Anda di halaman 1dari 5

Analisis cerpen Kesetiaan Pohon Kelengkeng karya Teguh Affandi

Kesetiaan Pohon Kelengkeng

Jangan harap berbuah, kalau rumahmu sekisruh kapal pecah!


Mirabilis memaku nasihat Ibu dalam kepalanya, selurus paku yang tertancap di
batang pohon kelengkeng. Ia menepuk-nepuk pokoknya sambil mendongak ke dedaunan.
Tajuk hijaunya lebat. Cahaya matahari hanya mampu lolos di celah menciptakan tabung-
tabung cahaya lemah mirip penumbra gerhana. Mirabilis merasakan betul kehadiran Tangan
Gaib yang sibuk menata, sehingga semua pas pada termasuk mengatur hidup Mirabilis dan
ibunya.

Pohon itu tak berbuah bukan karena penyakit dan tua. Sesekali memang tampak bakal
buah dan bakal bunga, yang menyemarakkan tajuk. Namun, tak lama kemudian berguguran.
Seolah memang gugur adalah nasib mereka. Seingat Mirabilis, pohon kelengkeng itu tak lagi
berbuah semenjak Bapak pergi. Seolah tahu nakhoda kapal telah pergi, rumah dirundung
mendung gelap. Hingga ia merajuk tak lagi berbuah. Kepergian Bapak menyisakan ruam di
wajah Ibu dan beribu pertanyaan di kepala Mirabilis. "Bapakmu itu pengelana, takkan betah
di
satu pohon. Mirip burung srintil, akan hinggap di pohon paling rindang!" jawab Ibu.
“Ibu, Bhayan tanya kapan boleh main lagi," Mirabilis mengawali perbincangan. Ibu
menyahut dengan deham pendek. "Lebih muda lima tahun, memang. Tapi Bhayan lelaki
bertanggung jawab," Mirabilis meneruskan.

Ibu sibuk dengan tumpukan koran dan tali rafia. Sesekali kacamata ibu hampir
melorot
di ujung hidung. Ujung hidung yang membesar dan keriput membuat laju kacamata itu
terhenti.
Tua memang mengurangi ketajaman pandangan Ibu, tapi tak dengan ketelitian dan kerapian.
Hal itu yang diam-diam selalu dikagumi Mirabilis. Seorang diri membesarkannya, Ibu tak
sekali pun mengemis ke sanak terdekat. Gigih dan telaten! Meski sekarang, Mirabilis mulai
jengah dengan Ibu yang masih saja mengumpulkan koran bekas, yang diikat dan dijual tak
seberapa. Mirabilis sudah sering menasihati agar tumpukan koran diberikan saja ke Mbok
Wajiyem, pemilik lapak bumbon. Menasihati Ibu sama saja berteriak ke tebing. Memantul
kembali.

"Sampai bingung harus bagaimana lagi aku meyakinkan Ibu. Aku yakin Bhayan lelaki
baik. Dan yang pasti Bhayan berbeda dengan Bapak!"
Tangan Ibu berhenti mengepak koran bekas. Matanya kini lurus menghunjam Mirabilis.
"Mirabilis, Ibu sama sekali tidak mau menyamakan Bhayan dengan bapakmu. Cukup
satu lelaki seperti dia, agar tidak semakin banyak perempuan tersakiti. Cukup kamu anak
perempuan yang ditelantarkan bapaknya sendiri."
"Jadi Ibu memberi restu?"
Ibu kembali diam. Mirabilis tahu, satu keraguan terbesar Ibu adalah perihal usia
Bhayan
yang dinilai Ibu belum cukup dewas menjadi suami. Mirabilis mendekati Ibu. Dia tahu bila
sudah demikian, Ibu akan menyampaikan betapa susahnya membesarkan Mirabilis seorang
diri, merelakan semua waktunya habis demi masa depan Mirabilis yang mati-matian Ibu
sekolahkan.
"Kalau perempuan sudah punya anak, hampir semua waktunya terserap ke anak.
Pekerjaan dinomorduakan. Bisa kamu bayangkan, bila kamu sudah punya anak dan harus
tetap
bekerja. Ibu tidak mau kamu mengalami pahit yang Ibu rasakan."
“Aku paham." Mirabilis mengangguk. Bhayan butuh waktu beberapa lama lagi, batin
Mirabilis.

Ibu berhenti mengepak tumpukan koran. Debu-debu yang menempel dia kebaskan
lalu
dia meraih serbet untuk menuntaskannya.
"Ibu butuh beberapa waktu saja. Ibu yakin bila Bhayan benar-benar mencintaimu,
takkan lari gunung dikejar. Ibu lebih memilih kamu terlambat menikah daripada buru-buru
menikah dan akhirnya bubrah."
"Aku nggak mau seperti Ibu," Mirabilis tersenyum meringis. Dua perempuan dewasa
itu paham betul, palung di rumah mereka mustahil diuruk. Cara satu-satunya untuk
mengobati
lara bukan dengan melupakan, tetapi mentertawakan seolah duka telah berubah menjadi
canda.
"Mirabilis, kamu tahu kenapa pohon kelengkeng ini tidak berbuah?"
Mirabilis menggeleng.
"Mirabilis, pohon itu memiliki perasaan. Berbuah kalau di rumahnya juga tercipta
kebahagiaan. Kalau rumahnya teduh penuh rasa cinta, jangankan pohon kelengkeng ini,
semua
pohon akan tenang dan ikhlas menumbuhkan bunga dan buah. Persis cermin lah."
Mirabilis berhenti sejenak. Pikirannya diaduk-aduk oleh kalimat Ibu. Mirabilis
merasakan kalimat Ibu tanpa intonasi keras, tapi memiliki resonansi begitu kuat hingga
membangkitkan rasa yang sudah lama ingin ia benam. Rasa yang sudah teranggurkan di
halaman sepi. Mata Mirabilis menatap tajuk pokok kelengkeng. Kemudian ia
menganggukangguk.

"Bagaimana akan berbuah kalau rumah bubrah, kayak kapal pecah!" imbuh Ibu.
Yang dilakukan Mirabilis hanya meraih tangan Ibu. Dia tahu betul peristiwa yang
membuat dadanya meledak. Dia ingin menyiramkan damai agar Ibu tak lagi bergejolak.
Kalaupun rengkuhan itu tak kuasa meredam kekesalan yang selama ini Ibu simpan, minimal
Mirabilis ingin mengurangi tensi di telapak keriput Ibu. Ibu ternyata begitu lihai memainkan
peran. Luka itu belum juga kering. Mungkin itu yang membuat Ibu begitu emosi bila
Mirabilis
tak mengindahkan nasihat Ibu. Siapa lagi yang merawat dan menyekolahkan Mirabilis, kalau
bukan Ibu seorang?

"Coba kalau nanti kamu menikah, cangkoklah pohon kelengkeng ini dan bawa ke
halaman rumah barumu. Dan buktikan omongan Ibu."
"Ogah! Mending aku beli bibit baru." Mirabilis meringis.
Kedua perempuan itu kembali terbahak. Rimbun kelengkeng meniupkan sepoi ke teras
rumah mereka. Kalaupun sebatang pohon tak menghasilkan ranum buah, ada sepoi angin
yang
menyejukkan rumah.
***
"Sudah?"
Mirabilis menggeleng.

"Aku tahu kekhawatiran Ibu." Bhayan meraih telapak tangan Mirabilis. Keduanya
kini
berhadap-hadapan. Lalu-lalang Jalan Kaliurang tak membuat keduanya risi memamerkan
keintiman. Mereka baru saja selesai mengudap gudeg ceker dekat Klinik Dental tempat
Mirabilis bekerja saban hari. Bhayan yang masih menunggu jadwal wisuda dan persiapan
coass di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof Soedomo, kerap menjemput Mirabilis setiap
pulang kerja. Dan legit gudeg dengan teh hangat hampir bisa dipastikan menjadi teman akrab
keduanya selepas jam kerja Mirabilis.
"Bukan tugasmu meyakinkan Ibu. Semoga usaha tempat kopi baruku lekas memberikan
untung yang meningkat. Aku seharusnya yang bekerja keras membuat Ibu yakin bahwa aku
akan menjagamu lahir-batin. Memastikan tidak akan ada kulitmu yang luka barang satu senti.
Tidak ada pojok hatimu yang ditumbuhi memar, Mirabilis. Jadi biarlah aku yang berusaha."
Bhayan mengelus punggung tangan Mirabilis.
Kalau cinta mereka suci, seharusnya mereka sabar menanti izin dari Ibu tiba. Sore itu
Jalan Kaliurang kembali rembang oleh senja dan klakson kendaraan. Keduanya bergandengan
tangan, menyusuri jalan. Sesekali saling merangkul dan mendekatkan bibir. ***

Seperti kuda, Bhayan tak mau ada kekang yang mengatur jalannya. Mirabilis masih
berusaha meyakinkan Ibu di tengah aktivitas pekerjaan di Klinik Dental. Tak ada yang
mengkhianati usaha. Takkan kuat karang menahan tetes air yang datang setiap hujan.
Mirabilis meyakini itu. Hingga kemudian Bhayan memberinya kabar baik.
"Mirabilis, aku belum bisa menghasilkan uang banyak dari pekerjaan sebagai dokter
gigi. Tapi kedai kopiku berbuah manis. Bulan depan akan buka cabang baru." Bhayan
semringah. Sebentar lagi dia akan mengantongi izin Ibu untuk menghalalkan Mirabilis
sebagai
pasangannya.

"Syukurlah! Benar kata orang, kopi memang pahit, tapi rasanya selalu manis," sahut
Mirabilis tak kalah bahagia.
"Mungkin akhir pekan nanti, aku akan silaturahmi kembali ke Ibu. Kamu bisa pulang
lebih awal. Aku minta Mas Barata buat nemenin. Nggak enak kalau langsung ngajak
IbuBapak," ujar Bhayan penuh percaya diri.
Mirabilis membatin, berarti butuh tiga hari untuk mempersiapkan semuanya. Dan
Mirabilis semakin yakin, usaha Bhayan kali ini tidak akan ditampik.
***
Mata Mirabilis tak beranjak dari tajuk pohon kelengkeng. Disaksikannya bunga-
bunga
itu terus saja mekar. Seperti menawarkan sekelopak harapan bahwa pohon kelengkeng itu
akan
berbuah di musim ini. Dada Mirabilis mendadak bergemuruh. Membayangkan sebentuk
keajaiban akan terjadi. Seperti menunggu tamu paling spesial, setelah bertahun-tahun
lamanya.
Tentu Bhayan, batin Mirabilis.
Mirabilis terus saja menggeleng, masih tidak percaya. Sudah bertahun-tahun pohon itu
berbunga di awal musim buah, dan menyisakan tumpukan bakal buah yang gugur di dekat
pangkal pohon. Fatamorgana yang menawarkan harapan sepanjang benang layangan, begitu
jauh untuk direngkuh.

"Pohon kelengkeng itu tahu, sebentar lagi rumah ini akan kedatangan tamu besar yang
membawa sebuncah kebahagiaan," Ibu berseloroh dari dalam rumah. "Kamu nggak siap-
siap?"
tanya Ibu.
Mirabilis bergegas menghampiri Ibu, memeluk dan membisikkan terima kasih.
"Ibu sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Kalau dia begitu gigih
memperjuangkanmu, berarti dia menganggapmu spesial dan berharga. Tidak ada orang yang
akan melukai yang paling berharga dalam hidupnya. Sana dandan yang cantik, jangan lupa
pasang senyum paling manis!" Ibu mencubit pinggang Mirabilis. Keduanya tersenyum
bahagia.

Sabtu petang, sebentar lagi azan magrib berkumandang. Merkuri di jalanan depan
rumah Mirabilis menebarkan temaram kuning penuh romantis. Mirabilis tak hentinya
memeriksa layar ponsel, meminta kabar terbaru dari Bhayan. Jam berapa berangkat dari
rumah? Sudah sampai mana? Dan seterusnya...
"Nuwun sewu, Ibu. Permisi," sopir taksi berkata begitu sopan. Nama dan logo
perusahaan taksinya adalah yang sering mengantar Ibu ketika medical check up bulanan.
"Apa
ini betul rumah Ibu Henidar dan Mbak Mirabilis, di Jalan Pandega Duta 3?
"Iya, betul Pak. Ada apa ya? Sepertinya saya tidak memesan taksi," jawab Ibu. Ibu
menoleh ke belakang dan bertanya, "Apa kamu pesan taksi, Mirabilis?"
Mirabilis menggeleng.
"Bukan, Bu. Penumpang saya minta diantarkan ke rumah Ibu.
Sepertinya sakit. Sekarang beliau tertidur di jok belakang," si sopir taksi menjelaskan.
Ibu dan Mirabilis berpandangan. Suasana mendadak ganjil.
"Siapa ya, Pak?" Ibu tampak masih ragu.
"Bapak Danuri."
Mirabilis melonjak dari kursi. Ibu terpaku.
"Katanya, hanya rumah ini yang benar-benar akan merawatnya. Tubuhnya panas sekali,
Bu," tambah sopir taksi yang masih kebingungan menyaksikan dua wanita yang saling
pandang
dan bungkam.
Mirabilis merangkul ibunya. Dadanya diterkam gempa.
Mengapa harus ada kejadian itu di saat Mirabilis menunggu kedatangan Bhayan? Mengapa
pula nama kembali muncul setelah bertahun-tahun?

Mirabilis menggerutu dalam hati. Lantas pandangannya tertuju pada pohon


kelengkeng
yang tampak semringah dan siap-siap membesarkan buah. Kebahagiaan sering datang secara
tanpa duga dan pohon kelengkeng inilah pemindai pertamanya. Mirabilis menyaksikan
bapaknya pulang, seperti seorang petualang kehabisan bekal.

Anda mungkin juga menyukai