Anda di halaman 1dari 107

KEDUDUKAN KEMENAKAN PEREMPUAN SEBAGAI AHLI WARIS

PENGGANTI DAN PENERIMA WASIAT WAJIBAH MENURUT


HUKUM WARIS ISLAM DITINJAU DARI ASAS KEADILAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor
19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo. Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)

Tesis
Untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapat derajat S-2
Program Studi Magister Kenotariatan

Diajukan oleh
Sarah Lea Maisya Hamidah
19/448335/PHK/10844

Kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021

i
Tesis

KEDUDUKAN KEMENAKAN PEREMPUAN SEBAGAI AHLI WARIS


PENGGANTI DAN PENERIMA WASIAT WAJIBAH MENURUT
HUKUM WARIS ISLAM DITINJAU DARI ASAS KEADILAN
(Studi Kasus Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo.
Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)

Disusun oleh:
Sarah Lea Maisya Hamidah
19/448335/PHK/10844

telah disetujui oleh:

Pembimbing

Dr. Destri Budi Nugraheni, S.H., M.SI Tanggal 9 Juli 2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian

yang berjudul “Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris

Pengganti dan Penerima Wasiat Wajibah menurut Hukum Waris Islam ditinjau

dari Asas Keadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya

Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo. Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)”. Penelitian ini disusun dalam rangka penyusunan tesis

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh drajat S-2 pada Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dan doa dari

berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Bapak Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., selaku Rektor Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta;

2. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta

3. Dr. Destri Budi Nugraheni, S.H., M.SI., selaku Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selaku pembimbing

penulis dalam penysunan tesis ini, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan

ilmu pengetahuan kepada penulis selama menyusun dan menyelesaikan tesis ini;

iii
4. Bapak/Ibu dosen dan segenap Civitas Akademik Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat

serta membantu penulis selama proses studi Magister Kenotariatan ini;

5. Bapak Nandang Hassanudin S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Agama Ciamis

yang telah meluangkan waktunya sebagai narasumber dalam penelitian ini;

6. Bapak Dr. Sidik Tono M.Hum., selaku dosen Fakultas Ilmu Agama Islam

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang telah bersedia menjadi narasumber

dalam penelitian ini;

7. Kedua orang tua penulis, Rahmat Slamet dan Indah Nali Hati, yang selalu

memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya kepada penulis.

8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penyusunan

Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jauh dari kata

sempurna, namun semoga kekurangan yang ada dapat menjadi masukan bagi

penelitian yang akan dating. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan manfaat dan

berguna bagi semua pihak.

Yogyakarta, 7 Juli 2021

Sarah Lea Maisya Hamidah

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................v

INTISARI...............................................................................................................viii

ABSTRACT............................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1


B. Rumusan Masalah.......................................................................................9
C. Tujuan Penelitian........................................................................................10
D. Manfaat Penelitian......................................................................................14
E. Keaslian Penelitian.....................................................................................15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................17

A. Tinjauan tentang Hukum Kewarisan Islam................................................17


1. Sumber Hukum Waris Islam................................................................17
2. Unsur-Unsur Waris Islam.....................................................................25
3. Syarat Mewaris dalam Islam................................................................26
4. Asas-Asas Hukum Waris Islam............................................................27
5. Ahli Waris dan Bagiannya dalam Hukum Waris Islam........................31
B. Tinjauan tentang Ahli Waris Pengganti......................................................33
C. Tinjauan tentang Wasiat Wajibah...............................................................35
D. Teori Keadilan menurut Majid Khadduri...................................................36
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................41

v
A. Jenis dan Sifat Penelitian............................................................................41
B. Data Penelitian............................................................................................42
C. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................44
D. Subyek Penelitian.......................................................................................44
E. Alat Pengumpulan Data..............................................................................45
F. Jalan Penelitian...........................................................................................45
G. Analisis Hasil..............................................................................................47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................48

A. Perbedaan Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris


Pengganti dan sebagai Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari
Hukum Waris Islam di Indonesia...............................................................
1. Kedudukan Kemenakan Perempuan dalam Tinjauan Faraidh
(Fikih Waris Islam)...............................................................................
2. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris
Pengganti dan Penerima Wasiat Wajibah menurut KHI dan
Buku II Mahkamah Agung...................................................................
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Kemenakan
Perempuan Sebagai Ahli Waris Pengganti dalam Putusan
Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan
Penerima Wasiat Wajibah dalam Putusan Tinggi Agama Surabaya
Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby.................................................................
1. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan Putusan Pengadilan Agama Tinggi
Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby...........................................
2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jember Nomor
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr.........................................................................
3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Tinggi Surabaya
Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby...........................................................

vi
4. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Jember dan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.................................
C. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris Pengganti
dalam Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan Penerima Wasiat Wajibah dalam
Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby
ditinjau dari Asas Keadilan.........................................................................
1. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris
Pengganti dan Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari Asas
Keadilan menurut Majid Khadduri.......................................................
2. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris
Pengganti dan Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari Asas
Keadilan menurut Hazairin...................................................................
BAB V PENUTUP.................................................................................................93

A. Kesimpulan.................................................................................................93
B. Saran...........................................................................................................95
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................96

vii
KEDUDUKAN KEMENAKAN PEREMPUAN SEBAGAI AHLI WARIS
PENGGANTI DAN PENERIMA WASIAT WAJIBAH MENURUT
HUKUM WARIS ISLAM DITINJAU DARI ASAS KEADILAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor
19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo. Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)
Sarah Lea Maisya Hamidah1 dan Destri Budi Nugraheni2

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami kedudukan kemenakan perempuan


sebagai ahli waris pengganti dan penerima wasiat wajibah pada Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo. Putusan Pengadilan Agama Jember
Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr, serta mengkaji kedudukan kemenakan perempuan tersebut
ditinjau dari asas keadilan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Data yang digunakan berasal dari
data sekunder. Penggalian data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara
kepada beberapa narasumber. Setelah semua data tersebut terkumpul diolah dan dianalisis
dengan cara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan secara deskriptif dari
rumusan masalah yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa: kedudukan kemenakan


perempuan perspektif fiqih faraid adalah sebagai dzawil arham mendapat bagian seluruh
harta waris apabila tidak ada ahli waris dzawil furudh atau ashabah dan mendapat bagian sisa
setelah dibagikan kepada suami atau isteri. Menurut Hazairin kemenakan perempuan
berkedudukan sebagai mawali yang mendapat bagian sama dengan yang seharusnya diterima
orang tuanya. Menurut pasal 185 KHI kedudukan kemenakan perempuan adalah sebagai ahli
waris pengganti mendapat bagian yang seharusnya diterima orang tuanya dengan syarat tidak
boleh melebihi ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Menurut SEMA Nomor 3
Tahun 2015 kemenakan perempuan berkedudukan sebagai penerima wasiat wajibah yang
mendapat bagian maksimal 1/3 dari harta waris. Kedudukan kemenakan perempuan sebagai
ahli waris pengganti maupun penerima wasiat wajibah telah memenuhi asas keadilan karena
keduanya mendapat bagian, walaupun menurut penulis kemenakan perempuan sebagai ahli
waris pengganti dianggap lebih adil dibandingkan sebagai penerima wasiat wajibah.

Kata Kunci: Ahli Waris Pengganti, Wasiat Wajibah, Asas Keadilan

1
Jalan Tentara Pelajar No. 87 Tasikmalaya
2
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

viii
THE POSITION OF NIECE AS SUBSTITUTE HEIRS AND OBLIGATORY
TESTAMENT RECIPIENT ACCORDING TO ISLAMIC INHARITANCE
LAW IN TERMS OF JUSTICE PRINCIPLE
(Case Study of Religious High Court Decision Number 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby
jo Religious Court Decision Number 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)
Sarah Lea Maisya Hamidah3 dan Destri Budi Nugraheni4

ABSTRACT
The objective of this research is to understand the position of niece as substitute
heirs and obligatory testament recipient in case of Religious High Court Decision
Number 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo Religious Court Decision Number
5084/Pdt.G/2016/PA.Jr, and analyse about its position in terms of justice principle.
This research is normative legal research. The data used are secondary data. Data
mining was carried out by means of library research and interviews with some
informant. After the data was collected, it processed and analyzed in a qualitative
method. Then it concluded descriptively from the problem formulation.
Based on the result of this research, the author conclude that: the position of
niece in fiqh perspective is that as dzawil arham gets a share of the entire inheritance
if there is no dzawil furudh or ashabah and get the rest of inharitance after distributed
to the husband or wife. According to Hazairin, the niece is a mawali who gets the
same share as her parents should receive. According to Article 185 of the KHI, the
position of the niece is as a substitute heir who get the share that should be received
by her parents on the condition that it should not exceed the share of the heir that is
equal to the one being replaced. According to SEMA No. 3 of 2015 the niece is the
obligatory testament recipient who gets a maximum share of 1/3 of the inheritance.
The position of the niece as a substitute heir as well as the obligatory testament
recipient has fulfilled the principle of justice because both of them get a share,
although in author perspective niece as a substitute heir is considered fairer than an
obligatory testament recipient.
Keywords: Substitute Heirs, Obligatory Testament Recipient, Justice Principle

3
Jalan Tentara Pelajar No. 87 Tasikmalaya
4
The Master of Notary Public Program of Faculty of Law Gadjah Mada University

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses pewarisan merupakan suatu perpindahan kekayaan dari seseorang

yang telah meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Pewarisan

terjadi ketika seorang pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan ahli

waris dan sejumlah harta kekayaan5. Pada saat terjadinya proses pewarisan

tersebut, harta peninggalan seseorang dibagikan atau diberikan kepada ahli

warisnya yang berhak. Proses pewarisan berjalan mudah dan lancar apabila

seluruh ahli waris memahami ilmunya.

Setiap keluarga memiliki masalah yang berbeda-beda mengenai waris,

misalnya antara pewaris dan ahli waris berbeda agama, pewaris mengangkat

anak, atau keserakahan ahli waris yang ingin mendapat bagian paling besar

dengan cara menguasai sepihak objek peninggalan pewaris. Atas masalah-

masalah tersebut timbul pertanyaan siapa yang berhak atas harta waris, siapa

yang tidak berhak, dan berapa jumlah bagian yang didapatkan oleh masing-

masing ahli waris. Hal-hal tersebut menjadi sangat penting agar tidak

menimbulkan konflik atau sengketa di pengadilan.

Berdasarkan hasil rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan seluruh

Indonesia pada tahun 2011, perkara mengenai pembagian harta waris orang

5
J Satrio, 2014, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Purwokerto hlm. 8

1
yang beragama Islam diajukan ke Pengadilan Agama. Hal tersebut dikarenakan

menyelesaikan sengketa waris bagi orang yang beragama Islam merupakan

salah satu tugas dan kewenangan dari Pengadilan agama sesuai dengan

ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang

berisi bahwa pengadilan agama memiliki kewenangan dalam menyelesaikan

perkara waris bagi orang yang beragama Islam.6

Ahli waris dalam Islam dapat dikelompokan berdasarkan bagiannya, yaitu

ahli waris dzawil furudh (yang ditentukan bagiannya), ahli waris yang tidak

ditentukan bagiannya, dan ahli waris yang mendapatkan bagian sebagai ahli

waris pengganti.7 Ahli waris dzawil furudh adalah ahli waris yang bagiannya

telah ditentukan dan ditetapkan oleh syara yang tercantum dalam al-Quran.

Ahli waris golongan ini mendapat bagian yang tidak berkurang maupun

bertambah, kecuali apabila terdapat masalah radd atau aul. Bagian-bagian yang

telah ditentukan tersebut diantaranya ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Orang-orang

yang memiliki hubungan kekeluargaan sangat dekat dengan pewaris termasuk

ke dalam golongan ahli waris dzawil furudh. Seperti ayah, ibu, duda, janda,

anak perempuan, saudara laki-laki atau perempuan sekandung, seayah, maupun

seibu.8
6
Hasil Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia tentang
Pemecahan Permasalahan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama hlm. 10
7
Buku II Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013, Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama hlm. 174
8
Suparman Usman dan Yusuf Somawijaya, 1993, Dasar-Dasar Fiqih Mawaris, Saudara, Serang
hlm. 60

2
Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya atau ashabah adalah ahli

waris yang bagiannya tidak ditetapkan dalam Al-Quran tetapi bisa mendapat

semua harta atau sisa harta setelah harta dibagikan kepada ahli waris dzawil

furudh. Ahli waris yang termasuk dalam golongan ini adalah anak lai-laki dan

keturunannya, anak perempuan dan keturunannya apabila mewarisi bersama

anak laki-laki, saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak

meninggalkan keturunan dan ayah, kakek, nenek, paman dan bibi baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya. Terakhir, ahli waris yang

mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti, yaitu orang yang menggantikan

kedudukan ahli waris seharusnya dikarenakan ahli waris tersebut telah

meninggal terlebih dahulu. 9

Konsep ahli waris pengganti yang tertuang dalam pasal 185 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dulu

daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dengan syarat

bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan

yang diganti. Dalam buku II Mahkamah Agung edisi tahun 2006, 2010 dan

2013 juga menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dapat menjadi

ahli waris pengganti menggantikan orang tuanya yang telah meninggal terlebih

dahulu.

Sejak adanya SEMA Nomor 3 Tahun 2015, antara anak laki-laki dan anak

perempuan dari saudara kandung memiliki hak yang berbeda. Anak perempuan
9
Buku II Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013, loc.cit

3
dari saudara kandung tidak termasuk sebagai ahli waris pengganti, namun

menjadi penerima wasiat wajibah. Menurut SEMA Nomor 3 Tahun 2015

tersebut telah jelas diatur bahwa yang dapat menjadi ahli waris pengganti

hanyalah anak laki-laki dari saudara kandung, sedangkan anak perempuan dari

saudara kandung mendapatkan bagian wasiat wajibah, yaitu maksimal 1/3

(sepertiga) dari harta peninggalan pewaris.

Bagian untuk penerima wasiat wajibah diberikan terlebih dahulu sebelum

dibagikan kepada ahli waris lainnya, sehingga ahli waris menghitung bagian

dari sisa yang telah dikeluarkan untuk penerima wasiat wajibah sebesar

maksimal 1/3. Maka dari itu terdapat perbedaan bagian yang diterima oleh

kemenakan perempuan sebagai penerima wasiat wajibah dan kemenakan laki-

laki sebagai ahli waris pengganti. Hal tersebut terjadi karena bagian untuk

kemenakan perempuan sebagai penerima wasiat wajibah akan dikeluarkan

terlebih dahulu dari harta pewaris, sementara bagian untuk ahli waris pengganti

dibagikan dari sisa setelah harta diberikan terlebih dahulu kepada penerima

wasiat wajibah. Kemenakan laki-laki akan mendapatkan bagian yang sudah

pasti, sedangkan kemenakan perempuan masih belum pasti karena hanya

mengenal batas maksimal, tetapi walaupun bagian kemenakan laki-laki sudah

pasti, dimungkinkan mendapat bagian yang lebih sedikit daripada kemenakan

perempuan.

Penulis menemukan kasus mengenai kemenakan perempuan yang

menggantikan orang tuanya. Kasus tersebut berdasarkan putusan Pengadilan

4
Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby dan Putusan

Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr. Putusan tersebut

berisi tentang seorang kemenakan perempuan yang ingin mendapatkan hak

waris dari pamannya atas dasar menggantikan ibunya yang telah meninggal

dunia terlebih dahulu. Berdasarkan fakta yang ada, pewaris memang tidak

meninggalkan anak dan bapak, namun masih meninggalkan janda dan anak

angkat. Dalam putusan Pengadilan Agama tingkat pertama menempatkan

kemenakan perempuan tersebut sebagai ahli waris pengganti, namun pada

putusan Pengadilan Tinggi Agama menempatkan kemenakan perempuan

sebagai penerima wasiat wajibah. Adanya perbedaan hasil putusan tersebut

dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan berdampak pada keadilan.

Pada putusan pengadilan tingkat pertama menyatakan bahwa kemenakan

perempuan tersebut menjadi dzawil arham karena pewaris hanya meninggalkan

ahli waris dzawil furudh isteri saja, sehingga kemenakan perempuan mendapat

bagian dari sisa setelah diberikan kepada isteri dan anak angkat sebagai

penerima wasiat wajibah . Di sisi lain pada putusan Pengadilan Tinggi Agama

Surabaya menyatakan bahwa hakim menetapkan kemenakan perempuan

sebagai penerima wasiat wajibah. Maka dari itu kedudukan kemenakan

perempuan tersebut berubah, semula sebagai ahli waris pengganti dan mendapat

bagian sesuai dengan yang seharusnya diterima ibunya, menjadi hanya sebagai

penerima wasiat wajibah dengan bagian maksimal 1/3 dari harta peninggalan.

Di samping itu, pewaris meninggalkan seorang anak angkat yang merupakan

5
bagian dari penerima wasiat wajibah juga, sehingga 1/3 harta peninggalan

pewaris tersebut dibagi dua antara kemenakan perempuan dan anak angkat

sehingga masing-masing mendapatkan 1/6 bagian.10

Putusan pengadilan tingkat banding pada kasus tersebut, mendasarkan

pada SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dalam angka 9 yang menjelaskan bahwa ahli

waris pengganti hanya sampai derajat cucu. Apabila pewaris tidak mempunyai

anak tetapi mempunyai saudara kandung yang meninggal terlebih dahulu, maka

anak laki-laki dari saudara kandung dapat menjadi ahli waris, sedangkan anak

perempuan dari saudara kandung hanya sebagai penerima wasiat wajibah.11

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa semula bagian yang

diterima oleh kemenakan laki-laki dan kemenakan perempuan adalah sama,

karena menurut Kompilasi Hukum Islam keduanya ditempatkan sebagai ahli

waris pengganti. Kemudian menjadi berbeda sejak adanya SEMA Nomor 3

tahun 2015 yang menyatakan bahwa kemenakan perempuan tidak lagi

dikategorikan sebagai ahli waris pengganti, melainkan hanya sebagai penerima

wasiat wajibah. Hal tersebut berdampak pada jumlah bagian yang akan diterima

oleh kemenakan perempuan, karena ketika dikategorikan sebagai ahli waris

pengganti akan mendapat jumlah bagian yang sudah pasti dibandingkan ketika

10
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby
11
SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dalam Runusan Kamar Agama angka 9 yang berbunyi “Menurut
hasil Rakernas 2010 di Balikpapan telah dirumuskan bahwa waris pengganti hanya sampai dengan
derajat cucu, jika pewaris tidak memunyai anak tetapi punya saudara kandung yang meninggal terlebih
dahulu, maka anak laki-laki dari saudara kandung sebagai ahli waris, sedangkan anak perempuan dari
saudara kandung diberikan bagian dengan wasiat wajibah

6
menjadi penerima wasiat wajibah, sehingga menarik untuk dikaji dari sisi asas

keadilan.

Penulis akan menggunakan teori keadilan dari Majid Khadduri dan

keadilan menurut Hazairin dalam menganalisis perbedaan jumlah bagian yang

diterima kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti dan sebagai

penerima wasiat wajibah. Teori keadilan dari Majid Khadduri dipilih untuk

menganalisis kedudukan kemenakan sebagai ahli waris pengganti dan penerima

wasiat wajibah dalam perspektif Islam. Sedangkan konsep keadilan Hazairin

dipilih karena secara spesifik menguraikan tentang keadilan hukum waris Islam

bilateral di Indonesia yang berkaitan dengan mawali.

Ketentuan dalam SEMA Nomor 3 kontradiktif dengan isi pasal 185

Kompilasi Hukum Islam tentang ahli waris pengganti, dimana menurut

Kompilasi Hukum Islam bagian yang diterima ahli waris pengganti adalah

sebesar bagian yang seharusnya diterima orang tuanya dan mendasarkan pada

ketentuan bagian hukum waris Islam yaitu 2:1, bagian laki-laki dua kali lipat

dibanding bagian perempuan. Maka dari itu, tidak adanya kepastian menganai

bagian kemenakan perempuan dibandingkan kemenakan laki-laki sejak adanya

SEMA Nomor 3 Tahun 2015. Asas keadilan dalam hukum waris Islam bukan

dilihat dari persamaan tingkatan ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan beban

atau tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing individu. Khadduri

tidak secara khusus membahas tentang masalah waris Islam, tetapi Khadduri

memiliki landasan berpikir tentang teori mashlahah dan adat istiadat dalam

7
menentukan hukum yang berkeadilan. Khadduri menganggap bahwa masalah

bagian yang diterima perempuan maupun laki-laki dalam hukum waris Islam

adalah bersifat dinamis, yang berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan

adat istiadat. Jadi menurut teori keadilan dari Khadduri, konsep bagian

kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti atau sebagai penerima

wasiat wajibah harus dilihat pada suatu keadaan dalam waktu dan tempat

tertentu, sehingga tercapai kemaslahatan.12

Melihat pada kedua putusan tersebut di atas, menempatkan kemenakan

perempuan sebagai penerima wasiat wajibah dan sebagai ahli waris pengganti

memiliki perbedaan akibat hukumnya, salah satunya terkait dengan bagian yang

akan diperoleh. Ketika menjadi penerima wasiat wajibah akan menerima

maksimal 1/3 dari harta warisan yang telah dikeluarkan terlebih dahulu, dan

ketika sebagai ahli waris pengganti akan menerima bagian yang seharusnya

diterima orang tuanya, setelah dikeluarkan untuk wasiat wajibah. Konsekuensi

lain ketika kemenakan perempuan menjadi penerima wasiat wajibah, apabila

ada penerima wasiat wajibah lain, maka bagiannya harus dibagi antara seluruh

penerima wasiat wajibah yang ada dan menjadikan bagiannya semakin

berkurang. Maka dari itu, berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas,

penulis bermaksud untuk mengkaji dan melakukan penelitian lebih dalam lagi

tentang “Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris

Pengganti dan Penerima Wasiat Wajibah menurut Hukum Waris Islam


12
Majid Khadduri Teologi Keadilan Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1999) hlm 10

8
ditinjau dari Asas Keadilan (Studi Kasus Putusan Tinggi Agama Surabaya

Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby jo. Putusan Pengadilan Agama Jember

Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang disampaikan di atas, dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan kedudukan kemenakan perempuan sebagai Ahli

Waris pengganti dan sebagai penerima wasiat wajibah ditinjau dari

hukum waris Islam di Indonesia?

2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus bagian kemenakan

perempuan sebagai ahli waris pengganti dalam Putusan Pengadilan

Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan penerima wasiat

wajibah dalam Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor

19/Pdt.G/2018/PTA.Sby telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?

3. Bagaimana kedudukan kemenakan perempuan sebagai ahli waris

pengganti dalam Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan penerima wasiat wajibah dalam Putusan

Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby ditinjau dari

asas keadilan?

C. Keaslian Penelitian

9
Sejauh yang penulis amati, belum ada penelitian yang mengangkat

tentang kedudukan kemenakan sebagai ahli waris pengganti dan penerima

wasiat wajibah berdasarkan asas keadilan. Terdapat beberapa penelitian yang

berkaitan dengan penelitian yang penulis kaji diantaranya adalah sebagai

berikut.

Penelitian pertama ditulis oleh Ika Febriasari dan Afdol, dengan judul

“Kedudukan Kemenakan sebagai Ahli Waris Pengganti dalam Sengketa

melawan Anak Angkat Penerima Wasiat Wajibah” dalam jurnal Al-Adl Vol. X

Nomor 1 Tahun 201813. Rumusan masalah dalam penelitian tersebut adalah

bagaimana kedudukan hak waris kemenakan sebagai ahli waris pengganti dan

hak waris anak angkat penerima wasiat wajibah yang sesuai dengan hukum

waris Islam. Dalam penelitian tersebut menjelaskan mengenai bagian anak

angkat adalah sebagai penerima wasiat wajibah yaitu sebesar maksimal 1/3

(sepertiga) dari total harta peninggalan, sedangkan bagian kemenakan

disesuaikan menurut beberapa kondisi. Apabila ahli waris yang digantikan

adalah saudara perempuan maka yang menjadi bagian dari kemenakan adalah

½. Selanjutnya apabila ahli waris yang digantikan adalah saudara laki-laki dari

pewaris, maka kemenakan perempuan mendapat bagian ½ jika mewaris sendiri

dan 2/3 apabila mewaris bersama dengan saudara perempuan lainnya. Apabila

ahli waris yang digantikan adalah saudara laki-laki pewaris maka kedudukan

13
Ika Febisari, “Afdol Kedudukan Keponakan Sebagai Ahli Waris Pengganti dalam Sengketa
melawan Anak Angkat Penerima Wasiat Wajibah”, Jurnal Al’Adl Vol. X Nomor 1 Tahun 2018

10
kemenakan yang menjadi ahli waris pengganti adalah kemenakan laki-laki yang

mendapat bagian ashabah. Terakhir, apabila ahli waris yang digantikan adalah

saudara laki laki dan yang menggantikan adalah kemenakan laki-laki bersama

saudara perempuannya, maka bagiannya ada 2:1. Dapat disimpulkan bahwa

apabila kemenakan mewaris bersama anak angkat dan kemenakan tersebut

merupakan perempuan maka masih akan ada sisa bagian waris yang belum

dibagikan. Sisa bagian tersebut dapat dibagi lagi dengan menggunakan

perhitungan aul dan rad.

Subjek penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis kaji memiliki

persamaan, yaitu kemenakan yang mendapat bagian hak waris sebagai orang

yang menggantikan orang tuanya yang meninggal terlebih dahulu.

Perbedaannya adalah dalam penelitian tersebut lebih menekankan pada

pembagian waris untuk kemenakan apabila bersama-sama dengan anak angkat,

sedangkan pada penelitian penulis lebih menekankan pada bagian untuk

kemenakan antara sebagai ahli waris pengganti dan sebagai penerima wasiat

wajibah. Menurut pandangan penulis, dengan mendasarkan pada SEMA tahun

2015, kemenakan perempuan hanya mendapat bagian sebagai penerima wasiat

wajibah saja sehingga bagian untuk kemenakan perempuan dan anak angkat

totalnya adalah maksimal 1/3 bagian saja. Selanjutnya penulis mengkaji juga

dari aspek keadilan dengan menggunakan salah satu teori keadilan dari Majid

Khadduri mengenai bagian untuk kemenakan perempuan sebagai penerima

wasiat wajibah telah dianggap adil atau tidak.

11
Penelitian kedua ditulis oleh Samsul Hadi yang berjudul “Pembatasan

Wasiat sebagai Bentuk Keadilan dalam Hukum Islam” dalam Jurnal Al-Ahwal

Volume 9 Nomor 2 Desember 2016.14 Penelitian tersebut menjelaskan bahwa

penerima wasiat hanya akan mendapat masimal 1/3 harta peninggalan, karena

berdasarkan teori maqasid syariah yang mana tujuan hukum adalah untuk

mewujudkan kemaslahatan, ketentuan 1/3 tersebut untuk memberikan

kesempatan kepada para ahli waris untuk tetap mendapat bagian harta warisan

yang besar karena ahli waris adalah anggota keluarga paling dekat.

Penelitian tersebut sedikit berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan

penulis dalam hal fokus utama penelitiannya, dalam penelitian tersebut lebih

berfokus pada wasiat pada umumnya, yang mana bagian untuk penerima wasiat

tidak sebesar bagian yang didapatkan ahli waris, dan dari situ dianalisis dari

aspek keadilannya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah

mengenai seseorang yang menerima wasiat wajibah karena tidak termasuk

kategori sebagai ahli waris pengganti walaupun statusnya masih keluarga dari

pewaris. Bagian wasiat wajibah sama dengan bagian penerima wasiat yaitu 1/3,

pada dasarnya lebih sedikit dari apa yang diterima oleh ahli waris, sehingga

timbul pertanyaan apakah hal tersebut adalah sudah sesuai dengan asas keadilan

atau belum.

14
Samsul Hadi, “Pembatasan Wasiat sebagai Bentuk Keadilan Hukum Islam”, Al-Ahwal Vol. 9
Nomor 2 Tahun 2016

12
Penelitian ketiga ditulis oleh Eko Setiawan yang berjudul “Penerapan

Wasiat Wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Kajian Normatif

Yuridis” dalam Jurnal Muslim Heritage Vol. 1 Nomor 2 Tahun 2017. 15

Penelitian tersebut menjelaskan mengenai wasiat wajibah yang merupakan

suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak

memperoleh bagian bagian harta waris karena adanya suatu halangan. Menurut

Kompilasi Hukum indonesia, wasiat wajibah di Indonesia memiliki ketentuan

tersendiri, yaitu hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Jadi

dalam penelitian tersebut hanya hanya anak angkat saja yang berhak atas wasiat

wajibah seperti yang tertuang dalam KHI. Pada realitanya, wasiat wajibah dapat

juga diberikan kepada orang yang beragama non muslim, atau bahkan kepada

saudara jauh dari pewaris.

Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan

oleh penulis adalah penulis menggunakan subjek yang lebih spesifik, yaitu

mengkaji mengenai wasiat wajibah yang akan diberikan kepada kemenakan,

yang bersama-sama dengan anak angkat. Dalam hal ini antara kemenakan

perempuan dan kemenakan laki-laki laki mendapat perbedaan perlakukan,

karena hanya kemenakan perempuan yang menerima wasiat wajibah sementara

kemenakan laki-laki mendapat bagian sebagai ahli waris yang kemungkinan

besar mendapatkan bagian yang lebih banyak.

15
Eko Setiawan, “Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi hukum Islam dalam Kajian
Normatif Yuridis” Muslim Heritage Vol.1 Nomor 2 Tahun 2017

13
Penelitian keempat ditulis oleh Bambang Kuswanto yang berjudul

“Implementasi Wasiat Wajibah terhadap Anak Angkat Perspektif Teori

Keadilan John Rawls (Studi Perkara Pengadilan Agama Kabupaten Malang

Nomor 0915/Pdt.G/2015/PA/Kab/Mlg) dalam Tesis Pascasarjana Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian tersebut menjelaskan

tentang masalah wasiat wajibah bagi anak angkat dalam suatu putusan yang

ditinjau dari teori keadilan. Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan

bahwa anak angkat mempunyai hak untuk menggugat waris, dan menurut

perspektif teori keadilan John Rawls dalam putusan tersebut anak angkat

sebagai penggugat merasa disishkan karena tidak dianggap berhak menerima

harta warisan peninggalan orang tua angkatnya karena sudah cukup mendapat

kasih sayang dari orang tua angkat selama pewaris masih hidup.

Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian penulis dalam hal subjek

dan teori keadilan yang digunakan. Penelitian penulis berfokus pada bagian

yang diterima oleh kemenakan walaupun mewaris bersama anak angkat, dan

teori keadilan yang digunakan adalah dengan mengacu pada teori keadilan

Majid Khadduri, salah satu tokoh Islam yang mengkaji keadilan dalam

perspektif Islam.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah:

14
1. Untuk mengkaji perbedaan kedudukan kemenakan perempuan

sebagai Ahli Waris pengganti dan sebagai penerima wasiat wajibah

ditinjau dari hukum waris Islam di Indonesia.

2. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam memutus

bagian kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti dalam

Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

dan penerima wasiat wajibah dalam Putusan Pengadilan Agama

Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr telah sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

3. Untuk mengkaji kedudukan kemenakan perempuan sebagai ahli

waris pengganti dalam Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan penerima wasiat wajibah dalam Putusan

Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby ditinjau

dari asas keadilan.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan diatas, diharapkan

hasil dari penelitian ini dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun

praktis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti lain. Terutama

dalam hal kedudukan ahli waris pengganti dan penerima wasiat

15
wajibah bagi kemenakan, serta analisis tentang teori dan asas

keadilan terhadap hal tersebut.

2. Manfaat Praktis

Seseorang yang menjadi ahli waris dapat menggunakan hasil

dari penelitian ini untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan

pembahasan dalam penelitian ini. Terutama dalam hal bagian yang

akan diterima oleh masing-masing ahli waris agar tercipta keadilan

dan kemaslahatan.

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Hukum Kewarisan Islam

1. Sumber Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam bersumber pada Al-Quran, Hadist, dan Ijtihad para

ulama.

a. Al-Quran

Terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang menjelaskan mengenai

pembagian harta warisan, diantaranya adalah:

1) Q.S An-Nisaa’ ayat 1, yang menyebutkan “Wahai manusia!

Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari

diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya Hawa)

dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan

laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah

yang dengan nama-Nya kamu saling meminta. Dan (peliharalah)

hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasimu”. 16

2) Q.S An-Nisaa’ ayat 7, yang menyebutkan “Bagi laki-laki ada hak

bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan

16
Kementerian Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, Surat An-Nisa ayat 1,
(Bogor: Halim Publishing) hlm. 77

17
bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan dan

kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan.” 17

3) Q.S An-Nisaa’ ayat 11, yang menyebutkan “Allah mensyariatkan

(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-

anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian

dua orang anak perempuan. dan jika anak itu semuanya perempuan

yang jumlahnya lebih dari dua maka bagian mereka dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja

maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan

untuk kedua ibu-bapak bagian masing-masing seperenam dari harta

yang ditinggalkan jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika

dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh

kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika

dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas)

setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibiayar)

utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak

mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya

17
Kementerian Agama RI, op.cit, Surat An-Nisa ayat 7, (Bogor: Halim Publishing) hlm. 78

18
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha

Mengetahui, Mahabijaksana.” 18

4) Q.S An-Nisaa’ ayat 12, yang menyebutkan “dan bagianmu (suami-

suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu

jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu

mempunyai anak maka kamu mendapat seperemmpat dari harta

yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat

atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh

seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak

mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri

memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah

dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-

utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan

anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu) atau seorang

saudara perempuan (seibu), maka bagian masing-masing dari kedua

jenis saudara itu seperenam harta. Jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang maka mereka bersama-sama dalam bagian yang

sepertiga itu, setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan

setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli

18
Kementerian Agama RI, op.cit, Surat An-Nisa ayat 7, (Bogor: Halim Publishing) hlm. 78

19
waris). Demikianlah ketentuan Allah, Allah maha Mengetahui,

maha Penyantun.“19

b. Hadits

Selain bersumber pada Al-Quran, mengenai hukum waris Islam ini juga

dapat berasal dari Hadits atau sunnah Rasul, salah satunya adalah Hadist

Riwayat Bukhori dan Muslim menerangkan bahwa ahli waris laki-laki yang

lebih dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan setelah

diambil bagian ahli waris yang memiliki bagian tertentu.20

c. Ijtihad Ulama

Ijtihad ulama ini diperlukan ketika ada suatu masalah mengenai waris

yang belum diatur dalam al-Quran dan Hadist. Misalnya mengenai bagian

waris untuk ahli waris dzawil arham. Terdapat beberapa ulama yang

menginterpretasikan mengenai dapat atau tidaknya ahli waris dzawil arham

mendapatkan waris. Sehingga muncul beberapa pendapat utana baik yang

memperbolehkan ataupun tidak memperbolehkan ahli waris dzawil arham

mendapatkan waris.21

d. Kompilasi Hukum Islam

Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam

pasal 171 sampai pasal 214 yang terdiri dari 6 bab, yaitu:
19
Kementerian Agama RI, op.cit, Surat An-Nisa ayat 7, (Bogor: Halim Publishing) hlm. 79
20
Ahmad Azhar Basyir, op.cit. hlm. 9
21
Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hlm. 10

20
1) Ketentuan Umum

Dalam ketentuan Pasal 171, yang dimaksud dengan:22

a) Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing.

b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan

beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta

peninggalan.

c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris.

d) Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama

sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),

pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

e) Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada

orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris

meninggal dunia.
22
Kompilasi Hukum Islam Tentang Kewarisan pasal 171

21
f) Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa

imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang masih hidup

untuk dimiliki.

g) Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk

hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih

tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.

h) Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan

2) Ahli Waris

Yang dapat menjadi ahli waris dalam hukum kewarisan Islam

harus beragama Islam yang diketahui berdasarkan kartu identitas,

pengakuan, amalan, atau kesaksian orang disekitarnya. Sementara itu,

untuk bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, agamanya

ditentukan sama dengan agama ayahnya atau lingkungannya.23

Seseorang dapat terhalang menjadi ahli waris apabila dengan

putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

dihukum karena:24

a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh

atau menganiaya berat para pewaris;

23
Kompilasi Hukum Islam Pasal 172
24
Kompilasi Hukum Islam Pasal 173

22
b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan

pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan

yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau

hukuman yang lebih berat.

Ahli waris dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Menurut hubungan darah, yaitu golongan laki-laki yang

terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan

kakek, serta golongan perempuan yang terdiri dari ibu, anak

perempuan, dan saudara perempuan dari nenek.

2. Menurut hubungan perkawinan yaitu duda atau janda.

Apabila semua ahli waris tersebut ada, maka yang berhak

mendapat waris hanya anak, ayah, ibu, dan janda atau duda.25

Sebelum dilakukan pembagian harta waris, ahli waris memiliki

kewajiban untuk mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman

jenazah selesai, menyelesaikan baik hutang-hutang berupa

pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun hutang

piutang, menyelesaikan wasiat pewaris dan membagi harta warisan di

antara ahli waris yang berhak. Di sampung itu, ahli waris memiliki

tanggung jawab terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya

terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.26

25
Kompilasi Hukum Islam Pasal 174
26
Kompilasi Hukum Islam Pasal 175

23
3) Besarnya Bahagian

Pasal 176 sampai Pasal 183 mengatur tentang besar bagian yang

akan diperoleh oleh masing-masing ahli waris. Pada dasarnya ahli

waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian

harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.27

Terhadap ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu

melaksanakan hak dan kewajibannya, maka harus diangkat wali

berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.28

Sementara itu anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya.


29

4) Aul dan Rad

Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli

warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih

besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai

dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi

secara aul menutu angka pembilang.30 Sementara itu, apabila

pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud

menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka

27
Kompilasi Hukum Islam Pasal 183
28
Kompilasi Hukum Islam Pasal 184
29
Kompilasi Hukum Islam Pasal 186
30
Kompilasi Hukum Islam Pasal 192

24
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian

harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak

masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara

mereka.31

5) Wasiat

Pasal 194 sampai dengan pasal 208 menjelaskan tentang syarat-

syarat dan tata cara melakukan wasiat. Wasiat tersebut adalah

penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain

yang berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Sementara itu,

dalam pasal 209 menjelaskan mengenai wasiat wajibah terhadap anak

angkat dan orang tua angkat apabila tidak menerima wasiat dari

pewaris. besarnya wasiat wajibah tersebut adalah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta wasiat pewaris.32

6) Hibah

Pasal 210 sampai dengan pasal 214 menjelaslkan tentang syarat-

syarat dan tata cara melakukan hibah. Hibah dalam Islam merukan

suatu akad atau perjanjian tentang pemindahan milik pewaris kepada

ahli waris di waktu ia masih hidup, tanpa perlu menunggu pewaris

meninggal terlebih dahulu.33

2. Unsur-Unsur Waris Islam


31
Kompilasi Hukum Islam Pasal 193
32
Kompilasi Hukum Islam Pasal 194-209
33
Kompilasi Hukum Islam Pasal 210-214

25
Terdapat tiga unsur dalam hukum waris islam, yaitu:

a. Pewaris adalah orang yang meninggal dengan meninggalkan harta

warisan dan ahli waris yang masih hidup.

b. Harta Warisan adalah suatu harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal (pewaris).

c. Ahli Waris adalah orang yang mendapat warisan karena memiliki

hubungan kekeluargaan maupun perkawinan dengan pewaris.34

3. Syarat Mewaris dalam Islam

Terdapat beberapa yang syarat yang menimbulkan hak mewaris dalam

Islam, diantaranya adalah:

a. Pewaris telah meninggal dunia atau orang yang telah dinyatakan

meninggal oleh keputusan hakim.

b. Ahli waris sebenar-benarnya masih hidup ketika pewaris meninggal.

Maka jika ada dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama

lain lalu meninggal secara bersama-sama atau berturut-turut, tetapi

tidak dapat diketahui siapa yang mati terlebih dahulu, maka diantara

mereka tidak terjadi waris mewaris.

c. Benar-benar telah diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris,

seperti telah diketahui siapa saja ahli waris yang berhaw mewaris.

34
Zainuddin Ali, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinargrafika, Jakarta, hlm 2

26
d. Tidak ada penghalang warisan, seperti halnya perbedaan agama antara

ahli waris dengan pewaris, membunuh, ataupun menjadi budak orang

lain.35

4. Asas-Asas Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam memiliki beberapa asas yang memperlihatkan

karakteristik dari hukum waris Islam tersebut, diantaranya:

a. Asas Ijbari

Pengertian dari asas ijbari dalam huku waris Islam ini adalah peralihan

harta seseorang yang meninggal dunia yang diberikan untuk ahli warisnya

beraku secara otomatis menurut ketetapan Allah tanpa harus digantungkan

atas kehendak pewaris atau ahli waris. Jadi maksud dari ijbari disini

mengandung arti paksaan bahwa peralihan harta pasti akan terjadi dengan

sendirinya sesuai dengan kehendak Allah SWT tanpa perlu adanya

permintaan dari ahli waris terlebih dahulu.36

b. Asas Bilateral

Pengertian dari asas bilateral dalam hukum waris Islam adalah bahwa

harta warisan akan beralih dari pewaris kepada ahli warisnya melalui dua

arah. Setiap orang menerima hak waris dari dua garis kerabat, yaitu kerabat

keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan.37

35
Ahmad Rafiq, 1993, Fiqh Mawaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20
36
Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 23
37
Rahmat Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sitra Aditya Bakti,
Jakarta, hlm. 5

27
Asas ini tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi

keahliwarisan. Sehingga dalam hukum waris Islam di Indonesia tidak

mengenal adanya kerabat dzawil arham. Asas ini didasarkan atas:

1) Pasal 174 KHI tidak membedakan antara kakek, nenek dan paman

baik dari pihak ayah atau ibu

2) Pasal 185 KHI mengatur ahli waris pengganti. Baik cucu dari anak

perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak

perempuan/anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak

ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi, kesemuanya

adalah ahli waris pengganti.38

c. Asas Individual

Maksud dari asas individual dalam hukum waris Islam disi adalah

bahwa harta warisan dapat dibagikan kepada masing-masing ahli waris

untuk dimiliki secara perorangan. Jadi dalam pelaksanaannya ahli waris

akan menerima bagiannya sendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.

Seluruh harta warisan yang telah dikonversikan dalam suatu niai tertentu,

dan jumlah tersebut akan dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak

menerimanya menurut jumlah bagian yang berhak didapatkan untuk

masing-masing ahli waris.39

d. Asas Keadilan Berimbang

38
Buku II Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013, Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama hlm. 171
39
Muhibbin dan Abdul Wahid, op.cit. hlm 28

28
Maksud dari keadilan dalam masalah kewarisan Islam berarti antara

hak dan kewajiban dengan yang diperoleh berdasarkan atas keperluan dan

kegunaannya. Misalnya saja, perempuan sama halnya dengan laki-laki

berhak mendapatkan hak waris yang sama kuat.40 Adanya perbandingan

bagian laki-laki dengan bagian perempuan, yaitu 2:1, adalah karena

kewajiban laki-laki dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga

berbeda.

Laki-laki merupakan kepala rumah tangga yang dibebankan kewajiban

untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya, sedangkan isteri dianggap

sebagai ibu rumah tangga yang tidak mempunyai kewajiban menafkahi

anggota keluarganya kecuali terhadap anak apabila suami tidak memiliki

kemampuan untuk itu.41

e. Asas Waris karena Kematian

Proses mewaris saat terjadinya peralihan hak baik materiil maupun

immateriil dari seseorang kepada ahli warisnya mulai berlaku setelah orang

tersebut meninggal dunia.42

f. Asas Hubungan Darah

Hubungan darah disini dapat terjadi akibat adanya perkawinan sah,

perkawinan subhat dan atas pengakuan anak.43

40
Dawud Ali, 1998, Hukum Islam, Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja
Grafindo, Jakarta, hlm. 43
41
Muhibbin dan Abdul Wahid, op.cit. hlm 29
42
Buku II Mahkamah Agung, 2013, hlm. 172
43
Ibid

29
g. Asas Wasiat Wajibah

Wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merujuk pada

anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat

terhadap harta masing-masing. Apabila ayah angkat kepada anak angkat

atau sebaliknya tidak memberi wasiat pada saat meninggal dunia, maka

ayah angkat dan/atay anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh

pengadilan Agama secara ex officio maksimal 1/3 bagian dari harta

warisan.44

h. Asas Egaliter

Maksud dari egaliter disini adalah adanya kerabat karena hubungan

darah yang memiliki agama berbeda dengan pewaris akan mendapat wasiat

wajibah dengan bagian maksimal 1/3 dari harta warisan, dan tidak boleh

melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya.45

i. Asas Retroaktif Terbatas

Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku surut adalah ketika harta

warisan telah dibagi secara riil sebelum KHI diberlakukan, maka keluarga

yang mempunyai hubungan darah karena ahli waris pengganti tidak dapat

mengajukan gugatan waris. Jika harta warisan belum dibagi secara riil,

walaupun pewaris meninggal sebelum KHI lahir, maka dengan sendirinya

KHI dapat berlaku surut.46


44
Buku II Mahkamah Agung, 2013, hlm 173
45
Ibid
46
Ibid

30
5. Ahli Waris dan Bagiannya dalam Hukum Waris Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengelompokkan ahli waris dari segi bagian

yang diterima menjadi tiga kelompok, diantaranya:

a. Dzawil Furudh (yang telah ditentukan bagiannya)47

1) Ayah mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan apabila pewaris

meninggalkan anak. Tetapi akan mendapat ashabah bila pewaris

tidak meninggalkan anak (Pasal 177 KHI)

2) Ibu mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan apabila pewaris

memiliki anak atau pewaris memiliki dua orang saudara atau lebih

baik itu sekandung, seayah, maupun seibu. Dan akan mendapatkan

bagian 1/3 apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau pewaris

meninggalkan satu orang saudara.

3) Duda mendapatkan bagian ½ dari harta warisan apabila pewaris

tidak meninggalkan anak dan mendapat bagian ¼ apabila pewaris

meninggalkan anak.

4) Janda mendapatkan bagian ¼ dari harta warisan apabila pewaris

tidak meninggalkan anak dan mendapatkan bagian 1/8 apabila

pewaris meninggalkan anak.

5) Seorang saudara laki-laki atau perempuan baik sekandung, seayah,

atau seibu mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan apabila

pewaris memiliki dua orang saudara atau lebih (sekandung, seayah,


47
Buku II Mahkamah Agung, 2013, hlm. 173

31
atau seibu). Dan mendapat bagian 1/3 apabila saudara tersebut

mewaris bersama dengan ibu pewaris.

6) Seorang saudara perempuan baik sekandung, seayah, maupun seibu

mendapatkan bagian ½ dari harta warisan, dua orang saudara

perempuan sekandung atau seayah atau lebih mendapat bagian 2/3,

apabila saudara perempuan tersebut mewaris tidak bersama dengan

ayah dan tidak ada saudara laki-laki atau keturunan laki-laki dari

saudara laki-laki.

b. Ashabah (yang tidak ditentukan bagiannya) 48

1) Anak laki-laki dan keturunannya

2) Anak perempuan dan keturunannya bila mewarisi bersama anak

laki-laki

3) Saudara laki-laki bersama dengan saudara perempuan apabila

pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah

4) Kakek dan nenek

5) Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dan

keturunannya.

c. Ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti49

1) Keturunan dari anak yang mewarisi bagian yang digantikan

48
Buku II Mahkamah Agung, 2013, op.cit, hlm 174
49
Ibid

32
2) Keturunan dari saudara laki-lai atau perempuan baik sekandung,

seayah, maupun seibu yang mewarisi bagian yang digantikannya.

3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah,

masing-masing berbagi sama

4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu yang

masing-masung berbagi sama.

5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi

bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah

6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi

bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ibu.

B. Tinjauan tentang Ahli Waris Pengganti

Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur dalam pasal

185 KHI, yaitu ahli waris pengganti atau keturunan dari ahli waris yang disebutkan

didalam pasal 174 KHI (ahli waris yang memiliki hubungan darah dan hubungan

perkawinan).

Yang dapat menjadi ahli waris pengganti diantaranya adalah keturunan dari anak

laki-laki atau anak perempuan, keturunan dari saudara laki laki atau perempuan,

keturunan dari paman, keturunan dari nenek dan kakek, yaitu bibi dan dan

keturunannya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris

pengganti karena paman termasuk ke dalam ahli waris langsung).50

50
Buku II Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013, op.cit, hlm
171

33
Konsep ahli waris pengganti yang terdapat dalam pasal 185 KHI adalah:

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut

dalam pasal 173

2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang

sederajat dengan yang diganti.51

Menurut Sayuti Thalib, ahli waris pengganti (mawali) adalah ahli waris yang

menggantikan ahli waris lain untuk memperoleh warisan yang tadinya akan diperoleh

orang yang digantikan. Adanya kedudukan mawali tersebut disebabkan orang yang

seharusnya menerima warisan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Orang

yang digantikan harus merupakan penghubung antara ia yang menggantikan dengan

pewaris. Yang dapat menjadi ahli waris pengganti diantaranya, keturunan anak

pewaris (cucu), keturunan saudara pewaris (kemenakan) atau keturunan orang yang

mengadakan perjanjian mawaris dengan pewaris.52

Adanya SEMA 3 Tahun 2015 memberikan batasan mengenai siapa saja yang

dapat menjadi ahli waris pengganti. Aturan tersebut menjelaskan bahwa waris

pengganti hanya sampai dengan derajat cucu, jika pewaris tidak mempunyai anak

tetapi memiliki suadara kandung yang meninggal terlebih dahulu, maka hanya anak

51
Kompilasi Hukum Islam Pasal 185
52
Sayuti Thalib, 2018, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 102-
103

34
laki-laki dari saudara kandung yang dapat menjadi ahli waris, sementara anak

perempuan dari saudara kandug diberikan bagian dengan wasiat wajibah.53

C. Tinjauan tentang Wasiat Wajibah

Dalam hal pewaris memberikan wasiat adalah suatu tindakan ikhtiyariyah, yang

berarti tindakan tersebut adalah atas kemauan sendiri. Pada dasarnya, seseorang bebas

untuk membuat suatu wasiat atau tidak, tetapi sebagian pula berpendapat bahwa

pemberian wasiat yanya berlaku untuk orang-orang yang bukan merupakan kerabat

dekat atau keluarga. Maksudnya disini adalah apabila masih ada kerabat dekat yang

tidak mendapatkan warisan, pewaris wajib memberikan wasiat, jadi tidak ada pilihan

kebebasan untuk membuat ataupun tidak.54

Wasiat wajibah merupakan salah satu jalan yang diperuntukan kepada ahli waris

atau kerabat yang tidak memperoleh bagian dari harta warisan dari pewaris. wasiat

wajibah ini pelaksanaannya tidak bergantung pada kehendak pewaris atau orang yang

meninggal dunia. Wasiat wajibah akan tetap dilaksanakan meskipun tidak ada

kehendak dari pewaris, sehingga pelaksanaan wasiat wajibah tidak perlu adanya bukti

bahwa wasiat telah diucapkan, dituliskan atau dikendaki oleh pewaris. Pelaksanaan

wasiat wajibah didasarkan pada aasan-alasan hukum yang membenarkan wasiat

tersebut dapat dilaksanakan.55

53
SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dalam Runusan Kamar Agama angka 9
54
Sidik Tono, “Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Mengakomodasi bagian Ahli Waris Non-
Muslim di Indonesia” Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2013
55
Abdul Ghofur Anshori, 2005, Filsfat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press hlm 26

35
Dasar hukum yang digunakan mengenai wasiat wajibah di Indonesia diatur

dalam pasal 209 KHI. Namun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memiliki konsep

tersendiri mengenai wasiat wajibah, yaitu hanya diberikan kepada anak angkat dan

orang tua angkat saja. Bagi anak angkat atau orang tua angkat yang tidak menerima

wasiat akan diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta

warisan orang tua angkat atau anak angkat yang menjadi pewaris. 56

D. Teori Keadilan menurut Majid Khadduri

1. Biografi Majid Khadduri

Majid Khadduri adalah seorang akademisi yang berasal dari Irak yang diakui

sebagai otoritas terkemuka dalam beragam bidang Islam, sejarah modern dan

politik Timur Tengah. Majid Khadduri lahir di Irak Utara pada tahun 1908 dan

berasal dari keluarga Ortodoks Yunani di Mosul. Ia mendapat gelar sarjana dari

the American University of Beirut pada tahun 1932, dan menerima gelar doktor

ilmu politik dan hukum internasional dari Universitas Chicago pada tahun 1938.

Pada tahun 1939 sampai tahun 1947, Ia bekerja di Kementerian Pendidikan Irak

di Baghdad, dan juga merangkap sebagai seorang profesor di bidang Hukum di

Perguruan Tinggi Teachers College di Bagdad.

Majid Khadduri adalah seorang pelopor kajian Timur Tengah dan Islam di

Amerika serikat. Selama 50 tahu terakhir, Khadduri telah menulis beberapa buku,

salah satunya adalah buku yang berkaitan dengan keadilan yang berjudul The

Islamic Conception of Justice (Teologi Keadilan Perspektif Islam).


56
Kompilasi Hukum Islam Pasal 209

36
2. Konsep Keadilan Majid Khadduri

Adil berasal dari kata ‘adl atau ‘adala yang memiliki beberapa arti,

diantaranya adalah sama atau sepadan atau menyamakan, dan menyeimbangkan

atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam keadaan yang seimbang.

Berdasarkan asal kata tersebut dapat diartikan bahwa ‘adl merupakan suatu

istilah yang secara tidak langsung berhubungan dengan keadilan.57

Makna dari keadilan itu sendiri mengacu pada prinsip persamaan abstrak,

yaitu persamaan di hadapan hukum atau memiliki hak-hak yang sama. Selain itu

makna keadilan dapat juga ditekankan pada keadilan distributif, yang dinyatakan

dengan istilah seperti nashib dan qisth (bagian), qishas dan mizan (timbangan),

dan taqwim (lurus).

Majid Khadduri mengklasifikasikan keadilan menjadi beberapa bagian, salah

dua diantaranya keadilan legal dan keadilan sosial.

a. Keadilan legal

Salah satu istilah hukum adalah keadilan. Hukum dan keadilan apat

dikatakan dua hal yang serupa, karena beberapa unsur yang terkandung dalam

keadilan terkandung juga dalam substansi suatu hukum. Tetapi terkadang suatu

hukum dibentuk bukan untuk mencapai tujuan keadilan, sehingga antara hukum

dan keadilan dapat pula bertolak belakang.

Dalam Islam, hukum (syariat) sangat berkaitan erat dengan agama, tujuan

agama adalah untuk mendefinisikan tujuan-tujuan keadilan, sedangkan fungsi


57
Majid Khadduri Teologi Keadilan Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1999) hlm 8

37
syariat adalah untuk menentukan jalan berdasarkan keadilan Allah dan tujuan-

tujuan lain yang direalisasikan. Syariat tidak menetapkan aturan khusus untuk

membedakan perbuatan yang adil dan zalim. Maka dari itu diperlukan ijtihad dari

para ulama untuk menentukan prinsip-prinsip pokok dari keadilan untuk

dijadikan sebagai pedoman untuk membedakan antara perbuatan yang adil dan

zalim. Ijtihad ulama mengenai keadilan tersebut terbagi atas dua kategori, yaitu

keadilan substantif dan keadilan prosedural.

1) Keadilan Substantif

Keadilan substatif merupakan suatu aspek yang terkandung di dalam

suatu hukum. Aspek-aspek tersebut merupakan representasi dari kebenaran

dan kesalahan. Dalam istilah Islam kebenaran dan kesalahan tersebut

dinamakan “halal” dan “haram”, yang kemudian membentuk kaidah umum

dan kaidah khusus dari syari’at Islam. Terdapat suatu anggapan bahwa

semua perbuatan yang wajib pasti adil, karena perbuatan-perbuatan tersebut

merupakan suatu pernyataan dari kehendak Allah dan keadilan, dan semua

perbuatan yang dilarang atau diharamkan merupakan perbuatan yang dzalim.

Syari’at merupakan suatu jalan yang dapat memberikan petunjuk bagi

orang-orang untuk melakukan suatu kebaikan dan mencegah suatu

keburukan, serta untuk melindungi kepentingan umum (mashlahah).

Keadilan dapat terwujud ketika kepentingan umum (mashlahah) yang

merupakan salah satu tujuan yang ditetapkan syariat sudah terpenuhi.

38
Terdapat beberapa mujtahid yang menggunakan asas mashlahah sebagai

suatu dasar dalam menetapkan keputusan-keputusan hukum.

2) Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural merupakan aspek eksternal dari syariat, yang dapat

terwujud apabila keadilan substantif telah tercapai. Salah seorang pendiri

mazhab hukum, yaitu Imam Syafi’i mendefinisikan ‘adl atay adil adalah

perbuatan patuh kepada Allah dan patuh kepada syari’at. Syafi’i

memberikan definisi spesifik tentang adil dengan cara menggambarkan

seorang saksi yang adil dengan menekan pada sifat kejujuran dan perilaku

baik.

Pandangan Islam terhadap keadlan prosedural menunjukkan pada

kebenaran bahwa manusia cenderung percaya kepada seorang hakim yang

memiliki reputasi baik daripada percaya kepada sistem judisial. Padahal

sebelum kualitas dan kualifikasi keadilan dari seorang hakim dan saksi diuji,

makna dari konsep keadilan yang berkaitan dengan proses judisial juga perlu

di klarifikasi. Seorang hakim yang memutus suatu perkara dan seorang saksi

yang kesaksiannya dijadikan sebagai dasar hakim membuat suatu keputusan

harus merupakan seorang pribadi yang berkarakter adil. Kesaksian seorang

saksi harus dipertimbangkan dengan hati-hati, jika haim merasakan suatu

prasangka terhadap saksi tersebut, sebaiknya hakim tidak menerima

kesaksian mereka.

b. Keadilan sosial

39
Keadilan sosial adalah keadilan yang sesuai dengan norma, nilai, dan adat

kebiasaan dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan konsep keadilan pada

umumnya, keadilan sosial pada pokoknya merupakan produk dari adat istiadat

dan pengalaman manusia. Pada dasarnya, penerapan suatu hukum yang

berkeadilan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kondisi-kondisi

sosial, sehingga keadilan sosial dapat diterapkan sesuai dengan perkembangan

zaman.

40
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah salah satu cara untuk melakukan suatu

penelitian yang sistematik dalam rangka mengkaji, merumuskan, maupun

menganalisa suatu masalah atau kasus tertentu agar suatu kebenaran

tercapai. Dalam penelitian hukum, terdapat dua jenis penelitian yang

dapat digunakan, yaitu normatif dan empiris. Dengan menggunakan jenis

penelitian normatif peneliti akan mendasarkan pada data sekunder, seperti

halnya yang berasal dari buku, jurnal,karya ilmiah, peraturan, undang-

undang, dan lain sebagainya. 58

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian normatif, karena

menganalisis suatu hukum dengan menjadikan putusan pengadilan

sebagai kasus. Dalam penelitian ini mengkaji tentang kedudukan seorang

kemenakan perempuan berdasarkan pada suatu kasus di Pengadilan

Tinggi Agama Surabaya dan Pengadilan Negeri Jember yang kemudian

dikaitkan dengan suatu aturan dalam SEMA tahun 2015.

58
Bambang Sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Bandung hlm. 20

41
b. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara

mendeskripsikan suatu putusan pengadilan beserta dengan pertimbangan

hukum dan dasar hukum hakim dalam memtus suatu perkara, kemudian

dianalisis berdasarkan hukum materiil yang berdasarkan pada hukum

Islam dan undang-undang. 59 Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis, pertama-tama mendeskrisikan putusan Pengadilan

Tinggi Agama Surabaya dan putusan Pengadilan Negeri Jember tentang

bagian waris yang diterima seorang kemenakan perempuan karena

menggantikan orang tuanya yang telah meninggal. Kemudian kasus

tersebut dianalisis berdasarkan pada kompilasi hukum Islam, peraturan

lain seperti SEMA tahun 2015, dan dalam perspektif keadilan.

2. Data Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berbentuk data sekunder atau

bahan kepustakaan. Data tersebut terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang menjadi sumber utama

dalam penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2089 Tentang Peradilan Agama

b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015


59
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm.21

42
c. Bukum II Mahkamah Agung Edisi Revisi Tahun 2013 tentang

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

d. Kompilasi Hukum Islam

e. Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr

f. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor

19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

2. Bahan hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bertujuan untuk

memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer. Bahan hukum

sekunder ini berupa literatur bidang hukum, diantaranya:

a. Buku yang membahas tentang Waris Islam

b. Literatur dan artikel yang berkaitan dengan Waris Islam

c. Makalah dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang digunakan sebagai petunjuk dan

penjelasn tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan

hukum tersier tersebut diantaranya adalah kamus hukum dan Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI).

3. Teknik pengumpulan data

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penulis menggunakan

beberapa teknik, antara lain:

43
a. Dokumenter, yaitu dengan cara mendapatkan salinan Putusan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

dan Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr sebagai hukum primer;

b. Studi pustaka, yaitu dengan mencari bahan-bahan hukum sekunder

seperti berasal dari buku, karya ilmiah, jurnal, tesis, disertasi, maupun

pencarian di internet.

c. Wawancara, yaitu dengan cara mencari narasumber yang memiliki

ahli dibidang hukum waris Islam, yaitu hakim Pengadilan Agama

Ciamis yang pernah menangani kasus waris Islam terutama tentang

wasiat wajibah dan ahli waris pengganti, dan akademisi yang ahli di

bidang fara’id yaitu salah satu dosen fara’id di Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hasil

dari analisis yang akan dilakukan oleh penulis.

4. Subjek Penelitian

Penentuan subyek penelitian ini dilakukan dengan cara purposive

sampling, yaitu dilakukan dengan menentukan subyek penelitian berdasarkan

syarat-syarat tertentu dan harus dipenuhi. 60 Untuk memperkuat analisis dalam

penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan beberapa narasumber.

Narasumber adalah orang yang tidak berkaitan secara langsung dengan objek

yang diteliti tetapi mengerti dan memahami masalah yang terdapat dalam
60
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm.21

44
penelitian karena kompetensi keilmuan yang dimiliki. Narasumber dalam

penelitian ini adalah:

1. H. Nandang Hasanudin S.H., selaku Hakim Pengadilan Agama

Ciamis

2. Dr. Sidik Tono, M.Hum selaku dosen Universitas Islam Indonesia.

3. H. Aliyuddin selaku Ulama Nahdatul Ulama Kabupaten Bungo

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data yang diperoleh dengan cara melakukan

wawancara. Wawancara tersebut dilakukan dengan membuat suatu pedoman

wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

narasumber. Lalu pada saat wawancara itu sendiri apabila dimungkinkan

dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung dengan narasumber,

dan apabila terdapat keterbatasan dikarenakan pandemi maka dapat dilakukan

melalui media daring, seperti telepon, zoom, skype atau yang lainnya.

6. Jalan penelitian

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis akan dilakukan melalui

beberapa tahapan, diantaranya:

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini penulis akan memulai untuk mengumpulkan bahan-

bahan yang berasal dari data sekunder yang berkaitan dengan topik

yang akan diteliti, kemudian dimasukan kedalam bentuk penelitian

yang kemudian akan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.

45
Selanjutnya untuk mendapatkan data tambahan yang berupa data

primer melalui wawancara akan dibuat pedoman wawancara yang

berisi daftar pertanyaan untuk melakukan wawancara dengan

narasumbernya secara langsung yang disertai dengan surat izin

penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahapan ini penulis akan mengkaji dan menganalisis bahan

hukum yang telah didapatkan. Kemudian akan melakukan analisis

tambahan dengan melakukan wawancara langsung kepada narasumber.

Kemudian dari data yang didapatkan dari data sekunder akan dianalisis

dan dibandingkan dengan data yang didapat langsung melalui

wawancara. Apabila terdapat perbedaan pendapat dari data yang

berasal dari narasumber tersebut dengan data sekunder, maka hal

tersebut akan dikaji lebih lanjut dan menganalisis perbedaan tersebut

yang mana yang sebaiknya dapat dijadikan sebagai acuan.

c. Tahap Penyelesaian

Pada tahap ini penulis mulai menyusun laporan penelitian sampai

akhir dan akan diperiksa oleh dosen pembimbing yang kemudian akan

diujikan di hadapan penguji untuk mempertahankan hasil penelitian.

7. Analisis hasil

Berdasarkan data-data yang telah diperoleh dari penelitian ini mengenai

kedudukan dan bagian kemenakan perempuan dalam putusan Pengadilan

46
Tinggi Agama Surabaya dan putusan Pengadilan Negeri Jember, akan

dianalisis secara kualitatif mengenai data-data tersebut secara sistematis agar

mendapatkan hasil yang jelas mengenai masalah yang dikaji. Setelah itu

dilakukan penarikan kesimpulan dari rumusan masalah yang ada dan

dilakukan dengan metode induktif, yaitu dimulai dengan mencari prinsip-

prinsip ilmu hukum dari kasus yang ada seperti teori-teori dalam hukum waris

Islam mengenai wasiat wajibah dan ahli waris pengganti, kemudian dianalisis

dengan hukum-hukum yang berlaku dan asas keadilan, sehingga akan ditarik

suatu kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.

47
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perbedaan Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris

Pengganti dan sebagai Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari Hukum

Waris Islam di Indonesia

1. Kedudukan Kemenakan Perempuan dalam Tinjauan Faraidh (Fikih

Waris Islam)

Sistem kewarisan Islam yang dianut oleh Mazhab Syafi’i termasuk ke

dalam golongan sistem kewarisan patrilineal. Hal ini didasari oleh keadaan

masyarakat disekelilingnya pada saat itu, yaitu masyarakat patrilineal.

Meskipun demikian sistemkewarisan patrilineal mazhab syafi’i tidak bisa

dimaknai seperti sistem kewarisan yang tidak memberikan hak kepada

perempuan, tetapi lebih mengacu pada sistem pengutamaan kepada pihak

laki-laki dengan tetap memberikan warisan kepada kaum wanita yang

tertentu. Ahli waris karena hubungan darah menurut Syafi’i diantaranya

dzawil furudh, ashabah, dan dzawil arham.61

Dalam sistem kewarisan patrilineal, kerabat pewaris yang derajatnya

jauh adalah termasuk dzawil arham. Dzawil arham merupakan golongan

61
Abdul Raim, “Hukum Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kewarisan
menurut Mazhab Syafi’i (Kajian Perbandingan)” Jurnal Syariah Hukum Islam Vol. 1 No. 2 Tahun
2018, hlm. 87

48
yang khusus dikenakan pada hubungan darah melalui garis wanita saja,

sebagai kebalikan dari pengertian ashabah yang khusus dihubungkan

dengan garis laki-laki. Kriteria yang termasuk dzawil arham dalam tradisi

patrilineal adalah:62

1) Ahli waris yang masih punya hubungan darah dengan pewaris

2) Bukan termasuk dzawil furudl dan ashabah

3) Arah hubungan yaitu anggota keluarga perempuan di garis bapak

dan anggota keluarga dari garis ibu (baik laki-laki maupun

perempuan)

4) Ahli waris yang termasuk dzawil arham ini tertutup selama masih

ada kelompok dzawil furudh dan ashabah.

Dzawil arham dapat memperoleh hak waris dengan syarat-syarat

tertentu, diantaranya:63

1) Tidak ada ahli waris dzawil furudh, karena jika ada mereka tidak

hanya sekedar mengambil bagiannya tetapi juga meliputi sisa harta

waris yang akan dibagi secara radd. Kedudukan ahli waris secara

radd tersebut dalam penerimaan waris lebih didahulukan daripada

dzawil arham.

2) Tidak ada ashabah, karena ashabah akan mengambil seluruh hak

waris yang ada ketika tidak ada ahli waris dzawil furudh. Apabila
62
Abdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta hlm. 40
63
Laras Shesa, ”Keterjaminan Kedudukan Dzaul Arham dalam Kewarisan Islam melalui Wasiat
Wajibah” al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam Vol. 3 No. 2 Tahun 2018, hlm. 157

49
terdapat ahli waris dzawil furudh maka ashabah akan menerima

sisa harta waris yang ada setelah dibagikan kepada ahli waris

dzawil furudh.

3) Apabila ahli waris dzawil furudh hanya terdiri dari suami atau isteri

saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan

sisanya diberikan kepada dzawil arham. Hal tersebut disebabkan

karena kedudukan hak suami atau isteri secara radd adalah setelah

kedudukan dzail arham.

Apabila dzawil arham mewaris bersama dengan ahli waris lainnya,

maka pembagiannya adalah sebagai berikut:64

1) Mengutamakan dekatnya kekerabatan.

2) Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka

yang lebih berhak untuk diutamakan adalah yang derajatnya

paling dekat dengan pewaris melalui ashabul furudh dan ashabah

3) Apabila dari segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama,

maka harus mengutramakan mana yang lebih kuat kedekatan

kerabatnya.

4) Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan maka

pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya semua ahli waris

dzawil arham berhak mendapatkan bagian waris.

64
Ibid, hlm 158

50
5) Aturan pemberian hak waris terhadap para ahli waris dzawil arham

adap para ahli waris dzawil arham yang mewaris bersama sama

adalah mengikuti ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian

perempuan.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, anak perempuan dari saudara

kandung perempuan (kemenakan perempuan) dapat menjadi ahli waris

dzawil arham apabila tidak ada ahli waris dzawil furudh atau ashabah

lainnya atau pewaris hanya meninggalkan seorang isteri saja. Kemenakan

perempuan akan menerima seluruh harta waris apabila ia mewaris seorang

diri, sedangkan jika mewaris bersama-sama salah satu dari suami atau

isteri, maka ia akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada

suami arau isteri tersebut.

Menurut Sidik Tono, kasus dimana pewaris hanya meninggalkan

seorang isteri, seorang anak angkat dan seorang kemenakan perempuan,

maka kemenakan perempuan tersebut dapat menjadi ahli waris dzawil

arham, karena ketiadaan ahli waris dzawil furudh nasabiyah. Dalam kasus

tersebut, isteri bukan termasuk dalam golongan dzawil furudh nasabiyah,

tetapi masuk dalam golongan dzawil furudh sababiyah, karena berdasarkan

pada hubungan perkawinan.65

65
Wawancara dengan Sidik Tono, selaku Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia, pada hari Jumat tanggal 2 April 2021

51
Prof Hazairin, seorang ulama Indonesia pada masa abad ke-20 Masehi,

menyatakan bahwa ahli waris dzawil Arham tidak dapat diberlakukan di

Indonesia. Hal tersebut didasarkan bahwa Indonesia menganut asas

bilateral, bukan patrilineal. Asas bilateral adalah asas yang tidak

membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahli warisan.66

Hazairin mengkategorikan ahli waris menjadi tiga golongan, yaitu:67

1) Dzu al-faraidh

Istilah dzu al-faraidh ini digunakan oleh Syafi’i maupun

Hazairin. Dzu al-faraidh adalah orang yang mempunyai bagian

tertentu atau ahli waris yang memperoleh bafian warisan tertentu

dan dalam keadaan tertentu.

Ahli waris golongan ini terdiri dari:

a) Anak perempuan yang tidak beserta dengan anak laki-laki,


atau menjadi mawali bagi anak laki-laki yang telah
meninggal lebih dahulu
b) Ayah jika ada anak laki-laki dan atau perempuan
c) Ibu
d) Seorang atau lebih saudara laki-laki dan perempuan
e) Suami
f) Isteri
g) Mawali sebagai pengganti
2) Dzu al-qarabat
66
Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Quran dan Hadith, Tintamas, Jakarta,
sebagaimana dikutip oleh Iwannudin, “Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin” Jurnal Mahkamah
Vol. 2 No. 2 Tahun 2016 hlm. 304
67
Abdul Ghofur, 2005, op.cit, hlm 82

52
Hazairin menyebut istilah ashabah sebagaimana diterapkan

Syafi’i dengan istilah dzu al-qarabat. Dzu al-qarabat adalah orang

yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu. Yang termasuk

ke dalam golongan ini adalah:

a) Anak laki-laki dari agli waris laki-laki atau perempuan

b) Saudara laki-laki atau perempuan baik dari pihak laki-laki

mapupun perempuan.

c) Mawali (pengganti) bagi mendiang saudara laki-laki atau

perempuan dalam situasi kalalah (mati punah)

d) Ayah dalam keadaan kalalah setelah ia mengambil

bagiannya sebagai dzu al faraidh

e) Apabila terjadi bertemunya dua dzu al-qarabat, maka dapat

dipilih dua alternatif. Pertana, setelah dibagi kepada dzu al-

qarabat sisanya dibagikan kepada kedua atau lebih dzu al-

qarabat dibagi merata. Kedua, sisa dari pembagian dzu al-

faraidh kemudian dibagikan menurut kedekatannya

hubungan kekeluargaan dengan pewaris.

3) Mawali

Mawali adalah orang yang mewarisi harta karena

menggantikan kedudukan orang tua mereka yang telah meninggal

terlebih dahulu. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah:

53
a) Mawali bagi mendiang anak laki-laki atau perempuan dari

garis laki-laki atau perempuan

b) Mawali untuk ibu dan mawali untuk ayah dalam keadaan

para ahli waris yang tidak lebih tinggi dari mereka.

Menurut Hazairin, sebenarnya penggunaan kata ahli waris pengganti

dalam konsep mawali tidak terlalu tepat, namun istilah ahli waris pengganti

diakui dalam hukum adat. Ahli waris pengganti dalam hukum adat adalah

orang-orang yang hubungannya dengan pewaris diselingi oleh ahli waris,

tetapi telah meninggal terlebih dahulu dari pada pewaris. apabila ahli waris

yang seharusnya mendapat bagian masih hidup, kehadiran ahli waris

pengganti tidak perlu diperhitungkan. Misalnya hubungan kakek dan cucu

diselingi oleh anak. Cucu akan menjadi ahli waris pengganti apabila anak

telah lebih dahulu meninggal daripada kakek. Jadi apabila anak masih

hidup, maka cucu tidak akan menjadi ahli waris.68

Ijtihad Hazairin mengenai mawali diambil dari ahli waris pengganti

yang terdapat pada hukum adat di Indonesia dan KUH Perdata. Sumber

hukum Islam yang Hazairin gunakan mendasarkan pada Quran Surat An-

Nisa ayat 33 yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-

pewarisnya, dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia

68
Ibid, hlm. 309

54
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya

Allah menyaksikan segala sesuatu”.69

Berdasarkan ayat tersebut, menurut Hazairin terdapat tiga istilah

penting yaitu mawali, walidani, dan aqrabun. Istilah walidani dan aqrabun

bermakna ahli waris, walidani berarti ahli waris bagi anaknya, dan

aqrabun adalah ahli waris baqi sesama aqrabnya (kerabat dekat).

Sementara itu, mawali dipahami sebagai ahli waris pengganti atau

Plaatsvervulling dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Mawali adalah orang-

orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara

mereka dengan pewaris. jadi, menurut Hazairin mawali atau ahli waris

pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk

memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang

digantikan.70

Berdasarkan pandangan Hazairin tersebut, maka kemenakan

perempuan adalah sebagai mawali, bukan sebagai dzawil arham, karena

dzawil arham tidak dikenal dalam kekerabatan bilateral. Kemenakan

perempuan sebagai mawali mendapat bagian waris karena orang tuanya

telah meninggal terlebih dahulu, sehingga dalam hal ini terdapat pergantian

tempat ahli waris.

69
Kementerian Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, Surat An-Nisa ayat 1,
(Bogor: Halim Publishing) hlm. 81
70
Iwannudin, op.cit., hlm. 311

55
Bagian kemenakan perempuan sebagai mawali adalah sebesar bagian

yang seharusnya diterima orang tuanya. Dalam kasus kemenakan

perempuan maka menduduki posisi orang tuanya sebagai saudara kandung

pewaris. Ketentuan bagian bagi saudara perempuan menurut Hazairin

adalah sebagai berikut:71

1) Saudara perempuan sekandung mendapat bagian ½ jika mewaris


sendirian, dan mendapat 2/3 jika mewaris bersama-sama dua
orang atau lebih.
2) Mendapat 1/6 bagian jika mewaris bersama dengan ayah atau ibu,
atau suami istri tanpa adanya far’u warits
3) Saudara perempuan sekandung sebagaimana saudara lainnya
hanya dapat mewaris jika tidak ada far’u warits mudzakar dan
atau mu’annats
4) Jika mewaris bersama dengan saudara laki-laki sekandung
mendapat bagian 1/3 berbagi dengan perbandingan 2:1
5) Menjadi dzul al faraidh disamping sebagai dzu al qarabat
6) Apabila hanya bersama ibu, makai a memperoleh sisa harta
7) Ayah mempengaruhi perolehan saudara perempuan sekandung
yang terdiri dari dua orang atau lebih dari 1/3 menjadi 2/3 berbagi
rata
8) Saudara perempuan sekandung dapat menghijab kakek dan nenek,
sedanSgkan ia sendiri terhijab oleh far’u warits mudzakar dan
atau mu’annats.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pandangan kedudukan

kemenakan perempuan dalam hal mewaris menurut fiqih faraid. Pertama,

menurut Syafi’i kemenakan perempuan adalah sebagai dzawil arham, akan

mendapat bagian seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzawil

furudh dan ashabah lainnya, atau mendapat bagian sisa apabila mewaris

bersama dengan isteri atau suami pewaris. Kedua, menurut Hazairin

kemenakan perempuan adalah sebagai mawali yang menggantikan


71
Abdul Ghofur Anshori, 2005, op.cit., hlm. 115

56
kedudukan orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu dengan

bagian yang diperoleh sebesar bagian yang seharusnya diterima orang

tuanya sebagai saudara kandung.

2. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris Pengganti

dan Penerima Wasiat Wajibah menurut KHI dan Buku II Mahkamah

Agung

Menurut Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam (KHI):


“Apabila pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak, tetapi ia
mempunyai saudara perempuan kandung atau seayah, maka saudara
perempuan tersebut akan mendapat separuh bagian. Apabila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung
atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat
dua pertiga bagian. Dan apabila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara laki-laki sekandung atau seayah, maka bagian saudara laki-
laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”72

Ketika pewaris tidak meninggalkan anak, maka saudara perempuan

sekandung atau seayah dapat menjadi ahli waris. Apabila saudara

perempuan sekandung tersebut telah meninggal terlebih dahulu dari

pewaris, maka akan menimbulkan suatu permasalahan. Timbul pertanyaan

apakah anak dari saudara sekandung atau seayah tersebut dapat menjadi

ahli waris pengganti menggantikan kedudukan orang tuanya atau tidak.

Istilah ahli waris pengganti pertama kali dikenal dalam hukum formil

Pengadilan Agama termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan

dinyatakan berlaku di Indonesia sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden RI

No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi


72
Kompilasi Hukum Islam Pasal 182

57
Hukum Islam, dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tahun 1991

tanggal 22 Juli 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1

Tahun 1991.73

Ketentuan mengenai Ahli Waris Pengganti tercantum dalam pasal 185

KHI yang berbunyi:

1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang

tersebut dalam pasal 173;

2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian

ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.74

Frasa “dapat digantikan” dalam rumusan pasal 185 ayat (1) KHI

menimbulkan ketidakpastian mengenai keberadaan ahli waris pengganti.

Kata “dapat” mengandung arti yang bersifat fakultatif atau tentatif,

sehingga dapat ditafsirkan bahwa ada ahli waris yang dapat digantikan dan

ada yang mungkin tidak dapat digantikan. Dengan sifat pasal 185 KHI

tersebut yang bersifat tentatif menimbulkan permasalahan menganai

apakah penggantian ahli waris hanya berlaku bagi ahli waris garis lurus ke

bawah atau juga berlaku untuk ahli waris garis ke samping.75

Definisi ahli waris pengganti dalam pasal 185 KHI tersebut masih

bermakna luas, namun mengenai penerapan tentang batasan ahli waris


73
Departemen Agama RI, 1996, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta hlm. 217
74
Kompilasi Hukum Islam Pasal 185
75
Haeratun, 2016, op.cit, hlm. 233

58
pengganti di lingkungan Peradilan Agama juga masih beragam. Keragaman

tersebut terkait dengan siapa saja yang dapat menjadi ahli waris pengganti,

apakah mencakup keturunan dalam garis lurus ke bawah, ke samping dan

ke atas, atau hanya ke bawah, atau ke bawah dan kesamping. Adanya

keragaman tersebut menunjukan belum adanya unifikasi hukum mengenai

siapa saja yang dapat menjadi ahli waris pengganti, sehingga

dimungkinkan akan menimbulkan ketidak pastian hukum.

Buku II Mahkamah Agung tahun 2013 memberi Batasan kelompok

ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti, yaitu:76

1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikan


2) Keturunan dari saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung,
seayah maupun seibu) mewarisi bagian yang digantikannya
3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah,
masing-masing berbagi sama
4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-
masing berbagi sama
5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi
bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah
6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi
bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek.
Selanjutnya, Mahkamah Agung dalam Kamar Agama telah

memberikan pedoman berdasarkan hasil Rakernas tahun 2010 di

Balikpapan, bahwa ahli waris pengganti hanya terbatas sampai derahat

cucu. Hal tersebut tertuang dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dengan

tambahan ketentuan jika pewaris tidak memiliki anak, tetapi memiliki

saudara kandung yang meninggal lebih dahulu, maka anak laki-laki dari

76
Buku II Mahkamah Agung tahun 2013 hlm 174

59
saudara kandung dapat menjadi ahli waris, sedangkan anak perempuan dari

saudara kandung diberikan bagian dengan wasiat wajibah.

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang tidak dibuat langsung oleh

pewaris tetapi dimungkinkan akan dibuat sekiranya pewaris masih hidup.

Wasiat wajibah dapat menjadi dasar bagi seseorang untuk mendapatkan

bagian dari harta warisan yang sebenarnya terhalang menjadi ahli waris.

Pada awalnya, wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat

memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan

tertentu. Wasiat wajibah ini merupakan suatu wasiat yang diperuntukan

kepada ahli waris atau kerabat yang tidak mendapatkan bagian dari hara

warisan pewaris karena terhalang syara.77

Lembaga wasiat wajibah dikenal dalam sistem hukum kewarisan Islam

Indonesia berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam KHI. Penerapan

kaidah wasiat yang diatur KHI dilakukan dengan dua alasan. Alasan

pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum. Wasiat wajibah

merupakan salah satu sistem pemberian wasiat yang diatur oleh negara

yang tercantum dalam KHI, namun KHI tidak mengatur secara spesifik

tentang wasiat wajibah tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, hakim

menggunakan ketentuan wasiat secara umum sebagai dasar putusan

pemberian wasiat wajibah. Alasan kedua terkait dengan penerapan kaidah


77
Isak Munawar, “Reposisi Struktur Kewarisan Islam berdasarkan Teori Wasiat Wajibah”,
dikutip dari http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/963-reposisi-struktur-kewarisan-
islam-berdasarkan-teori-wasiat-wajibah-oleh-drs-isak-munawar-mh diakses pada hari Senin 10 Mei
2021 Jam 14.12 WIB.

60
hukum wasiat pada wasiat wajibah sebagai salah satu bentuk untuk

mewujudkan keadilan yang merata bagi masyarakat.78

Kaidah hukum wasiat secara umum yang dapat diberlakukan pada

wasiat wajibah adalah ketentuan mengenai tahapan yang harus dilakukan

sebeum pembagian wasiat. Ketentuan tersebut mengatur bahwa harta

peninggalan pewaris harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya

pengurusan jenazah pewaris, biaya pengobatan, dan hutang-hutang

pewaris. Setelah itu baru menunaikan wasiat apabila pewaris meninggalkan

wasiat atau dapat juga dalam bentuk wasiat wajibah.

Penentuan jumlah bagian wasiat wajibah apabila melihat pada

ketentuan mengenai wasiat yang terdapat dalam KHI adalah paling banyak

sepertiga dari harta warisan, dengan pengecualian dapat diberikan melebihi

sepertiga apabila terdapat persetujuan dari ahli waris lainnya. Menurut

Sayuti Thalib, apabila terdapat wasiat wajibah yang melebihi jumlah

sepertiga bagian dari harta peninggalan maka dapat diselesaikan melalui

dua cara, pertama dikurangi sampai dengan batas sepertiga harta

peninggalan. Kedua dapat diminta kesediaan dari semua ahli waris lainnya

yang mewaris bersama-sama apakah mereka memberikan kelebihan wasiat

lebih dari seperti harta warisan tersebut. Apabila ahli waris lainnya tersebut

mengizinkan maka diperbolehkan wasiat wajibah melebihi sepertiga.

78
Ibid

61
Terdapat perbedaan pendapat mengenai ahli waris pengganti diantara

para ahli hukum kewarisan Islam. Sebagian berpendapat bahwa

penggantian ahli waris hanya dapat diberlakukan dalam garis lurus ke

bawah, tetapi terhadap garis menyamping juga dapat diberlakukan dengan

syarat telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang akan berkurang

bagiannya. Di samping itu, sebagian lain berpendapat bahwa jangkauan

penggantian ahli waris meliputi seluruh garis huku, baik garis ke bawah

maupun menyamping sebagaimana telah dijelaskan bahwa sistem

kewarisan KHI berbentuk bilateral, sehingga tidak ada pembedaan

kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai garis hukum manapun.

Salah satu prinsip hukum adalah apabila dalam suatu ketentuan hukum

tidak ditemukan adanya pembatasan atas keumumannya, maka keumuman

tersebut yang diberlakukan. Jadi dengan menerapkan prinsip tersebut, maka

menurut pasal 185 KHI yang dapat menjadi ahli waris pengganti meliputi

seluruh garis hukum baik ke bawah maupun ke samping, sehingga cucu,

sepupu, maupun kemenakan dapat menjadi ahli waris pengganti.

Pernyataan tersebut di atas didukung oleh tidak dikenalnya istilah

dzawil arham dalam KHI, karena asas yang digunakan dalam kewarisan

KHI adalah asas bilateral. Tidak dikenalnya dzawil arham memberi

petunjuk bahwa seluruh kerabat dari pewaris dapat menjadi ahli waris

melalui penggantian ahli waris selama tidak terhijab oleh ahli waris yang

lebih utama. Maka dari itu, anak perempuan dari saudara kandung

62
perempuan (kemenakan perempuan) dapat menjadi ahli waris pengganti

berdasarkan ketentuan pasal 185 KHI.

Jika dilihat pada pasal 185 ayat (2) menyatakan bahwa bagian ahli

waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat

dengan yang diganti. Frasa “yang sederajat” dalam pasal tersebut

menimbulkan perbedaan jumlah bagian yang akan diterima oleh ahli waris

pengganti tersebut. Hal tersebut dikarenakan makna sederajat yang bersifat

luas. Ahmad Zahairi berpendapat bahwa makna “sederajat” meliputi

tempat, kedudukan dan hak-hak tanpa batas dan tanpa diskriminasi antara

laki-laki dan perempuan, sehingga ahli waris pengganti menempati

kedudukan yang seharusnya diterima oleh orang tuanya.79

Penggantian tempat berarti menggantikan kedudukan orang tuanya,

dan penggantian derajat artinya menggantikan derajat laki-laki dengan laki-

laki dan derajt perempuan dengan perempuan. Sementara itu, penggantian

hak berarti menggantikan hak sesuai dengan yang seharusnya didapatkkan

orang tuanya. Oleh karena itu, jika orang tua yang digantikan itu adalah

laki-laki maka ahli waris pengganti menduduki kedudukan dan menerima

hak sebagai laki-laki walaupun ahli waris pengganti tersebut perempuan.

Begitupun sebaliknya, jika orangtua yang digantikan adalah perempuan,

maka ahli waris pengganti menduduki kedudukan dan menerima hak

sebagai perempuan meskipun ahli waris pengganti itu sendiri laki-laki.


79
Ibid. Hlm, 235

63
Maka dari itu, berdasarkan pada makna “sederajat” dalam pasal 185

KHI, dapat disimpulkan bahwa kemenakan menggantikan orang tuanya

akan menempati kedudukan orang tuanya selaku saudara pewaris. Bagian

yang akan diterima oleh kemenakan adalah sama dengan bagian yang

seharusnya diterima orang tuanya. Kemenakan perempuan yang

menggantikan ibunya mendapatkan bagian sebagai saudara perempuan

pewaris, sedangkan kemenakan perempuan yang menggantikan ayahnya

mendapatkan bagian sebagai saudara laki-laki pewaris.

Pasal 185 KHI memberikan makna ahli waris pengganti secara luas,

sehingga tidak ada batasan derajat mana saja yang dapat menjadi ahli waris

pengganti. Selanjutnya, Buku II Mahkamah Agung 2013 memberi batasan

yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah orang-orang tertentu, selain

dari yang disebutkan dalam Buku II tersebut tidak dapat menjadi ahli waris

pengganti.

Kemudian Mahkamah Agung dalam Kamar Agama telah memberikan

pedoman berdasarkan Rapat Kerja Nasional 2010 yang diadakan di balik

papan, bahwa ahli waris pengganti hanya dibatasi sampai derajat cucu. Hal

tersebut dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015, dengan tambahan

ketentuan bahwa apabila pewaris tidak memiliki anak, tetapi memiliki

saudara kandung yang telah meninggal terlebih dahulu, maka anak laki-laki

dari saudara kandung kedudukannya sebagai ahli waris, sedangkan anak

perempuan dari saudara kandung diberikan bagian dengan wasiat wajibah.

64
Sesuai dengan ketentuan pasal 209 yang menyatakan bahwa bagian

yang akan diterima oleh penerima wasiat wajibah adalah sebanyak-

banyaknya sepertiga dari harta peninggalan pewaris. Maka dari itu,

penerima wasiat wajibah akan menerima maksimal sepertiga bagian dari

harta peninggalan pewaris sebelum dibagikan kepada ahli waris dzawil

furudh. Jadi bagian untuk wasiat wajibah ini dikeluarkan terlebih dahulu

bersamaan dengan pemenuhan kewajiban pewaris, seperti hutang, biaya

pemakaman, biaya rumah sakit, dan lain-lain.

Oleh karena bagian untuk penerima wasiat wajibah hanya mengenal

batas maksimal sepertiga, dimungkinkan penerima wasiat wajibah

mendapat bagian kurang dari sepertiga. Menurut Nandang Hasnudin,

besarnya bagian wasiat wajibah tersebut dapat ditentukan berdasarkan

situasi dan kondisi dari penerima wasiat wajibah, dan dapat pula dilihat

berdasarkan kontribusi penerima wasiat wajibah kepada pewaris dan

keluarga pewaris lainnya.80

Jadi kedudukan kemenakan perempuan menurut pasal 185 KHI adalah

sebagai ahli waris pengganti yang mendapat bagian yang seharusnya

diterima orang tuanya apabila masih hidup dengan batasan tidak boleh

melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Sementara

itu, dalam Buku II Mahkamah Agung menyebutkan secara rinci siapa saja

80
Wawancara penulis dengan Bapak Nandang Hasanudin, selaku hakim Pengadilan Agama
Ciamis, pada tanggal 28 Mei 2021

65
yang menjadi ahli waris pengganti, dan kemenakan perempuan adalah

salah satu yang termasuk dalam ahli waris pengganti. Setelah adanya

SEMA No. 3 Tahun 2015 memberi batasan kembali mengenai ahli waris

pengganti, dan kemenakan perempuan tidak termasuk ke dalam ahli waris

pengganti, melainkan sebagai penerima wasiat wajibah yang mendapat

bagian sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta waris.

66
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Kemenakan

Perempuan Sebagai Ahli Waris Pengganti dalam Putusan Pengadilan

Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan Penerima Wasiat

Wajibah dalam Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor

19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

1. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan Putusan Pengadilan Agama Tinggi

Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

Susunan Keluarga Pewaris

Ayah Ibu

Suami Istri
Pewaris
saudara saudara

Kemenakan Anak
Angkat

: Laki-laki sudah meninggal

: Perempuan sudah meninggal

: Laki-laki masih hidup

: Perempuan masih hidup

67
Pada awalnya, isteri dan anak angkat pewaris (selaku tergugat I

dan tergugat II) menolak apabila perkara ini diselesaikan melalui

hukum Islam, dengan alasan bahwa Negara Indonesia bukan negara

Islam sehingga tidak harus tunduk pada hukum Islam. Namun

penolakan tersebut tidak dapat diterima berdasarkan pasal 49 huruf (b)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa pengadilan agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara

di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang

“Waris”. Ketentuan tersebut bersifat mutlak, yaitu kewenangan

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara waris bagi orang

beragama Islam bukan merupakan suatu pilihan hukum, tetapi

merupakan kewenangan absolut yang harus dipatuhi oleh orang-orang

yang beragama Islam. Jadi untuk masalah kewarisan orang-orang yang

beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama, maka

hukum yang berlaku adalah hukum yang bersumber dari Hukum

Islam.81

Kasus ini berawal dari adanya seorang kemenakan perempuan

yang melakukan gugatan kepada isteri dan anak angkat pewaris untuk

mendapat bagian waris dari pamannya. Dalam kasus tersebut, pewaris

adalah paman dari penggugat, ia meninggalkan seorang isteri, seorang


81
Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr hlm. 52

68
anak angkat, dan seorang kemenakan perempuan. Proses pengangkatan

anak oleh pewaris dan isterinya telah dilakukan sejak anak tersebut

masih kecil, tetapi baru disahkan melalui penetapan pengadilan setelah

pewaris meninggal dunia di Pengadilan Negeri Jember.82

Berdasarkan KHI, anak angkat dalam pembagian harta warisan

adalah sebagai penerima wasiat. Apabila anak angkat tersebut tidak

mendapat wasiat maka akan diberi wasiat wajibah yang besarnya

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta orang tua angkatnya, baik harta

asal maupun harta bersama.

Berdasarkan proses persidangan serta berdasarkan bukti dan

keterangan saksi, diperoleh fakta bahwa pewaris hanya mempunyai

seorang saudara sekandung, yaitu ibu dari penggugat, yang telah

meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Pada saat meninggal dunia,

pewaris tidak meninggalkan orang tua, saudara dan anak kandung

karena telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Jadi pada saat

pewaris meninggal dunia hanya meninggalkan seorang isteri, seorang

anak angkat, dan penggugat selaku kemenakan pewaris.

2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jember Nomor

5084/Pdt.G/2016/PA.Jr
82
Putusan Pengadilan Agama Jember No. 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr

69
Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jember mendasarkan

pada:

1) Ketentuan pasal 171 huruf c KHI

Yang berhak menjadi ahli waris hanya orang yang pada

saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah

atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Tergugat 1, yaitu

isteri pewaris, memiliki hubungan perkawinan dengan

pewaris, maka disebut sebagai ahli waris dzawil furudul

muqaddarah sababiyah. Penggugat dengan pewaris memiliki

hubungan darah/nasab, yaitu anak perempuan dari saudara

perempuan sekandung pewaris. namun dalam hal ini

penggugat tidak termasuk ke dalam kelompok ahli waris

dalam pasal 174 ayat 1 huruf a KHI, melainkan berkedudukan

sebagai dzawil arham.

2) Fiqih Faraidh

Pada dasarnya, dzawil arham tidak berhak mendapat

bagian waris, namun apabila tidak ada ahli waris nasab yang

menerima bagian radd dan atau tidak ada far’uwarist yang

berhak menerima ashabah (sisa), maka dzawil arham berhak

mendapat bagian dari harta warisan.

Bahwa berdasarkan dasar-dasar diatas, majelis Hakim

Pengadilan Agama Jember menimbang penggugat, yaitu kemenakan

70
perempuan pewaris, berkedudukan sebagai dzawil arham berhak

untuk ditetapkan sebagai ahli waris dari pewaris, dan berhak

menerima sebagian waris setelah terlebih dahulu anak angkat dan

isteri mendapat bagiannya.83

Apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka bagian isteri

mendapat ¼ bagian dari harta warisan. Hal tersebut didasarkan pada

ketentuan pasal 179 KHI dan Quran Surat An-Nisa ayat 12. Setelah

diberikan ¼ bagian kepada isteri, maka terdapat pengembalian sebesar

3/4 (radd). Pewaris tidak meninggalkan ahli waris dzawil furudh

nasabiyah, sehingga ahli waris dzawil arham mendapat bagian tertentu

dari sisa ¾ bagian tersebut.

Kemenakan perempuan sebagai dzawil arham, maka

kedudukannya sebagai ahli waris menduduki kedudukan orang tuanya

yang telah meninggal terlebih dahulu. Oleh karena itu, berdasarkan

pasal 179 KHI dan Quran Surat An-Nisa ayat 12, kemenakan

mendapat bagian ½ dari harta warisan pewaris. Setelah dikurangi

bagian isteri dan kemenakan perempan, yaitu ¼ dan ½, terdapat sisa ¼

bagian, yang kemudian baigan tersebut menjadi bagian wasiat wajibah

yang dapat diberikan kepada anak angkat.

Pada amar putusannya hakim selanjutnya menetapkan bagian

untuk masing-masing Ahli Waris adalah sebagai berikut:


83
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

71
1) Tergugat 1 (isteri) : ½ x ¼ = 1/8, kemudian ditambah

pembagian harta bersama sebesar ½, sehingga total menjadi 5/8

2) Penggugat (kemenakan perempuan): ½ x ½ = ¼ = 2/8

3) Tergugat 2 (anak angkat): ¼ x ½ = 1/8

3. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Tinggi Surabaya Nomor

19/Pdt.G/2018/PTA.Sby

Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jember mendasarkan

pada:

1) Kompilasi Hukum Islam

Salah satu asas hukum kewarisan yang ada dalalm

Kompilasi hukum Islam adalah asas bilateral/parental, yang

tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi

keahli warisan, sehingga tidak mengenal adanya kerabat

dzawil arham. Namun, KHI mengenal adanya kelompok ahli

waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 174 dan pasal

185 KHI.

2) SEMA Nomor 3 Tahun 2015 huruf (c)

Dalam rumusan hukum kamar agama Nomor 9, anak

perempuan dari saudara atau kemenakan perempuan tidak

disebutkan sebagai ahli waris pengganti. Anak perempuan dari

saudara diberi hak waris melalui wasiat wajibah.Atas dasar

SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tersebut, Kemanakan perempuan

72
bukanlah sebagai dzawil arham ataupun Ahli Waris Pengganti,

tetapi bagiannya hanya dapat diperoleh melalui wasiat wajibah

yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.

Bahwa berdasarkan dasar-dasar diatas, majelis Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Surabaya membatalkan putusan Pengadilan Agama

Jember. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tidak

sependapat dengan penetapan Penggugat atau kemenakan perempuan

pewaris sebagai dzawil arham, sehingga kemenakan perempuan yang

merupakan keturunan dari saudara perempuan pewaris dapat

dikategorikan sebagai ahli waris pengganti. Namun, dengan adanya

SEMA Nomor 3 Tahun 2015, yang menentukan bahwa ahli waris

pengganti hanya sampai derajat cucu dan anak laki-laki dari saudara

kandung, maka anak perempuan dari saudara kandung (kemenakan

perempuan) mendapat bagian sebagai penerima wasiat wajibah

Pada amar putusannya hakim menetapkan:

1) Ahli waris dari pewaris adalah Isteri pewaris (tergugat I)

2) Anak perempuan dari saudara perempuan (kemenakan)

sebagai penerima wasiat wajibah.

3) Anak angkat (Tergugat II) sebagai penerima wasiat wajibah

Kemudian pada amar putusannya hakim menetapkan bagian untuk

masing-masing, baik sebagai Ahli Waris maupun sebagai penerima

wasiat wajibah adalah sebagai berikut:

73
1) Isteri mendapat ¼ x ½ = 1/8 ditambah pengembalian sisa/radd

sebesar 13/24 sehingga seluruhnya menjadi 16/24 atau 4/6

bagian.

2) Kemenakan perempuan mendapar 1/3 x ½ = 1/6

3) Anak angkat mendapat 1/3 x ½ = 1/6

4. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jember dan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya

Dalam kasus putusan Pengadilan Agama Jember (PA Jember) dan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya (PTA Surabaya) tersebut, pada saat

pewaris meninggal dunia, ia meninggalkan seorang isteri, seorang anak angkat,

dan seorang anak perempuan dari saudara kandung perempuan (kemenakan

perempuan). Ketiadaan anak kandung membuka hak waris untuk saudara

kandung, tetapi karena saudara kandung pewaris juga telah meninggal terlebih

dahulu maka anak dari saudara kandung tersebut dapat menggantikan orang

tuanya sebagai ahli waris. Jadi dalam kasus tersebut, yang menjadi ahli waris

utama hanyalah isteri pewaris, sedangkan kemenakan perempuan pewaris

berkedudukan sebagai ahli waris pengganti, dan anak angkat akan menerima

bagian wasiat wajibah.

Yang menjadi permasalahan dalam kasus tersebut adalah mengenai

kedudukan dan bagian waris yang akan diterima kemenakan perempuan

pewaris. Majelis hakim dalam putusan PA Jember dan PTA Surabaya

memberikan pendapat yang berbeda tentang kedudukan kemenakan perempuan

74
tersebut. Majelis hakim PA Jember memutus kemenakan perempuan sebagai

dzawil arham, sedangkan majelis hakim PTA Surabaya memutus kemenakan

perempuan sebagai penerima wasiat wajibah atas dasar SEMA No. 3 Tahun

2015.

Menurut Sidik Tono, ahli waris dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris

yang tidak termasuk ashabul furudh dan ashabah. Dzawil arham berhak

mendapat waris apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris ashabul furudh

nasabiyah. Hl tersebut didasari pada Al-Quran Surah Al-Anfal ayat 75 yang

berbunyi, “Orang-orang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab

Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui segala sesuatu”. Makna yang

terkandung dari dalil tersebut adalah bahwa kerabat lebih berhak menerima hak

waris dari pada yang lain.84

Dalam kasus tersebut, pewaris tidak memiliki anak berarti pewaris tidak

meninggalkan ahli waris dzawil furudh nasabiyah, sehingga kemenakan

perempuan termasuk ahli waris dengan sendirinya. Menurut Sidik Tono,

kemenakan perempuan termasuk ke dalam ahli waris dzawil arham, tetapi

karena ketentuan dzawil arham tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,

maka bagiannya adalah sebesar wasiat wajibah. Jadi, konteks kemenakan

perempuan sebagai dzawil arham disini bukanlah sebagai ahli waris yang

84
Wawancara dengan Sidik Tono, selaku Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia, pada hari Jumat tanggal 2 April 2021

75
menggantikan orang tuanya, tetapi ia mendapat bagian tersendiri sebesar bagian

wasiat wajibah.85

Berdasarkan hal tersebut, maka putusan PA Jember yang menyatakan

bagian kemenakan perempuan sebagai dzawil arham dengan bagian sama

dengan yang seharusnya diperoleh orang tuanya adalah tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

tidak mengenal adanya dzawil arham, sehingga jika memang memutus

kemenakan sebagai dzawil arham, bagiannya adalah bukan sebagai ahli waris

pengganti, melainkan sebagai penerima wasiat wajibah. Jika kemenakan

perempuan tersebut akan ditetapkan sebagai ahli waris pengganti sebaiknya

merujuk pada pasal 185 KHI.

Ahli waris dzawil arham tidak dikenal dalam KHI karena hukum

kewarisan Islam Indonesia menganut asas kekerabatan bilateral, sehingga KHI

mengganti dzawil arham dalam tradisi patrilineal, dengan ahli waris pengganti

(mawali). Hazairin mengklasifikasikan tiga kelompok utama mawali, yaitu

mawali dalam bentuk keturunan anak pewaris, mawali dalam bentuk saudara

pewaris, dan mawali dalam bentuk keturunan tolan seperjanjian yaitu apabila

pewaris pada masa hidupnya mempunyai perjanjian dengan seseorang dalam

bentuk wasiat namun karena orang yang melakukan perjanjian tersebut telah

85
Ibid

76
meninggal terlebih dahulu, maka harta peninggalan pewaris yang semestinya

akan diberikan kepada anak keturunannya.86

Berdasarkan klasifikasi kelompok mawali tersebut, kemenakan perempuan

adalah termasuk ke dalam kategori yang kedua yaitu mawali dalam bentuk

saudara. Pewaris mempunyai saudara yang telah meninggal dunia terlebih

dahulu, dan saudara tersebut memiliki anak, yaitu kemenakan pewaris. Maka

kemenakan perempuan pewaris berdasarkan Hukum Kewarisan Islam di

Indonesia sebenarnya dapat menjadi ahli waris pengganti atau mawali.

Kompilasi Hukum Islam, dalam pasal 185 juga telah mengatur mengenai ahl

waris pengganti, yaitu anak yang menggantikan kedudukan orang tuanya dan

bagiannya sama dengan yang seharusnya diterima orang tuanya.

Pasal 185 KHI mendefinisikan ahli waris pengganti terlalu luas, sehingga

perlu ada batasan sejauh mana ahli waris pengganti dapat diberlakukan. Hasil

dari Rakernas Mahkamah Agung tahun 2010 yang tercantum dalam SEMA No.

3 Tahun 2015 memberi batasan secara khusus siapa saja yang dapat menjadi

ahli waris pengganti, yaitu cucu (baik laki-laki maupun perempuan), dan anak

laki-laki dari saudara kandung, sedangkan anak perempuan dari saudara

kandung hanya mendapat bagian sebesar wasiat wajibah.

Berdasarkan hasil Rakernas tersebut maka putusan PTA Surabaya yang

menetapkan kemenakan perempuan sebagai penerima wasiat wajibah telah

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagian yang


86
Abdul Ghofur Anshori, 2002, op.cit, hlm 41

77
diterima oleh kemenakan perempuan adalah sepertiga dari harta peninggalan

pewaris. Hal tersebut juga telah sesuai dengan ketentuan dalam KHI, bahwa

bagian untuk wasiat wajibah adalah sama dengan bagian wasiat secara umum

yaitu sebesar-besarnya adalah sepertiga harta peninggalan.

Menurut Nandang Hasanudin, penentuan kemenakan perempuan sebagai

ahli waris pengganti atau sebagai penerima wasiat wajibah adalah tergantung

pada keyakinan hakim. Namun hakim tetap harus memiliki alasan yang kuat

mengapa menentukan kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti atau

penerima wasiat wajibah. Selain itu, hakim juga harus berpedoman pada

ketentuan hukum kewarisan Islam yang berlaku di Indonesia. Mengenai bagian

yang akan diterima kemenakan perempuan apabila sebagai ahli waris pengganti

adalah sebesar-besarnya sepertiga dari harta peninggalan. Untuk menentukan

jumlah bagian apakah akan diberikan maksimal atau kurang dari sepertiga

hakim harus melihat pada situasi dan kondisi hubungan antara kemenakan

perempuan tersebut dengan ahli waris lainnya. Jika memang diantara mereka

berhubungan baik, dapat diberi bagian maksimal.87

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam putusan PA Jember majelis hakim

masih mendasarkan pada sistem kewarisan menurut hukum faraid, dimana

kemenakan perempuan berkedudukan sebagai dzawil arham, sehingga bagian

yang diperoleh adalah sisa dari harta yang telah dibagikan kepada ahli waris

87
Wawancara dengan Nandang Hasanudin, selaku Hakim di Pengadilan Agama Ciamis pada hari
Jumat tanggal 28 Mei 2021

78
dzawil furudh dan wasiat wajibah. Pertimbangan hakim dalam memutus

kedudukan kemenakan belum mendasarkan pada KHI, Buku II Mahkamah

Agung, dan SEMA No. 3 Tahun 2015. Jika majelis hakim telah mendasarkan

pada ketentuan-ketentuan tersebut, tentunya majelis hakim tidak akan

menggunakan istilah dzawil arham, karena KHI tidak mengenal adanya dzawil

arham. Sementara itu majelis hakim PTA Surabaya dalam putusannya telah

mendasarkan pada KHI dan SEMA No. 3 Tahun 2015 yang menetapkan bahwa

kemenakan perempuan adalah penerima wasiat wajibah karena ahli waris

pengganti hanya sampai derajat cucu dan kemenakan laki-laki.

79
C. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris Pengganti dalam

Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor 5084/Pdt.G/2016/PA.Jr dan

Penerima Wasiat Wajibah dalam Putusan Tinggi Agama Surabaya Nomor

19/Pdt.G/2018/PTA.Sby ditinjau dari Asas Keadilan

1. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris Pengganti

dan Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari Asas Keadilan menurut

Majid Khadduri

Sebuah keputusan hukum dikatakan adil apabila bersumber pada

pedoman Al-Quran dan Sunnah serta tidak bertentangan dengan prinsip

keadilan secara umum. Tujuan akhir hukum adalah keadilan, dan keadilan

dalam hukum Islam harus mengacu pada pokok agama Islam. Penegakan

hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu

tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah

keadilan. Pernyataan tersebut merupakan isyarat bahwa esensi keadilan

yang ada di masyarakat dapat berbeda-beda.

Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Majid Khadduri, yang

mengklasifikasikan keadilan ke dalam dua kategori, yaitu keadilan legal

dan keadilan sosial. Tujuan keadilan melalui jalur hukum harus berawal

dari dua segi dan mengarah kepada keadilan dua segi. Dikatakan berawal

dari dua segi karena pedoman Islam berupa Al-Quran dan Sunnah di satu

segi harus mampu menyatu dengan pedoman prinsip keadilan secara umum

menurut pandangan manusia di lain segi. Perpaduan dua segi ini

80
diharapkan menjadi produk standar panduan mencari keadilan melalui jalur

hukum. 88

Sementara itu, maksud dari mengarah kepada keadilan dua segi adalah

tujuan akhir berupa keadilan yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum

universal harus berorientasi pada keadilan terhadap manusia (makhluk) dan

keadilan kepada Allah (khaliq). Keadilan bagi manusia mengarah pada

berbagai definisi keadilan yang dimungkinkan antara satu masyarakat

dengan yang lainnya berbeda dalam mengartikan keadilan hukum,

sehingga perlu adanya fleksibelitas produk keadilan untuk mengatasi

heterogenitas manusia dan lingkungannya. Sedangkan maksud keadilan

terhadap Allah adalah produk hukum yang ada tetap menempatkan Allah

sesuai dengan proporsi-Nya sebagai Tuhan, dan kegiatan manusia dalam

upaya formulasi tujuan hukum yang berupa keadilan tetap berada dalam

koridor ibadah kepada Allah.89

Keadilan dalam Islam merupakan perpaduan anatara hukum dan

moralitas, Islam tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan individu,

tetapi mengontrol kebebasan tersebut agar selaras dengan tujuan

masyarakat umum, yang terdiri dari individu itu sendiri. Keadilan

merupakan salah satu tujuan dari hukum Islam, yaitu keadilan harus

ditegakkan yang meliputi keadilan pribadi, keadilan hukum, keadilan

88
Abdul Ghofur Anshori,2005, op.cit., hlm. 143
89
Ibid, hlm. 153

81
sosial, dan keadilan dunia. Keadilan pribadi diartikan sebagai setiap

individu memiliki kewajiban untuk memenuhi standar kebutuhan

pribadinya, baik jasmani maupun rohani. Keadilan hukum adalah keadilan

setiap individu di depan hukum. Setiap individu mempunyai hak dan

kewajiban yang sama di hadapan hukum. Sedangkan keadilan sosial berarti

individu sebagai anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang

harus dipenuhi secara seimbang. Dan keadilan dunia merupakan keadilan

hubungan antar negara, bahwa setiap negara dalam hubungannya dengan

negara lain harus didasarkan pada prinsip kebersaman dan tanpa

diskriminasi.

Konsep keadilan yang ditawarkan oleh Majid Khadduri sebenarnya

tidak membahas secara khusus mengenai hukum waris Islam, terutama

dalam hal ahli waris pengganti. Dua kategori keadilan yang diberikan

Khadduri yang berkaitan dengan hukum waris Islam adalah keadilan legal

dan keadilan sosial. Keadilan legal berarti dalam menentukan suatu hukum

syariat yang adil harus berpedoman pada sumber-sumber hukum Islam,

seperti Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan keadilan sosial berarti berarti

untuk menentukan suatu hukum syariat adil atau tidak dilihat pada situasi

dan kondisi yang ada di masyarakat, apakah hak dan kewajiban antara

subjek hukum tersebut telah terpenuhi atau belum.

Dalam bidang hukum, keadilan menjadi tugas hukum yang merupakan

hasil penyerasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.

82
Secara ideal kepastian hukum merupakan pencerminan asas tidak

merugikan orang lain, sedangkan kesebandingan hukum adalah cerminan

asas bertindak sebanding. Oleh karena keserasian antara kepastian hukum

dengan kesebandingan hukum merupakan inti penegakan hukum, maka

penegakan hukum sesungguhnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain hukum itu sendiri, kepribadian penegak hukum, fasilitas kesadaran dan

kepatuhan hukum masyarakat, taraf kesadaran dan kepatuhan masyarakat

dan kebudayaan yang dianut masyarakat.90

Permasalahan kedudukan kemenakan perempuan jika ditinjau dari

konsep keadilan Majid Khadduri menunjukan bahwa hakim dalam

menetapkan kedudukan kemenakan perempuan sebagai ahli waris

pengganti atau wasiat wajibah, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dilihat

dari sisi keadilan legal, dimana penetapan kemenakan perempuan sebagai

ahli waris pengganti atau penerima wasiat wajibah harus berlandaskan pada

sumber hukum Islam dan sumber hukum positif. Sumber hukum Islam

berasal dari Al-Quran dan Sunnah, sedangkan sumber hukum positif

berasal dari peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya dalam

suatu negara. Al-Quran belum menentukan secara spesifik kedudukan

kemenakan perempuan dalam proses mewaris, namun kemenakan

perempuan dapat termasuk dalam kategori dzawil arham, yaitu kerabat

pewaris yang dapat mewaris akibat ketiadaan ahli waris utama. Sedangkan
90
Abdul Ghofur Anshori, 2005, op.cit., hlm. 144

83
dalam hukum positif di Indonesia, menetapkan bahwa kemenakan

perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara kandung akan mendapatkan

bagian sebesar wasiat wajibah.

Perbedaan ketentuan kedudukan perempuan dalam fiqih konvensional

dengan hukum positif Indonesia memberi dampak ketidakpastian hukum

bagi kemenakan perempuan, sehingga harus ditinjau lagi berdasarkan sisi

kedua dari keadilan, yaitu keadilan sosial. Dalam keadilan sosial ini

penentuan kedudukan kemenakan perempuan dilihat berdasarkan situasi

dan kondisi serta hubungan antara kemenakan perempuan tersebut dengan

pewaris dan ahli waris lainnya. Jika kemenakan perempuan tersebut semasa

hidup pewaris memiliki hubungan baik maka dapat diberikan bagian secara

maksimal yaitu sepertiga. Jadi, hakim menentukan bagian yang didapat

oleh kemenakan perempuan tidak boleh sampai merugikan hak ahli waris

lainnya.

Menurut Nandang Hasanudin, penetapan kemenakan perempuan baik

sebagai ahli waris pengganti atau sebagai penerima wasiat wajibah sudah

memenuhi asas keadilan, karena keduanya telah mendapat bagian waris

walaupun bagian yang diterima akan berbeda. Keadilan sebenarnya bersifat

subjektif, karena bisa saja setiap orang memiliki presepsi yang berbeda-

beda mengenai keadilan. Maka dari itu, tugas hakim di pengadilan dalam

menentukan bagian yang akan diperoleh kemenakan perempuan dan ahli

84
waris lainnya harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dan masuk akal,

sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.91

Menurut Khadduri, sesuatu dapat dikatakan adil apabila telah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku dan dilihat pada situasi dan kondisi dalam

lingkungan tertentu. Jadi ditinjau dari pendapat Khadduri tersebut,

kedudukan perempuan baik sebagai ahli waris pengganti ataupun sebagai

penerima wasiat wajibah telah sesuai dengan asas keadilan apabila didasari

pada suatu ketentuan yang berlaku dan dilihat juga kondisi atau hubungan

kemenakan perempuan tersebut dengan pewaris dan keluarga pewaris.

2. Kedudukan Kemenakan Perempuan sebagai Ahli Waris Pengganti

dan Penerima Wasiat Wajibah ditinjau dari Asas Keadilan menurut

Hazairin

Ahli waris pengganti dikenal dalam pembahasan hukum waris Kitab

Undnag-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan istilah

plaatsvervulling atau penggantian tempat. Penggantian ahli waris berarti

seseorang menggantikan orang tuanya sebagai ahli waris karena telah

meninggal terlebih dahulu. Pada mulanya, hukum waris Islam dalam fiqih

konvensional hanya menempatkan penggantian ahli waris pada cucu laki

laki dari anak laki-laki yang mempunyai kedudukan sama dengan ayahnya,

91
Wawancara dengan Nandang Hasanudin, selaku Hakim Pengadilan Agama Ciamis pada hari
Jumat tanggal 28 Mei 2021

85
serta cucu perempuan dari anak laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena

hukum waris Islam konvensional menganut asas patrilineal.92

Salah satu masalah yang timbul dari sistem kewarisan Islam menurut

fiqih konvensional adalah adanya diskriminasi terhadap kerabat pewaris

yang berjenis kelamin perempuan. Untuk mengatasi adanya diskriminasi

tersebut, Hazairin mnawarkan teori yang komprehensif untuk memasukan

ahli waris dzawil arham sebagai bagian dari ahli waris yang sama-sama

berhak mendapatkan bagian waris. Teori yang dikemukakan oleh Hazairin

tersebut adalah teori ahli waris pengganti, yang dikenal dengan istilah

mawali.

Menurut Hazairin, mawali berlaku untuk semua garis kewarisan, baik

itu dalam garis lurus ke bawah, garis lurus ke atas, dan garis lurus ke

samping. Salah satu inti dari keberadaan mawali dalam pembaharuan ilmu

waris menurut Hazairin adalah bahwa ahli waris pengganti akan selalu

mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (yang lebih utama).

Sebagai contoh, cucu dapat mewaris bersama dengan anak apabila orang

tuanya meningggal lebih dahulu daripada kakeknya dan bagian yang

diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya

(seandainya masih hidup).

92
Muhammad Nurcholis dan Pepe Iswanto, “Konsep Keadilan dalam Hukum Waris Menurut
Hazairin”, Jurnal Istinbath Vol. XII No. 1 Tahun 2017 hlm. 86

86
Berdasarkan pemikiran Hazairin tersebut, terdapat beberapa

kemungkinan yang dapat terjadi dalam hukum kewarisan Islam jika

terdapat ahli waris pengganti.93

a. Ahli waris pengganti bagi cucu laki-laki dan atau cucu perempuan

dari garis keturunan laki-laki atau perempuan berdasarkan Q.S

An-Nisa ayat 11

Ayat tersebut tidak menunjukan bahwa pengertian anak

diperluas menjadi cucu dan seterusnya dalam garis lurus, tetapi

ayat tersebut menunjukan bahwa hak mewarisi antara laki-laki dan

perempuan sama. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama

mempunyai hak mewaris tanpa melihat apakah yang diwarisi itu

laki-laki atau perempuan. Pendapat Hazairin ini dilakukan dengan

cara mengaitkan pemahaman Q.S An-Nisa ayat 11 dengan Q.S

An-Nisa ayat 33 sebagai ayat yang menunjukkan dikenalnya

sistem penggantian tempat dalam Al-Quran. Menurut Hazairin,

tidak ada satu petunjuk yang membuktikan bahwa cucu dari garis

perempuan tidak dapat mewarisi.

b. Ahli waris pengganti bagi kemenakan dari saudara sekandung,

saudara seibu, dan saudara seayah berdasarkan Q.S An-Nisa ayat

12

93
Ibid, hlm. 93

87
Dalam Q.S An-Nisa ayat 12 menjelaskan bahwa saudara laki-

laki maupun saudara perempuan mewarisi dari saudaranya yang

telah meninggal. Ayat tersebut tidak memperhatikan jenis kelamin

saudara yang meninggal dunia, sehingga baik saudara perempuan

maupun laki-laki keduanya dapat mewarisi. Mengenai bagian

yang akan diterima saudara diatur dalam Q.S An-Nisa ayat 176.

Dari kedua ayat tersebut tidak mengatur bagian untuk kemenakan

perempuan, karena hanya mengatur bagian saudara, baik laki-laki

maupun perempuan. Golongan ahlusunah membahas kemenakan

dari garis laki-laki saja, yaitu kemenakan dari saudara sekandung

dan sebapak dan itupun hanya terbatas pada kemenakan laki-laki,

sedangkan kemenakan perempuan hanya dipandang sebagai

dzawil arham. Begitu juga dengan kemenakan laki-laki apabila ia

berasal dari saudara perempuan, baik sekandung, sebapak maupun

seibu hanya dipandang sebagai ahli waris dzawil arham.

Kompilasi Hukum Islam secara khusus mengatur tentang wasiat

wajibah terhadap anak angkat atau orang tua angkat. Hal tersebut erat

kaitannya dengan rasa keadilan, namun keadilan dalam wasiat wajibah

bukanlah keadilan dalam arti persamaan antara anak kandung dengan anak

angkat atau ayah angkat dengan ayah kandung, karena keduanya tidak

dapat dipersamakan. Terdapat kewajiban dan hak tersendiri yang dapat

dilakukan oleh ayah dan anak kandung dan tidak mungkin dilakukan oleh

88
orang lain. Oleh karena itu, apabila keadilan dalam wasiat wajibah merujuk

pada makna persamaan, keadilan tersebut tidak dapat tercapai karena anak

dan orang tua kandung di satu sisi dengan anak dan orang tua angkat

adalah berbeda.94

Keadilan dalam konstruksi hukum wasiat wajibah harus dimaknai

sebagai keadilan yang ikhsan, yaitu adil dengan menunaikan kewajiban

secara sempurna serta lebih baik. Para ulama berpendapat bahwa ketentuan

mengenai hukum wasiat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi,

sehingga dalam penerapannya harus dipandang kausatis serta dilakukan

secara hati-hati. Hal tersebut harus dilakukan karena berkaitan dengan harta

orang yang telah meninggal dan tidak ada seorang pun yang tahu keigninan

terakhir orang tersebut dalam membagikan harta.95

Dalam hukum fiqih, wasiat ada yang dihukumi wajib jika dilakukan

untuk menghilangkan ketidakadilan dan mewujudkan kemaslahatan.

Pelaksanaan wasiat wajibah harus diperhitungkan terlebih dahulu dari harta

peninggalan pewaris dan prioritas ahli waris. Jika harta peninggalan

pewaris tidak mencukupi untuk dibagikan kepada ahli waris sebagai bekal

ahli waris dalam hidupnya, maka wasiat wajibah hendaknya tidak

dilakukan, karena prioritas penghidupan para ahli waris dari pewaris adalah

yang utama.

94
Abdul Ghofur Anshori,2011, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta hlm. 115
95
Ibid, hlm. 116

89
Oleh karena itu, ahli waris jika dihadapkan pada wasiat wajibah maka

keberadaan ahli waris adalah yang lebih diutamakan dan wasiat wajibah

semestinya dapat dikesampingkan. Meskipun, secara prinsip wasiat harus

dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta peninggalan dibagi kepada para

ahli waris. Sebaliknya, jika harta yang ditinggalkan berlimpah dan para

ahli waris adalah mereka yang masuk dalam golongan aghniya, maka

keberadaan wasiat wajibah harus dilembagakan. Hal tersebut bertujuan

untuk mencapai keadilan bagi penerima wasiat wajibah.

Di sisi lain, Hazairin menganggap keberadaan mawali adalah sebagai

bentuk dari pemenuhan asas keadilan gender untuk kemenakan perempuan.

Sebelum adanya ketentuan mawali atau ahli waris pengganti, hukum

kewarisan Islam Indonesia tidak mengatur kedudukan kemenakan

perempuan secara rinci. Padahal kemenakan perempuan merupakan salah

satu kerabat yang dekat dengan pewaris. Dalam konsep Hazairin anak laki-

laki dan perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama sebagai

ahli waris. Menurut Hazairin konsep ahli waris pengganti bermaksud

menciptakan keadilan dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Motivasi pelembagaan ahli waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan

dan perikemanusiaan. Tidak layak, tidak adil dan tidak manusiawi

menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya

harus diperoleh orang tuanya, hanya karena orang tuanya tersebut telah

meninggal terlebih dahulu.

90
Aspek keadilan dari konsep ahli waris pengganti selain dikuatkan

dalam KHI yang menyatakan bahwa ajaran ashabah tersebut tidak

mencerminkan sisi keadilan dalam kewarisan hukum islam, juga ditemui di

dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960 yang mengamanatkan pentingnya

pembuatan undang-undang tentang hukum kewarisan dengan

memperhatigan tiga hal, antara lain semua warisan untuk anak-anak dan

janda apabila si pewaris meninggalkan anak dan janda, sistem penggantian

ahli waris, dan penghibahan.

Untuk menguji kelayakan kemenakan perempuan sebagai ahli waris

pengganti menurut pasal 185 KHI dapat dilakukan berdasarkan beberapa

kriteria, antara lain:96

1. Berhubung kehadilan ahli waris pengganti dalam KHI hanya

sekedar untuk mendapatkan hak orang yang dinyatakan tidak

berhak menjadi ahli waris karena orang tua mereka terlebih dahulu

meninggal dari pewaris, maka hal ini adalah dalam rangka

menciptakan kemaslahatan bagi ahli waris pengganti itu sendiri dan

menciptakan pemerataan perolehan harta diantara para ahli waris

lainnya.

2. Pasal 185 KHI merupakan ketentuan untuk menghilangkan

diskriminasi gender, dimana orang dengan jenis kelamin perempuan

sering dirugikan di satu pihak dan orang dengan jenis kelamin laki-
96
Abdul Ghofur Anshori, 2005, op.cit., hlm. 171

91
laki diuntungkan di lain pihak. Maka jelas bahwa hal ini adalah

dalam rangka menciptakan maslahat secara maksimal dan menekan

mafsadat yang lahir dari diskriminasi gender seminimal mungkin.

3. Keberadaan ahli waris pengganti dalam KHI tetap mengacu pada

syariat dan dapat dipahami sebagai kesepakatan ulama Indonesia.

Maka kehadiran KHI itu secara umum dan pasal 185 tentang ahli

waris pengganti secara khusus bukanlah didasarkan pada hasil

pemikiran akal semata, tetapi tetap mengacu pada dalil naqli.

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurt Hazairin, adanya ahli waris

pengganti dalam pasal 185 KHI adalah sebagai bentuk untuk menghilangkan

diskriminasi gender antara perempuan dan laki-laki sebagaimana ada pada

kewarisan patrilineal. Maka dari itu, kedudukan kemenakan perempuan

sebagai ahli waris pengganti dianggap lebih adil dibandingkan sebagai

penerima wasiat wajibah. Hal tersebut atas dasar ketentuan SEMA Nomor 3

tahun 2015 yang menyatakan bahwa anak perempuan dari saudara kandung

(kemenakan perempuan) tidak dapat menjadi ahli waris pengganti

sebagaimana kemenakan laki-laki, cucu laki-laki, dan cucu perempuan,

melainkan menjadi penerima wasiat wajibah.

92
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis mengenai kedudukan

kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti dan penerima wasiat wajibah,

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbedaan kedudukan kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti

dan sebagai penerima wasiat wajibah dapat dilihat dari jumlah bagian yang

diterima. Dilihat dari perspektif fiqih faraid, menurut Syafi’i kemenakan

perempuan sebagai dzawil arham akan mendapat bagian seluruh harta waris

apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris dzawil furudh atau ashabah,

dan apabila mewaris bersama suami atau isteri pewaris akan mendapat bagian

sisa setelah diberikan bagian suami atau isteri tersebut, sedangkan menurut

Hazairin kemenakan perempuan adalah sebagai mawali yang mendapat

bagian yang seharusnya diterima oleh saudara kandung. Di samping itu,

berdasarkan ketentuan pasal 185 KHI kemenakan perempuan adalah

termasuk ke dalam ahli waris pengganti yang memperoleh bagian seperti

bagian yang seharusnya diterima orang tuanya yang telah meniggal terlebih

dahulu. Yang menjadi perbedaan antara ketentuan pasal 185 KHI dengan

pendapat Hazairin adalah bahwa ketentuan pasal 185 KHI memberikan

batasan bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak boleh melebihi ahli

93
waris yang sederajat dengan yang diganti. Sementara itu kemenakan

perempuan sebagai penerima wasiat wajibah berdasarkan ketentuan SEMA

Nomor 3 Tahun 2015 mendapat bagian sebanyak-banyaknya adalah sepertiga

dari harta peninggalan pewaris yang akan dikeluarkan terlebih dahulu setelah

membayar hutang dan kewajiban lainnya.

2. Pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Jember dalam

memutuskan kedudukan kemenakan perempuan belum mendasarkan pada

ketentuan KHI, karena putusan tersebut menyatakan bahwa kemenakan

perempuan adalah dzawil arham, padahal KHI tidak mengenal adanya dzawil

arham. Sementara itu pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Tinggi

Agama Surabaya didasarkan pada KHI dan SEMA Nomor 3 Tahun 2015

yang menentukan bahwa kemenakan perempuan sebagai penerima wasiat

wajibah karena SEMA No. 3 Tahun 2015 telah memberikan batasan ahli

waris pengganti hanya sampai derajat cucu dan kemenakan laki-laki.

3. Kedudukan kemenakan perempuan sebagai ahli waris pengganti dalam

putusan Pengadilan Agama Jember dan sebagai penerima wasiat wajibah

dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya telah memenuhi asas

keadilan, karena keduanya sama-sama mendapat haknya, walaupun bagian

yang diperoleh berbeda. Dengan diperolehnya bagian hak-hak waris untuk

kemenakan perempuan dapat mewujudkan kesejahteraan bagi dirinya.

Menurut pandangan penulis, kemenakan perempuan sebagai ahli waris

pengganti dianggap lebih adil, karena ia akan mendapat bagian yang

94
seharusnya diterima orang tuanya. Jika ditinjau lebih jauh di dalam bagian

yang seharusnya diterima saudara kandung, seandainya masih hidup, terdapat

bagian yang menjadi hak waris untuk anaknya (kemenakan perempuan). Di

samping itu, dengan ditetapkannya kemenakan perempuan sebagai ahli waris

pengganti menghilangkan diskriminasi gender mengenai ketentuan ahli waris

pengganti yang hanya diberikan kepada kemenakan laki-laki saja, padahal

derajat cucu tidak membedakan antara cucu laki-laki dan perempuan.

B. Saran

Dalam penelitian ini, penulis memiliki saran yang dianggap perlu yang berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Majelis hakim di pengadilan agama dalam menetapkan seseorang sebagai

ahli waris pengganti atau penerima wasiat wajibah harus berdasarkan atas

ketentuan yang berlaku dalam hukum waris Islam. Apabila ditetapkan

sebagai penerima wasiat wajibah yang bagiannya tidak boleh melebihi

sepertiga, maka penentuan besarannya tersebut dilihat dari hubungan

penerima dengan keluarga pewaris, apakah layak diberi maksimal atau tidak.

2. Sebaiknya dibuat suatu peraturan setara dengan Undang-Undang yang

memiliki kekuatan hukum mengikat mengenai ketentuan ahli waris

pengganti, sehingga batasan mengenai ahli waris pengganti tidak terlalu luas.

95
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Afdol, 2010, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair, Surabaya
Ali, Dawud, 1998, Hukum Islam Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta
Amruzi, Fahmi, 2014, Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum
Islam, Aswaja Pressindo, Yogyakarta
Anshori, Abdul Ghofur,2011, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Anshori, Abdul Ghofur, 2005, Filsfat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII
Press
Anshori, Abdul Ghofur, 2002, Hukum Kewarisan di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta
Budiono, Rahmat, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sitra
Aditya Bakti, Jakarta
Basyir, Ahmad Azhar. 2001, Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta
Ismuha, 1978, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris menurut KUHPerdata,
Hukum Adat dan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta Marzuki, Peter
Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta
Khadduri, Majid, 1999, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti,
Surabaya
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta
Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Rafiq, Ahmad, 1993, Fiqh Mawaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Salman, Otje, 2010, Hukum Waris Islam, PT Refika Aditama, Bandung
Satrio, J, 2014, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Purwokerto
Sunggono, Bambang, 1998, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Bandung
Usman, Suparman dan Yusuf Somawijaya, 1993, Dasar-Dasar Fiqih Mawaris,
Saudara, Serang

96
B. Jurnal dan Disertasi

Eko Setiawan, “Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi hukum Islam


dalam Kajian Normatif Yuridis” Muslim Heritage Vol.1 Nomor 2 Tahun
2017
Haeratun, “Analisa Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tentang Ahli Waris
Pengganti” Jurnal Hukum Jatiswara Volume 31 Nomor 2 Tahun 2016
Ika Febriasari dan Afdol “Kedudukan Kemenakan sebagai Ahli Waris Pengganti
dalam Sengketa Waris Melawan Anak Angkat Penerima Wasiat Wajibah”
Jurnal Al’Adl Volume X Nomor 1 Tahun 2018
Iwannudin, “Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin” Jurnal Mahkamah Vol. 2
No. 2 Tahun 2016
Jamhir, “Hukum Waris Islam Mengakomodir Prinsip Hukum yang Berkeadilan
Gender” Takammul Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak
Vol. 8 No. 2 Tahun 2019
Muhammad Nurcholis dan Pepe Iswanto, “Konsep Keadilan dalam Hukum
Waris Menurut Hazairin”, Jurnal Istinbath Vol. XII No. 1 Tahun 2017
Muhammad Darwis, “Analisa Pemikiran Hazairin tentang Mawali” Jurnal
Hukum Islam Vol. XIV No.1 Tahun 2014
Samsul Hadi, “Pembatasan Wasiat sebagai Bentuk Keadilan Hukum Islam”, Al-
Ahwal Vol. 9 Nomor 2 Tahun 2016
Sinta Stela Karaluhe, “Kedudukan Anal Angkat dalam Mendapatkan Harta
Warisan ditinjau dari Hukum Waris” Jurnal Lex Privatum Vol. IV No. 1
Tahun 2016
Destri Budi Nugraheni, “Rekonseptualisasi dan Konstektualisasi Asas Egaliter
dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2019
Sidik Tono, “Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Mengakomodasi bagian Ahli
Waris Non-Muslim di Indonesia” Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2013

C. Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Lain

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4611)
UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

97
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktoran Jenderal Badan Peradilan
Agama
Kompilasi Hukum Islam tentang Kewarisan

D. Internet

Isak Munawar, “Reposisi Struktur Kewarisan Islam berdasarkan Teori Wasiat


Wajibah”, dikutip dari http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-
pengadilan/963-reposisi-struktur-kewarisan-islam-berdasarkan-teori-wasiat-
wajibah-oleh-drs-isak-munawar-mh

98

Anda mungkin juga menyukai