Anda di halaman 1dari 1

Teks Cerita Pendek

It’s Me, Uki!


Oleh : RF. Dhonna
“Uki pulang!” teriak Uki kenceng, lalu menggeletakkan sepedanya di garasi dengan serampangan.
“GRUBYAK!” bunyi suara yang ditimbulkannya. Mami yang mendengar suara keras itu langsung ngomel-ngomel.
“Ki, hati-hati, dong! Pelan sedikit kan bias!”
“Uki haus, Mi,” timpalnya lalu segera mengambil sebotol coca-cola dari lemari es.
“Mbak Naya datang, tuh!” lanjut Mami kemudian.
“Hah, Mbak Naya? Mana?”
“Di kamar kamu, lagi bersih-bersih.”
Mendengar itu, Uki segera berlari ke kamarnya, takut Mbak Naya mengubah letak benda-benda koleksinya.
“Baru datang, Ki?” sapa Mbak Naya ketika Uki melongokkan kepalanya di pintu. Mbak Naya adalah saudara kandung Uki satu-satunya yang sekarang jadi
sekretaris di sebuah perusahaan konfeksi di Jakarta.
“Dari mana aja seharian?” lanjutnya sembari tetap asyik beres-beres. Tampaknya Mbak Naya kurang memedulikan kehadiran Uki.
“kamu selalu ninggalin kamar dalam keadaan berantakan seperti ini, Ki?” lanjutnya lagi.
Uki Cuma tersenyum sambil garuk-garuk kepala, nggak nyangka kalo kakaknya yang cantik itu akan menyambutnya dengan pertanyaan yang membuatnya merasa
malu dan kikuk.
“Lagi liburan ya, Mbak?”
“Nggak. Ada tugas dari kantor. Biasa, kunjungan ke peragaan busana,” jelas Mbak Naya. Kali ini seraya merapikan buku-buku Uki yang berserakan di lantai.
“Berapa hari dirumah?”
“Besok pagi Mbak sudah harus balik ke Jakarta. Ntar malem temenin Mbak, ya?”
“Nggak ah, males! Emangnya, peragaan busana apa sih Mbak?”
“Kebaya,” jawab Mbak Naya pendek.” Oh, iya,” tiba-tiba Mbak Naya teringat sesuatu. “Ini oleh-oleh buat kamu.”
Uki menerima bungkusan dari Mbak Naya, lalu mengeluarka satu-persatu. Ada sebuah lipgloss warna pink yang lucu dan satu set kosmetik untuk remaja putri
lainnya, sebuah rok jins biru tua, serta stel kebaya motif renda dari bahan organdi berwarna pastel lembut.
“Kata Mami, sebentar lagi sekolah kamu mau ngerayain hari kartini. Makannya, Mbak comotin aja satu stel kebaya buat kamu. Bagus, kan? Ini desain pertama
lho…,”
Uki tak berkomentar. Ia hanya geli membayangkan dirinya memakai kebaya itu dihari kartini nanti.
“Sekarang, ABG di sana lagi gandrung sama rok ini, Ki. Nah mumpung rok jins model terbaru ini belum sampai sini, Mbak pengen kamu jadi trend setter-nya,”
ujar Mbak Naya sambil mengepaskan ke pinggang Uki yang kebetulan sedang berdiri. “dipakai ya, Ki? Mbak Naya keliling Jakarta lo, nyari rok ini. Semua mall
Mbak masukin, eh, ktemunya di Kelapa Gading.”
Siapa suruh? Emang Uki peduli? Batin Uki tidak senang. Uki tahu, Mbak Naya cerita panjang lebar begitu biar Uki mau memakai rok itu.
“Kenapa, Ki? Kamu nggak suka?” rupanya Mbak Naya menangkap ketidak-senangan Uki.
Mbak Naya menghela napas panjang. “Uki, kamu sekarang udah enam belas tahun. Mbak pengen melihat kamu berubah.”
Uki menunduk, memilin-milin ujung kaos oblongnya seperti anak kecil yang tertangkap basa mencuri mangga. Uki memang berbeda dengan kakaknya yang
feminism. Sejak kecil, Uki sangat dekat dengan sang Papi. Setiap akhir pekan, Papi selalu mengajak Uki jalan-jalan, memancing ikan di sungai, latian memanah,
dan sebagainya. Kadang Uki juga sering ikut ke tempat Papinya mengantar karate. Bahkan setiap kali ada genteng yang bocor, Uki selalu ikut naik ke atap. Mungkin
kedekatan dengan sang papi inilah yang membuat Uki sulit bersikap lemah lembut seperti layaknya seorang cewek. Apalagi teman-temannya kebanyakan cowok.
“Mbak pengen, sekali ini aja Uki kmu nyenengin Mbak,” pinta Mbak Naya memelas. “Ya udah, Mbak ga maksa. Yang penting, Mbak udah ngasih kamu semua
ini. Mau dipakai apa nggak, terserah kamu!” cetus Mbak Naya kemudian sembari meninggalkan kamar Uki. Uki segera membuntutinya.
Mbak Naya mengepaskan tubuhnya ke sofa, meraih remote TV, lalu menekan tombol power. Uki duduk di sebelahnya.
“Mbak, kenapa sih, cewek itu harus dandan? Padahal, nggak dandan pun, namanya cewek itu pasti cantik kan?” Uki melirik Mbak Naya dengan ekor matanya.
Mbak Naya bergeming. “Sebenarnya cewek itu dandan buat apa dan buat siapa sih, Mbak?” lanjutnya.
Uki menarik napas panjang. “Uki nggak pengen dandan kalau ujung-ujungnya hanya untuk menarik perhatian cowok,” sambung Uki, seolah-olah sedang berbicara
sendiri. “Selama ini, temen-temen cewek Uki di sekolah heboh beli produk pemutih, pake pelembab wajah, nge-rebonding dan ngitemin rambut, ngeborong segala
jenis parfum, karena mereka pengen cowok gebetan mereka ngasih perhatian ke mereka. Uki belum pernah nemuin, temen Uki mempercantik diri untuk dirinya
sendiri. Uki yakin, Mbak Naya juga nggak jauh beda dengan mereka. Mbak mempercantik diri biar Mas Bayu nggak ninggalin Mbak. Ya, kan?”
Kini Mbak Naya beralih menatap Uki, lama kemudian ia beranjak dari sofa. Mungkin ia sebal dengan kata-kata Uki yang blak-blakan.
“Mbak, Uki Cuma pengen ngejelasin kenapa Uki nggak mau pake rok…” mendengar perkataan Uki barusan, Mbak Naya sontak menghentikan langkahnya.
Dipandanginya Uki lekat-lekat.
“Uki nggak pobia rok atau kosmetik seperti perkiraan Mbak sama Mami. Jadi, Mbak Naya sama Mami nggak perlu membawa Uki ke psikiater segala. Selama ini
menurut Uki, pake rok itu ribet, nggak praktis. Uki ngerasa nggak bebas dan nggak aman kalo pake rok. Di mata Uki, cewek pake rok itu terkesan lemah banget.
Beda kalo pake celana. Celana bikin cewek kelihatan enerjik dan lebih macho. Dengan begitu, cowok-cowok jadi mikir dua kali kalo mau ngusilin cewek.”
“Ki,” Mbak Naya mulai buka suara, “cowok ngusilin cewek itu nggak karena kegenitan, nggak kecentilan, mereka nggak bakal gitu. Lalu dengan penampilan
kamu yang tetap seperti ini, apa kamu nggak takut seandainya cowok-cowok nggak ada yang mau jadi pacar kamu?”
“Ngapain takut? Yang penting Uki ngerasa nyaman dengan penampilan seperti ini. Uki ngerasa pede dengan hanya jadi diri sendiri,” ucapnya mantap, seolah
yakin kalau kelak prinsipnya ini nggak akan berubah.
“Uki….,”
“Mbak, pake rok itu bisa memancing terjadinya pemerkosaan. Uki nggak mau diperkosa,” potongnya cepat sambil ngeloyor pergi.
Mbak Naya tercengan mendengarnya. Kini ia semakin yakin bahwa adiknya memang perlu dibawa ke psikiater secepatnya.

Dikutip dari : Bahasa dan Sastra Indonesia X

Anda mungkin juga menyukai