Anda di halaman 1dari 5

Biasanya Mikayla akan memikirkan apapun, sesuatu yang selalu tersangkut di

kepalanya ketika sedang berada di bawah guyuran air, entah itu tentang
pekerjaannya, tentang perkara masa lampau yang belum selesai dan hadir lagi atau
bahkan tentang pernikahannya dengan Nathan yang terbilang terlalu mendadak. Tetapi
kali ini dia membersihkan diri dengan cepat tanpa memikirkan apapun.

Mamanya pernah mengucapkan rasa bahagianya yang lebih-lebih atas kebahagiaan yang
sekarang Mika dapatkan sebagai istri Nathan, sesungguhnya Mika tak terlalu memahami
di bagian mana menurut mamanya yang membuat Mika terlihat sepenuhnya merasa
demikian. Mika berpikir barangkali karena Nathan adalah menantu idaman mamanya, dan
itu cukup membuat mamanya menarik satu kesimpulan jika Mika akan selalu berbahagia.
Mika masih meragu untuk menyebutnya sebuah kebahagiaan, perasaan seperti itu tak
pernah abadi, bisa jadi ke depannya Mika harus melalui banyak sekali luka.

Mika sedang berada di ruang ganti dan sedang memakai pakaiannya ketika Nathan
memanggil-manggil namanya. Tepat ketika Mika tengah memakai bra, Nathan segera
masuk dengan raut yang agak kusut.

"Siapa yang datang sepagi ini?" Mika bertanya, tangannya berada di belakang
punggung dan masih mencoba mengaitkan branya. Kemudian Nathan berinisiatif untuk
membantu Mika mengaitkan bra. Mika agak terkejut karena sentuhan jemari Nathan di
punggungnya disusul dengan sebuah kecupan di bahu dan lehernya.

"Aku bertanya siapa yang datang, Nathan?" Mika mengulangi pertanyaan, membuat
kecupan di punggungnya terhenti. Nathan lantas membalik tubuh Mika dan menariknya
ke dalam rengkuhan.

Aneh. Nathan itu aneh! Mika semakin tak memahami lelakinya yang kini memeluknya
erat dengan beberapa helaan napas berat.

"Kamu akan tahu kalau menemuinya," katanya, membuat Mika semakin penasaran karena
melihat kedua mata Nathan yang meredup. "Aku harus mandi dan bergegas ke kantor,
kamu temui dia."

Nathan lantas melepaskan dekapannya dan memegangi bahu Mika, memperhatikan wajah
Mika lamat-lamat dan pandangan tersebut jatuh ke leher serta tulang selangka Mika
yang dipenuhi tanda merah hasil karyanya. "Aku berniat membuat satu tanda lagi,
tetapi rasanya ini cukup." Nathan lantas mencium kening Mika setelah menampilkan
senyum yang sangat aneh. "Cepat pakai bajumu dan temui dia, tidak perlu terlalu
cantik."

*****

Apa yang pertama kali Mika lihat benar-benar bukan pemandangan yang bagus. Sejak
awal saat Nathan berwajah lesu Mika sudah menyadari tamunya adalah seseorang yang
sangat tidak dinantikan kedatangannya. Mengingat semalam ia memiliki momentum yang
agak kacau karena sebuah foto insiden di hari pernikahannya, rasanya wajar jika
sikap Nathan barusan agak berbeda, lebih posesif dari biasanya.

Sekarang Mika telah menyadari mengapa Nathan tersenyum aneh atas apa yang telah ia
lakukan pada leher Mika. Tentu saja karena Nathan ingin menegaskan jika Mika adalah
miliknya.

Mika menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya untuk menemui Reza. Ia
tidak tahu harus bersikap bagaimana, namun instingnya mengatakan sesuatu yang tidak
beres. Jadi di sana, Mika tersenyum dan duduk di samping Reza dengan jarak yang
cukup jauh. Sedang Reza yang menyadari kehadiran Mika segera meletakkan majalah
fashion-nya.
"Maaf, terlalu lamma menunggu?" Mika bertanya, sebisa mungkin tak bereaksi kaku dan
gugup.

Reza tersenyum ranum hingga lesung pipinya tersedot sangat dalam. Mika berdecak
ddalam hati karena mmelihat sesuatu yang paling ia sukai dari Reza.

"Tak perlu meminta maaf, aku lah yang seharusnya meminta maaf karena bertamu sepagi
ini."

"Ya, aku belum pernah menerima tamu di pagi hari."

Senyuman Reza memndadak lenyap saat melihat sesuatu di leher Mika yang membuat
hatinya terasa panas. "Dan aku baru kali ini bertamu ke rumah seseorang yang
dengan bangga menunjukkan kissmark di lehernya."

Manik Mika membulat, wajahnya agak memerah. "Aku tidak berniat menunjukkannya,
tetapi—"

Reza mengalihkan pandang dari wajah Mika dan meloloskan satu tawa hambar. "Nathan
ingin mempertegas bahwa sekarang kamu miliknya? ah… sepertinya Nathan mulai
ketakutan jika aku akan menggodamu."

"Bukankah semua suami berhak merasa demikian?"Mika menaikkan sebelah alisnya.

Suami. Reza tertawa miris dalam hati. Ia lantas kembali menatap Mika dengan
perasaan yang luar biasa menyakitkan.

"Kamu benar, apa lagi jika istrinya adalah Mikayla. Siapa, sih, yang tidak ingin
memamerkannya?"

Mika tahu itu cuma kelakar, namun melihat sirat di mata Reza yang membingungkan,
Mika segera mengganti pertanyaan.

"Jadi ada apa kamu bertamu sepagi ini?"

Reza meraih majalah yang tadi ia baca dan mengeluarkan sebuah undangan dari sana,
membuat Mika mengernyitkan keningnya bingung mengapa ada undangan di sana.

"Tadi aku mengambilnya di mobil saat Nathan pergi memanggilmu, aku tidak tahu harus
menyembunyikannya di mana, jadi aku selipkan di majalah yang aku baca." Reza
mengulur undangan berwarna merah marun dengan bingkai berwarna emas yang tampak
elegan dan mahal. "Aku berharap kamu datang, terserah dengan atau tanpa Nathan."

"S-siapa?" Mika meraihnya dan melirik nama kedua mempelai itu dengan tatapan was-
was dan jantung yang bergemuruh.

"Aku akan menikah dengan Anastasia, Mika."

Mika memandangi kedua nama mempelai itu dengan tatapan nanar. Setiap kali Reza
menyebut nama Anastasia, selalu ada yang menggores di hatinya. Wanita itu adalah
seseorang yang merusak kebahagiaan Mika, dia telah merebut Reza darinya. Mika
sangat tidak menyangka jika yang akan menjadi istri Reza adalah wanita itu.

"Sudah lima tahun berlalu," ujar Mika. "Di antara gadis-gadis yang kamu temui di
masa lalu, aku tak menduga ternyata Anna yang menjadi istrimu."

Reza tahu maksud dari kalimat lima tahun lalu itu dan juga ekspresi Mika yang
berantakan. Mika seperti ingin tertawa, namun juga seperti ingin menangis.
"Aku juga sama terkejutnya ketika Nathan datang dan memberikan undangan
pernikahannya padaku." Reza menelan saliva berat, menatap jemari Mika yang meremat
ujung undangan. "Aku juga tak menduga jika wanita yang menjadi istri Nathan adalah
wanita yang ingin aku perjuangkan sekali lagi."

Tersentak, manik Mika terbelalak dan menatap Reza dengan intens. "Apa maksudmu?"

"Sebelum kita berpisah, bukankah aku berpesan padamu untuk menungguku?"

Mika memiringkan kepalanya tak paham. "Menunggu? Jelas-jelas kamu berkencan dengan
gadis lain, apa yang harus kutunggu?"

"Aku berkencan dengan mereka bukan berarti aku akan menikahinya. Ada sesuatu yang
tidak kamu ketahui!" seloroh Reza dengan suara rendah dan penuh penekanan. "Aku
sedang memperjuangkan masa depan agar kita bisa hidup bahagia!"

Melayangkan satu tawa tawa hampa, Mika menatap Reza dengan sedikit kebencian. Ia
tak pernah merasa Reza memperjuangkan sesuatu untuk masa depan mereka, yang Mika
tahu Reza hanyalah seseorang yang menghempas Mika setelah ia menghisap manisnya.

"Omong kosong, Reza! Lantas mengapa sekarang kamu akan menikahi Anna?"

Reza tak segera menyahut. Kepalanya tampak rumit bahkan untuk sekadar menjelaskan
alasan tepatnya. Lelaki itu terlihat seperti seseorang yang sedang menyembunyikan
banyak sekali rahasia. Reza dan Mika terdiam cukup lama sampai suara langkah kaki
seseorang yang menuruni anak tangga terdengar di telinga mereka.

Mika berdeham, menatap Reza dan mencoba menetralkan semua perasaannya. "Nathan akan
segera berangkat ke kantor, kamu boleh pergi sekarang—"

"Kamu sudah mengobati lukanya, Mika?"

Mika menoleh pada sumber suara, Nathan sudah tiba di anak tangga terakhir dan
sedang berjalan menuju dirinya dengan dasi dan jas yang terselampir di lengannya.

Mika bangkit, ia memandang bingung. "Luka? Luka siapa?"

Nathan yang telah berdiri di hadapan Mika menatap lengan kemeja Reza yang telah
diturunkan, menutupi luka berdarah di siku kanannya. "Reza, tadi sikunya berdarah."
Lalu tatapan itu kembali pada Mika. "Apa aku tidak menyuruhmu untuk membawa kotak
P3K sebelum turun?"

Mika menggeleng. "Kamu tidak mengatakannya, kamu cuma bilang aku harus cepat
berpakaian dan menemui tamunya."

"Benarkah? Maaf, aku berarti melupakannya."

Sementara Mika menggulir tatapan ke arah Reza dan mendekatinya, ia menarik lengan
kanan Reza dan mendapati bercak darah di lengan kemeja bagian siku. Kemudian
menatap Reza setengah jengkel.

"Kenapa tidak bilang kalau terluka?!" Mika lantas menyingkap lengan kemeja Reza
untuk melihat separah apa lukanya. "Bagaimana bisa kamu mendapatkan luka ini?" Mika
bertanya cemas.

"Aku sedang mengecek proses pembangunan di lantai atas dan jatuh saat menuruni
tangga. Sikunya terkena alat bangunan yang masih ada di sana," Reza terpaksa
menjelaskan.
"Tidak ada luka yang lain, kan?"

"Lututku tergores, tetapi tidak masalah, tidak separah sikuku."

Sementara Reza menatap Nathan yang masih berdiri memandangi Mika dengan datar. Reza
tahu Nathan sengaja melakukan ini, lelaki itu sedang menguji reaksi Mika untuk
memastikan sesuatu. Lantas ketika Nathan balik menatap Reza, Nathan tersenyum
hambar seolah sudah menemukan jawaban atas perasaan Mika yang mendalam.

"Jadi rumah di samping yang sedang dibangun itu benar-benar milikmu, Za?" Nathan
bertanya. "Aku melihat pondasinya telah dibuat saat aku membeli tanah ini.
Pengerjaannya cukup lama."

"Ya, aku sempat menghentikan pembangunan karena sebuah hambatan, kau mengenal Tora?
Dia gila karena menginginkan tanah itu dan berniat melanjutkan pembangunan."

"Apa dia menawari setengah saham perusahaannya yang di Paris? Yang aku dengar dia
memang gila karena berani memberikan sebuah berlian untuk satu gram emas."

"Ungkapan yang cukup bagus, Nat."

Mereka lalu tertawa, menyembunyikan sesuatu yang tersirat di hadapan Mika. Lalu
keduanya kembali mengobrol tentang Tora yang membeli kapal pesiar dengan harga yang
sangat fantastis hanya untuk melamar kekasihnya.

"Tunggu sebentar, biar aku ambilkan P3K." Mika menyela pembicaraan mereka dan
bangkit dari hadapan Reza. Namun langkahnya terhenti karena perkataan Nathan.

"Aku harus berangkat sekarang, Mika. Aku akan menyarap di kantor karena sepertinya
kamu tidak akan sempat membuatkan sarapan." Nathan mendekati Mika, mencium kening
istrinya di hadapan Reza. "Perutmu masih sakit?"

Mika mengangguk. "Masih, tetapi nanti aku akan minum obat pereda nyeri." Lalu Mika
menyadari jika Nathan belum mengenakan dasinya. Maka mengancingkan kemeja teratas
Nathan dan memakaikan dasinya yang sejak tadi terselampir di lengan Nathan.

"Tidak perlu pergi bekerja kalau begitu, istirahat saja di rumah. Sekretarismu
cukup kompeten untuk mengisi kekosonganmu, minta bantuannya saja, aku yang akan
membayar gajinya bulan ini." Nathan mengusap pipi Mika, menatap wanitanya dengan
posesif. "Telepon aku kalau menginginkan sesuatu, aku mungkin tidak akan terlalu
sibuk hari ini. Nanti siang aku akan pulang dan membuatkan makan siang untuk kita,
bagaimana?"

Mika tertawa karena Nathan yang sangat cerewet, ia lalu mengangguk. "Aku akan
menurutimu kali ini."

"Gadis pintar," Nathan mengusap puncak kepala Mika dan membawa istrinya ke dalam
pelukan, lalu berbisik, "Jangan macam-macam di rumah."

Mika tahu itu bukan pesan, melainkan sebuah peringatan. Jadi ia mengangguk setelah
Nathan melepaskan pelukannya dan berganti mencium pipi Mika sebelum benar-benar
pergi. "Aku mencintaimu, Sayang."

Jantung Mika berdesir, ini adalah pertama kalinya ia mendengar kalimat itu
terlontar dari bibir Nathan. Membuat Mika terpaku sejenak dan menatap manik Nathan
dengan intens. Tetapi ketika Nathan menarik satu sudut bibirnya, Mika segera tahu
ia sengaja mengatakan itu karena ada Reza.
"Za, jangan pergi sebelum Mika mengobati lukanya." Nathan lantas menepuk bahu Reza.

Reza yang sejak tadi muak melihat drama pengantin baru itu cuma tersenyum hambar
dan berkata, "Ya, terima kasih, Nat. Hati-hati di jalan."

Selepas kepergian Nathan dan sekembaliannya Mika setelah mengambil kotak P3K, tak
ada percakapan apapun yang tercipta selagi Mika mulai mengobati luka di siku Reza.
Mereka hanyut dalam perasaan dan emosi masing-masing. Mika dengan segala pikirannya
yang rumit dan Reza dengan separuh hatinya yang terbakar setelah menyadari sikap
Nathan yang sengaja membuat dadanya terhimpit sakit.

"Kamu mencemaskaku?" Reza akhirnya bersuara.

Mika mendongak dan menatap Reza yang seolah akan menenggelamkan Mika pada kedua
matanya. Perasaannya sekarang teramat rumit, menempatkan Reza pada sebelah hatinya
sama saja seperti menusuk Nathan dengan perlahan. Mika merasa sangat bersalah, di
lain sisi ia tak bisa mengalihkan tatapannya dari kedua manik Reza.

"Ya," katanya lemah. "Dan seharusnya kamu tidak ada di sini."

"Kamu yang seharusnya tidak di rumah ini, tetapi di rumahku," ujar Reza dengan
intonasi rendah, seolah suara itu telah menjerat Mika pada kegilaan untuk berdusta.
"Seharusnya bukan Nathan yang memeluk dan menciummu di pagi hari, tetapi aku."

Reza menarik lengan Mika untuk bangkit. Seolah telah tersihir, Mika bahkan tak
menolak ketika dirinya dibawa untuk duduk di pangkuan Reza. Mika memegang bahu Reza
dan terjatuh dalam tatapan sialan itu.

"Kamu tahu ini tidak benar, Reza," lirih Mika.

"Ya, dan aku tahu kamu tak pernah mendesakku untuk menjadi benar. Kamu mencintaiku
apa adanya bahkan ketika kamu tahu aku ini bukan lelaki baik seperti Nathan." Reza
meremat pinggang Mika, menekannya agar semakin rapat. Keduanya sama-sama digelapkan
pada masa lalu yang belum usai. "Aku seharusnya pergi setelah ini, tetapi aku juga
menginginkan pelukan dan ciuman seperti apa yang kamu lakukan pada Nathan. Tidak,
bukan hanya sekadar cium, aku ingin lebih."

Anda mungkin juga menyukai