OLEH:
I MADE MEDIANA DWYJA
0215016008
+62 878-6150-8847
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
DENPASAR
2022
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah..................................................................
1.2. Rumusan Masalah............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 pentingnya Hukum Dan Kebudayaan Didalam Penegakan Hukum
Di Indonesia.....................................................................................
2.2 Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dengan Kebudayaan Bali............................................
2.3 Analisis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Dengan Kebudayaan Bali................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 20
3.2 Saran................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
masyarakat pedesaan, walaupun terjadinya perubahan itu tidak sama cepat
lambatnya, tergantung pada keadaan, waktu, dan tempatnya.1
Dengan demikian budaya hukum itu merupakan tanggapan yang
bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia
menunjukkan sikap prilaku manusia terhadap masalah hukum dan
peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Oleh karena sistem
hukum itu merupakan hubungan yang kait-mengait di anatara manusia,
masyarakat, kekuasaan dan aturan-aturan, maka titik perhatian
antropologi hukum pada prilakun manusia yang terlibat dalam peristiwa
hukum
1
Rahardjo,Satjipto,2010 Pengantar Hukum Progresif,Jakarta: Kompas
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
hukum/praktisi hukum adalah orang-orang yang bergerak atau berkecimpung
dalam praktek penegakan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan.
4
4. Pasal 6 (Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai, dan bagi yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun
harus dengan seizin orang tua/wali).
5. Pasal 7 (Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun).
6. Pasal 8 (Hubungan kekerabatan yang dilarang melakukan perkawinan).
7. Pasal 9 (Larangan poligami).
8. Pasal 30 (Kewajiban menegakkan rumah tangga).
9. Pasal 33 (Kewajiban saling mencintai, saling menghormati, Tolong
menolong).
10. Pasal 34 (Kewajiban menafkahi dan mengurus rumah tangga),
11. Pasal 42 (Anak sah).
12. Pasal 43 (Anak Ibu).
13. Pasal 45 (Kewajiban memelihara dan mendidik anak).
14. Pasal 46 (Kewajiban anak menghormati dan mentaati orang tua dan
memelihara orang tua),
5
III. Pasal-pasal yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai
Adapun yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis dalam hal ini untuk
mengklasifikasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan budaya Bali, perkawinan tidak hanya urusan pribadi dari
orang yang menikah, tetapi juga menjadi urusan keluarga, sehingga perkawinan di
Bali haruslah disertai dengan upacara-upacara adat/agama. Upacara yang
umumnya biasa disebut mekala-kalaan (natab banten beten) atau ada yang
6
menyebutnya dengan mebyakdon. Adapun maksud upacara ini adalah sebagai
pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih
yang terkandung di dalam diri kedua mempelai. Hal ini disebabkan perkawinan
dalam adat budaya Bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Pada dasarnya hukum adat dan budaya Bali menganut asas perkawinan
monogami, bahkan di beberapa wilayah terdapat larangan perkawinan poligami
kepada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, antara lain 1. Desa Adat
Tenganan Pegringsingan-Karangasem
7
4. Desa Bonyol
Tetangga Desa Bayung Gede, yakni Desa Bonyoh, juga menyimpan tradisi
pantang berpoligami. Larangan ini awalnya tidak tersurat dalam awig-awig.
Untuk menjamin kelestarian tradisi di desa ini, larangan itu punkemudian
disuratkan dalam awig-awig. Seperti di Desa Bayung Gede, mereka yang
melanggar dicabut status krama desa adatnya. Konsekwensinya, mereka tak bisa
ikut dalam kegiatan ritual keagamaan di desa, kecuali hanya pada upacara
kematian.
5. Desa Umbalan
8
1. Syarat umur: ajaran agama Hindu yang menjadi patron kebudayaan Bali tidak
menyebutkan dengan jelas mengenai umur berapa sesorang dapat
melangsungkan perkawinan, tetapi hanya menyatakan wanita dan pria harus
sudah dewasa. Dalam pergaulan masyarakat Bali pada umumnya dikenal
dengan istilah menek bajang, yakni: setelah wanita datang bulan pertama,
sedangkan bagi dikenal dengan istilah ngembakin, yaitu setelah laki-laki
berubah suaranya.
2. Syarat kesehatan: kemampuan melakukan senggama dapat dipandang sebagai
syarat penting. Orang yang mengalami gangguan fisik/phsikis yang dilarang
kawin: pria impoten, gila, wanita kuming (vagina sempit). pria basur, buah
pelir besar dan lain-lain.
3. Hubungan kekeluargaan yang dihindari melakukan perkawinan dalam budaya
masyarakat Bali adalah:
- Perkawinan gamya atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan
wanita yang berkedudukan selaku nenek atau bibi setingkat sepupu atau
sepupu dua kali.
- Perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-laki bersaudara
kandung), yang sering disebut mepaid engad -Perkawinan apit-apitan
(tetangga sederet jarak satu tetangga).
- Perkawinan gamya gumana, meliputi: perkawinan antara orang-orang
yang berkeluarga dalam garis keturunan kencang keatas dan kebawah.
perkawinan antara mertua dan menantu, perkawinan antara bapak/ibu tiri
dengan anak tiri.
Dalam hukum adat Bali, selain anak sah ada juga yang disebut anak astra,
yaitu: anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Sahnya perkawinan secara
adat harus melalui upacara adat agama Hindu yang dipimpin oleh sulinggih
(pedanda) dan disaksikan oleh keluarga dan masyarakat.
9
bersifat jasmaniah, orang tua juga berkewajiban memberi pengetahuan mengenai
Brahman (Tuhan).
Meskipun pada dasamya hukum adat dan budaya Bali menganut azas
perkawinan monogami, akan tetapi pada daerah-daerah tertentu perkawinan
poligami justru banyak dilakukan dan menjadi budaya di daerah tersebut,
misalnya: di Desa Adat Siakin Kecamatan Kintamani-Bangli, ternyata ada sekitar
15 Kepala Keluarga dari 350 Kepala Keluarga yang melakukan perkawinan
poligami. Desa Songan adalah salah satu desa di Bali yang menganut azas
perkawinan poligami. Tradisi poligami bagi masyarakat Desa Songan sesuatu
yang sudah biasa dan bahkan harus selalu diikuti.
Berdasarkan pada fakta tersebut, ternyata budaya Bali pada akhirnya harus
memberikan pilihan kepada masyarakat dalam hal menyikapi perkawinan
poligami sesuai dengan kearifan lokal di wilayah atau daerah masing-masing.
Dalam ajaran agama Hindu, perceraian merupakan hal yang tidak dianjurkan.
Dalam Rg Weda, perceraian bahkan dianggap sebagai pelanggaran terhadap
yadnya yang telah dilakukan dalam pernikahan. Dalam proses perkawinan
berdasarkan agama Hindu yang merupakan patron kebudayaan Bali, perkawinan
harus turut menghadirkan tri upasaksi yakni butha saksi, manusa saksi dan dewa
saksi sehingga perkawinan tersebut menjadi hal yang sakral.
10
- Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Apabila memang harus terjadi perceraian, maka hal tersebut terlebih
dahulu haruslah diselesaikan melalui proses adat. baru kemudian
dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk
memperoleh keputusan hukum -Setelah pengadilan mengeluarkan putusan,
maka salinan putusan perceraian atau akte perceraian diserahkan kepada
prajuru banjar atau desa pakraman. Dalam hukum adat dan budaya Bali,
juga mengenal konsep harta bersama. Dalam hukum adat dan budaya Bali,
harta benda perkawinan dibedakan menjadi:
1) Harta pusaka, yaitu harta warisan baik yang dapat dibagi-bagi seperti
sawah, ladang, dan lain-lain, maupun yang tidak dapat dibagi seperti
sanggah, merajan dan lain-lain;
2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa ke dalam perkawinan baik
oleh mempelai pria maupun mempelai wanita (jiwadana, tadtadan,
akaskaya, dan lain-lain);
3) Harta perkawinan yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan yang
disebut gunakaya atau pagunakaya
Dalam budaya Bali tidak ada larangan hagi bekas suami istri yang
telah bercerai dan pernah kawin dengan orang lain untuk rujuk
kembali. Kemudian dalam budaya Bali juga tidak mengenal adanya
masa iddah (masa tunggu) bagi pasangan suami istri yang telah
melakukan perceraian.
11
posisi yang lemah dalam kekerabatan, Budaya di Bali yang diilhami
dari ajaran agama Hindu, menginginkan pernikahan antara sesama
krama Bali, pernikahan beda agama dan beda golongan secara
eksplisit dapat dimaknai tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu. Di
dalam ajaran agama Hindu, setiap perkawinan diharuskan agar kedua
mempelai berada dalam satu agama dan kepercayaan.
12
13. Pasal 48 (Perangkat Desa)
14. Pasal 49 (Tugas perangkat Desa)
15. Pasal 54 (Musyawarah Desa)
16. Pasal 55 (Bada Permusyawaratan Desa)
17. Pasal 67 (Hak dan Kewajiban Desa) 18. Pasal 68 (Hak Masyarakat Desa)
18. Pasal 69 (Peraturan Desa) 20. Pasal 71 (Keuangan Desa)
1. 21. Pasi 76 (Aset Desa)
2. 22. Pasal 94 (Lembaga Kemasyarakatan Desa)
3. 23. Pasal 95 (Lembaga Adat Desa) 24. Pasal 104 (Pelaksanaan
Kewenangan Desa Adat)
4. 25. Pasal 105 (Pelaksanaan kewenangan Desa Adat atas penugasan
pemerintah)
III. Pasal-pasal yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Bali
Adapun yang menjadi dasar pemikiran bagi penulis dalam hal ini
untukmengklasifikasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014Tentang Desa adalah sebagai berikut: Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 TentangDesa menyebutkan: "Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
13
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia","
Atas obyek material ini. Bali tentunya memiliki karakteristik yang berbeda
tentang makna desa dengan desa-desa lain di Indonesia. Saat ini di Bali terdapat
dua jenis desa, yaitu: desa adat dan desa dinas. Desa adat atau desa pakraman
terdiri dari 1.488 desa, tergabung dalam wadah yang disebut Majelis Desa
Pakraman (MDP), sedangkan desa atau desa administratif (desa dinas) terdiri dari
585 desa dan 3.323 dusun serta 89 kelurahan dan 500 lingkungan. Adapun desa
adat atau desa pakraman dipimpin oleh seorang Bendesa, sedangkan desa dinas
dipimpin oleh seorang kepala desa yang di Bali disebut dengan Perbekel. Pasal 6
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dengan tegas
menyebutkan:"
14
Selanjutnya pada penjelasan pasal tersebut disebutkan, ketentuan ini untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi
kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1
(satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi
tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih
salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
15
(Penugasan Desa). Pasal 23 (Penyelenggaraan pemerintahan Desa), Pasal 24
(Asas-asas Pelaksanaan kewenangan Desaj. Pasal 25 (Pemerintah Desa). Pasal 26
(Kepala Desa), Pasal 48 (Perangkat Desa). Pasal 49 (Tugas perangkat Desa), Pasal
34 (Musyawarah Desa). Pasal 55 (Bada Permusyawaratan Desa), Pasal 67 (Hak
dan Kewajiban Desa), Pasal 68 (Hak Masyarakat Desa), Pasal 69 (Peraturan
Desa), Pasal 71 (Keuangan Desa). Pasl 76 (Aset Desa), Pasal 94 (Lembaga
Kemasyarakatan Desa), Pasal 95 (Lembaga Adat Desa), Pasal 104 (Pelaksanaan
Kewenangan Desa Adat) dan Pasal 105 (Pelaksanaan kewenangan Desa Adat atas
penugasan pemerintah) dianggap kurang mencerminkan nilai-nilai budaya Bali,
karena ketentuan-ketentuan dimaksud sesungguhnya diperuntukkan bagi desa
pada umumnya di Indonesia, tidak hanya berdasarkan kondisi di Bali. Akan tetapi
ternyata sebagian besar pada ketentuan-ketentuan dimaksud juga memiliki irisan
kesesuaian dengan nilai-nilai budaya Bali. Sebagai contoh, pada ketentuan Pasal 3
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sebagian besar dari asas
pengaturan desa adalah mencerminkan nilai-nilai budaya Bali, yaitu: rekognisi
(pengakuan terhadap asal-usul), subsidiaritas (keputusan lokal),
kebersamaan,kegotongroyongan. kekeluargaan, musyawarah, kemandirian,
partisipasi dan keberlanjutan. Sementara disisi lain yang dianggap kurang
mencerminkan nilai-nilai budaya Bali adalah keberagaman, demokrasi dan
kesetaraan. Hal ini karena budaya Bali yang diilhami oleh ajaran agama Hindu,
sulit untuk menerima keyakinan yang berbeda selain Hindu, sehingga bagi orang-
orang bali yangpindah ke agama lain, juga akan dikeluarkan dari karma adat Bali
Selanjutnya dalam tatanan budaya masyarakat Bali kurang mencerminkan
demokrasi dan kesetaraan, terutama dalam perespektif gender (kesetaraan antara
laki-laki dengan perempuan). Kaum laki-laki mendominasi dalam berbagai aspek
tatanan kehidupan budaya masyarakat Bali.
Pengaturan tentang adanya dua jenis desa, yakni: desa dan desa adat. pada
ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
merupakan jalan keluar (solusi atas fakta-fakta yang ada dilapangan, dimana
ditemukan ketidakseragaman pemahaman dan pemaknaan desa antara satu daerah
dengan daerah lainnya di Indonesia.
16
Ketentuan Pasal Pasal 18 (Kewenangan Desa). Pasal 19 (Cakupan
kewenangan Desa), Pasal 20 (Pelaksanaan kewenangan yang diatur dan diurus
oleh Desa), Pasal 21 (Pelaksanaan kewenangan yang diurus oleh Desa), Pasal 22
(Penugasan Desa), Pasal 23 (Penyelenggaraan pemerintahan Desa), Pasal 24
(Asas-asas Pelaksanaan kewenangan Desa), Pasal 25 (Pemerintah Desa), Pasal 26
(Kepala Desa) kurang mencerminkan nilai-nilai budaya bali karena kewenangan
desa terbatas pada hal-hal yang berskala lokal saja.
17
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mahasiswa fakultas hukum perlu belajar mengenai hukum dan
kebudayaan agar dapat mengetahui, mengerti, memahami hukum dan
kebudayaan, hubungan antara hukum dan kebudayaan, serta melaksanakan
hukum dan kebudayaan. Apapun profesinya, misalnya sebagai penegak
hukum/praktisi hukum, dapat menegakkan hukum dengan mencerminkan
nilai-nilai budaya setempat, sebagai akademisi, dapat memberikan
pemahaman dan pemikiran pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai
budaya setempat, dan sebagai profesi lainnya misalnya sebagai anggota
legislatif atau jabatan lain yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan, dapat membuat regulasi yang sesuai dengan nilai-nilai budaya
setempat. Dengan demikian maka masyarakat dapat memperoleh
kedamaian dan kesejahteraan. Dengan pelaksanaan hukum yang didasari
oleh pengetahuan, pengertian dan pemahaman yang utuh tersebut. maka
seorang mahasiswa fakultas hukum akan dapat mengisi profile sarjana
hukum.
2. Pada pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terdapat pasal-pasal yang
mencerminkan, kurang mencerminkan bahkan sama sekali tidak
mencerminkan nilai-nilai budaya Bali:
3. Pada pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa, terdapat pasal-pasal yang mencerminkan, kurang
mencerminkan bahkan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai budaya
Bali. 4. Adapun konsekwensi yang muncul atas ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Apabila
18
ketentuan dalam perundang-undangan mencerminkan (sesuai) dengan
nilai-nilai budaya setempat, maka hukum tersebut akan ditaati atau
dipatuhi oleh masyarakat tanpa perlu banyak melakukan sosialisasi dan
memberikan pemahaman dan pengertian hukum kepada masyarakat. 6.
Apabila ketentuan dalam perundang-undangan kurang mencerminkan
(kurang sesuai) dengan nilai-nilai budaya setempat, maka hukum tersebut
perlu sosialisasi dan memberikan pemahaman serta pengertian hukum
banyak kepada masyarakat agar hukum tersebut dapat ditaati atau dipatuhi
c. Apabila ketentuan dalam perundang-undangan sama sekali tidak
mencerminkan (tidak sesuai) dengan nilai-nilai budaya setempat, maka
hukum tersebut tidak akan berjalan dengan baik ditengah-tengah
masyarakat, bahkan kemungkinan masyarakat akan melakukan perlawanan
Terhadap hal seperti ini diperlukan upaya yang ekstra selain sosialisasi dan
memberikan pemahaman dan pengertian hukum kepada masyarakat, jugn
harus dibarengi dengan "paksaan" agar hukum tersebut dapat dijalankan.
2. Saran
1. Fakultas Hukum
Agar melakukan pembelajaran materi kuliah hukum dan kebudayaan lebih
mendalam dan lebih luas cakupannya, sehingga tercapai pemahaman yang
komprehensif bagi mahasiswa/i
2. Pembuat Undang-Undang
Agar melakukan perbaikan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa, dengan cara menyesuaikannya dengan nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
3. Penegak Hukum
19
Agar dalam upaya penegakan hukum, dapat disesuaikan dengan nilai-nilai
budaya setempat serta kearifan lokal yang hidup dan berkembang ditengah
tengah masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali;
Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali:
I Ketut Artadi, 2004, Makna Nilai dam Martabat Kebudayaan, Sinai, Denpasar
1 Ketut Artadi, 2006, Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan, Pustaka Bali Post,
Denpasar
I Made Widnyana, 2013, The Living Law as Found in Balt, PT Fikalati Aneka
Jakarta