Anda di halaman 1dari 8

STRUKTUR KORAN GONDRONG – ASMA

NADIA

A. Pengenalan situasi cerita (orientation)

Sejak dulu sampai sekarang tak seorang pun dalan keluarga kami yang
seperti Niq: gondrong! Kecuali yang perempuan tentu saja. Kakek,
paman, ayah, bang Faris, semuanya selalu berpenampilan rapi dan
keren. Necis orang bilang.
“Pokoknya Niq suka begini!” kata adikku itu suatu ketika. “Memang
ada yang dirugikan kalau Niq gondrong? Rambut-rambut gue…”
katanya cuek.
“Bukannya gitu, Niq. Kamu tuh jadi kayak cewek. Apalagi kalau
dilihat dari belakang,” tegurku tak suka.
“Kak Wiwi aja yang kuno, norak. Sekarang emang jamannya begini.
Lihat aja anak-anak kampus Niq, rata-rata kayak Niq. Keren!”
“Kucel, kumal, serem…,” potongku sewot
“Niq ganteng, bersih dan banyak yang naksir!” tambah Niq tak mau
kalah, sambil menyisir rambutnya yang sepinggang itu.
Aku mencibir.
“Jangan suka menghina deh, Kak! Rasulullah aja gondrong kok!” kata
Niq akhirnya sambil ngeloyor meninggalkanku.
Aku bengong. Manyun. Rasullah? Gondrong?” Hah, tahu darimana
tuh anak!
Tak kupungkiri, Niq memang berbeda dengan cowok-cowok
gondrong lainnya. Rambutnya tebal, hitam, dan mengkilap. Ia pun
rajin sekali merawatnya.
Terkadang kupergoki Niq melumuri rambutnya dengan kemiri. Lain
waktu, saat ibu ribut mencari jeruk nipis yang baru dibelinya di pasar,
kutemui Niq asyik memeras jeruk-jeruk nipis itu sebelum akhirnya
membasuh dan memijat kepalanya dengan ‘belanjaan’ ibu itu. Lain
waktu pakai rumput lautlah, madulah…, pokoknya heboh.
“Hoi, siapa di kamar mandi? Niq ya? Buruan dong!!” teriak bang
Faris. “Bisa terlambat aku ke kantor,” katannya sambil melirikku.
“Sabar dong, bang! Niq lagi keramas!” suara Niq santai dari kamar
mandi.
Kami saling lirik. Kalau Niq udah keramas mendingan jangan
ditungguin. Bisa ‘botak sariawan’ kita. Soalnya cuci bilasnya saja
sampai lima kali. Belum lagi pakai hair tonic, cem-ceman, lidah buaya
dan sebagainya. Malah ditambah ber-doremi di kamar mandi lagi.
Maklum aja, anak IKJ jurusan musik!
“Sudah mandi di kamar ibu aja, Ris,” suara ibu. “Kamu juga, Wi,”
jangan ribut pagi-pagi.”

B. Pengungkapan peristiwa (complication)

“Pokoknya Niq, kalau kamu mau merapikan rambut kamu, Kak Wiwi
kasih dua puluh ribu deh! Kataku di meja makan.
Semuanya tersenyum.
“Ogahlah yau. Rambut Niq lebih mahal dari itu.”
“Lima puluh ribu!” kataku.
Niq cuma nyengir. “Sorry. Not for sale!”
“Seratus ribu!” seruku sambil memasukkan sepotong tempe kedalam
mulut. “Biar kubedol celenganku!”
Ayah dan ibu menggeleng-gelengkan kepala. Niq tak bergeming.
“Dua ratus ribu!” kataku nyaris tersedak.
“Dua ratus ribu lagi dariku!” tambah bang Faris tiba-tiba.
Niq senyam-senyum. “Ditukar motor pun belum tentu Niq mau!”
katanya menang.
“Memangnya rambut kamu itu ada apanya sih?” cetusku kesal.
“Kekuatan… seila,” ujar Niq gede rasa.
“Emangnya Samson!” ledekku.
“Sudah-sudah. Ayah tambah seratus lima puluh lagi deh,” kata ayah
sambil menambahkan nasi ke piring.
Aku suprise!
“Ibu juga sama,” tambah ibu.
“Gimana Niq? Kamu berubah pikiran?” Niq masih menggeleng.
Mantap sekali! Tujuh ratus ribu baginya tak berarti bagi ‘kekuatan’
itu. Uh, sebel!
***
“Koran!”
Seperti biasa pagi ini kulihat Niq berlari menghampiri Udin, bocah SD
tukang koran langganan kami itu. Kalau soal baca koran, Niq memang
nomor satu. Nggak mau ketinggalan berita, begitu katanya.
Dari jauh melihat mereka bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang
mereka bicarakan. Aku hanya sempat melihat Niq menepuk-nepuk
pundak Udin akrab. Lalu tiba-tiba saja mataku menangkap sesuatu
pada sosok Udin. Ya ampun, sejak kapan rambutnya jadi sebahu!
Gondrong!
“Kok si Udin gondrong sih, Niq?” tanyaku sambil tergesa-gesa
memakai sepatu. Satu jam lagi kuliah terakhir Bu Sijunjung dan aku
tak boleh telat!
“Katanya mumpung liburan. Biar keren kayak om Niq,” jawab Niq
seenaknya sambil membuka lembaran koran.
Aku mesem. Belagu!
“Ek, kak Wi, mau ikutan ke Gunung Salak nggak? Anak-anak kampus
ngadain pendakian sama baksos. Orang luar juga boleh ikutan,” kata
Niq tiba-tiba. Matanya sesaaat lepas dari koran, dan tangannya
memilin-milin ujung rambut gondrongnya.
Aku nyengir. Dulu sebelum pakai jilbab, aku memang pandaki handal.
Niq belum lupa itu.
“Nitip baju bekas aja deh buat baksos,” kuraih tasku dan bersiap pergi.
Niq ngangguk, “Boleh! Bilangin sama bang Faris, Kak. Biar dia
nyumbangin juga! Kata Niq nyengir. “Kasihan masyarakat di sana.
Malah tanahnya banyak di rebut orang kota!” teriaknya sebelum aku
berlalu.
Di dalam bus wajah Niq terus terbayang. Adikku itu gagah, tegar, dan
terkesan garang. Namun biar bagaimana, rasanya aneh bukan, seorang
aktifis Roshis punya adik model Bob Marley?
“Bob Marley yang ini rajin salat lho! Niq kan metal Islam,” kata Niq
suatu ketika.
“Tapi kamu tahu nggak arti namamu sebenarnya?’
“Aniq Hanif? Oh ya kok Niq nggak pernah nanya sama ayah ibu
yah?” cengirnya waktu itu sambil mengganti senar gitarnya yang
putus.
“Artinya rapi dan baik. Dan kalau lihat kamu sekarang, nama itu
kurang sesuai,” kataku
“Sesuai. Percayalah padaku, kakakku sayang,” katanya sok romantis
“Tanyakan saja pada rumput laut dan jeruk nipis!”
Iiiii Niq!
“Kampus! Kampus!” Suara kenek bus mengagetkanku. Aku pun buru-
buru turun. Dug! Pakai kesandung lagi! Ups, aku hampir jatuh…
dan…
“Maaf,” kataku saat kusadari sepatuku sempat menginjak kaki orang.
Lelaki gondrong yang bergelantungan dengan sandal jepit itu diam.
Melotot padaku.
Aku bergidik. Buru-buru turun.
C. Menuju pada adanya konflik (rising action)

“Coba deh, Da. Suruh Niq pangkas. Biar rapi,” kataku pada Ida, teman
dekat Niq, setengah berbisik, saat dia berkunjung ke rumah.
“Udah, kak. Dianya nggak mau!”
jawab Ida enteng.
Aku menarik napas panjang. Sungguh, aku nggak pernah setuju Niq
pacaran sama Ida. Bagiku nggak ada konsep pacaran dalam Islam.
Tapi… mau nggak mau kali ini aku pakai Ida juga buat ngomong
sama Niq.
“Coba deh kamu jujur, kau nggak suka kan kalau Niq gondrong?”
tanyaku pelan.
Ida menyeruput teh manis yang kusediakan. “Oh… eh.. ng, gimana
ya, kak! Suka juga. Abis macho sih,” ujarnya kemudian malu-malu.
Aku geregetan. Duh, gimana nih? Siapa lagi yang bisa menasehati Si
Gondrong itu?
“Ini kan jaman kemerdekaan. Jaman demokrasi,” masih kuingat kata
ayah akhirnya bagai anggota DPR. “Terserah dia sajalah, Wi. Nggak
usah dipaksa-paksa.”
“Ibu juga sependapat. Yang penting dia tidak rusak seperti anak
tetangga sebelah itu!”
“Ah, cuma buang-buang waktu nasehatin dia!” kata bang Faris.
“Mendingan ngurusin kerjaanku.”
Nah tujuh ratus ribu aja di tolak!
“Ayo dong Da! Kalau kamu bisa bujukin Niq, Kakak Beri hadiah
deh!” rayuku lagi.
Ida, yang sampai sekarang masih berniat jadi artis sinetron itu
membetulkan letak duduknya. “Gimana, ya? Yaa, Ida coba deh. Tapi
ngga janji lho!”
Tiba-tiba Niq muncul. Rambutnya rapat terbungkus handuk. “Sorry
ya, kemirinya belum meresap, Da,” ujar Niq santai. “Habis itu mesti
dibilas lagi, baru dikeringin. Gue nggak suka pakai hair drayer. Bisa
bikin rusak rambut! Sabar ya, non?”
Ida diam saja. Mesem.
“Kalah sama kemiri,” bisikku. “Dua hari lalu kalah sama alpukat, ya?”
Ida mengatur posisi duduk dan mengaduk teh manisnya. Rasain!

***
“Koran!” suara Udin agak terdengar serak pagi ini.
Aku mengintip dari balik tirai. Niq dan Udin tertawa-tawa. Masing-
masing memegang rambut gondrongnya. Apa coba?
“Hati-hati ya, Din! Ingat kalau ada apa-apa pager aja!” kata Niq.
Kulihat Udin mengangguk. Kemudian menggenjot sepedanya berlalu.
Aku keluar.
“Lho, kirain udah pergi rapat lagi,” sapa Niq. “Ayah sama bang Faris
malah pagi-pagi banget udah pergi.”
“Belum.” Kuraih salah satu koran langganan kami. O… o! Dasar
koran kriminal! Beritanya tentang pembunuhan, perampokan,
perkosaan dan… pengeroyokan. Tiba-tiba mataku memandang sebuah
foto yang terpampang di situ. Lalu mataku bergerak memandang foto-
foto lainnya. Masya Allah!
“Ehm… hm…,” aku berdehem.
“Kenapa, Kak?”
“Lihat foto-foto di koran ini…”
“Kenapa?” Niq meraih koran itu.
“Penjahatnya kan gondrong-gondrong…,” kataku pelan.
“Huh, SARA. Banyak kok orang gondrong berhati mulia!” wajah Niq
mengeras. “Jangan terpengaruh gitu dong, Kak?!”
Aku mengangkat bahu dan meninggalkan Niq sendiri. Galau.

D. Puncak konflik (turning poin)

“Hari ini, di kampus, aku dan teman-teman aktivis Rohis berkumpul


di musalla. Lepas salat dzuhur kami mengadakan rapat untuk acara
pesantren kilat (sanlat) mengisi liburan.”
“Ajak aja Niq, Wi!” kata Ratna. “Ikhwan panitia juga banyak yang
mengajak adiknya.”
“Ngajak Niq? Ke laut aja!” ledekku.
“Sejak kapan dia berminat?”
“Hus, nggak boleh gitu. Namanya hidayah, siapa tahu?” timpal Kiki.
Aku menggeleng. Susah mengajak Niq ke acara-acara seperti itu. Dia
mau salat aja udah sukur banget!
“Rambutnya belum di potong juga?” tanya Ratna tiba-tiba. Ratna dan
Kiki memang orang kampus yang paling tahu tentang keluargaku.
“Belum,” jawabku pendek.
“Hati-hati lho, Wi. Bukan apa-apa. Biasanya cowok gondrong itu
sering dikira preman, sering juga dikira anak bandel. Pemabuk atau
pemadat!”
Aku agak tersinggung dengan ucapan Ratna. “Niq nggak gitu kok!”
“Iya, aku tahu.” Ratna menjajari langkahku. “Jaga-jaga saja. Kamu
tahu nggak, anak-anak kiri kampus rata-rata gondrong. Lalu… setiap
ada kerusuhan di Jakarta itu kan banyak cowok-cowok gondrong
terlibat.”
Alisku terangkat.
“Selain Budiman Sudjaminto, anak anak PRD itu banyak yang
gondrong !”
“Iya, bilang sama Niq, jangan sampai kalau ada apa-apa, ia yang
kena!” timpal Kiki. “Orang jaman sekarang kan sering salah paham
dan suka mencari kambing hitam!”
O… o! Kok ngomongnya jadi pada ngelantur sih?

***

“Kok diam aja dari tadi, Wi? Ada masalah?” tanya Ibu lembut.
Aku menggeleng. Kulirik jam dinding. Pukul 23.30, dan Niq belum
juga pulang.
“Niq kok belum pulang juga sih, Bu?”
“Katanya latihan band di Grogol. Di rumahnya si Dodo!” suara Ayah
yang masih betah nonton tivi.
“Astagfirullah. Perasaan Wiwi kok nggak enak ya.”
“Aku juga, Wi. Soalnya tadi dia mau pulang cepat. Filem di tivi
bagus!” Bang Faris menghampiriku.
“Aduh… gimana, yah?”
“Kenapa sih?” desak Ibu yang kulilhat beberapa kali menguap.
“Wiwi… khawatir…”
“Cerita dong!” desak Ibu.
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Lalu tiba-tiba semua
yang dikatakan Ratna dan Kiki mengalir. Kuceritakan pada Ibu, Ayah
dan bang Faris.
Dan… semua diam. Duh, aku jadi merasa bersalah! Sementara
dentang jam dinding sudah menunjukkan jam dua belas malam.
“Kita doakan saja tak terjadi apa-apa,” kata Ayah. Tapi waktu terus
beralalu dan kami benar-benar tak bisa tidur! Sesekali pandangan
kami mengarah pada telepon di ruang tamu.
E. Penyelesaian (ending atau coda)

Tepat pukul 01.00 pintu diketuk. Aku bangkit dan mengintip jendela.
“Bukan Niq! Temannya kali! Bang Faris aja yang buka!” kataku
ketika melihat sosok asing dari balik jendela.
Semua pandangan. Ayah dan bang Faris bangkit dan mengintip
jendela kemudian membuka pintu.
Seorang pemuda berambut rapi. Baju putihnya berdarah! Kami
berempat menatap tak percaya! Niq.
Ibu langsung memeluk Niq panik! “Kamu kenapa? Ya Allah, bajumu
berdarah?”
“Ya… Rabbi… “bibirku kelu. Dengkulku lemas.
Ayah dan bang Faris membimbing Niq duduk. Sementara aku masih
menatap wajah Niq aneh. Dia tak gondrong lagi! Apa pula ini? Ah…
“Niq, nggak jadi latihan band. Sebenarnya tadi mau langsung
pulang… “
“Tapi?” tanya ayah tak sabar.
“Niq ketemu Udin.”
“Udin? Tukang koran kita?” tanyaku beruntun.
“Niq mengangguk.” Dia digebuk beberapa berandalan yang mau
merampas duitnya. Niq nggak bisa membiarkan…”
“Lan…tas?” suara Ibu bergetar.
“Niq berantem. Berandal itu kabur setelah Niq dan Udin berteriak
minta tolong. Niq luka sedikit kena clurit!”
Wajah kami puas. Ya Allah, adikku kena clurit!
“Tapi nggak apa… sudah ke poliklinik. Maaf, Niq nggak telpon.
Takut semuanya panik.”
Kami menarik napas lega. Ibu membelai Niq dan sesaat mengusap
lebam wajahnya. Ayah menepuk bahunya. Bang Faris tercenung,
sementara aku menatap Niq tak kedip. Rambut gondrongnya benar-
benar sudah raib!
“Ram… ram… butmu?”
Niq tersenyum. Kami jadi bingung.
“Buat Udin,” jawabnya pendek.
“Buat Udin? Buat apa?” tanya kami serempak. Emangnya Udin butuh
rambut???
“Udin butuh duit buat lanjutin sekolah. Dia kan anak yatim dan ibunya
cuma tukang cuci. Jadi… tadi Niq pangkas rambut agar uang yang
tujuh ratus ribu bisa buat sekolah Udin dan modal emaknya buka
warung.”
Kami terbelak. “Tujuh ratus ribu?” tanya ayah.
“Ya, yang dulu dijanjikan kalau Niq mau potong rambut. Masih
berlaku kan? Kalau bisa, besok duitnya sudah ada ya…!” Niq nyengir
kuda. “Rambutnya sih bisa panjang lagi kok!” tambahnya badung.
“Hah?” semua berpandangan, mengerutkan kening.
Tapi mataku berkaca-kaca.***

Anda mungkin juga menyukai