Anda di halaman 1dari 3

LATIHAN PH BAHASA INDONESIA KELAS XII MIPA-IPS

MATERI NOVEL
Selasa, 13 Oktober 2020

Bacalah kutipan novel berikut dengan saksama!

GENTONG TUA

(1) Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk
muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah
mengering. Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang
berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi
sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu memersembahkan hadiah itu,
meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu! Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah
menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi.
(2) Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehen
lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu.Sepulang dari
pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dengan air bunga dan doa, aku mampir ke
rumahmu. Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah dan di pojok halaman.
Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap, lemari yang masih baru, pintu kayu berukir, sofa, semua
hanya benda-benda asing yang nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!
(3) Tali jemuran yang membentang di tepi halaman, tempat ibumu mengangin-anginkan kain batik yang baru
dicelup pada pewarna, juga pohon jambu biji di belakang rumah yang kini mulai menguning daun-daunnya,
keduanya akan mengasingkan dirimu, seperti kawan lama yang enggan menyapa.Hanya pada dua gentong tua itu
akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu berkarib memilin sepi.
Menunggumu pulang dengan kerinduan berkelindan. Dan kini, benda tua itu tampak muram ditinggal pemiliknya.
Gelap yang tersisa saat kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik dada ibumu; tak tertebak bagai lorong
rahasia yang panjang. Dalam gentong tua itulah ibumu mencelup dan merendam kain mori yang sudah direngreng
dan dipolesi lelehan lilin, untuk mewarnainya, menggunakan pewarna dari kulit mengkudu, kulit mundu campur
tawas, daun tarum, kulit pohon jati, dan pewarna-pewarna alami lain.
(4) Kain mori yang sudah direndam sekian lama diangkat, dianginkan, lalu dicelup lagi. Dianginkan lagi, dicelup
lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan
untuk menghasilkan warna yang pekat dan lekat. Sungguh suatu proses panjang dan melelahkan. Aku yakin, dari
proses pekerjaan itulah kesabaran serta keteguhan ibumu terlatih. Tangannya sampai berwarna kerak nasi. Bahkan
sewaktu kecil kau selalu menolak disuapi menggunakan tangannya yang cokelat kehitaman. Sempat terlintas di
benakku, apakah warna pekat dalam gentong tua itu yang telah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru
kelahiranmu yang telah melurup cahaya dalam kehidupannya?
Kata ibumu, kau lahir pada Ahad legi surup hari, ketika beras di dapur tinggal sekenyang burung, dan ayahmu sedang
melaut meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dalam kesendirian menjelang gelap malam, di usia
kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan seorang ibu tetangga terdekat yang
mendengar jerit tangis pertamamu, yang tak lain adalah ibuku.
(5) Air susu ibumu yang hanya setetes-duatetes kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang dan
malam. Daun katuk, daun pepaya, tidak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu melaut
semakin tak mencukupi kebutuhan karena harus membeli susu formula. Apalagi dengan mengasuhmu yang rewel,
ibumu tak lagi bisa membatik untuk membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga. Utang terus bertambah demi
memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat ibumu tak berani mencegah saat ayahmu meminta izin membuka usaha
warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yang sukses membuka usaha di sana. Dengan
menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan uang sewa lokasi, ayahmu berangkat setelah menggelar acara
timangan di usiamu yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan hutang demi acara itu.
(6) Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi, pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi.
Menginjak bulan ke tujuh, ayahmu mengajak ibumu membantu usahanya yang mulai ramai pelanggan. Kau disuruh
titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yang belum dikaruniai keturunan meskipun sudah empat tahun menikah.
Apalagi kau memang tidak menyusu. Akan tetapi, ibumu menolak ikut dan meminta cari orang lain untuk membantu
pekerjaan ayahmu.
“Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas ibumu saat bercerita pagi itu, ketika kau memintaku
menemuinya setelah kaukirimkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah.
“Kenapa tidak membawanya ikut serta?” tatapku.
“Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi kosong, tidak ada yang menempati dan merawatnya.”
Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan kain mori dengan canting yang baru dicelupkan pada lelehan
lilih. Aroma lilin yang didih dalam wajah lebih kukenali sebagai aroma perempuan di kampung ini.
Sekarang baru aku mulai mengerti alasan ibumu tidak sesederhana itu.
(7) Apakah kau masih ingat? Menginjak usia delapan belas tahun, ketika kau meminta izin melanjutkan
pendidikan ke luar Madura, wajah ibumu berubah sendu seperti langit tersaput awan kelabu.
“Tidak usah jauh-jauh!”
“Masih di seputar Jawa.”
Sudah biasa kulihat kau merajuk setengah memaksa.
“Keluar dari kampung sendiri namanya tetap jauh. Tidak baik bagi anak perempuan!”
“Memangnya kenapa kalau anak perempuan?”
(8) Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada protes kau ajukan untuk hal-hal lain, ketika terbentur
aturan sebagai anak perempuan. Bahkan sewaktu kecil, ketika ibumu melarang memanjat pohon jambu biji, kau pun
menunjukkan protes yang sama. Padahal waktu itu aku yakin, kau bisa memanjat lebih tinggi mengalahkanku.
Akibatnya, kau hanya bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yang nangkring kegirangan di
dahan sambil mengunyah jambu biji yang sudah matang. Kau semakin merengut kesal karena tidak segera kulempari
buah jambunya, justru kulit sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh
kemenangan.
Aku yakin hatimu merutuk geram karena terlahir sebagai anak perempuan yang terlalu banyak dikenai aturan!
(9) “Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab ibumu, setelah diam sesaat.
“Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa aku di Madura terus?” sungutmu.
Untuk kesekian kali aku tersenyum menang.
“Dia laki-laki!”
Weeek!
Kujulurkan lidah, mengejekmu seperti biasa.
“Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Nilaiku lebih tinggi dari nilainya!” kejarmu tak terima.
Ibumu tidak menyahut.
Kemampuanku memang selalu di bawahmu dalam hal apa pun, termasuk nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yang
biasa kau habiskan dengan mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan untuk membantu ibu
menguliti pohon jati dan mengkudu. Kadang aku juga membantu ibumu. Aku beruntung saja karena terlahir sebagai
laki-laki yang selalu dianggap lebih istimewa dari anak perempuan.
(10) Saat itu kau tetap berkeras hati mendapatkan kesempatan yang sama sepertiku. Jelas tidak mau sekadar
menengadah sebagaimana yang pernah kau lakukan di bawah pohon jambu.Biaya pendidikan kau peroleh dari
pemberian ayahmu yang disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi perempuan yang telah
membantu usaha warung makannya dan hanya sesekali pulang untuk menyerahkan uang, ibumu tidak pernah
menggunakan uang itu, kecuali untuk kebutuhanmu jika ia sudah merasa tidak mampu.
(11)Keteguhan hasratmu membuat ibumu kembali terjebak dalam kepentingan dan kebutuhan di luar keinginan
dirinya. Ia terpaksa melepasmu pergi dengan hati terkunci, hingga kita tidak bisa membaca apa yang tersimpan di
bilik dadanya.
Setelah kuliah kau selesaikan dengan prestasi gemilang, dengan mudah kau memeroleh pekerjaan mapan bergaji
besar di tanah rantau, hasrat dan dendammu pun menjulang. Hendak kau buktikan pada kampung halaman bahwa
perempuan juga mampu mendulang kesuksesan. Hal yang sama terulang. Ketika ibumu usai bercerita tentang masa
lalu pagi itu, lalu kusampaikan pesanmu, bahwa rumah yang selama ini ditinggali hendak kaurobohkan diganti
dengan rumah yang baru tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia memilih mengalah memeram desah. Kau
lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk dalam lorong panjang yang kian suram. Tidak ada lagi rumah
penyepuh kenangan, dan kau seolah lupa jalan pulang. Bahkan, setelah ibumu tiada pun kau tak sempat
mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar duka yang kukirim tak pernah sampai.
Sejak itu aku mulai mengerti. Rumah, yang pernah dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan tempat
menjalin ikatan, tempat berbagi kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yang
seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.Akan tetapi, barangkali kesempatan masih bisa kau gapai.
Bukankah bagi perempuan Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih memiliki gentong tua sebagai rumah
pengabdian? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan
tempat untuk pulang, kecuali selamanya ingin jadi pengembara dan melupakan tanah kelahiran. Apakah kau masih
akan menyesal terlahir sebagai anak perempuan, Sum?

KD. 3.8 Mengidentifikasi unsur dan struktur novel


1. Tulislah poin peristiwa dalam kutipan tersebut! (skor 10)
No Struktur Hasil Analisis
1 Pengenalan

2 Awal konflik

3 Klimaks

4 Antiklimaks

5 Penyelesaian
2. Analisislah tokoh, watak, dan pembuktian watak tokoh!
No Tokoh Watak (satu) Bukti
1
Ibu

2 Keras Kepala
Sum

KD. 3.9 Mengidentifikasi isi dan unsur kebahasaan novel


A. Jodohkan peribahas berikut dengan memberikan garis yang sesuai pada pilihan jawaban yang tepat!
No. PERIBAHASA ARTI
1 Air cucuran atap A. Orang yang tidak mau
jatuhnya ke pelimbahan menunjukkan
juga. kelebihannya
2 Seperti harimau B. Orang yang banyak
menyembunyikan kuku. bicara biasanya tak
berilmu
3 Bagai katak dalam C. Orang yang memiliki
tempurung. wawasan yang sempit.
4 Air beriak tanda tak D. Ada maksud
dalam. tersembunyi di balik
perbuatan.
5 Ada udang di balik batu. E. Sifat orang tua menurun
pada anaknya.

B. Tuliskan arti ungkapan yang terdapat dalam kalimat di bawah ini!


No. KALIMAT ARTI
1 Ia rela menjadi sapi perah karena takut Penegas hak asasi manusia
kehilangan teman-temannya.
2 Setelah suaminya meninggal, ia menjadi Putus asa
patah arang dalam menjalani hidup.
3 Setelah mengalami cedera parah, atlet itu Pensiun
memutuskan untuk gantung sepatu.
4 Bapak Soeharto memimpin Negara Kekuasan yang keras
Indonesia dengan tangan besi.
5 Ia tak ingin kehilangan anaknya yang Anak yang Ia kasihi
menjadi biji matanya.

C. Tuliskan B (benar) atau S (salah) untuk pasangan kalimat dan jenis majas berikut!
No. JENIS KALIMAT BENAR /
SALAH
1. Metafora Doni berlari secepat kilat ke sekolah.

2. Metonimia Ketua RT di wilayah sedang sosialisasi


mengunakan Toa.
3. Pleonasme Semua siswa menundukkan kepala ke bawah
ketika mengheningkan cipta.
4 Hiperbola Ia menangis teisak-isak hingga air matanya
membanjiri ruangan ini.
5. Personifikasi Suaramu bagus, namun lebih bagus lagi kalau
kamu diam.

*BERANI JUJUR ITU HEBAT!*

Anda mungkin juga menyukai