Anda di halaman 1dari 8

TUGAS REVIW BUKU HUKUM KEPARIWISATAAN

POLITIK HUKUM EKOWISATA DAN DINAMIKA MASYARAKAT BALI DALAM


MENGELOLA KEPARIWISATAAN CITA HUKUM PANCASILA

DISUSUN OLEH:

I KADEK RESAYANA DENNI

202010121027

A5

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2022
REVIEW BUKU

1. Identitas Buku

JUDUL BUKU: Menimbang Praktik Ekowisata Bali, Perspektif Cendiki Warmadewa, Dalam I Wayan
Wesna Astara, Politik Hukum Ekowisata Dan Dinamika Masyarakat Bali Dalam
Mengelola Kepariwisataan Cita Hukum Pancasila

PENULIS : I Wayan Wesna Astara, SH., M. Hum., MH.

PENERBIT : Pustaka Larasan

TERBIT : 2021

CETAKAN : Pertama, 2021

HALAMAN : halaman 229 - halaman 246

2. Ringkasan Isi Buku

Pendahuluan

Hukum merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusia adalah penentu hukum, dan sekaligus hukum
yang dibuat oleh manusia untuk mengabdi kepada manusia. Ekowisata sebagai kegiatan bisnis
kepariwisataan apabila hukum ekowisata di Bali dibuat oleh yang berwenang tidak mengabdi untuk
kesejahtraan masyarakat Bali (lokal), apalagi tidak adil, maka akan ada persoalan dalam hukum apabila
hukum hanya mengabdi kepada kekuasaan. Dengan demikian sudah tentu akan digugat oleh rakyat apabila
kepentingannya tidak terakomodasi. Bahwa akan menjadi persoalan apabila tidak mengabdi kepada rakyat
Bali (Wesna Astara, dkk. 2020).

Pakar hukum telah menerima "Hukum dalam ruang sosial", yaitu teoretisasi umum yang diterima
oleh ilmuwan hukum, bahwa norma-norma formal senantiasa merembes ke bawah secara sempurna melalui
piramida hukum, sehingga aneka pengaturan normatif lain kian redup dan terdesak ke pojok yang samar.
Artinya hukum Negara berusaha mendesak "hukum lokal" atau adat dan hukum Negara menjadi diterima
bagi pergulatan manusia yang menghuni beragam ruang (Bernald, L. Tanya, 2006: 14). Hal ini jelas, dalam
politik hukum modern yang menghandalkan hukum sebagai alat perubahan sosial. Hukum yang dibuat
dengan mindset modern tanpa memedulikan dan mengantisipasi efeknya di tingkat lokal bisa melahirkan
produk kriminogenik (Satjipto Rahardjo, 2006: 112).

Kajian yang dilakukan oleh Utrecht berkaitan dengan politik hukum perbuatan mencita-citakan
hukum, yaitu membayangkan hukum, adalah suatu perbuatan politik hukum (daad van recchtspolitick).
Apabila dikaitkan dengan filsafat ilmu dari aspek aksiologinya dalam pandangan Jujun S. Suriasumantri,
maka apakah hukum yang ditetapkan itu, bermanfaat buat masyarakat atau tidak, atau apakah hukum yang
ditetapkan itu menjauhkannya dari realitas sosial atau tidak. Dengan demikian politik hukum adalah
"kebijakan" yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan
hukum yang mana yang perlu diganti, atau perlu dirubah, atau hukum yang mana perlu dipertahankan, atau
hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggara negara
pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti menyejahterakan
rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud (Bintan Regen Saragih, 2006: 1-17).

Persoalannya adalah ekowisata dalam kebijakan negara secara eksplisit tidak ada dimunculkan
dalam penormaan hukum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali dan/ atau Peraturan Daerah Kabupaten dan
Kota. Artinya terjadi norma kabur dalam pengaturan perundang-undangan. Selanjutnya konsep ekowisata
baru diketemukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 33 Tahun 2009 tentang pedoman
pengembangan ekowisata, dalam Pasal 4, ayat (1) Pemerintah Daerah dalam mengembangkan ekowisata
dilakukan melalui: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; ayat (2). Berdasarkan uraian latar
belakang masalah dan pokok pikiran di atas, penulis memandang perlu untuk membuat rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimana Politik hukum terhadap ekowisata di Bali yang mengelola ekowisata yang
diberikan oleh negara demi keadilan masyarakat lokal Bali cita hukum Pancasila?

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, bertujuan untuk
menemukan politik hukum ekowisata di Bali apakah benar berdasarkan realitas budaya, alam, dan
lingkungan serta nilai filosofi Tri Hita Karana yang berbasis agama Hindu, tradisi dan kearifan lokal Bali
sesuai dengan cita hukum Pancasila. Penelitian hukum normatif mengkaji dan menganalisis bahan-bahan
hukum primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum primer meliputi norma atau kaidahkaidah dasar dan
peraturan perundang undangan, bahan hukum sekunder meliputi kepustakaan dan literatur, hasil penelitian
ilmiah, makalah- makalah, artikel artikel, jurnal-jurnal ilmiah, majalah, koran, dan berbagai tulisan tersebar
lainnya.

Penelitian ini juga bersifat deskriptif dengan tujuan untuk mengeksplorasi dan menggambarkan
sejumlah variable yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena itu, penggunaan data empiris
tetap digunakan untuk memberikan penguatan terhadap argumentasi-argumentasi yang telah dikemukakan.
termasuk didalamnya yang diperoleh dari internet yang terkait dengan objek yang diteliti; serta data tertier
yang meliputi bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan/ atau sekunder dan bahan lainnya di luar bidang hukum yang relevan dengan penelitian ini. Berikutnya
Permasalahan yang ditelti, mempergunakan tiga teori, yaitu Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory,
Teori Perlindungan Hukum sebagai Middle Range Theory, dan teori Keadilan (applied Theory).

Politik Hukum Ekowisata Bali menuju Ber-Keadilan Cita Hukum Pancasila

Berbicara politik hukum negara, tidak terlepas dari teori Negara hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945
(perubahan Ketiga) Negara Indonesia adalah negara Hukum. Hukum menjadi landasan segenap tindakan
negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. Negara hukum berdasarkan Frans Magnis Suseno, bahwa
ada empat alasan untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan
hukum, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan perlakuan yang sama; (3) Legitimasi demokrasi; dan (4)
tuntutan akal budi.

Pada Bab Politik Hukum Ekowisata Bali menuju Ber-Keadilan Cita Hukum Pancasila menjelaskan
tetang hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. Dalam
realitas hukum terjadi norma kabur dalam pelaksanaan di lapangan, dalam UU Nomor 10 tahun 2009
tentang kepariwisataan, dengan maksud kepariwisataan juga termasuk ekowisata, berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor: 33 Tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata, yang juga
ekowisata berdasar pemendagri ini, dalam Pasal 4, ayat (1) Pemerintah Daerah dalam mengembangkan
ekowisata. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 33 Tahun 2009 tentang pedoman
pengembangan ekowisata, Pasal 1, angka (1), ekowisata adalah kegiatan wisata alam didaerah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur Pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-
usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Perencanaan
ekowisata merupakan bagian dari perencanaan pariwisata daerah (Pasal 5, ayat 2). Selanjutnya dalam Pasal
7, huruf d, menintegrasikan dan memaduserasikan rencana pengembangan ekowisata provinsi dengan
rencana pengembangan ekowisata kabupaten/kota, rencana pengembangan ekowisata nasional dan rencana
pengembangan ekowisata provinsi yang berbatasan.

Berkaitan dengan Produk hukum (Kebijakan Bali) sehubungan dengan kepariwisataan berdasar
peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 tahun 2012, tentang Pariwisata Budaya. Penekanan kepariwisataan
Bali adalah Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada kebudayaan Bali yang
dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan
kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal balik yang dinamis
antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan
berkelanjuatan untuk dapat memberikan kesejahtraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan
lingkungan. Pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali, dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi, desa Pakraman, Lembaga tradisional, perorangan, dan badan usaha.

Sehubungan dengan diberikan pengelolaan kepada desa adat/desa pakraman untuk mengelola,
terjadi kekosongn hukum dalam model pengelolaan dengan pemerintah provinsi, tidak adanya pedemon
pengelolaan yang diatur oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan/atau Kota. Masyarakat Bali mempunyai
keunikan untuk perlu diadakan konservasi, perlu perlindungan hukum, terhadap desa adat, subak, pura-pura
yang ada, tanah Bali yang ada hubungannya dengan kebudayaan Bali. Tanah mempunyai makna untuk
dipertahankan oleh manusia Bali-Hindu, mengingat di tanah manusia Bali Hindu berkebudayaan. Dengan
demikian dengan dikembangkan pariwisata di Bali, maka apapun bentuk kepariwisataannya
memperhatikaan hal tersebut di atas termasuk manusia Bali-Hindu, sebagai pendukung kebudayaan,
termasuk tumbuhnya ekowisata di Bali. Di lain pihak pandangan terhadap pariwisata dari perspektif
kebudayaan Bali, ada kekhawatiran bahwa pemberian otonomi Daerah di kabupaten/kota yang yang
mengeksploitasi tanah Bali, dan alam Bali, yang mengejar sector pariwisata untuk PAD akan merapuhkan
daya tahan kebudayaan Bali, karena masyarakat Bali berkebudayaan di tanah. Konversi lahan pertanian ke
non-pertanian bukan saja menyangkut persoalan fisik atau hubungan antara manusia dengan alam. Dalam
konteks Bali setiap tanah/lahan selalu berhubungan dengan salah satu pura atau kewajiban sosial-religius
tertentu.

Lahan selalu berasosiasi dengan Desa adat, Banjar adat, subak, yaitu subak sawah, subak abian,
pemaksan (organisasi suatu pura tempat suci). Misalnya, apabila suatu lahan/Tanah terjadi konversi lahan
dan pemindahan terhadap hak penguasaan tanah juga termasuk melibatkan desa adat, pengurus
Subak/kelian subak untuk menjaga tanah Bali. Hal ini berkaitan dengan status pura subak yang semula
didukung semua petani yang mengambil air dari satu sumber, atau sawahnya atau pada suatu hamparan.
Kemudian dengan beralih fungsi sawah menjadi non-pertanian, siapa kemudian yang mendukung pura
Subak yang semula adalah oleh anggota subak. Aspek Tri Hita Karana, semakin terganggu, dan terganggu
pulalah kebudayaan Bali secara keseluruhan. Bagi pendukung kebudayaan Bali, masyarakat adat Bali yang
beragama Hindu, permasalahan akan menjadi kompleks ketika tanah-tanah tersebut beralih penguasaannya
kepada warga non-Bali-Hindu, apabila salah urus oleh pemerintah, masyarakat dan pengusaha yang
menggunakan tanah Bali, maka tidak akan damai Bali ini dengan kasus-kasus tanah yang bernuansa
kebudayaan (Pitana, 2002: 30-31).
Perlindungan Hukum dan Pengelolaan Kepariwisataan dan Ekowisata Berbasis Desa adat di Bali
Cita Hukum Pancasila

Pada Bab ini menjelaskan bahwa Hukum dapat diperankan sebagai alat rekayasa sosial (law sosial
dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya. Kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan
bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup
dalam masyarakat, kelestarian dan mutu, lingkungan hidup, serta kepentingan nasional; Bahwa
pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong memerataan kesempatan berusaha dan
memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Konsep memberdayakan masyarakat setempat dalam kepariwisataan Bali dan/ atau ekowisata
terutama terhadap desa adat dalam pengelolaan pariwisata perlu dibuatkan regulasi/kebijakan Gubernur
Bali dalam hal pemberdayaan prajuru desa terkait dengan peran desa adat (I Wayan Wesna Astara, dkk.,
2020: 94). Ekowisata yang dianalisis dalam dalam tulisan ini, yaitu pengembangan pariwisata Penglipuran
sebagai desa Wisata, berdasarkan Peraturan Bupati Bangli Nomor 16 tahun 2014, tentang Desa Wisata di
Kabupaten Bangli. Akan tetapi, pengurusan Manajemen Pengelolaan Desa Wisata langsung di kelola oleh
Bendesa adat yang merangkap Kepala Desa. Desa adat adalah sebagai pemilik aset pariwisata yang bertugas
sebagai pembuat dan perancang kebijakan, sedangkan pengelola pariwisata bertugas melaksanakan
kebijakan kepariwisataan dan sekaligus sebagai pengawas (Kadek Sidhi Surya Libhi, 2016).

Disetiap kabupaten/kota di Bali perlu menggali potensi desa adat, kearifan lokal yang bersumber
dari agama Hindu, kebudayaan Bali, tradisi, kesenian, alam, sejarah Bali, sastra, berdialog dengan
pemangku sumber daya lokal dan kesadaran untuk mengkonservasi lingkungan dan budaya yang ada; dan
tidak semata-mata untuk syahwat investasi. Para pelaku ekowisata aras akar rumput khususnya objek
ekowisata yang berada di Bali, agar terus melakukan eksperimen dan upaya untuk dan upaya
mengembangkan ekowisata sesuai dengan potensi yang dimiliki agar ekowisata sebagai sebuah gerakan
masyarakat secara keseluruhan sehingga memiliki kekuatan "mengerem" pengaruh atau dampak dari mass
tourism khususnya di Bali sehingga pariwisata budaya yang berkelanjutan. Di mana didalamnya terdapat
pemerintah sebagai mediator dan fasilitator dan secara bersamaan juga terdapat peran serta masyarakat
lokal sebagai pemilik sah serta sumber daya alam dan budaya, Produk ekowisata dan atau Desa Wisata
perlu adanya kebijakan pemerintah Provinsi Bali menuangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi
Bali sebagai Perlindungan hukum terhadap ekowisata dan eksistensinya pada masyarakat adat Bali,
terutama di desa adat dalam bentuk pengelolaan, Philipus M. Hadjon, membedakan dua macam hukum
terutama bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (Suwitra, 2010:
62).
Dalam ekowisata di desa adat, negara diwakili oleh pemerintah Provinsi Bali dapat memberikan
perlindungan terhadap desa adat yang mengelola ekowisata, yang prosesnya dari bawah (bottom up) hak
inisiatif desa adat untuk mengelolanya. Akan tetapi, pengelolaan ini, apabila diperlukan kepastian hukum
dari pemerintah, maka desa adat dapat membuat Pararem dalam pengelolaan dengan difasilitasi oleh
pemerintah dalam membuat perarem Ngeleb (lepas). Maka desa adat semestinya proaktif untuk mencari
tahu kegiatan ekowisata yang dilakukan oleh kramanya dan dapat bekerja sama dengan Desa adat, dimana
ekowisata itu beraktivitas.

Kenyataan ini, penyelenggaraan pariwisata diharapakan mengembangkan kepariwisataan Budaya


memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya Tarik wisata;
mempertahankan norma-norma agama dan nilai-nilai kebudayaan, dan keindahan alam Bali yang
berwawasan lingkungan hidup: meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka peningkatan kesejahtraan
dan kemakmuran rakyat; memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

Dalam membahas pengelolaan ekowisata penulis mempergunakan teori Keadilan John Rawls
menyampaikan bahwa peran keadilan sebagai kebajikan utama dalam institusi sosial. Hal ini dengan
memperhatikan kebenaran dalam sistem pemikiran. Keadilan dapat juga terjadi ketika dibuat suatu undang-
undang dan disahkan dianggap benar, setelah berjalannya waktu terjadi perubahan pemikiran karena ada
beberapa pasal yang tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan yuridis serta perkembangan
pemikiran masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, maka Hukum (UU dan atau Peraturan Daerah) yang
tidak adil semestinya direformasi atau dihapus/dicabut jika tidak adil (Jonh Raws, 2006: 3). Merujuk
terhadap teori hukum alam, hakikat hukum adalah adil, sehingga hukum itu haruslah adil.

Terkait dengan cita hukum Pancasila dalam pengelolaan ekowisata, bahwa antara hukum
pariwisata dan/atau ekowisata berdasarkan Pancasila sebagai Filosofische Grondslag, Pancasila wajib
dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) yang merupakan bintang pemandu, dengan demikian mengharuskan
pembentuk hukum positif di Indonesia untuk mencapai ide-ide dan cita-cita yang ingin dicapai dalam
Pancasila pada dasarnya dapat digunakan menguji hukum positip (Yopi Gunawan dan Kristian, 2015:5).
Sebagai negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, segala aspek kehidupan, kebangsaan dan kenegaraan
termasuk pemerintah harus senantiasa berdasarkan atas hukum (Jimly Asshiddiqie, 2017: 180), dalam
mengelola ekowisata dan kepariwisataan. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan
yang tertib, antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya.
Simpulan

Jadi, penulis dalam hal ini berkesimpulan bahwa Politik hukum ekowisata Bali mengikuti pola dan model
pengembangan pariwisata budaya yang tidak merujuk ke Peraturan Menteri Dalam Negeri No: 33 tahun
2009, tentang pedoman pengembangan ekowisata, tetapi lebih fokus pada pariwisata budaya yang
mencerminkan hukum yang hidup dalam masyarakat Bali Hindu. Hal ini tercermin dari kebijakan
Pemerintah Provinsi Bali dengan mengeluarkan, Perda Tingkat I Bali, nomor: 3 tahun 1974, tetang
Paraiwisata Budaya, Perda Tingkat I Bali Nomor: 3 tahun 1991, tetang Pariwisata Budaya, Perda Provinsi
Bali, Nomor 2 tahun 2012, tentang Kepariwisataan Budaya Bali, serta Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 5 Tahun 2020, tetang standar penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali, dan menyatakan
mencabut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012, tentang kepariwisataan Bali.

Pariwisata Budaya Bali diintegrasikan dengan ekowisata dengan nama lain "Desa Wisata" seperti
dalam Perbud Badung Nomor: 47 tahun 2010, tentang penetapan kawasan desa wisata di Kabupaten
Badung. Hal ini, telah "dinormakan" bahwa bagi setiap orang, Badan hukum atau instansi pemerintah yang
memiliki, menghuni atau mengelola lahan/bangunan di kawasan desa wisata, wajib melindungi dan
melestarikan lingkungan serta habitatnya; dan mentaati segala ketentuan perundang- undangan.

Keadilan "budaya" menurut Manusia Bali-Hindu dalam konteks hukum dan ekowisata, apabila manusia
Bali mampu melindungi kebudayaannya, tradisi, filosofi Tri Hita Karana, agama Hindu, dalam bentuk
kebijakan negara, maka Bali akan terhindar dari hukum yang "Chaos", bahkan "digugat" oleh
masyarakatnya, karena Bali memiliki nilai keseimbangan yang terus dijaga di desa Adat sebagai
"pemerintahan" Desa adat berdasarkan hak asal-usul masyarakat adat Bali.

Anda mungkin juga menyukai