Anda di halaman 1dari 23

HUKUM DAN KEBUDAYAAN DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KEBUDAYAAN YANG ADA DI BALI

OLEH:
I MADE MEDIANA DWYJA
0215016008
+62 878-6150-8847

MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
DENPASAR
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................
1.2. Rumusan Masalah............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 pentingnya Hukum Dan Kebudayaan Didalam Penegakan Hukum
Di Indonesia.....................................................................................
2.2 Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dengan Kebudayaan Bali............................................
2.3 Analisis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Dengan Kebudayaan Bali................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 20
3.2 Saran................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apabila suatu masyarakat kita perhatikan maka akan nampak
walaupun sifat-sifat individu berbeda-beda, namun para warga
keseluruhannya akan memberikan reaksi yang sama terhadap gejala-
gejala tertentu. Dengan adanya reaksi yang sama itu maka mereka
memiliki sikap yang umum sama. Hal-hal yang merupakan milik bersama
itu dalam Antropologi Budaya dinamakan kebudayaan (T.O. Ihromi,
1980: 13). Ditarik dari pengertian yang demikian maka apakah yang
dinamkan Budaya Hukum yang merupakan salah satu bagian dari
kebudayaan manusia yang demikian luas. Budaya hukum adalah
tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-
gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap
nilai-nilai dari prilaku hukum.
Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi, melainkan
budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap
dan prilaku. Oleh karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak
terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang
mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana tentang sikap
prilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap prilaku dan
pandangan masyarakat yang lain.
Maksud pembahasan budaya hukum adalah agar dapat mengenal
ciri-ciri (atribut) yang asasi untuk mengkaji proses yang berlanjut maupun
yang berubah atau yang seirama dengan perkembangan masyarakat
dikarenakan sifat kontrol sosial itu tidak selamanya tetap. Perubahan-
perubahan budaya hukum itu tidak saja berlaku di kalangan masyarakat
yang modern tetapi juga di kalanagan masyarakat sederhana atau

1
masyarakat pedesaan, walaupun terjadinya perubahan itu tidak sama cepat
lambatnya, tergantung pada keadaan, waktu, dan tempatnya.1
Dengan demikian budaya hukum itu merupakan tanggapan yang
bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia
menunjukkan sikap prilaku manusia terhadap masalah hukum dan
peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Oleh karena sistem
hukum itu merupakan hubungan yang kait-mengait di anatara manusia,
masyarakat, kekuasaan dan aturan-aturan, maka titik perhatian
antropologi hukum pada prilakun manusia yang terlibat dalam peristiwa
hukum

1.2. Rumusa Masalah:


1. Bagaimankah pentingnya hukum dan kebudayaan didalam penegakan
hukum di Indonesia?
2. Bagaimana analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan kebudayaan Bali?
3. Bagaimana analisis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dengan kebudayaan Bali

1
Rahardjo,Satjipto,2010 Pengantar Hukum Progresif,Jakarta: Kompas

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pentingnya Mengikuti Mata Kuliah Hukum Dan Kebudayaan

Pentingnya mahasiswa fakultas hukum mengikuti mata kuliah hukum dan


kebudayaan adalah untuk mengetahui, mengerti, memahami hukum dan
kebudayaan, hubungan antara hukum dan kebudayaan serta dapat melaksanakan
hukum dan kebudayaan sehingga pada akhirnya memperoleh kedamaian dan
kesejahteraan. Hukum dan kebudayaan perlu diketahui agar dapat membedakan
tindakan mana yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang. Setelah
mengetahui hukum dan kebudayaan, maka tahapan berikutnya hukum dan
kebudayaan harus dimengerti. Pada tahapan ini selain mengetahui apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, juga harus menyadari dan mengerti mengapa sesuatu
itu diperbolehkan atau dilarang untuk dilakukan. Tahapan selanjutnya adalah
memahami hukum dan kebudayaan. Dalam fase ini sesorang harus memahami
latar belakang mengapa ada aturan hukum dan nilai-nilai budaya yang mengatur
tatanan kehidupan dalam masyarakat. Tahapan berikutnya adalah melaksanakan
hukum dan kebudayaan. Pada tahapan ini seseorang sudah harus dapat
menerapkan hukum dan kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya
terbatas pada tataran pengetahuan saja tapi sudah pada tahapan penerapan dan
pelaksanaan hukum dan kebudayaan. Dengan dilaksanakannya hukum dan
kebudayaan yang didasari oleh pengetahuan, pengertian dan pemahaman yang
utuh dan benar, maka tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
akan dapat tercapai. Suasana kedamaian (aman, nyaman dan sejahtera) adalah
merupakan tujuan hukum yang paling dalam.

Berangkat dari pelaksanaan hukum dan kebudayaan yang didasari oleh


pengetahuan, pengertian dan pemahaman yang utuh dan benar tersebut, maka
seorang mahasiswa fakultas hukum akan dapat mengisi profile sarjana hukum.
Adapun profile seorang sarjana hukum adalah sebagai penegak hukum/praktisi
hukum, akademisi hukum dan profesi hukum lainnya. Profile sebagai penegak

3
hukum/praktisi hukum adalah orang-orang yang bergerak atau berkecimpung
dalam praktek penegakan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan.

misalnya hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Profile sebagai akademisi


hukum adalah orang yang bergerak dibidang akademik atau ilmu pengetahuan
hukum seperti guru, dosen dan tenaga pendidik lainnya dibidang hukum. Selain
itu profile profesi hukum lainnya adalah orang yang bergerak dibidang hukum
tapi tidak bersentuhan langsung dengan penegak hukum maupu akademisi,
misalnya anggota legislatif, notaris, konsultan hukum dan lain-lain.

Apapun profesinya, setiap sarjana hukum yang mengisia profile sarjana


hukum tersebut, misalnya sebagai penegak hukum/praktisi hukum, dapat
menegakkan hukum dengan mencerminkan nilai-nilai budaya setempat, sebagai
akademisi, dapat memberikan pemahaman dan pemikiran-pemikiran yang sesuai
dengan nilai-nilai budaya setempat, dan sebagai profesi lainnya misalnya sebagai
anggota legislatif atau jabatan lain yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan, dapat membuat regulasi yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya setempat.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan

I. Pasal-pasal yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali

1. Pasal 1 (Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria


dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa).
2. Pasal 2 (Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan).
3. Pasal 3 (Azas perkawinan monogami).

4
4. Pasal 6 (Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai, dan bagi yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun
harus dengan seizin orang tua/wali).
5. Pasal 7 (Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun).
6. Pasal 8 (Hubungan kekerabatan yang dilarang melakukan perkawinan).
7. Pasal 9 (Larangan poligami).
8. Pasal 30 (Kewajiban menegakkan rumah tangga).
9. Pasal 33 (Kewajiban saling mencintai, saling menghormati, Tolong
menolong).
10. Pasal 34 (Kewajiban menafkahi dan mengurus rumah tangga),
11. Pasal 42 (Anak sah).
12. Pasal 43 (Anak Ibu).
13. Pasal 45 (Kewajiban memelihara dan mendidik anak).
14. Pasal 46 (Kewajiban anak menghormati dan mentaati orang tua dan
memelihara orang tua),

II. Pasal-pasal yang kurang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali

1. Pasal 4 (Dalam hal berpoligami, wajib mengajukan permohonan ke


Pengadilan).
2. Pasal 5 (Syarat untuk dapat mengajukan permohonan poligami)
3. Pasal 15 (Pencegahan perkawainan oleh suami/istri)
4. Pasal 22 (Pembatalan perkawinan)
5. Pasal 24 (Pembatalan perkawinan oleh suami istri)
6. Pasal 32 (Rumah tinggal)
7. Pasal 35 (Properti)
8. Pasal 36 (Akta tentang Harta Benda)
9. Pasal 37 (Status harta bersama jika perkawinan putus)
10. Pasal 39 (Perceraian harus melalui pengadilan).
11. Pasal 40 (Perceraian harus melalui pengadilan), menikah lagi dengan
pihak lain)

5
III. Pasal-pasal yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai

1. Pasal 10 (Larangan rujukan bagi pasangan yang telah bercerai dan


memiliki
2. Pasal 11 (Masa Idah bagi perempuan)
3. Pasal 29 (Perjanjian perkawinan)
4. Pasal 31 (Kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat)
5. Pasal 56 (Perkawinan diluar Indonesia)
6. Pasal 57 (Perkawinan campuran)

Adapun yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis dalam hal ini untuk
mengklasifikasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah sebagai berikut:

Budaya perkawinan gabdarwa wiwaha, yaitu perkawinan yang dilakukan


oleh sepasang calon pengantin yang didasari suka sama suka dan cinta mencintai
yang kemudia dilangsungkan upacara pernikahan. Pernikahan seperti ini lazim
banyak terjadi di Bali, walaupun kemudian proses seperti ini menjadi bentuk
ngerorod (kawin lari bersama) ataupun dharma sewaka (usulan),

Perkawinan di Bali yang dikenal dengan istilah pawiwahan merupakan


tradisi perkawinan tradisional Hindu di Bali, dimana dalam pandangan
masyarakat Bali perkawinan dikatakan sebagai ikatan batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu
hubungan yang bahagia, serasi dan abadi. keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Sesuai dengan budaya Bali, perkawinan tidak hanya urusan pribadi dari
orang yang menikah, tetapi juga menjadi urusan keluarga, sehingga perkawinan di
Bali haruslah disertai dengan upacara-upacara adat/agama. Upacara yang
umumnya biasa disebut mekala-kalaan (natab banten beten) atau ada yang

6
menyebutnya dengan mebyakdon. Adapun maksud upacara ini adalah sebagai
pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih
yang terkandung di dalam diri kedua mempelai. Hal ini disebabkan perkawinan
dalam adat budaya Bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Pada dasarnya hukum adat dan budaya Bali menganut asas perkawinan
monogami, bahkan di beberapa wilayah terdapat larangan perkawinan poligami
kepada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, antara lain 1. Desa Adat
Tenganan Pegringsingan-Karangasem

Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan-Karangasem, larangan untuk


berpoligami didasarkan pada awig-awig (aturan adat) yang berlaku di desa
tersebut. Apabila ada laki-laki yang berpoligami maka dia tidak berhak duduk di
jajaran krama desa ngarep atau warga desa utama, tak berhak ikut sangkep (rapat)
di Bale Agung, yang berarti juga tak berhak mendapat bagian dari hasil-hasil
kekayaan desa

2. Desa Adat Penglipuran-Bangli

Secara khusus di Desa Adat Penglipuran-Bangli, terdapat wig-nig yang


melarang warganya melakukan perkawinan poligami. Sebagai bentuk sanksi adat
berdasarkan kearifan lokal setempat, yaitu selain dikeluarkan dari keanggotaan
krama desa ngarep dan keanggotaan alu-upul, pelaku juga harus tinggal di sebuah
tempat khusus di tebenan (hilir) desa yang diberi nama "nah karang memadu

3. Desa Bayung Gede

Bayung Gede, sebuah desa di daerah Kintamani-Bangli, yang diyakini


sebagai asal nenek moyang orang Penglipuran, juga memiliki tradisi yang hampir
mirip. Lelaki berpoligami di desa ini praktis keluar dari keanggotaan ulu-agad dan
diyakini sangat berbahaya jika tinggal di pekarangan desa. Dia harus tinggal di
luar pekarangan desa. Jika masih tinggal di pekarangan desa, dipercaya akan bisa
terjadi bencana dalam keluarga.

7
4. Desa Bonyol

Tetangga Desa Bayung Gede, yakni Desa Bonyoh, juga menyimpan tradisi
pantang berpoligami. Larangan ini awalnya tidak tersurat dalam awig-awig.
Untuk menjamin kelestarian tradisi di desa ini, larangan itu punkemudian
disuratkan dalam awig-awig. Seperti di Desa Bayung Gede, mereka yang
melanggar dicabut status krama desa adatnya. Konsekwensinya, mereka tak bisa
ikut dalam kegiatan ritual keagamaan di desa, kecuali hanya pada upacara
kematian.

5. Desa Umbalan

Di Desa Pakraman Umbalan. Desa Yangapi, Kecamatan Tembuku Bangli,


larangan berpoligami sepenuhnya didasarkan pada mitos yang diwarisi secara
turun temurun. Tak ada pasal dalam awig-awig desa ini yang menyebutkan
pantangan berpoligami bagi warganya. Warga desa ini hanya meyakini secara
niskala, Ida Batara Sasuhunan yang beristana di Pura Pusch-Bale Agung desa ini
tidak berkenan warganya berpoligami.

Lelaki yang berpoligami dipantangkan masuk ke jeroan atau halaman


utama Pura Pusch-Bale Agung. Yang lebih unik lagi, desa yang memiliki
hubungan ritual dengan Bonyoh ini juga memiliki pantangan saling juang kejuang
(saling ambil istri) dengan Bonyoh. Warga Bonych pantang mengambil istri ke
Umbalan, begitu juga sebaliknya. Hubungan kasih di antara kedua warga desa
dianggap semacam cinta terlarang sehingga harus ditentang dalam budaya
masyarakat Bali, sangat menginginkan anaknya dapat berbakti terlebih dahulu
kepada keluarga (bekerja) sebelum anak tersebut menikah.

Menurut agama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan


kuturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua atau leluhur mereka dengan
menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari
neraka). Adapun syarat-syarat perkawinan menurut adat budaya Bali adalah
sebagai berikut:

8
1. Syarat umur: ajaran agama Hindu yang menjadi patron kebudayaan Bali tidak
menyebutkan dengan jelas mengenai umur berapa sesorang dapat
melangsungkan perkawinan, tetapi hanya menyatakan wanita dan pria harus
sudah dewasa. Dalam pergaulan masyarakat Bali pada umumnya dikenal
dengan istilah menek bajang, yakni: setelah wanita datang bulan pertama,
sedangkan bagi dikenal dengan istilah ngembakin, yaitu setelah laki-laki
berubah suaranya.
2. Syarat kesehatan: kemampuan melakukan senggama dapat dipandang sebagai
syarat penting. Orang yang mengalami gangguan fisik/phsikis yang dilarang
kawin: pria impoten, gila, wanita kuming (vagina sempit). pria basur, buah
pelir besar dan lain-lain.
3. Hubungan kekeluargaan yang dihindari melakukan perkawinan dalam budaya
masyarakat Bali adalah:
- Perkawinan gamya atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan
wanita yang berkedudukan selaku nenek atau bibi setingkat sepupu atau
sepupu dua kali.
- Perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-laki bersaudara
kandung), yang sering disebut mepaid engad -Perkawinan apit-apitan
(tetangga sederet jarak satu tetangga).
- Perkawinan gamya gumana, meliputi: perkawinan antara orang-orang
yang berkeluarga dalam garis keturunan kencang keatas dan kebawah.
perkawinan antara mertua dan menantu, perkawinan antara bapak/ibu tiri
dengan anak tiri.

Dalam hukum adat Bali, selain anak sah ada juga yang disebut anak astra,
yaitu: anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Sahnya perkawinan secara
adat harus melalui upacara adat agama Hindu yang dipimpin oleh sulinggih
(pedanda) dan disaksikan oleh keluarga dan masyarakat.

Orang tua sangat berperan dalam mengemban pendidikan agama Hindu


dalam keluarga, karena disamping berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang

9
bersifat jasmaniah, orang tua juga berkewajiban memberi pengetahuan mengenai
Brahman (Tuhan).

Ajaran agama Hindu telah menunjukan bahwa seorang anak sangat


diharapkan kehadirannya dalam sebuah keluarga dan seorang anak juga
mempunyai kewajiban yang sangat besar, yaitu menjadi anak yang suputra. yang
akan bertanggung jawab kepada orang tua dan yang terpenting adalah kepada
leluhurnya.

Meskipun pada dasamya hukum adat dan budaya Bali menganut azas
perkawinan monogami, akan tetapi pada daerah-daerah tertentu perkawinan
poligami justru banyak dilakukan dan menjadi budaya di daerah tersebut,
misalnya: di Desa Adat Siakin Kecamatan Kintamani-Bangli, ternyata ada sekitar
15 Kepala Keluarga dari 350 Kepala Keluarga yang melakukan perkawinan
poligami. Desa Songan adalah salah satu desa di Bali yang menganut azas
perkawinan poligami. Tradisi poligami bagi masyarakat Desa Songan sesuatu
yang sudah biasa dan bahkan harus selalu diikuti.

Berdasarkan pada fakta tersebut, ternyata budaya Bali pada akhirnya harus
memberikan pilihan kepada masyarakat dalam hal menyikapi perkawinan
poligami sesuai dengan kearifan lokal di wilayah atau daerah masing-masing.
Dalam ajaran agama Hindu, perceraian merupakan hal yang tidak dianjurkan.
Dalam Rg Weda, perceraian bahkan dianggap sebagai pelanggaran terhadap
yadnya yang telah dilakukan dalam pernikahan. Dalam proses perkawinan
berdasarkan agama Hindu yang merupakan patron kebudayaan Bali, perkawinan
harus turut menghadirkan tri upasaksi yakni butha saksi, manusa saksi dan dewa
saksi sehingga perkawinan tersebut menjadi hal yang sakral.

Adapun proses perceraian dalam kebudayaan Bali adalah sebagai berikut:

- Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus terlebih


dahulu menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa
pakraman,

10
- Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Apabila memang harus terjadi perceraian, maka hal tersebut terlebih
dahulu haruslah diselesaikan melalui proses adat. baru kemudian
dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk
memperoleh keputusan hukum -Setelah pengadilan mengeluarkan putusan,
maka salinan putusan perceraian atau akte perceraian diserahkan kepada
prajuru banjar atau desa pakraman. Dalam hukum adat dan budaya Bali,
juga mengenal konsep harta bersama. Dalam hukum adat dan budaya Bali,
harta benda perkawinan dibedakan menjadi:
1) Harta pusaka, yaitu harta warisan baik yang dapat dibagi-bagi seperti
sawah, ladang, dan lain-lain, maupun yang tidak dapat dibagi seperti
sanggah, merajan dan lain-lain;
2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa ke dalam perkawinan baik
oleh mempelai pria maupun mempelai wanita (jiwadana, tadtadan,
akaskaya, dan lain-lain);
3) Harta perkawinan yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan yang
disebut gunakaya atau pagunakaya

Dalam kepustakaan hukum adat Bali, harta bersama dalam


perkawinan (harta perkawinan) sering dibahas dengan menggunakan
istilah-istilah yang beragam, seperti druwe gabro, arok sekaya, maduk
sekaya, gunakaya atau pegunakaya

Dalam budaya Bali tidak ada larangan hagi bekas suami istri yang
telah bercerai dan pernah kawin dengan orang lain untuk rujuk
kembali. Kemudian dalam budaya Bali juga tidak mengenal adanya
masa iddah (masa tunggu) bagi pasangan suami istri yang telah
melakukan perceraian.

Dalam budaya Bali, tidak mengenal adanya perjanjian perkawinan


sebelum pasangan menikah. Kondisi demikian tersebut didukung oleh
budaya Bali yang menganut budaya patrilinial, yang memberikan
kedudukan utama bagi laki-laki. Posisi perempuan di Bali berada pada

11
posisi yang lemah dalam kekerabatan, Budaya di Bali yang diilhami
dari ajaran agama Hindu, menginginkan pernikahan antara sesama
krama Bali, pernikahan beda agama dan beda golongan secara
eksplisit dapat dimaknai tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu. Di
dalam ajaran agama Hindu, setiap perkawinan diharuskan agar kedua
mempelai berada dalam satu agama dan kepercayaan.

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

I. Pasal-pasal yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali

1. Pasal 96 (Penataan Desa Adat)


2. Pasal 97 (Syarat penetapan Desa Adat)
3. Pasal 99 (Penggabungan Desa Adat)
4. Pasal 103 (Kewenangan Desa Adat)
5. Pasal 107 (Pemerintahan Desa Adat)
6. Pasal 109 (Susunan kelembagaan Desa Adat)
7. Pasal 110 (Peraturan Desa Adat) 8. Pasal 111 (Keberlakuan ketentuan
Desa Adat

II Pasal-pasal yang kurang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali

1. Pasal 3 (Asas pengaturan Desa)


2. Pasal 4 (Tujuan pengaturan Desa)
3. Pasal 6 (Jenis Desa)
4. Pasal 18 (Kewenangan Desa)
5. Pasal 19 (Cakupan kewenangan Desa)
6. Pasal 20 (Pelaksanaan kewenangan yang diatur dan diurus oleh Desa)
7. Pasal 21 (Pelaksanaan kewenangan yang diurus oleh Desa)
8. Pasal 22 (Penugasan Desa)
9. Pasal 23 (Penyelenggaraan pemerintahan Desa)
10. Pasal 24 (Asas-asas Pelaksanaan kewenangan Desa)
11. Pasal 25 (Pemerintah Desa)
12. Pasal 26 (Kepala Desa)

12
13. Pasal 48 (Perangkat Desa)
14. Pasal 49 (Tugas perangkat Desa)
15. Pasal 54 (Musyawarah Desa)
16. Pasal 55 (Bada Permusyawaratan Desa)
17. Pasal 67 (Hak dan Kewajiban Desa) 18. Pasal 68 (Hak Masyarakat Desa)
18. Pasal 69 (Peraturan Desa) 20. Pasal 71 (Keuangan Desa)
1. 21. Pasi 76 (Aset Desa)
2. 22. Pasal 94 (Lembaga Kemasyarakatan Desa)
3. 23. Pasal 95 (Lembaga Adat Desa) 24. Pasal 104 (Pelaksanaan
Kewenangan Desa Adat)
4. 25. Pasal 105 (Pelaksanaan kewenangan Desa Adat atas penugasan
pemerintah)

III. Pasal-pasal yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali

1. Pasal 31 (Pemilihan Kepala Desa)


2. Pasal 34 (Pemilihan Kepala Desa secara langsung)
3. Pasal 35 (Penduduk pemilih Kepala Desa)
4. Pasal 37 (Pemilihan Kepala Desa berdasarkan suara terbanyak) 5. Pasal 38
(Kepala Desa dilantik oleh Bupati/Walikota)
5. Pasal 39 (Masa Jabatan Kepala Desa) 7. Pasal 40 (Pemberhentian Kepala
Desa)
(1) 8. Pasal 104 (Kewenangan skala lokal Desa Adat) 9. Pasal 105
(Kewenangan Desa Adat dari Pemerintah)

Adapun yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis dalam hal ini
untukmengklasifikasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014Tentang Desa adalah sebagai berikut: Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 TentangDesa menyebutkan: "Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

13
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia","

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


Tentang Desa, hal ini telah menciptakan dinamika tersendiri. Meskipun Undang-
undang tersebut telah memiliki aturan petunjuk pelaksananya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, namun dalam penerapannya Undang-undang
ini masih banyak diperdebatkan dikalangan masyarakat, khususnya di Bali.
Adapun kondisi yang diperdebatkan adalah seputar dua obyek material pada
Undang-undang tersebut, yaitu desa dinas, yakni desa yang dibentuk berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan dilanjutkan dengan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 serta desa adat (desa pakraman), yakni desa yang
merupakan desa asli di Bali, dimana pada saat jaman penjajahan kolonial Belanda
disebut sebagai volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat
pribumi.

Atas obyek material ini. Bali tentunya memiliki karakteristik yang berbeda
tentang makna desa dengan desa-desa lain di Indonesia. Saat ini di Bali terdapat
dua jenis desa, yaitu: desa adat dan desa dinas. Desa adat atau desa pakraman
terdiri dari 1.488 desa, tergabung dalam wadah yang disebut Majelis Desa
Pakraman (MDP), sedangkan desa atau desa administratif (desa dinas) terdiri dari
585 desa dan 3.323 dusun serta 89 kelurahan dan 500 lingkungan. Adapun desa
adat atau desa pakraman dipimpin oleh seorang Bendesa, sedangkan desa dinas
dipimpin oleh seorang kepala desa yang di Bali disebut dengan Perbekel. Pasal 6
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dengan tegas
menyebutkan:"

(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat


(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

14
Selanjutnya pada penjelasan pasal tersebut disebutkan, ketentuan ini untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi
kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1
(satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi
tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih
salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Faktanya, pada saat dilakukan pemilihan untuk menentukan Desa atau


Desa Adat, di Bali terjadi pilihan yang tidak seragam, sebagian daerah memilih
menggunakan Desa (Desa Dinas) dan sebagian lagi memilih menggunakan Desa
Adat. Pada akhirnya pemerintah Daerah Bali menggunakan kedua desa tersebut
yakni Desa Dinas dan Desa Adat. Agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang antara desa adat dan desa dinas, maka
pemerintah daerah mengatur pembagian tugas dan wewenang masing-masing.

Ketentuan Pasal 96 (Penataan Desa Adat), Pasal 97 (Syarat penetapan


Desa Adat), Pasal 99 (Penggabungan Desa Adat), Pasal 103 (Kewenangan Desa
Adat), Pasal 107 (Pemerintahan Desa Adat), Pasal 109 (Susunan kelembagaan
Desa Adat), Pasal 110 (Peraturan Desa Adat) dan Pasal 111 (Keberlakuan
ketentuan Desa Adat) dianggap mencerminkan nilai-nilai budaya bali adalah
karena memang pasal-pasal tersebut adalah jawaban atas masukan-masukan yang
disampaikan oleh masyarakat Bali pada saat pembentukan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kesesuaian dimaksud tercermin pada pasal-
pasal diatas yang pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untukmelakukan penataan terkait masyarakat adat maupun desa adat,
termasuk meliputi kewenangan desa adat, pemerintahan desa adat, susunan dan
kelembagaan desa adat hungga peraturan desa adat yang di Bali disebut dengan
awig-awig

Selanjutnya Pasal 3 (Asas pengaturan Desa). Pasal 4 (Tujuan pengaturan


Desa), Pasal 6 (Jenis Desa), Pasal 18 (Kewenangan Desa), Pasal 19 (Cakupan
kewenangan Desa). Pasal 20 (Pelaksanaan kewenangan yang diatur dan diurus
oleh Desa), Pasal 21 (Pelaksanaan kewenangan yang diurus oleh Desa), Pasal 22

15
(Penugasan Desa). Pasal 23 (Penyelenggaraan pemerintahan Desa), Pasal 24
(Asas-asas Pelaksanaan kewenangan Desaj. Pasal 25 (Pemerintah Desa). Pasal 26
(Kepala Desa), Pasal 48 (Perangkat Desa). Pasal 49 (Tugas perangkat Desa), Pasal
34 (Musyawarah Desa). Pasal 55 (Bada Permusyawaratan Desa), Pasal 67 (Hak
dan Kewajiban Desa), Pasal 68 (Hak Masyarakat Desa), Pasal 69 (Peraturan
Desa), Pasal 71 (Keuangan Desa). Pasl 76 (Aset Desa), Pasal 94 (Lembaga
Kemasyarakatan Desa), Pasal 95 (Lembaga Adat Desa), Pasal 104 (Pelaksanaan
Kewenangan Desa Adat) dan Pasal 105 (Pelaksanaan kewenangan Desa Adat atas
penugasan pemerintah) dianggap kurang mencerminkan nilai-nilai budaya Bali,
karena ketentuan-ketentuan dimaksud sesungguhnya diperuntukkan bagi desa
pada umumnya di Indonesia, tidak hanya berdasarkan kondisi di Bali. Akan tetapi
ternyata sebagian besar pada ketentuan-ketentuan dimaksud juga memiliki irisan
kesesuaian dengan nilai-nilai budaya Bali. Sebagai contoh, pada ketentuan Pasal 3
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sebagian besar dari asas
pengaturan desa adalah mencerminkan nilai-nilai budaya Bali, yaitu: rekognisi
(pengakuan terhadap asal-usul), subsidiaritas (keputusan lokal),
kebersamaan,kegotongroyongan. kekeluargaan, musyawarah, kemandirian,
partisipasi dan keberlanjutan. Sementara disisi lain yang dianggap kurang
mencerminkan nilai-nilai budaya Bali adalah keberagaman, demokrasi dan
kesetaraan. Hal ini karena budaya Bali yang diilhami oleh ajaran agama Hindu,
sulit untuk menerima keyakinan yang berbeda selain Hindu, sehingga bagi orang-
orang bali yangpindah ke agama lain, juga akan dikeluarkan dari karma adat Bali
Selanjutnya dalam tatanan budaya masyarakat Bali kurang mencerminkan
demokrasi dan kesetaraan, terutama dalam perespektif gender (kesetaraan antara
laki-laki dengan perempuan). Kaum laki-laki mendominasi dalam berbagai aspek
tatanan kehidupan budaya masyarakat Bali.

Pengaturan tentang adanya dua jenis desa, yakni: desa dan desa adat. pada
ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
merupakan jalan keluar (solusi atas fakta-fakta yang ada dilapangan, dimana
ditemukan ketidakseragaman pemahaman dan pemaknaan desa antara satu daerah
dengan daerah lainnya di Indonesia.

16
Ketentuan Pasal Pasal 18 (Kewenangan Desa). Pasal 19 (Cakupan
kewenangan Desa), Pasal 20 (Pelaksanaan kewenangan yang diatur dan diurus
oleh Desa), Pasal 21 (Pelaksanaan kewenangan yang diurus oleh Desa), Pasal 22
(Penugasan Desa), Pasal 23 (Penyelenggaraan pemerintahan Desa), Pasal 24
(Asas-asas Pelaksanaan kewenangan Desa), Pasal 25 (Pemerintah Desa), Pasal 26
(Kepala Desa) kurang mencerminkan nilai-nilai budaya bali karena kewenangan
desa terbatas pada hal-hal yang berskala lokal saja.

Sementara itu, Pasal 31 (Pemilihan Kepala Desa), Pasal 34 (Pemilihan


Kepala Desa secara langsung), Pasal 35 (Penduduk pemilih Kepala Desa). Pasal
37 (Pemilihan Kepala Desa berdasarkan suara terbanyak). Pasal 38 (Kepala Desa
dilantik oleh Bupati/Walikota), Pasal 39 (Masa Jabatan Kepala Desa). Pasal 40
(Pemberhentian Kepala Desa), Pasal 104 (Kewenangan skala lokal Desa Adat)
dan Pasal 105 (Kewenangan Desa Adat dari Pemerintah), dianggap sama sekali
tidak mencerminkan nilai-nilai budaya Bali adalah didasarkan pada alasan sebagai
berikut:

- Pemilihan kepala desa (perbekel) dahulunya dilaksanakan sesuai


kebutuhan masyarakat berdasarkan musyawarah, akan tetapi dengan
lahinya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pemilihan
perbekel dilakukan menjadi serentak dengan pemungutan suara
secaralangsung. Akan tetapi pemilihan bendesa selaku pemimpin desa adat
di Bali dipilih harus berdasarkan musyawarah mufakat
- Pelantikan perbekel dilakukan oleh bupati/walikota, sementara pelantikan
bendesa dilakukan oleh Majelis Desa Adat

17
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mahasiswa fakultas hukum perlu belajar mengenai hukum dan
kebudayaan agar dapat mengetahui, mengerti, memahami hukum dan
kebudayaan, hubungan antara hukum dan kebudayaan, serta melaksanakan
hukum dan kebudayaan. Apapun profesinya, misalnya sebagai penegak
hukum/praktisi hukum, dapat menegakkan hukum dengan mencerminkan
nilai-nilai budaya setempat, sebagai akademisi, dapat memberikan
pemahaman dan pemikiran pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya setempat, dan sebagai profesi lainnya misalnya sebagai anggota
legislatif atau jabatan lain yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan, dapat membuat regulasi yang sesuai dengan nilai-nilai budaya
setempat. Dengan demikian maka masyarakat dapat memperoleh
kedamaian dan kesejahteraan. Dengan pelaksanaan hukum yang didasari
oleh pengetahuan, pengertian dan pemahaman yang utuh tersebut. maka
seorang mahasiswa fakultas hukum akan dapat mengisi profile sarjana
hukum.
2. Pada pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terdapat pasal-pasal yang
mencerminkan, kurang mencerminkan bahkan sama sekali tidak
mencerminkan nilai-nilai budaya Bali:
3. Pada pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa, terdapat pasal-pasal yang mencerminkan, kurang
mencerminkan bahkan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai budaya
Bali. 4. Adapun konsekwensi yang muncul atas ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Apabila

18
ketentuan dalam perundang-undangan mencerminkan (sesuai) dengan
nilai-nilai budaya setempat, maka hukum tersebut akan ditaati atau
dipatuhi oleh masyarakat tanpa perlu banyak melakukan sosialisasi dan
memberikan pemahaman dan pengertian hukum kepada masyarakat. 6.
Apabila ketentuan dalam perundang-undangan kurang mencerminkan
(kurang sesuai) dengan nilai-nilai budaya setempat, maka hukum tersebut
perlu sosialisasi dan memberikan pemahaman serta pengertian hukum
banyak kepada masyarakat agar hukum tersebut dapat ditaati atau dipatuhi
c. Apabila ketentuan dalam perundang-undangan sama sekali tidak
mencerminkan (tidak sesuai) dengan nilai-nilai budaya setempat, maka
hukum tersebut tidak akan berjalan dengan baik ditengah-tengah
masyarakat, bahkan kemungkinan masyarakat akan melakukan perlawanan
Terhadap hal seperti ini diperlukan upaya yang ekstra selain sosialisasi dan
memberikan pemahaman dan pengertian hukum kepada masyarakat, jugn
harus dibarengi dengan "paksaan" agar hukum tersebut dapat dijalankan.

2. Saran
1. Fakultas Hukum
Agar melakukan pembelajaran materi kuliah hukum dan kebudayaan lebih
mendalam dan lebih luas cakupannya, sehingga tercapai pemahaman yang
komprehensif bagi mahasiswa/i
2. Pembuat Undang-Undang
Agar melakukan perbaikan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa, dengan cara menyesuaikannya dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
3. Penegak Hukum

19
Agar dalam upaya penegakan hukum, dapat disesuaikan dengan nilai-nilai
budaya setempat serta kearifan lokal yang hidup dan berkembang ditengah
tengah masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor Tahun 1974 Tentang Perkawinan:

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:

Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali;

Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali:

Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta:

I Ketut Artadi, 2004, Makna Nilai dam Martabat Kebudayaan, Sinai, Denpasar

I Ketut Artadi, 2005, Asumsi-asumsi Dasar Kebudayaan, Sinai, Denpasar,

1 Ketut Artadi, 2006, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan, Pustaka Bali Post,
Denpasar

I Made Widnyana, 2013, The Living Law as Found in Balt, PT Fikalati Aneka
Jakarta

Wayan P. Windia, Desa Adat di Bali Sesudah Berlakunya Undang-Undang


Tentang Desa, Disajikan dalam Seminar Nasional, Program Studi S2
Hukum Univ Udayana Bekerjasama dengan Univ. Palangkaraya, Tanggal
16 Maret 2017, Denpasar, 2017.

http://buliexpress.jawapos.com, diakses tanggal, 9 Mei 2022, pukul 09.00 Wita


http://sejarahhindu.blogspot.com, diakses tanggal, 9 Mei 2022, pukul
09.15 Wita http://karya-ilmiah.um.ac.id, diakses tanggal 9 Mei 2022,
pukul 09.30 Wita http//www.ringtimesbali.com, diakses tanggal 10 Mei
2022, pukul 10.00 Wita

Anda mungkin juga menyukai