Anda di halaman 1dari 47

PROLOG

Namaku Niken Abi Maulina, kalian boleh


memanggilku "keken" "ya", itu adalah nama
panggilan yang menarik menurutku, aku memiliki
mama dan ayah yang sangat baik dalam
menghidupiku, dan aku memiliki seorang abang
yang tampan.

Aku akan menceritakan tentang kisah hidupku


dari awal sampai sekarang yang penuh dengan
cerita yang bercampur aduk didalamnya, banyak
sekali lika liku, suka dan duka saat aku menjalani
kisah hidupku dan semua menurutku adalah
pelajaran hidup yang amat berarti bagiku.
Sekarang kisah hidupku akan dimulai, dan
selamat membaca.
AWAL YANG MEMBAHAGIAKAN

"Wahhh! Tulisan Mama bagus sekali!" Niken


terkagum melihat tulisan mamanya ketika
muda.
"Benarkah? Memangnya tulisan Niken tidak
sebagus ini?" Mamanya mengusap jilbab Niken yang lembut.
Memandangi mata anaknya yang masih polos.
"Tulisan Niken jelek Ma, tidak sebagus punya Mama."
Mama mengelus kepala Niken yang menggemaskan itu.
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang bahkan baru
belajar menulis. Gadis kecil yang tampak sangat
cantik dan rapi dengan jilbab berwarna ungu yang menjuntai
sampai ke perut.
Pagi itu Mamanya tengah memperlihatkan tulisan-tulisannya
semasa muda. Surat, cerpen, puisi, dan karya tulis lainnya.
"Ma, ajarin Niken menulis yang bagus ya..."
Wajah lucu itu, membuat Amira, Mamanya, merasa sangat
gemas. Berkali-kali dia mencubit pipi merahnya.
"Ihh! Sakit Ma..." Niken mengelus-elus pipinya yang baru
saja dicubit mamanya. Hanya senyuman yang terlontar dari
wajah Amira setiap kali melihat tingkah anaknya yang
menggemaskan itu.
"Bukannya di TK kamu diajarkan menulis, Niken?"
"Tapi tulisan Niken gak bagus Ma, ajarin ya Ma..."
Amira tersenyum dalam, melihat tingkah anaknya yang selalu
menghiburnya tiap kali dia merasa letih. Letih dengan segala
kesibukan duniawi yang harus dia kerjakan sendiri. Semenjak
Sandi, suaminya, pergi begitu saja dari rumahnya. Entah apa
yang terlintas di pikirannya saat itu, pergi tanpa kabar
meninggalkan seorang istri yang cantik ketika itu dan anak
perempuan lucu yang baru berusia dua tahun. Niken berlari ke
kamarnya tanpa sepatah katapun. Amira hanya melihatnya tak
mengerti, apa yang hendak dilakukan oleh anaknya. Laptop di
diatas meja tak lepas dari pandangan, bersamaan dengan
beberapa lembar konsep cerita yang dia tulis dengan pena
dikala senggang. Tak lama kemudian Laras datang membawa
dua buah pensil, penghapus, dan buku tulis yang biasa ia
gunakan di TK.
Tangan mungilnya menyodorkan semua peralatan yang dia
bawa ke arah Amira. Senyuman dan hanya senyuman yang
selalu terlontar dari wajah ibu muda itu. Tak akan ada yang
bisa menahannya jika memiliki putri selucu Niken.
"Kamu ini, gak sabaran ya..." Amira membuka lembaran
kosong di halaman terakhir. Garis demi garis ditulis oleh
tangan Amira yang membentuk susunan huruf yang sangat
cantik. Niken antusias memandangi ibunya yang
mencontohkan bagaimana dia menulis dengan sangat apik.
"Ma, huruf A nya cantik banget."
"Kamu ya, masih kecil udah pinter ngegombal."
"Hehe, Niken juga bisa kok mah, liat ya..."
Tangan kecilnya mulai melukis garis demi garis. Maksud hati
menulis huruf A, tapi yang dihasilkan lebih mirip dengan
angka 4, tak ada lekukan, semuanya membentuk sudut.
"Wah bagus juga ya tulisan anak Mama ini."
Amira menggodanya dengan tangan kirinya yang masih
mengelus kepala Niken.
"Mama bohong... Ini kan jelek Ma." Niken menepis elusan
tangan Mamanya.
"Niken, apapun yang kamu buat akan selalu cantik di mata
Mama, bagus atau tidaknya tergantung usahamu."
"Kalau ayah masih ada, dia bakal bilang ini
cantik juga gak Ma?."
"Pasti, pasti dia bilang tulisan kamu cantik."
Amira memalingkan wajahnya, seperti menyembunyikan hal
lain setelah mendengar kata 'Ayah'.
"Ayah kemana sih Ma, dia gak mau pulang gitu?."
"Mama gak tau nak, udah terusin nulisnya sana." Mama mau
kerjain dulu tugas Mama.
Kamu baik-baik ya."
"Hm... Iya Ma."
<< < > >>
Tinggal beberapa lembar lagi, novel ini akan rampung. Akhir-
akhir ini Amira tak bisa fokus dengan mudah. Banyak sekali
pikiran yang bercabang dalam otaknya. Mulai dari
memikirkan suaminya yang pergi entah kemana, sampai
memikirkan gadis kecilnya yang kian hari kian pandai
bertanya tentang ayahnya.

<<<>>>

Waktu sangat cepat menumbuhkan semua, semua hal yang


dimiliki Amira dan anak satu- satunya. Kebahagiaan selalu
mereka rasakan,
membuat kehidupan keduanya terasa berarti. Tak jarang
kepedihan mereka rasakan untuk belajar lebih kuat dalam
menjalani hidup.

Hari ini Niken sudah remaja. Aura kegadisannya sudah


semakin kuat. Dia tumbuh menjadi remaja yang cerdas,
seperti ibunya dulu. Banyak prestasi yang ia dapat dari
tulisannya. Seperti sang ibu, dia menjadi seorang penulis
terkenal. Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa asing. Tentu Amira sangat bangga padanya.
Niken masih kuliah walaupun gemerlap kesuksesan telah
ditangan. Hidup terpisah dari ibunya, di kamar kos sederhana
yang terletak dibelakang kampus. Ketekunan menjadi
prioritasnya sebagai seorang mahasiswa. Rupanya Amira
sangat sukses mendidik anaknya. Setiap bulannya Amira
selalu mendapatkan surat dari anaknya. Sekedar memberi
kabar untuk menenangkan hati ibunya. Surat yang selalu bisa
membuatnya terharu.
Ma, aku baik-baik saja disini
Tidak perlu mencemaskanku
Semua orang baik padaku
Walaupun tidak sebaik Mama
Tolong jangan pernah berhenti, Ma
Jangan pernah berhenti menulis
Jangan pernah berhenti membaca
Jangan pernah berhenti menyayangiku
Dan jangan lupa mengingatkanku
Ketika aku sudah menjadi 'seseorang'
Ingatkan aku agar tidak tinggi hati
Ketika aku gagal
Ingatkan aku agar tidak rendah diri
Karena hanya nasehatmu
Yang bisa membuatku...
Mengerti arti hidup ini

Cucuran air mata bangga keluar dengan derasnya. Ternyata


semua yang dia ajarkan pada anaknya tidak sia-sia.
Kesuksesan yang sudah diraihnya masih belum membuatnya
cukup. Dia masih ingin menjadi sukses, entah sukses yang
seperti apa. Sejenak, Amira teringat kepada suaminya, yang
pergi begitu saja. Tak ada kabar sama sekali. Namun,
keberadaan Niken sudah cukup membuatnya bahagia. Sosok
suami pengecut seperti itu sudah tak dia butuhkan. Dibalik
amplop yang berisi surat, dia mendapatkan beberapa lembar
uang pecahan
seratus ribuan. Jumlahnya tak kurang dari dua juta rupiah.
"Ma, ini hasil Niken dari penulisan novel. Jadi, Mama tidak
perlu khawatir dengan biaya kuliah Niken. Niken akan
tanggung semuanya sendiri."
"Anak ini, padahal sudah zamannya gadget,
masih saja menggunakan surat untuk
berkomunikasi.'
*
Laptop masih menjadi mainannya sehari-hari, Amira masih
tinggal sendiri di rumahnya.Niken sudah semester empat,
tinggal empat semester lagi untuk menjadi seorang sarjana.
"Drrrt... Drrrt..." Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan
yang masuk. Amira segera mengambil ponselnya.
"Ternyata Niken ya... Tumben dia ngirim
pesan lewat WA."
Niken: Ma, seumur aku hidup, aku belum pernah pacaran,
mama mengajarkanku semuanya dengan sempurna. Mulai
dari menutup aurat, sampai menjaga kehormatan.Dan hari ini
Ma, ada seorang laki -laki yang mengajakku menikah. Aku
bingung, padahal aku masih kuliah, semester empat pula.
Apamenurut Mama, aku harus menerimanya?
Amira: bawa dia kesini nak, kalau bisa besok, ataupun
sekarang juga tidak apa-apa. Dan kalau bisa juga, bawa
orangtuanya.
Niken : oke Ma, nanti siang aku pulang.Mungkin laki-laki itu
akan ke rumah sore jika niatnya tulus. Keputusan di rumah
nanti terserah Mama ya. Mama selalu tau yang terbaik
untukku
Amira : iya sayang iya.
Niken: sehat selalu Ma, Assalamu'alaikum
Amira : aamiin, kamu juga ya nak,
waalaikumsalam warahmatullah
Kembali Amira beralih ke arah layer kerjanya. Sejenak dia
terpikir, menikahkan anak perempuan mesti ada ayah
kandungnya.Sedangkan, dimana ayahnya saja dia tidak tau.
Tapi Amira yakin bahwa dia masih
hidup. Terbesitlah niat untuk mencari suaminya itu.
"Mungkin beberapa temannya di facebook
ada yang tau dimana dia. Ya, semoga saja."
*
Tepat pukul dua belas siang, Niken sudah sampai di rumah
Mamanya. Amira yang biasa tertutup, kini harus bercerita
bahwa sebenarnya ayah Laras masih hidup. Dia tak meninggal
seperti ceritanya di masa kecil Niken dulu. Hatinya resah,
kalau-kalau Niken tidak terima dengan kenyataan
ini,kebohongan yang sudah lama ditutupi oleh Mamanya
sendiri. Niken tersenyum simpul. Amira mulai merasa
aneh dengannya. Sikap yang dibayangkan tak terjadi. Niken
malah memeluk Amira yang menahan ledakan arus air mata.
"Ma, aku sudah bertemu dengan ayah. Dia selalu datang ke
kostanku, memberiku tambahan biaya kuliah. Dia banyak
bercerita tentang Mama. Dan dia... Masih menyayangi
Mama."
"Kau pasti bercanda Niken." Amira melepas pelukan anaknya.
"Aku serius Ma, dan Mama tahu? Yang
melamarku nanti adalah anak dari kawannya
Ayah. Dia begitu sopan dan ramah. Aku suka
dengan kepribadiannya. Walaupun bisa saja
dia hanya pura-pura. Tapi aku yakin, Allah
tak akan memberiku jodoh yang buruk.
Begitupun Ayah, tak mungkin dia ingin
menjerumuskanku kepada orang yang salah.'
"Tapi nak, apa kau yakin dia ayahmu?,
sedangkan kau saja sudah lupa dengan wajahnya." Amira
masih memberi sinyal khawatir.
"Tidak Ma, aku tau wajahnya seperti apa.Album foto yang
sering kubuka masih menyimpan beberapa foto Ayah. Dan
aku yakin dia Ayahku." Niken mantap meyakinkan Mamanya,
dengan lembut dan penuh kesopanan.
"Baiklah Niken, Mama akan percaya denganmu. Karena
memang kau tak pernah membohongi Mama." Amira
mengusap kepala Niken seperti biasanya.Pukul dua siang,
seseorang mengetuk pintu, mengucap salam dengan
gagahnya. Niken tahu siapa itu, begitu juga dengan
Amira.Amira membukakan pintunya, menyuruh Niken tinggal
di kamar.
"Hey, Amira." Ucap lelaki itu dengan nada malu.
"Kukira kau sudah mati, Adnan." Tak sedikitpun senyum
yang Amira lontarkan.
"Setidaknya suruhlah tamumu masuk dan duduk dulu." Dia
berusaha mencandai Amira.
"Masuk!, jangan berlama-lama disini." Amira masih kecut
dengan orang itu.
Laras mengintip dari pintu kamar yang langsung menuju
ruang tamu. Berharap cemas, lelaki yang mengaku Ayahnya
itu
sudah datang. Apalagi yang Niken inginkan?Tentu hanya
keluarga sempurna yang belum pernah dia rasakan.
"Ada apa kamu kemari? Setelah sekian lama pergi
menelantarkan kami tanpa sebuah kejelasan."
"Dengarkan aku baik-baik Amira, dan tolong maafkan aku
yang dulu masih kekanak-kanakan." Dahinya mengerut, takut-
takut jika Amira tak mau mendengarkannya.
Amira mengangguk saja.
"Dulu, aku pergi karena malu denganmu. Kau selalu memiliki
pekerjaan yang menjanjikan, sementara aku? Aku bukan
penulis terkenal, aku bukan saudagar, aku bukan pengusaha
besar. Aku waktu itu masih terlalu muda untuk berpikir
matang. Dengan niat menandingimu, aku pergi keluar
negeri.Hanya berbekal ijazah sarjanaku, aku melamar
pekerjaan sebagai staf kantor pemasaran produk kesehatan di
Jepang.Hingga akhirnya aku bisa menjadi manajer sekarang.
Singkat cerita, aku berhasil membuat perusahaan kami maju
dan membuka cabang di Indonesia. Berharap bisa bertemu
denganmu dan Laras. Tapi, aku tak tau rumahmu dimana. Kau
pindah rumah tanpa ada yang tau." Adnan berhenti sejenak,
menarik nafas melihat wajah kecut Amira belum juga pudar.
"Kau tau? Selama di perantauanku, aku belum pernah
sekalipun berhubungan dengan wanita lain. Karena aku masih
terikat denganmu. Pernahkah kita melakukan perceraian? Aku
masih mencintaimu sampai sekarang."
Amira menjawab datar, "Lalu kenapa kau tak pernah
menghubungiku? Bukankah teknologi sudah canggih?
Bukankah kau sudah sukses?"
Adnan kembali menghela nafasnya. "Amira, aku hanya ingin
bertemu langsung denganmu. Aku tak mau hanya sekedar tau,
aku ingin kembali kepada keluarga kecilku."
"Bertahun-tahun aku membesarkan Niken sendirian,
sedangkan kewajibanmu menafkahi kami tak kau laksanakan.
Merasa
pantaskah kau kembali, hah!?" Amira memanas, Adnan masih
mencoba tenang.Wajah Adnan tertekuk, air matanya meleleh.
"Tak bisakah kau memaafkanku? Tak inginkah kau
memulainya dari awal? Aku sudah tau jawabanmu akan
seperti ini. Tapi, Niken selalu memberiku semangat agar
kembali ke rumah. Dia menjadi cambuk bagiku. Sebelumnya
aku sudah meminta maaf padanya tentang semua
kesalahanku.Dan dia memaafkanku. Amira, kau masih
istriku, salahkah jika aku pulang?"
Amira meneteskan air matanya. Wajah kecutnya memudar.
Adnan memegang tangannya. "Boleh aku pulang?"
Amira mengangguk. Memeluk suaminya yang telah lama
hilang tanpa kabar. Melepaskan semua kerinduan yang selalu
menghantuinya.
Dia tak bisa membohongi perasaannya,diapun masih
menyayangi suaminya."
Niken keluar dari kamarnya, berlari menuju kedua
orangtuanya, memeluk mereka berdua. Lengkaplah sekarang
keluarga ini dengan
adanya Adnan sebagai Ayah.
"Maafkan aku, mas." Amira melepas pelukannya. Niken
kembali ke kamarnya.
"Untuk apa?"
"Maafkan aku yang tadi kasar berbicara padamu. Juga, aku
yang tak bisa mengertikanmu di masa lalu."
"Sudahlah dek, semuanya sudah terjadi.Penyesalan hanya
akan membuat luka kita semakin dalam. Aku akan selalu
memaafkanmu, seperti kau yang sekarang melapangkan
dadamu untuk memaafkan semua kesalahanku." Adnan
tersenyum menatap mata istrinya. Seakan mereka kembali
muda, saling bertatapan dengan
mesranya.
"Oh iya dek, aku juga datang kesini untuk menerima lamaran
anak dari teman bisnisku.Tenang saja, dia berasal dari
keluarga yang
baik. Aku tau banyak tentang mereka."
"Kau yakin dengan perjodohan ini mas?"
"Ya, aku sangat yakin dek. Sudah lama aku mencari jodoh
yang baik untuk anakku. Aku tidak mau dia mendapatkan
seorang
pengecut sepertiku." Adnan Kembali menekuk kepalanya.
"Mas... Bukankah kau sendiri yang melarangku untuk
menyesal? Yang terpenting sekarang hanyalah hari ini, dan
hari esok yang masih bisa kita ubah." Amira mendekap
Adnan, mengelus dadanya.Maaf dek, kau benar, yang
terpenting adalah hari ini dan esok. Tetaplah menjadi istriku
yang sholehah." Adnan mengecup keningnya.
"Astagfirullah, mas, mau minum apa? Kopi? Teh? Atau apa?"
Amira berdiri dengan spontan.
"Masya Allah dek, aku mau kopi saja." Jawab Adnan
tersenyum takzim.
"Sebentar ya mas.'
Adnan menangkap tangannya. "Makasih ya dek."
Amira tersenyum sipu, dia berlari ke dapur.Terasalah muda
kembali pasangan yang telah lama terpisah ini.
Niken pergi menyusul ke dapur. Hendak menggoda Mamanya
yang sedang kembali merasakan bahagia.
"Cie Mama balikan lagi... Romantis banget sih Ma. Hahaha."
Niken menggoda Mamanya sambil memeluknya.
"Eh dasar, kamu ngintip ya."
"Iya dong Ma, lebih seru dari drama Korea loh. Hahaha."
"Bisa saja kamu, udah minggir Mama mau nganterin dulu
kopinya."
"Udah dateng Ayah aja, lupa sama anaknya... Wleeee."
"Hahaha, ayo kamu ikut sekarang nyamperin Ayah."
"Asyiiik, siap Ma, meluncur."
Terdengar banyak suara dari arah ruang tamu. Ada yang
sedang berbincang dengan Adnan. Tiga orang, dua suara laki-
laki, dan
seorang perempuan.
"Niken, jangan-jangan itu yang mau melamarmu. Cepat kau
ganti baju. Jangan lupa jilbabmu. Mama akan kesana."
"Hah!? I... Iya Ma."
Amira pergi mengantarlan kopi untuk suaminya. Sementara,
Niken kini sedang bingung. Apa yang harus ia kenakan.
Gamis seperti biasa? Atau apa?.
"Ya Allah, tenangkan aku... Apa yang harus ku kenakan?
Pakaian tertutup seperti biasa atau yang menarik?"
Tak lama terlihat Mamanya melenggang ke arah dapur. Dia
memanggilnya dengan suara berbisik.
"Kamu masih belum ganti baju juga? Cepetan Niken..."
"Aku bingung harus pake apa Ma, yang tertutup, atau yang
menarik?"
"Yang terbaik adalah apa adanya nak. Sudah, Mama mau
membuatkan mereka minuman dulu."
"Ih, Ma..." "Apa adanya ya... Baiklah, yang tertutup saja.
Bismillah..."
Mamanya kembali menuju kamar Niken. Dia memberitahu
bahwa laki-laki yang melamarnya tak ingin bertemu dengan
Niken sebelum acara pernikahan berlangsung.
"Tapi, bukannya kamu pernah bertemu dengan laki-laki itu
sebelumnya?" Amira menyelidik.
"Pernah sih Ma, tapi aku tak mengucapkan sepatah katapun,
aku hanya mengangguk setiap kali dia bicara.Hanya Ayah
yang berbincang dengannya. Itupun kami hanya bertemu
sekali saja."
"Wah, sepertinya dia akan terpesona Ketika melihat anak
Mama yang cantik ini ketika halal nanti." Giliran Amira gang
menggodanya sekarang.
"Eh Mama bisa aja. Niken malu tau..."
*
Tepat di tanggal pernikahan, mereka sudah menyiapkan
semuanya dari awal. Segala keperluan pernikahan anak
tunggalnya.Sanak saudara, dari yang terdekat sampai yang
terjauh datang. Kerabat dan tetangga pun tak ketinggalan
menghadiri pesta pernikahan Niken dan Ayid, nama suaminya
yang baru sah beberapa jam yang lalu.
Pesta pernikahan mereka tergolong mewah dan meriah. Demi
kebahagiaan anak tunggalnya, Adnan habis-habisan membuat
acara ini semewah dan semeriah mungkin.Terlebih, keduanya
memanglah anak seorang pengusaha besar.
"Ayid, kita baru kenal sekali loh. Kamu yakin bisa
menerimaku apa adanya?" Niken memulai perbincangan
diantara mereka, menepis segala kecanggungan yang
menyergap.
"Aku yakin seyakin-yakinnya Ken, aku akan menyayangimu
walaupun aku masih belum tau banyak tentangmu." Ayid
memgang tangan Niken. Ada sedikit rasa kaget, karena NIken
tak pernah bersentuhan dengan laki-laki selain Ayid.
"Maaf ya Ayid, bahkan aku sebelumnya tak pernah
menampakan wajah dan tak pernah sedikitpun memurahkan
suaraku untukmu."
Niken menggenggam tangan suaminya.
"Gapapa ken, kamu memang bukan wanita murahan."
Mereka saling tersenyum dan bertatatap mata, tanpa
menyadari ada mata yang meninjaunya. Amira meneteskan air
matanya. Terharu dengan pernikahan anak tunggalnya. Anak
yang dulu sangat lucu dan mungil, tawanya yang
menggemaskan, yang selalu menenangkan hatinya dikala
sedih, kini telah tumbuh dewasa menjadi seorang
wanita yang sangat manis.

"Ya Allah, begitu besar kasih sayangmu pada kami. Tak pernah aku
membayangkan hal sebahagia ini sebelumnya. Semuanya diluar dugaanku. Kau
mengembalikan suami hamba, dan membahagiakan anak hamba, tanpa terbesit
sedikitpun dalam pikiran hamba bagaimana semua ini bisa terjadi. Segala puji
hanya untukmu wahai rabb pencipta semesta alam."
Akhir Masa Kecil

Aku menatap lurus.Di balik pagar sana, terlihat beberapa pria


lanjut usia yang berlalu lalang, sibuk dengan aktivitas mereka.
Setidaknya mereka tidak meyadari keberadaanku di seberang
jalan, berteduh di bawah pohon sambil berjongkok ala orang-
orang yang sedang nongkrong tidak jelas. Yah, tujuanku
sendiri memang tidak jelas.
Mana ada orang yang baru pulang ke kampung halaman
setelah satu semester menjalani masa kuliah di kota lain, dan
hal pertama yang dilakukannya selepas menyimpan barang di
rumahnya adalah pergi ke luar rumah dan berjongkok di
tempat ini? Kecuali aku, aku tidak yakin ada orang lain
yang akan melakukannya.
Bagaimanapun juga, di sinilah aku, yang saat ini terpana
dengan rumah di depanku itu.Rumah teman masa kecilku.
Secara otomatis, otakku memvisualkan siluet samar seorang
gadis kecil. Sany, seingatku itu namanya.
Dulu, kami sering sekali menjadikan rumahnya sebagai
tempat bermain, ibunya sangat hangat dan ramah sekali.Ya,
seingatku dulu kami berlima sering bermain bersama. Aku,
Sany, dan tiga anak lainnya. Jangan salahkan aku yang tidak
ingat wajah mereka, karena semua itu sudah lama terjadi.
Masa-masa naif itu...
"Sanyyyy…. , main yuk!"
Sore hari, ketika matahari terasa lebih bersahabat untuk kulit,
adalah waktu yang tepat untukku beraksi. Aku, yang saat itu
masih malas-malasnya berganti baju (padahal waktu pulang
sekolahku sudah lama lewat), langsung berlari ke luar rumah.
Dengan berpakaian seragam putih merah dan sendal jepit, aku
menelusuri jalan yang agak rusak. Hanya beberapa menit saja
aku sudah sampai di depan rumah Sany.Dan disambut dengan
hangat dan ramah sekali oleh ibunya.
Saat itu, aku tidak begitu mengerti. Aku hanyalah bocah yang
masih polos. Aku, juga teman-temanku yang lain, kami hanya
anak-anak yang masih bisa bermain dengan gembira.Ibunya
sangat membolehkan bermain bersama Sany.
"Kalau enggak ada Sany, enggak seru."
Sany selalu diizinkan bermain keluar rumah dengan kami. Itu
alasan utama kami tetap bertahan, meski sesekali mereka
semua harus menahanku agar tidak berkeliaran karena
bosan main di dalam rumah. Jadi, rumah itu adalah saksi bisu
kisah kami berlima.
Aku memejamkan mata, berusaha membayangkan siluet
anak-anak yang sedang bermain itu. Aku tidak bisa mengingat
wajah mereka, tapi aku bisa mengingat tubuh dan gestur
mereka. Sany yang terlalu kecil untuk ukuran anak-anak
seusia kami, tapi dia yang paling sering tertawa pada saat aku
melucu, padahal anak-anak lain selalu menimpukku dengan
benda apapun yang bisa mereka raih.Ada seorang anak paling
gendut, tapi dia paling pandai bersembunyi pada saat kami
bermain petak umpet. Ada anak yang jangkung dan kalau
berjalan tubuhnya agak membungkuk, tapi dia paling sering
melontarkan tebak-tebakan yang sulit sekali dijawab.
Terakhir, anak berkacamata yang hobi membawa boneka
barbie ke mana-mana, tapi kalau kau membuatnya marah kau
akan mendapat bogem mentah yang luar biasa menyakitkan
darinya.
Masih menjadi pertanyaan bagaimana kami berlima bisa
akrab, selain karena rumah kami yang berdekatan.Lucunya,
hanya membutuhkan satu hal agar satu demi satu ingatan
masa kecilku terbuka kembali.
Angin yang berhembus membuatku semakin nyaman berada
di tempat ini, bernostalgia jauh ke masa lalu. Rasanya aku
seperti melihat lima siluet yang sedang duduk melingkar,
sesekali berdiri dan melompat, tertawa sambil melakukan
berbagai hal bodoh. Mereka yang masih bisa tertawa sepenuh
hati, masih percaya kalau dunia dan impian mereka masih
berada dalam genggaman tangan.
Tapi, mendadak satu pertanyaan terlintas.
Kapan semua itu berakhir?
Seakrab apapun manusia, pasti ada kalanya
semua itu berakhir. Tapi, kisah pertemananku bukanlah
semacam kisah-kisah fiksi, di mana perpisahan terjadi karena
ada konflik atau karena pindah rumah. Yah, sebenarnya ada
seorang yang pindah rumah, dan kami jadi tinggal berempat.
Tapi, kisah kami terasa begitu normal. Kami tetap
bermain, sampai kami bosan.Saat aku mulai mengenakan
seragam putih biru, ternyata lingkaran pertemananku bukan
hanya mereka. Aku berkenalan dengan banyak orang baru.
Perlahan, pertemanan putih-merahku (itu julukanku saat ini
untuk kami berlima) memudar. Tidak ada konflik, tidak ada
pertikaian. Hanya saja, waktu membuat kami berpisah. Sangat
sederhana.
Teman-temanku mulai sulit diajak bermain.Karenanya, aku
mulai jarang mendatangi rumah Sany, sampai akhirnya
berhenti begitu saja.Aku melanjutkan hidup. SMP, SMA, lalu
melanjutkan kuliah di luar kota. Selama itu, aku sama sekali
tidak mengontak teman-teman masa kecilku itu. Tapi,
kenangan mereka terus tersimpan dalam diriku, meski
memudar seiring berjalannya waktu.Memudar, namun tidak
hilang sepenuhnya.Sejauh apapun aku berjalan, ada kalanya
aku menatap ke belakang dan teringat masa-masa putih merah
itu. Jauh di dalam hatiku, saat aku berada di posisi yang
membuatku merasa ingin menyerah, aku ingin kembali ke
masa-masa itu.Mataku terbuka.Saat ini, aku baru menyadari
kalau semua itu tidak akan pernah kembali. Jadi, aku berdiri,
menepuk sekitar rokku yang mungkin saja terkena debu.
Setelahnya, aku berjalan perlahan. Setitik rasa ngilu muncul di
rongga dadaku, perlahan menjadi kanker yang membuat
dadaku terasa sesak. Mataku berair.
Detik ini adalah saat di mana aku harus bisa menerima
semuanya. Detik ini...adalah awal dari akhir masa kecilku.
Bagaimanapun juga, aku harus melangkah tanpa menoleh ke
belakang sedikit pun.Tanpa melihat rumah yang akan segera
dihancurkan itu.
(tamat)

SANG PENGAGUM RAHASIA

Seperti orang-orang yang sudah diperbudak teknologi,


pemuda itu menatap layar ponsel pintarnya.Tapi, ketika
kebanyakan orang-orang kecanduan sosial media, yang ada di
layarnya justru sebuah nomor kontak. Pemiliknya adalah
seseorang yang telah merajut kisah kehidupan dengannya
dalam waktu yang cukup lama. Teman masa kecil, itu istilah
yang dikenal oleh orang awam. Di benak pemuda itu
terbayang sosok itu, sosok kurus kering yang sering
menjulurkan tangannya sebelum mereka berlari karena dirinya
yang sering tertinggal saat berlari. Kenangan manis semasa
kecil perlahan meresap, dan akhirnya tiba pada masa rajutan
kehidupan mereka direnggangkan oleh waktu. Kesibukan
membuat mereka menjauh seutuhnya, hingga pada suatu hari
sang Takdir kembali mempertemukan mereka. Setelah
bertukar kontak, mereka kembali ke kehidupan masing-
masing. Tidak sepenuhnya kembali terpisah, namun mereka
sadar bahwa semua tak akan kembali seperti masa kecil
mereka.Senyum dipaksakan muncul di wajahnya.Jempol yang
awalnya mengambang sesenti di atas lambang telpon bergeser
seketika, menyentuh ikon lain di sudut kiri bawah layar
ponselnya.
[Do you want to delete the selected contact?]
Bahkan ketika hatinya meneriakkan larangan untuk
melakukannya, jempolnya menyentuh
tulisan 'OK'.
Layarnya beralih ke kontak lain. Kini, pemilik kontak itu
adalah teman terdekatnya semasa SMP. Tipikal pemain bola
terkenal satu sekolah yang digandrungi banyak perempuan.
Percaya atau tidak, orang seperti ini nyata, bukan sekedar
karakter Neymar dalam setiap fiksi. Dia yang sangat
mencintai bola, rasanya terlihat tidak memiliki kelemahan.
Tidak, ada satu kelemahannya, mau saja berteman dengan
orang semacam dirinya. Untung saja hal itu tidak berlangsung
lama, karena seperti biasa, Sang Waktu telah merenggangkan
pertemanan mereka sejak kelulusan SMP. Tapi, selama itu,
nomor kontaknya masih selalu tersimpan di ponsel itu.
Hanya untuk dihapus pada saat ini.
[Do you want to delete the selected contact?]
'OK', jempolnya kembali menyentuh tulisan itu.
“Lagipula, untuk apa sampah seperti lo harus gue hubungin
lagi, ya kan?”
Dia berusaha menahan kekehan miris dengan cara menggigit
bibirnya. Cukup keras, sehingga mungkin beberapa menit lagi
bibirnya akan berdarah lagi. Sakit, tapi dia sudah tidak tahu
lagi mana yang lebih sakit. Bibir, kepalanya yang setiap hari
rasanya sudah mau pecah, atau rasa sakit tak diketahui asalnya
yang selalu membuatnya bertanya-tanya setiap bangun tidur,
mempertanyakan kenapa dia masih hidup pada saat itu.Setelah
semua nomor teman SMPnya bernasib sama seperti si Pemain
Bola, kini kontaknya beralih ke kontak teman terdekatnya
semasa SMA. Sosok yang sehobi dengannya, salah satu dari
sedikit orang yang bisa membuat sisi gilanya keluar, membuat
masa-masa SMAnya tidak terasa seperti neraka setiap harinya.
Mereka yang menggila setiap hari, melakukan berbagai
kenakalan masa SMA yang masih berada dalam batas wajar.
Saling mengganggu, namun mereka tetap rekat layaknya nadi.
Seperti biasa, hanya waktu yang tahu cara terbaik untuk
merenggangkan mereka sejauh matahari.Kesibukan selepas
SMA.Asalan klise yang sama seperti sebelumnya.Pemuda itu
yang memutuskan untuk berkuliah, dan sang teman yang
ingin langsung bekerja. Jalan mereka lalubercabang.
Kesibukan menjadi alasan untuk minimnya berkomunikasi.
Dan kini, alasan itulah yang dipakainya untuk menghapus
kontak sang teman SMA.Kesibukan yang menjadi alasan.
Sampah.Kalau dia peduli, dia akan menghubunginya di sela-
sela waktu.Teman SMA.
Hapus.
Keluarga.
Hapus.
Teman sejurusan.
Hapus.
Teman satu organisasi.
Hapus.
Kakak tingkat.
Hapus.
Adik tingkat.
Hapus.
Ibu kost.
Hapus.
Teman satu kostan.
Hapus.
Rekan kerja freelance.
Hapus.
Teman dunia maya.
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hapus.
Hapus semuanya.
DEMI TUHAN, YANG IA INGINKAN HANYA MENCARI
ORANG UNTUK DIAJAK BERBICARA. KENAPA HAL
SEPELE SEPERTI INI TERASA BEGITU SULIT?
Sekian banyak kontak yang dipunya, dan tidak ada satu pun
yang sanggup ia hubungi.Tawanya menggelegar di malam
yang sepi.Tidak ada protes dari teman satu kostan yang
tersisa. Mungkin mereka sudah tidur.Mungkin mereka sudah
pulang kampung.Tidak ada yang peduli.Tidak ada yang
peduli.
Tidak ada yang mau menolongnya.Dia sudah tenggelam
begitu dalam untuk bisa ditolong.Tidak ada yang peduli.Mana
ada yang mau mengulurkan tangan untuk sampah seperti
dirinya.Mati saja.
Ya. Kematian akan terdengar jauh lebih baik.Semakin ia
berpikir untuk mati, tawanya makin keras.
Tapi apa cara yang paling ampuh?Minum obat?
Sudah pernah.Gagal.Tawanya semakin keras.
Gantung diri?Tidak ada tali di rumah.Tenggorokannya sudah
terasa sakit, tapi dia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
Menyayat tangan?Bisa dicoba.
Masih tertawa, akhirnya dia menemukan motivasi untuk
mendudukkan diri di atas karpet setelah sekian lama berbaring
di atasnya. Berapa lama dia sudah terbaring? Satu jam? Lima
jam? Satu hari? Dua hari?
Sungguh ironis, dia terkapar karena motivasinya untuk hidup
sudah hilang, dan ia menemukan motivasi untuk bergerak
justru karena ingin mati.Bagaimanapun juga, sudah saatnya
dia mengakhiri semuanya.
Dia sudah lelah, baik secara fisik maupun mmental.
Mati Caranya sangatlah mudah.Dengan pisau di tangan, yang
dibutuhkan hanya satu goresan saja.Hanya dengan satu
gerakan, dia akan langsung direngkuh oleh Sang Kematian.
Satu gerakan untuk mengakhiri semuanya.Ya, semudah itu.
Bzzzt! Bzzzt! Bzzzt!
Getaran ponsel terasa hingga kulitnya.Keningnya berkerut.
Dia tidak ingat kalau dia mengantongi ponselnya. Apa
pikirannya sudah sekacau itu, sampai dia tidak ingat apa
yang sudah dia lakukan? Konyol sekali, badai di otaknya
perlahan menghilang karena getaran itu, perlahan membentuk
satu ingatan hal yang ia lakukan selama beberapa menit ke
belakang. Oke, saat ini dia sudah berada di dapur. Pisau sudah
ada dalam jangkauan tangannya, namun belum ia ambil.
Alasannya belum mengambil pisau itu dikarenakan dia
merasakan getaran dari ponselnya.Oh, benar. Ponsel.
Tangannya merogoh ke saku, mengambil benda hitam yang
sedari tadi tidak henti-hentinya bergetar. Matanya sedikit
melebar saat mendapati ada nomor tak dikenal menghubungi
dirinya. Entah sudah berapa lama ponselnya bergetar, seakan-
akan orang di seberang sana masih menanti dirinya untuk
mengangkat ponselnya.Ini dini hari, siapa orang waras yang
menelponnya di saat kebanyakan orang sudah tidur?
Jempolnya perlahan bergerak. Agak gemetar, dan dia tidak
mengerti kenapa. Apa dia takut? Apa dia penasaran siapa
yang menelponnya? Apa dia ... ? Ikon berwarna hijau yang
tertera di layar ia geser.
"Dan beneran diangkat! Maaf kak gue gak bermaksud
mengganggu lo tapi gue udah bener-bener ingin tau keadaan
lo kak dan-tunggu, gue bicara apa? Maaf gue malah melantur!
Duh, gimana ya
Suara berat dan lembut bernada panik mengalun di indera
pendengarannya. Kening si pemuda berkerut. Dari sekian
banyak orang yang ia kenali suaranya, suara itu sama sekali
tidak ia kenali.
"Siapa?"
Hanya kata-kata itu yang keluar dari
mulutnya.
"Ma-maaf! gue Sya-Syahid! Mungkin Lo enggak kenal gue,
karena kita baru ketemu sekali waktu gathering komunitas
dan hampir enggak pernah ngobrol, tapi gue tau kakak. gue
selama ini suka banget baca tulisan kakak, jadi bisa dibilang
gue fans kakak-tapi kalau dipikir-pikir, agak malu juga gue
ngakuinnya ..."
*
“Gathering komunitas? Tapi gue ga pernah
memberikan nomor ponsel gue sama orang
yang belum gue kenal.”
"Tau nomor ini dari mana?"
"Dulu kakak pernah nawarin jadi freelance translator di salah
satu website, dan kakak ngasih nomor kakak kalau gue ingin
menanyakan informasi lebih lanjut. Gue sempet nanya ke
kakak lewat WA. Yah, meski pada akhirnya gue enggak jadi
karena beberapa hal ..."
pria di seberang sana terkekeh sedih.
"Ah, maaf gue ngelantur lagi."
"Kenapa lo menelpon gue?"
Hening sesaat.
"gue... gue khawatir sama kakak. Status di
Instagram yang terakhir kakak buat... gue ngerasa ada yang
aneh dengan itu.
"Begitu ... kah?”
"Kakak enggak apa-apa?"
Suara lembut itu mengalun lagi. Penuh dengan nada khawatir
dan perhatian, kalua pemuda itu tidak salah menangkap nada
suara. Nada yang terdengar begitu tulus.
"Eh? Kenapa kakak berterima kasih?"
Pemuda itu tersentak. Apa dia baru saja berterima kasih pada
pria itu? Dan-dia meraba mulutnya dengan tangan yang tidak
memegang ponselnya-sejak kapan dia tersenyum?
"Bukan apa-apa."
Hening lagi.
"Oi."
"I-iya?"
"Kenapa lo bisa menyukai tulisan gue?"
"I-itu karena…... tulisan lo selalu membuat gue termotivasi"
Ada sekian banyak kontak yang pernah ada di ponselnya.
Setiap kali pemuda itu merasa lelah dengan segalanya, semua
itu selalu dihapus. Karena percuma saja, tidak akan ada
yang menghubunginya.Kecuali satu kontak yang tak pernah ia
hapus.Si pria yang bernama Syahid itu.Karena satu perhatian
kecil dan sederhana itu, bahkan pada saat ia terjatuh begitu
dalam, menjadi satu-satunya harapan agar ia tidak segera
mempertemukan dirinya sendiri dengan Sang Kematian.
Dan hanya itu yang ia butuhkan.
(tamat)
Bunga Tidur

Semua dimulai dari kegelapan.Hanya hitam yang ada, sejauh


mata memandang. Tidak ada suara yang tertangkap telingaku.
Tidak ada apapun yang bergesekan dengan kulitku (selain
pakaian yang bahkan tidak bisa kulihat warnanya), bahkan
telapak kakiku sendiri tidak menapak ke permukaan. Tapi aku
tidak merasa sedang terjatuh ataupun terbang. Aku tetap
berada di posisi yang sama. Mungkin saat ini aku sedang
melayang.
"Aku selalu mengacaukan semuanya."
Di saat kegelapan mulai memangsa inderaku, suatu suara
mengalun dalam indera pendengaranku.
Apa maksudmu? Ingin kutanyakan hal itu, tapi lidahku
rasanya tidak bisa digerakkan.
"Dasar bodoh. Aku benar-benar bodoh."
Suara isakan terdengar, tapi aku tidak bisa melihat apa-apa.
Hingga aku terbangun.
*
Setiap malam, aku selalu memimpikan hal yang sama.
Kegelapan di mana seluruh inderaku tidak bisa kugunakan,
tapi aku selalu bisa mendengar suara itu. Suara pelan
yang sedang bersedih.
"Kenapa aku selalu seperti ini?"
"Mengacaukan semuanya.'
Selalu. Setiap malam aku 'bertemu' dengan suara itu. Aku
ingin merespon, tapi tidak ada suara yang bisa keluar dari
mulutku.
"Menghilangkan benda yang seharusnya kujaga."
"Mengatakan sesuatu yang tidak semestinya."
"Cemburu pada temanku sendiri hanya karena dia bisa dengan
mudahnya sukses yang menurutku ... ah, sudahlah."
"Gagal."
"Aku adalah makhluk gagal."
"Aku benar-benar bodoh. Bodoh. Sampah."
"Aku bahkan tidak bisa memenuhi harapan
orang tuaku."
Lalu aku terbangun.
*
"Hei, apa menurutmu aku gagal menjadi manusia?"
Kembali lagi di kegelapan yang sama. Dengan
suara yang sama.
"Tidak ada yang gagal menjadi manusia, termasuk dirimu."
Kalau aku bisa melihat, mungkin sekarang mataku sudah
terbelalak kaget. Akhirnya aku bisa bersuara.
"Apa menurutmu aku masih pantas hidup?"
Suaranya terdengar seperti memohon.
"Ya."
Tidak terdengar suara.
"Pernahkah kau merasa tenggelam, padahal kau ada di
daratan? Sesak, padahal pernapasanmu lancar-lancar saja.
Tidak ingin keluar tempat tidur, padahal itu adalah hari yang
menurutmu tidak buruk.
“Kau ... lelah tanpa alasan yang jelas untuk
menjalani hidupmu."
Lalu aku terbangun. Aku selalu terbangun di saat yang tidak
tepat.
*
"Kalau kau membutuhkan tempat untuk cerita, kau bisa
bercerita padaku."
Itu pertama kalinya aku yang memulai pembicaraan.
"Tidak mau."
"Kenapa?"
"Begitu seseorang mengetahui segala sisi dalam diriku, dia
akan menyesal telah mengenalku, dan berharap kalau dia
tidak pernah mengenalku. Penilaian orang lain tentangku tidak
pernah salah. Tidak pernah.Percayalah padaku, kau juga akan
merasakan hal yang sama tentangku."
Aku menarik napas, kalau di mimpi aku memang bisa
menarik napas.
"Kalau begitu, mereka salah besar, dan kau hanya belum
menemukan orang yang tepat.
Aku bisa mendengarmu.
Aku bisa menjadi temanmu."
Aku tidak mengerti dari mana kata-kata itu ada, tapi perkataan
itu meluncur begitu saja dari mulutku. Seakan-akan aku
memang harus mengatakannya. Tidak. Aku memang harus
dan ingin mengatakannya.Kata-kataku ini, harus sampai
padanya.
"Kau tahu ... kurasa aku akan lebih mudah melewati semua itu
seandainya aku mengenalmu lebih awal."
"Kau adalah teman yang baik, dan akan selalu menjadi yang
terbaik untukku."
"Terima kasih sudah mau mendengarkanku."
"Bagaimanapun juga ... Aku tidak akan mendapatkan akhir
yang kuinginkan."
Lalu aku terbangun.
Tapi aku tidak ingat mimpiku semalam.
*
Seorang pemuda tengah bersantai di ruang,tamu. Tangannya
membentang memegang koran.Matanya memindai kata demi
kata. Otaknya sudah tak lagi memikirkan gadis yang sudah
lama tidak muncul dalam mimpinya.Dia membalikkan
halaman, melewatkan sekotak kabar kecil. Kabar seorang
gadis yang sempat koma setelah melakukan percobaan
bunuh diri, telah menghembuskan nafas terakhinya.Dan
semenjak saat itu, sang pemuda tidak pernah lagi
memimpikan si gadis.
SEBUAH RASA

"Apakah tuan tidak menyadari jika Nona ini


mengagumi tuan?"

Bulu mata lentik itu bergetar pelan, sebuah lenguhan


menandakan jika sang pemilik sudah sadar. Butuh waktu
beberapa detik, hingga Iris coklat itu terlihat.Dan seseorang
yang sadari tadi menjaganya bernafas lega.Niken langsung
meringis, merasakan kepalanya yang masih berat saja.
"Kepala lo masih sakit?"
tanya Ayid menggantikan tangan Niken yang memijat
pelipisnya. Satu tangan lain di gunakan untuk memencet
tombol di samping brankar.
"Kok gue bisa ada di sini?"
tanya Niken menatap Ayid bingung.Cowok tampan dengan
Kaus hitam itu menghela nafas.
"Lo tadi pingsan?"
"Hah? Kenapa gue selemah itu?" ucap Niken yang di tujukan
untuk dirinya sendiri.Ayid mengabaikan pertanyaan tak
bermutu Niken.
"Masih sakit?"
"Udah mendingan."
Sekarang pijatan itu berganti dengan elusan membuat Niken
menatap Ayid. Jemari cowok itu beralih pada pipinya, sambil
balas menatap Niken dalam.
"Gue khawatir sama lo."
Deg!
Jantung Niken berdegup kencang saat melihat keseriusan di
mata Ayid.
Ehem!
"Sepertinya kita mengganggu kalian, tapi maaf ya. Ananda
Niken harus di periksa terlebih dahulu."
Muka Niken memanas yang menyebabkan rona merah
menjalar di pipi.
Ayid sendiri berdehem pelan lalu menjauhkan diri.
Dokter wanita cantik itu tersenyum gemas melihat tingkah
mereka, Ia beralih menatap
Niken dan memasang wajah ramah, lalu Ia menempelkan
stetoskop nya pada bagian jantung Niken.
"Gimana dokter?" tanya Ayid kembali dalam mode datar dan
dingin.
"Kondisi Niken cukup Baik, saya akan menuliskan resep
untuknya," ucap Dokter Itu.
"Nanti jika ada keluhan sakit kepala lagi dan lain sebagainya,
Kalian bisa kontrol lagi ke saya."
Ayid mengangguk, Ia melirik Niken yang terlihat masih
lemas.
"Untuk Mimisanya apakah tidak berbahaya dokter?"
Dokter itu tersenyum dan menggeleng.
"Itu efek kejut dari benturan."
"Oke."
"Makasih ya dokter," ucap Sheila sambil tersenyum.
"Sama-sama cantik, kamu harus cepat sembuh Agar suami
kamu tidak khawatir."
Ucapan itu membuat Ayid memalingkan wajahnya,
sedangkan Niken tersenyum dengan Pipi memerah.
*
"Yang sakit kan kepala gue, bukan kaki.Kenapa harus di
gendong segala sih?" gerutu Niken saat Ayid meletakkannya
di atas ranjang.
Posisi cowok itu masih sedang membaringkannya.
"Suka-suka gue," ucap Ayid sambil mengelus lembut dahi
Niken. Dengan Refleks, gadis itu memejamkan matanya
membuat Ayid gemas.
Ayid memajukan wajahnya dan mengecup dahi Niken.
"Gue mandi dulu ya, lo mau makan apa?"
Niken membuka matanya, menatap Ayid yang seperti tak
melakukan apapun.Padahal kan tadi.. Argh! Mungkin bagi
Ayid mengecup dahi adalah hal biasa baginya.
"Apa aja."
Ayid tampak berfikir sejenak.
"Sate mau?"
"Boleh. Kan gue bilang apa aja."
"Oke," ucap Ayid.
Namun sebelum Cowok itu menjauhkan tubuhnya, seseorang
menariknya hingga menindih Niken.
Pelakunya adalah Niken.
Mereka saling menatap dari jarak yang begitu dekat.
Tangan lentik Niken terangkat untuk membenahi rambut Ayid
yang berantakan.
Setelahnya, gadis itu tersenyum, sangat cantik dan manis.
"Makasih karena udah selalu ngerawat gue."
Ayid berusaha menahan tubuhnya agar tak menempel.
"Hmm. Itu udah jadi tugas gue." Ayid menatap Niken dalam.
Niken menggigit bibir bagian bawahnya karena gugup di tatap
se intens itu oleh Ayid.
"Jangan di gigit," ujar Ayid menatap tajam gadis itu.
Niken melepaskan gigitan itu dan Seketika membelalak saat
Ayid mengecup sudut bibirnya.
"Ayid?"
Ayid menatap Niken tanpa dosa.
"Hm?"
"Barusan?"
"Kenapa? Kan kita udah sah."
*
"Oh iya, tadi lo udah izin?"
"Udah."
"Emang gak ada rapat atau apapun lagi ya?"
"Biarin aja. Gue lebih mentingin lo."
Ck, Niken tidak tau sudah berapa banyak la salting karena
tingkah Ayid yang menurutnya seperti Buaya Darat. Tapi kan
itu hanya di tujukan untuknya, jadi apakah masih bisa di
bilang buaya Darat?
"Ken, gue mau ngomong serius," ucap Ayid.
"Ngomong aja," jawab Niken sambal memencet siaran
televisi. Ia sedang mencari hiburan karena ponselnya sedang
di Charger.
"Soal orang yang jahatin lo, gue tau kalo dia adalah orang
yang sama.Niken menatap Ayid yang sedang memangku
Laptop. Ia sedang mengerjakan tugas dari ayahnya nya sambil
berbicara pada Niken.
"Lo tau siapa?" tanya Balik Niken.
"Gue tau."
Niken mengangguk.
"Dan gue akan pastiin dia di hukum. Gue gak mau orang jahat
ada di sekitar lo," ucap Ayid sambil menutup Laptopnya.
Cowok tampan itu menatap Niken yang tampak terkejut.
"Sekarang tidur gih, udah malem," ucap Ayid sambil
mengelus rambut gadis itu.Niken sebenarnya di buat baper
dengan segala tingkah manis Ayid.
"Mau di Gendong lagi?" goda Ayid sambal menaik-turunkan
alisnya.
"Gak usah," tolak Niken sambil menahan senyum.
"Beneran? Emang bisa jalan?"
Niken dengan Refleks menggeplak wajah Leon.
"Aduh, lo kok gak sopan sama gue?" ucap Ayid sedikit
meringis.
"Ya abisnya omongan lo nyebelin." Ayid menyeringai. "Lo
mikir kotor ya?"
"Enggak, sok tau lo."
Ayid tersenyum, Ia mengelus pipi Niken dan beralih
mengecupnya lembut saat melihat wajah menggemaskan
gadis itu.
"Ken, gue boleh jujur gak sama lo?"
tanya Ayid masih di posisi yang sama.
"Apa?" tanya Niken dengan jantung yang berdebar kuat.
Ayid menatap Niken dalam, Ia ingin mengatakan sesuatu
yang sudah lama di pendam nya, tapi ponselnya bergetar.
Ayid menarik kembali tubuhnya.
"Ayah telfon. Sebentar ya," ucap Ayid.Niken mengangguk
pelan. Ia menyentuh jantungnya yang berdegup sangat
kencang.
"Ayid sialan," umpat Niken. Cowok itu tak baik untuk
kesehatan jantungnya.
*
"Ada apa ayah?"
Seorang laki-laki dewasa terlihat duduk di kursi
kebanggaannya. Saat mendengar suara putranya, Ia
mengangkat wajah dari layer laptop.Ayid bisa melihat wajah
letih ayahnya nya.Membuat Ia menghela nafas.
"Udah berapa banyak proyek yang ayah pegang?"
"Ayah gapapa kok."
Ayid mendengus.
"Kenapa ayah panggil Ayid kesini?" tanya
Ayid lagi.
"Bulan depan, ayah minta kamu ke Singapura untuk
menggantikan meeting dengan klien besar ayah."
"Terus Istri Ayid?"
Kevin tersenyum penuh arti.
"Ajak aja, sekalian bulan madu."
"Yah! Niken aja bahkan masih di bawah umur."
"Ya gapapa dong bro, ayah pengin banget Gendong cucu."
Ayid menggeleng sambil menghela nafas.
"Emangnya kamu gak tergoda sama Istri cantik kamu?"
Ayid menatap Sang ayah tajam.
Kevin mengangkat alis, namun melihat Gesture anaknya, Ia
paham.
"Yang Ayah bilang bener kan? Oh, ya ampun. Jangan bilang
kalo kamu cemburu?"
Ayid diam saja membuat Kevin terkekeh.
"Dasar cemburuan." Ayid nampak tak tersinggung.
Kasih Sayang Ayid

"Sejauh ini, hanya kamu yang mampu menarik Seluruh pusat


duniaku."
Jangan menangis, Cantik. Kamu terlalu berharga untuk
terluka.

Sudah 2 Minggu berlalu, alur pertemanan Niken masih sama.


Hanya saja mungkin sekarang Suasana Sekolah lebih baik
padanya. Tidak Ada yang menentang hubungan mereka lagi.
Perlahan, mereka semua mulai menerima.Seperti sekarang.
Mereka berdua sedang berjalan dengan tangan saling
bertautan.Ayid bahkan tak segan memamerkan keuwuan
dengan mengecup Dahi Niken atau pipinya.Memang benar ya,
cowok cuek jika sudah bucin pasti akan sangat meresahkan.
"Nanti istirahat Aku Ke kelas kamu, oke?"
"Oke!"
Ayid tersenyum. Ia mengacak gemas rambut Niken.
"Belajar yang rajin."
"Gak janji."
"Kamu udah Mau semester akhir, Ken.
Raut wajah Niken berganti cemberut, Ia benci kenyataan jika
Ayid akan segera Lulus.
"Kenapa?" tanya Ayid peka. Ia mencubit pelan pipi Niken
membuat Mata indah Itu mendelik tapi terkesan lucu untuk
Ayid.
"Nanti kalo kamu Lulus, yang jagain Aku siapa?" lirih Niken
dengan pandangan sendu.
"Lho, emang kamu perlu di jagain?"
"Ish, Ayid. maksudnya yang jadi pawang kalo Aku Ngamuk."
Ayid tak kuasa menahan senyum, Ia membelai rambut Niken
dan berakhir di pipinya.
"Niken udah Gede, jadi gak perlu pawang, yang penting Aku
akan terus pantau kamu."
*
"Lo kayak yang gak punya temen aja si, Ken.
Ayid Mau rapat aja di tungguin," ujar Dimas sambil menatap
seorang gadis yang sedang duduk di pojok ruangan.
"Terserah gue, si. Lo gak punya urusan."
Dimas menahan untuk tidak menjitak gadis itu karena
pawangnya galak.
"Oke, bisa kita mulai Rapatnya?" tanya Ayid yang sudah
duduk di singgasananya. Cowok itu juga terlihat memberikan
tatapan peringatan untuk Dimas.Membuat Dimas Menghela
nafas Pasrah Dan kembali duduk di tempatnya.Niken yang
saat Itu asyik memainkan ponsel lalu menatap Ayid,
suaminya. Sheila Memotret Ayid Dari berbagai Sisi.
Suaminya Itu Terlihat sangat Sempurna di lihat Dari berbagai
celah, tidak heran jika semua cewek Menggandrunginya.
Ia mempunyai alasan kuat di dalam ruangan rapat meskipun
hanya Melakukan hal gabut.
Gadis cantik dengan rambut terurai Itu tidak suka jika para
adik kelas yang selaku anggota Baru BEM Itu menatap
suaminya minat.
Benar-benar menyebalkan.Padahal, tanpa di beri tahu pun
mereka pasti paham bagaimana sikap Ayid saat Bersama
dengannya. Sangat berbeda saat dengan orang lain.
"Oke, rapat selesai. Untuk rapat Selanjutnya, gue harap kalian
bisa mengerjakanya dengan
lebih baik tanpa gue, gue yakin kalian bisa!"
Rapat selesai.Untuk Ayid, ini adalah Rapat terakhir karena
cowok Itu akan Melakukan banyak ujian.
Niken otomatis berdiri Dari duduknya dan menyambut Ayid
dengan manis.
"Selamat untuk tugas terakhirnya," ucap Niken tersenyum
hangat.
"Tumben ngucapin," kata Ayid sambil mengacak rambut
gadis itu gemas. Mereka sama sekali tidak peduli dengan
tatapan orang-orang.
Niken bersidekap dada, menatap Ayid dengan intens yang
sukses membuat cowok itu salting.
"Kamu adalah pemimpin yang hebat, Aku bangga sama kamu,
Ayid."
Ayid tersenyum manis.
"Kayaknya gak Ada ucapan yang lebih berarti selain ini."
*
"Ayid, kamu punya cita-cita?" tanya Niken yang saat itu
sedang merebahkan kepalanya di paha Ayid. Mereka sedang
bersantai di ruang keluarga sambil menonton drakor kesukaan
Niken yang sudah beralih pindah Ke televisi.
"Semua orang pasti punya, kan?" tanya Balik Ayid.
"Ada juga yang gak punya."
Ayid menunduk, menatap Niken dalam.
"Siapa?"
"Contohnya aku" ucap Niken cengengesan membuat Ayid
menjawil hidungnya.
"Gak Ada yang Kaya gitu. Kamu cuma belum nemuin skill
kamu."
Wajah Niken cemberut. Ia memang mudah berekspresi
Sekarang, tapi hanya dengan Ayid.
"Apa sih yang di harapin dari hidup aku, Ayid? Bahkan,
Bunda sama Ayah aja udah males urusin aku."
"Kok ngomongnya begitu?"
Ayid mengusap pipi Niken membuat mata indah Itu bersitatap
dengannya.
"Mereka sayang sama kamu, Ken."
"Taunya sayang?"
"Semua orang tua pasti sayang sama anaknya cuma cara
mereka Menunjukanya yang beda."
Niken merenung. Ia memutar memori dimana masa kecilnya
di habiskan hanya dengan Mas Co, abangnya. Kedua orang
tuanya adalah tipe orang yang pekerja keras hingga mereka
melupakan Niken yang masih membutuhkan kasih sayang.
Pada awal Sekolah Menengah Pertama, Ia Mulai merasakan
dampaknya, apalagi Sang Abang Yang Mulai Fokus mengejar
Mimpinya.
Niken akhirnya memberontak dan melakukan hal yang
membuat kedua orang tuanya menyerah. Di waktu libur yang
biasanya di gunakan untuk bersantai, Mereka malah me
roasting nya.Jadilah Hingga Sekarang.
"Ayid, kenapa mereka gak pernah ngunjungin kita, ya?" lirih
Niken menatap langit-langit.
"Mereka Lagi sibuk ngurusin Proyek di luar negeri," jelas
Ayid. Tangannya tidak berhenti mengusap Rambut indah
Niken.
"Aku pengin ketemu sama mereka," ucap Niken sambil
memejamkan matanya. Usapan di Rambutnya membuat Ia
mengantuk.
"Nanti aku Telfon mereka."
Niken hanya bergumam. Matanya Kembali terbuka untuk
melihat adegan drakor di TV.
"Dia suka ama cewek Itu tapi cara ngungkapinnya salah," kata
Ayid. Entahlah, gara-gara Niken yang suka nonton drakor
membuat Ia ikut suka.
"Tau?" tanya Niken terkekeh. Merasa lucu saja melihat cowok
yang suka drakor.
"Nyimpulin aja."
"Terkadang kan kita jadi bodoh kalo udah cinta sama orang."
"Iya," ucap Ayid menatap Niken membuat gadis itu ikut
menatapnya dan mereka tersenyum.
"Kaya kamu."
*
Ayid menatap Wajah Damai Niken Yang sudah tertidur pulas
di Pangkuannya. Ia mengagumi dan menyukai setiap hal yang
di lakukan gadis itu. Bibirnya mendekat dan mendarat di Dahi
mulus Niken dan mengecupnya lama.
"Cantik," gumam Ayid tersenyum.Ia membelai pipi Niken
saat merasa jika Gadis itu sedikit terusik.
Baru saja Ayid ingin mengangkatnya namun Ia mendengar
lirihan istrinya itu.
"Ma.. Yah.. Aku kangen."
Ayid menghela nafas Dan kembali mengusap kepala Niken. Ia
sadar jika Sheila se-rindu itu dengan mereka membuat
tidurnya sampai tak nyaman.
"Aku janji untuk bawa mereka Ke kamu,"
bisik Ayid.Ia mengangkat tubuh itu dengan sangat hati-hati
dan Menggendongnya Ala Bridal Style menuju letak kamar
mereka berada.Setelah membaringkan Niken, Ia
menyelimutinya hingga sebatas Dada dan terakhir memberi
kecupan penuh sayang di Dahinya.
"Tidur yang nyenyak cantik."
Ayid mengambil ponsel dari balik sakunya, Ia menatap Niken
Sejenak dan menempelkan ponsel Mahal itu ke telinga.
Sambil menunggu di angkat, Ia berjalan ke arah balkon dan
membuka pintu yang menghubungkan kesana.
"Hallo."
Panggilan tersambung membuat kedua sudut bibirnya
terangkat ke atas.Sebentar lagi, Niken pasti akan mendapatkan
keinginannya. Tugas dia hanya menunggu.
Sebisa mungkin, Ayid akan berusaha mewujudkan hal yang
membuat Niken bahagia.Karena itu adalah tujuannya
Sekarang dan seterusnya.
***

Anda mungkin juga menyukai