mika melambaikan tangannya untuk memberi tahu posisi mereka berdua. Kondisi kantin saat itu
cukup ramai, untungnya Nana dan Mika sudah terlebih dahulu datang sehingga keempatnya masih
bisa mendapatkan kursi di kantin tersebut.

Raut muka Reska tidak terlalu bersahabat, sedangkan Winonna menunjukkan raut muka yang tidak
begitu bersemangat.

“Kenapa sih tuh muka? Masih siang juga.” ucap Nana. Reska meletakkan beberapa berkas keperluan
skripsi di meja, “Revisi lagi gue,” Reska mengambil minuman milik Nana, “Apes banget gue dapet
dosen pembimbing Pak Dede.”

“Kenapa beliau? Cerita-cerita lah.” tanya Mika.

“Beliau kalo gue tanya perihal bimbingan tuh chat gue cuman dibaca doang, lama banget. Nih setelah
dua minggu akhirnya bimbingan, eh tiba-tiba revisi banyak. Ya revisi emang kesalahan gue sih, tapi
kan disini gue butuh bimbingan beliau. Tapi beliau malah ilang-ilangan, sekalinya ada langsung kasih
revisi banyak.” jelas Reska. Mika tertawa kecil, sebenarnya dirinya sudah tau bahwa Pak Dede adalah
dosen yang paling dihindari jika ingin bimbingan skripsi. Namun, Reska tetap teguh pada pilihannya.

“Terus ini kenapa nih? 3L banget tuh muka. Lemah, letoy, lesu. Tegangin dong mas.” ledek Mika.
Winonna hanya menatap Mika sekilas kemudian mengecek kembali skripsi di depannya. “Dih gue
nanya tai. Lo juga kan yang nyuruh kita kumpul.” tanya Mika.

“Gue galau.” balas Winonna. Ketiga temannya tertawa mendengar balasan dari Winonna. Winonna
menatap malas ketiganya, dirinya tau pasti ketika mengatakan kondisinya maka ia akan ditertawai.

“Pacar lo udah baik hati dan tidak sombong mana cantik pula, apa yang digalauin sih?” tanya Reska.
Winonna menutup cepat dan memasukkan berkas skripsinya ke dalam tasnya.

“Gini ya Reska Ezara yang cantik dan baik hati, hubungan percintaan itu tuh gak semulus muka Bu
Irene dosen semester dua. Karin emang udah sempurna, tapi pasti ada cobaan lah.” jelas Winonna.
Reska menaikan alisnya, “Ada masalah apaan? Tumben banget sampe lo galau begini.”

“Karin kemaren jalan sama cowo.”

“OH, GUE TAU! VIERY?” sahut Mika. Winonna mengangguk cepat.

“Dia tuh sempet suka sama Karin katanya si Lia. Sempet deketin Karin lewat tawaran-tawaran nugas
gitu deh.” jelas Mika.

“Dia gak bilang sama lo emang pas mau jalan?” tanya Reska. Winonna menggeleng, ketiga sahabatnya
menatap Winonna heran. Ketiganya berpikir bahwa Karin bukan orang yang seperti itu.
“Terus pas dia jawab gitu, dia jelasin gak ke lo dia ngapain?” tanya Nana. Winonna menjelaskan
kronologi kejadian antara dirinya dan juga Karin. Dimulai dari Karin yang mengunggah foto Viery di
twitter hingga pesan Karin yang tidak ia balas. Reska memukul meja, cukup kencang hingga beberapa
pasang mata tertuju pada meja keempat sahabat ini.

“Itu mah lo yang bego!” ucap Reska, “Main ngebaca doang chat-nya, sampe dia nawarin screenshot chat
dia sama Viery mah berarti dia emang jujur.”

“Lo udah berapa lama gak bales chat dia?” tanya Nana. Winnonna hanya menaikan tiga jarinya sebagai
respon.

Mika dan Nana menghela napas melihat tingkah dari salah satu sahabatnya ini. Mika merasa Winonna
terlalu kekanakan menyikapi permasalahan tersebut. Reska masih menggelengkan kepala heran atas
sikap Winonna kepada Karin. Reska menjamin bahwa Karin sekarang sedang di posisi yang tidak tau
harus bagaimana untuk meyakinkan Winonna, terlebih Winonna adalah orang yang keras kepala.

“Minta maaf kata gue sih.” ucap Nana.

“Tap-”

“Gak usah banyak ngomong. Lo tuh salah, Win. Kurangin lah keras kepala lo. Karin berpaling dari lo
aja baru panik.” potong Reska. Winonna menatap ke lain arah menghindari kontak mata dengan Reska,
“Tuh, temen lo dikasih tau malah ngalihin muka.”

“Iya-iya gue bakal minta maaf.” balas Winonna.

“Nah gitu dong. Kalo lo permasalahin tentang komunikasi, sikap lo kaya gini mah sama aja memutus
komunikasi. Pinter dikit dong-”

“Bawel deh lo. Iya maaf gue belum bisa nurunin ego gue.” ucap Winnona kemudian mengambil siomay
milik Mika, tetapi saat ingin menyuap Mika terlebih dahulu menepis tangan Winonna dan berakhir
bumbu dari siomay mengenai kemeja putih dari Winonna dan wajah Winonna.

“MIKA ANJING!”

“YA LO ASAL AMBIL AJA! GUE LAPER!”

“GAK USAH NEPIS KEKENCENGAN ANJIR!” sahut Winonna. Reska dan Nana lagi-lagi tertawa
melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

“Ya makanya bilang kalo mau ngambil, biar gue tau. Asal comot aja.” ucap Mika sambil menyodorkan
beberapa lembar tisu ke Winonna.

“Kan-”

“Kayak anak kecil aja makannya. Abis ngapain sih, Win?”

Winonna menoleh ke arah sumber suara dan membelalakan matanya.


393.
394.
395.
396.
397. Cerita

Karin meminta Winonna untuk berhenti terlebih dahulu di taman dekat rumahnya. Winonna
memarkirkan mobilnya di pinggir taman perumahan Karin. Karin mengajak untuk berbicara di kursi
taman yang diterangi oleh lampu taman.

Suasana taman sepi, hanya ada mereka berdua. Waktu yang sudah malam membuat penghuni
perumahan tidak ada yang berkunjung ke taman.

“Tamannya bersih banget deh, rapih juga.” ujar Winonna. Karin mengangguk setuju. “Pada sering
ngerawat orang-orang disini.”

“Ada apa kamu ngajak kesini dulu?” tanya Winonna. Winonna memosisikan dirinya berhadapan
dengan Karin. Karin mengambil tangan Winonna dan menggenggam tangan kekasihnya itu. “Jangan
diemin aku lagi. Aku bingung selama tiga hari kamu diemin aku.”

Winonna menunduk. Dirinya merasa sangat bersalah perihal hal tersebut. “Maaf, Karin.” ucap
Winonna.

Karin mengelus pelan punggung tangan Winonna, “Gapapa. Aku paham kamu kecewa, tapi kalo
emang udah ada fakta yang jelas tolong untuk dengerin ya, Win?”

Winonna mengangguk dan mencoba untuk memeluk Karin. Karin menahan dan memberitahu bahwa
keduanya masih di tempat umum dan rentan diliat oleh warga sekitar.

“Kamu tadi juga ciu-”

Karin mengecup cepat bibir Winonna. Winonna hanya terdiam dan Karin tertawa melihat ekspresi
kekasihnya. Sedetik kemudian, “TUHKAN! KAM- LAGI DONG!”

Winonna menutup mata dan mendekatkan mukanya ke muka Karin. Karin tertawa kecil dan
mendorong pelan kepala Winonna.

“Kok aku gak boleh?” tanya Winonna.

“Gak boleh. Wle.” Karin menjulurkan lidahnya meledek Winonna sambil tertawa. Winonna menghela
napas dan ikut tertawa, kekasihnya terlalu menggemaskan sampai ia tidak bisa marah kepadanya.

Winonna mengelus pelan kepala Karin, “Kalo aku udah di Australia, ketawa Karin yang lucu ini jangan
sampai hilang ya. Aku bakal rindu banget liat ketawa kamu pas pulang ke Indonesia nanti.”

Senyum Karin memudar setelah sadar bahwa Winonna sebentar lagi akan meninggalkannya untuk
mengemban studi di luar negeri. Winonna menggenggam tangan Karin dan meletakan tangan Karin
di dada kirinya.

“Kamu tuh selalu ada disini, Rin. Punya tempat khusus yang nama ruangannya 'Kesayangan Winonna'.
Kamu gak perlu khawatir, dua tahun itu gak lama, Rin. Kita jalani bersama, ya? Ikhlasin, biar kamu
jalaninya juga gak berat. Winonna mu mau mewujudkan salah satu mimpinya, Rin. Kamu pun juga.
Sama-sama berjuang, ya?”

“Dua tahun itu waktu yang lama, Win. Berjauhan itu gak semudah yang kamu kira. Aku percaya kita
bisa, tapi bisa kan untuk engga meremehkan dua tahun itu?” tanya Karin, “Pulang kalo udah waktunya
pulang. Ada aku disini nungguin kamu.”

“Pasti, Karin.”
398.
399. akhirnya dikit lagi lulus
400. lumion tu semacem software buat render
401.
402. bekel
403. mian kak
404. kebiasaan
405. jiakh
406. nahloh
407. 11.11

Winonna menunggu Karin di kost dengan perasaan cemas. Kesalahannya yang sudah pernah dilakukan
kembali diulang. Tak lama, mobil Karin sampai di depan kost milik Winonna. Dada Winonna
berdegup kencang. Winonna membuka pintu kost miliknya, menyambut Karin yang baru saja datang.
Memeluknya erat, sangat erat. Karin yang dipeluk mengernyitkan dahi karena perilaku Winonna yang
tiba-tiba.

“Kamu kenapa sih?”

“Aku mau peluk aja. Gak boleh?” tanya Winonna. Karin menggelengkan kepala dan membalas pelukan
kekasihnya tak kalah erat.

Winonna mengajak Karin untuk masuk ke dalam dan menyuruhnya untuk duduk terlebih dahulu
karena dirinya akan mengambil cemilan terlebih dahulu. Setelahnya Winonna duduk di samping Karin
dan merangkul kekasihnya tersebut.

“Gimana tugas akhir kamu?” tanya Winonna.

“Satu tahap lagi abis itu resmi jadi S.Ars, Win.” Karina menyampaikan dengan penuh rasa senang.
Winonna mengacak pelan rambut kekasihnya dan mengecup lembut pipi milik Karin. “Kamu hebat,
Rin. Aku bangga sama kamu. Vianka Karin hebat.” bisik Winonna di kuping Karin sambil terus
memberikan kecupan di telinga dan pipi Karin.

“Hey? Kamu juga hebat, Win. Kamu juga sebentar lagi S.T kan? Kamu hebat, kita berdua hebat. Kita
udah bisa ngelewatin ini semua, kita hebat. Aku juga bangga sama kamu, Win. Vianka Karin bangga
sama Winonna Mateen.” Karin mengelus pelan pipi Winonna. Winonna menatap lembut Karin dan
memberikan senyuman lembut pada kekasihnya. Winonna mencium kening Karin dengan lembut,
“Karin, terima kasih. Terima kasih udah hadir di hidup aku dan terima kasih udah ada di dunia. Kamu
berharga buat aku, Karin. Kamu berharga.”

Karin memeluk Winonna, memeluk erat kekasihnya tersebut. “Terima kasih juga Winonna. Kamu hal
tak terencana yang paling terbaik di hidup aku, Win. Terima kasih.”

Karin melepaskan pelukannya dan menatap Winonna. Winonna memulai terlebih dahulu untuk
memajukan kepalanya. Karin tersenyum sebelum akhirnya bibir keduanya menyatu. Mengulum lembut
bibir manis Karin. Pelan, saling mengulum pelan. Menyalurkan rasa kasih ke satu sama lain. Menit ke
menit berlalu, pautan keduanya terlepas. Keduanya saling bertatapan, kupu-kupu bergerak bebas di
perut keduanya.

“Manis.”

“Hm?”

“Bibir kamu selalu manis, Karin. Aku candu.”


Karin memukul pelan lengan Winonna. Keduanya tertawa bersama, kemudian melanjutkan kegiatan
yang sebelumnya terjadi. Jauh lebih bergairah. Karin berganti posisi dengan duduk di paha Winonna.
Mengalungkan kedua tangannya di leher Winonna. Setelah beberapa lama, Karin memukul pelan dada
Winonna. Winonna melepas tautan bibirnya menyadari Karin kehabisan napas.

“Aku sayang kamu, Karin. Selalu.”

“Aku juga sayang kamu, Win.”

Winonna menarik Karin ke dalam pelukannya. Pikiran mengenai dirinya belum berbicara ke Karin
mengenai keberangkatan dirinya ke Australia bulan depan. Pelukannya semakin erat membayangkan
dirinya harus meninggalkan Karin.

“Karin,” Winonna melihat jam dinding di ruangannya, “Sebelas-sebelas, Karin.”

“Maksudnya?”

“Tanggal 11, bulan 11. Aku ke Australia. Bulan depan, Karin.”


408.
409. asik lulus
410.
412.
413.
414.
415.
415. h-3 winonna berangkat ke oz
416.
417. 5.407

“Udah lama banget kita gak ke sini lagi ya, Win.”

Winonna mengangguk dan menarik tangan pacarnya agar masuk ke kantong hoodie miliknya. Malam
ini cukup berangin, terlebih tadi sore baru saja hujan. Karin menghirup udara segara yang ada di Gelora
bung Karno. Meskipun berada di pusat kota, udara di tempat itu masih terasa segar.

“Gereb wheels-nya udah gak ada ya, Rin. Padahal mau mengulang lagi momen pas pdkt sama kamu.”
ucap Winonna.

“Ya sekarang kan bisa mengulang lagi, jalan-jalan bareng kayak gini.”

Winonna menggangguk. Karin menarik tangannya dari kantong Winonna kemudian merangkul
pinggan Winonna sambil bersandar ke bahu kekasihnya tersebut. Winonna pun melakukan hal yang
sama dengan merangkul pundak Karin. Keduanya saling diam, menikmati malam dengan
pemandangan dari gedung-gedung tinggi Jakarta.

Terlihat ada banyak orang yang sedang melakukan aktivitas olahrag di dekat stadion. Karin dan
Winonna memilih untuk duduk di cafe dekat stadion dan memesan kopi susu di sana.

“Karin malam ini cantik banget. Tumben pakai make up? Biasanya kalo jalan sama aku gak pakai.”
tanya Winonna. Karin menyisir rambutnya kebelakang dan menopang dagu pada tangannya, “Aku
pengen keliatan cantik di hari sebelum kamu berangkat ke sana. Biar ada kesan kamu gak bisa lupain
malam ini.”

Winonna menggeleng pelan, “Rin-rin. Kamu tuh mau digimanain juga tetep cantik. Mau pakai make
up atau engga, kamu keliatan cantik. Terus juga, gak hanya malam ini doang yang berkesan sampe aku
gak bisa lupa. Semua momen sama kamu itu gak bisa aku lupain dan sangat berkesan, Rin.” Winonna
mengambil tangan Karin kemudian menggenggam tangan kekasihnya itu, “Tapi, makasih ya udah
berusaha untuk meninggalkan kesan yang baik malam ini. Meskipun sebenarnya, kapan pun rasanya
berkesan kalo ada kamu di dalamnya.”

Karin mencubit pelan punggung tangan Winonna. Si pemilik tangan meringis kesakitan, “Kok aku
dicubit sih?”

“Diajarin siapa sih tuh mulut kalo ngomong bisa manis banget?” tanya Karin.

“Gak tau nih. Karena sering cium bibir manis kamu kali ya, Rin? Makanya jadi manis juga omongan
yang keluar dari mulut aku.” jelas Winonna. Karin memutar bola matanya kemudian tersenyum malu.
Sebenarnya, gombalan seperti ini akan terdengar cringe bagi dirinya jika diucapkan oleh orang lain.
Namun, Winonna berbeda. Ah, Karin memang benar-benar dimabuk asmara.

Keduanya terdiam. Menatap satu sama lain sambil tersenyum. Winonna tertawa kecil, “Kalo kesini
bawaannya inget kamu yang masih kesel sama aku sampe gengsi buat minta tolong aku jadi tutor kamu.
Waktu cepet berlalu ya, Rin?”
“Iya. Kalo dulu namanya voucher belajar. Kalo sekarang namanya apa?” tanya Karin.

Winonna terdiam sambil berpikir, “Hm, voucher rindu. Voucher rindu, Karin.” Winonna menatap
lekat Karin, “Voucher ini berlaku sampai dua tahun atau bahkan seribu tahun lagi. Bisa ditukarkan
setiap Winonna pulang ke Indonesia atau setiap Karin rindu dengan Winonna. Berlaku hanya untuk
Vianka Karin kesayangan Winonna seorang.”

“Karin, tempat ini jadi saksi buat perasaan aku. Di Gelora bung Karno, tempat ini, jadi tempat dimana
aku meyakinkan diri kalo aku bener-bener jatuh cinta sama kamu, Rin. Maka dari itu, terciptalah
voucher rindu untuk Karin seorang.” Winonna tertawa pelan, sedangkan Karin hanya menatap
Winonna. Raut muka Karin sulit dijelaskan, Winonna mengernyitkan dahinya.

“Hey? Kenapa?” tanya Winonna.

Karin melihat keadaan sekitar, menengok kanan dan kiri memastikan keadaan. Selanjutnya, badan
Karin maju ke depan untuk mencium pipi dan bibir Winonna dengan cepat.

“Vouchernya diterima ya, Mba Winonna tersayang punya Karin seorang. Awas vouchernya tiba-tiba
udah gak berlaku lagi.”

Keduanya tertawa lepas, menikmati malam dengan segelas kopi susu dingin. Berbincang banyak,
membahas mengenai bagaimana perjalanan kuliah mereka terutama di akhir tahun.

“Kamu mulai masuk kuliah kapan disana?” tanya Karin.

“Hm, sekitar Februari sih.”

“Loh kenapa kamu kesana dari sekarang?” tanya Karin. Winonna baru ingat Karin belum mengetahui
perihal ia yang akan kerja dengan ayah dari Artha.

“Jadi, aku tuh kerja dulu di sana, Rin. Papah sebenernya udah menjamin uang kuliah aku, cuman ya
aku gak mau gitu loh harus semua ditanggung Papah. Makanya aku kerja dulu disana, ya sekaligus cari
pengalaman sih. Kebetulan aku kerja sama Ayahnya Artha, beliau juga lulusan teknik sipil.” jelas
Winonna. Karin hanya mengangguk sebagai respon.

Diam. Tidak ada respon apapun lagi dari keduanya. Karin mengaduk minuman yang sebenarnya sudah
teraduk dan tercampur.

“Ada apa, Rin?”

Karin menghela napas, “Gapapa. Aku dukung apapun keputusan kamu. Kejar mimpi kamu, Win.”

“Iya, sayang. Terima kasih.”

“Win,” Karin menatap kedua mata Winonna dengan tatapan sendu, “5.407 km jarak aku sama kamu,
but no one is closer to my heart than you are.”
418.
419.
420. Last.
“Ya Tuhan, Mik! Itu lo ngapain es batu nya abis jatuh lo ambil lagi?”

“Lupa, Gi.” Mika tertawa menjawab pertanyaan dari Gifani. Keduanya sedang menyiapkan minuman
yang akan disediakan di ruang tengah rumah milik Winonna. Teman-teman lainnya sedang berbincang
mengenai pembagian kamar untuk tidur malam ini.

“Gak mau ah gue sama Reska. Mika saksi tuh gue ketendang Reska, mana katanya mimpinya lagi coba
nyalain motor. Gak jelas banget anjir.” ucap Nana. Reska hanya memutar bola mata malas, “Yaudah
gue sendiri di ruang tengah deh.”

“Eh enak aja, gue di ruang tengah.” sahut Mika yang baru saja datang dari dapur sambil membawa
minuman. Lia yang melihat Mika sedikit kesusahan membantu membawakan minuman yang ada.

“Yaelah li, ini temen lo juga lagi kesusahan bawa minumannya,, malah Mika doang yang dibantuin.”
ucap Gifani yang berada di belakang Mika. Lia tertawa dan memberikan tanda 'peace' pada Gifani. Reska
menepuk tangan dan membuat satu ruangan terkaget, “Nah gue bilang juga apa tuh anak berdua bucin
banget. Sayangnya tanpa status.” Reska tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhir dan berakhir
semua meledeki Mika dan Lia.

“Gak kerasa banget ya udah lulus aja.” ucap Nana.

“Gak kerasa apaan? Gila kuliah teknik capek banget anjir, Na. Gak kerasa gimananya?” sahut Winonna
yang disetujui oleh teman-teman lainnya.

“Capek gitu lo cumlaude ya, Win.” Nana memutar bola matanya malas. Winonna hanya menyengir
sebagai jawaban. Karin yang berada di sebrang Winonna menatap bangga kekasihnya tersebut. Bisa
dibilang, Winonna sangat pintar membagi waktu. Entah bagaimana caranya, Winonna masih tetap siap
sedia pada Karin walaupun sedang mengurus tugas akhirnya. Tugas akhirnya pun diselesaikan lebih
cepat dibanding teman-temannya dan lulus mendapat predikat cumlaude.

“Ngomong-ngomong, Rin pacar lo nih dulu jadi salah satu kesukaan di angkatan teknik.” ucap Reska.

“Hah? Masa sih?” tanya Karin. Dirinya bahkan tidak mengenal Winonna.

“Win, tau gak Karin juga jadi salah satu kesukaan cowo-cowo di teknik?” tanya Lia. Winonna
menggeleng, “Jujur, gue baru tau Karin setelah insiden nabrak itu.”

“Lo berdua gimana sih? Winonna dulu bocahnya organisasi-belajar-organisasi-belajar. Si Karin sama
tuh organisasi-belajar juga, walaupun lebih mending Karin sih karena temennya dimana-mana. Gimana
mereka mau kenal satu sama lain?” sahut Mika.

“Nih, Winonna tuh dulu sempet nyanyi di acara ospek kampus. Itu loh pas ada acara confess anak teknik
mesin ke anak arsitektur.” jelas Lia.

“Gue kan pas itu lagi ada urusan sama kating jadi gue gak di Aula. Pantes aja gue gak tau cewe gue
dulu.” ucap Karin. Seluruh ruangan mengangguk paham.
“Mau jelasin ke Winonna juga susah sih, dia gak bakal inget lo pernah digandrungi sama cowo teknik
dulu.” Reska mengambil minuman yang berada di meja. Winonna memukul pelan lengan Reska, “Gue
gak se-ansos itu ya tai.”

“Buktinya lo gak tau Karin dulu digandrungi cowo teknik. Eh bahkan gue rasa cewe teknik juga deh.”
sanggah Reska. Winonna terdiam, apa yang dibicarakan Reska itu benar adanya.

“By the way, itu Winonna bisa telat kenapa deh sampe akhirnya nabrak Karin?” tanya Gifani. Reska
mengangkat tangan dengan semangat untuk menjelaskan bagaimana kronologi yang terjadi. Reska juga
tak segan menunjukkan foto Winonna yang tergelantung di tangga karena terlalu mabuk.

“Nyebar aib gue mulu lo, Res. Malu anjir.” Winonna merebut handphone Reska dan
menyembunyikannya di belakang badan. Reska tersentak, “Eh kalo gue gak ngajak lo malam itu, gak
bakal lo ketemu cewe lo tuh.”

“Tetep aja, gue hampir dapet C gara-gara kerjaan temen lo tuh.” Karin menunjuk Winonna.

“Ya maaf, Sayang.” ucap Winonna yang membuat semuanya meringis geli atas kelakuan pasangan
tersebut.

“Sini, handphone gue.” Reska mencoba merebut dari Winonna. Namun, tak berhasil karena Winonna
berdiri dan lari dari Reska.

“WIN! SINI GAK?”

“Kejar coba.” ledek Winonna.

“GUE CEPUIN NIH MASALAH YANG KARIN-HMPHHH.”

Winonna menutup mulut Reska dengan cepat. Nana dan Mika sudah sangat panik karena Reska baru
saja mau mengucapkan kata-kata terlarang. Sedangkan Karin dan teman-temannya hanya menatap
keduanya bingung.

Namun, tak lama Winonna mengubah kondisi yang ada dengan membawa cerita-cerita mengenai
kehidupan kampus saat di awal semester, begitu pun juga Karin serta temannya yang bercerita hal yang
sama.

“Aduh anjir lo bawa apa aja si? Berat banget Tuhan.” ucap Reska sambil mengangkat koper milik
Winonna.

“Gimana dek? Udah semua?” tanya Papah Winonna yang juga mengantar anaknya ke bandara. Soal
hubungan Papah Winonna dan teman-temannya, Karin sempat menjelaskan bahwa teman-teman
Winonna tidak membawa dampak buruk apapun kepada Winonna. Papah Winonna percaya kepada
Karin, sehingga kini keadaan baik-baik saja walaupun masih ada rasa canggung.
“Udah, Pah.”

Winonna dan Karin terpisah dengan teman-temannya untuk membeli minuman terlebih dahulu.
Setelah membeli minuman, Winonna dan Karin mengirim pesan kepada teman-temannya agar bisa
menyempatkan untuk berjalan-jalan sebentar.

Winonna mengajak Karin untuk duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu banyak pengunjung di
sana.

Melihat ada yang berbeda dari kekasihnya itu, Winonna menarik tangan Karin untuk digenggam.
Winonna sedikit menunduk untuk melihat wajah Karin, “Kamu kenapa?”

Karin mengangkat kepalanya dan terlihat matanya basah karena menangis. Winonna tersentak, “Loh
kok nangis?”

“Ish nyebelin banget. Aku sedih kamu mau pergi, Win.” Karin memukul lengan Winonna. Winonna
tertawa sambil memegang lengannya, “Nebeng aja sama burung yang ada di bandara buat anter ke
Brisbane.”

“Gak jelas banget. Lagi serius aku.”

“Iya, Karin. Winonna izin berangkat ya? Buat menempuh pendidikan di sana.” Winonna mengelus
punggung tangan Karin, “Kamu gak perlu khawatir, aku bakal balik lagi.”

Karin hanya mengangguk dan memeluk kekasihnya itu. Memeluk erat seakan itu adalah yang terakhir
kalinya. Winonna mengelus kepala Karin, membisikan kalimat-kalimat penenang bahwa semua akan
baik-baik saja.

“Stop pretending to be calm, Win.” Karin menangis. Wanitanya menangis. Winonna menahan tangisannya
sejak tadi, tetapi kali ini ia tidak bisa menahan tangisannya setelah Karin mengucapkan kalimat itu.

“Stay one more day, Win. Ayo kita jalan-jalan lagi.”

Winonna menggeleng, “Karin, aku harus pergi. Jaga diri baik-baik disini. Aku janji bakal balik, aku gak
akan ninggalin kamu, Rin.” Winonna mencium pipi Karin, “Sampai jumpa lagi, ya?”

“Win, jangan lupa kirim makanan dari sana.” rengek Nana. Winonna tertawa dan memeluk Nana erat.

“Win, tolong nanti kabarin barang di sana yang bagus, gue mau jastip ke lo.” ucap Mika. Winonna
menghela napas, “Males banget gue kalo jastip.”

“Rin, cewe lo pelit banget dah.” Mika menunjuk Winonna. Karin hanya tertawa kecil.

“Iya-iya elah. Ngadu mulu lo.” Winonna memeluk Mika erat. Perasaannya kembali sedih karena harus
berpisah dengan orang tersayang.
“Safe flight ya lo.” ucap Lia dan Gifani bersamaan. Winonna tertawa dan memeluk keduanya secara
bergantian. Saat tiba Reska, Reska menangis. Winonna meledek Reska yang terlihat seperti anak kecil.
Reska terisak, “Jangan ketawa, monyet. Gue lagi sedih. Serius dikit kenapa.”

Winonna semakin tertawa kencang. Kemudian memeluk sahabatnya itu.

“Lo sedih karena gak bisa ngeledekin gue lagi, kan? Dasar air matcha buaya.” ucap Winonna.

“Air mata, bego.” balas Reska sambil menangis. Teman-teman yang lain ikut menangis dan tertawa
bersama.

Hingga pada saat akhirnya harus berbicara dengan Karin, Winonna kembali menangis. Karin pun
demikian.

“Take care, Win. Aku tunggu disini.”

“Iya, Karin. Tunggu aku.”

Winonna melepaskan pelukannya kemudian mengecup pelan bibir Karin dan mengelus pipi
kekasihnya itu, “Aku sayang kamu.” bisik Winonna.

“Dek?”

Winonna menoleh ke arah sumber suara, “Papah, Winonna pamit buat belajar di sana.”

Papah Winonna mengangguk kemudian memeluk anak semata wayangnya itu.

“Belajar yang rajin. Jadilah anak yang baik disana. Jangan lupa pulang, Dek.” Papah Winonna melepas
pelukannya kemudian memegang wajah Winonna,

“Papah gampang bisa temui kamu kesana. Tapi ada Karin yang menunggu kamu disini. Kejar cita itu
penting, tapi kejar cinta juga perlu. Seimbangkan keduanya maka kamu akan bahagia, Dek.”
421.
422.
423. keseharian di oz
424. keseharian di oz pt.2
425. ulang tahun winonna
426.
427. sok imut
428.
429.
430.
431. Hari Burung

Winonna tersenyum kala nama Karin muncul di layar benda kotak yang berada di tangannya.
Menunggu sampai deringan ketiga, Winonna memencet tombol hijau di layar.

“Selamat ulang tahun sayang!”

Winonna tersenyum lebar kemudian merebahkan badannya ke sofa kamar.

“Mak-”

“Sebentar, aku belum selesai ngomong. Winonna, semoga di umur kamu yang baru ini kamu bisa bahagia lebih
banyak, banyak rezeki, lancar kuliah dan kerjanya, semakin sayang aku, semakin gemes,” Karin mengetukan
jari telunjuknya ke pipi kanannya sambil berpikir, “Dan semoga kamu cepet pulang.” Karin tersenyum lebar
mengucapkan kalimat terakhir. Winonna mengaminkan segala hal yang diucapkan kekasihnya tersebut
dan mengucapkan terima kasih atas doa yang dipanjatkan.

“Kamu mau hadiah apa? Aku kirimin dari sini atau, ah! Aku nitip Artha kali ya.”

“Gak surprise dong kalo aku udah bilang aku mau apa.”

“Justru itu, aku pengen hadiahnya tuh yang emang kamu mau. Jadi hadiahnya berguna.”

“Kamu.” Winonna tersenyum membayangkan wajah bingung kekasihnya.

“Kok aku?”

Tepat, Karin pasti sedang kebingungan dengan jawaban Winonna. Winonna rindu mengacak-ngacak
pelan rambut kekasihnya apabila gemas karena sedang kebingungan.

“Ya hadiah yang aku mau tuh kamu, Rin.”

Kekasihnya di seberang sana memutar bola mata malas mendengar jawaban dari Winonna.

“Lagi serius, Win. Jangan gombal dulu.” nada suara Karin terdengar kesal akan jawaban dari Winonna.
Winonna mengerutkan dahi, “Siapa bilang aku gombal? Aku beneran mau kamu, Rin.” Suara helaan
napas dari Karin terdengar oleh Winonna.

“Mohon maaf pacar Anda bukan paket, silahkan mencoba lain kali.” Karin meniru suara customer sevice yang
membuat keduanya tertawa.

“Win, kapan pulang?” tanya Karin tiba-tiba. Suara Karin terdengar ragu, sudah tiga bulan Karin tidak
menanyakan hal itu pada Winonna karena ia merasa Winonna terlalu sibuk untuk memikirkan hal itu.

“Secepatnya, Rin.”
Lagi-lagi Karin hanya menghela napasnya. Hari-harinya begitu berat, tanpa Winonna di sampingnya
sedikit membuat dirinya merasa sendiri terlebih saat dirinya membutuhkan pelukan untuk meyakinkan
dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

“Aku..kangen.” ucap Karin.

Kini giliran Winonna yang menghela napas dan memijat pelan dahinya, “Aku kangen juga, Rin. Tapi
gimana? Aku belum bisa pulang dan gak janji bulan ini pulang. Bulan depan aku mulai kuliah dan
banyak yang harus dikerjakan.”

“Padahal kamu bilang setiap bul-”

“Iya, tapi kondisinya beda, Rin. Aku bener-bener gak ada waktu untuk balik ke sana.”

“Kamu..ingkar janji, Win.” suara Karin bergetar. Winonna memejamkan matanya, merasa bersalah
sekaligus kesal karena Karin tidak mengerti kondisinya.

“Karin sayang, denger aku ya. Kalo aku ada waktu, aku bakal balik. Aku janji akan hal itu dan gak akan
aku ingkari. Masalahnya saat ini aku gak ada waktu, Karin. Kalo aku paksa, kerjaan aku disini
berantakan. Banyak banget yang harus aku kerjain terlepas dari pekerjaan aku disini.” Winonna
menarik napas untuk menetralkan suaranya agar tidak terdengar membentak, “Kalo kamu terus-
terusan ngomong kangen gitu, bakal jadi beban buat aku. Beban karena aku gak tau har-”

“Beban? Kamu bilang beban, Win?” terdengar suara Karin yang bergetar.

“Enggak gitu, Rin. Maaf. Maksud aku, biarin semua ini berjalan gimana seharusnya. Karin, kita pasti
ketemu, tapi gak sekarang.” ucap Winonna.

“Kamu risih aku bilang kangen terus, Win?”

“Maaf, aku gak bermaksud gitu.” ucap Winonna pelan, “Karin, let's not talk about this ya untuk sekarang?
M-maksud aku, biarin aku nikmatin hari bahagia aku, ya?” tanya Winonna.

“Maaf aku bikin kegaduhan, Rin. Aku bakal pulang kalo aku bisa. Tunggu aku, ya? Tunggu aku pulang,
Rin.”

Suara telpon terputus. Karin memutuskan telpon secara sepihak. Winonna menghela napas berat. Ia
tidak berpikir akan serumit ini dan Karin akan paham dengan kondisinya. Namun, ternyata semua di
luar ekspetasi.

Atau memang seterusnya akan terus di luar ekspetasi?


432.
433.
434. WSR

Mika memarkirkan mobilnya di depan rumah Karin. Rumah Karin terlihat sepi dan hanya mobil
hitam—milik Karin—saja yang terparkir di halaman rumahnya. Reska yang berada di kursi tengah
mencoba untuk memperbaiki kembali hadiah-hadiah yang dititipkan Winonna untuk Karin.

Nana mencoba menghubungi Gifani yang juga terlibat dalam rencana ini agar memastikan Karin tidak
sedang keluar rumah hari ini. Setelah mendapatkan kabar bahwa Karin di rumah dari Gifani, Nana
menginformasikan Reska untuk membuka hadiah yang ada dan diletakkan dekat dengan bunga-bunga
yang sudah ditata rapih.

“Gak pernah kepikiran gue Winonna bakal sebucin ini, padahal itu anak lempeng abis dulu.” ucap
Reska.

“Ya cewenya juga baik hati dan cakep mah siapa yang gak bucin, Res.” sahut Mika. Nana mengangguk
setuju perkataan Mika. Nana mencoba mengecek barang-barang yang ada dan meminta Mika untuk
memastikan tiket ke museum yang sudah mereka pesan.

“Pake dulu ini.” Reska menyerahkan blazer hitam dan kacamata hitam untuk kedu temannya.

Setelah memastikan semuanya sudah siap, Mika dan kedua temannya menuju pintu rumah Karin.
Layaknya seperti adegan di film action, ketiganya masuk dengan diam-diam.

“Lo ngapain jauh-jauh bego, disini pintunya.” bisik Reska setelah melihat Mika berjalan menuju pintu
samping.

“Woy, kita mau kasih surprise bukan mau nangkep orang.” bisik Nana. Mika dan Reska menahan
tawanya karna ketiganya terlihat seperti orang bodoh. Ketiganya berjalan biasa saja kemudian
memencet bel rumah milik Karin.

Dua sampai tiga kali bel dibunyikan, terdengar suara kunci pintu yang dibuka. Reska dan kedua
temannya berdiri dengan tegap,

Cklek..

“Siap-”

“Lapor! Kami dari tim WSR atau Winonna Sayang Karin akan menjalankan tugas dari Winonna untuk
menyenangkan Nyonya Karin.” teriak ketiganya secara serentak yang membuat Karin terlonjak kaget.
Reska mengeluarkan kertas dari amplop cokelat yang ia bawa kemudian memberikan pulpen kepada
Karin, “Tolong tanda tangan sebagai bukti kita sudah bertemu dengan Anda.”

Karin yang masih belum mencerna kejadian yang ada hanya menurut apa yang dikatakan Reska.
Setelahnya Karin memicingkan mata dam memperhatikan satu per satu muka orang yang ada di
depannya, “Loh? Reska? Mika? Nana?”
Reska melepas kacamatanya dan tersenyum lebar, “Kita diamanatin sama Winonna buat ajak lo jalan.
Karena ini perintah jadi lo gak bisa nolak. 10 menit kita tunggu buat lo siap-siap. Mengerti?”

Karin tertawa lebar dan mengangguk cepat, “Astaga, yaudah gue siap-siap dulu.”

“Misi pertama, sukses!” sahut Mika.

“Karin ke belakang mobil dulu sebentar.” ucap Mika. Karin pun ditarik tangannya oleh Nana untuk
menuju belakang mobil. Reska membuka pintu belakang mobil dan menampilkan beberapa bunga dan
satu tas yang ditata rapih.

Karin menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang. Tak lama, mata Karin
berkaca-kaca melihat apa yang sudah diusahakan Winonna untuk dirinya.

Ada satu tas dimana itu adalah tas yang ia inginkan dan dirinya tidak pernah menyampaikan ke
Winonna. Namun, tas itu ada di depan matanya sekarang.

“Ya ampun..” Karin masih tidak bisa berkata-kata.

Bunyi suara dering telpon masuk di handphone milik Karin. Terpampang nama kekasihnya di layar.
Karin dengan cepat mengangkat telpon yang ada, “Win..”

“Gimana tim aku udah pada lakuin misinya, kan?”

“Iya” Karin melihat ketiga temannya yang sedang tersenyum kepadanya.

“Maaf Karin kalo pacarmu ini agak nyebelin, tapi ya cuman itu yang bisa aku kasih sekarang. Maaf aku belum bisa
balik, tapi semoga kehadiran rencana dan teman-teman aku bisa sedikit menghilangkan rasa kangen, ya?”

“Dih dangdut banget lo, Win.” sahut Reska yang mendengarkan percakapan Karin dan Winonna.

“Gajinya potong nih.” ucap Winonna sambil tertawa.

“Enak aja! Ngancemnya gak asik lo.” jawab Reska yang disambut tawa dari keempat temannya.

“Karin, semoga ini bisa bikin kamu seneng ya. Aku serahin semua ke temen-temen aku. Kalo mereka nakal laporin
aku aja, ya. Have fun, Rin!”

“Makasih banyak ya, Win. Kamu emang penuh dengan kejutan. Aku sayang kamu.”

“Badut kali ah.” sahut Nana. Karin menatap tajam Nana, Nana hanya memberikan tanda 'peace' kepada
Karin.

Setelahnya Karin dan ketiga temannya berangkat ke tempat yang sebenarnya Karin tidak tahu akan
kemana. Namun, Reska meyakinkan bahwa tempat ini akan sangat disukai Karin.
“Kok bisa tau sih gue mau kesini?” tanya Karin.

“Info orang dalem, Rin.” jawab Mika.

Keempat orang tersebut kemudian mengelilingi museum tersebut dan sesekali berbincang mengenai
ruangan yang ada dan bagaimana ruangan ini memiliki bentuk yang unik.

Beberapa pasang mata melihat keempat orang tersebut karena Karin terlihat seperti orang penting
yang membawa bodyguard-nya dilihat dari pakaian yang dikenakan teman-teman kekasihnya itu.

Mobil Mika sampai di rumah Karin setelah mengajak Karin ke Museum dan mampir ke restoran cepat
saji untuk makan malam. Reska dan Nana membantu Karin mengeluarkan bunga-bunga yang
diberikan Winonna untuk diletakan di dalam rumah Karin.

Karin menawarkan ketiga temannya untuk mampir di rumah terlebih dahulu, tetapi ketiganya menolak
karena harus ada yang dikerjakan.

“Lapor! Misi Tim WSR selesai!” teriak Reska tiba-tiba. Temannya yang lain tertawa menanggapi sikap
Reska yang tiba-tiba.

“Makasih banyak ya kalian. Rasanya seneng banget karena ada kalian.” ucap Karin.

“Iya, Rin. Kita juga pengen kalian baik-baik aja mengingat lo orang baik dan tulus sayang sama
Winonna sama lo tuh satu-satunya yang bikin Winonna begini nih. Langka banget Winonna kasih
surprise buat orang.” jawab Reska.

“Winonna sayang lo banget, Rin. Mungkin ada beberapa ucapannya gak jelas ya emang begitu
bocahnya suka ngablu. Tapi sebenernya dia bener-bener sayang sama lo.” jelas Nana.

“Lo gak usah khawatir, dia pasti bakal pulang. Gue tau Winonna itu selalu serius sama omongannya,
Rin.” sahut Mika.

Karin hanya tersenyum.


435.
436. 1 tahunan
437. aduhay sibuk
438.
439.
440. hadeh sibuk mulu lo
441.
442.
443.
444.
445. Cara

Karin baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah melaksanakan kerja di hari yang berat.
Sebenarnya Karin sudah berekspetasi bahwa menjadi Aristek akan berat, tetapi Karin tidak menyangka
bahwa akan seberat ini. Karin mengerti dengan apa yang diinstruksikan oleh atasannya, tetapi entah
mengapa tetap banyak revisi yang dilakukan. Entah client-nya yang merasa tidak puas atau memang
kesalahan Karin itu sendiri.

Dirinya menatap langit-langit kamar miliknya. Di saat seperti ini, Karin ingin sekali berbicara mengenai
masalahnya dan berbincang membicarakan hal lain sehingga dia bisa melupakan masalahnya walau
sementara.

Winonna.

Karin memikirkan Winonna saat ini, pesan terakhir yang ia kirimkan tidak ada balasan lagi dari
Winonna. Karin mengerti bahwa Winonna memiliki waktu yang sangat sibuk terlebih kekasihnya itu
sedang mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Namun, Karin ingin ditanya bagaimana hari-hari
yang ia jalani. Karin ingin bercerita banyak mengenai hal-hal baik yang sedih maupun senang. Semua
berjalan dengan baik saat pertama kali Winonna sampai di Australia. Namun, berubah setelah Winonna
mulai kuliah.

“Gue childish banget kali, ya.” Karin mengusap wajahnya dan menghela napas berat.

“Tapi, sesibuk apapun gue pasti bakal selalu nanyain Winonna.” Karin seakan berbicara pada
seseorang mengenai isi hatinya. Ibundanya selalu sibuk dengan pekerjaan baik di luar kota maupun
luar negeri, sulit bagi Karin untuk menceritakan perasaan yang ia rasakan. Winonna lah satu-satunya
yang senantiasa mendengarnya kapan pun itu saat kekasihnya masih di negara yang sama. Namun,
Winonna tidak disini sekarang.

“Ah! Winonna aku kesel sama kamu.” Karin memukul guling yang berada di pelukannya, “Tapi aku
juga kesel sama diri aku..” bisik Karin.

Drrt..Drrt..Drrt..

Suara getaran dari handphone miliknya menginterupsi pikiran Karin yang sedang berkecamuk. Tertera
nomor yang tidak dikenal menelpon dirinya. Karin mengernyitkan dahi, mencoba mengenal nomor
yang sedang menelponnya. Namun, dirinya tetap tidak bisa mengetahui. Karin memutuskan untuk
mengangkat telpon yang masuk.

“Halo?”

“Halo. Mbak Karin, ya?” balas suara lelaki paruh baya dengan logat khas Jawa.

“I-iya, ini siapa?”

“Saya sudah di depan, Mbak. Saya dari gereb food.”


“Loh? Saya gak pesan apa-apa kok, Pak.”

“Walah, tapi disini katanya buat Mbak Karin Manten...opo iki..oalah Mateen, Mbak.”

Karin tersenyum mendengar bagaimana driver tersebut menyebutkan nama keluarga dari kekasihnya.
Karin tau, ini pasti ulah dari kekasihnya. Ah, itu juga. Bisa-bisanya nama dirinya ditambah dengan
nama keluarga dari Winonna. Hal itu membuat Karin tersipu malu.

“Oh begitu. Yaudah saya turun dulu ya? Pak.”

Karin mengambil cardigan miliknya dan turun menuju gerbang rumahnya. Terlihat ada seorang lelaki
yang tersenyum ramah padanya.

“Walah. Pacar Mbak nih gak boong, ya.” ucap lelaki itu.

“Kenapa, Pak?”

“Pacarnya bilang, 'Pak jangan kaget kalo pacar saya keluar dari rumahnya, cantiknya paripurna pak.
Saya aja pusing.' ternyata emang bener cantik banget, Mbak.” jelas Pengemudi itu. Karin hanya tertawa
kecil menampilkan senyum manis pada driver yang ada di depannya.

“Walah, manis banget Mbaknya! Beruntung sekali pacar Mbak dapet yang begini.” lelaki tersebut
tertawa dan mengambil dua bungkus paper bag dari motornya.

“Mbak, ini ada pesan yang katanya disampein buat Mbak Karin.” driver tersebut memberikan terlebih
dahulu paper bag berisi makanan cepat saji kepada Karin kemudian mengambil handphone miliknya di
saku jaket.

“Katanya, 'Pak tolong sampaikan ke pacar saya untuk maafin saya, maaf kalo saya belum bisa jadi pacar yang
baik. Karin, badan aku bener-bener gak bisa diajak kerja sama kalo capek dan berakhir aku ketiduran. Akhir-
akhir ini juga aku sibuk banget gak ada waktu buat kamu, aku minta maaf.' walah iki ada opo toh. Saya lanjut
ya Mbak Karin, katanya 'Terlepas dari itu semua, walaupun kita di ribuan jarak yang berbeda, you ar setil de pers
ting..' hadu gimana ini cara bacanya.”

Lelaki tersebut mencoba untuk mendekatkan handphone-nya ke matanya, “ 'you ar setil de pers ting on my
min'..eh opo iki..oalah saya inget, my mind. Iki Mbak yang terakhir, 'Ai lop yu en ai mis yu, Karin.'“
Lelaki tersebut kemudian menatap Karin dan tertawa, “Mbak, pacarnya kalo kata anak muda tuh so
swit.”

Karin tertawa dan matanya berkaca-kaca. Dipikir-pikir Winonna selalu ada cara agar keduanya tetap
berhubungan baik. Karin merasa dirinya terlalu kekanakan setelah apa yang sudah Winonna usahakan
untuk dirinya. Kekasihnya benar-benar sayang padanya.

“Mbak, kalo boleh tau pacarnya dimana?” tanya orang di hadapan Karin.

“Di luar negeri, Pak.”


“Walah. Berat sekali itu, Mbak. Saya dulu sama istri saya juga jauhan, tapi jauhan kota, Mbak. Dulu
istri saya katanya suka ngambek karena saya jarang mengirimkan surat padanya karena saya dulu kerja
menjadi buruh di kota lain. Yah, memang namanya anak muda selalu ingin bertemu. Tapi saya beritahu
istri saya bahwa saya akan mengirim surat sebanyak-banyaknya dan akan pulang saat lebaran idul fitri,
wah itu katanya dia senang bukan main. Tapi memang dia butuh waktu satu tahun untuk bisa bertemu
saya, Mbak. Kami menjalani dengan penuh kesabaran dan akhirnya memang kesabaran membuahkan
hasil, Mbak. Saya menikah dengan istri saya setelah saya pulang dari penantian satu tahun lamanya.”
Lelaki tersebut tertawa kecil, “Mungkin semua butuh waktu, Mbak. Saya tidak tahu pacar Mbak
melakukan pekerjaan apa disana. Tapi dengan usaha dia seperti ini, saya yakin pacar Mbak sangat
sayang dan rindu Mbak juga. Tunggu saja, Mbak. Akan ada waktunya kalian bertemu lagi.”

Karin mengangguk, “Terima kasih banyak, Pak. Semoga Bapak dan Istri sehat selalu.”

“Aamiin, makasih banyak. Semoga Mbak dan pacarnya segera ketemu dan jika jodoh semoga
dimudahkan ke tahap selanjutnya.” ucap lelaki tersebut.

Karin mengaminkan apa yang diucapkan oleh lelaki paruh baya tersebut, kemudian lelaki tersebut
berpamitan kepada Karin.

Karin menatap dua bungkus paper bag di tangannya dan berpikir, bagaimana dirinya bisa menghabiskan
makanan sebanyak ini?

Kekasihnya benar-benar penuh kejutan.


446. mekdi
447. rehat
448. pusynk
449.
450. Kesempatan
Karin duduk bersama Mamahnya dalam keadaan sedikit canggung. Keduanya jarang makan malam
bersama. Mamahnya juga jarang mengajaknya berbicara seperti saat ini. Karin merasa lega dengan fakta
bahwa Mamahnya mengajak dirinya makan malam dan berbincang bersama. Namun, Karin tidak bisa
membantah fakta bahwa dirinya merasa ada sesuatu serius yang ingin dibicarakan.

“Gimana kerjaanmu?” Mamah Karin membuka suara memecah keheningan yang tercipta di ruangan
tersebut.

“Baik kok, Mah. Sedikit ada kesusahan, tetapi Karin masih bisa mengatasi kok.”

Bohong. Karin berbohong saat dirinya berkata bahwa kondisi selama dia kerja baik-baik saja. Terlalu
banyak kesulitan yang ia alami dan dirinya tidak bisa berbicara ke siapapun karena orang terdekatnya
sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan termasuk kekasihnya.

Berbicara mengenai Winonna, Karin mengetahui bahwa kekasihnya itu memang sedang sibuk-
sibuknya kuliah. Sejak kejadian beberapa bulan lalu, dirinya tidak lagi merajuk karena Winonna yang
tidak ada kabar dan entah kemana perginya. Dirinya lebih memahami kondisi kekasihnya itu.
Kekasihnya pun demikian, Winonna selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar menelpon Karin
walau selama lima menit atau bahkan menelpon Karin saat dirinya izin ke toilet.

Namun, akhir-akhir ini Winonna tidak melakukan hal tersebut. Rasa khawatir dan rasa rindu
menyeruak di tubuh Karin. Dirinya tidak ada pilihan selain menunggu kekasihnya menjawab pesannya
walaupun Winonna baru menjawab 12 jam setelahnya atau bahkan keesokan harinya.

“Mamah ingin bertanya dan menyampaikan hal-hal penting, Karin.” ucap Mamah Karin. Karin
menghentikan makannya dan menatap serius orang tuanya.

“Kamu sudah punya pacar?” Karin tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mamahnya itu.

“Kalo Karin bilang udah, tetapi berbeda gimana, Mah?”

“Berbeda? Apa maksudnya berbeda?”

Karin berpikir, inikah saat yang tepat untuk Karin mengatakan hal yang sebenarnya? Mengingat dirinya
yang sudah di umur yang dewasa dan Mamahnya belum mengetahui perihal hubungan dirinya dengan
Winonna.

“Aku, aku punya pacar.” Karin mengambil napas dalam, “Tapi bukan cowok.”

Karin menunduk, takut akan respon dan tatapan dari Mamahnya.

Tidak ada respon dari Mamah Karin. Hanya ada suara helaan napas dari wanita di depannya. Karin
sudah siap dengan segala resiko yang ada, kecuali harus meninggalkan Winonna. Winonna terlalu
berharga untuk dirinya.

“Kenapa baru mengatakan sekarang, Karin? Kenapa tidak dikenalkan kepada Mamah?”
Karin melotot. Seperti keajaiban yang selama ini Karin harapkan. Mamahnya tidak memarahinya.

“Mamah, gak masalah sama itu?” tanya Karin. Wanita tersebut menggeleng pelan, “Tidak, tidak pernah
masalah. Mamah mempermasalahkan kenapa kamu tidak pernah cerita, Karin. Mamah pikir kamu
belum mempunyai pacar.” Wanita tersebut mengambil gelas di dekatnya dan meneguk air yang ada di
gelas tersebut,

“Mamah mengiyakan tawaran teman Papamu untuk melamar kamu.”

“Kenapa Mamah asal terima? Kenapa gak nanya Karin dulu?” Amarah Karin mulai naik, “Lagi pula
aku masih nunggu pacar aku untuk balik ke Indonesia setelah dia kuliah di luar negeri.”

“Mamah tidak tau. Sudah Mamah bilang Karin, Mamah kira kamu tidak mempunyai pasangan maka
dari itu Mamah menyetujui hal itu.”

“Mamah egois.” Karin beranjak pergi dari ruang makan dengan berlinang air mata.

“Karin, mereka akan datang tepat di hari ulang tahunmu.” Karin menghentikan langkah kakinya,
“Bilang kepada pasanganmu untuk datang di hari ulang tahunmu, Rin. Sehingga mereka tau bahwa
kamu sudah mempunyai orang yang kamu sayang.”

Karin tidak tahu harus bagaimana. Winonna sudah pasti tidak akan menjawab pesannya karna
kekasihnya itu membutuhkan waktu sendiri dan memintanya untuk tidak menghubungi Winonna.
Artha adalah salah satu jawaban yang terlintas di benak Karin.
451.
452.
453. dua hari berlalu
454.
455.
456.
457. Hilang.

Winonna tersenyum kala mengingat beberapa jam lagi kekasihnya akan berulang tahun yang artinya
dirinya akan menyalakan handphone beberapa jam lagi untuk mengucapkan Karin.

Langit Surfers Paradise kali ini cerah, dirinya sudah merasa cukup baik. Banyak hal yang ia pikirkan
selama disini sehingga membantu dirinya pulih.

Winonna sekarang sedang memikirkan bagaimana dirinya bisa melamar Karin nanti. Dirinya sudah
berpikir apakah lebih baik indoor atau outdoor. Winonna yakin Karin akan mengurus semua perihal itu
mengingat bagaimana kekasihnya terampil untuk urusan sebuah tempat.

“Jakarta Selatan kali ya..” Winonna mendongak ke atas, “Mahal banget tapi pasti tempatnya, macet
pula.”

Winonna tersipu malu membayangkan Karin yang semakin terlihat menawan dari foto-foto yang
diberikan oleh kekasihnya itu. Ah, benar. Cinta itu benar-benar membuat dirinya hidup.

Beberapa jam berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Matahari sudah mulai terbenam,
Winonna memutuskan untuk masuk ke dalam kamar hotel yang ia tempati dan segera menyalakan
handphone miliknya. Dirinya mengetik password yang berisi ulang tahun Karin dan menampilkan layar
dengan foto dirinya dan Karin.

Winonna segera mengecek pesan masuk, sebenarnya dirinya tau Karin akan memaklumi mengenai
dirinya yang meminta waktu untuk sendiri. Tapi kekasihnya itu pasti akan tetap mengirimkan pesan,
bercerita bagaimana hari-harinya berlalu.

Handphone-nya sangat bergetar setelah koneksi internet terhubung. Pesan teratas diisi oleh Karin dan
kemudian Artha.

Winonna mengerutkan dahi, melihat pesan terakhir Artha yang menanyakan dirinya dimana dan pesan
terakhir Karin yang juga menanyakan dirinya dimana. Perasaan tidak nyaman menyeruak di dada
Winonna. Dirinya memberanikan diri untuk membuka pesan dari Karin.

Tangan Winonna terasa lemas melihat isi pesan dari Karin. Merutuki kebodohannya karena tidak
menyalakan handphone di saat seperti ini. Namun, Winonna tidak pernah menyangka akan ada kejadian
seperti ini.

“Jam sebelas pagi..” Winonna melihat jam dinding yang ada di kamarnya, “Sebelas jam penerbangan,
paling lambat jam sebelas malam harus berangkat..”

Winonna segera bergegas membuka website pemesanan tiket pesawat dan mencari jadwal penerbangan
ke Jakarta paling awal.

“Puji Tuhan, ada jam sebelas malam ini.” ucap Winonna. Tanpa basa basi, Winonna segera memesan
tiket tersebut dan membereskan baju-bajunya. Perjalanan dari hotelnya ke stasiun kereta memakan
waktu 25 menit. Winonna harus segera ke rumah untuk mengambil passport.
Persetan dengan semuanya, Winonna harus sampai tepat jam sebelas pagi di Rumah Karin.

Waktu menunjukan pukul 19.45 saat Winonna sampai di rumah. Artha segera menyambutnya, “Win,
gak akan kekejar.”

“Passport aku mana ta? Passport aku mana?” Winonna memegang tangan Artha, Artha berlari menuju
ruang tengah untuk mengambil passport milik Winonna.

“Win, perjalanan sebelas jam kamu gak akan sempet.”

“Persetan, Ta. Aku bisa hadir lebih awal.”

Winonna membuka handphone-nya seraya mengirimkan pesan ke Karin.

| Karin, tunggu aku di Jakarta. Aku berangkat sekarang.

Winonna tak henti-hentinya menangis di dalam pesawat. Udara dingin di dalam kabin membuat
badannya bergetar hebat, tak biasa dirinya seperti ini.

“Karin, tunggu aku..”

Dirinya tak henti menggigit jari-jarinya karena merasa gugup. Pesawatnya sudah terbang selama tujuh
jam, selama itu pula Winonna tidak tertidur. Dirinya terus melihat foto dirinya dengan Karin yang
tersimpan rapih dalam dompetnya.

Semua terasa begitu lama. Hati Winonna bagai langit yang menyelimutinya saat ini sangat luas dan
cerah, tetapi langit juga bisa menangis. Winonna menangis karena Karin untuk pertama kalinya.

Jika badan Winonna bisa berbicara maka badannya akan memarahi si tuan karena tidak
memberikannya istirahat.

Winonna enggan, enggan akan melewati sedetik pun. Enggan dirinya belum terbangun di saat pesawat
sudah mendarat.

Entah bagaimana, wanita ini berharap pada angan yang tidak tau akan terwujud atau tidak sama sekali.

Pukul 10.40 waktu Jakarta Winonna sampai. 20 menit lebih awal dari perkiraan. Dirinya berlari setelah
berada di luar bandara. Memanggil taksi untuk ditumpangi. Winonna menghela napas lega mengingat
perjalanan dari bandara ke rumah Karin yang hanya menempuh waktu 20 menit.

“Pak tolong dipercepat, saya akan kasih dua kali lipat bayarannya.” ucap Winonna.

Supir taksi tersebut mengangguk dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Perjalanan berjalan baik-baik saja sampai mobil keluar dari jalur bebas hambatan.

Kemacetan menghalau mobil yang ditumpangi Winonna.

“Mbak, ini macet banget saya cek di maps merah banget.”

Winonna mengecek jam yang ada di handphone miliknya, “ Sepuluh menit lagi.”

“Gapapa, Pak. Semoga kekejar.”

10.52..

10.55..

Tangan Winonna bergetar hebat. Rasanya tak akan sampai, tetapi ego dalam dirinya berkata bahwa ia
akan sampai tepat waktu.

10.59..

Winonna menghela napas berat. Melihat pesan masuk dari Karin yang menanyakan keberadaan
dirinya.

11.00..

11.10..

Lima menit setelahnya, kemacetan mulai mereda dan jalanan kembali lancar . Winonna tersenyum
miris melihat wajahnya di pantulan layar handphone miliknya.

“Gagal..”

“Aku gagal, Karin.”

Winonna sampai di rumah Karin. Terlihat banyak mobil yang terparkir di depan rumah kekasihnya
itu. Ah, kekasih? Winonna tertawa kecil.

Dirinya tetap memberanikan diri untuk masuk ke pekarangan rumah Karin. Tidak peduli tamu-tamu
menatapnya aneh karena kini matanya terpaku pada wanita dengan balutan kebaya emas di depannya.
Itu karin, kekasihnyaa yang menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Karin, aku pulang.”

“Selamat ulang tahun, Kesayangan Winonna.”

Karina menggelang pelan seraya memeluk Winonna erat.


“Maaf..”
-END-

.
-end.

Anda mungkin juga menyukai