Anda di halaman 1dari 7

NO: 12 OSK GEO PROV.

2016

 Agropolitan
Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem
dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan
pembangunan pertanian (sektor usaha pertanian dalam artian luas) di wilayah sekitarnya.[1].
Beberapa daerah menerapkan konsep agropolitan untuk kemajuan daerah. Hal ini didasarkan
bahwa sebagian besar wilayah Indonesia merupakan agraris/pertanian. Konsep Agropolitan
merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengembangkan daerah melalui
optimalisasi sumber daya tumbuhan dan hewan, yaitu pertanian, perkebunan, perikanan dan
peternakan. Jika sebuah kawasan hanya memiliki potensi perikanan, maka dapat pula disebut
sebagai minapolitan.

Pengembangan kawasan agropolitan/minapolitan merupakan bagian dari potensi kewilayahan


kabupaten di mana kawasan agropolitan itu berada. Pengembangan kawasan
agropolitan/minapolitan yang merupakan penguatan sentra-sentra produksi pertanian/perikanan
yang berbasiskan kekuatan internal, akan mampu berperan sebagai kawasan pertumbuhan
ekonomi yang mempunyai daya kompetensi inter dan intra regional.[2] Agropolitan merupakan
kawasan ekonomi berbasis pertanian dan dicirikan komoditi unggulan, dengan batasan skala
ekonomi/skala usaha tanpa dibatasi wilayah administrasi. Sasaran dalam pengembangan kawasan
agropolitan ini adalah mewujudkan kawasan agroplitan dan berkembangnya ekonomi lokal yang
berbasis produk unggulan daerah yang efektif, efisien, transparan dan berkelanjutan.

Komoditas pertanian yang dibudidayakan adalah komoditas pertanian (tanaman pangan,


holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan) yang dibudidayakan oleh mayoritas
masyarakat, terjamin ketersediaannya secara terus menerus, masih dalam bentuk primer, atau
produk olahan sementara, atau produk olahan akhir, telah diusahakan dalam industri kecil atau
menengah atau besar, berdaya saing dan mempunyai pangsa pasar baik lokal, regional maupun
internasional dan akan atau menjadi ciri khas daerah kawasan.[1]

Agropolitan selayaknya menjadi sarana dalam pembangunan kawasan pedesaan untuk


menangani kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan. Melalui pendekatan agropolitan
pembanguan wilayah semestinya dapat membawa kemajuan wilayah tanpa mengabaikan
kelestarian lingkungan, budaya, tradisi dengan disertai inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan
berkelanjutan.[3]

Kebutuhan penciptaan kawasan agropolitan/minapolitan


Secara garis besar kawasan agropolitan membutuhkan

 Adanya sektor unggulan yang bisa dimanfaatkan dalam menggerakkan agropolitan


 Kawasan yang mampu dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor unggulan
 Infrastruktur seperti akses menuju desa dan pasar
 Fasilitas pengolahan hasil pertanian untuk meningkatkan nilai tambah, termasuk rumah
pengepakan. Usaha Kecil dan Menengah dapat dilibatkan.
 Fasilitas pemasaran hasil pertanian seperti pasar, kios, sub-terminal agribisnis, tempat
pelelangan ikan, dan sebagainya.
Agropolitan di Indonesia
Landasan hukum

Landasan hukum yang dapat digunakan dalam pembentukan suatu daerah menjadi agropolitan
adalah:[5]

 Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 - tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


 Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 - tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 - tentang Pemerintahan Daerah.
 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 - tentang Penataan Ruang Nasional.
 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,
Serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 - tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota

Apa itu Agropolitan… ?


Urbanisasi sepertinya merupakan suatu hal yang secara logis bakal terjadi. Sebab sudah
sewajarnyalah manusia akan mencari lingkungan hidup yang dapat memfasilitasi
kebutuhannya, dan hal itu kenyataannya akan dapat diperoleh dengan mudah di wilayah
perkotaan. Maka jadilah desa semakin hari menjadi tidak menarik dan banyak ditinggalkan.
Muncullah konsep Agropolitan yang mejanjikan desa memiliki fasilitas perkotaan, namun masih
bernuansa pertanian. Pertanyaannya adalah, apa sesungguhnya agropolitan tersebut ?.
Beberapa pendapat tentang agropolitan dapat dikemukakan sebagai berikut :

AGROPOLITAN (Agro = pertanian : Politan = kota) adalah kota pertanian yang tumbuh
dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem & usaha agribisnis
sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

 KAWASAN AGROPOLITAN, terdiri dari Kota Pertanian dan Desa-Desa sentra produksi
pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan
administrasi Pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala
ekonomi yang ada. Dengan kata lain Kawasan Agropolitan adalah Kawasan Agribisnis
yang memiliki fasilitas perkotaan.
 PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN, adalah pembangunan ekonomi
berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan
jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya
sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan
dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah.

Ini berarti Bila dilihat dari kata Agropolitan, maka Agropolitan terdiri dari kata Agro (pertanian)
dan kata Politan (polis = kota), sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian
yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu
melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di
wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra
produksi pertanian yang ada disekitarnya, dimana kawasan pertanian tersebut memiliki fasilitas
seperti layaknya perkotaan.

BAPPEDA Cianjur menulis bahwa sebagai suatu konsep pembangunan, pengembangan


kawasan agropolitan merupakan salah satu upaya mempercepat pembangunan perdesaan dan
pertanian, dimana kota sebagai pusat kawasan dengan ketersediaan sumberdayanya, tumbuh
dan berkembang dengan membuka kemudahan dalam melayani, mendorong dan menghela
usaha agribisnis di desa-desa hinterland dan desa-desa sekitarnya. Keterkaitan dalam sistem
dan usaha agribisnis antara kota dan desa tersebut juga dimaksudkan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi daerah dan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat di
kawasan agropolitan. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, diperlukan langkah
terobosan berupa program pengembangan kawasan agropolitan, yang mana program ini perlu
melibatkan berbagai pihak (stakeholder) yang bekerjasama secara terkoordinasi, terarah dan
berkelanjutan.

Agropolitan pada dasarnya sebuah gerakan untuk kembali membangun desa. Desa yang baik
idealnya harus bisa menjadi suatu tempat yang nyaman, bermartabat dan mensejahterakan
masyarakatnya. Jangan beranggapan desa yang maju itu harus menjadi kota. Akan tetapi
menjadikan desa itu menjadi tempat yang layak. Sebenarnya hal inilah yang melahirkan ide
agropolitan.

Konsep agrpolitan ini basisnya pada membangun fungsi kota pertanian dalam artian luas.
Dimana pertanian itu tidak dilihat dari sisi bercocok tanam dan mencangkul saja.

Di dalam kawasan agropolitan harus terdapat sektor industri, jasa, pariwisata, dan sebagainya,
namun basisnya pertanian dalam arti yang luas.

Penyediaan Prasarana dan Sarana Kawasan Agropolitan, Kawasan agropolitan adalah


kawasan pertanian yang terdiri dari kota Pertanian, desa-desa sentra produksi pertanian dan
desa peyangga yang ada di sekitarnya, yang memiliki fasilitas untuk berkembangnya pertanian
industri.

Sebaiknya kawasan pertanian yang dipilih adalah kawasan pertanian yang sudah
ditumbuhkembangkan oleh pemerintah daerah dan Departemen Pertanian. Kawasan tersebut
antara lain Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), Kawasan Peternakan,
Kawasan Hortikultura atau Kawasan Tanaman Pangan. Program untuk kawasan yang akan
dikembangkan menjadi kawasan agropolitan dilakukan melalui kerjasama dengan masyarakat,
swasta serta kerjasama lintas sektoral dan lintas pusat dan daerah yang diorganisasikan oleh
manajemen yang efisien, dan harus menjadi komitmen dari pemerintah daerah (Bupati/
Walikota, DPRD, masyarakat setempat). Untuk berkembangnya kawasan pertanian menjadi
kawasan pertanian industri maka kawasan desa sentra produksi pertanian dan kota pertanian
yang ada dikawasannya, harus dirancang agar memiliki fasilitasi perkotaan, lembaga
pendidikan, lembaga penyuluhan dan alih teknologi pertanian, lembaga kesehatan, jaringan
jalan, irigasi, transportasi, telekomunikasi serta prasarana dan sarana umum lainnya.

Pada kawasan ini peranan masyarakat cukup dominan dan berperan aktif dalam pembangunan
kesejahteraannya, sedangkan peranan pemerintah bersifat memberikan fasilitasi, memberikan
dukungan iklim kondusif dan pembuatan peraturan perundang-undangan untuk berkembangnya
dinamika pembangunan dan melindungi eksistensi program. Masyarakat disodorkan agar
berperilaku selalu berorientasi bahwa produk yang dihasilkan adalah produk untuk selanjutnya
dipasok ke proses industri. Kebijakan untuk mewujudkan pertanian industri ini perlu dilakukan
secara konsisten, terarah dan transparan. Tanpa adanya perlindungan dari pemerintah
eksistensi kawasan agropolitan sulit untuk ditegakkan, bertahan dan berlanjut.

http://nagaisori.com/uncategorized/apa-itu-agropolitan.html
 Kosmopolitanisme
Kosmopolitanisme adalah ideologi yang menyatakan bahwa semua suku bangsa manusia
merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Seseorang yang
memiliki pemikiran kosmopolitanisme dalam bentuk apapun disebut kosmpolitan atau
kosmopolit.[1]

Komunitas kosmopolitan bisa saja didasarkan pada moralitas inklusif, hubungan ekonomi
bersama, atau struktur politik yang mencakup berbagi bangsa. Dalam komunitas kosmopolitan,
orang-orang dari berbagai tempat (e.g. negara-bangsa) membentuk hubungan yang saling
menghargai. Kwame Anthony Appiah pernah memaparkan adanya kemungkinan komunitas
kosmopolitan ketika orang-orang dari berbagai bidang (fisika, ekonomi, dll.) membina hubungan
yang saling menghargai meski memiliki kepercayaan yang berbeda (agama, politik, dll.).[2]

Etimologi
Kata ini berasal dari bahasa Yunani κοσμοπολίτης, kosmopolites, i.e. "warga dunia". Kata itu
sendiri berasal dari κόσμος, kosmos, i.e. "Dunia" dan πολίτης, polites, i.e. "warga".[3][4]

Kosmopolitanisme filosofis
Info lebih lanjut: Keadilan global, Universalisme moral

Akar filsafat

Kosmopolitanisme dapat ditelusuri kembali sampai era Diogenes dari Sinope (c. 412 SM), bapak
pendiri gerakan Sinis di Yunani Kuno. Mengenai Diogenes, pernah diceritaka bahwa: "Saat
ditanyai asalnya, ia menjawab: 'Aku adalah warga dunia (kosmopolitês)'".[5] Ini adalah terobosan
baru, karena dasar identitas sosial terluas di Yunani waktu itu adalah negara-kota sendiri atau
bangsa Yunani (Hellenik) sebagai satu kelompok. Kaum Stoik, yang kelak mengembangkan ide
Diogenes menjadi konsep lengkap, menegaskan bahwa setiap manusia "tinggal [...] di dua
komunitas – komunitas lokal tubuh kita, dan komunitas argumen dan aspirasi manusia".[6] Cara
yang paling umum untuk memahami kosmpolitanisme Stoik adalah mempelajari model identitas
lingkaran Hierocles yang menyatakan bahwa kita perlu menggambarkan diri kita seperti
lingkaran terpusat, lingkaran pertama adalah diri sendiri, kemudian keluarga dekat, lalu keluarga
jauh, kelompok lokal, warga kota, warga negara, dan umat manusia. Dalam lingkaran-lingkaran
ini, manusia merasakan "kedekatan" atau "rasa sayang" terhadap satu sama lain yang oleh kaum
Stoik disebut Oikeiôsis. Tugas warga dunia adalah "menggambar lingkaran sampai ke tengah
sehingga seluruh manusia menjadi warga kota kita sampai [lingkaran] seterusnya".[7]

Pemikir kosmpolitan modern


Immanuel Kant mengusung ide ius cosmopoliticum

Dalam esainya tahun 1795, Perpetual Peace, Immanuel Kant mengusung ius cosmopoliticum
(hukum/hak kosmopolitan) sebagai prinsip pemandu untuk melindungi masyarakat dari perang,
dan mendasarkan hak kosmopolitan ini secara moral pada prinsip keramahan (hospitality)
universal. Kant mengklaim bahwa perluasan keramahan sampai pada "pelaksanaan hak atas
permukaan bumi yang dimiliki umat manusia" (lihat warisan bersama manusia) pada akhirnya
akan "membawa umat manusia lebih dekat dengan konstitusi kosmopolitan".[8]

Konsep filsafat Emmanuel Levinas mengenai etika dan konsep filsafat Jacques Derrida
mengenai keramahan menciptakan kerangka teoretis untuk hubungan antarmanusia dalam
kehidupan sehari-hari dan terlepas dari berbagai bentuk hukum tertulis. Bagi Levinas, dasar etika
sudah termaktub dalam kewajiban menanggapi yang Lain (the Other). Dalam Being for the
Other, ia menulis bahwa tidak ada hukum moral universal, melainkan rasa tanggung jawab
(kebaikan, rasa iba, amal) yang diinginkan oleh yang Lain dalam keadaan rapuh. Kedekatan yang
Lain adalah hal penting dalam konsep Levinas; wajah yang Lain adalah sesuatu yang
menggerakkan tanggapan.

Bagi Derrida, dasar etika adalah keramahan, kesiapan, dan keinginan untuk menyambut yang
Lain ke rumah seseorang. Menurutnya, etika adalah keramahan. Keramahan yang murni dan
tanpa syarat adalah keinginan yang mendasari keramahan bersyarat yang diperlukan dalam
hubungan antarmanusia. Teori etika dan keramahan Levinas dan Derrida menunjukkan
kemungkinan penerimaan yang Lain sebagai sikap yang berbeda namun setara. Isolasi bukan
alternatif yang pantas di dunia, jadi penting untuk mempertimbangkan cara terbaik mendekati
interaksi semacam ini, sekaligus menentukan apa yang dipertaruhkan untuk kita dan lainnya:
syarat keramahan apa yang perlu diterapkan dan sudahkah kita menanggapi panggilan yang Lain.
Selain itu, kedua teori ini mengungkapkan pentingnya mempertimbangkan cara terbaik
berinteraksi dengan yang Lain dan lainnya dan apa yang dipertaruhkan.

Dalam wawancara dengan Geoffrey Bennington tahun 1997, Derrida merangkum


"kosmpolitanisme" seperti ini:

Ada tradisi kosmopolitanisme, dan jika kita punya waktu, kita bisa mempelajari tradisi ini yang datang dari
pemikiran Yunani bersama kaum Stoik yang memiliki konsep 'warga dunia'. Kalian juga punya St. Paul dalam
tradisi Kristen serta penyamaan warga dunia sebagai saudara. St. Paul mengatakan bahwa kita semua
bersaudara, sama-sama anak Tuhan, jadi kita bukanlah orang asing, kita merupakan warga dunia; dan tradisi
inilah yang bisa kita terapkan sampai Kant muncul; di dalam konsep kosmpolitanismenya, kita menemukan
syarat keramahan. Namun dlama konsep kosmpolitik Kant, ada beberapa syarat: pertama kamu tentu harus
menyambut orang asing, orang luar, sampai ia merasa seperti warga negara lain, sampai kammu memberinya
hak berkunjung dan bukan hak tinggal, dan ada beberapa syarat lain yang tidak bisa saya rangkum di sini
dengan cepat, tetapi konsep kosmopolitik yang sangat baru dan patut dihargai (menurutku kosmopolitanisme
adalah hal yang sangat bagus) ini adalah konsep yang sangat terbatas.
Keadaan kosmpolitanisme terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Sebagai tanggapan atas Holocaust
dan pembantaian lainnya, konsep kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kategori hukum
internasional yang diterima secara umum. Ini jelas-jelas menunjukkan kemunculan dan
penerimaan ide tanggung jawab individu yang dianggap ada di dalam diri seluruh manusia.[10]

Kosmopolitan filosofis adalah universalis moral. Mereka percaya bahwa semua manusia, bukan
saja rekan seperjuangan atau sesama warga negara, berasal dari standar modal yang sama. Batas
antara bangsa, negara, budaya, dan masyarakat menjadi tidak relevan secara moral. Salah satu
kosmopolitan kontemporer yang sering dikutip adalah Kwame Anthony Appiah.[11]

Sejumlah filsuf dan pakar berpendapat bahwa kondisi objektif dan subjektif yang mulai muncul
dalam sejarah modern, fase peradaban keplanetan, menciptakan potensi laten penentuan identitas
kosmopolitan sebagai warga global dan kemungkinan terbentuknya gerakan warga global.[12]
Kondisi objektif dan subjektif baru dalam fase keplanetan ini meliputi telekomunikasi mutakhir
dan terjangkau; perjalanan luar angkasa dan foto-foto pertama yang menunjukkan planet rapuh
kita mengambang di tengah luasnya jagat raya; teori pemanasan global dan ancaman ekologi lain
terhadap keberadaan manusia secara kolektif; institusi global baru seperti Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, atau Mahkamah Internasional; berdirinya perusahaan
transnasional dan integrasi pasar yang sering disebut globalisasi ekonomi; kemunculan lembaga
swadaya masyarakat global dan gerakan sosial transnasional seperti World Social Forum; dan
lain-lain. Globalisasi, istilah yang lebih lazim, lebih mengacu pada hubungan ekonomi dan
perdagangan dan tidak membahas transisi budaya, sosial, politik, lingkungan, demografi, nilai,
dan pengetahuan yang sedang terjadi.
Kota Jakarta Naik Pangkat dari Metropolitan Menjadi
Kosmopolitan

Kota Jakarta Naik Pangkat dari Metropolitan Menjadi Kosmopolitan 15 Juni 2013 07:21:11
Diperbarui: 24 Juni 2015 12:00:13 Dibaca : 561 Komentar : 3 Nilai : 2 Durasi Baca : 1 menit
Bekerja dan bernafas di Jakarta memang perlu perjuangan keras. Hidup diantara hiruk pikuk
kumulasi segala macam persoalan Indonesia awak rasakan selama 30 tahun bermukim di
ibukota. Pada awal masuk Jakarta, kota ini masih lengang. Tahun 1980 an masih leluasa
berkendara di Jakarta. Namun lambat laun urbanisasi menggejolak. Pertumbuhan ibukota menari
bagi perantau dari luar pulau Jawa, mereka 'bak laron laron yang mengejar lampu. Jakarta
menjadi serbuan pencari kerja. Jakarta menjadi pilihan utama untuk mengadu nasib. Yes kota ini
mulai meranjak naik kelas menjadi kota metropolitan. Jakarta mulai terasa sesak ketika tahun 90
an menjelang.Di jalan Gatot Subroto seingat awak hanya ada 2 gedung tinggi. Gedung itu adalah
YTKI dan Patra Jasa. Kemudian di bunderan HI , Hotel Indonesia berdiri megah tanpa pesaing.
Sobat, kini lihatlah bangunan gedung berlomba menjulang kelangit. Jalan Thamrin, Sudirman
dan Gatot Subroto sepertinya menjadi hutan beton. Belum lagi Jalan Rasuna Said yang dulunya
belum ada. Kawasan kuningan ini menjadi kawasan elite pusat perkantoran bergengsi. Kelapa
Gading apalagi kawasan yang tadinya rawa menjelma menjadi kota baru, demikian pula dengan
pertumbuhan pemukiman yang mengepung Jakarta. Pola hidup masyarakat Jakarta pun mulai
bergeser ke gaya hidup hedonisme. Kesibukan dan kemacetan Jakarta memaksa warga untuk
mendekati tempat kerjanya dengan cara tinggal di apartemen. Yes, pola hidup metroplitan
dengan memilih mukim di Apartemen semakin populer dikalangan warga menengah atas.
Pertumbuhan apartemen bak jamur di musim hujan. Rumah rumah kumuh terpaksa di bongkar,
warga pemilik lahan pindah kepinggiran kota setelah mendapatkan ganti untung (rugi) yang
lumayan. Inilah evolusi pergeseran budaya. Kerukunan yang diwujudkan dalam gotong royong
menjadi barang aneh di kawasan perumahan mewah dahn apartemen. Warga tidak merasa perlu
lagi gotong royong, karena pemukimannya sudah bersih dan nyaman, artinya sudah dikelola oleh
cleaning servce dan jasa pertamanan.. Pertemuan antar warga menjadi lebih sedikit, kalupun ada
pertemuan itupun ketika bendera kuning berkibar disalah satu rumah warga yang berkabung.
Inilah gaya hidup metropolitan. Awak kuatir kepedulian sosial semakin menurun dan kerukunan
warga semakin sirna. Peran dari Pak Jokowi lah yang kita harapkan agar Jakarta menjadi kota
beradab, nyaman, aman dan tertib. Tentu dukungan segenap warga diperlukan agar program
program prioritas pembangunan lebih mengedepankan aspek pertumbuhan budaya tradisionil.
Jakarta boleh saja menjadi kota kosmopolitan setingkat di atas metopolitan, namun budaya
betawi sebagai tradisi pemilik tanah hendaknya jangan diabaikan

Anda mungkin juga menyukai