Anda di halaman 1dari 8

NWDI: Semangat Juang Fata Sasak-Indonesia

Esai Menyambut Hultah Ke-87 NWDI


Muhammad Said
Direktur TGB Institute

Masa kecil dan Lingkungan Sosial


“Bangsaku pacu beguru, kaumku Sasak bejulu, bangsaku ndak te bemudi, pete sangu jelo
mudi (TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid)

Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah nama yang lekat dalam hati sebagian
besar orang Sasak, Lombok Nusa Tengara Barat. Ia masyhur disebut Maulana Syaikh dan atau
Hamzanwadi. Warga Nahdaltul Wathan juga kerap menyebutnya abul masajid wal-madaris.
Ia lahir di Kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur: 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah /20 April
1908 Masehi. Di tahun yang sama dengan kelahirannya, Boedi Oetomo lahir di Batavia, yang
digagas para siswa STOVIA pada 20 Mei 1908 (Nyoman Dekker,1993: 19). Masih di tahun
yang sama pula, Belanda sedang menancapkan kuasanya atas Bali pada perang Puputan
Klungkung 1908.
Sementara di tanah kelahirannya Lombok, di tahun kelahirannya itu (1908) Belanda
sudah memegang kendali penuh atas Gumi Selaparang. Bahkan sejak tahun 1894 Belanda
telah berhasil menggulingkan kerajaan Bali-Mataram di Lombok (Vander Kraan). Sejak
runtuhnya Mataram 1894, di Lombok terjadi kekosongan kekuasaan Lokal (local kingdom).
Situasi itu lantas memicu munculnya fenomena—meminjam bahasanya Kraan: “datu
datuan”. Agaknya fenomena ini muncul karena situasi bangsa Sasak yang sedang mengalami
keterpurukan dan kubangan kemiskinan di bawah tirani kolonial. Sehingga dalam konteks
itulah muncul sebuah imajinasi di alam pikiran rakyat Sasak perihal hadirnya ”mesias”—juru
selamat, alias Ratu Adil dalam imajinasi kultural masyarakat Jawa di masa-masa perang Jawa.
Di tahun 1870, misalnya, muncul satu figur yang “dianggap” penjelamaan juru
selamat, yakni Guru Dane dari Desa Kuripan. Dengan segala kesaktiannya Guru Dane
dipercaya sebagai figur yang akan memimpin revolusi melawan kolonial Belanda. Lalu tahun
1910, muncul pula seorang Sudra di Cakranegara yang mengabarkan kepada rakyat Lombok
perihal kebangkitan kembali putra mahkota Mataram, Anak Agung Ketut Karangasem yang
menjelma menjadi burung Garuda. Ketut Karang Asem diyakini akan membebaskan rakyat
Selaparang dari penjajahan Belanda. Kemudian pada 1920, di Sakra muncul seorang
perempuan yang mengaku sebagai Dewi Anjani. Ia berjanji akan mengembalikan kejayaan
Selaparang dan mengusir Belanda dari Gumi Sasak. Tahun 1927, di Jonggat, seorang petani
bernama Amaq Sumikir, memproklamirkan dirinya sebagai Jayeng Rana. Ia juga berjanji akan
mengusir Belanda dari gumi Lombok dengan senjata saktinya pelor emas (lebih lengkap lihat
Vander Kraan, Lombok: penkalukan, Penjajahan dan ketrebelakangan 1870-1940)
Dari realitas makro sosial-politik di atas, terang saja bahwa Tuan Guru Zainuddin—
pemilik nama kecil Saggaf—tumbuh dan berkembang dalam milleu zaman peralihan; yakni
ketika kuasa kolonial masih mencengkram Nusantara (khususnya Lombok), namun di sisi lain
Belanda sudah menunjukkan i’tikad baik melalui pelaksanaan politik etis. Bersamaan dengan
itu pula, semangat nasionalisme orang-orang pribumi sedang tumbuh mekar di segenap
penjuru kepulauan Nusantara.
Kebijakan politik etis Belanda memberi dampak lansung bagi pembentukan
intelektual awal Saggaf kecil. Sebab Saggaf menjadi bagian dari siswa sekolah Belanda
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Onder Afdelling Oost Lombok di Selong tahun 1196-1919.
Di samping belajar di sekolah formal Belanda, Saggaf kecil juga belajar ilmu-ilmu agama pada
tokoh-tokoh agama setempat, seperti Tuan Guru Syarafuddin, Tuan Guru Muhammad Said
dan dan Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji Kelayu (Muhammad Noor 2004: 134). Dalam
konteks itu, dapat dikatakan bahwa pembentukan awal kognisi intelektual Saggaf kecil
tumbuh dalam perpaduan ekosistem pendidikan modern Belanda dan pendidikan tradisional
khalaqah para tuan guru. Oleh karenanya, Saggaf kecil terdidik dalam tradisi literasi latin khas
Eropa, sekaligus literasi Timteng-Melayu khas Nusantara.
Belajar Ke Hijaz-Haramain
Tahun 1923 Saggaf remaja (usia 15 tahun) berangkat ke Makkah bersama ayahnya, H.
Abdul Madjid, dan segenap rombongan keluarga. Di tahun-tahun itu, naik haji bukanlah
perkara mudah. Selain ongkosnya mahal, kebijakan politik kolonial terhadap perjalanan haji
juga cukup mencekal. Sebab bagi kolonial, haji punya makna politis. Para haji yang pulang dari
Makkah dianggap rentan menjadi agen-agen “makar” melawan pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karenanya, haji dikontrol dengan ketat untuk meredam kekuatan Islam politik di masa-
masa itu. Dengan demikian, naik haji hanya bisa dilaksanakan oleh kalangan tertentu dan
sangat terbatas. Dengan kata lain, naik haji pada masa itu menjadi semacam “kebiasaan”—
meminjam bahasa Bourdieau “habitus”—para tuan tanah dan atau kelas menengah (peniaga
kaya). Oleh karenanya, selain menunjukkan tingkat kesalehan (piety), naik haji juga menjadi
penanda kelas sosial tinggi dalam masyarakat Sasak.
Adalah sangat wajar jika H. Abdul Majid membawa rombongan keluarganya naik haji,
karena ia adalah pengusaha sukses di Pantjor, dan memiliki berhektar-hektar tanah di bagian
selatan wilayah Panjtor—yang kini disebut kampung Majidi (Mohammad Noor 2004: 112).
Dengan demikian, jika diteropong dari lensa ekonomi-politik, H. Abdul Madjid tergolong kelas
menegah muslim Sasak. Yakni seorang peniaga suskes yang mampu tumbuh dalam aktivitas
merchant capitalism dengan mengelola “mood of production” bisnisnya secara handal di
tengah himpitan gurita imperialisme Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda.
Semangat dan kesuksesan niaga H. Abdul Madjid tentu tidak lepas dari etos Islam, terutama
terkait keutamaan berniaga yang banyak dijelaskan dalam literartur Islam. Hal ini barangkali
serupa dengan tesis yang dibangun Weber perihal “Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”.
Menurut Weber, keunggulan kalangan protestan dalam bidang ekonomi banyak didorog oleh
sumber-sumber normatif ajaran Protestan. Oleh karenanya, mereka memiliki kekuatan
mental dan spiritual dalam membangun etos kerja dalam bidang ekonomi. Serupa dengan hal
itu, para peniaga muslim tentu juga banyak diinspirasi oleh “Islamic ethic” yang kemudian
melahirkan spirit akumulasi kapital melalui kegiatan interpreneurship. Dalam konteks ini,
tumbuhnya kelas menengah muslim Sasak (The Making of Sasak Middle Class Moslem),
termasuk dalam hal ini Haji Abdul Majid, tidak lepas dari internalisasi islamic ethic dalam
dunia niaga.
Ketika Haji Abdul Madjid dan keluarganya sampai di Makkah, ia lansung mencari
tempat belajar bagi anaknya: Saggaf . Mula-mula Saggaf—yang kemudian berganti nama
menjadi Zainuddin—diserahkan belajar di Masjidil Haram, yakni di bawah asuhan Syaikh
Marzuki, seorang Hadrami kelahiran Palembang. Di khalaqoh ini banyak pula santri Nusantara
(ashabul Jawiyin) yang telah lebih dahulu ikut “nyantri” , termasuk diantaranya adalah Tuan
Guru Abdul Kadir asal Mamben Lombok Timur (Mohammad Nur 2004: 137). Zainuddin
kemudian bergabung menjadi santri di khalaqoh itu, dan belajar ilmu-ilmu keislaman dalam
waktu beberapa lama. Namun ketika ayahnya pulang ke Tanahair, Zainuddin ingin mencari
majlis baru untuk mengembangkan dirinya.
Di tengah usahanya mencari tempat belajar baru, Makkah dilanda hura-hara, yakni terjadi
pergolakan antara Klan Ibnu Sa’ud dan Syarif Husein Makkah. Sebetunya sejak kedatangan
Zainuddin remaja ke Makkah, dunia Arab memang sedang mengalami fase transformasi
sosial-politik. Yakni bermula sejak pupusnya kekuasan kekaisaran Ottoman di wilayah Arabia,
dan seiring dengan berakhirnya Perang Dunia I tahun 1918. Dalam suasana hura-hara itu,
Abdul ‘Aziz al-Sa‘ud ( 1880–1953) berhasil memenangi perseteruan melawan Syarif Husein.
Kemudian ia menobatkan dirinya sebagai raja, dan membangun negara Saudi modern pada
1926.
Dalam situasi peralihan rezim di Hijaz, Zainuddin kemudian bergabung ke Madrasah
Shaulatiyyah. Yakni sebuah madrasah swasta legendaris di tanah Hijaz, yang didirikan oleh
Diaspora India, Asy-Syekh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Secara ideologis,
Syaikh Rahmatulah memiiki irisan DNA epistemologis dengan Madrasah Dār al-ʿulūm India—
dalam literartur ilmiah kerap disebut “Deoband School”. Darul Ulum didirikan pada tahun
1867 oleh Muḥammad ʿĀbid Ḥusayn di Sahāranpur, Uttar Pradesh, India.
Syaikh Rahmatullah (pendiri Shaulatiyyah) merupakan murid dari Shāh Walī Allāh,
yakni salah satu pengajar paling berpengaruh di madrasah Darul ulum India. Ia bahkan
masyhur sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam abad 18 (Encylopedy Britanica).
Madrasah Deoband School, secara politis merupakan institusi yang konfrontatif dan resisten
terhadap kolonial Inggris di India. Dalam konteks itu, tentu Syaikh Rahmatullah adalah salah
satu figur yang juga turut dalam arus perlawanan tersebut. Di kemudian hari, akibat dari
keterlibatannya dalam arus perlawanan, ia harus menyingkir dari India, lalu menjadi imigran
dan kemudian memilih bermukim di Makkah.
Dari kronologi tersebut, kita bisa melihat bahwa “DNA ideologi” Shaulatiyyah
terhubung kepada ideologi Islam madrasah Darul Ulum (Deoban School). Shaulatiyyah
kemudian mewarisi spirit ideologi itu kepada para ulama Nusantara yang belajar di madrasah
ini. Dari jalur yang berbeda, pengaruh Deoband School juga mengalir ke Indonesia melalui
Fazlurrahman, salah seorang pemikir muslim asal India yang karir akademiknya moncer di
negeri Amerika. Fazlurrahman adalah putra dari Maulana Shihab ad-Din, seorang alumni Dar
al-‘Ulum, Deoband. Tentu saja Fazlurrahman kecil tumbuh dalam iklim pendidikan religius
ayahnya, sehingga di dalam dirinya mengalir paradigma keislaman Deoband. Kelak ketika
Fazlurrhaman menjadi akademisi di Amerika, ia memiliki tiga murid asal Indonesia—Gus Dur
menyebutnya sebagai “Tiga Pendekar Chichago”—yakni Nurcholis Madjid, Buya Syaf’i Maarif,
dan Amin Rais. Melalui Fazlurrahman dan tiga muridnya ini, tentu percikan ideologi Deoband
hadir dalam bentuk wajah yang agak lain, dibanding dengan alumni Shaulatiyyah.
Di Hijaz Madrasah Saulatiyyah memiliki posisi penting dalam gerakan anti
Wahhabbisme yang menjadi ideologi resmi kerajaan Saudi di bawah King Abdul Aziz
(Sedgwick, 2005: 91; Shalabī, 1987: 118). Di barisan ini juga terdapat madrasah swasta (majlis
ta’lim) yang didirikan orang Melayu, Muḥammad Shāfi`ī b. Muḥammad Ṣāliḥ, seorang
Mursyid Sufi, yang membuka majlis ta’lim di rumahnya, dengan menggunakan bahasa melayu
sebagai bahasa pengantar (Ahmed, 2015: 107). Tak ketinggalan pula Dār al-‘Ulūm al-Dīnīyyah
(berdiri 1935) yang dirintis oleh ulama asal Sumatera, Muḥsin al-Mūsāwī. Madrasah ini berdiri
atas donasi dari para dermawan asal Malaysia dan Indonesia. Madrasah-madrasah swasta
tersebut menjadi episentrum penguatan aswaja di tegah arus deras gelombang wahhabisme
di tanah Hijaz. Para santri madrasah-madrasah itu, khsusunya yang datang dari Asia
Tenggara, kelak menjadi alumni-alumni penyebar Aswaja di Nusantara dan semenanjung
Melayu (Shalabi, 1987: 122).
Di Madrasah Shaulatiyyah itulah Zainuddin merasa menemukan atmosfer yang
nyaman bagi pengembangan intelektualitasnya. Ia mengalami perkembangan pesat dalam
belajar. Di madrasah ini pula ia bertemu dengan guru-guru hebat yang sangat berjasa dalam
karir keulamaannya di masa depan. Salah satu guru pavoritnya adalah Syaikh Hasan Al-
Masyyat, figur inilah kelak yang merestui pendirian Nahdlatul Wathan, organisasi Islam
terbesar di wilayah Timur Indonesia yang didirikan Maulana Syaikh tahun 1953. Selama
belajar di Shaulatiyyah, Zainuddin terkenal sebagai murid yang cemerlang. Ia mendapat
sanjungan dari guru-gurunya, sehingga dalam lembar ijazahnya tertulis predikat “al-akhil fadil
Al-Mahir Al-Kamil Al-Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Al-Anfanany”

Jaringan Pengetahuan Lombok-Hijaz


Penemuan kapal uap dan posisi penting Labuhan Haji di Lombok Timur telah mebuka
peluang dan mendorong mobilitas orang-orang Sasak menyebrangi samudera menuju
Makkah. Orang-orang Sasak diperkirakan mulai belajar ke Makkah sejak abad 18 (Jamaluddin,
2011: 89 ). Mula-mula, orang-orang Nusantara (termasuk Lombok) the so-called “Santri
Kelana” berangkat ke Makkah dengan tujuan berhaji dan belajar Islam di sana dalam waktu
yang cukup lama. Belakangan sebagian besar orang Nusantara ke Makkah semata-mata
hanya untuk menunaikan ibadah haji (Putuhena: 107).
Mobilitas para “santri kelana Sasak” ke Makkah tentu tidak bisa dilepaskan dari peran
keluarga kelas menengah Lombok yang mengirim anaknya belajar ke Makkah. Dalam konteks
ini, keluarga kelas menengah Sasak adalah organisme penting dalam transmisi pengetahuan
keislaman antara Timur Tengah dan Lombok. Sebab para santri kelana itulah kelak pulang
menjadi Tuan Guru, yang kemudian “me-reshaping” ekspresi dan artikulasi keislaman di
Lombok. Tercatat beberapa generasi awal “santri kelana Sasak” seperti Tuan Guru Umar
Mbun Timbe, Tuan Guru Abdul Gaffur Sumbekah, Tuan Guru Amin Sesela, Tuan guru Mustafa
Sekarbela, Tuan Guru Umar Kelayu dan nama-nama lain (Jamaluddin 2011: 118).
Peran keluarga kelas menengah juga berlansung dalam konteks yang lebih luas di Asia
Tenggara. Seperti yang ditulis oleh Francis R. Bradley dalam Islamic Reform, the Family, and
Knowledge Networks Linking Mecca to Southeast Asia in the Nineteenth Century. Dalam
tulisannnya itu, Bradly menjelaskan peran keluarga-keluarga kaya di Patani (Thailand) sebagai
“jembatan pengetahuan Islam” dengan mengirim anaknya belajar ke Makkah. Kelak ketika
anak-anak itu kembali ke Patani, mereka menjadi peimpin-pemipin agama yang
menyebarkan nilai-nilai Islam ke masyarakat luas. Salah satu figur besar yang disebut Bradley
itu adalah Syaikh Daud patani, salah satu Maha Guru ulama-ulama Nusantara.
Seperti halnya di Patani, arus balik para Tuan Guru ke Lombok berfungsi
menjembatani jarak pengetahuan keislaman antara Lombok yang “periperal” dengan Makkah
yang “sentral”. Proses “making homes of Islam” oleh agensi para Tuan guru ke gumi Sasak
memunculkan pengetahuan Islam yang lebih “konferehensif”. Sebab para Tuan Guru
dianggap menguasai sumber-sumber teks otoritatif—turats Islam—secara mendalam.
Dengan demikian, keislaman masyrakat Sasak-Lombok sejak abad 18 hingga 20 lebih banyak
dibentuk—reshaping—oleh jaringan Tuan Guru alumni Makkah.
Dari lensa antropologi dan sejarah, dinamika dan ekspresi Islam di Lombok merupakan
manifestasi sisi “mutagayyirat-nya”, yakni bagaimana Islam hadir dan menyesuaikan diri
dalam lokus dan konteks sosiologis masyarakat pemeluknya. Keislaman di Lombok dibentuk
oleh pengaruh Islamisasi awal dari berbagai arah: Jawa, Sumbawa, dan Makasar. Pada tahap
ini berlansung proses “the making of Islam in Lombok” dalam transmisi Islam yang sifatnya
lokal-regional. Sejak abad 18-20 kehadiran para Tuan Guru memberikan sentuhan baru—
untuk tidak mengatakan reformasi—terhadap perkembangan Islam di Lombok.
Selama abad 18-20 agensi Tuan Guru begitu sentral dalam mewarnai keislaman masyarakat
sasak. Mereka berperan sebagai penfasir masa lalu kenabian (sunah) yang dijadikan sebagai
sumber norma, kemudian mereka berupaya mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam
realitas sosio-kultural masyarakat Sasak. Dengan demikian, Islam sebagai agama orang Sasak
boleh dikatakan maujud dari persenyawaan normatifitas masa lalu kenabian (sunnah)
dengan budaya lokal masyarakat Sasak dalam berbagai dinamikanya. Melalui karya sarjana
seperti Talal Asad, kita dapat memahami perkembangan Islam di berbagai belahan dunia dan
segala manifestasinya. Bahwa konseptualisasi Islam yang hidup dalam beragam tradisi, dan
melihat Islam dalam tingkat partikularismenya di berbagai belahan dunia muslim, termasuk
Islam Sasak di Lombok.

Kembai ke Tanahair
Setelah selama 12 tahun belajar di Makkah (1927-1933 M), pada tahun 1934 Tuan
Guru Zainuddin kembali ke tanah kelahirannya, Lombok. Kepulangannya seperti memasuki
kembali Palagan, karena Lombok belum lepas dari kuasa kolonial. Pengembaraannya selama
di Makkah tentu membuatnya mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman, termasuk
soal kondisi politik Timur Tengah yang disaksikan. Tentu tak ketinggalan pula Maulana Syaikh
menyaksikan pengaruh Pan-Islamisme; sebuah ideologi politik yang digagas Jamaluddin Al-
Afghani pada akhir abad ke-19 sebagai artikulasi politik umat Islam di seluruh dunia untuk
melawan kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Di tengah situasi keterjajahan, Maulana Syaikh mula-mula bergerak mengembangkan
“santren Al-Mujahidin” di Pantjor (yang diwarisi dari Ayhanya H.Abdul Madjid). “Santren”
Dalam konteks ini, berbeda dengan “pesantren” dalam pengertian institusi pembelajaran
Islam di Jawa. Sebab “santren” dalam kultur Sasak adalah semacam Musholla kecil di samping
“gedeng” (rumah) Tuan Guru sebagai tempat orang belajar mengaji saban magrib dan subuh.
Dari santren Al-Mujahidin inilah elan vital perjuangan dimulai.
Keterpurukan masyarakat Sasak akibat belenggu kolonial membuat Maulana Syaikh gelisah.
Lalu dengan semangat juangnya, ia tergerak mendirikan madrasah: Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah (NWDI) pada 17 agustus 1936 M. Madrasah ini tercatat sebagai Madrasah modern
pertama di pulau Lombok di masa kolonial. Yakni sebuah madrasah yang memadukan tradisi
modern seperti umumnya sekolah Belanda (menggunakan jenjang kelas) dengan tradisi Islam
yang terinspirasi oleh Madrasah Shaulatiyyah.
Perjuangan awal merintis madrasah tidaklah mudah. Selain situasi genting masa
kolonial, elit-elit lokal juga muncul sebagai penentang. Namun Maulana Syikah tak surut dan
gentar. Selaku nahkoda perjuangan, ia terus merentang layar di tegah angin dan gelombang.
Dari gambar-gambar yang tersebar, Tuan Guru Zainuddin yang berperawakan tinggi, selalu
mengenakan jubah dan sorban, serta dibalut jas panjang, berdiri tegak di tengah lautan masa
untuk menggerakkan jama’ah dengan semangat gotong royong membangun madrasah.
Dari madrasah NWDI Maulana Syaikh mulai membangun otoritasnya, dan mengkader
murid-murid pertamanya. Di kemudian hari, selepas nyantri di NWDI, banyak murid-muridnya
yang direkomendasikan melanjutkan studinya ke Shaulatiyyah Makkah. Murid-muridnya
itulah kelak yang menjadi barisan para Tuan Guru dan melanjutkan perjuangan dakwah Islam
di Lombok. Jejaring alumni dan cabang-cabang madrasah NWDI yang tersebar di seantero
pulau Lombok tentu menjadi penopang kemapanan otoritas keulamaan Maulana Syaikh.
Meminjam argumen Islmail Fajri Alatas dalam bukunya “What is Autority” , bahwa otoritas
itu muncul seiring dengan kemampuan merawat jama’ah, dan dari rutinitas merawat jamaah
itu pula terbentuk karisma. Dalam rentang hidupnya yang cukup panjang, Maulana Syaikh
telah melakukan peran-peran profetik tersebut dengan baik. Dengan demikian, pantaslah ia
dikenang sebagai salah satu ulama besar di Gumi Selaparang.
Dakwah dan Kebudayaan
Ketika 1953 Maulana Syaikh mendirikan Organisasi NW, hal pertama yang harus
dilihat adalah bahwa Maulana Syaikh memiliki kesadaran identitas, yakni sebagai orang Sasak.
Dengan kata lain, NW sebagai ormas—suka tidak suka—melekat dengan identitas Lombok
dan kesasakan. Kesadaran identitas itulah yang mendorong munculnya agensi dan negosiasi
Maulana Syaikh dalam wujud politic of distinction terhadap NU, Muhammadiyah, Persis,
Syarikat Islam, Perti dan berbagai Ormas Islam lainnya di Nusantara.
Dalam perspektif materialisme kultural, sebagaimana argumen Marvin Harris, bahwa
gagasan dan perilaku seseorang selalu dihubungkan oleh budaya dan dorongan lingkungan
dan kesempatan (Harris:289). Oleh karenanya, tindakan Maulana Syaikh ketika mendirikan
NW mesti diletakkan dalam dinamika sosiologis masyarakat Muslim dan agensi ulama dalam
mengisi ruang keindonesiaan. Yakni Maulana Syaikh mendirikan NW dengan landasan etos
fastabiqul khairat. Dengan kata lain, Maulana Syaikh sedang mengikuti jejak langkah Para
pendiri Ormas Islam lainnya, termasuk dua seniornya K.H Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim
Asy’ari pada level yang lebih tinggi: manhajan (metodis), bukan qawlan (tekstual).
Dalam dakwahnya di tengah masyarakat Sasak, Maulana Syaikh tidak melupakan
aspek kebudayaan. Ia tidak hanya menggunakan dalil-dalil teks suci, melainkan juga
menggubah lagu-lagu berbahasa Sasak sebagai media dakwah. Hal ini menujukkan bahwa
Maulana Syaikh memahami arti penting kebudayaan dalam berdakwah. Oleh karenanya,
melalui lagu-lagu berbahasa Sasak ia hendak menyederhanakan pesan-pesan agama agar
lebih mudah dipahami oleh masyarakat Sasak. Sederat lagu seperti Beguru agame, sa’ tuwi
jati, sakit jahil, dan lain-lain merupakan “saripati” nasehat-nasehat agama yang disampaikan
melaui lagu dan nada. Ia juga tidak menentang asepek-aspek kebudayan lainnya yang telah
mengakar dalam kehidupan bangsa Sasak selama hal itu tidak bertentangan dengan syari’at.
Perjuangan Politik dan Kebangsaan
Karir politik Maulana Syaikh dimulai dari Masjumi. Sebuah partai politik Islam yang
dibentuk di masa awal kemerdekaan. Masjumi sebetulnya muncul sejak zaman penjajahan
Jepang sebagai metamorfose dari Majelis Islam A’la Indonesia (berdiri 1937). Lembaga ini
berfungsi menaungi berbagai organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya. Kelahiran Masjumi pada 24 oktober
1943 tidak lepas dari kepentingan Politik Jepang, yakni untuk menggalang dukungan rakyat
Indonesia melalui lembaga agama Islam. Masyumi kemudian mendeklarasikan diri sebagai
partai politik setelah Indonesia merdeka.
Maulana Syaikh menjadi ketua badan pensehat Masjumi daerah Lombok tahun 1952.
Di tahun-tahun 1952-1953, beberapa ormas Islam sedang mengalami dinamika dalam
relasinya dengan negara dan politik. Sehingga pada 1953, beberapa ormas Islam
bermetamofose menjadi partai, misalnya NU menjadi Partai NU setelah memutuskan
berpisah dengan Masjumi (lebih lengkap Feally “Ijtihad Politik Ulama”) dan di Sumatera Perti
juga menjadi partai Perti. Di tengah situasi itu, Maulana Syaikh justru mendirikan NW, ormas
Islam yang lepas dari afiliasi politik. Tetapi tentu Maulana tidak anti politik, ia hanya ingin
menegaskan NW sebagai Ormas Islam punya jalur perjuangan sendiri, sedangkan aktivitas
politiknya disalurkan melalui Masjumi. Melaui partai Masjumi itulah Maulana memulai debut
karir politiknya di tingkat nasional, ia terpilih menjadi Angota Konstituante hasil pemilu
pertama 1955.
Perseteruan Masjumi dan PNI membuat Masjumi bubar di tangan Orde Lama.
Konstituante dibubarkan Soekarno, dan kemudian Masjumi dipaksa membubarkan diri tahun
1960. Setelah peristiwa ini, karir politik Maulana Syaikh vakum seperti halnya kebanyakan
aktivis politik Masjumi. Mereka kemudian banyak kembali ke aktivitas dakwahnya, termasuk
Maulana Syaikh. Tahun 1968, eks-eks aktivis partai Masjumi mulai mengkonsolidasikan diri
untuk kembali ke gelangang politik dengan mengagas partai politik Parmusi. Partai ini
didukung oleh sembilan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Jam’iyatul Wasliyah,
Gasbiindo, persatuan Islam, Nahdlatul Wathan, Matla’ul Anwar, Syarekat Nelayan Islam
Indonesia, persatuan Buruh Islam merdeka, Persatuan ummat Islam (Deliar Noor, 2000:46)
Di masa Orde Baru Mualana Syaikh memilih bergabung ke sekber Golkar. Sekber Golkar ini
didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh faksi militer untuk menghadapi gerakan PKI. Lembaga
ini menjadi wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni non-afiliaisi partai politik.
Tujuan utamanya adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Ada sekitar 291
organisasi bergabung dengan sekber Golkar.
Menurut David Reeve dalam buku Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan
Dinamika (2013), bahwa sebetulnya pada 1957 Soekarno merupakan penggagas pertama
sebuah wadah semua golongan yang diberi nama Golongan Karya. Tentu Golongan Karya
versi Sukarno ini tak pernah diproyeksikan menjadi sebuah partai. Karena di masa demokrasi
liberal Sukarno sendiri hendak menganulir sistem multi partai dan menyiapkan sistem
demokrasi terpimpin. Visi Bung Karno itu, muncul setelah ia pulang kunjungan dari China. Di
belakang hari, Ide soal Golongan Karya versi Sukarno ini lalu terlupakan—dan dicomot
golongan militer yang sejatinya berseberangan dengan Sukarno.
Ijtihad politik Maulana Syaikh bergabung dengan Golkar setidaknya punya dua alasan:
pertama, seperti umumnya bahwa setting peristiwa 1965 telah memperhadap-hadapkan
kelompok Islam versus PKI. Maka Maulana Syaikh bergabung dengan sekber Golkar yang
kemudian menjadi Partai Golkar karena dianggap berjasa menumpas PKI. Kedua, negosiasi
dan agensi politik Maulana Syaikh di dalam golkar cukup kuat dan terakomodir. Sehingga,
beberapa kader Nahdlatul Wathan menjadi fraksi Alim Ulama di DPRGR (Mohammad Noor,
2004:247).
Tahun 1970-an relasi Golkar dan Nahdlatul Wathan semakin dekat. Situasi ini
sebetulnya memiliki dua sisi. Kedekatan dengan Golkar dibangun sebagai sebuah taktik agar
Nahdlatul Wathan tak mengalami represi politik seperti kelompok-kelompok Islam lainnnya.
Namun di sisi yang lain, terjadi konflik internal di Nahdlatul Wathan karena sebagian kader
lebih memilih bergabung dengan PPP yang dianggap partai Islam. Di tahun-tahun ini, relasi
Nahdlatul Wathan, politik dan Negara benar-benar membuat “katastrofi” di dalam dinamika
ormas Nahdaltul Wathan. Perbedaan pilihan politik internal, campur tangan militer dan
kontrol negara membuat Nahdlatul Wtahan mengalami friksi-friksi dan kecamuk konflik yang
cukup dinamis.
Liku-liku konflik internal akibat situasi politik terus berlanjut hingga menjelang pemilu
tahun 1982. Melihat situasi genting di internal Nahdaltul Wathan, Maulana Syaikh akhirnya
melakukan ijtihad politik “gerakan tutup mulut” (GTM). Sikap ini menunjukkan bahwa
Maulana Syaikh lebih memilih diam, tidak terlibat mendukung partai politik manapaun secara
terbuka demi kondusifitas internal di tubuh warga Nahdlatul Wathan. Situasi ni kemudian
mendorong gagasan kembali ke khittah, bahwa Nahdaltul Wathan kembali jalur kultural
dalam kerja-kerja yang lebih fokus pada pendidikan, sosial dan dakwah. Momen kembali ke
kihttah ini diperkuat di dalam gelaran hulltah NWDI ke-47 tahun 1983.
Dari perjalanan panjang Maulana Syaikh dalam segala dinamika sejarah dan politik, kita telah
menyaksikan kiprahnya sejak masa kolonial hingga agensinya dalam politik dua zaman: Orde
lama hingga Orde Baru. Ia telah menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjuangan untuk
ummat, bangsa dan Negara.

“Cinta Teguh Pada Agama, Cinta Kokoh Pada Negara (TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid)
Selamat Hultah NWDI Ke-87.

Anda mungkin juga menyukai