Anda di halaman 1dari 160

Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Dan Formulasinya Dalam Peraturan

Perundang-Undangan

Slamet Riyanto¹, Febrian², Zen Zanibar³


1
Universitas Muhammadiyah Kotabumi
2,3
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Email: riyant_dsnkpts@yahoo.co.id, 2febrian_zen@yahoo.com,
1

3
zzen78@yahoo.co.id

Abstract

Bhinneka Tunggal Ika becomes an important concern when the issue of national disintegration arises. Therefore,
it is necessary to study the value contained in it and its formulation in the legislation. This normative legal
research is carried out with a statutory, conceptual, historical and futuristic approach. The results of the
research are: first, the value contained in Bhinneka Tunggal Ika, namely the value of unity-unitary must be
actualized in the life of the state. Second, Bhinneka Tunggal Ika should be formulated in laws and regulations
through: a) strict regulation as the state motto in constitution; and b) formulated in a law concerning the
formation of laws and regulations, which are based on the principles of harmony and equality.

Keywords: Bhinneka Tunggal Ika, formulation, unity-unitary.

Abstrak

Bhinneka Tunggal Ika menjadi perhatian penting ketika muncul isu disintegrasi bangsa. Oleh karena
itu perlu dilakukan pengkajian tentang nilai yang terkandung di dalamnya dan formulasinya di dalam
peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan perundang-
undangan, konseptual, sejarah dan futuristik. Hasil penelitian adalah: pertama, nilai yang terkandung dalam
Bhinneka Tunggal Ika yaitu nilai persatuan-kesatuan harus diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara.
Kedua, seharusnya Bhinneka Tunggal Ika diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan melalui:
a) pengaturan secara tegas sebagai semboyan negara dalam Undang-Undang Dasar; dan b) diformulasikan
dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang berlandaskan asas
kerukunan dan kesetaraan.

Kata Kunci: Bhinneka Tunggal Ika, formulasi, persatuan-kesatuan.

A. Pendahuluan

Bhinneka Tunggal Ika menjadi perhatian penting seiring dengan maraknya penggunaan isu SARA (Suku,
Agama, Ras, Antar Golongan) dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang telah menjadi keprihatinan
berbagai pihak. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah jauh-jauh hari memprediksi penggunaan isu SARA
dalam gelaran Pilkada.1 Pelaksanaan pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, menjadi pengalaman
berharga dalam demokrasi di Indonesia berkaitan dengan penggunaan isu SARA, yang menimbulkan
keprihatinan bangsa. Keprihatinan tersebut dikarenakan penggunaan isu SARA berpotensi menimbulkan
terjadinya gesekan-gesekan, atau bahkan terjadi konflik di masyarakat yang pada akhirnya dapat mengancam
integrasi bangsa. Suatu hal yang berpotensi membuat disintegrasi bangsa, haruslah dihindari oleh semua
pihak yang masih menginginkan adanya persatuan dan kesatuan di dalam bangunan NKRI.
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

Demokrasi yang diwarnai dengan keriuhan dan kegaduhan di mayarakat, khususnya yang terlihat nyata
di media sosial, disertai dengan merebaknya isu intoleransi, anti kebhinekaan, masivnya kabar bohong
atau hoax, luncuran fitnah terhadap kelompok dan politisi lain, silang pendapat dan silang sengketa yang
melahirkan konflik, telah membuat semakin menjauhnya harapan akan kepastian sosial politik (sosial political
certainty). Hal-hal tersebut yang mewarnai pelaksanaan demokrasi di Indonesia, semenjak digulirkannya
demokratisasi yang menandai awal era Reformasi sampai dengan pelaksanaan Pilpres tahun 2019 yang
melahirkan polarisasi di masyarakat. Tepatlah kemudian bila disebutkan bahwa demokrasi yang dijalankan
baru sebatas demokrasi prosedural, belum terwujud demokrasi substantif.2
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak mudah, khususnya dikarenakan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa multikultur, yang memiliki kemajemukan. Kemajemukan merupakan
anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia yang harus disyukuri dan sepatutnya
untuk terus dirawat dan dijaga. Sejarah bangsa Indonesia telah mengajarkan kepada generasi penerus
bangsa, mengenai bagaimana mengelola, merawat dan menjaga kemajemukan dengan senantiasa menjaga
persatuan dan kesatuan. Sumpah Pemuda yang diikrarkan para putera bangsa pada tahun 1928 mengajarkan
tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa demi untuk mencapai cita-cita bersama yaitu negara
Indonesia yang Merdeka. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, yaitu pada masa kerajaan Majapahit telah
dikenalkan sebuah konsep tentang bagaimana mengelola kemajemukan dalam suatu istilah yang diambil
dari seloka yakni “Bhinneka Tunggal Ika”.
Frase “Bhinneka Tunggal Ika” diambil dari pupuh (puisi) karya Mpu Tantular dalam Kakawin Sotasoma
yang bunyinya yaitu: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma. Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen.
Mangka ng Jinatwa kalawan Sinatatwa tunggal. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.3 Kutipan
yang diambil dari pupuh 139 bait 5 itu apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: “Konon
Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali.
Sebab kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”. Pupuh dari Mpu Tantular itu kemudian menjadi semacam doktrin
yang mengajarkan tentang perdamaian antara pemeluk agama yang berbeda, yaitu antara Budha dan
Siwa, disusul kemudian Islam yang masuk ke Majapahit. Doktrin yang mengajarkan bagaimana kerajaan
Majapahit menjaga persatuan diantara kemajemukan rakyatnya sebagai pemeluk agama yang berbeda-beda.
Puisi yang ditulis Mpu Tantular tersebut di atas, menggambarkan kehidupan sosial pada masa Majapahit
yang memiliki kemajemukan dalam hal umat beragama, dimana kehidupan tersebut berlangsung dalam
suasanan kerukunan. Ada praktek toleransi kehidupan beragama yang dijalankan oleh masyarakat Majapahit.
Mereka menjunjung nilai persatuan sebagai pedoman dalam interaksi sosial. Hal itulah yang kemudian
menginspirasi para pendiri bangsa Indonesia dan menjadi rujukan dalam cita-cita membangun satu
masyarakat majemuk dalam sebuah negara yang merdeka. Di kemudian hari, “Bhinneka Tunggal Ika”
dikenal menjadi semboyan negara Indonesia yang memiliki arti bahwa: “meskipun berbeda-beda, tetapi
tetap satu jua”.
Arti semboyan adalah suatu kalimat yang digunakan untuk menjadi dasar tuntunan, pedoman, atau
sebagai pegangan hidup. Sebagai sebuah pedoman, tentunya suatu semboyan harus mengandung nilai-
nilai yang oleh masyarakat nilai-nilai itu diyakini, dihormati dan dijunjung tinggi. Karena nilai merupakan
dasar atau landasan yang digunakan oleh manusia dalam bersikap dan bertingkah laku. Menurut Kaelan,4
“nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin”. Nilai

1
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, “Potensi Penggunaan Suku, Agama, Ras, Dan Antar Golongan Dalam
Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018,” https://bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/Layout_
Politik%20Identitas.pdf, 2017. Diakses pada tanggal 8/8/2022.
2
R. Siti Zuhro, “Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019,” Jurnal Penelitian Politik Vol.16, no. 1 (2019): 69–81.
3
Mpu Tantular, Kakawin Sotasoma (Depok: Komunitas Bambu, 2009). Hal. 505.
4
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2018).: 442.

2
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

bagi manusia dijadikan sebagai landasan, asas dan motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai juga
berkaian dengan harapan, keinginan, cita-cita serta segala sesuatu yang digunakan sebagai pertimbangan
batiniah manusia.
Bhinneka Tunggal Ika dalam kedudukannya sebagai semboyan negara, maka harus dijadikan sebagai
pedoman dalam kehidupan bernegara. Begitu juga dalam pelaksanaan demokrasi, Bhinneka Tunggal Ika
memiliki urgensi yang sangat tinggi terkait dengan kemajemukan bangsa Indonesia, agar demokrasi dapat
dijalankan dengan memperhatikan integrasi bangsa. Sebagai sebuah negara demokrasi dan juga negara
hukum, maka pelaksanaan demokrasi harus dijalankan dengan berdasarkan kepada hukum positif yaitu
peraturan perundang-undangan. Agar Bhinneka Tunggal Ika dapat menjiwai pelaksanaan demokrasi, maka
idealnya nilai yang terkandung di dalam Bhinneka Tunggal Ika diformulasikan ke dalam norma hukum
pada peraturan perundang-undangan.
Penelusuran terhadap penormaan tentang Bhinneka Tunggal Ika, ditemukan bahwa masih sangat
sedikit peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Bhinneka tunggal Ika disebutkan di
dalam UUD NRI 1945 pada Pasal 36A yang mengatur tentang Lambang Negara. Selanjutnya dalam UU
24/2009 disebutkan dalam Pasal 46 yaitu: “Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk
Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung
dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram
oleh Garuda”. Undang-undang ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain yang disebut di atas, ada UU 12/2011 yang menyinggung soal Bhinneka Tunggal Ika, namun
dalam kedudukan sebagai salah satu asas materi pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu
diatur pada Pasal 6 Ayat (1). Penjelasan mengenai asas Bhinneka Tunggal Ika adalah: “...bahwa Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Berangkat dari apa yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang layak
untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Persoalan itu terkait dengan apa nilai yang terkandung di dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian
juga terkait bagaimana formulasi nilai tersebut pada peraturan perundang-undangan. Untuk itu, penelitian
yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian untuk memperoleh kebenaran
koherensi.5 Penelitian hukum, sebagaimana pendapat Peter Mahmud Marzuki, memiliki tujuan untuk
memberikan preskripsi tentang apa yang seyogyanya dilakukan, dimana preskripsi tersebut timbul dari
hasil telaah yang dilakukan.6
Penelitian dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan yang dikombinasikan dengan pendekatan
konseptual. Untuk mempertajam analisis juga dilakukan pendekatan sejarah serta pendekatan futuristik.
Pengkajian secara mendalam dilakukan dengan analisis filosofis dan normatif, serta diperkuat menggunakan
metode hermeneutik. Sebagai pisau analisis digunakan teori atau konsep tentang nilai dan teori peraturan
perundang-undangan. Kemudian diakhiri dengan penarikan kesimpulan dengan cara membangun argumentasi
hukum guna menjawab isu hukum dalam penelitian.

B. Pembahasan

B.1. Nilai dalam Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Menemukan nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi suatu yang
seharusnya dilakukan, agar nilai tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa mengetahui apa nilai yang terkandung, maka semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya akan menjadi
slogan kosong, atau kata-kata yang tanpa memiliki makna. Untuk mengetahui kandungan nilai dalam

5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revi (Jakarta: Kencana, 2017).: 64
6
Ibid, 69.

3
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

Bhinneka Tunggal Ika dapat dilakukan dengan merumuskan maknanya bagi kehidupan bernegara dalam
bingkai bangunan NKRI.
Memahami sebuah makna akan tergantung pada pengalaman hidup pribadi seseorang, sehingga
penafsiran terhadap suatu makna memiliki sifat yang personal bagi tiap individu. Pengetahuan dan
kemampuan seseorang akan mempengaruhi makna yang ditemukan. Oleh karenanya, makna dapat ditemukan
dengan jalan “memahami” yang merupakan kemampuan individual, dimana dengan memahami ia dapat
menangkap makna, bukan hanya sekedar mendapatkan “data”.8 Data bisa didapatkan dengan menggunakan
bantuan alat, namun makna hanya dapat ditemukan melalui pemahaman seseorang. Memahami makna
semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat dilakukan dengan hermeutik, yang merupakan kegiatan untuk
menyingkap makna dari sebuah teks.9
Berdasarkan filsafat analitika bahasa, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” hakekatnya merupakan satu
frase. Secara morfologis, “Bhinneka” merupakan kata polimorfemis dari kata “bhina” dan “ika”. Dalam
bahasa asalnya yaitu Sanskerta, “bhina” berasal dari kata “bhid” yang diartikan sebagai “beda”. Karena
proses linguistik dengan digabungkan morfem “ika”, menjadi kata “bhinna”. Sedangkan kata “ika” diartikan
sebagai “itu”. Dengan demikian kata “Bhinneka” memiliki arti “beda itu”, dan “tunggal ika” artinya “satu itu”.
Secara linguistik maka makna struktural dari frase “Bhinneka Tunggal Ika” adalah: “beda itu, satu itu”. 10

Frase Bhinneka Tunggal Ika dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia yang artinya: berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Dalam kamus bahasa Indonesia,11 dapat ditemukan kata “bhineka” dan kata “tunggal”,
namun tidak terdapat kata “ika”. Berdasarkan susunan katanya, arti Bhinneka Tunggal Ika dalam bahasa
Indonesia yaitu: “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” mengandung dua hal. Pertama, kata “berbeda-beda”
dapat dimaknai bahwa secara kuantitas berarti “ada lebih dari satu”, sedangkan secara kualitas berarti
“berlainan”. Kedua, kata “tetap satu” memiliki arti bahwa dalam kurun waktu masa lalu, masa kini dan
masa mendatang, hal itu “tidak berubah menjadi tidak satu”. Dalam konteks dengan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai semboyan, maka hal yang “berbeda-beda” dan hal yang “tetap satu” itu merupakan hal yang terkait
dengan kondisi dan kehidupan manusia. Suatu hal yang penting dan berguna bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, hal tersebut adalah sesuatu yang memiliki “nilai”.
Nilai yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata value, merujuk pada pendapat Garner
adalah sesuatu yang memiliki makna (significance), sesuatu yang diinginkan (desirability), atau sesuatu
yang mempunyai kegunaan (utility of something).12 Menurut Darmodiharjo, nilai adalah yang berguna untuk
manusia baik secara fisik maupun rohani.13 Sedangkan Soekanto berpendapat bahwa nilai merupakan
suatu yang bersifat positif dan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, serta harus dimiliki agar
diperhitungkan dalam kehidupan sosial.14
Jenis nilai menurut Notonagoro15 dapat dikategorikan dalam tiga kategori nilai, yaitu: nilai material,
nilai vital, dan nilai kerohanian. Nilai material mencakup berbagai konsepsi tentang semua hal yang berguna
bagi fisik manusia. Nilai vital mengenai segala sesuatu yang berguna untuk manusia menjalankan segala
aktivitas. Sementara nilai kerohanian berkaitan dengan kebutuhan manusia dari sisi rohani.
Kaelan membagi nilai menjadi tiga kelompok, yakni: nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis.16

7
Muhammad Alfan, Filsafat Kebudayaan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013): 125
8
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, Hermeutik Dari Schlemacher Sampai Derida (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015): 9.
9
Ibid, 12.
10
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: 13.
11
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
12
Brian A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Ed (St. Paul: West Publishing Co, 1999): 1550.
13
Wagiman, “Nilai, Asas, Norma, Dan Fakta Hukum: Upaya Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahamannya,” Jurnal
Filsafat Hukum Vol. 1, no. 1 (2016): 43–73.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: 442.

4
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

Nilai dasar adalah nilai yang secara ontologis, berupa hakekat, intisari, esensi atau makna terdalam. Karena
berkaitan dengan hakekat kenyataan obyektif, maka nilai dasar bersifat universal. Nilai dasar menjadi
sumber norma yang akan direalisasikan dalam kehidupan, sehingga meskipun dalam praktek dijabarkan
berbeda-beda, namun tidak bertentangan dengan nilai dasar. Nilai instrumental merupakan pedoman yang
terukur dan dapat diarahkan dari perwujudan nilai dasar. Sedangkan nilai praksis, adalah penjabaran
dari nilai instrumental dalam kehidupan nyata. Ketiga nilai di atas membentuk suatu sistem yang saling
berhubungan secara koheren.
Nilai pada dasarnya digunakan sebagai alat untuk mengukur moral manusia, berkenaan dengan
perbuatan baik atau perbuatan jelek. Seseorang dianggap melakukan perbuatan yang memiliki muatan
moral baik apabila perbuatan tersebut memenuhi nilai, sehingga perbuatan tersebut akan dianggap sebagai
perbuatan yang dinilai baik. Jika perbuatan seseorang tidak memenuhi nilai, maka perbuatan tersebut
harus dinilai sebagai perbuatan yang tidak baik atau perbuatan yang buruk. Pemahaman terhadap nilai-
nilai memberikan kerangka acuan kepada manusia dalam kehidupannya, sehingga semakin berhasil
mewujudkan nilai-nilai, maka ia menjadi semakin sempurna.

Filsafat modern mengadakan pembedaan nilai dengan pembagian atau penggolongan sebagai berikut:17
a. Nilai moral yaitu nilai yang berkaitan dengan yang baik secara moral;
b. Nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan;
c. Nilai religius yang memperoleh bentuknya dari sudut suatu religi tertentu;
d. Nilai teknikal atau instrumental yang berkaitan dengan berfungsinya atau bekerjanya sesuatu dengan
baik.
Kehidupan bersama dalam NKRI merupakan komitmen kenegaraan bangsa Indonesia. Dalam kehidupan
bernegara memerlukan nilai yang dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap, bertindak dan berprilaku
sesuai dengan nilai dasar manusia. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berfungsi sebagai
pedoman atau pegangan hidup, sudah semestinya mengandung nilai yang harus diaktualisasikan dalam
kehidupan bernegara. Bhinneka Tunggal Ika mengandung suatu kebajikan karena bukan hanya ditujukan
untuk individu tetapi ditujukan pada kehidupan masyarakat.
Guna mengetahui nilai yang dikandung di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat dilakukan
dengan menafsirkan kata-kata di dalamnya. Dari kata “berbeda-beda” dapat diartikan atau menunjukkan
adanya keberagaman, kemajemukan atau kebhinekaan. Kebhinekaan atau kemajemukan bangsa Indonesia
meliputi: suku, etnis, budaya, agama, dan bahasa. Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan, kemudian
juga muncul keberagaman ideologi politik. Oleh karena itu, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, maka
kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: 1) kebhinekaan
sosial; 2) kebhinekaan agama; dan 3) kebhinekaan politik. Kebhinekaan bukanlah “sesuatu” yang padanya
dapat dilekatkan sebuah nilai baik atau jelek. Kebhinekaan adalah sebuah realitas atau keadaan yang bersifat
alamiah, yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.18 Dengan demikian, kebhinekaan adalah
suatu fakta, yang semestinya bersifat netral, sehingga kepadanya tidak tepat bila dilekatkan suatu “nilai”
Perkataan “tetap satu”, mengandung dimensi waktu yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa
mendatang. Hal “tetap satu” juga memiliki dimensi ruang, karena untuk menjadi “tetap satu” diperlukan
adanya wadah. Agar “tetap satu” sebagai sebuah bangsa atau negara, diperlukan usaha dari individu dan
masyarakat dengan cara “bersatu” dan “menyatu”. Untuk itu, diperlukan sebuah wadah yaitu berupa
“persatuan” dan “kesatuan”. Persatuan dan kesatuan merupakan keadaan atau kondisi yang dibentuk oleh
17
JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, IV (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2015): 249.
18
Bayu Dwi Anggono and Emanuel Raja Damaitu, “Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Nasional
Menuju Indonesia Emas,” Pancasila: Jurnal Keindonesiaan Vol. 1, no. 1 (2021): 34–44, https://doi.org/10.52738/pjk.
v1i1.22.

5
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

manusia baik secara individu maupun masyarakat. Keduanya merupakan upaya perbuatan manusia yang
padanya dapat dinilai dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang baik atau jelek. Karena itu, persatuan
dan kesatuan dapat dikategorikan merupakan sebuah nilai.
Berdasarkan penafsiran kata-katanya, maka Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai persatuan dan
nilai kesatuan. Persatuan adalah perihal bersatu, yaitu gabungan dari bagian-bagian yang bersatu. Adanya
persatuan memerlukan gerak dari bagian-bagian untuk bergabung menjadi satu. Bagian-bagian itu tetap
ada dan memiliki sifatnya masing-masing, tetapi bagian-bagian itu berkumpul menjadi satu, sehingga
kumpulannya itu menjadi lebih besar dibanding bagiannya. Kesatuan merupakan perihal menyatu, yang
bersifat satu. Dalam kesatuan tidak terlihat lagi bagian-bagian karena sudah menyatu atau melebur menjadi
satu. Sifat masing-masing bagian tidak ada lagi, yang ada adalah sifat yang baru yaitu sifat kesatuan.
Persatuan dan kesatuan yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan bersatunya
rakyat yang terdiri dari beribu-ribu etnis, dengan berbagai tradisi, budaya, dan struktur sosial yang berbeda-
beda, serta menyatunya wilayah yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan wilayah yang sangat luas.
Persatuan dan kesatuan pada hakekatnya adalah satu. Ia adalah suatu yang mempunyai sifat kesatuan
yang tidak dapat dibagi. Namun demikian, sifat kesatuan itu meliputi dua hal keadaan, yaitu: pertama,
kesatuan yang merupakan kesatuan dalam bentuk kesatuan tunggal; dan yang kedua adalah kesatuan
yang merupakan kumpulan atau gabungan yang terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk
susunan menjadi sebuah kesatuan yang baru (persatuan). Kesatuan tunggal terbentuk dari proses dengan
cara menyatu, sedangkan persatuan terbentuk melalui proses bersatu. Dalam kesatuan itu hanya ada
sifat sebagai keutuhan, sedangkan dalam persatuan masih terlihat adanya kebhinekaan atau keragaman.
Nilai persatuan dan nilai kesatuan yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika pada hakekatnya
adalah satu nilai. Tekad rakyat Indonesia untuk bersatu dan menyatu menjadi bangsa Indonesia dan negara
Indonesia adalah merupakan kebulatan tekad. Tekad yang bulat, utuh dan tidak terbagi. Oleh karena itu,
nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika itu hanya bulat satu dan utuh yaitu satu nilai. Nilai
yang disebut dalam satu frase tanpa menggunakan kata “dan”, karena kata itu menunjukkan adanya dua
hal atau ada lainnya. Nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah “nilai persatuan-
kesatuan”. Suatu nilai yang menunjukkan adanya kemanunggalan nilai di dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Gagasan tentang satu nilai dalam Bhinneka Tunggal Ika yakni nilai persatuan-kesatuan, didasarkan
pada pemahaman mengenai konsep toleransi yang dipraktekkan pada masa kerajaan Majapahit. Toleransi
antar umat beragama pada masa itu berjalan dengan baik melalui perpaduan antara keberagaman dan
kesatuan. Model perpaduan tersebut merupakan ciri khas budaya nusantara, khususnya merujuk pada
kearifan lokal pada masyarakat Jawa yang mampu memaknai kemajemukan sambil mencari level kearifan
untuk meleburkan kemajemukan ke dalam persatuan. Seperti contoh penyebutan dwi tunggal (dua tetapi
satu) untuk menyebut kepemimpinan Sukarno dan Hatta.
Nilai persatuan-kesatuan, merujuk pada pembagian nilai oleh Kaelan, maka merupakan nilai dasar
bagi kehidupan bernegara Indonesia. Sebagai nilai dasar, maka nilai persatuan-kesatuan perlu dijabarkan
ke dalam nilai instrumental dan nilai praktis yang merupakan perwujudan di dalam kehidupan nyata.
Penjabaran dari nilai persatuan-kesatuan yang menjadi nilai instrumental adalah nilai kerukunan dan nilai
kesetaraan. Untuk adanya persatuan diperlukan adanya kerukunan. Sedangkan untuk adanya kesatuan
maka harus ada kesetaraan. Secara lebih lanjut, perwujudan dalam kehidupan nyata sebagai nilai praktis
antara lain adalah dengan toleransi, cinta kasih dan kekeluargaan. Sementara nilai kesetaraan dapat
diwujudkan melalui persamaan hak, pengakuan dan penghormatan.

6
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

Nilai Bhinneka Tunggal Ika dapat digambarkan sebagai berikut:

Nilai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dijadikan sebagai pegangan bagi kehidupan bernegara
dalam bangunan negara kesatuan Republik Indonesia.
Guna menghadapi persoalan demokrasi berupa maraknya penggunaan isu SARA sebagaimana disebutkan
pada awal tulisan ini, maka perlu dilakukan penguatan nilai persatuan-kesatuan yang merupakan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara, agar keutuhan NKRI tetap terjaga. Bhinneka Tunggal Ika perlu
diaktualisasikan melalui pengamalan nilai persatuan-kesatuan dalam segala aspek kehidupan bernegara,
agar ia benar-benar berfungsi sesuai dengan kedudukannya sebagai semboyan negara.

B.2. Formulasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Peraturan Perundang-undangan

Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu hukum memiliki supremasi dimana semua tindakan
rakyat maupun pemerintah harus tunduk dan patuh kepada hukum. Negara hukum Indonesia adalah
negara hukum Pancasila, yaitu menempatkan Pancasila sebagai Grundnorm, sehingga menjadi sumber
materiil dari semua produk hukum. Produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang di dalam
sistem hukum Indonesia disusun secara hierarkis dengan UUD NRI 1945 menempati kedudukan tertinggi.
Hierarki peraturan perundang-undangan merupakan sistem hukum berupa susunan norma-norma
hukum secara bertingkat yang didasarkan pada teori Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen.19 Berdasar
teori tersebut, maka setiap norma hukum harus memiliki dasar hukum di atasnya, dan menjadi sumber
hukum untuk norma hukum di bawahnya. Susunan norma dalam bentuk piramida. Norma yang lebih
rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi, sehingga semakin tinggi suatu norma
maka akan semakin abstrak sifatnya, begitu juga sebaliknya, semakin rendah kedudukannya maka akan
semakin konkret normanya. Norma yang mencapai puncak piramida menempati kedudukan tertinggi adalah
grundnorm atau ursprungnorm yang menjadi norma dasar20, yang pada umumnya bersifat meta juridisch.
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan semboyan negara harus diformulasikan ke dalam peraturan
perundang-undangan. Makna peraturan perundang-undangan menurut King Faisal Sulaiman adalah: 1)
setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berbasis
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum; 2) merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi
ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, status, atau suatu tatanan; dan 3) merupakan peraturan
yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan

19
Budiono Kusumohamidjojo, TEORI HUKUM Dilema Antara Hukum Dan Kekuasaan (Bandung: Yrama Widya, 2016):
160-161.
20
Boy Nurdin, Filsafat Hukum (Tokoh-Tokoh Penting Filsafat: Sejarah Dan Intisari Pemikiran) (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2014): 189.

7
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

pada objek, peristiwa, atau gejala konkret tertentu.21 Sementara menurut Soehino, segala bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan tentu mengatur tentang materi atau suatu hal keadaan/konkret. Tentang
apa dan mana materi yang diatur dalam sebuah peraturan, telah dibuat ketentuannya.22
Peraturan perundang-undangan atau wettelijke regeling dalam sistem hukum Indonesia, jenis
dan susunannya diatur dalam UU No. 12/2011 yaitu pada Pasal 7 Ayat (1) yakni: UUD NRI 1945 yang
kedudukannya tertinggi, di bawahnya ada TAP MPR, kemudian UU dan Perpu yang kedudukannya setara,
di bawahnya lagi ada Peraturan Pemerintah, di bawahnya Peraturan Presiden, di bawahnya Perda Provinsi,
dan paling bawah Perda Kabupaten/Kota. Selain peraturan perundang-undangan tersebut, dalam Pasal 8
Ayat (1) diatur jenis lainnya yaitu peraturan yang ditetapkan oleh: MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU
atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan mempunyai ciri atau sifat yaitu: 1) merupakan keputusan tertulis,
artinya dalam format atau bentuk tertentu; 2) dibuat, ditetapkan, dan diterbitkan berdasarkan atribusi
ataupun delegasi, oleh pejabat berwenang, baik pada tingkat pusat ataupun di tingkat daerah; 3) memiliki
sifat mengatur (regulerend) yang berisi aturan mengenai ragam tingkah laku, jadi tidak einmahlig atau
bersifat sekali selesai; dan 4) bersifat umum tidak individual, yang aturannya ditujukan untuk khalayak
umum sehingga mengikat secara umum.23 Unsur dari peraturan perundang-undangan menurut Ruiter
ada tiga yaitu: 1) rechts normen, artinya mengandung norma hukum; 2) naar buiten werken, yang berarti
berlaku ke luar; dan 3) algemeenheid in ruimezzin, maksudnya bersifat umum secara luas.24
Formulasi Bhinneka Tunggal Ika dalam peraturan perundang-undangan, akan berkaitan dengan materi
muatan peraturan perundang-undangan. Hal itu untuk mengetahui mengenai peraturan perundang-undangan
jenis apa yang tepat untuk memformulasikan tentang Bhinneka Tunggal Ika. Konstitusi Indonesia yakni UUD
NRI 1945 sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang menempati kedudukan tertinggi, menjadi
sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya sehingga materinya merupakan aturan
pelaksanaan dari perintah UUD NRI 1945.25 Materi muatan dalam UUD itu sendiri, menurut Sri Sumantri
pada umumnya ada tiga, yaitu: 1) struktur ketatanegaraan yang sifatnya fundamental; 2) pembagian dan
pembatasan kekuasaan negara yang bersifat fundamental; dan 3) adanya jaminan hak-hak warga negara
dan hak asasi manusia.26
Memformulasikan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam peraturan perundang-undangan, menurut penulis
harus didasarkan pada dua unsurnya, yaitu: pertama, kedudukan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan
negara; dan kedua, nilai yang terkandung di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Berdasarkan
hal tersebut, formulasinya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: diformulasikan di dalam konstitusi dan
diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan di
bawah ini.

21
King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujinya (Yogyakarta: Thafa Media, 2017):
22
Bayu Dwi Anggono, “Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi Dan Tantangannya
Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 9, no. 1
(2020): 17, https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1.389.
23
Bayu Dwi Anggono, “Tertib Jenis, Hierarki, Dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan
Dan Solusinya,” Masalah-Masalah Hukum Vol. 47, no. 1 (2018): 1–9, https://doi.org/https://doi.org/10.14710/
mmh.47.1.2018.1-9.
24
Ni’matul Huda, “Kedudukan Dan Materi Muatan Peraturan Menteri Dalam Perspektif Sistem Presidensial,” Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 28, no. 3 (2021): 550–71, https://doi.org/DOI: 10.20885/iustum.vol28.iss3.art5.
25
Putra Perdana Ahmad Saifulloh, “Gagasan Konstitusi Pangan: Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga Negara
Dalam Amandemen Kelima UUD 1945,” Jurnal HAM Vol. 12, no. 2 (2021), https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/
ham.2021.12.227-244.
26
Hasanuddin Hasim, “Gagasan Muatan Materi Dalam Perubahan UUD 1945,” Jurnal Al-’Adl Vol. 10, no. 2 (2017): 83–

8
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

a. Formulasi Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara dalam Konstitusi


Kedudukan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara semestinya diatur secara tegas di dalam
konstitusi mengingat fungsinya sebagai pegangan hidup bernegara yang merupakan hal fundamental. UUD
NRI 1945 pada saat pertama kali disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak mengatur mengenai
semboyan negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika baru disebutkan dalam UUD NRI 1945 setelah dilakukan
amandemen. Namun demikian, penyebutan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat dalam Bab XV
dengan judul Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pada Pasal 36A disebutkan:
“Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Berdasarkan penelusuran mengenai penormaan Bhinneka Tunggal Ika diketahui bahwa pertama kali
pengaturannya terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Pada Pasal 1 PP tersebut disebutkan:
“Lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Burung Garuda, yang menengok dengan kepalanya lurus kesebelah kanannya;
2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda;
3. Semboyan ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.”
Kemudian pada Pasal 5 diatur: “Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan
dalam bahasa Jawa Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Dari ketentuan dalam PP tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan bagian dari Lambang Negara.
Bhinneka Tunggal Ika disebut sebagai “semboyan” tidak disebutkan sebagai “semboyan negara”.
Undang-undang yang mengatur lambang negara yaitu UU 24/2009 dalam Pasal 46 menyebutkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi bagian dari Lambang Negara. UU tersebut tidak mengatur
lebih lanjut mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Juga tidak ada penegasan bahwa Bhinneka Tunggal
Ika adalah semboyan negara.
Pada proses amandemen UUD NRI 1945, berkaitan dengan perumusan Bhinneka Tunggal Ika dapat
disimak dalam rapat pembahasan-pembahasan atribut kenegaraan. Pembahasan itu terjadi pada awal
pembahasan perubahan kedua, Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
(PAH I BP MPR). Dalam pembahasan pada rapat tersebut, ternyata mengenai semboyan negara tidak banyak
disebutkan. Hanya Happy Bone Zulkarnaen dari Fraksi Partai Golkar yang mengusulkan adanya pasal
khusus tentang semboyan negara. Ia mengemukakan pendapatnya yaitu:
Fraksi Partai Golkar juga mengusulkan agar untuk atribut-atribut yang lain seperti lambang negara,
semboyan negara, dan lagu kebangsaan yang sudah mendarah daging dan bersenyawa dengan jiwa bangsa
kita selama ini, perlu ditegaskan untuk dicantumkan dalam pasal-pasal selanjutnya pada Bab XV ini.
Tambahan pasal yang dimaksud ialah,
Pasal 37:
“Lambang Negara ialah Garuda Pancasila”.
Pasal 38:
“Semboyan Negara ialah Bhineka Tunggal Ika”.27
Usulan mengenai Bhinneka Tunggal Ika dijadikan sebagai semboyan negara tersebut di atas, tidak
mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota MPR. Pada akhirnya, formulasi Bhinneka Tunggal Ika
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 36A UUD NRI 1945 yang menempatkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
bagian dari Lambang Negara Garuda Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa mengingat pentingnya Bhinneka Tunggal
Ika bagi bangsa Indonesia yang merupakan bangsa multikultur, perlu formulasi dalam konstitusi yang
27
Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif, NASKAH KOMPREHENSIF PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Latar Belakang, Proses Dan Hasil Pembahasan 1999-2000. Buku II.
Sendi-Sendi/Fundamental Negara, Edisi Revisi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2010): 642.

9
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

menegaskan fungsi Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, dalam arti menjadi pegangan atau pedoman
hidup bernegara. Formulasinya bisa dengan menegaskan kedudukan sebagai semboyan negara di dalam
UUD NRI 1945, dengan konsekuensi melakukan amandemen UUD. Dengan formulasi semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dalam konstitusi, maka penguatan nilai persatuan-kesatuan memiliki landasan yuridis yang
kuat.
b. Formulasi Nilai Persatuan-kesatuan dalam Peraturan Perundang-undangan
Salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011 adalah asas
Bhinneka Tunggal Ika. A. Hamid S. Attamimi berpendapat, asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik adalah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi
peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya, serta mengikuti
proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan.28 Menurut Bruggink, asas hukum merupakan
suatu kaidah yang di dalamnya memuat ukuran atau kriteria nilai. Fungsi asas hukum untuk merealisasikan
ukuran nilai sebanyak mungkin ke dalam kaidah-kaidah pada hukum positif dan penerapannya.29
Penempatan Bhinneka Tunggal Ika sebagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut
penulis mengandung problematika. Problematiknya yaitu kerancuan istilah karena Bhinneka Tunggal Ika
adalah semboyan yang di dalamnya terkandung nilai persatuan-kesatuan. Sedangkan asas Bhinneka Tunggal
Ika sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 menekankan pada “harus memperhatikan keragaman”.
Padahal di dalam nilai persatuan-kesatuan, bukan hanya mengandung keragaman, tetapi juga kesatuan,
yang keduanya merupakan dua hal yang seharusnya tidak dipisahkan.
Di dalam nilai persatuan-kesatuan, terkandung keragaman dan bersamaan itu juga ada kesatuan.
Keragaman yang sesuai dengan nilai persatuan-kesatuan mensyaratkan adanya kerukunan. Sedangkan
di dalam kesatuan memerlukan adanya kesetaraan. Dengan demikian, dari nilai persatuan-kesatuan itu
melahirkan kerukunan dan kesetaraan.
Asas Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana dimaksud oleh UU 12/2011, menekankan pada pembentukan
peraturan perundang-undangan yang “harus memperhatikan keragaman”. Frase “harus memperhatikan
keragaman” kurang mencerminkan kedudukan dan fungsinya sebagai asas hukum. Padahal asas hukum
menjadi pedoman dalam menentukan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sifat norma
hukum pada peraturan perundang-undangan meliputi: perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan
(toestemming), dan pembebasan (vrijstelling).30 Akan kesulitan melekatkan sifat norma hukum pada asas
Bhinneka Tunggal Ika.
Sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam Bhinneka Tunggal Ika yakni nilai persatuan-kesatuan,
maka menurut penulis asas hukum yang dilahirkan dari nilai tersebut adalah asas kerukunan dan asas
kesetaraan. Hal itu selaras dengan hubungan antara nilai, asas, dan norma yang mengandung pengertian
dari yang bersifat abstrak ke yang bersifat lebih konkrit. Nilai persatuan-kesatuan yang bersifat abstrak,
dijabarkan menjadi asas kerukunan dan kesetaraan yang memiliki makna yang lebih konkrit, untuk
selanjutnya dirumuskan ke dalam norma yang bersifat konkrit operasional.
Berdasar paparan-paparan di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa formulasi nilai Bhinneka
Tunggal Ika dalam peraturan perundang-undangan adalah dengan menjabarkannya melalui asas kerukunan
dan kesetaraan. Selanjutnya dari asas tersebut dapat dirumuskan norma hukum yang bersifat konkrit
sebagai pedoman dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan fungsi Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan.
Untuk itu, maka formulasi nilai Bhinneka Tunggal Ika dilakukan melalui cara pembentukan undang-undang

28
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-
Undang Berkelanjutan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009): 23.
29
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum: 122-123.
30
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-
Undang Berkelanjutan: 21.

10
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

yakni undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tentunya perlu revisi atau
perubahan terhadap UU Nomor 11 tahun 2012, yang memerlukan waktu karena pembentukan undang-
undang memiliki karakter yang formal prosedural.31 Pembentukan undang-undang dalam rangka untuk
formulasi nilai Bhinneka Tunggal Ika harus dilakukan sesuai dengan tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan pada umumnya yang melewati tiga tahap yakni: ante legislatif, legislatif, dan post
legislatif.32
Formulasi nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam undang-undang akan menjadikan nilai persatuan-kesatuan
yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai pedoman praktek kehidupan bernegara. Nilai persatuan-
kesatuan akan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, menjadi pedoman bagi kehidupan individu,
masyarakat, maupun dalam pelaksanaan kehidupan bernegara. Dengan demikian, semboyan Bhinneka
Tunggal Ika bukan hanya sebatas motto atau slogan yang tanpa terimplementasikan dalam kehidupan
nyata, tetapi benar-benar teraktualisasikan sesuai dengan fungsinya sebagai semboyan, yaitu sebagai
pegangan hidup kehidupan bernegara.

C. Penutup

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa multikultur yang
memiliki kemajemukan suku, etnis, agama, bahasa dan budaya. Nilai yang terkandung di dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika adalah nilai persatuan-kesatuan yang harus diaktualisasikan menjadi pedoman atau
pegangan hidup kehidupan berbangsa dan bernegara. Bhinneka Tunggal Ika seharusnya diformulasikan
dalam peraturan perundang-undangan melalui: 1) penegasan sebagai semboyan negara yang tertuang
dalam konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan 2) pembentukan
peraturan perundang-undangan yang disusun dengan berlandaskan asas kerukunan dan kesetaraan yang
diatur dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

31
Handayani, I Gusti Ayu Ketut Rachmi, Lego Karjoko, and Abdul Kadir Jaelani. “Model Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi Yang Eksekutabilitas Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Jurnal Bestuur Vol.
7, no. 1 (2019): 36–46.
32
Chandra, M Jeffri Arlinandes, Vera Bararah Barid, Rofi Wahanisa, and Ade Kosasih. “Tinjauan Yuridis Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Yang Sistematis, Harmonis Dan Terpadu Di Indonesia.” Jurnal Legislasi Indonesia 19,
no. 1 (2022): 1–11.

11
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juli 2023: 1-13

Daftar Pustaka

Alfan, Muhammad. Filsafat Kebudayaan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013.

Anggono, Bayu Dwi. “Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi Dan
Tantangannya Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan
Hukum Nasional 9, no. 1 (2020): 17. https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1.389.

———. “Tertib Jenis, Hierarki, Dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan
Dan Solusinya.” Masalah-Masalah Hukum Vol. 47, no. 1 (2018): 1–9. https://doi.org/https://doi.
org/10.14710/mmh.47.1.2018.1-9.

Anggono, Bayu Dwi, and Emanuel Raja Damaitu. “Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan
Nasional Menuju Indonesia Emas.” Pancasila: Jurnal Keindonesiaan Vol. 1, no. 1 (2021): 34–44.
https://doi.org/10.52738/pjk.v1i1.22.

Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia. “Potensi Penggunaan Suku, Agama, Ras, Dan Antar Golongan
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018.” https://bawaslu.go.id/sites/default/files/
publikasi/Layout_Politik%20Identitas.pdf, 2017.

Bruggink, JJ. H. Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum. IV. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2015.

Chandra, M Jeffri Arlinandes, Vera Bararah Barid, Rofi Wahanisa, and Ade Kosasih. “Tinjauan Yuridis
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Sistematis, Harmonis Dan Terpadu Di Indonesia.”
Jurnal Legislasi Indonesia 19, no. 1 (2022): 1–11. https://doi.org/https://doi.org/10.54629/jli.v19i1.790.

Garner, Brian A. Black’s Law Dictionary. Seventh Ed. St. Paul: West Publishing Co, 1999.

Handayani, I Gusti Ayu Ketut Rachmi, Lego Karjoko, and Abdul Kadir Jaelani. “Model Pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi Yang Eksekutabilitas Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia.” Jurnal Bestuur Vol. 7, no. 1 (2019): 36–46. https://doi.org/https://doi.org/10.20961/
bestuur.v7i1.42700.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami, Hermeutik Dari Schlemacher Sampai Derida. Yogyakarta: PT. Kanisius,
2015.

Hasim, Hasanuddin. “Gagasan Muatan Materi Dalam Perubahan UUD 1945.” Jurnal Al-’Adl Vol. 10, no. 2
(2017): 83–96.

Huda, Ni’matul. “Kedudukan Dan Materi Muatan Peraturan Menteri Dalam Perspektif Sistem Presidensial.”
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 28, no. 3 (2021): 550–71. https://doi.org/DOI: 10.20885/
iustum.vol28.iss3.art5.

Kaelan. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2018.

Kusumohamidjojo, Budiono. TEORI HUKUM Dilema Antara Hukum Dan Kekuasaan. Bandung: Yrama
Widya, 2016.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Edisi Revi. Jakarta: Kencana, 2017.

Nurdin, Boy. Filsafat Hukum (Tokoh-Tokoh Penting Filsafat: Sejarah Dan Intisari Pemikiran). Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2014.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Saifulloh, Putra Perdana Ahmad. “Gagasan Konstitusi Pangan: Urgensi Pengaturan Hak Atas Pangan Warga

12
Bhineka Tunggal Ika: Nilai... (Slamet Riyanto, Febrian, Zen Zanibar)

Negara Dalam Amandemen Kelima UUD 1945.” Jurnal HAM Vol. 12, no. 2 (2021). https://doi.org/
http://dx.doi.org/10.30641/ham.2021.12.227-244.

Sulaiman, King Faisal. Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujinya. Yogyakarta: Thafa
Media, 2017.

Tantular, Mpu. Kakawin Sotasoma. Depok: Komunitas Bambu, 2009.

Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif. NASKAH KOMPREHENSIF PERUBAHAN UNDANG-UNDANG


DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Latar Belakang, Proses Dan Hasil Pembahasan
1999-2000. Buku II. Sendi-Sendi/Fundamental Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

Wagiman. “Nilai, Asas, Norma, Dan Fakta Hukum: Upaya Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahamannya.”
Jurnal Filsafat Hukum Vol. 1, no. 1 (2016): 43–73.

Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan


Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Zuhro, R. Siti. “Demokrasi Dan Pemilu Presiden 2019.” Jurnal Penelitian Politik Vol.16, no. 1 (2019): 69–81.

13
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan Tindakan Kebiri Kimia Melalui
Undang-Undang Perlindungan Anak Dan Peraturan Pelaksananya

Ahmad Jamaludin
Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara
jamaludinumam@gmail.com

Abstract

Sexual crimes against children are already very worrying, because there has been an increase in the number
of victims in recent years. The policy of chemical castration which is expected to be able to reduce the number
of sexual crimes against children in fact cannot reduce and stop sexual crimes against children. The chemical
castration policy regulated in the Child Protection Law and its Implementing Regulations encounters many
problems, both in concept and in implementation. The method used is normative juridical, which is analyzed
qualitatively. The result of the research is that there is a misconception of chemical castration sanctions in
Indonesia, action sanctions must seek to treat and restore, while castration sanctions in Indonesia will cause
pain and are an effort to retaliate. In addition, there are problems in its implementation, including regarding
the effectiveness of the policy on chemical castration through the Child Protection Act, the cost of chemical
castration is expensive, the refusal of doctors to become executor, unclear dosage, there are no technical rules
regarding female perpetrators and the inclusion of chemical castration in the Draft Criminal Code.

Keywords: Chemical Castration; Child protection; Action Sanction

Abstrak

Kejahatan seksual kepada anak sudah sangat menghawatirkan, karena terjadi peningkatan jumlah
korban dalam beberapa tahun ini. Kebijakan tindakan kebiri kimia yang diharapkan mampu menekan
angka kejahatan seksual kepada anak nyatanya tidak dapat meredam dan menghantikan kejahatan
seksual terhadap anak. Kebijakan kebiri kimia yang diatur dalam UU Perlindungan Anak dan Peraturan
Pelaksananya menemui banyak permasalahan baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Metode
yang digunakan adalah yuridis normatif, yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitiannya adalah
terjadi salah konsepsi terhadap sanksi tindakan kebiri kimia di Indonesia, sanksi tindakan harus berupaya
mengobati dan memulihkan sedangkan sanksi tindakan kebiri di Indonesia akan mengakibatkan rasa sakit
dan merupakan upaya pembalasan. Selain itu terdapat problematika dalam pelaksanaannya antara lain
mengenai efektifitas kebijakan tindakan kebiri kimia melalui UU Perlindungan anak, biaya kebiri kimia
mahal, penolakan dokter menjadi pelaksana, ketidak jelasan dosis, belum ada aturan teknis mengenai
pelaku berjenis perempuan serta belum masuknya tindakan kebiri kimia dalam RUU KUHP.

Kata Kunci : Kebiri Kimia; Perlindungan Anak; Sanksi Tindakan


Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

A. Pendahuluan

Enam tahun sudah kebijakan tindakan kebiri kimia diberlakukan untuk pelaku kejahatan seksual
kepada anak, tepatnya 25 mei 2016 Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraruran Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 2016.1 Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui
Perpu tersebut dan disahkan melalui UU No. 17 tahun 2016 tentang Perlidungan Anak. Argumentasi
pembuatan kebijakan tersebut karena pemerintah ingin mengentikan kejahatan seksual khususnya terjadi
kepada anak yang semakin hari memprihatinkan dan membahayakan masa depan anak.2 Apalagi pada
saat itu Kejahatan seksual peningkatannya sangat luar biasa.3
Kebijakan tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam merespon banyaknya kejahatan seksual yang
terjadi kepada anak, dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat jadi pemberatan sanksi yang diterima oleh
pelaku pedofilia, pemberatan tersebut antara sanksi penjara diperberat menjadi minimal 10 tahun penjara
dan maksimal 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati. Selain hukuman pokok
juga ditambahkan sanksi tindakan kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik berupa chip elektrik. 4
Fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak dari waktu ke waktu terus bertambah, hanya
sebagian kecil di antara kasus-kasus yang menimpa anak-anak dapat terungkap kepermukaan. Kekerasan
seksual dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan akibatnya adalah menimbulkan
kerugian atau bahaya terhadap anak-anak baik fisik maupun emosional menjadi salah satu indikator telah
terjadinya kekerasan terhadap anak.5 Kekerasan terhadap anak tersebut terbagi kedalam beberapa bentuk
mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan tindakan penelantaran rumah tangga.
Kekerasan seksual menjadi tindakan yang paling banyak dialami oleh anak.6
Kejahatan seksual kepada anak membuat masayarakat gelisah dan geram serta menjadi sebuah
trauma karena selalu menghantui anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang harus dirusak oleh
orang yang keji dan tidak mempunyai rasa prikemanusiaan. Pelaku kejahatan seksual sangat dekat dengan
anak-anak, pelakunya dari orang yang tidak dikenal bahkan ada juga pelakunya orang terdekat dari anak
tersebut.7 Akibat pelecehan seksual tersebut akan menggangu dan menghambat perkembangan anak itu
sendiri dikarenakan trauma yang berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan, sehingga perlu treatment
khusus dan berkelanjutan untuk bisa mengobati dan memulihkan psikologis anak yang menjadi korban
kejahatan seksual tersebut.
Berlakunya kebijakan kebiri kimia tidak lantas persoalan pelecehan seksual atau kejahatan seksual
menjadi selesai dan hilang, terbaru Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)
merilis data terbaru dari mengenai kekerasan seksual terhadap anak, yang menjadi menghawatirkan dan
memprihatinkan adalah telah terjadi peningkatan kekerasan seksual kepada anak selama tahun 2019
sampai dengan 2021. Pada tahun 2019 jumlah korban kekerasan seksual berjumlah 6.454 orang kemudian
meningkat pada tahun 2020 menjadi 6980 orang dan terjadi peningkatan kembali kasus kekerasan seksual
pada tahun 2021 dengan jumlah 8.730 Korban atau meningkat 25,07% dari tahun 2020.8
1
Ni Putu Yulita Damar Putri and Sagung Putri M.E Purwani, “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia,”
Jurnal Kertha Wicara 9, no. 8 (2020): 1–13,
2
Galih Bagas Soesilo, “Telaah Kritis Kebiri Kimia Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Pedofilia,” Amnesti Jurnal
Hukum 3, no. 1 (2021): 15–24, https://doi.org/10.37729/amnesti.v3i1.892.
3
Nur Hafizal Hasanah and Eko Soponyono, “Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia Dalam Perspektif HAM Dan
Hukum Pidana Indonesia,”
4
Nuzul Qur’aini Mardiya, “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual,” Jurnal Konstitusi 14,
no. 1 (2017): 16.
5
Abu Huraerah., Kekerasan Terhadap Anak (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006).
6
Nurafni Nurafni, Bambang Waluyo, and Beniharmoni Harefa, “Eksekusi Kebiri Kimia Pelaku Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Di Indonesia,” 165.
7
Meita Agustin; Ridwan Arifin Nurdiana, “Tindak Pidana Pemerkosaan: Realitas Kasus Dan Penegakan Hukumnya Di
Indonesia,”
8
Mutia Fauzia, “KemenPPPA: 797 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022,” kompas.com, 2022

15
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

Kebiri kimia merupakan upaya medis yang dilakukan untuk menurunkan kadar hormon testosteron
dari pelaku kekerasan seksual. Tindakan pengebirian kimia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
hormon anti-testosteron ke dalam tubuh terpidana. Suntikan hormon tersebut bekerja dengan cara menekan
atau melemahkan produksi dan aktivitas testosteron sehingga tidak memunculkan pacuan libido selama
orang tersebut berada dalam pengaruh obat tersebut.9 Tindakan ini dapat terlaksana dengan baik manakala
dikenakan terhadap subyek yang memang dikategorikan “sakit” dan perlu untuk diobati. Dalam hal ini
kebiri kimia menjadi alternatif penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit (gangguan atas hormon
testosteronnya). Namun ketika kebiri kimia diterapkan kepada mereka yang sehat maka tindakan kebiri
kimia bukan bertujuan rehabilitasi, melainkan bertujuan sebagai pembalasan dan pertang¬gung¬jawaban
atas tindak pidana yang telah dilakukan. Kedua gabungan tujuan pem¬balasan dan prevensi inilah yang
merupakan bagian dari teori gabungan atau integratif.10
Sanksi tindakan kebiri kimia menemukan problematika pasca disahkan disahkannya Perpu 1 Tahun
2016 yang berubah menjadi UU 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang diatur secara teknis juga
dalam Peraturan Pemerintahnya, baik dalam konsep pemidanaan maupun implementasinya, problematika
tersebut antara lain, Pertama, tindakan kebiri kimia dalam UU Perlindungan Anak belum efektif, sebagaimana
data dari KemenPPPA telah peningkatan anak korban kejahatan seksual, padahal sanksi tindakan kebiri
kimia digagas untuk menurunkan angka kejahatan seksual kepada anak.
Kedua, konsep Kebiri kimia dianggap tidak sesuai dengan konsep sistem sanksi perspektif double track
system. Sanksi tindakan harus berorientasi pada pelaku dengan dilakukan perbaikan atau pengobatan,
sedangkan kebiri kimia dikualifikasikan dalam sanksi pidana, maka orientasinya adalah pembalasan dan
membuat efek jera.11 Ketiga, penolakan dokter menolak melaksanakan tindakan kebiri kimia dengan alasan
melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran menjadi problematika tersendiri, dan diperkuat dengan
fatwa dari Majalis Kehormatan Kode Etik Kedokteran.12 Padahal sudah ada 2 (dua) orang sebagai pelaku
kejahatan seksual kepada anak yang diputusan dan berkuatan hukum tetap menunggu sanksi tindakan
tersebut.13
Keempat, kendala lainnya mengenai pembiayaan kebiri kimia, sebab kebiri kimia merupakan sanski
yang akan membutuhkan biaya besar dalam pelaksanaannya. Selain itu jika ada pelaku kejahatannya
perempuan, apakah sama teknisnya dengan kebiri kimia yang pelakunya berjenis kelamin laki-laki.14 Kelima,
tantangan yang lainnya adalah perumusan sanksi Tindakan Kebiri dalam konsep hukum pidana belum
terakomodir dalam Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) , padahal jenis sanksi tindakan
ini merupakan jenis yang diatur dalam RUU KUHP, namun sayangnya kebiri kimia tidak diakomodir.
Beberapa problematika konsep dan implementasi mengenai tindakan kebiri tersebut, membuat kita
mempertanyakan kembali eksistensi dan fungsi tindakan kebiri kimia dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan seksual kepada anak. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain, Pertama,
bagaimana problematika konsep tindakan kebiri kimia melalui UU Perlindungan Anak. Kedua, bagaimana
implementasi sanksi tindakan kebiri di Indonesia dalam optik pembaruan hukum pidana Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu melihat aturan tentang tindakan kebiri
kimia dan pelaksanaannya dengan menggunakan data sekunder berupa literatur, buku, jurnal, majalah dan
hasil penelitian lainnya mengenai tindakan kebiri kimia di Indonesia baik konsep maupun implementasinya
9
Kartika, Ari Purwita, M. Lutfi Rizal Farid, dan Ihza Rashi Nandira Putri “Reformulasi Eksekusi Kebiri Kimia Guna
Menjamin Kepastian Hukum Bagi Tenaga Medis
10
Tunggal S. and Nathalina Naibaho, “Penjatuhan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Dalam
Perspektif Falsafah Pemidanaan,” Jurnal Hukum & Pembangunan 50, no. 2 (2020): 329, https://doi.org/10.21143/jhp.
vol50.no2.2594.
11
I Putu Reza Bella Satria Diva and I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, “Relevansi Pengkualifikasian Sanksi Kebiri
Kimiawi Sebagai Sanksi Tindakan Dalam Hukum Pidana,”
12
Ari Purwita Kartika, Muhammad Lutfi Rizal Farid, and Ihza Rashi Nandira Putri, “Reformulasi Eksekusi Kebiri Kimia
Guna Menjamin Kepastian Hukum Bagi Tenaga.
13
Kodrat Alam, “Menakar Keterlibatan Dokter Dalam Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak,” Jurnal Hukum 36, no. 2 (2020): 93, https://doi.org/10.26532/jh.v36i2.7561.

16
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

kemudian dianalisis secara kualitatif. Selain itu peneliti juga menggunakan literature studi lapangan dengan
melakukan wawancara kepada instansi yang berkaitan dengan penelitian seperti Pengadilan dan kejaaksaan,
hasilnya kemudian dilakuka analisa menggunakan teori hukum agar dapat menjawab penelitian ini sesuai
dengan yang diharapkan.

B. Pembahasan

B.1. Problematika konsep tindakan kebiri kimia di Indonesia

Hukum pidana merupakan keseluruhan hukum yang diberlakukan dinegera tertentu, memiliki sifat
memaksa, mengikat dan terapat akibat hukum dalam implementasinya, berupa sanski pidana maupun
tindakan (maatregel).16 Dalam penjatuhan sanski hukum pidana mempunyai sanksi yang istimewa.17 Karena
hukum pidana memiliki sanksi yang istimewa sehingga hukum pidana dapat membatasi kemerdekaan
manusia (memberikan hukuman dalam bentuk perampasan kemerdekaan seperti penjara ataupun kurungan)
bahkan mengakhiri kehidupan manusia.18
Konsep penjatuhan sanksi dikenal dengan konsep double track system. Ide dasar konsep double
track system adalah gagasan mengenai sistem sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa sebagai sebuah
dasar pengenaan dan penjatuhan sanksi dalam kebijakan hukum pidana. Perlu dipahami terlebih dahulu
pemaksanaan tentang ide dasar itu sendiri. Ide sadar diartikan sebagai pandangan dunia dalam memandang
fenomena.19 Makna tersebut memiliki fungsi the central cognitive resource untuk menentukan rasionalitas
suatu fenomena, baik terhadap pokok persoalan atau cara melihat dan menjelaskan fenomena itu. Ide
sebagai gagasan yang fundamental, maka ide baiknya menyerupai cita dengan maksud gagasan mendasar
terhadap suatu hal.
Sholehuddin20 menjelaskan bahwa Ide dasar Double Track System atau sistem dua jalur sebagai
makna gagasan dasar tentang sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan sanksi dalam
hukum pidana. Lebih tegasnya bahwa Double Track System adalah dua sistem sanksi pada hukum pidana.
Kemunculan Double Track System ini terbilang tidak familiar ditemukan dalam literatur dan teori hukum
pada umumnya. Namun dilihat dari latar belakang munculnya ide dasar ini memiliki konsep tentang
kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Gagasan kesetaraan ini dapat ditemukan berdasarkan
perkembangan dalam sistem pelaksanaan sanksi hukum pidana pada masa peralihan dari zaman klasik
ke zaman modern dan aliran neo-klasik.
Berbicara tentang gagasan konsep dan ide dasar pelaksanaan sanksi hukuman pidana pada madzhab
klasik tentang sanksi pidana yang identik dengan pemberian balasan dengan melihat berat atau ringannya
perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang (backward looking), berorientasikan kepada perbuatannya
bukan pada pelakunya (daad-strafrecht). Dalam Perkembangannya mazhab klasik mengalami pergeseran
paradigma menjadi paradigma determinisme. Mazhab tersebut familiar dengan istilah mazhab moderen
yang memiliki gagasan sanksi tindakan yang berorientasi pada proses pemulihan, perbaikan karakter
(forward looking), rehabilitasi yang tujuannya adalah kepada pelaku kejahatan (daad-strafrecht).21 Seiring
14
S. and Naibaho, “Penjatuhan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif Falsafah
Pemidanaan.”
15
Tantimin Tantimin, “Kajian Hukum Kualifkasi Sanksi Kebiri Kimia Sebagai Sanksi Tindakan Dalam Hukum Pidana
Di Indonesia,” Wajah Hukum 5, no. 1 (2021): 21, https://doi.org/10.33087/wjh.v5i1.302.
16
Gina Santika Ramadhani; Barda Nawawi Arief; Purwoto, “Sistem Pidana Dan Tindakan ‘Double Track System’ Dalam
Hukum Pidana Di Indonesia,”
17
A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (2008).
18
Nashriana, “Penganutan Asas Sistem Dua Jalur (Double Track System) Dalam Melindungi Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum: Tinjauan Formulasi Dan Aplikasinya,” Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah Dan Masyarakat 15, no. 1 (2015):
51–71, https://doi.org/https://doi.org/10.19109/nurani.v15i1.274.
19
M. Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003).
20
M. Solehuddin, Ibid. 24.
21
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016).
17
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

perkembangan pemikiran, madhab moderen diganti menjadi madzhab neoklasik yang mempunyai gagasan
bahwa penerapan hukum pidana digunakan dengan cara memberikan pembalasan atas perbuatan pelaku
kejahatan dan juga dilakukan rehabilitasi yang dikenal dengan istilah double track system atau sistem dua
sanksi yang dikenal dengan sanksi pidana dan sanksi tindakan yang punya tujuan selain pada perbuatan
juga pada pembuat kejahatan tersebut atau pelakunya (daad-dader-strafrecht).
Ide dasar double track system harus dilihat menggunakan perspektif yang lebih komprehensif antara
lain kesetaraan, proporsional dan kemanfaatan. Sanksi tindakan dan pidana akan merubah paradigma
pemidaanaan yang fragmentaristik yang artinya selalu mengedepankan sanksi pidana, sehingga konsep
double track system memaksimlakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan pidana
dan tindakan untuk adanya keseimbangan dan terintegrasi, selain itu juga konsep ini memberikan jaminan
sistem yang terpadu yang bersifat individual dan sistem sanksi yang bersifat fungsional
Disahkannya UU Perlindungan Anak dari Perpu yang dibuat oleh pemerintah memberikan jaminan
kepastian bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual, karena UU tersebut telah banyak melakukan
terobosan dan pembaruan hukum pidana baik sanksi pidana pokok maupun tambahan dan sanksi tindakan.
Kebiri kimia dianggap memberikan jaminan keadilan bagi korban anak yang dirusak sacara psikis dan fisik
oleh pelaku, dan perlu dilakukan tindakan khusus untuk memulihkan rasa sakitnya tersebut yang tidak
bisa selesai dengan hanya pelaku di hukum, selain itu kebiri kimia diharapkan akan memberikan efek jera
dan upaya yang ampuh untuk menekan kejahatan seksual kepada anak.
Konsep double track system mengenai sanksi tindakan dan pidana merupakan konsep yang bisa
dijadikan alternatif untuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan didalam masyarakat. Indonesia
sendiri merupakan negara yang menerapkan sanksi tindakan dan pidana yang diberlakukan dalam satu
undang-undang termasuk dalam UU Perlindungan Anak untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan seksual kepada anak yang semakin hari semakin membahayakan seperti bom waktu. Dalam UU
Perlindungan anak yang terbaru terdapat pembaruan hukum pidana dengan memberlakukan, memperberat
dan menambahkan sanksi tindakan kepada pelaku kejahatan seksual kepada anak diluar dari pasal 10
KUHP yang menjadi core dalam penjatuhan sanksi pidana. Penambahan sanksi tersebut adalah adanya
pengumuman identitas pelaku, tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Secara teknis tindakan kebiri kimia merupakan tindakan medis dikualifikasikan dalam katagori
hukuman terhadap badan (corporal punishment). Kebiri kimia bukanlah tindakan untuk menyebuhkan
namun menghilangkan hasrat seksual secara sementara dengan menimbulkan efek samping yang akan
memberikan penderitaan dan rasa sakit kepada pelaku kejahatan seksual. Hasil peneltian yang dilakukan
oleh dr. Boyke22 mengenai efek samping dari kebiri kimia antara lain akan menimbulkan peerubahan
karakter tubuh menyerupai perempuan, bulu rontok, dan melemahnya organ vital lain yang berakibat pada
osteoforosis, badan membungkuk, dan pelemahan terhadap pompa jantung. Selain itu juga akan mempunyai
efek samping secara psikologis, dampak psikologis tersebut diakibatkan karena pelaku memikirkan secara
terus menerus perubahan yang terjadi pada diri pelaku sehingga akan terjadi depresi kepada pelaku,
dampaknya memungkinkan pelaku akan berfikir untuk bunuh diri. Pandangan lain dari kebiri kimia ini
merupakan ajang balas dendam terhadap pelaku kejahatan seksual kepada anak, namun disisi lain perlu
dipertimbangkan bahwa dampak kebiri kimia akan menimbulkan korban baru dari pelaku kejahatan
seskual tersebut setelah selesai menjalani masa hukuman, dikarenakan hasratnya sudah kebiri melalui
tindakan kebiri kimia
Implementasi sanski tindakan kebiri diputuskan bersamaan dan pidana pokok dalam UU Perlindungan
anak. Diputuskan secara bersamaan dengan pidana pokok tersebut akan memiliki potensi terjadinya
double punishment, sebab tindakan kebiri kimia yang dimaksud dalam UU Perlindungan anak belum jelas

22
Maria Amanda Inkiriwang, “Penjelasan Dokter Boyke Tentang Dampak Kebiri Kimia,” okezone.com, 2016, https://
lifestyle.okezone.com/read/2016/06/01/481/1403478/penjelasan-dokter-boyke-tentang-dampak-kebiri-kimia.

18
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

kualifikasinya sesuai dengan konsep double track system. Tindakan kebiri kimia masih dipertanyakan
apakah dikualifikasikan sebagai sanksi tindakan atau pidana, namun jika dilihat dari aturan yang ada,
tindakan kebiri kimia tersebut berorientasi pada pembalasaan kepada pelaku, terlebih tindakan kebiri
tersebut memberikan efek samping yang berbahaya dan memberikan rasa sakit kepada pelaku, hal ini telah
berbeda dengan ide dasar sanksi tindakan itu sendiri dalam hukum pidana, sanksi tindakan perspektif double
track system bertujuan memberikan perbaikan, pengobataan dan penyembuhan kepada pelaku kejahatan
seksual kepada anak, tindakan kebiri kimia tidak punya orientasi rehabilitasi yang bisa menyembuhkan
penyakit pedifilia yang merupakan penyakit seksualitas.23
Diperlukan re-orientasi dan penegasan atas pemberlakukan sanksi tindakan kebiri di Indonesia,
apakah kebiri kimia ini bertujuan untuk menyembuhkan dan mengobati pelaku atau kebiri kimia sebagai
hukuman pidana bagi pelaku kejahatan seksual. Jika kebiri kimia ini sebagai upaya mengobati pelaku
maka perlu ada penegasan dalam bentuk Undang-undang atau peraturan pemerintah menganai mekanisme
tindakan kebiri sebagai bentuk pengobatan, sebaliknya jika kebiri kimia berorientasi untuk menghukum
maka konsekuensi hukumnya harus dihilangkan frasa tindakan baik dalam UU perlindungan anak maupun
peraturan pemerintahnya, karena frasa tindakan mempunyai konsekuensi hukum yaitu upaya penyembuhan
dan pengobatan sebagaimana konsep double track system.

B.2. Implementasi sanksi tindakan kebiri di Indonesia dalam optik pembaruan hukum pi-
dana Indonesia.

Sejak awal dikeluarkannya kebijakan tindakan kebiri kimia, telah terjadi pro dan kontra tentang
efektifitas kebiri kimia sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatn seksual kepada anak.
Sebelumnya, kebijakan kebiri kimia diberlakukan karena beberapa tahun sebelum disahkannya kebijakan
tersebut, pemerintah terus berupaya mencari jalan keluar untuk menjerat pelaku kejahatan seksual kepada
anak yang menjadi fenomena yang sangat meresahkan masyarakat dan pada saat itu sedang sangat tinggi
angka kejahatan seksual kepada anak, munculah ide kebiri kimia dari pemerintah sebagai sanksi pidana
yang diterapkan di Indonesia dengan harapan mampu menekan kejahatan seksual di Indonesia. Akhirnya
ide tersebut dikaji dan menjadi kebijkan yang disahkan oleh Presiden Jokowi melalui Perpu dan disahkan
menjadi Undang-undang.
Kebijakan tersebut sudah berjalan, dan seiring berjalannya waktu terjadi peaningkatan kembali
kajahatan seksual kepada anak tahun 2019- 2021. Naiknya angka kejahatan seksual terhadap anak tersebut
disampaikan oleh KemenPPPA. Berikut data kenaikan kejahatan seksual kepada anak.

Tabel 2
Data Kejahatan Seksual kepada anak

23
I Gusti Ngurah Yulio, Mahendra Putra Dewa, and Nyoman Rai Asmara Putra, “Tinjauan Yuridis Terhadap Hukuman
Kebiri Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Kepada Anak,” Ojs.Unud.Ac.Id 7, no. 2 (2018): 1–15, https://ojs.unud.
ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/39473.

19
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

Data tersebut menunjukan efektifitas hukum tindakan kebiri kimia sebagai sebuah sanksi sangat
tidak efektif yang akhirnya tidak memiliki dampak terhadap penurunan angka kejahatan seksual kepada
anak bahkan tidak memberikan efek jera. Kurang efektifnya sanksi tindakan kebiri bisa disebabkan beberapa
faktor.
Menurut Soerjono Soekanto24 , hukum akan efektif jika memenuhi beberapa faktor antara lain, hukumnya,
penegak hukumnya, fasilitas hukumnya, budaya hukum dan masyarakatnya. Dalam konteks kebijakan
tindakan kebiri kimia, kebijakan tersebut belum efektif dikarenakan lima unsur tersebut belum terpenuhi
karena banyaknya dinamika dan problematika tentang pelaksanaan sanksi tindakan kebiri kimia antara
lain adanya kekeliruan tengan konsep sanksi tindakan, penegakan hukum belum berjalan karena doter
menolak melaksanakan tindakan kebiri serta belum ada sarana prasarana tindakan kebiri kimia tersebut.
Kebiri kimia merupakan bentuk sanksi yang sangat baru di negara Indonesia, sejak berlakunya kebiri
kimia sebagai sebuah tindakan dalam UU Perlindungan anak tahun 2016, telah ada dua narapidana pelaku
kejahatan seksual kepada anak yang sudah berkekuatan hukum tetap, menunggu pelaksanaan tindakan
kebiri setelah menjalani hukuman pokok. Narapidana tersebut sudah tidak mengajukan upaya hukum lagi
dan siap menerima sanksi tindakan kebiri kimia setelah mereka menjalani seluruh hukuman pokok yang
telah diputus pengadilan. Dua narapidana tersebut masing-masing diadili di Pengadilan Negeri Mojokerto
dan Pengadilan Negeri Surabaya. Dua putusan pengadilan tersebut masing-masing memiliki problematika
dalam amar putusannya.
Tabel 1
Data Narapidana Tindakan Kebiri Kimia

Terdapat problematika dalam Putusan PN Mojokerto mengenai tindakan kebiri kimia yang tidak sesuai
dengan UU Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintahnya, problematika tersebut ada pada amar
putusannya yang tidak menentukan batasan waktu pelaksanaan tindakan kebiri yang diberikan kepada
pelaku, sedangkan regulasi tindakan kebiri kimia mempunya batas waktu maksimal yaitu paling lama 2
(dua) tahun. Masalah tersebut akan memiliki konsekuensi hukum yang serius berkenaan dengan kepastian
hukum, dengan tidak ada batas waktu kebiri kimia tersebut yang dijatuhkan kepada terpidana menyulitkan
jaksa melakukan eksukusi melalui dokter, karena tidak ada kepastian mengenai berapa lama waktu untuk
dilakukan tindakan kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak sehingga akan menghambat
pelaksanaan tindakan kebiri kimia tersebut. Hakim dalam memutuskan pidana tambahan tindakan kebiri
kimia di PN Mojokerto tidak berdasarkan tuntutan jaksa melainkan atas kewenangannya memutus dengan
24
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008).

20
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

ultra petita pidana tambahan tindakan kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual.
Begitupun dengan Putusan PN Surabaya yang memutus mengenai tindakan kebiri kimia kepada
pelaku kejahatan seksual kepada anak, terdapat problematika tersendiri dalam amar putusannya dalam
menjatuhkan tindakan kebiri kimia tersebut, dalam amar putusan tersebut diputuskan bahwa waktu
tindakan kebiri selama 3 (tiga) tahun, putusan tersebut sesungguhnya telah melampaui aturan dalam UU
Perlindungan Anak yaitu mengenai batas lama dilakukan tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan
seksual, dalam UU Perlindungan Anak sendiri jelas bahwa rentang waktu untuk dilaksanakan tindakan
kebiri kimia adalah paling lama 2 (dua) tahun. Artinya putusan PN tersebut terdapat ketimpangan terhadap
aturan dan putusan hakim itu sendiri.
2 (dua) putusan tersebut memberikan gambaran bahwa dalam memutus putusan mengenai pidana
tambahan tindakan kebiri kimia , hakim tidak menguasai materi UU Perlindungan Anak sebagai rujukan
dalam memutus perkara kejahatan seksual kepada anak dan amar putusan mengenai tindakan kebiri kimia
menyimpang dari UU Perlindungan Anak, walapun hakim memiliki kewenangan memutuskan dengan ultra
petita25, namun tetap harus rujukannya adalah undang-undang terlebih kebijakan kebiri kimia ini merupakan
kebijakan yang sangat baru, sehingga harus hati-hati dalam memutuskan tindakan kebiri kimia tersebut.
Secara tegas dokter diberikan kewenangan melaksanakan tindakan kebiri kimia Peraturan Pemerintah
Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur teknis pelaksanaan tindakan kebiri kimia. Namun IDI menolak untuk
menjadi pelaksana tindakan kebiri kimia, karena berdasarkan penilaiannya tidak sesuai dengan prinsip dan
kode etik profesi kedokteran. IDI melalui fatwa Majelis Kode Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor
1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia, telah memberikan pernyataan bahwa sebaiknya untuk pelaksanaan
pelaksanaan tindakan kebiri kimia tidak melibatkan dokter sebagai pelaksana. Namun apa yang disampaikan
IDI tidak menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menentukan pelaksana tindakan kebiri kimia.
Sehingga dalam PP Nomor 70 Tahun 2020 menunjuk dokter sebagai pelaksana kebiri kimia karena memiliki
kompetensi di bidang kesehatan.
Fatwa IDI tentang penolakan sebagai eksekutor tindakan kebiri kimia, menganggap bahwa telah
mencederai sumpah profesi kedokteran , apalagi efektivitas kebiri yang masih dipertanyakan dan risiko
komplikasi bagi terpidana sanksi tindakan kebiri. Penolakan ini didasarkan kepada alasan dasar keilmuan
dan bukti ilmiah kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat seksual dan potensi dari
perilaku tindakan kekerasan seksual. Pada intinya MKEK tersebut menjelaskan bahwa tindakan kebiri
kimia bertentangan dengan prinsip penyembuhan yang tentunya bukan tugas profesi kedokteran.27
Tindakan kebiri kimia secara medis juga dapat menimbulkan beberapa gangguan fisik sebagai efek
samping lainnya yang menimbulkan dampak lebih menderita28. Keterangan dr. Emil Dinar Markotjo, Sp.U
bahwa dampak psikologis terhadap aspek hormonal ketika dilakukan tindakan kebiri maka akan terganggu
psikologis dari pasien, akibatnya adalah tidak bisa melakukan ereksi. Dokter tidak dapat dilepaskan dari
profesinya sebagai individu dan kelompok yang tergabung dalam satu organisasi. Dalam hal ini IDI sebagai
satu-satunya organisasi profesi bagi seluruh dokter yang ada di wilayah Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Sikap IDI melalui dr. Daeng M. Faqih
lebih menyarankan agar hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual ini dalam bentuk rehabilitasi
bukan kebiri kimia.29 Sanksi kebiri kimia di beberapa negara sudah banyak ditinggalkan karena kejahatan
seksual dilakukan bukan hanya sebatas tingkat libidonya yang tinggi, melainkan karena gangguan kejiwaan.
Berkaitan dengan konsep kepatuhan profesi dokter dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari
lembaga profesi maka perlu ditelaah etika kedokteran yang menjadi dasar penyelenggaraan tindakan medis
dalam praktiknya. Istilah yang dikenal terhadap etika kedokteran dikenal dengan bioetika yang sudah ada
25
Yagie Sagita Putra, “Penerapan Prinsip Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana Dipandang Dari Aspek Pertimbangan
Hukum Putusan Perkara Pidana.
26
Nabain Idrus, Gatot Dwi Hendrowibowo, Kaharudin, “Sanksi Hukuman Kebiri Kimia Ditinjau Dari Perspektif Hak
Asasi Manusia.
28
Sulis Wuryani, “Efek Jera Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Anak Dari Sudut Pandang Psikologi,” Info
Singkat XI, no. 17 (2019).
29
Sudrajat, “IDI Sarankan Kebiri Kimia Diganti Rehabilitasi..
21
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

sejak dahulu.30 Kemudian sejalan dengan perkembangannya hampir setiap waktu dibahas dan dikembangkan
dengan tujuan agar profesi kedokteran selalu siap dalam menjawab setiap tantangan dan perkembangan
jaman. Konsep Bioetika yang diterima luas adalah Principles of Biomedical Ethics oleh Tom L Beauchamps
dan James F Childress. Ada 4 prinsip (kaidah dasar) bioetika yang menjadi pedoman dasar dalam praktik
penye¬leng¬¬garaan bioetika kedokteran, yaitu melakukan yang terbaik (memaksimalkan upaya untuk
mencapai kebaikan), menghindari/ meminimalkan bahaya, meng¬hormati pemilik hak, dan keadilan.31
Samntha Vaillancourt mengemukakan bahwa dalam perspektif kedokteran, tindakan pengebirian yang
diperintahkan oleh pengadilan tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan Bioetichs.32 Bioetik ini
menjadi pegangan dalam pola perilaku tindakan medis. Seorang tenaga kesehatan (dokter) akan selalu
dihadapkan dengan proses penilaian moral dalam membuat keputusan klinis yang etis. Berbagai tindakan
medis yang dilakukan tersebut memerlukan pertimbangan Bioetika seperti halnya transplantasi organ,
resussitasi kardiopurmonal, penggunanaan respirator, bayi tabung dan tindakan lainnya termasuk tindakan
kebiri kimia.33 Terkhusus untuk tindakan kebiri kimia yang masih menjadi perdebatan dalam etik-moral
kode etik dan sumpah profesi dokter.
Namun di sisi lain penafsiran terhadap Beioetika Kedokteran muncul dari hasil penelitian Tunggal S dan
Nathalina Naibaho. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Beioetika Kedokteran dapat menjadi jembatan
saat terjadi persinggungan argumentasi antara ilmu kedokteran, etika, moral, disiplin ilmu lain seperti
ilmu hukum, kemudian argumentasi antara organisasi yang menaruh perhatian kepada persoalan etika,
hukum, dan sosial yang muncul dari perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran, ilmu pengetahuan
dan Bioteknologi. Sehingga kemungkinan besar dapat terbuka peluang bahwa dokter dapat melakukan
tindakan kastrasi kimia dan menjawab diskursus dalam hal etika, kedokteran dan hukum.34
Adanya persinggungan pemahaman konteks Bioetika Kedokteran baik dalam landasan filosofis, sosiologis
ataupun yuridisnya, perlu ada kesamaan persepsi tentang ide dan gagasan dasar Bioetika kedokteran agar
menjadi jelas dan terang, utamanya berkaitan dengan status dokter sebagai pelaksana tindakan kebiri
kimia, yang kemudian tidak lagi menjadi perdebatan mengenai tindakan kebiri kimia ini memungkinkan
untuk dilakukan atau tidak oleh profesi dokter.
Oleh karena itu atas dasar perjalanan panjang penolakan IDI untuk menjadi pelaksana tindakan
kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang bertentangan dengan fatwa MKEK,
Sumpah Dokter, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia, maka dalam hal ini ada tujuan yang lebih besar
untuk dicapai dengan mengedepankan Bioetika Kedokteran sebagai penghubung antara argumentasi ilmu
kedokteran, etika, moral dan disiplin ilmu hukum lainnya, dengan mengikuti perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan. Maka kemudian Bioetika Kedokteran ini menjadi dasar dan legitimasi bagi profesi dokter
untuk dapat melaksanakan tindakan kebiri kimia dengan bersandar kepada tujuan yang lebih luas, daripada
hanya sekedar berdasar atas tindakan melanggar hak pasien (pelaku kekerasan seksual) yang tentunya
tujuan yang lebih luas tersebut tidak akan tercapai. Untuk itu pelaksanaan tindakan kebiri kimia yang
dilakukan oleh dokter ini dapat menjawab diskursus etika, kedokteran, hukum dan keadilan masyarakat.
Selanjutnya, perlunya pemerintah melakukan reformasi hukum dan birokrasi untuk dapat melaksanaan
tindakan kebiri kimia yang sudah berkekuatan hukum tetap, terutama bagi dokter sebagai pelaksana
tindakan kebiri kimia. Hal tersebut sesuai dengan Prinsip utama teori hukum integratif mengenai rekayasa
birokrasi dan rekayasa masyarakat harus dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem

30
Taufik Suryadi, “Prinsip-Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Kesehatan.
31
Muhammad Zainul Fadli, “Pengalaman Kursus Bioetika “Certified Courses on Bioethics for Health Professionals
Dengan Pendekatan HELP.
32
Samntha Vaillancourt, Chemical Castration: How A Medical Therapy Became Punishment And The Bioethical
Imperative To Return To A Rehabilitative Model For Sex Offenders, 2012, https://wakespace.lib.wfu.edu/bitstream/
handle/10339/37658/Vaillancourt_wfu_0248M_10359.pdf.
33
Hafrida.
34
S. and Naibaho, “Penjatuhan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif Falsafah
Pemidanaan.”

22
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.35 Falsafah pemidanaan teori
integratif berorientasi sebagai bentuk pembalasan, pencegahan dan penjeraan, perlindungan masyarakat,
pengobatan, pemasyarakatan dan ganti kerugian.36 Oleh karenanya atas nama perlindungan masyarakat
terhadap kejahatan seksual kepada anak, negara wajib memaksa dokter untuk melaksanakan kebiri kimia
sebagaimana putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Kendala yang lain yang dapat menghambat pelaksanaan tindakan kebiri kimia adalah belum ada aturan
dosis tindakan kebiri kimia termasuk belum ada mekanisme pelaksanaannya apakah disuntik, meminum pil
atau yang lainnya termasuk mengenai intensitas atau jumlah pemberian tindakan kebiri. Pentingnya dosis
kebiri kimia, agar pelaku mendapatkan dosis yang sesuai dan tidak berlebihan. Kesalahan memberikan
dosis akan sangat berbahaya, oleh karenanya peran dokter sangat penting bukan hanya melaksanakan
sanksi tindakan kebiri juga memberikan masukan kepada pemerintah mengenai jumlah dosis dan intensitas
pemberian tindakan kebiri kimia tersebut agar pelaku kejahatan seksual yang diberikan sanksi tindakan
kebiri kimia tidak menerima sanksi tindakan yang tidak semestinya.
Karenanya itu perlu diperhatikan sejauh mana peran dokter dalam memberikan saran dan prosedur
pemberian dosis dan metode administrasi obat yang tepat serta mampu membuat keputusan medis yang
tepat pada kondisi genting agar tindakan tersebut setidaknya mengurangi rasa sakit yang harus dialami
narapidana. Ketika Dokter yang ikut melaksanakan sanksi tindakan tersebut, tidak dapat begitu saja
dikategorikan “tidak bermoral”, akan tetapi melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan norma dasar yang dirumuskan dalam aturan tersebut. Terlebih ketika melihat tujuan dari
keikutsertaan tenaga medis dalam hal ini bukanlah untuk mengakhiri hidup orang lain atau menimbulkan
cacat permanen, akan tetapi mengurangi penderitaan atau komplikasi dari suatu keputusan hukum yang
memang harus dilaksanakan.
Aspek penting lainnya yang akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan tindakan kebiri kimia ini adalah
sumber daya yang dibutuhkan dalam melaksanakan tindakan tersebut dinilai lebih mahal karena dalam
pelaksanaannya dibutuhkan anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis
untuk terpidana kebiri kimia.37 Institute for Criminal Justice (ICJR) melalui Maidina Rahmawati, menjelaskan
bahwa praktik tindakan kebiri kimia di bebera negara dalam tahapan persiapan dan pembangunan sistem
perawatan kebiri kimia membutuhkan banyak sumber pendanaan dan relatif mahal.
Menelaah PP Nomor 70 Tahun 2020 tidak secara rinci menentukan anggaran pelaksanaan kebiri kimia,
namun hanya menyebutkan anggaran pelaksanaan kebiri kimia bersumber dari APBN, APBD dan sumber
lain. Apalagi pemerintah dengan kementerian yang terkait tidak diketemukan penjelasan mengenai gambaran
pendanaan yang harus disediakan. Perlu adanya kepastian dalam pengalokasian dan penggunaan dana
kepada aparatur pelaksana penegak hukumnya, supaya tidak ada penyalahgunaan anggaran. Dikeluarkannya
PP Nomor 70 Tahun 2020 ini menunjukkan bahwa seolah-olah negara siap dengan beban anggaran baru
yang digunakan dalam pelaksanaan tindakan kebiri kimia bagi terpidana tindak kekerasan seksual.
Menurut doker spesialis Urologi, dr. Arry Rodjani, S.pU, biaya tindakan kebiri kimia adalah antara Rp.
700.000 (tujuhratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000 (satujuta rupiah) untuk sekali pemakaian,
efeknya suntikan kebiri kimia tersebut bisa antara satu sampai tiga bulan38. Mahalnya biaya pelaksanaan
kebiri kimia tentunya perlu dikaji lebih dalam apakah dengan biaya yang tidak sedikit tersebut tindakan
kebiri kimia bisa efektif atau tidak dalam menanggulangi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Namun
juga pada sisi yang lain putusan pengadilan yang sudah berkekutan hukum tetap mengenai tindakan kebiri
35
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan Dan Teori Hukum
Progresif (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012).
36
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Lubuk Agung, 2011).
37
Anugerah Rizki Akbari Supriyadi Widodo Eddyono, Ahmad Sofian, Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis Atas Rencana
Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia, Institute for Criminal Justice,
Reform ECPAT Indonesia, Mappi FH UI,Koalisi Perempuan Indonesia. Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri (Institute for
Criminal Justice Reform, 2016).
38
Nuzul Qur’aini Mardiya, “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual,” Jurnal Konstitusi 14,
no. 1 (2017): 213, https://doi.org/10.31078/jk14110.
23
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

kimia juga wajib dijalankan dijalankan oleh pihak yaang berwenang dalam hal ini jaksa dan dokter agar
putusan tersebut memiliki kewibawaan dan kepastian hukum.
Pelaku kejahatan seksual kepada anak tidak hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, tidak menutup
kemungkinan dilakukan oleh kaum perempuan. Perempuan sebagai pelaku kejahatan seksual yang kenai
tindakan kebiri kimia memiliki kendala tersendiri dalam proses pelaksanaan kebiri kimia, sepanjang
penelitian yang peneliti lakukan. Artinya perempuan sebagai pelaku kejahatan perlu juga jadi perhatian
serius yang memiliki kualifikasi mendapatkan sanksi tindakan kebiri kimia.
Dibeberapa negara, Obat atau zat kimia yang diguanakan untuk kebiri kimia menggunakan obat
anti-androgen yang akan menurunkan hormone testoteron pada laki-laki sehingga alat reproduksinya
tidak berfungsi. Beberapa jenis obat yang menekan produksi hormin testoteron antara lain, Argonis LHRH
(Luteinizinghormone- releasing hormone), Antagonis LHRH dan Madroxyprogesterone ecetate (MPA)39 .
Kesemua obat tersebut digunakan untuk melakukan kebiri kimia kepada pelaku berjenis kelamin laki-laki,
belum ada penelitian yang meneliti jenis obat kebiri kimia untuk perempuan.
Menjadi sebuah hambatan, jika pemerintah bersama DPR tidak punya langkah antisipasi ketika
perempuan menjadi pelaku kejahatan seksual kepada anak dan diberikan sanksi tambahan tindakan
kebiri kimia, sehingga secara teknis kebiri kimia sulit diterapkan. Oleh karenanya perlu ada aturan khusus
mengenai teknis kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual berjenis kelamin perempuan.
Belum masuknya sanksi tindakan kebiri dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi pertanyaan besar, padahal RUU KUHP sudah mengakomodir aturan
sanksi tindakan, namun dalam kualifikasi sanksi tindakan tersebut tidak mengetur tentang sanksi tindakan
kebiri kimia, padahal jelas dalam UU Perlindungan Anak, tindakan kebiri kimia menjadi salahsatu sanksi
untuk menindak pelaku kejahatan seksual kepada anak. Sanksi tindakan dalam RUU KUHP merupakan
aturan yang baru yang secara tegas diatur yang dalam KUHP tidak diatur secara komprehensif, beberapa
sanksi tindakan tersebut secara rinci diatur dalam pasal 103 RUU KUHP antara lain konseling, rehabilitasi,
pelatihan kerja, perawatan dilembaga dan perbaikan akibat tindak pidana. sedangkan jika orang tersebut
merupakan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual maka sanksi tidndakan yang didapatkan
adalah rehabilitasi, penyerahan kepada seseorang, perawatan dilembaga, penyerahan kepada pemerintah
dan atau perawatan dirumah sakit jiwa.
Prinsip kodifikasi hukum telah dikesampingkan jika tindakan kebiri kimia yang sebelumnya sudah
diatur dalam UU Perlindungan anak tidak diakomodir dalam RUU KUHP. Seharusnya tindakan kebiri kimia
diberikan ruang dalam RUU KUHP untuk bisa dimasukan dan diakomodir dalam bentuk sanksi dalam RUU
KUHP agar memperkuat eksistensi sanksi tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual. Dengan
memperkuat eksistensi tindakan kebiri kimia dalam RUU KUHP sama dengan kita mendukung upaya
negara melakukan penanggulangan dan pencegahan kejahatan seksual kepada anak didalam masyarakat.
Karenanya, pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi kembali tentang tidak masuknya tindakan
kebiri sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana indonesia dalam RUU KUHP agar tindakan kebiri
kimia mampu menjadi salah satu sanksi untuk dapat menanggulangi dan mencegah kejahatan seksual
kepada anak.

C. Penutup

Pemahasan mengenai problematika tindakan kebiri kimia baik dalam konsep maupun dalam
implementasinya dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, dilihat dari konsep sanksi tindakan kebiri
perlu penegasan kembali mengenai kebiri kimia apakah kebiri kimia merupakan sebuah sanksi tindakan
atau sanksi pidana. Jika bertujuan mengobati kebiri kimia dikualifikasikan menjadi sanksi tindakan,

39
dr. Kevin Adrian, “Seputar Kebiri Kimia Dan Dampaknya Bagi Kesehatan Pria,” alodokter.com, 2021, https://www.
alodokter.com/seputar-kebiri-kimia-dan-dampaknya-bagi-kesehatan-pria.

24
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

sebaliknya jika untuk pembelasan maka kebiri kimia sebagai sanksi pidana. Kedua, Implementasi tindakan
kebiri kimia mendapatkan banyak problematika antara lain efektifitas UU Perlindungan Anak yang mengatur
tindakan kebiri kimia, adanya penolakan dokter untuk melaksanakan tindakan kebiri kimia, belum adanya
pengaturan dosis, pembiayaan tindakan kebiri kimia sangat mahal serta belum ada mekanisme tindakan
kebiri yang diberikan kepada pelaku kejahatan seksual berjenis kelamin perempuan.
Selain itu, tidak diakomodirnya sanksi tindakan kebiri kimia dalam RUU KUHP, dengan masuknya
tindakan kebiri kimia dalam RUU KUHP akan memperkuat eksistensi sanksi tersebut sistem hukum pidana
Indonesia. Dengan demikian, perlunya dilakukan evaluasi atas kebijakan tindakan kebiri kimia baik dalam
konsep maupun implementasinya. Sehingga pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi kebijakan, persiapan
pelaksanaan, dan efektifitas pelaksanaan muatan sanksi terhadap tindakan kebiri kimia melaui revisi UU
Perlindungan Anak dan Peraturan pelaksananya sesuai konsep double track system, serta mengakomodir
tindakan kebiri kimia dalam RUU KUHP sebagai suatu aturan yang terkodifikasi dalam aturan hukum
pidana Indonesia.

25
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

Daftar Pustaka
Jurnal

Alam, Kodrat. “Menakar Keterlibatan Dokter Dalam Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak.” Jurnal Hukum 36, no. 2 (2020): 93. https://doi.org/10.26532/jh.v36i2.7561.

Gina Santika Ramadhani; Barda Nawawi Arief; Purwoto. “Sistem Pidana Dan Tindakan ‘Double Track System’
Dalam Hukum Pidana Di Indonesia.” Diponegoro Law Review 1, no. 4 (2012). https://ejournal3.undip.
ac.id/index.php/dlr/article/view/612/610.

Hafrida. “Indonesia Criminal Law Review Pro Kontra Sanksi Kebiri Kimia : Sanksi Yang Progresif Atsu
Primitif ?” 1, no. 1 (2021). https://scholarhub.ui.ac.id/iclr/vol1/iss1/2/.

Hasanah, Nur Hafizal, and Eko Soponyono. “Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia Dalam Perspektif
HAM Dan Hukum Pidana Indonesia,” 2018, 305–17. https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i0.

I Putu Reza Bella Satria Diva and I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. “Relevansi Pengkualifikasian Sanksi
Kebiri Kimiawi Sebagai Sanksi Tindakan Dalam Hukum Pidana.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum
8, no. 1 (2018): 1–15. ttps://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/49334.

Kartika, Ari Purwita, Muhammad Lutfi Rizal Farid, and Ihza Rashi Nandira Putri. “Reformulasi Eksekusi
Kebiri Kimia Guna Menjamin Kepastian Hukum Bagi Tenaga Medis/Dokter Dan Perlindungan Hukum
Bagi Pelaku Pedophilia.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 27, no. 2 (2020): 345–66. https://doi.
org/10.20885/iustum.vol27.iss2.art7.

Mardiya, Nuzul Qur’aini. “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual.” Jurnal
Konstitusi 14, no. 1 (2017): 213. https://doi.org/10.31078/jk14110.

Nabain Idrus, Gatot Dwi Hendrowibowo, Kaharudin. “Sanksi Hukuman Kebiri Kimia Ditinjau Dari Perspektif
Hak Asasi Manusia.” Jurnal Kertha Semaya 9, no. 12 (2021): 2479–90. https://doi.org/10.24843/
KS.2021.v09.i12.p18.

Nashriana. “Penganutan Asas Sistem Dua Jalur (Double Track System) Dalam Melindungi Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum: Tinjauan Formulasi Dan Aplikasinya.” Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah Dan
Masyarakat 15, no. 1 (2015): 51–71. https://doi.org/https://doi.org/10.19109/nurani.v15i1.274.

Nurafni, Nurafni, Bambang Waluyo, and Beniharmoni Harefa. “Eksekusi Kebiri Kimia Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak Di Indonesia.” Nagari Law Review 3, no. 2 (2020): 100. http://nalrev.fhuk.
unand.ac.id/index.php/nalrev/article/view/165.

Nurdiana, Meita Agustin; Ridwan Arifin. “Tindak Pidana Pemerkosaan: Realitas Kasus Dan Penegakan
Hukumnya Di Indonesia.” Literasi Hukum 3, no. 1 (2019): 52–63. https://jurnal.untidar.ac.id/index.
php/literasihukum/article/view/1350.

Putra, Yagie Sagita. “Penerapan Prinsip Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana Dipandang Dari Aspek
Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Pidana.” University Of Bengkulu Law Journal 2, no. 1 (2017):
14–28. https://doi.org/10.33369/ubelaj.v2i1.8009.

Putri, Ni Putu Yulita Damar, and Sagung Putri M.E Purwani. “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia.” Jurnal Kertha Wicara 9, no. 8 (2020): 1–13. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/
issue/view/3586.

S., Tunggal, and Nathalina Naibaho. “Penjatuhan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap
Anak Dalam Perspektif Falsafah Pemidanaan.” Jurnal Hukum & Pembangunan 50, no. 2 (2020): 329.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol50.no2.2594.

26
Telaah Kritis Terhadap Kebijakan... (Ahmad Jamaludin)

Soesilo, Galih Bagas. “Telaah Kritis Kebiri Kimia Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Pedofilia.” Amnesti
Jurnal Hukum 3, no. 1 (2021): 15–24. https://doi.org/10.37729/amnesti.v3i1.892.

Soetejo, Yulitasari Sunboro, Ali Sulaiman. “Tinjauan Etika Kedokteran Indonesia.” Jurnal Etika Kedokteran
Indonesia 2 (2018): 70.

Tantimin, Tantimin. “Kajian Hukum Kualifkasi Sanksi Kebiri Kimia Sebagai Sanksi Tindakan Dalam Hukum
Pidana Di Indonesia.” Wajah Hukum 5, no. 1 (2021): 21. https://doi.org/10.33087/wjh.v5i1.302.

Taufik Suryadi. “Prinsip-Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Kesehatan.” Simposium Nasional V
JBHKI Dan Workshop III Pendidikan Bioetika Dan Medikolegal Di Medan, 2019, 14. https://
scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=RiU6rd8AAAAJ&citation_for_
view=RiU6rd8AAAAJ:Y0pCki6q_DkC.

Wuryani, Sulis. “Efek Jera Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Anak Dari Sudut Pandang Psikologi.”
Info Singkat XI, no. 17 (2019).

Yulio, I Gusti Ngurah, Mahendra Putra Dewa, and Nyoman Rai Asmara Putra. “Tinjauan Yuridis Terhadap
Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Kepada Anak.” Ojs.Unud.Ac.Id 7, no. 2 (2018):
1–15. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/39473.

A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan
Dan Gabungan Delik) Dan Hukum Penitensier, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Abu Huraerah. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa, 2006.

Bardanawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, 1996.

Eddy O.S Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Eva Achjani Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.

M. Solehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System Dan Implementasinya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Romli Atmasasmita. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan Dan Teori
Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, 2012.

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.

Supriyadi Widodo Eddyono, Ahmad Sofian, Anugerah Rizki Akbari. Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis
Atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia.
Institute for Criminal Justice, Reform ECPAT Indonesia, Mappi FH UI,Koalisi Perempuan Indonesia.
Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri. Institute for Criminal Justice Reform, 2016.

dr. Kevin Adrian. “Seputar Kebiri Kimia Dan Dampaknya Bagi Kesehatan Pria.” alodokter.com, 2021. https://
www.alodokter.com/seputar-kebiri-kimia-dan-dampaknya-bagi-kesehatan-pria.

Fauzia, Mutia. “KemenPPPA: 797 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022.” kompas.
com, 2022. https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-
korban-kekerasan-seksual-sepanjang-januari-2022?page=all.

Maria Amanda Inkiriwang. “Penjelasan Dokter Boyke Tentang Dampak Kebiri Kimia.” okezone.com, 2016.
https://lifestyle.okezone.com/read/2016/06/01/481/1403478/penjelasan-dokter-boyke-tentang-
dampak-kebiri-kimia.

Muhammad Zainul Fadli. “Pengalaman Kursus Bioetika “Certified Courses on Bioethics for Health Professionals

27
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 14-28

Dengan Pendekatan HELP (Humanity-Ethical-Legal-Professional) Angkatan Ke 5.” fk.unisma.ac.id,


2019. http://fk.unisma.ac.id/2020/01/22/pengalaman-kursus-bioetika/.

Samntha Vaillancourt. Chemical Castration: How A Medical Therapy Became Punishment And The Bioethical
Imperative To Return To A Rehabilitative Model For Sex Offenders, 2012. https://wakespace.lib.wfu.
edu/bitstream/handle/10339/37658/Vaillancourt_wfu_0248M_10359.pdf.

Sudrajat. “IDI Sarankan Kebiri Kimia Diganti Rehabilitasi.” detik.com, 2019. https://news.detik.com/
berita/d-4686384/idi-sarankan-kebiri-kimia-diganti-rehabilitasi.

28
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Berkeadilan

Yogi Prasetyo
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo
yogiprasetyomadiun@gmail.com

Abstract

This research article aims to explain the importance of legislation making that are jus. This is important because
statutory regulations as laws that apply to society must be in accordance with the aspirations of the common
interest. The beginning of legal justice based on the legal system can be done from the formation of just laws. In
this study using the literature study research method with a realistic legal philosophy approach. The research
data was obtained from literature related to the research theme. The results of the research show that there
are problems in laws and regulations and therefore in their formation they do not only pay attention to formal
procedural mechanisms, but also need to pay attention to the values of community life. Legislation is a concrete
form of law, so it must reflect justice for all Indonesian people.

Keywords: making, legislation, justice

Abstrak

Artikel penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pentingnya membuat peraturan perundang-undangan
yang berkeadilan. Hal ini menjadi penting karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum
yang diterapkan ke masyarakat harus sesuai dengan aspirasi kepentingan bersama. Awal dari keadilan
hukum berdasar sistem hukum dapat dilakukan dari pembentukan undang-undang yang berkeadilan.
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian studi pustaka dengan pendekatan filsafat hukum
realitis. Data penelitian diperoleh dari kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam peraturan perundang-undangan dan oleh karena
itu dalam pembentukannya tidak hanya memperhatikan mekanisme prosedur formal, tetapi perlu juga
memperhatikan nilai-nilai kebidupan masyarakat. Peraturan perundang-undangan merupakan wujud nyata
dari hukum, sehingga harus mencerminkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kata kunci: pembentukan, peraturan perundang-undangan, keadilan


Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

A. Pendahuluan

Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum yang berdasar pada ideologi Pancasila dan
konstitusi UUD 1945. Dalam segala kebijakan mengedepankan nilai-nilai akhlak, kepribadian, dan moral
etika bangsa yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berprinsip Bhinneka Tunggal Eka dalam
bermasyarakat, berbagsa dan bernegara.1 Sebagai negara hukum, tentunya dalam seluruh dimensi
kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada hukum positif yang berlaku. Negara Indonesia dalam
melaksanakan kehidupan tentunya memuat segala aspek regulasi yang merupakan komponen utama dan
penting sebagaimana yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan menjadi instrumen yang melekat dalam sistem hukum di negara
ini. Sejarah bangsa dan perkembangan zaman yang turut mendukung pentingnya penggunaan peraturan
perundang-undangan sebagai asas legal negara hukum. Selain itu, juga telah mendudukkan peraturan
perundang-undangan menjadi instrumen yang strategis dalam setiap program kebijakan negara yang
akan dilaksanakan. Dalam melaksanakan program kebijakan pemerintah tentu memerlukan dasar alasan
hukum untuk dapat melindunginya dari permasalahan hukum yang mungkin terjadi. Hal ini menjadi suatu
konsekuensi yang harus dilakukan dalam rangka melakukan proses pertanggungjawaban hukum.
Perkembangan zaman yang lebih modern telah mempengaruhi hukum, khususnya terkait dengan adanya
jaminan kepastian hukum. Hal itu semua sebenarnya mengarah kepada prinsip legalitas hukum, yang
mana bahwa hukum yang dikehendaki adalah hukum yang secara jelas dan tegas ditulis dalam peraturan
perundang-undangan. Dengan begitu dapat meminilimalisir adanya kesalahan atau pelanggaran karena
alasan tidak adnaya aturan hukumnya. Namun disisi lain, sistem hukum modern yang lebih mengedepankan
pada prosedur formal cenderung kurang baik dibagian subtansi dan rawan terjadi penyusupan kepentingan
tertentu yang pada akhirnya menimbulkan ketidak adilan.
Permasalahan akan timbul dalam kehidupan bernegara jika terjadi suatu hukum yang dibuat hanya
untuk kepentingan dari kelompok kepentingannya sendiri secara tertentu. Sehingga aspek keadilan rakyat
yang seharusnya menjadi tujuan utama pembentukan hukum menjadi terabaikan. Hukum tersebut justru
menjadi alat untuk menindas dan mempersulit hidup masyarakat. Jika telah seperti ini jati diri hukum
tentunya menjadi berubah. Akibatnya hukum menjadi alat mencapai kepentingan belaka, sehingga tidak
mampu lagi menegakkan keadian.
Hukum yang berwujud peraturan perundang-undangan tersebut juga sudah tidak dapat lagi dijadikan
pedoman dalam penyelesaian berbagai permasalahan hukum yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.
Dominasi kepentingan dalam kehidupan yang semakin maju ini terasa sangat kuat mengendalikan hukum.
Bahkan pembentukan peraturan perundang-undangan dinilai syarat dengan kepentingan tertentu yang
identik dengan urusan politik kekuasaan. Ketika peraturan perundang-undangan dibentuk hanya untuk
tujuan tertentu, maka dapat dipastikan hasilnya tidak mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Peraturan perundang-undangan sebagai produk politik memang tidak dapat steril dari adanya kepentingan
para elit politik yang ada di dalamnya. Sehingga hal inilah yang menjadi kebiasaan buruk dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal ini, apakah hukum untuk mengatur politik atau
politik yang mengatur hukum. Jika demikian jargon negara hukum hanya sebagai cita-cita hukum yang
selamanya akan ada di atas kertas tanpa hasil nyata di lapangan. Padahal secara universal telah dipahami
bersama bahwa hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip keadilan.
Permasalahan hukum yang berwujud peraturan perundang-undangan sangat terlihat jelas ketika
banyak sekali demo yang menentang atau menolak disahkannya Undang-Undang. Seperti pada saat demo
menolak Undang-Undang KPK, Undang-Undang Cipta Kerja, KUHP, dan berbagai peraturan perundangan

1
Widayati. 2020. “Implementasi Asas Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Partisipatif
Dan Berkeadilan”. Jurnal Hukum, Vol. 36, No. 2, hlm. 59–72.

30
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

yang mendapat penolakan keras dari elemen masyarakat. Peraturan perundang-undangan tersebut dinilai
tidak memberikan keadilan bagi seluruh rakyat, karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang tidak
berpihak atau merugikan masyarakat. Seperti Undang-Undang Cipta kerja yang dinilai telah merugikan
kaum buruh. Meskipun secara formil telah sesuai dengan mekanisme pembentukannya, namun secara
subtansi materiil dirasa masih jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Permasalahan hukum di Indonesia, seperti sulitnya bagi hukum positif dalam menterjemahkan rasa
keadilan yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Idealitas yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat di realisasikan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Padahal masyarakat
merupakan subjek hukum, bukan objek hukum. Telah menjadi permasalahan klasik, bahwa peraturan
perundang-undangan hanya terlihat baik dalam pasal-pasalnya, tetapi buruk dalam realitasnya.
Masyarakat sebagai unsur penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebenarnya
memiliki peran yang sangat strategis. Apalagi jika merujuk pada konstitusi yang menyatakan bahwa
kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan hukum. Artinya kepentingan rakyat seharusnya
menjadi dasar utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan hanya mengutamakan
kepentingan elit politik saja. Terjadi kesahan dalam memahami rasa keadilan dalam hukum, seperti keadilan
yang seharusnya berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya berlaku bagi para elit politik.
Kesulitan dari peraturan perundang-undangan untuk menterjemahkan hukum yang sesuai dengan
kepentingan masyarakat menambah permasalahan hukum positif di Indonesia semakin terasa tidak
memberikan keadilan kepada masyarakat. Peraturan perundang-undangan dengan sistem logika tertutup
memiliki metode sendiri dalam memahami hukum. Hal inilah yang mungkin menimbulkan kesan hukum
yang kaku dan tidak mau berinteraksi dengan realitas empiris di lapangan. Alam pikiran elit politik pembuat
aturan perundang-undangan tentu tidak sama dengan pemikiran masyarakat kecil di lapangan. Perbedaan
cara pandang seperti inilah yang menimbulkan permasalahan hukum.
Menurut pemahaman Brian Tanamaha dalam konsep teori realisme hukum, maka hukum yang baik
harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-
undangan harus mampu memenuhi aspirasi dari masyarakat menjadi suatu program nyata yang memberi
dampak baik terhadap masyarakat. Tanamaha juga tidak memungkiri adanya keanekaragaman pengaruh
kepentingan dalam menegakkan hukum, seperti; sosial, politik dan ekonomi. Namun semuanya masih dapat
diatur kedalam hukum yang mampu menampung segala perbedaan menjadi suatu keadilan bagi hukum.2
Merujuk dari pendapat Oliver Welden Holmes yang dikutib oleh Tamanaha, juga telah mengkritik
dengan tajam formalisme hukum dalam peraturan perundang-undangan yang dinilai kurang mampu
membaca konteks realitas hukum di masyarakat. Hukum yang baik menurutnya adalah hukum yang mampu
memberikan malayani kepentingan masyarakat dalam hukum. Peraturan perundang-undangan sebaiknya
dibentuk untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan, bukan
berdiri di atas menara gading yang sulit menjangkau fakta hukum di masyarakat.3
Keadilan identik dengan hukum karena hal itu menggambarkan bentuk hukum yang ideal. Hukum
melalui peraturan perundang-undangan dapat mengatur dan membuat pemerataan keadilan bagi masyarakat.
Oleh karena itu sebenarnya peran hukum melalui peraturan perundang-undangan sangat penting dalam
menciptakan keadilan. Dalam upaya untuk mencapai keadilan, maka diperlukan kesungguhan niat dari
seluruh elemen pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mempertimbangkan berbagai macam
kepentingan yang masuk ke dalam bingkai sistem terintegrasi hukum dan menentukan keputusan yang
diambil secara bijaksana.4 Sulit memang mencapai suatu keadilan hukum ditengah banyaknya kepentingan,

2
Brian Z. Tamanaha. 2009. Beyond Formalist-Realist Divide. Princeton: University Press, p. 11.
3
Brian Z. Tamanaha. 2008. “Understanding legal pluralism: past to present, local to global”. Sydney law review 30 (3),
375-411.
4
Bernard L. Tanya. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta
Publishing, hlm. 20

31
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

namun hukum ditangan kendali manusia yang beradab akan mampu mencapai keadilan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah studi pustaka. Sedangkan pendekatan
dilakukan dengan filsafat hukum dari aliran teori sosciological Jurisprudence untuk mengkaji hukum
secara mendalam.5 Melalui kajian literasi dan pendekatan filsafat akan diperoleh suatu pemahaman
hukum yang mampu untuk menjelaskan konsep pemikiran hukum yang dimaksud. Bahan utama dalam
penelitian ini adalah bahan pustaka, yaitu bahan hukum yang terkait dengan tema penelitian yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lain yang relevan. Terdapat pula bahan dari hasil
kajian literatur yang berisi tentang pokok permasalahan dalam kehidupan sosial masyarakat yang dinilai
penting untuk mendukung penelitian lebih komprehensif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan
pemikiran sesuai dengan arah maksud dari penelitian.

B. Pembahasan

B1. Analisis Kritis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan berdasar UUD 1945.
Dalam pasal ini pelaksana kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri sehingga dapat dikatakan hukum
dibentuk oleh rakyat dan untuk rakyat, maka dari itu hukum harus memberi manfaat keadilan bagi rakyat
itu sendiri.6 Hukum yang dimaksudkan adalah hukum positif dalam peraturan perundang-undangan yang
merupakan bagian dari prinsip-prinsip keadilan.7 Prinsip ini melingkupi keleluasaan (previlesei) atau peran
serta pada kehidupan berpolitik.
Indonesia sebagai negara hukum telah berprinsip bahwa secara formal tindakan semua organ negara
dan masyarakat harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian hukum memiliki
tingkat kepastian yang lebih tinggi. Bahkan hukum jika dipahami dari aliran teori positivisme hukum, maka
jauh dan bebas dari unsur-unsur sosial, karena itu tidak ada hubungannya dengan peraturan perundang-
undangan. Seluruh penyelenggaraan sistem negara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Aparatur negara adalah figur hidup yang mewakili hukum.
Segala sesuatu yang dianggap penting oleh negara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga dapat diukur kejelasan dan kepastiannya. Yang terpenting adalah tercapainya kepastian hukum,
bukan rasa keadilan masyarakat. Pengertian tersebut lahir dari penyempitan makna hukum oleh penganut
aliran positivisme hukum yang didukung oleh sistem hukum civil law, yang mengartikan hukum sebagai
apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, selain itu ia bukan hukum.8 Perspektif ini sering
meniadakan berbagai fakta hukum dilapangan dalam bentuk realitas sosial di masyarakat.
Pengaruh kuat pemahaman yang mengatakan hukum adalah peraturan perundang-undangan di
Indonesia adalah akibat pengaruh hukum warisan kolonial Belanda yang terlalu lama menguasai negeri
ini. Sistem hukum Indonesia lebih mengacu pada sistem hukum perdata yang diterapkan oleh penjajah
Belanda. Sampai saat ini Indonesia belum bisa lepas dari pengaruh sistem hukum warisan penjajah, padahal
negara Indonesia sudah merdeka. Dibutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat untuk melepaskan
diri dari hukum kolonial Belanda, dan mengembalikan hukum Indonesia sesuai dengan hukum asal yang
bersumber dari realitas sosial masyarakat.
Cara pandang hukum yang kaku dan formalis bukanlah hukum yang diinginkan oleh masyarakat,
karena tidak bersumber dari keadaan nyata di sosial masyarakat Indonesia itu sendiri. Masyarakat seperti
menggunakan hukum asing yang tidak mengerti apa yang dilakukan. Akibatnya, hukum terasa jauh dari

5
Yogi Prasetyo. 2017. “Legal Truth (Menakar Kebenaran Hukum)”. Legal Standing, Vol. 1, No. 1, hlm. 47.
6
Risdiana Izzaty. 2020. Urgensi Ketentuan Carry Over Dalam Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia (The Urgency
of Carry-Over Provision in Law-Making in Indonesia). Jurnal HAM, Vol. 11, No. 1, hlm. 85–98.
7
Mukhlisin. 2020. “Keadilan dan Kepastian Hukum: Menyoal Konsep Keadilan Hukum Hans Kelsen Perspektif Al-Adl
Dalam Al-Quran”. Media Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, No. 2, hlm. 55.
8
FX. Adji Samekto. 2012. “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 12, No. 1, hlm. 83.

32
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

apa yang diinginkan masyarakat, karena hukum yang berlaku berbeda dengan apa yang dipraktekkan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Situasi ini seperti fenomena penerapan hukum yang dikemukakan
oleh Brian Z. Tamanaha, bahwa hukum seharusnya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat sebagai
pelaku hukum.9
Peraturan perundang-undangan yang yang secara prosedur formal didukung oleh sistem hukum warisan
Belanda telah melekat kuat pada dominasi penalaran logis dan rasional. Hal ini sangat penting bagi para
profesional seperti: polisi, kejaksaan, hakim dan birokrat negara dalam mendukung tercapainya pekerjaan
yang terukur dengan standar yang pasti. Bahkan, mereka dalam profesional kerja enggan dan tidak mau
keluar dari kungkungan hukum berupa peraturan perundang-undangan.10
Cara berpikir para profesional hukum yang tertutup logika dalam konflik hukum tidak mampu melihat
realitas hukum yang sebenarnya di masyarakat. Hukum dipahami sebagai aturan dan logika, seperti kaca
kuda satu arah. Dimensi social budaya yang merupakan cerminan kehidupan masyarakat tidak digunakan
dalam pembentukan hukum. Akibatnya, hukum yang berwujud peraturan perundang-undnagan di Indonesia
dianggap kaku dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.11
Peraturan perundang-undangan ini nampaknya lebih mengutamakan penafsiran leksikal dan gramatikal
hukum sebagaimana terkandung dalam nalar logika peraturan perundang-undangan. Dalam memahami
peraturan perundang-undangan dilarang menggunakan persamaan analogi hukum, karena dianggap
bertentangan dengan asas legalitas hukum (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Larangan
analogi hukum ini seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam sistem hukum Indonesia terlihat dalam setiap kasus yang
ditangani oleh aparat penegak hukum. Mereka harus menggunakan referensi utama peraturan perundang-
undangan dalam melakukan proses hukum. Jadi poin utama dalam penyelesaian perkara hukum adalah
melihat bagaimana hukum tertulis dalam undang-undang mengaturnya. Jika tidak, maka dianggap di luar
kewenangannya. Sekalipun ada peraturan, tetapi tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka
tetap dilakukan proses hukum. Misalnya kasus Nenek Asyani yang divonis satu tahun penjara oleh majelis
hakim karena mencuri ranting jati dari dinas kehutanan RI. Berapa nilai sebatang ranting kayu hingga
membuat seorang nenek tua menanggung beban hukuman. Namun, hukum tidak melihatnya sebagai
rasa keadilan masyarakat, tetapi yang penting peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Keanekaragaman masyarakat Indonesia dan kebhinekaannya seharusnya menjadikan hukum mampu
mereduksi dominasi positivisme hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Nilai-
nilai kehidupan sosial dalam kehidupan masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan untuk memberikan
pelayanan keadilan kepada masyarakat sesuai dengan kondisi di lingkungannya.12 Seperti seorang hakim
tidak cukup hanya menjadi corong hukum, tetapi harus membuka mata, telinga, akal budi dan hati nuraninya
selebar-lebarnya untuk membentuk hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hukum positif tidak cukup dengan perspektif tekstual seperti yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan, karena permasalahan dalam masyarakat semakin kompleks. Seperti dikatakan Brian Z Tamanaha
terkait pluralisme hukum yang mulai di pakai di beberapa negara dalam upaya mengatasi permasalahan
kompleksitas hukum. Pengaruh globalisasi telah membuat pembentuk hukum melakukan inovasi hukum
yang lebih holistik.13 Cara pandang positivisme hukum yang secara logis tertutup dan dikaitkan dengan
sistem hukum negara telah membuat masyarakat Indonesia terbiasa dengannya dan menganggapnya
9
Brian Z. Tamanaha. 2010. Beyond Formalist-Realist Divide, Op. Cit. p. 1.
10
Khudzaifah Dimyati. 2008. Dialektik Hukum: Karakteristik dan Orientasi Pemikiran hukum Berbasis Nilai Budaya
hukum Indonesia, Surakarta: Universitas Muhammadiay Press, hlm. 97.
11
Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pemilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah
University Press, hlm. 10.
12
Shidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan. Bandung: CV Utomo, hlm. 256.
13
Brian Z. Tamanaha. 2017. A realistic theory of law. Cambridge: Cambridge University Press. p. 75-77

33
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

sebagai bagian dari budaya hukum yang dapat diterima penerapannya menjadi aturan umum, meskipun
pada kenyataannya telah menunjukkan bahwa itu adalah hukum yang belum tentu sesuai.
Peraturan perundang-undangan cenderung tidak mempersoalkan apakah substansi hukum itu adil
atau tidak, baik atau buruk, bertentangan dengan moral, etika dan agama atau tidak. Cara pandang seperti
ini membuat hukum hanya memandang hitam putih terhadap suatu masalah, padahal banyak masalah
hukum yang tidak cukup untuk ditangani secara tekstual, sehingga membutuhkan penafsiran kontekstual.
Seperti kasus Tukirin, petani asal Kota Nganjuk yang dituding jaksa mencuri hak paten benih jagung.
Tukirin dituduh mencuri benih induk, namun karena telah dijelaskan secara meyakinkan bahwa benih
tersebut dibeli dari toko, maka timbul pertanyaan bagaimana cara menanam jagung dan Tukirin dianggap
meniru cara menanam jagung, maka ditemukanlah Tukirin. bersalah oleh majelis hakim dan dijatuhi
hukuman. Banyak kasus seperti di atas yang sering terjadi di masyarakat, dimana hukum positif tampak
meningkatkan ketidakadilan hukum bagi masyarakat.
Penegakan hukum secara tekstual dapat dianggap terlalu kaku dan formalistik sehingga mengabaikan
aspek-aspek substansial yang justru merupakan hal terpenting dalam hukum. Dalam keadaan yang demikian
peraturan perundang-undangan telah menempatkan dirinya pada posisi yang sulit untuk dibela, karena
pandangannya terhadap hukum sangat simplistis ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang
ada di tengah masyarakat.
Pemahaman hukum seperti ini dapat berdampak buruk terhadap perkembangan hukum nasional di
Indonesia. Oleh karena itu, jika hukum hanya dilihat sebagai sistem norma positif belaka, maka pembangunan
hukum juga hanya berorientasi pada pengembangan komponen hukum yang terkait dengan sistem
pembentukan norma tersebut, padahal dalam kenyataannya tidak cukup hanya melibatkan komponen
yang terkait dengan norma. Gagasan negara hukum yang berkeadilan secara sederhana dapat tercermin
dari bagaimana penegakkan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai organ lembaga
negara. Menurut Brian Z Tamanaha, negera hukum yang baik adalah negara yang menghormati supremasi
hukum yang dilaksanakan sesuai cita hukum negaranya dibentuk.14
Masalah ini membuat hukum menjadi kering, kaku, sempit dan picik. Dampaknya dapat berupa sulitnya
melakukan terobosan hukum dalam penyelesaian masalah, karena terpaku pada bunyi teks yang ada dalam
peraturan perundang-undangan. Hukum dalam hal ini terasa sangat terbatas pada apa yang tertulis di
atas kertas. Jangan mencari arti lain di luar apa yang telah tertulis dalam peraturan perundang-undangan
Meskipunpun hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan, namun juga dapat menimbulkan
apa yang disebut dengan kekacauan hukum.15 Hal ini terjadi karena hukum dipahami secara sempit, informal,
involutif, lamban dan kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan
di masa depan. Bukti kegagalan hukum dalam bentuk perundang-undangan yang tidak mampu memahami
hukum yang sebenarnya di masyarakat adalah sulitnya memberikan keadilan yang berpihak pada masyarakat.
Logika hukum yang tertutup dalam nalar positivisme hukum cenderung mengabaikan rasa keadilan
dalam masyarakat. Selain itu, hukum juga terlepas dari nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat, seperti nilai moral, etika, adat istiadat, dan agama. Semua kesalahan hanya dinilai dengan
pemenjaraan, bukan perasaan menyesal, bersalah atau malu yang sebenarnya adalah sanksi yang sudah
dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dimensi sosial hukum hilang dari tugasnya sebagai lembaga
yang bertugas mengembalikan seseorang ke dalam masyarakat. Padahal hukum diciptakan untuk masyarakat,
bukan masyarakat untuk memenuhi kepentingan hokum.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum saat ini mulai hilang akibat praktik hukum yang
jauh dari rasa keadilan masyarakat. Kewibawaan aparat penegak hukum semakin merosot, sehingga hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan dianggap tidak lagi mampu memberikan manfaat nyata

14
Brian Z. Tamanaha. 2012. The history and elements of the rule of law, Singapore: Legal Studies, p. 232-247.
15
Ahmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana, hlm. 45.

34
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

bagi masyarakat. Hukum dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat
secara adil. Hukum malah tidak berdaya menghadapi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi, sehingga
keadilan semakin sulit dicapai bagi masyarakat.16 Aparat penegak hukum dengan sistem hukumnya
belum mampu melepaskan diri dari pengaruh buruk positivisme hukum yang menempatkan peraturan
perundang-undangan sebagai sumber utama hukum yang tidak dapat digantikan, padahal undang-undang
di dalamnya jauh dari layak.
Mungkin hukum di Indonesia mengalami apa yang disebut dengan kemiskinan ideologis Indonesia yang
secara substansial telah kehilangan jiwa yang seharusnya dilestarikan. Hal ini karena lembaga-lembaga
yang berwenang membentuk undang-undang tidak mampu melihat realitas hukum yang ada di masyarakat
sebagai hukum yang nyata dan asli di Indonesia guna membentuk peraturan perundang-undangan yang adil.
Dampak implikasi dari keadaan tersebut adalah meningkatnya resistensi produk hukum yang terjadi di
masyarakat. Banyak protes dari elemen masyarakat atas peraturan perundang-undangan baru yang disahkan
pemerintah. Adanya penolakan terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan
dengan rasa keadilan. Seperti undang-undang tentang pertanahan, ketenagakerjaan, pertambangan dan
undang-undang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Tidak ada tempat untuk hukum
berpihak pada masyarakat, sehingga ada kecenderungan bahwa hukum dirasa tidak adil bagi masyarakat.
Keadaan seperti ini seperti dikatakan Brian Z Tamanaha terkait dengan ketidakmampuan hukum akibat
penggerogotan dari instrumennya sendiri, termasuk oleh lembaga dan aparat penegak hukum.17
Permasalahan yang urgen saat ini adalah bagaimana membongkar sistem hukum yang hanya berorientasi
pada bentuk hukum saja tanpa memperhatikan hal yang paling hakiki dalam hukum. Hukum pada tahap
akhir merepresentasikan keadilan, namun hukum tidak akan adil jika tidak memiliki kerangka pemikiran
ideologis dari nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang merupakan warisan asli dari leluhur
bangsa yang luar biasa berharganya. Dalam konteks yang demikian, pemikiran ideologis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan Indonesia yang berkeadilan perlu diperkuat karena tanpa itu hukum tidak
memiliki landasan yang jelas dan bijaksana sebagai tempat hukum menjalankan fungsi dan peranannya
dalam kehidupan.
Dalam upaya untuk memahami keadilan hukum Indonesia sebenarnya dapat dilihat dari cermin
kehidupan realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Berbagai akulturasi nilai-nilai kehidupan nampak
dalam muatan pranata-pranata sosial yang ada untuk mengatur kehidupan masyarakat. Sejak dahulu
kala, masyarakat Indonesia telah memiliki sistem kehidupannya sendiri yang digunakan untuk mengatur
kehidupan sehari-hari. Cara pandang hukum dengan melihat hukum sebagai fakta sosial yang nyata di
masyarakat sejalan dengan pendapat Gary Lawson dalam menjelaskan perkembangan teori orisinalitas
hukum di masyarakat.18

B2. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkeadilan.

Suatu hal yang urgen bahwa untuk membentuk produk hukum yang baik dan aspiratif yang sangat
diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam proses perumusan undang-undang, diperlukan
pedoman pedoman agar produk hukum yang dikeluarkan nantinya menjadi sah dan berwibawa, serta
dapat dilaksanakan di masa yang akan datang. Berdasar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pemerintah telah memiliki prosedur formal yang harus
dilakukan dalam pembentukan hukum. Hal ini juga sesuai dengan sebagaimana yang disebutkan dalam

16
Rabiatul Syariah. 2008. “Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional”. Jurnal Equality,
Vol.13, No.1, hlm.2.
17
Brian Z. Tamahana. 2006. “How an instrumental view of law corrodes the rule of law”, Jurnal De Paul L. Rev. Jilid
56, p. 469.
18
Gary Lawson. 2016. “Reflections Of An Empirical Reader (Or: Could Fleming Be Right This Time)”. Boston University
Law Review, Vol. 96. P. 1458-1459.

35
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

Pasal 22A UUD 1945 yang menjelaskan bahwa terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
telah ada aturan yang secara khusus mengaturnya untuk itu, sehingga tujuan untuk membetuk peraturan
perundang-undangan yang berkeadilan dapat tercapai.
Kerangka yang menjadi konsep dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu
proses penting dalam menentukan keadilan hukum untuk masyarakat. Hukum pada dasarnya merupakan
hasil dari penilaian akal dan budi yang berasal dari dalam diri seorang manusia mengenai sebuah keadilan
antara satu dengan yang lainnya. Keadilan hukum yang abadi merupakan hukum yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, segala sesuatu yang menjadi
kepentingan bersama akan dapat dengan mudah untuk dicapai ketika masyarakat sendiri telah menata
diri sebagaimana yang dicita-citakan oleh keadilan itu sendiri.
Hukum disini menuntut untuk memperlakukan orang dengan sama sehingga hal ini akan dapat
mewujudkan keseimbangan antar elemen dalam masyarakat. Selain itu, untuk menunjukkan salah satu
perwujudan dari cita hukum yang bersifat universal itu merupakan sebuah tuntutan dari suatu keadilan
sebagai penentuan apakah hukum itu sesuai atau tidak. Maka dengan itu hukum harus diukur secara
empiris di masyarakat untuk dapat memahami bagaimana hukum tersebut mampu mencerminkan rasa
keadilan, tetapi sebelum itu masyarakat harus lebih dulu mampu untuk memahami makna hukum yang
sebenarnya.
Implementasi pembentukan undang-undangan di Indonesia tidak lepas dari kepentingan nasional yang
mana hal ini didasarkan pada kepentingan pemerintah dan juga rakyat dalam mencapai struktur hukum
yang seimbang dan membentuk peraturan-peraturan yang sifatnya mengatur bagi seluruh warga Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan secara menyeluruh seharusnya mampu mencermati tiga aspek yaitu
sejarah perjuangan bangsa, kondisi objektif yang terdapat pada masa sekarang, dan zona yang strategis
untuk memandang masa mendatang yang diharapkan.
Dalam proses penyusunan undang-undang merupakan salah satu perwujudan dari bentuk pembangunan
hukum yang mana hal ini merupakan suatu rangkaian peristiwa yang berawal dari penyusunan, perencanaan,
pembahasan dan perundangan atau pegesahan. Semua proses tersebut diterapkan oleh para pembuat
undang-undang pada sistem demokrasi modern saat ini, yaitu eksekutif presiden beserta jajaran kementerian
dan lembaga legislatif (DPR). Dalam pembentukan perundang- undangan ini diharapkan adanya asas
demokratis yang mana dalam proses pembentukannya yaitu menghendaki bahwa material hukum yang
hendak dibuat adalah cerminan dari akhlak nilai dan kehendak rakyat.
Negara Indonesia adalah negara berdaulat berdasarkan prinsip kerakyatan. Partisipasi masyarakat juga
merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya undang-undang. Tidak hanya Indonesia, semua negara yang
mengakui dirinya sebagai negara hukum juga erat kaitannya dengan partisipasi masyarakatnya dalam ikut
serta menghasilkan produk hukum. Pelaksanaan implementasi dari hukum dan ketertiban memerlukan
arsip yang berwibawa untuk dikendalikan, yang dapat berupa pedoman, larangan, perintah atau hal-hal
yang diperbolehkan.
Di arena publik, hukum akan mengambil bagian dalam mencapai tujuan bersama. Selama waktu yang
dihabiskan untuk membingkai peraturan dan pedoman, standar yang sah harus digunakan sehingga peraturan
dan pedoman yang terbentuk adil. Salah satu aturan yang sah yang harus dijalankan selama pembuatan
peraturan dan pedoman adalah dengan adanya asas keterbukaan. Asas ini memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi daerah untuk mengambil bagian dalam pengembangan regulasi secara lugas dalam konteks
otonomi daerah.
Dari berbagai asas materiil yang terkandung dalam undang-undang ada aturan kesetaraan yang
membuat kesetaraan normal untuk setiap penduduk. Peraturan dan pedoman ini disusun untuk memberikan
pemerataan kepada seluruh wilayah setempat, bukan untuk kepentingan perkumpulan atau perkumpulan
tertentu. Sifat umum dari hukum menjadi pedoman yang harus diutamakan, karena hukum bagian yang
tidak terlepas dari sikap adil bagi seluruh rakyat. semua elemen yang ada menempati kedudukannya sesuai

36
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

dengan apa yang telah ditentukan undang-undang. Partisipasi merupakan instrumen untuk mengubah
kemajuan sosial agar sesuai dengan aturan hukum yang telah ditetapkan negara. Perubahan ini juga
didasarkan pada nilai kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Hal ini penting mengingat regulasi merupakan
alat otoritatif untuk mengatur kehidupan individu ditengah kehidupan masyarakat.19
Masyarakat dalam ikut berpartisipasi mewarnai proses penyusunan undang-undang memang sangat
diperlukan meskipun banyak dari produk undang-undang yang belum sesuai dengan kehendak aspirasi
masyarakat. Dalam proses pembentukan undang-undang terdapat kaitan yang erat dengan adanya partisipasi
masyarakat. Hal itu seperti terkait dengan: pelaku partisipasi masyarakat yang ada; cara menyampaikan
partisipasi masyarakat; bentuk partisipasi masyarakat; materi yang diusung dalam partisipasi tersebut.
Di era sekarang ini dituntut untuk melibatkan masyarakat dalam pembentukan hukum menjadi
keharusan yang tidak dapat ditinggalkan. Sebagai bukti adanya demokrasi, hukum juga harus dibentuk
dengan adanya partisipasi masyarakat. Hal itu sesuai dengan falsafah, bahwa hukum untuk masyarakat,
bukan masyarakat untuk hukum. Sehingga hukum dibentuk berdasarkan aspirasi dari masyarakat bawah.
Sehingga hal itu dapat mencerminkan adanya keadilan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Terdapat istilah yang mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, secara legal formal hal itu memang
benar adanya dan juga didasarkan pada desain yang memberikan konsep bahwa hukum sebagai peraturan
perundang-undangan, namun pemerintah menolak pernyataan tersebut yang mana dalam aktualisasinya
hukum telah dikonsepkan menjadi bentuk lembaga legislatif bersama eksekutif yang menciptakan peraturan
perundang-undangan dan menyanggah bahwa hukum adalah suatu produk politik karena hukum merupakan
suatu kristalisasi dari hasrat politik melalui kesepakatan otoritas kekuatan politik. Namun perlu disadari
bahwa hukum memiliki mekanisme tersendiri yang itu tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan apapun,
termasuk politik, jika memang hukum itu dikehendaki menjadi baik. Karena independensi kedaulatan
hukum dalam membela kebenaran dan keadilan adalah tujuan utama.
Pemikiran tentang konsep dasar keadilan hukum berdasarkan teori aliran realisme hukum adalah
mengutamakan hak asasi manusia, termasuk hak warga negara atas keadilan, dan memberikan suatu
persamaan masyarakat di mata hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep gagasan ini jelas digunakan
sebagai bahan pembantu dalam rangka merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang bermanfaat
bagi negara. Jika proses pembentukan hukum dikaitkan dengan asas formil dan materiil, maka terdapat
beberapa asas tujuan yang jelas, pengawasan, kelembagaan, kebenaran, asas realisasi, dan aturan yang
dapat diidentifikasi. Sedangkan dalam asas substantif meliputi asas yang sesuai dengan konsep hukum dan
norma dasar nasional Indonesia, asas yang sesuai dengan hukum dasar nasional, asas hukum nasional,
dan asas yang sesuai dengan pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.
Pemahaman tentang asas dan isi materil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
menurut hukum positif telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Menurut ketentuan Pasal 5 pembentukan peraturan perundang-undangan
harus dilakukan atas dasar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar
demi terciptanya tujuan hukum yang berupa keadilan.
Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya berbagai peraturan perundang-undangan
hanya dapat dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Jika diundangkan oleh badan atau
pejabat negara yang tidak berwenang, undang-undang tersebut dapat dibatalkan atau tidak berlaku demi
hukum. Asas ini menekankan pada kewenangan hukum.
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, artinya di dalam pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan wajib untuk mencermati materi muatan secara tepat sesuai dengan ragam
serta hierarki peraturan perundang-undangan. Artinya jangan ada tumpang tindih atau saling bertentangan.

19
Fery Irawan Febriansyah. 2016. “Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”. Jurnal
Perspektif, Vol. 21, No. 3, hlm. 220–229.

37
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

Asas dapat dilaksanakan, mengandung arti bahwa setiap pembuatan peraturan yang tidak dapat
diganggu gugat persyaratannya jelas-jelas meyakini kelayakan peraturan tersebut untuk dibuat di daerah
setempat, baik secara logika, humanistik, maupun yuridis. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, artinya
setiap peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan mempertimbangkan unsur efektifitas
peraturan perundang-undangan bagi masyarakat, termasuk filsafat, sosiologi dan hukum.
Asas kejelasan rumusan yang diartikan bahwa tiap-tiap peraturan perundang-undangan tentunya harus
memenuhi persyaratan teknis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu pemilihan teks dan
kata yang sistematis, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dipahami. Sehingga tidak menimbulkan
ambigu dan arti yang bermacam-macam dalam implementasi di lapangan.
Asas keterbukaan yang dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan penyusunan sebuah peraturan
perundang-undangan, semuanya transparan dan terbuka. Oleh karena itu, semua lapisan masyarakat
memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut.
Selain standar dalam pengembangan peraturan dan pedoman di atas, dalm Pasal 6 juga mengatur
tentang standar isi materi dalam pembuatan peraturan dan pedoman. Para anggota dewan dalam membuat
suatu perundang-undangan tentunya akan memperhatikan materi-materi muatan yang dapat membuat
Peraturan perundang-undangan tersebut menjadi sejalan dengan apa yang menjadi tujuan hukum. Maka
dari itu, mereka dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas-
asas yang bertujuan mencapai keadilan hukum.
Asas pengayoman yang diartikan bahwa tiap-tiap materi muatan dalam peraturan perundang-undangan
harus mempunyai fungsi pengamanan perlindungan untuk menciptakan ketentraman bagi individu atau
masyarakat. Perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat.
Asas kemanusiaan dalam arti bahwa tiap-tiap materi yang terkandung dalam peraturan perundang-
undangan harus mampu melindungi dan menghormati hak asasi, harkat, dan nilai setiap warga negara
secara adil dan proporsional. Hak asasi manusia menjadi perhatian penting dalam hukum.
Asas kebangsaan yang menjelaskan bahwa tiap-tiap materi yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan harus mampu mencerminkan perbedaan sifat dan karakter bangsa Indonesia serta mampu
menjunjung tinggi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mempersatukan negara.
Asas kekeluargaan yang berisi materi tiap-tiap muatan substantive dari peraturan perundang-undangan
harus dapat mencerminkan perilaku masyarakat Indonesia, dan secara sengaja telah mencapai mufakat
dalam setiap keputusan yang diambil bersaman.
Asasa Bhineka Tunggal Ika dalam materi isi peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan
keragaman penduduk, agama, ras dan golongan, keadaan khusus daerah, dan budaya kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan berbangsa.
Selain itu juga terdapat beberapa asas hukum yang secara khusus menempatkan keadilan didalamnya.
Artinya bahwa tiap-tiap materi substansi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan nilai keadilan
setiap warga negara secara proporsional, tanpa memandang tingkatan atas dan bawah.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, berarti bahwa tiap-tiap materi peraturan
perundang-undangan tidak boleh memuat hal-hal yang membedakan kepribadian orang berdasarkan latar
belakang, termasuk agama, suku, ras, golongan, jenis kelamin, atau status sosial. Termasuk asas ketertiban
dan kepastian hukum, berarti bahwa tiap-tiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mampu memanifestasikan ketertiban di tengah-tengah kehidupan masyarakat melalui jaminan-jaminan
tentang adanya kepastian hukum.
Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, berarti bahwa tiap-tiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat memberikan manfaat nyata guna tercapainya keseimbangan, keserasian,
atau keserasian antara kepentingan pribadi, kepentingan sosial, dan kepentingan nasional secara bersama.

38
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

Dalam asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi asas tujuan yang jelas,
asas pengawasan, asas kesesuaian isi, asas identifiability (dapat diakui), asas perlakuan yang sama dalam
hukum, dan asas keadilan, asas legalitas, asas kepastian dan prinsip penegakan hukum. Motivasi atau
tujuan dibalik penyusunan peraturan perundang-undangan sebenarnya adalah untuk memberikan jaminan
atas kebebasan dasar, memberikan keamanan dan keyakinan yang sah, dan menciptakan rasa keadilan
bagi seluruh masyarakat. Standar penyusunan peraturan perundang-undangan yang dirujuk di atas
mencerminkan jenis peraturan yang baik. Jika diterapkan pada peraturan perundang-undangan, peraturan
perundang-undangan yang bagus akan terbentuk, yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
peraturan dan tidak menyimpang dari rasa keadilan hukum.
Upaya untuk memanifestasikan negara yang berdasarkan hukum, sangat dibutuhkalan suatu tatanan
yang tertib dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib dalam maksud pembentukan
Perundang-undangan ini seharusnya dirintis pada saat awal mulainya perencanaan sampai dengan proses
pengembangannya. Dalam membangun peraturan yang baik, tentunya diperlukan adanya syarat-syarat
yang saling berkaitan dengan skema asas nilai norma dan metode pembahasan serta metode penyusunan
dan pemberlakuannya. Proses pembuatan undang-undang antara DPR dengan pemerintah harus melalui
koordinasi yang baik. Koordinasi ini merupakan unsur internal yang sangat penting bagi masing-masing
lembaga eksekutif maupun legislatif. Dengan adanya koordinasi ini, para lembaga pembentuk Perundang-
undangan diharapkan dapat berperan sebagai mana tugas serta tanggung jawab seperti apa yang telah
diamanatkan kepadanya.
Mekanisme dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sangat erat hubungannya pada
proses penegakan hukum itu sendiri yang mana adanya peran dan partisipasi dalam masyarakat. Sebagai
perkembangan untuk ini, ada beberapa individu atau pihak yang terlibat erat, seperti lembaga legislatif yang
memiliki wewenang untuk proses pembuatan kebijakan guna menambah kualitas yang lebih meningkat.
Proses pembentukan ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang
sebenarnya. Yang kedua yaitu kepada birokrat pemerintah perlu diadakannya pengkajian yang mendalam
terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada atau peraturan yang sebelumnya untuk mengevaluasi
bagaimana implementasi peraturan di masyarakat sebelum menjadikan rancangan undang-undang sebagai
hukum yang dinyatakan berlaku di masyarakat.
Dalam hukum yang baik harus mencerminkan kehidupan masyarakat dan diperlukan pembentukan
undang-undang yang menjadi landasan dan arah pembentukan secara berkesinambungan. Proses pembaruan
hukum yang berdaya sudah berlangsung lama. Namun demikian dalam cita-cita pembentukan hukum
nasional meliputi segala bidang yang ada di masyarakat belum tercapai sepenuhnya. Penciptaan hukum
nasional ini sebenarnya adalah sebagai pembuatan peraturan yang meliputi produk dari undang-undang
didasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat yang diakui sebagai living law. Dalam cermin
dari kehidupan di masyarakat belum tentu ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Kondisi
yang semacam ini terjadi karena kebutuhan hidup manusia sangatlah banyak, beragam, dinamis dan cepat
sekali berubah. Sedangkan peraturan Perundang-undangan apabila tidak dilakukan penyesuaian terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat maka tidak akan mampu mengcover semua permasalahan pada
kehidupan masyarakat secara rinci dan jelas dalam mengikuti perkembangannya.
Dalam pembentukan hukum harus selalu memperhatikan perubahan sosial yang ada di masyarakat.
Agar hukum tidak ketinggalan perkembangan dan tidak terasa asing bagi masyarakat penggunanya. Karena
adanya kesenjangan antara hubungan peristiwa dengan masyarakat dan hukum yang mengaturnya, maka
perubahan hukum selalu dilaksanakan. Aturan hukum ini tidak terlepas dari hal-hal yang diaturnya, sehingga
ketika hal-hal yang diaturnya mengalami perubahan-perubahan seperti itu lagi, tentunya perlu dilakukan
perubahan atau reformasi hukum untuk menyesuaikan, agar hukum tetap efektif dalam pengaturannya.
Hukum perlu dirumuskan secara komprehensif, termasuk komponen-komponennya dan sistem hukum
yang bersifat struktural dan kultural. Kedua sistem ini memiliki hubungan yang erat antara reformasi dan

39
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

reformasi substantif, dan reformasi ini harus didasarkan pada unsur-unsur budaya negara yang ada dalam
nilai-nilai kehidupan masyarakat.20
Pembentukan hukum yang terjadi menjadi proses yang tidak dapat ditolak dalam mencapai keadilan
bagi seluruh masyarakat. Dalam perubahan-perubahan nilai dasar, masyarakat dituntut untuk melakukan
perubahan hukum agar dapat selalu menyesuaikan diri. Persoalan hukum ini terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat yang dimaksud agar peraturan perundang-undangan tidak bersifat statis dan kaku.
Dalam proses pembentukannya diperlukan adanya perspektif demokrasi dengan dengan adanya masukan
atau input berupa pertimbangan untuk menentukan suatu hukum yang mana bersumber dari aspirasi
masyarakat atau rakyat. Meliputi berbagai kepentingan dari aspirasi rakyat inilah yang kemudian akan
diserahkan kepada wakil rakyat yang benar-benar responsif dan sesuai dengan tuntutan dan juga hati nurani
masyarakat. Aspirasi tersebut kemudian akan diproses oleh lembaga Legislatif yang akan memunculkan
model hukum yang mencerminkan aspirasi masyarakat.
Pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup pembentukan tatanan yang berisi kehidupan
manusia dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang merupakan bagian dari suatu proses
pengambilan suatu keputusan yang bersifat publik. Keputusan ini bersifat mengikat dan berlaku bagi
seluruh rakyat. Partisipasi masyarakat dalam pemberian masukan dalam proses pembuatan undang-
undang ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif yang mana hal ini memiliki kekuatan
termasuk infrastruktur politik seperti para tokoh masyarakat maupun kelompok kepentingan tertentu
sampai dengan perguruan tinggi maupun partai politik. Ketentuan-ketentuan infrastruktur ini yang akan
memberikan kontrol dan pengaruh terhadap keputusan politik yang dituangkan dalam bentuk produk
hukum atau Perundang-Undangan. Bentuk partisipasi masyarakat ada beberapa hal, contohnya partisipasi
masyarakat dalam bentuk penelitian, dalam bentuk diskusi pengajuan hukum usul inisiatif dan dalam
bentuk perancangan terhadap suatu peraturan undang-undang.21
Peraturan perundang-undangan menjadi instrumen yang sangat penting dalam sistem penyelenggaraan
kehidupan. Sebagai negara hukum, seluruh kegiatan harus berdasar hukum. Sehingga dalam upaya
membentuk undang-undang yang adil juga harus sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk hukum
yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum yang dibuat secara sepihak tentunya akan ditolak
oleh masyarakat karena bisa jadi tidak memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan bersama. Dalam
konteks ini, hokum diartikan sebagai cara untuk menumbuhkan rasa keadilan yang ada dalam hati nurani
masyarakat Indonesia secara internal.22
Disinilah pentingnya suatu aspirasi dan peran penting masyarakat dalam proses pembentukan undang-
undang untuk lebih menjamin terwujudnya undang-undang yang responsive dan aspiratif. Partisipasi
masyarakat menjadi lebih bermakna dan pemerintah dianggap lebih tanggap dalam proses demokrasi
sehingga dalam hal ini juga akan mampu untuk menciptakan pemerintah yang demokratis, bermoral dan
bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat. Dengan dilakukannya proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan baik, maka akan tercipta suatu produk hukum yang adil. Hal itu berarti
sesuai dengan makna hukum sebagai bentuk dari suatu keadilan.

20
Winda Wijayanti. 2013. “Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum Dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Rakyat
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/Puu-X/2012)”, Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 1, hlm. 179–204.
21
Sutrisno. 2020. “Kebijakan Sistem Penegakan Hukum Menuju Hukum Berkeadilan”. Pagaruyuang Law Journal, Vol.
3, No. 2, hlm. 186.
22
Bahder Johan Nasution. 2014. “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran
Modern”. Yustisia Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 2, hlm. 75

40
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

C. Penutup

C.1. Kesimpulan

Hukum merupakan wujud dari keadilan yang berkesinambungan dalam sistem kehidupan masyarakat,
hal ini akan tercapai jika hukum memasukkan asas keadilan dalam hukum kehidupan bersama. Hukum
yang dimaksud adalah perwujudan hukum positif yang merupakan bagian dari asas keadilan. Asas ini
meliputi kebebasan atau partisipasi dalam kehidupan politik, kebebasan pers dan beragama, serta kebebasan
berserikat. Hukum meliputi pembentukan tatanan yang meliputi kehidupan manusia dalam masyarakat,
bangsa, dan negara, yang merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan publik. Reformasi hukum
diperlukan untuk membentuk undang-undang yang sesuai dengan keinginan rakyat, membimbing terwujudnya
undang-undang yang sesuai dengan sistem hukum negara, dan mewujudkan tujuan keadilan bersama.
C.2. Saran
Dalam pembentukan undang-undang diperlukan kajian yang tidak hanya memenuhi syarat formal, tetapi
juga mampu menyentuh aspek keadilan subtansi yang sebenar-benarnya hukum. Untuk itu diperlukan hukum
yang netral bersih dari segala kepentingan tertentu. Tujuan hukum hanya berfokus kepada pengabdiannya
untuk mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat.

41
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 29-43

DaftarPustaka

Ahmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana

Bernard L. Tanya. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta:
Genta Publishing

Brian Z. Tamanaha. 2010. Beyond Formalist-Realist Divide, Princeton: University Press.

Brian Z. Tamanaha. 2012. The history and elements of the rule of law, Singapore: Legal Studies, p. 232-247.

Brian Z. Tamanaha. 2017. A realistic theory of law. Cambridge: Cambridge University Press.

Khudzaifah Dimyati. 2008. Dialektik Hukum: Karakteristik dan Orientasi Pemikiran hukum Berbasis Nilai
Budaya hukum Indonesia, Surakarta: Universitas Muhammadiay Press.

Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pemilihan Masalah, Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Shidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan, Bandung: CV Utomo.

Agus Budi Susilo. 2018. “Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika
Hukum (Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia)”, Jurnal Hukum Dan
Peradilan, Vol. 2, No. 3.

Bahder Johan Nasution. 2014. “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai
Pemikiran Modern”. Yustisia Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 2

Brian Z. Tamahana. 2006. “How an instrumental view of law corrodes the rule of law”, Jurnal De Paul L.
Rev. Jilid 56.

Brian Z. Tamanaha. 2008. “Understanding legal pluralism: past to present, local to global”. Sydney law
review 30 (3), 375-411.

Desi Indriyani. 2018. “Penegakan Hukum Berkeadilan Sebagai Perwujudan Demokrasi Indonesia”. Jurnal
Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan. Vol. 2, No. 6.

Fery Irawan Febriansyah. 2016. “Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”.


Jurnal Perspektif, Vol. 21, No. 3.

FX. Adji Samekto. 2012. “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal”. Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 1.

Gary Lawson. 2016. “Reflections Of An Empirical Reader (Or: Could Fleming Be Right This Time)”. Boston
University Law Review, Vol. 96. 1458-1459.

Kania Dewi Andhika Putri. 2018. “Tinjauan Teoritis Keadilan dan Kepastian Dalam Hukum di Indonesia”.
Mimbar Yustitia, Vol. 2, No. 2

Mukhlisin.2020. “Keadilan dan Kepastian Hukum: Menyoal Konsep Keadilan Hukum Hans Kelsen Perspektif
Al-Adl Dalam Al-Quran”. Media Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, No. 2.

Nur Sodiq. 2016. “Membangun Politik Hukum Responsif Perspektif Ius Constituendum”. Jurnal Magister
Hukum Udayana, Vol. 5, No. 2.

Rabiatul Syariah. 2008. “Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional”. Jurnal
Equality, Vol.13, No.1.

Risdiana Izzaty. 2020. “Urgensi Ketentuan Carry Over Dalam Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia

42
Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang... (Yogi Prasetyo)

(The Urgency of Carry-Over Provision in Law-Making in Indonesia)”. Jurnal HAM, Vol. 11, No. 1

Sutrisno, “Kebijakan Sistem Penegakan Hukum Menuju Hukum Berkeadilan”, Pagaruyuang Law Journal,
Vol. 3, No. 2, (2020).

Wibawa. 2021. “Implementasi Asas Kepastian Hukum Yang Berkeadilan Berdasar Cita Hukum Bangsa
Indonesia (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Banyumas tentang kasus mbah Minah)”. Yudisia: Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 8, No. 1.

Widayati. 2020. “Implementasi Asas Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Partisipatif Dan Berkeadilan”. Jurnal Hukum, Vol. 36, No. 2.

Winda Wijayanti. 2013. “Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum Dalam Pemenuhan Keadilan
Bagi Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/Puu-X/2012)”. Jurnal Konstitusi,
Vol. 10, No. 1.

Yogi Prasetyo. 2017. “Legal Truth (Menakar Kebenaran Hukum)”. Legal Standing, Vol. 1, No. 1.

Yogi Prasetyo. 2020. “Sosial Budaya Sebagai Otentitas Hukum KeIndonesiaan”, Justitia Jurnal Hukum,
Vol. 4, No. 1.

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

43
Quo Vadis Pengaturan Regulatory Impact Analysis (Ria) Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dian Agung Wicaksono


Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Email: dianagung@ugm.ac.id

Abstract

Explicit mention of the RIA method in Law 13/2022 is a new phase in implementing RIA in Indonesia because
it has undergone institutionalization in Indonesian laws. Therefore, it is important to re-analyze the existence
of the RIA method, with questions: (a) What is the conceptual basis and framework of the RIA method? (b)
How the RIA method should be positioned in the rulemaking process in Indonesia and when the RIA method
should be used? This is normative legal research by collecting secondary data. The results of this study indicate
that the conceptual basis for the RIA method is part of the GRP concept which emphasizes improvements in
the rulemaking process, which are applied ex-ante and open opportunities not to form regulations and can be
applied flexibly according to the needs and capacities of the regulators.

Keywords: regulatory impact analysis, rulemaking

Abstrak

Penyebutan secara eksplisit metode RIA dalam UU 13/2022 merupakan fase baru dalam penerapan RIA di
Indonesia karena telah mengalami institusionalisasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Oleh karena itu, penting untuk dianalisis kembali mengenai eksistensi metode RIA, dengan beberapa
pertanyaan mendasar: (a) Bagaimana dasar konseptual dan kerangka kerja metode RIA? (b) Sejatinya metode
RIA seharusnya didudukkan sebagai metode apa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dan kapan seharusnya metode RIA digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui
pengumpulan data sekunder guna mengkaji norma atau kaidah hukum positif. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dasar konseptual metode RIA merupakan bagian dari konsep GRP yang menekankan
pada perbaikan dalam pembentukan peraturan, yang diterapkan secara ex-ante dan membuka peluang
untuk tidak membentuk peraturan, serta dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan
kapasitas pembentuk peraturan.

Kata Kunci: analisis dampak regulasi, pembentukan peraturan perundang-undangan


Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

A. Pendahuluan

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 13/2022),
terdapat pengaturan baru yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dalam Penjelasan Umum UU a quo
disebutkan bahwa:
Hal yang perlu disempurnakan antara lain:1
a. menambahkan metode omnibus;
b. memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat
paripurna dan sebelum pengesahan dan memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang
bermakna (meaningful participation);
d. membentuk Peraturan Perundang-undangan secara elektronik;
e. mengubah sistem pendukung dari peneliti menjadi pejabat fungsional lain yang ruang lingkup tugasnya
terkait Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
f. mengubah teknik penyusunan Naskah Akademik; dan
g. mengubah teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

Spesifik terkait perubahan teknik penyusunan Naskah Akademik, dijelaskan lebih lanjut bahwa:2
Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dimuat dalam Lampiran I. Perubahan
terhadap teknik penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dilakukan terhadap ketentuan Bab II huruf
D tentang kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau
Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan
negara. Kajian tersebut didukung dengan analisis yang menggunakan metode tertentu, antara lain metode
Regulatory Impact Analysis (RIA) dan metode Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process,
and ldeology (ROCCIPI).
Penyebutan secara eksplisit metode Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam Penjelasan Umum, yang
kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Lampiran I UU a quo merupakan hal baru yang penting untuk
dikaji. Hal ini dikarenakan penyebutan metode RIA dan ROCCIPI sebagai alternatif metode analisis juga
membuka peluang bagi penerapan metode analisis lain3 sepanjang dapat menganalisis implikasi penerapan
sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang (UU) atau Peraturan Daerah (Perda) terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara atau daerah.
Penyebutan metode RIA dalam UU a quo juga merupakan fase baru dalam penerapan metode RIA di
Indonesia karena telah mengalami institusionalisasi4 dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebelumnya metode RIA digunakan secara sporadis5 dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
maupun dalam perumusan kebijakan di Indonesia.6 Walaupun dalam perkembangannya telah terdapat
pula beberapa peraturan perundang-undangan di bawah UU yang melembagakan penerapan metode RIA
1
Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik Indonesia, 2022), 1-2.
2
Lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik Indonesia, 2022), 3-4.
3
Rachmat Trijono, “Alternatif Model Analisis Peraturan Perundang-undangan,” Jurnal RechtsVinding 1, no. 3
(2012): 363–73; Economics and Law 2, no. 3 (2013): 58;
4
Fendi Setyawan, “Institusionalisasi Nilai Pancasila dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan Perundang-
undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 2 (2021): 250.
5
Tahapan RIA dinilai belum tercakup atau hanya tercakup sebagian dalam tahapan penyusunan Undang-Undang
dalam UU 12/2011. ” Jurnal Konstitusi 9, no. 2 (2012): 376.
6
Diktum Kedelapan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian
Pelaksanaan Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah (Republik Indonesia, 2017).

45
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam lingkup kementerian/lembaga.7


Bahkan dalam konteks pembentukan Perda, metode RIA diperkenalkan sebagai sarana menjaring
partisipasi masyarakat dalam proses legislasi di daerah.8 Walaupun seringkali penerapan metode RIA
dilaksanakan tidak sesuai9 dengan kerangka kerja RIA sebagaimana yang digariskan oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD), namun RIA telah diterapkan walaupun tidak terdapat
instrumen hukum yang mengatur untuk menerapkan RIA dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Dengan telah disebutkannya secara eksplisit dalam UU 13/2022, keberadaan metode RIA menjadi penting
untuk dianalisis kembali, bagaimana dasar konseptual dan kerangka kerja metode RIA? Sejatinya metode
RIA seharusnya didudukkan sebagai metode apa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, khususnya dalam pembentukan UU dan Perda? Kapan seharusnya metode RIA digunakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis membagi pembahasan menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu: Pertama, dasar konseptual dan kerangka kerja Regulatory Impact Analysis (RIA). Pada bagian
ini dielaborasi mengenai dasar konseptual RIA dan bagaimana kerangka kerja RIA yang diintroduksi oleh
OECD, serta variasi implementasi RIA sebagai metode analisis dalam perumusan kebijakan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Kedua, menjernihkan kedudukan Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai
metode analisis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada bagian ini dielaborasi
mengenai bagaimana metode RIA didudukkan sebagai bagian dari proses pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan guna mengkaji norma atau kaidah
hukum positif.10 Adapun bahan pustaka yang digunakan, yaitu: (a) bahan hukum primer, yang terdiri dari
bahan hukum yang memiliki sifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan; dan (b) bahan hukum
sekunder, yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa literatur, artikel jurnal,
dan hasil penelitian yang relevan.11 Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka terhadap bahan-
bahan hukum yang relevan.12 Analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan secara deskriptif
kualitatif guna menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.

B. Pembahasan

B.1. Dasar Konseptual dan Kerangka Kerja Regulatory Impact Analysis (RIA)

Regulatory Impact Analysis (RIA) merupakan suatu metode analisis mendalam terhadap dampak ekonomi
dan sosial dari suatu regulasi dengan konsultasi yang melibatkan para pemangku kepentingan.13 Adapun
penggunaan dari metode RIA memiliki tujuan untuk: (a) menilai efektivitas kebijakan; (b) memastikan bahwa
perumusan kebijakan telah mempertimbangkan semua alternatif tindakan; (c) meneliti berbagai manfaat dan
biaya, memastikan bahwa semua tahapan rumusan kebijakan telah dikoordinasikan dan dikonsultasikan
dengan pemangku kepentingan; dan (d) menilai strategi implementasi.14

7
Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Persiapan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut
Hasil Sidang Kabinet (Republik Indonesia, 2018),
8
Nasokah, “Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagai Upaya Menjamin Partisipasi Masyarakat
dalam Penyusunan Peraturan Daerah,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 3 (2008): 447.
9
penggunaan metode RIA yang relatif sesuai dalam Afriva Khaidir, Novia Zulfa Riany, dan Elyunus Asmara, Laporan
Penelitian Regulatory Impact Assessment (Padang: Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang, 2007).
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), 295.
10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), 52.
11

12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), 237.
13
OECD, Regulatory Impact Analysis: A Tool for Policy Coherence (Paris: OECD Publishing, 2009), 12-13. Lihat juga
OECD, Recommendation of the Council on Regulatory Policy and Governance (Paris: OECD Publishing, 2012), 25-26.
14
Riant Nugroho, Kebijakan Publik: Menuju Kebijakan Publik Unggul (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2021), 7.

46
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

Secara konseptual, RIA muncul sebagai bagian dari pergeseran paradigma dirigiste state atau positive
state menuju regulatory state yang memiliki “ketergantungan” terhadap peraturan.15 Regulatory state mengacu
pada perluasan dalam penggunaan teknik pembuatan peraturan, pemantauan, dan penegakan aturan oleh
institusi oleh negara, yang secara paralel membawa perubahan dalam masyarakat.16 Giandomenico Majone
secara spesifik memperbandingkan antara positive state dan regulatory state yang dituangkan dalam tabel
di bawah ini:17
Tabel 1.
Perbandingan Model Positive State dan Regulatory State

Tabel di atas setidaknya menunjukkan pergeseran paradigma mengenai instrumen, aktor, dan gaya
kebijakan dari positive state menuju regulatory state yang mengutamakan pembentukan peraturan sebagai
solusi atas permasalahan yang dihadapi. Ketergantungan regulatory state pada peraturan inilah yang
mendorong lahirnya konsep Good Regulatory Practices (GRP) sebagai respons dari tuntutan legitimasi
demokrasi (democratic legitimacy) dan tantangan akuntabilitas (accountability challenge).18 GRP berusaha
untuk meningkatkan input legitimacy (government by the people) dan output legitimacy (government for
the people) dari aktivitas pembentukan peraturan.19
Robert Basedow menyebutkan bahwa GRP diwujudkan setidaknya dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) ex ante
RIAs of planned regulation; (b) ex post evaluations of existing regulation; dan (c) stakeholder consultations20
on planned and existing regulation.21 Hal tersebut menjadi dasar pijakan konseptual bahwa RIA lahir sebagai
perwujudan dari GRP, dengan tempus penerapan sebelum (ex ante) pembentukan peraturan dan ditujukan
bagi peraturan yang direncanakan akan dibentuk. Walaupun fitur lain dari GRP berupa ex post evaluation

Lihat juga OECD, Recommendation of the Council on Regulatory Policy and Governance, 25-26.
15
Giandomenico Majone, “The Rise of the Regulatory State in Europe,” West European Politics 17, no. 3 (1994): 77.
16
Ibid., 81.
17
Giandomenico Majone, “From the Positive to the Regulatory State: Causes and Consequences of Changes in the
Mode of Governance,” Journal of Public Policy 17, no. 2 (1997): 149.
18
Robert Basedow, “Good Regulatory Practices and International Trade,” dalam Joseph Francois dan Bernard
Hoekman, Behind-the-Border Policies Assessing and Addressing Non-Tariff Measures (Cambridge: Cambridge University
Press, 2019), 195.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.

47
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

dan partisipasi publik juga menjadi hal yang penting untuk diterapkan dalam rangka mewujudkan praktik
pembentukan peraturan yang baik.
RIA merupakan elemen GRP yang paling menonjol, di mana RIA menjadi pendekatan sistematis untuk
menilai secara ex ante potensi dampak positif dan negatif dari peraturan yang direncanakan dan alternatif
non-peraturan yang potensial.22 Metode RIA tidak ditujukan untuk menggantikan keputusan politik, tetapi
sebagai sarana untuk menginformasikan kepada pembentuk peraturan mengenai implikasi dari pilihan
kebijakan yang sedang dipertimbangkan.23 Namun demikian, RIA seringkali hanya digunakan sebagai
alat legitimasi daripada alat analisis, karena pembentuk peraturan pada dasarnya telah memutuskan
untuk membentuk suatu peraturan terlebih dahulu, baru kemudian merancang RIA untuk membenarkan
keputusan politik tersebut, sehingga konsekuensinya RIA tidak dapat diarahkan untuk meningkatkan
kualitas dari peraturan yang dibentuk.24
Padahal seharusnya RIA dapat berperan untuk membatasi divergensi peraturan dan berfokus pada
pemecahan masalah (menciptakan konvergensi) sebagai tujuan dari pembentukan peraturan, di mana hal
ini bersesuaian dengan adagium lex semper dabit remidium25 , bahwa hukum (dalam hal ini peraturan)
seharusnya menjadi solusi dari permasalahan yang faktual dan aktual terjadi. Dalam penerapannya, metode
RIA hanya dapat ditujukan secara spesifik untuk menilai satu per satu produk hukum secara terpisah, di
mana RIA tidak digunakan untuk menilai implementasi dan penegakannya, tetapi hanya pada level desain
regulasi.26
Kajian yang lahir dari metode RIA setidaknya akan mengacu pada beberapa prinsip berikut: Pertama,
regulasi efektif minimum, yang berarti bahwa pada prinsipnya Pemerintah hanya mengeluarkan regulasi
untuk mengatasi masalah yang tidak dapat diselesaikan selain melalui penerbitan regulasi.27 Dengan kata
lain, tidak perlu adanya pembentukan/perbaikan regulasi bila permasalahan dimaksud dapat diselesaikan
melalui cara lain di luar penerbitan peraturan. Kedua, netralitas terhadap kompetisi, yaitu bahwa regulasi
harus menciptakan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha.28 Regulasi yang dikeluarkan tidak
bersifat diskriminatif terhadap pihak tertentu, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Ketiga, transparan
dan aspiratif, yang berarti penyusunan regulasi harus dilakukan secara terbuka dan memperhatikan
aspirasi pemangku kepentingan dan masyarakat.29 Keempat, cost effectiveness, di mana setiap regulasi
harus mempunyai manfaat yang lebih besar daripada biayanya. Jika benefit tidak dapat ditentukan, maka
digunakan ukuran cost yang terkecil.
Secara singkat, tujuan dan prinsip RIA sebagaimana disebutkan di atas kemudian diwujudkan dalam
kerangka kerja yang dapat dilihat pada gambar berikut:31
Gambar 1.

22
Ibid., 196.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Herbert Broom, A Selection of Legal Maxims, Classified and Illustrated, 1882), 153-154.
26
Robert Basedow, Good Regulatory Practices and International Trade, 196.
27
Kristian Widya Wicaksono, “Aplikasi Prinsip-Prinsip RIA dalam Proses Formulasi Peraturan Daerah,” Jurnal
Administrasi Publik 5, no. 2 (2008): 169.
28
Ibid., 168.
29
Ibid., 170-171.
30
Ibid., 172.
31
Daniel Trnka, “Regulatory Impact Assessment - A Tool for Evidence based Policy Making”, EU Central Asia Invest
Programme, 2021,
48
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut dapat diekstraksi beberapa langkah dasar dalam proses RIA, yaitu:

Tabel 2.

Berdasarkan langkah dasar dalam metode RIA di atas, kemudian mulai dikembangkan sistematika
kerja dalam menggunakan metode RIA secara empiris. Dalam konteks Indonesia, metode RIA kemudian
diterapkan secara empiris-sporadis pada beberapa wilayah. Hal tersebut diilustrasikan oleh Nuri Andarwulan
dalam gambar berikut:
Gambar 2.

Salah satu bentuk inisiasi penerapan RIA, sebagaimana tercantum dalam ilustrasi Nuri Andarwulan,
dilakukan oleh SwissContact bekerja sama dengan Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (SadarOtda FH UGM), pada tahun 2009-2010 dengan mendukung
penyelenggaraan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) tematik bertema
review Perda untuk mengimplementasikan metode RIA dalam pembentukan Perda, dengan lokasi di Pemerintah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
Dalam program KKN-PPM tersebut, mahasiswa dibekali dengan pedoman sistematika kerja untuk
menerapkan RIA dalam melakukan review Perda di masing-masing lokasi KKN-PPM melalui 7 (tujuh)
langkah RIA, yaitu:35

32
OECD, Regulatory Impact Assessment (Paris: OECD Publishing, 2020), 16.
33
Nuri Andarwulan, “Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk Implementasi Kebijakan”, PHariyadi's Blog,
2017, accessed 19 September 2022, http://phariyadi.staff.ipb.ac.id/files/2017/05/ITP602-Analisis-Resiko-Regulatory-
Impact-Assessment-RIA-2017-NAN.pdf.
34
Humas UGM, “Pusat Kajian Dorong Perkembangan Kegiatan Ilmiah dan Pengabdian”, Universitas Gadjah Mada,
2010, accessed 19 September 2022, https://www.ugm.ac.id/id/berita/1358-pusat-kajian-dorong-perkembangan-
kegiatan-ilmiah-dan-pengabdian.
35
SadarOtda FH UGM dan SwissContact, Format RIA dalam KKN Review Perda FH UGM (Yogyakarta: FH UGM,
2010).

49
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

Gambar 3.

Penyusunan alternatif penyelesaian masalah menjadi salah satu tahapan penting dan penciri metode
RIA. Alternatif penyelesaian masalah atau alternatif tindakan dalam metode RIA secara umum dirumuskan
dalam 3 (tiga) opsi, yang dapat berbentuk opsi peraturan dan non-peraturan, yaitu: 36

Tabel 3.

Perlu dipahami bahwa penyusunan alternatif tindakan ini memperlihatkan sifat naturalia dari metode
RIA. Bahwa metode RIA masih memungkinkan membuka opsi untuk tidak melakukan apa-apa (do nothing)
sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi, di mana mutatis mutandis tidak perlu membentuk peraturan
atau kebijakan non-peraturan. Logika dasar penciri metode RIA inilah yang seringkali dilupakan karena
kecenderungan yang terjadi adalah metode RIA hanya menjadi alat justifikasi dan legitimasi dari pilihan
kebijakan untuk membentuk peraturan. Bila logika dasar penciri metode RIA ini diabaikan, maka penerapan
metode RIA tidak akan memberikan dampak terhadap perbaikan kualitas peraturan yang dibentuk, karena
terdapat kemungkinan pembentukan peraturan tidak didasarkan pada kebutuhan untuk menyelesaikan
permasalahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Bappenas juga membuat kajian dalam rangka penerapan RIA
sebagai metode untuk menilai kebijakan (peraturan dan non peraturan) dengan membuat 3 (tiga) tipologi
RIA dalam tataran implementasi, yaitu:37
Gambar 4.

36
Ibid. Dimungkinkan pula untuk menambah opsi yang lain sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum ketika
melakukan penilaian terhadap suatu permasalahan yang ditimbulkan dari ada atau tidak adanya peraturan.
37
Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas, Kajian Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory
Impact Analysis (RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/Bappenas (Jakarta:
Kementerian PPN/Bappenas, 2011), 12.

50
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

Ketiga tipologi di atas memberikan justifikasi bahwa metode RIA sejatinya merupakan metode yang
fleksibel. RIA dapat diimplementasi sebagai suatu proses yang mengharuskan seluruh tahapan dilaksanakan
secara penuh. Namun, di sisi yang lain, dapat pula metode RIA disederhanakan sedemikian rupa sebagai
alat sesuai kondisi penyusun kajian RIA. Bahkan pada titik yang paling ekstrem, metode RIA dapat pula
diekstraksi dan diambil intisarinya dengan menjadikan RIA sebagai logika berpikir dalam menyelesaikan
permasalahan aktual yang dihadapi.
Terlepas RIA diimplementasikan dalam tipologi apapun, hasil analisis dengan metode RIA harus
dituangkan dalam Regulatory Impact Analysis Statement (RIAS) sebagai konklusi atas penerapan langkah-
langkah RIA. Hal yang menarik dalam merumuskan hasil kajian menggunakan metode RIA adalah tidak
ditemukan suatu format atau sistematika baku bagaimana menuangkan hasil kajian RIA. Variasi ini
misalnya dapat dilihat pada RIAS yang dikembangkan di Kanada dan Selandia Baru, yang dapat dilihat
pada tabel berikut ini:38
Tabel 4.

Dokumen RIAS tersebut selanjutnya menjadi landasan mengenai langkah apa yang kemudian diperlukan
untuk menyelesaikan permasalahan dan bagaimana solusi tersebut hendak diimplementasikan.
Berdasarkan elaborasi atas dasar konseptual dan kerangka kerja RIA di atas setidaknya terdapat
beberapa catatan yang perlu untuk diperhatikan dalam penerapan RIA, yaitu: Catatan Pertama, metode
RIA diterapkan secara ex ante dalam proses pembentukan peraturan. Catatan ini perlu mendapatkan
penekanan, mengingat RIA sebagai bagian dari GRP memang didudukkan sebagai metode analisis sebelum
pembentukan peraturan yang telah direncanakan sebelumnya (ex ante RIAs of planned regulation).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah RIA diterapkan terhadap daftar peraturan yang
direncanakan akan dibentuk atau RIA diterapkan untuk menyusun rencana daftar peraturan yang akan
dibentuk? Dengan menggunakan pemahaman bahwa RIA tidak ditujukan sebagai alat legitimasi atas pilihan
politik semata, maka seharusnya RIA diterapkan untuk menyusun rencana daftar peraturan yang akan
dibentuk. Karena bila RIA diterapkan terhadap daftar peraturan yang direncanakan akan dibentuk, maka
sejatinya RIA hanya menjadi alat untuk menjustifikasi pilihan politik yang telah diputuskan sebelumnya,
berupa daftar peraturan yang direncanakan akan dibentuk.
Catatan Kedua, metode RIA membuka peluang untuk tidak membentuk peraturan. Catatan ini merupakan
tindak lanjut dari catatan sebelumnya, di mana menekankan seharusnya RIA diterapkan untuk menyusun
rencana daftar peraturan yang akan dibentuk. Karena bila RIA diterapkan terhadap daftar peraturan yang
direncanakan akan dibentuk, maka alternatif tindakan untuk do nothing tidak dimungkinkan, dikarenakan
RIA digunakan untuk menilai suatu daftar peraturan yang memang sudah direncanakan untuk dibentuk,

38
Treasury Board of Canada, RIAS Writer’s Guide 2009 (Ottawa: Treasury Board of Canada Secretariat, 2009), 4.
Lihat juga Treasury of New Zealand, “Regulatory Impact Statement Template”, Treasury of New Zealand, 2021, accessed
19 September 2022, https://www.treasury.govt.nz/sites/default/files/2021-07/regulatory-impact-statement-template-
jul21.docx.

51
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

bukan dalam kerangka untuk menyelesaikan masalah yang secara faktual dan aktual terjadi.
Catatan Ketiga, metode RIA dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas
pembentuk peraturan. Catatan ini menekankan sifat responsif dari metode RIA, di mana RIA dapat saja
diimplementasikan secara adaptif sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas kelembagaan pembentuk peraturan.
Pemahaman ini didasarkan pada variasi RIAS yang dikembangkan secara beragam oleh beberapa negara
sesuai dengan kebutuhan penerapan metode RIA. Oleh karena itu, penerapan RIA pada dasarnya bisa
sangat variatif di masing-masing negara, sesuai dengan kebutuhan hukum untuk menilai alternatif tindakan
dalam penyelesaian masalah.

B.2. Menjernihkan Kedudukan Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai Metode Analisis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Berbekal pemahaman atas dasar konseptual dan kerangka kerja RIA sebagaimana telah diuraikan
di atas, selanjutnya perlu dianalisis sejatinya kedudukan metode RIA dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Penulis membangun sebuah preposisi bahwa pembentukan peraturan
seharusnya didasari pada permasalahan yang aktual dan faktual ada, sebagaimana adagium lex semper
dabit remidium. Permasalahan tersebut merupakan fenomena sosial yang bisa jadi dapat dipecahkan
melalui pembentukan peraturan atau melalui kebijakan non-peraturan. Oleh karena itu, penting untuk
dapat mengidentifikasi permasalahan (problems) secara presisi, dan jangan sampai yang teridentifikasi
hanya sekedar gejala (symptoms).
Penulis menganalogikan upaya penyelesaian masalah selayaknya pemberian obat kepada orang sakit.
Bila terjadi kesalahan dalam mendiagnosis penyakit, maka mutatis mutandis obat yang akan diresepkan
adalah salah. Dengan kondisi demikian, bisa jadi yang terobati hanyalah gejalanya, sedangkan penyakit
intinya tidak terobati. Sama halnya dalam pembentukan peraturan (yang seringkali dinilai sebagai solusi
penyelesaian masalah), bila gagal dalam mengidentifikasi permasalahan, mutatis mutandis alternatif solusi
penyelesaiannya juga keliru, maka pembentukan peraturan tidak akan dapat menjadi solusi dari permasalahan
yang secara empiris terjadi. Kerangka pemikiran tersebut disajikan dalam gambar berikut ini:
Gambar 5.

Berbekal konstruksi berpikir di atas, maka setelah dapat diidentifikasi permasalahan yang secara
faktual dan aktual terjadi, barulah kemudian dilakukan analisis untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Menurut Penulis, pada titik inilah metode RIA berperan sebagai metode analisis penyelesaian
masalah dengan berpegang pada berbagai catatan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Penerapan
metode RIA sebagai metode analisis pemecahan masalah juga sejalan dengan konsep evidence-based policy
dan bukan policy-based evidence. Perbedaan dikotomi di antara kedua konsep tersebut diilustrasikan oleh
Daniel Trnka dalam gambar berikut:39

39
Daniel Trnka, Regulatory Impact Assessment - A Tool for Evidence based Policy Making.

52
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

Gambar 6.

Bersandar pada pemahaman tersebut, maka metode RIA sudah seharusnya didudukkan sebagai metode
analisis dalam pemecahan masalah, alih-alih bukan sebagai metode dalam penyusunan Naskah Akademik
(NA), di mana NA merupakan dasar pijakan akademis dalam perancangan norma peraturan perundang-
undangan. Hal ini perlu ditekankan oleh Penulis, mengingat seringkali metode RIA dimaknai sebagai metode
penyusunan NA. Padahal bila RIA didudukkan sebagai metode dalam penyusunan NA, maka tidak mungkin
akan muncul opsi do nothing dalam RIA, karena NA pasti bermuara pada pembentukan peraturan dan
bahkan dalam sistematika NA harus dilampiri oleh rancangan peraturan perundang-undangan40.
Pemahaman ini diperkuat dengan UU 13/2022 yang di dalamnya telah menyebutkan metode RIA
sebagai salah satu metode analisis yang diakui. Namun, harus dipahami bahwa metode RIA yang disebut
dalam UU 13/2022 sebagai perubahan Lampiran I UU 12/2011, disebutkan dalam Penjelasan Umum
bahwa yang diubah adalah teknik penyusunan NA, dan bukan metode penyusunan NA. Lebih mendetail
disebutkan bahwa yang diubah dalam Lampiran I UU 13/2022 adalah Bab II Sub D terkait Kajian terhadap
Implikasi Penerapan Sistem Baru, bukan Bab I Sub D terkait Metode. Dengan demikian, wujud alternatif
metode analisis (dalam hal ini RIA dan/atau ROCCIPI) dalam Lampiran I UU 13/2022 hanya ditujukan
untuk menyusun Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru41 Adapun untuk metode penyusunan
NA tidak mengalami perubahan dalam UU 13/2022, yaitu:42
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan
metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain.
Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode
yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,
dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group
discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang
diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif)
yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan
data faktor non hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
diteliti.

40
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Republik Indonesia, 2011).
41
Lampiran I Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik Indonesia, 2022).
42
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Republik Indonesia, 2011).

53
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

Berbekal pada elaborasi di atas, menjadi jelas bahwa dalam metode RIA yang disebutkan secara
eksplisit dalam UU 13/2022 bukan dalam konteks mendudukkan RIA sebagai metode dalam penyusunan
NA, melainkan sebagai metode untuk menganalisis implikasi penerapan sistem baru sebagai konsekuensi
pembentukan peraturan. Dengan demikian, Penulis perlu untuk memberikan penekanan bahwa metode
RIA bukanlah metode penyusunan NA, namun demikian analisis yang dihasilkan dari metode RIA dapat
digunakan untuk menyusun NA.
Hal lain yang kemudian perlu untuk ditelaah lebih lanjut adalah dengan penyebutan metode RIA sebagai
alternatif metode dalam menyusun Bab II Sub D terkait Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru,
menimbulkan beberapa pertanyaan pendalaman, yaitu: (a) apakah metode RIA diterapkan secara utuh
untuk menyusun Bab II Sub D? (b) apakah metode RIA relevan untuk diterapkan secara utuh hanya untuk
menyusun Bab II Sub D, padahal dalam metode RIA terdapat opsi do nothing? (c) apa bagian dari metode
RIA yang relevan digunakan untuk menyusun Bab II Sub D?
Berbekal pada elaborasi pada bagian sebelumnya, menurut Penulis metode RIA tidak relevan untuk
diterapkan secara utuh hanya untuk menyusun Bab II Sub D terkait Kajian terhadap Implikasi Penerapan
Sistem Baru. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa metode RIA dapat saja memunculkan opsi do
nothing yang berarti tidak perlu membentuk peraturan atau kebijakan non peraturan, sehingga bila metode
RIA diterapkan secara utuh untuk menyusun Bab II Sub D terkait Kajian terhadap Implikasi Penerapan
Sistem Baru, maka hal ini kontradiktif dengan keberadaan NA yang digunakan sebagai dasar akademis
dalam pembentukan peraturan, yang berarti ketika sudah diputuskan untuk menyusun NA, maka mutatis
mutandis sudah diputuskan pula akan membentuk peraturan.
Lantas bagaimana implementasi metode RIA dalam menyusun Bab II Sub D terkait Kajian terhadap
Implikasi Penerapan Sistem Baru? Menurut Penulis, metode RIA tetap dapat diterapkan, namun tidak secara
utuh. Hanya analisis biaya dan manfaat (cost and benefit analysis; CBA) yang relatif relevan untuk digunakan.
Itu pun CBA yang digunakan tentu bukan CBA terhadap seluruh alternatif tindakan dalam metode RIA,
mengingat tindakan yang dapat analisis hanya ada 1 (satu), yaitu tindakan membentuk peraturan. Hal
ini kembali didasarkan pada pemahaman yang dibangun dalam UU 12/2011 dan perubahannya, bahwa
penyusunan NA merupakan langkah lanjutan dari keputusan politik untuk membentuk peraturan.
Berbekal pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyebutan metode RIA secara eksplisit
dalam UU 13/2022 harus dimaknai secara cermat bahwa hanya ditujukan dalam menyusun Bab II Sub
D terkait Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru, itu pun dengan limitasi penggunaan hanya
pada CBA yang terbatas. Jangan sampai terjebak pada pemahaman bahwa metode RIA yang disebutkan
secara eksplisit dalam UU 13/2022 dimaknai sebagai metode penyusunan NA. Hal ini dikarenakan metode
penyusunan NA tidak mengalami perubahan dan masih menggunakan metode yang diperkenalkan dalam
Lampiran I UU 12/2011.
Namun demikian, Penulis dalam tulisan ini juga mengusulkan sebuah pemaknaan baru terhadap
penggunaan metode RIA dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bersandar pada
dasar konseptual bahwa metode RIA adalah bagian dari GRP, Penulis mendudukkan metode RIA sebagai
metode dalam penyusunan rencana daftar peraturan yang akan dibentuk, atau dalam konteks pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia disebut dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk
UU atau program pembentukan peraturan untuk peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 12/2011 dinyatakan bahwa, “Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.43 Dengan
demikian, dapat ditarik pemaknaan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi 5 (lima)

43
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Republik Indonesia, 2011).

54
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

tahapan, yaitu: (a) perencanaan; (b) penyusunan; (c) pembahasan; (d) pengesahan; dan (e) pengundangan.
Dalam konteks penyusunan UU, sebagai tahapan pertama yang dilakukan adalah tahap perencanaan,
di mana berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU 12/2011 dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional
(Prolegnas).44 Dalam penyusunan Prolegnas, penyusunan daftar rancangan UU didasarkan atas: (a) perintah
UUD NRI Tahun 1945; (b) perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR); (c) perintah UU
lainnya; (d) sistem perencanaan pembangunan nasional; (e) rencana pembangunan jangka panjang nasional;
(f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
(h) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.45
Dasar penyusunan daftar rancangan UU sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 setidaknya menimbulkan
4 (empat) pertanyaan yang patut dicermati lebih lanjut, yaitu: Pertanyaan Pertama, apakah seluruh perintah
UUD NRI Tahun 1945 telah dibentuk dan direncanakan pembentukannya dalam Prolegnas? Hal demikian
menjadi penting untuk ditelaah mengingat kedudukan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dalam
peraturan perundang-undangan.46 Beberapa UU telah dibentuk, baik yang memang pelaksanaan amanat
dari UUD NRI Tahun 1945 maupun UU yang telah ada sebelumnya ditetapkannya perubahan UUD NRI
Tahun 1945, misalnya UU Perjanjian Internasional yang telah diundangkan pada tanggal 23 Oktober
2000 sebelum ditetapkannya amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada tanggal 9 November 2001. Di
samping itu, masih terdapat UU yang pembentukannya diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, namun
tidak kunjung dibentuk. Walaupun memang terhadap UU Perjanjian Internasional dan UU Pengakuan dan
Penghormatan Masyarakat Hukum Adat sudah masuk dalam Prolegnas Tahun 2020-2024.47
Pertanyaan Kedua, apakah telah dilakukan pemetaan perintah pembentukan UU dari Tap MPR Nomor
1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002? Hal ini mengingat dalam ketentuan Pasal 4 Tap MPR a quo, terdapat 11 (sebelas) Tap
MPR yang ditetapkan masih berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.48 Berdasarkan pemetaan
yang telah dilakukan Penulis pada penelitian sebelumnya, dari kesebelas Tap MPR tersebut, setidaknya masih
terdapat 4 (empat) Tap MPR yang berlaku, yaitu: (1) Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa; (3) Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; dan
(4) Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.49
Pertanyaan Ketiga, apakah telah dilakukan pemetaan perintah untuk membentuk UU dari UU lain?
Pemetaan terhadap delegatie provisio yang memerintah pembentukan UU dalam UU yang telah ada perlu
dilakukan dengan memperhatikan kaidah delegatie provisio, apakah bij de wet geregeld (diatur dengan) atau
in de wet geregeld (diatur dalam). Keduanya secara konseptual memerlukan respon yang berbeda, di mana
bila suatu delegatie provisio menggunakan frasa “diatur dengan”, maka diperlukan pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan tersendiri untuk mengatur secara spesifik mengenai materi muatan yang
diamanatkan untuk diatur lebih lanjut. Berbeda halnya bila kemudian digunakan frasa “diatur dalam”, di
mana tidak harus dibentuk dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri, selama materi muatan
yang diperintahkan untuk diatur lebih lanjut telah terakomodasi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
44
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik
Indonesia, 2011).
45
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik
Indonesia, 2011).
46
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Republik Indonesia, 2011).
47
Dewan Perwakilan Rakyat RI, “Program Legislasi Nasional”, DPR RI, 2019, accessed 26 September 2022, https://
www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.
48
Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Republik Indonesia, 2003).
49
Dian Agung Wicaksono, “Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 10, no. 1 (2013): 163-168.
55
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

Pertanyaan Keempat, apakah sudah terdapat metode atau mekanisme untuk menjustifikasi aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat? Hal ini mengingat dalam UU 12/2011 maupun peraturan pelaksanaannya
tidak memberikan instrumen untuk mengukur aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Pertanyaan
lebih lanjut yang perlu dicermati adalah apakah aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat hanya diukur
dan disandarkan pada fungsi representasi dari anggota legislatif? Menjadi pertanyaan pula, bila rancangan
UU yang diajukan dalam Prolegnas adalah inisiatif dari Pemerintah, maka bagaimana Pemerintah menyerap
aspirasi dan kebutuhan masyarakat, lebih-lebih memverifikasi validitas aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat tersebut sebagai justifikasi perlunya dibentuk suatu UU dan dimasukkan dalam Prolegnas?
Spesifik terkait Pertanyaan Keempat, Penulis mengusulkan metode RIA sebagai metode untuk
menjustifikasi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka penyusunan Prolegnas atau program
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU. Penggunaan metode RIA sebagai metode dalam
menjustifikasi aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat relevan untuk digunakan dikarenakan salah
satu fitur mendasar dari metode RIA adalah adanya keterlibatan masyarakat dalam perumusan alternatif
tindakan penyelesaian masalah, berupa mekanisme konsultasi publik.
Dengan demikian, terdapat kesesuaian antara kebutuhan untuk menangkap aspirasi dan kebutuhan
hukum masyarakat dalam penyusunan Prolegnas atau program pembentukan peraturan perundang-undangan
di bawah UU, dengan fitur dasar metode RIA yang memang mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam
kerangka kerjanya berupa konsultasi publik. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa secara
naturalia metode RIA seharusnya didudukkan sebagai metode dalam penyusunan Prolegnas atau program
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU sebagai bagian dari tahapan perencanaan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, penempatan RIA sebagai metode
dalam penyusunan Prolegnas atau program pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU
juga sejalan pilihan alternatif tindakan dalam RIA, di mana RIA masih memungkinkan opsi untuk tidak
membentuk peraturan, sehingga judul-judul UU atau peraturan yang direncanakan untuk dibentuk, yang
dituangkan dalam Prolegnas atau program pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU,
memang merupakan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan
yang aktual dan faktual terjadi.

C. Penutup

Berdasarkan analisis dan elaborasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, dasar konseptual
metode RIA merupakan bagian dari konsep GRP yang menekankan pada perbaikan dalam pembentukan
peraturan. Kerangka kerja metode RIA pada dasarnya, meliputi: (a) problem definition (perumusan masalah);
(b) identification (identifikasi); (c) assessment (penilaian); (d) selection and implementation (penentuan
alternatif tindakan dan implementasi); dan (e) consultations (konsultasi publik). Berdasarkan dasar konseptual
dan kerangka kerja metode RIA tersebut dapat ditarik beberapa catatan mendasar, yaitu: (1) metode RIA
diterapkan secara ex ante dalam proses pembentukan peraturan; (2) metode RIA membuka peluang untuk
tidak membentuk peraturan; dan (3) metode RIA dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan
dan kapasitas pembentuk peraturan.
Kedua, kedudukan metode RIA sebagai metode analisis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia merupakan metode dalam penyusunan Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem
Baru sebagai bagian dari NA, dan bukan merupakan metode dalam penyusunan NA. Hal ini dikarenakan
yang diubah dalam UU 13/2022 adalah teknik penyusunan NA, dan bukan metode penyusunan NA. Lebih
mendetail disebutkan bahwa yang diubah dalam Lampiran I UU 13/2022 adalah Bab II Sub D terkait Kajian
terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru, bukan Bab I Sub D terkait Metode.
Selain itu, Penulis juga menyarankan agar metode RIA digunakan sebagai metode dalam penyusunan
Prolegnas atau program pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU karena terdapat
kesesuaian antara kebutuhan untuk menangkap aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat dalam

56
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

penyusunan Prolegnas atau program pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU, dengan
fitur dasar metode RIA yang memang mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam kerangka kerjanya
berupa konsultasi publik.

57
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, Nuri, “Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk Implementasi Kebijakan”, PHariyadi's
Blog, 2017, accessed 19 September 2022, http://phariyadi.staff.ipb.ac.id/files/2017/05/ITP602-
Analisis-Resiko-Regulatory-Impact-Assessment-RIA-2017-NAN.pdf.

Basedow, Robert. “Good Regulatory Practices and International Trade,” dalam Francois, Joseph. dan Bernard
Hoekman. 2019. Behind-the-Border Policies Assessing and Addressing Non-Tariff Measures. Cambridge:
Cambridge University Press.

Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas. 2011. Kajian Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode
Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian
PPN/Bappenas. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Broom, Herbert. 1882. A Selection of Legal Maxims, Classified and Illustrated. Philadelphia: T.&J.W. Johnson
& Co.

Dewan Perwakilan Rakyat RI, “Program Legislasi Nasional”, DPR RI, 2019, accessed 26 September 2022,
https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.

Humas UGM, “Pusat Kajian Dorong Perkembangan Kegiatan Ilmiah dan Pengabdian”, Universitas Gadjah
Mada, 2010, accessed 19 September 2022, https://www.ugm.ac.id/id/berita/1358-pusat-kajian-
dorong-perkembangan-kegiatan-ilmiah-dan-pengabdian.

Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan, dan Pengendalian Pelaksanaan
Kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah (Republik Indonesia, 2017).

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 96/KEPMEN-KP/2020 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Kajian Tertulis Rancangan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis (Republik Indonesia,
2020).

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Republik
Indonesia, 2003).

Khaidir, Afriva. Novia Zulfa Riany, dan Elyunus Asmara. 2007. Laporan Penelitian Regulatory Impact
Assessment. Padang: Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas
Negeri Padang.

Majone, Giandomenico. 1994. “The Rise of the Regulatory State in Europe,” West European Politics 17, no. 3.

Majone, Giandomenico. 1997. “From the Positive to the Regulatory State: Causes and Consequences of
Changes in the Mode of Governance,” Journal of Public Policy 17, no. 2.

Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group.

Nasokah. 2008. “Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagai Upaya Menjamin Partisipasi
Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 3.

Nugroho, Riant. 2021. Kebijakan Publik: Menuju Kebijakan Publik Unggul. Jakarta: Elex Media Komputindo.

58
Quo Vadis Pengaturan Regulatory... (Dian Agung Wicaksono)

OECD. 2009. Regulatory Impact Analysis: A Tool for Policy Coherence. Paris: OECD Publishing.

OECD. 2012. Recommendation of the Council on Regulatory Policy and Governance. Paris: OECD Publishing.

OECD. 2020. Regulatory Impact Assessment. Paris: OECD Publishing.

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penggunaan Metode Regulatory
Impact Assessment (RIA) dalam Pembentukan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (Republik
Indonesia, 2016).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/PERMEN-KP/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.25/MEN/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Republik Indonesia, 2017).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Produk Hukum Lain Bidang Kesehatan di Lingkungan Kementerian Kesehatan (Republik
Indonesia, 2020).

Peraturan Sekretaris Kabinet Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Persiapan, Pelaksanaan, dan Tindak
Lanjut Hasil Sidang Kabinet (Republik Indonesia, 2018).

Rodiyah. 2013. “Aspect Democracy in the Formation of Regional Regulation (Case Study the Formation of
Regional Regulation about Education in Perspective Socio-Legal),” International Journal of Business,
Economics and Law 2, no. 3.

SadarOtda FH UGM dan SwissContact. 2010. Format RIA dalam KKN Review Perda FH UGM. Yogyakarta:
FH UGM.

Sanjaya, Roy. Riezky Aditya Ramadhan, dan Marco Gregorius Suitela. 2022. “Peran Threshold dalam Tata
Kelola Kebijakan di Indonesia,” Court Review: Jurnal Penelitian Hukum 2, no. 3.

Setyawan, Fendi. 2021. “Institusionalisasi Nilai Pancasila dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan
Perundang-undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 2.

Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Suska. 2012. “Prinsip Regulatory Impact Assessment dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011,” Jurnal Konstitusi 9, no. 2.

Tim Penyusun. 2018. Laporan Akhir Kajian Evaluasi Peraturan Daerah Pemantauan Pelaksanaan Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan
Pelaksanaan Musyawarah Daerah. Yogyakarta: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Treasury Board of Canada. 2009. RIAS Writer’s Guide 2009. Ottawa: Treasury Board of Canada Secretariat.

Treasury of New Zealand, “Regulatory Impact Statement Template”, Treasury of New Zealand, 2021, accessed
19 September 2022, https://www.treasury.govt.nz/sites/default/files/2021-07/regulatory-impact-
statement-template-jul21.docx.

Trijono, Rachmat. 2012. “Alternatif Model Analisis Peraturan Perundang-undangan,” Jurnal RechtsVinding
1, no. 3.

Trnka, Daniel, “Regulatory Impact Assessment - A Tool for Evidence based Policy Making”, EU Central Asia
Invest Programme, 2021, accessed 19 September 2022, https://eu-cai.org/wp-content/uploads/2021/01/
Regulatory-impact-assessment-Uzbekistan.pptx.

59
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 44-60

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik


Indonesia, 2011).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Republik Indonesia, 2022).

Wicaksono, Dian Agung. 2013. “Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-
undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 10, no. 1.

Wicaksono, Kristian Widya. 2008. “Aplikasi Prinsip-Prinsip RIA dalam Proses Formulasi Peraturan Daerah,”
Jurnal Administrasi Publik 5, no. 2.

60
Sinergitas Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah Dalam
Perumusan Kebijakan

Rodes Ober Adi Guna Pardosi


Badan Strategi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
(rodesadiguna@gmail.com)

Abstract

Policies in the scope of local authorities are a problem withinside the implementation of local autonomy.
Emphasis at the synergy among the valuable and local governments is wanted with a view to expand rules
which are still in concord with the rules completed through the central authorities. The idea of coverage is
described as a based and systematic system. Policies in local government result in public offerings that offer
great advantages for the prosperity of the people. In policy formula, the central and local governments have
their respective roles. The feature of the central government as a facilitator, coordinating characteristic and
carrying out the function of empowerment in relation to coverage system in the regions. The position of local
governments as implementing activities in formulating a coverage must be primarily based totally at the
regulations of powerful and efficient policy formula. Communication among local governments and the central
authorities is a shape of synergy this is needed nowadays to overcome various local coverage troubles that
occur. Synergy goals in order that the rules taken do now no longer overlap every other, over-authorize and
nevertheless take note of the public interests in societ.

Keywords: Policy Formulation, Central and Regional Relations, Policy Synergy

Abstrak

Kebijakan dalam lingkup pemerintahan daerah menjadi perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Penekanan terkait sinergitas pemerintah pusat dan daerah diperlukan dalam rangka membangun kebijakan
yang tetap memiliki harmonisasi dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Konsep kebijakan
dimaknai sebagai suatu sistem yang terstruktur dan sistematis. Kebijakan dalam pemerintahan daerah
bermuara pada pelayanan publik yang memberikan manfaat yang besar demi kemakmuran rakyat. Dalam
perumusan kebijakan, pemerintah pusat dan daerah memiliki peran masing-masing. Fungsi pemerintah
pusat sebagai fasilitator, fungsi kordinasi dan menjalankan fungsi pemberdayaan dalam kaitannya dengan
perumusan kebijakan di daerah. Peran pemerintah daerah sebagai pelaksana kegiatan dalam merumusakan
suatu kebijakan seyogianya berdasarkan kaidah perumusan kebijakan yang efektif dan efisien. Komunikasi
antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat merupakan bentuk sinergitas yang diperlukan dewasa
ini demi mengatasi berbagai permasalahan kebijakan daerah yang terjadi. Sinergitas bertujuan agar
kebijakan-kebijakan yang diambil tidak saling tumpah tindih, over kewenangan serta tetap memperhatikan
kepentingan-kepentingan umum dalam masyarakat.

Kata Kunci: Perumusan Kebijakan, Hubungan Pusat Dan Daerah, Sinergitas

Kebijakan
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

A. Pendahuluan

Pemerintahan apabila dilihat pada aspek umum merupakan suatu organ dari organisasi pemerintahan
yang diberikan pembebanan pelaksanaan tugas pemerintahan. Soeharjo mendefinisikan pemerintahan sebagai
suatu organisasi apabila kita mempelajari ketentuan susunan organisasi, termasuk fungsi, penugasan,
wewenang dan kewajiban masing-masingnya.1
Dalam artian yang sempit, pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. Dalam cabang pemerintahan
eksekutif terwakili dalam dua hal, pertama berperan sebagai alat kelengkapan negara dan kedua berperan
sebagai badan administrasi negara yang mempunyai kekuasaan mandiri yang dilimpahkan oleh negara.
Eksekutif memegang peranan sebagai tata usaha negara yang sering dikenal sebagai administrasi negara.
Otonomi Daerah dimaksudkan sebagai bentuk pemindahan otoritas, fungsi dan tanggung-jawab dalam
mereformulasi kebijakan dan keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sebagaimana
mengutip pendapat Escobar-Lemmon. Dengan konsep demikian maka terdapat kewenangan suatu daerah
untuk membuat program dan peraturan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.2
Motivasi mendasar dilakukannya pemekaran daerah dalam kaitannya pelaksanaan otonomi daerah
mempunyai beberapa alasan yaitu:3
1. Adanya kebutuhan dalam rangka pemerataan ekonomi daerah;
2. Kondisi geografis Indonesia yang menyebabkan proses tersampaikannya pelayanan publik tidak dapat
terlaksana dengan efektif dikarenakan sarana dan prasarana infrastruktur yang tidak memadai;
3. Adanya diferensiasi basis identitas etnis dan asal muasal keturunan masyarakat lokal yang berdomisili
didaerah;
4. Adanya kegaalan pengelolaan terhadap konflik komunal;
5. Penyediaan insentif fiskal yang diamanatkan oleh undang-undang untuk daerah baru hasil pemekaran
yaitu Dana Alokasi Umum (DAU).
Untuk menjalankan pemerintahan daerah di Indonesia dalam sistem otonomi dikenal tiga prinsip
pelimpahan kewenangan yang digunakan yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas
perbantuan. Asas-asas tersebut dilaksanakan secara bersama-sama, dimana pemerintah pusat dan pemerintah
daerah mengisi peran masing-masing sesuai dengan kewenangannya.
Di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dalam ketentuan Bab Xi
Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja yaitu Pasal 176 ayat 4 menyatakan
bahwa Pemerintah Daerah dapat menerima pendelegasian tugas pelaksanaan norma, standar, prosedur atau
kriteria dari Pemerintah Pusat dalam urusan penyelenggaran pemerintahan. Dengan ketentuan tersebut,
Pemerintah Daerah menunjukkan implementasi asas tugas pembantuan sebagaimana yang dikenal dalam
prinsip pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pada sistem desentralisasi yang digunakan terdapat prinsip pelaksanaan otonomi daerah yaitu
haruslah sesuai dengan konstitusi yang menjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
penyelenggaran otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi
dan keanekaragaman daerah.
Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi antara lain
berkaitan dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan
rumah tangga daerah. Pada hakikatnya, pembangunan daerah adalah kewenangan dari pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten, sedangkan pemerintahan pusat berfungsi sebagai motivator dan fasilitator

1
Dr. Ridwan HR, Hukum Adminstrasi Negara, Revisi 12. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 31.
2
Leo Agustino, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Cetakan I. (Bandung: Alfabeta, 2014), 14.
3
Fachruddin, Membangun Otonomi Daerah, Memperkuat NKRI, ed. Teguh Kresno Utomo Sulistio (Jakarta: Serat Alam
Media (SAM), 2016), 39.

62
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

dalam percepatan pembangunan.4


Terkait hubungan antara pusat dan daerah, permasalahan yang mungkin timbul adalah perihal tarik
menarik kepentingan yang sulit untuk dihindari. Dalam konsepsi negara keatuan seperti yang dianut
di Indonesia, upaya pemerintah pusat akan selalu berada pada pemegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sebab biasanya dalam negara kesatuan, pemegang otoritas pemerintahan adalah pusat.5
Dalam konteks di atas, pemerintah pusat atau nasional memposisikan pada kedudukan tertinggi, dan
memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari, dan tidak ada bidang kegiatan pemerintah
yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan.
Pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia telah berlangsung kurang lebih 25 tahun. Dalam
rentang waktu yang cukup lama tersebut sampai saat ini masih ditemui permasalahan yang belum juga
dapat diselesaikan. Hal senada disampaikan oleh Agnes Wirdawati sebagai Dosen Program Studi Administrasi
Publik, Universitas Nasional, yang menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah masih ditemukan
permasalahan yaitu diantaranya tidak terkoordinasinya pusat dan daerah, permasalahan birokrasi daerah,
masalah peraturan daerah, keuangan daerah hingga pada masalah pelayanan publik.6
Mengenai koordinasi pusat dan daerah juga menjadi perhatian sejumlah pihak diantaranya pernyataan
Presiden Joko Widodo pada suatu kesempatan bersama dengan para bupati, menyatakan pentingnya
setiap kebijakan pada pemerintah pusat haruslah dikerjakan secara sinergi antara pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten. Selain itu, presiden menginginkan agar pemerintah pusat ,pemerintah provinsi atau
kabupaten dalam satu koordinasi dengna pemerintah pusat.7
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap
sejumlah pihak atas dugaan suap Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi pada Jumat, 22 September 2017.
Dugaan suap itu terkait dengan perizinan pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM)
Kota Cilegon, Banten tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Operasi Tangkap
Tangan (OTT) terhadap sejumlah pihak atas dugaan suap Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi pada
Jumat, 22 September 2017. Dugaan suap itu terkait dengan perizinan pada Badan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal (BPTPM) Kota Cilegon, Banten tahun 2017 dengan menggunakan saluran Corporate
Social Responsibility (CSR) perusahaan kepada klub sepak bola daerah Cilegon United Football Club sebagai
sarana untuk menerima suap.8 Hal ini menunjukkan kurangnya pengawasan antara hubungan pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat dalam hal ini terkait perizinan.
Terkait sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah merupakan wujud dari hubungan pusat dan
daerah. Hubungan pusat dan daerah haruslah terjalin, secara konstitusional hubungan pusat dan daerah
diatur dalam Pasal 18A ayat (1) yaitu terkait hubungan kewenangan serta Pasal 18A ayat (2) dalam konteks
keuangan, pelayanan publik serta dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam dan lainnya.
Permasahan lain yang mengemuka dalam kebijakan otonomi adalah penyalahgunaan wewenang oleh
penguasa lokal (berpotensi menimbulkan local strongmen), maraknya politik yang bersifat patroniclient pada
daerah, KKN di level lokal, perampokan sumber daya daerah baik berupa uang maupun sumber daya alam
serta lainnya.10
4
Feri Nofirman Tanjung Bungaran Antonius Simanjuntak, Iswan kaputra, Amrin Banjarnahor, Ali Muda Dalimunthe,
Armansyah Matondang, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia,
ed. Prof.Dr.Bungaran Antonius Simanjuntak, Pertama. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonensia, 2013), 135.
5
Sri Nur Hari Susanto, “Desentralisasi Asimetris dalam Konteks Negara Kesatuan,” Adminitrative Law & Governance
Journal Volume 2, no. Issue 4 (2019): 1.
6
Yeremia Sukoyo / BW, “Penerapan Otonomi Daerah Masih Temui Banyak Masalah,” BeritaSatu.Com, last modified
2021, diakses Juni 16, 2022, https://www.beritasatu.com/nasional/766805/penerapan-otonomi-daerah-masih-temui-
banyak-masalah.
7
Pemerintah Kota Tebing Tinggi, “Pentingnya Sinergi Pemerintah Pusat Dan Daerah,” Website Resmi Pemerintah Kota
Tebing Tinggi, 2018, https://www.tebingtinggikota.go.id/berita/berita-umum/pentingnya-sinergi-pemerintah-pusat-
dan-daerah.
8
Hukum Online, Kala Dugaan Suap Wali Kota "Berkedok" CSR Klub Sepak Bola” , last modified 2017, https://www.
hukumonline.com/berita/a/kala-dugaan-suap-wali-kota-berkedok-csr-klub-sepak-bola-lt59c78c68f1d7f.
9
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Republik Indonesia, 1945).
10
Agustino, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 16.
63
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka penulis ingin mengulas bagaimana konsepsi kebijakan
dalam hubungan pemerintahan pusat dan daerah serta bagaimana peran dan sinergitas pemerintah pusat
dan daerah dalam perumusan kebijakan publik.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian tentang asas dalam
hukum serta sistematika hukum dan didasarkan pada analisa asas hukum dan teori hukum dan peraturan
perundang-undangan yang sesuai terkait permasalahan yang dibahas.11

B. Aspek Pemerintahan Pusat dan Daerah Dalam Perumusan Kebijakan

B.1. Konsepsi Kebijakan Dalam Konteks Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dalam praktiknya sejauh yang dapat dipahami bahwa konsepsi kebijakan dalam hubungan pusat dan
daerah dilaksanakan dengan mengedepankan asas-asas yang dapat dijelaskan sebagai berikut:12
1. Sentralisasi yaitu dilaksanakan dengan prinsip dekosentrasi. Dekosentrasi dimaknai dengan
dilimpahkannya wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan atau lembaga vertikal pada wilayah tertentu;
2. Desentralisasi. Prinsip otonomi daerah merupakan bagian dari pelaksanaan asas desentralisasi.
Desentralisasi dimaknai sebagai pemberian kebebasan (zelfstandigheid) tetapi bukan pemberian
kemerdekaan (Onafhankelijkheid).
Bentuk hubungan pusat dan daerah setidaknya terdiri dari tiga bentuk hubungan yaitu:
1. Hubungan pusat dan daerah dengan konsep dekonsentrasi teritorial;13
2. Hubungan pusat dan daerah dengan konsep otonomi teritorial;
3. Hubungan pusat dan daerah dengan dasar negara federal.
Konsepsi kebijakan dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia tidak terlepas
dari kewenangan daerah yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Pada Pasal
18 ayat (2) dan ayat (5) menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang
seluas-luasnya.
Adapun yang menjadi tujuan dari diberikannya otonomi yang luas kepada daerah yaitu dalam rangka
meningkatkan pelayanan, memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat. Selain itu juga
diperlukan untuk meningktkan daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip keadilaan, demokrasi,
pemerataan pembangunan, kekhususan dan potensi daerah masing-masing. Otonomi daerah juga sebagai
sarana menyakurkan aspirasi serta kepentingan masyarakatnya dengan tetap dalam koridor dan tidak
menyimpang dari tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.14
Bagaimana hubungan antara pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Jimly Ashidiqqie, idealnya adalah meskipun Indonesia merupakan negara kesatuan tetapi didalamnya
terdapat sistem yang mengakomodir berkembangnya keragaman antara daerah yang satu dengan yang
lainnya diseluruh Indonesia. memilih bentuk Negara kesatuan, tetapi di dalamnya terselenggara sesuatu
mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antara daerah di seluruh tanah
air. Dapat dipahami bahwa bentuk negara kesatuan dilaksanakan dengan terjaminnya pelaksanaan otonomi
yang seluas-luasnya agar berkembang sesuai dengan potensi maupun kekayaan masing-masing tentu
dengan dukungan dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.15
11
Saiful Anam and Partners, “Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dalam Penelitian Hukum,” Saiful
Anam and Partners, last modified 2017, diakses Oktober 20, 2022, https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-
undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/.
12
Dudung Abdullah, “Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah,” Jurnal Hukum Positum 1, no. 1
(2016): 100.
13
Hariyanto,Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi 3, no. 2 (2020): 109.
14
Harry Setya Nugraha, “Anomali Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,”
Jurnal de Jure 13, no. 2 (2021): 77.
15
Jimly Assihddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 218.
64
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

Kebijakan dapat diartikan sebagai aturan dalam bentuk tertulis serta keputusan resmi suatu organisasi
yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik dalam lingkup publik ataupun privat sedangkan
publik dalam pengertian negara dapat diartikan sebagai otoritas negara (public authorities),17 bangunan
negara (public building), penerimaan negara (public revenue), dan sektor negara (public sector).
Kebijakan dapat dilihat dari berbagai aspek, Keban memberikan pengertian pada sisi kebijakan publik
yaitu dilihat dari konsepsi filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses dan sebagai suatu kerangka
kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan adalah sekumpulan prinsip atau kondisi yang diinginkan,
dalam hal sebagai suati produk kebijakan dipandang sebagai sekumpulan kesimpulan atau rekomendasi,
dan sebagai suatu proses, kebijakan dilihat sebagai suatu cara dimana dengan cara yang dimaksud suatu
organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu program serta mekanisme dalam mencapai
produknya, dan sebagai suatu kerangka kerja, adalah suatu proses tawar menawar atau negosiasi untuk
merumuskan isu-isu dan metode dalam penerapannya.18
Kebijakan publik dikutip dari klasifikasi yang dilakukan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell
ke dalam empat kategori yaitu:19
a. Kebijakan publik dalam penarikan sumber daya manusia yaitu mengacu pada sumber daya baik sumber
daya manusia maupun sumber daya alam yang ditarik dari sistem politik serta masyarakat dalam
bentuk pajak, retribusi, wajibiliter dan lain-lain;
b. Kebijakan publik dalam hal pengaturan yaitu berbagai pengaturan pemerintah agar tata kehidupan
pemerintah dan masyarakat tercapai harmonisasi;
c. Kebijkan publik dalam rangka pembagian (allocation) yaitu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan
publik dalam rangka distribusi biaya, barang, pelayanan, kehormatan dan lain sebagainya;
d. Kebijakan dalam hal pengaturan lambang (symbols) yaitu pemerintah mengatur secara khusus penetapan
simbol dan lambang sebagai bagian dari kesetiaan pada negara.
Definisi lain terhadap kebijakan yaitu merupakan ketentuan yang dijadikan sebagai pedoman dalam
setiap usaha demi mencapai tujuan sehingga dengan demikian setiap kegiatan memiliki kejelasan dalam
bergerak. Dengan kata lain, kebijakan diamaknai sebagai suatu penetapan yang memuat berbagai prinsip
demi mengarahkan cara-cara bertindak secara terukur dan konsisten demi mencapai suatu tujuan tertentu.20
Hal penting lainnya yang perlu diketahui sebelum membahas tentang kebijakan lebih jauh adalah
terkait dengan konsepsi kebijakan. Abdul Wahab memberikan konsepsi kebijakan diantaranya adalah:21
3. Perbedaan kebijakan dan keputusan. Untuk melihat hal ini dapat ditelaah melalui tiga aspek yaitu:
a. Ruang lingkup yaitu kebijakan bersifat lebih besar dibandingkan keputusan;
b. Penelaahan kebijakan jauh lebih mendalam dibandingkan keputusan;
c. Kebijakan mencakup penelusuran terhadap interaksi begitu banyak individu, kelompok ataupun
organisasi.
4. Kebijakan dan administrasi tidak dapat dibedakan. Pada pandangan modern, model pembuatan kebijakan
yang menggunakan kombinasi top-down dan bottom-up menjadi pilihan yang sangat realistis;
5. Kebijakan termasuk didalamnya perihal bertindak maupun tidak bertindak. Berbuat dalam rangka
kebijakan meliputi juga kegagalan melakukan perbuatan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk
tidak berbuat yang disengaja;
6. Kebijakan lazimnya memiliki hasil akhir yang dicapai, yang sudah diantisipasi sebelumnya ataupun
belum diantisipasi sebelumnya;
7. Setiap kebijakan dilakukan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara implisit maupun eksplisit;
16
Dr. Rahayu Kusuma Dewi, Studi Analisis Kebijakan, Cetakan I. (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2016), 15.
17
Ibid., 16.
18
Arifin Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Bandung: Alfabeta, 2014),
20–21.
19
Dewi, Studi Analisis Kebijakan, 18.

65
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

8. Kebijakan tercipta dari proses yang berlangsung sepanjang waktu. Kebijakan bersifat dinamis, bukan
statis
9. Kebijakan mencakup hubungan yang bersifat inter organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi.
Pernyataan ini dengna jelas memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan, keputusan mungkin
hanya ditetapkan oleh dan suatu organisasi, sedangkan kebijakan pada dasarnya melibatkan banyak
aktor dan organisasi yang bekerja bersama dalam hubungan yang cukup memiliki kompleksitas;
10. Kebijakan suatu negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah, meskipun tidak ekslusif.
Kebijakan sepanjang dalam proses perumusannya atau disahkan atau diratifikasikan oleh lembaga
pemerintah, maka kebijakan itu disebut kebijakan negara;
11. Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Dalam pengertian istilah kebijakan seperti
proses, aktor, tujuan serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh orang yang
menilainya, sehingga dimungkinkan adanya penafsiran yang berbeda terkait dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh kebijakan tersebut.
Kebijakan menurut Dye, yaitu upaya untuk memahami:
1. Suatu yang dilakukan dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah;
2. Suatu penyebab atau yang mempengaruhinya, dan;
3. Suatu dampak dari kebijakan tersebut baik dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan.
Dengan mengikuti konsep ini, maka dalam mempelajari kebijakan seyogianya dipusatkan apa yang nyata
dilakukan oleh pemerintah dan bukan pada apa yang ingin dilakukan. Disamping hal tersebut setidaknya
terdapat butir-butir yang menjadi penting terkait dengan pengertian kebijakan yaitu:22
1. Kebijakan merupakan suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan dalam penciptaan
kesejahteraan masyarakat;
2. Kebijakan dibentuk dengan tahap-tahap yang sistematis sehingga mencakup semua variabel pokok
dari semua permasalahan yang akan dicari solusinya.
3. Kebijakan harus bisa dilaksanakan oleh unit atau organisasi pelaksana.
4. Kebijakan perlu dilakukan evaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan
masalah.
5. Kebijakan merupakan produk hukum yang harus ditaati serta berlaku mengikat terhadap warganya.
Kebijakan publik dalam lembaga pemerintah setidaknya memiliki tiga karakteristik:23
1. Pemerintah meminjam legitimasi pada kebijaksanaan (policy). Kebijaksanaan pemerintah pada dasarnya
dipandang sebagai kewajiban yang secara legal harus dipatuhi oleh semua warga negara. Rakyat boleh
saja berpandangan bahwa kebijaksanaan dari unsur lain misalnya: perusahaan, organisasi profesi,
majelis ulama, yayasan sosial, dan lain-lain merupakan hal yang penting dan mengikat. Akan tetapi
kebijakan dari pemerintahlah yang mampu membuat pelibatan setiap warga negara untuk mematuhinya
sebagai kewajiban yang legal;
2. Kebijakan pemerintah melibatkan universalitas. Hanya oleh kebijakan pemerintah mampu masuk dan
menjangkau setiap rakyat dalam suatu masyarakat. Tidak ada seorangpun yang mampu menghindar
dari suatu keputusan kebijaksanaan yang telah diambil oleh pemerintah;
3. Pemerintah dapat menguasai suatu paksaan dalam masyarakat. Pemerintah satu-satunya yang bisa
mengabsahkan tindakan untuk memenjarakan seseorang yang melawan kebijakannya. Hal tersebut
dapat dilihat pada upaya memaksakan loyalitas dari semua rakyatnya, dengan membuat kebijakan
yang mengatur seluruh masyarakat.
Dalam hal tingkatan kebijakan publik di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:24

20
Ibid., 16.
21
Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 24.
22
Ibid., 30.
23
Ibid., 40.
24
Ibid., 27.

66
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

1. Kebijakan publik bersifat makro atau umum, yaitu (a) Undang-Undang Dasar 1945, (b) Undang-Undang/
Perppu, (c) Peraturan Pemerintah, (d) Peraturan Presiden, dan (e) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan publik bersifat menengah atau dapat diperjelas sebagai pelaksanaan. Kebijakan ini misalnya
Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan
Walikota. Produk kebijakan yang dimaksud diantaranya adalah kebijakannya dapat pula berbentuk
Surat Keputusan Bersama baik antar Menteri, Gubernur, Bupati serta Walikota.
3. Kebijakan publik bersifat mikro yaitu kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan diatasnya. Bentuknya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri,
Gubernur, Bupati dan Walikota.
Ada lima tahap proses terjadinya kebijakan publik sebagaimana pendapat Starling yaitu:25
1. Identification of needs, yaitu proses mengindentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam
pembangunan dengan beberapa kriteria seperti: menganalisa data termasuk data statistik, sampel,
model simulasi, menganalisa sebab akibat dan tehnik peramalan.
2. Formulasi usul kebijakan meliputi faktor-faktor strategik, alternatif- yang bersifat umum, kemantapan
teknologi dan analisa mengenai dampak lingkungan;
3. Pengadopsian mencakup analisa kelayakan politik, gabungan beberapa teori politik serta penggunaan
tehnik pengangguran;
4. Pelaksanaan program meliputi bentuk organisasinya, model penjadwalan, penjabaran keputusan,
keputusan penetapan harga, serta skenario pelaksanaannya, dan
5. Evaluasi meliputi penggunaan metode eksperimental, sistem informasi, auditing, serta evaluasi
kondisional.
Implementasi kebijakan adalah suatu tahapan pelaksanaan keputusan diantara pembentukan sebuah
kebijakan, seperti dapat dicontohkan pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, akan berdampak keluarnya
sebuah peraturan eksekutif, keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan sebagai suatu
konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang berpengaruh terhadap beberapa aspek kehidupannya.
Kebijakan publik menawarkan dua pilihan langkah yang dapat diambil sebagaimana menurut pendapat
Nugroho, yaitu: “langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program, atau melalui formulasi
kebijakan derivatif atau turunan dari kebijakan publik tersebut’’.
Dapat diartikan bahwa setelah suatu keputusan diambil, langkah berikutnya berkaitan dengan
bagaimana keputusan itu diimplementasikan. Bagaimana implementasi kebijakan menurut Van Horn
dengan memberikan definisi implementasi yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh baik individu/pejabat
atau kelompok pemerintah atau swasta yang ditujukan pada aspek pencapaian tujuan yang telah digariskan
dalam kebijakan.26
Dalam memilih kebijakan yang rasional, maka pembuat kebijakan haruslah:27
1. Memahami semua preferensi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
2. Memahami semua pilihan atau alternatif kebijakan yang tersedia;
3. Memahami semua konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan;
4. Mampu memperhitungkan rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap
alternatif kebijakan;
5. Pemilihan opsi alternatif kebijakan dinilai paling efisien.
Dengan pemahaman tersebut mengarahkan pandangan bahwa poduk kebijakan apapun yang akan
diimplementasikan haruslah mengedepankan pemahaman terhadap kebijakan tersebut baik politik,
administratif secara berimbang. Hal ini dianggap penting sebagai dasar pertimbangan yang prinsip dan

25
Ibid., 28.
26
Ibid., 55.
27
Ibid., 45.

67
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

substansial bahwa setiap kebijakan sejak saat perumusan, diimplementasikan, sampai tahapan evaluasi pasti
bersinggungan dengan perbedaan kepentingan dalam tataran politik, akan tetapi hal tersebut seharusnya
membuat semakin proaktif para perumus kebijakan dalam mewujudkan pelaksanaan kebijakan berdasarkan
sistem, prosedur, mekanisme, serta kemampuan para pejabat publik sebagai bentuk kehandalan dalam
administratif kebijakan itu sendiri.
William N Dunn, memberikan suatu argumen terkait dengan tentang implementasi kebijakan sebagai
berikut:
“Policy implemetation is essentially a practical activity, as distinguished from policy formulation, which
is essentilly theoretical”.
Apabila dilihat dari konteks implementasi kebijakan, hal ini berkaitan dengan kekuasaan (power),
kepentingan serta strategi pelaku kebijakan, karakteristik lembaga dan rezim serta izin pelaksanaan
dan respon terhadap kebijakan. Dengan demikian, dalam konteks implementasi kebijakan, akan terlihat
pengaruhnya setelah kebijakan tersebut dilakukan.
Ini menandakan bahwa proses implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dan
merupakan momentum dalam proses perumusan kebijakan. Berhasil tidaknya suatu kebijakan dalam
mencapai tujuannya ditentukan dalam pelaksanaannya. Rumusan kebijakan yang telah dirumusakan tidak
akan mempunyai arti ketika tidak diimplementasikan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan terletak
pada proses penerapannya.
Sementara itu, Josy Adiwisastra dalam suatu pembuka pada buku yang ditulis oleh Tachjan menegaskan,
bahwa “Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang sangat penting. Keberhasilan implementasi kebijakan
publik tidak hanya memerlukan rasionalitas, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk memahami serta
merespon harapan yang berkembang dimasyarakat dimana kebijakan tersebut akan diterapkan”.
Terdapat 2 (dua) implikasi penting dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
terhadap pola hubungan keuangan Pusat–Daerah, yakni implikasi yang bersifat internal dan eksternal.
Secara internal, implikasi dimaksud adalah lebih pada kesiapan kelembagaan, SDM dan sistem pengelolaan
keuangan daerah itu dilakukan di daerah dalam mewujudkan dayaguna dan hasilguna sebesar-besarnya.
Dalam aspek kelembagaan, pengelolaan keuangan di daerah dilakukan oleh satuan kerja (Satker) yang
bertugas merencanakan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan. Satker-satker
tersebut berada di bawah pengguna anggaran (PA); satker dipimpin oleh kuasa pengguna anggaran dan
dibantu oleh pejabat pengeluaran anggaran belanja (PPAB), pejabat verifikasi, dan anggota PPAB lainnya
seperti staf ahli PPAB dan penanggung jawab uang muka kerja (UMK). Selain itu, implikasi lainnya adalah
adanya perubahan sistem dan mekanisme pengajuan anggaran baik di dalam instansi maupun ke luar
instansi (misalnya pengajuan kepada KPPN, dahulu KPKN).
B.2 Peranan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Perumusan Kebijakan

Dalam pemerintahan pada tingkat pusat, kebijakan yang dirumuskan dalam berbagai dimensi dan
dinamika dapat diperinci sebagai berikut:

1. Kebijakan Politik

Kebijakan politik diaktualisasikan dalam kebijakan hukum secara konseptual sebagai aturan hukum
yang berbentuk undang-undang dan mengikat pada setiap penduduk.

2. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah, diaktualisasikan dalam bentuk admnistrasi dan politik dalam bentuk peraturan
pemerintah dan isinya merupakan keputusan-keputusan pemerintah.28
Menurut Adam Smith mendefinisikan peran pemerintah ke dalam tiga fungsi pokok yaitu:
1. Pemeliharaan keamanan dan pertahanan dalam negeri;
28
Dewi, Studi Analisis Kebijakan, 66–67.

68
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

2. Penyelenggaran peradilan;
3. Penyediaan barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta.
Sedangkan menurut Richard A. Musgrave dapat dibedakan tiga fungsi pemerintahan terkait kebijakan
yang didasarkan pada belanja pemerintah yaitu:29
1. Fungsi Pengalokasian (Allocation Branch) yaitu pemerintah dalam hal ini berfungsi menyediakan
pemenuhan untuk kebutuhan masyarakat (Public Needs);
2. Fungsi Distribusi (Distribution Branch) yaitu fungsi berdasarkan pada pertimbangan pengaruh sosial
ekonomis; yaitu pertimbangan kekayaan dan distribusi pendapatan, kesempatan dalam memperoleh
pendidikan, mobilitas sosial dan struktur pasar;
3. Fungsi Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk mempertahankan
stabilitas dan kebijaksanaan yang ada;
4. Fungsi Pembangunan yaitu pembangunan dijalankan apabila terdapat kondisi masyarakat melemah
dan pembangunan akan dikontrol kembali ketika kondisi masyarakat membaik;
5. Fungsi Pemberdayaan yaitu dimana fungsi ini dijalankan ketika masyarakat dianggap tidak mempunyai
skill dan kemampuan untuk bisa keluar dari zona aman seperti misalnya masyarakat bodoh, miskin,
tertindas, dan sebagainya. Pemberdayaan yang dimaksud adalah pemerintah harus mampu membawa
masyarakat keluar dari zona yang dimaksud yaitu dengan pemberdayaan. Pemberdayaan ini agar
masyarakat dapat mengeluarkan kemampuan yang dimilikinya. Pemberdayaan yang dimaksud ini agar
masyarakat dapat mengeluarkan kemampuan yang dimilikinya.
Pemerintahan daerah sebagaimana pendapat dari Soekanto memiliki beberapa peranan yaitu:30
1. Peranan menyangkut norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat, peranan dalam artian rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat;
2. Peranan sebagai suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
suatu organisasi;
3. Peranan dalam hal perilaku individu yang penting bagi suatu struktur sosial dimasyarakat.
Kebijakan pemerintahan dalam lingkup pemerintahan daerah (provinsi dan kota atau kabupaten,
dimana penyelenggaraan peraturan daerah didasarkan pada keberlakuan kebijakan pada tingkat pusat
dan kebijakan dalam dimensi hierarkhis yaitu:31
1. Kebijakan politik
Kebijakan politik diaktualisasikan dalam kebijakan hukum dengan bentuk peraturan daerah. Secara
konseptual kebijakan politik ini diartikan sebagai aturan hukum yamh dibentuk DPRD, yaitu keputusan
yang mengatur hal-hal umum dari suatu wilayah daerah.
2. Kebijakan kepala daerah
Kebijakan kepala daerah diaktualisasikan dalam kebijakan administrasi dalam bentuk keputusan
bupati, kepala daerah/ walikota kepala daerah.
Dalam hal menjalankan pemerintahan daerah berbasis desentralisasi secara nyata diwujudkan dalam
bentuk kebijakan publik. Pada perkembangannya, tugas pemerintah adalah menciptakan kesejahteraan
umum, dengan demikian kegiatan administrasi negara dikenal sebagai suatu kebijakan publik, seiring
dengan kebutuhan konkrit masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu didalam kebijakan publik, terkandung
upaya formulasi, implementasi, dan evaluasi secara konkrit dan terukur dalam merespon kebutuhan atau
persoalan dalam masyarakat umum.32
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

29
Meri Enita Puspita Sari, “Peran Pemerintah Dalam Penyediaan Akses Pelayanan Publik” 2, no. 1 (2018): 2.
30
Sari, “Peran Pemerintah Dalam Penyediaan Akses Pelayanan Publik,” 3–4.
31
Dewi, Studi Analisis Kebijakan, 67–68.
32
Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 118–119.

69
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

penyelenggara pemerintah daerah, Peran pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam
bentuk cara bertindak dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan
kewajiban pemerintah daerah dalam rangka mengurusi termasuk mengatur sendiri urusan pemerintahan
serta kepentingan masyarakatnya dengan tetap berlandaskan peraturan perundang-undangan.
Layaknya sebagai daerah otonom, pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat kewenangan mengatur serta mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat disesuaikan dengan aspirasi masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Peran pemerintah daerah juga dimaksudkan dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas perbantuan sebagai wakil pemerintah di daerah otonom yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Desentralisasi atau biasa juga disebut desentralisasi politik yaitu melaksanakan semua urusan yang
semula adalah kewenangan pemerintahan pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.34
2. Dekonsentrasi yaitu menerima pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi fertikal di wilayah tertentu untuk dilaksanakan;
dan
3. Tugas pembantuan yaitu melakukan segala urusan penugasan dari dari pemerintah kepada daerah atau
desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota, desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa dalam rangka melaksanakan tugas tertentu. Persoalannya adalah bagaimana pemerintah
daerah mampu menerima semua kewenangan yang diserahkan untuk dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.35
Tujuan filosofis dari otonomi daerah adalah untuk memacu kesejahteraan di tingkat daerah yang
kemudian akan menyumbang pada kesejahteraan secara nasional. Selain itu salah satu dimensi dari
kebijakan desentralisasi adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik.36
Pengaturan lebih mendalam terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah secara yuridis dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.37 Pemerintah
daerah diberikan kewenangan urusan pemerintahan. Kewenangan tersebut menyangkut urusan pemerintahan
wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri dari dua kelompok yakni urusan
pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar serta urusan pemerintahan wajib yang tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar. Secara rinci urusan berkategori wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar terdiri dari:
1. Menyangkut dalam bidang pendidikan;
2. Menyangkut bidang kesehatan;
3. Menyangkut bidang pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. Menyangkut bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5. Menyangkut bidang ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
6. Menyangkut bidang sosial.
Urusan wajib terkait kategori pelayanan dasar ini merupakan perhatian utama bagi pemerintah daerah
sehingga termasuk dalam “core business” pemerintahan daerah.38

33
Republik Indonesia, “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah” (2014), 90.
34
Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 120.
35
Ibid., 121.
36
Baharuddin Thahir, “Kebijakan sosial dan otonomi daerah,” Jurnal Kebijakan Pemerintahan Vol. 2 (2021): 99.
37
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
38
Thahir, “Kebijakan sosial dan otonomi daerah,” 99.

70
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

B.3 Sinergitas Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Perumusan Kebijakan

Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah hubungan yang unik. Pada
satu sisi, kontrol pusat kepada daerah cukup kuat namun disisi yang lain daerah juga memiliki tingkatan
fleksibilitas yang cukup tinggi dalam melaksanakan penetapan kebijakan.
Apabila sebuah kebijakan tidak diambil secara tepat maka kemungkinan akan terjadi kegagalan. Namun
apabila proses implementasinya tidak baik atau optimal maka yang terjadi adalah kebijakan tersebut gagal
mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada substansinya adalah cara
yang tepat agar sebuah kebijakan yang baik dapat mencapai tujuan sebagaimana yang ditetapkan oleh
para pembuat kebijakan.39
Kenyataan yang ada bahwa tidak semua kebijakan dapat berhasil diterapkan secara sempurna, karena
menyangkut kondisi riil yang sering berubah dan sukar diperediksikan. Beberapa hal tentang strategi
kebijakan yang penting dan sering dijumpai sebagaimana dinyatakan oleh Salusu:
1. Jangka waktu dalam pelaksanaan lebih lama dari rencana, koordinasi tidak berjalan efektif, pelaksana
tidak memilki keterampilan yang memadai, faktor eksternal kurang dikontrol dan seringnya dilupakan.
2. Kualitas kepemimpinan kurang memadai, sehingga memberikan pengarahan atau instruksi kepada
karyawan tidak tepat waktu, pelatihan yang jarang dilakukan, monitoring atas pelaksanaan tugas
ditingkat bawah sangat lemah.
Selain itu masalah-masalah yang sering muncul berkaitan dengan proses perumusan kebijakan yaitu
terdapat adanya asumsi, generalisasi dan simplifikasi, yang dalam penerapannya tidak mungkin dilakukan,
sehingga terjadi kesenjangan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilakukan.
Kesenjangan tersebut menurut Warnham penyebabnya adalah:40
1. Tidak tersedianya sumber daya saat dibutuhkan;
2. Minimnya informasi;
3. Tujuan dari unit organisasi sering bersebrangan sehingga dibutuhkan waktu yang panjang bagi
manajemen untuk menyesuaikannya.
Edward III menyampaikan:
“Even if sufficient resourches to implement a policy exist and implementers know what to do and want to
doit. Implemetation may still be thwarted because of defeciencies in bureaucrtic structure. Organzational
fragmentation may hinder the coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring the
cooperation of many people, and it may also waste secarce resourches, inhibit change, create confusion, lead
to policies working at cross-purposes, and result in important functions being overlooced”.

Walaupun sumber daya dalam mengimplementasikan kebijakan telah tercukupi, implementasi kebijakan
masih terhambat oleh bentuk inefesiensi struktur birokrasi. Inefisiensi struktur birokrasi dapat menjadi
penghambat koordinasi yang diperlukan guna keberhasilan kompleksitas implementasi sebuah kebijakan.
Persyaratan ini menegaskan kembali bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna di
antara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam suatu program pemerintah. Komunikasi memang
memainkan peran penting bagi berlangsungnya koordinasi dan implementasi pada umumnya.
Agenda dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik minimal terdapat 5 (lima) sasaran yaitu:41
1. Berkurangnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme pada birokrasi, dimulai dari jajaran pejabat yang
paling atas;
2. Terbentuknya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang efisien, efektif dan profesional,
transparan dan akuntabel;
3. Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara;
39
Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, 52.
40
Ibid., 60.
41
Ibid., 104.

71
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;


5. Adanya jaminan konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.
Hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan dapat menggunakan
metodologi tahapan proses pembuatan kebijakan yang berfungsi sebagai suatu prosedur yaitu dengan:42
1. Perumusan masalah, bertujuan untuk mendapatkan informasi kondisi-kondisi yang menimbulkan
masalah kebijakan;
2. Peramalan, yaitu penyediaan informasi terkait konsekuensi masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan;
3. Rekomendasi kebijakan, yaitu menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi
kedepan dari suatu pemecahan masalah;
4. Pemantauan atau monitoring, yaitu menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa
lalu dari alternatif kebijakan;
5. Evaluasi adalah menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan
masalah.
Dalam menjalankan metodologi kebijakan khususnya antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat
dilakukan dalam tahapan yang dimaksud diatas secara bersama-sama dan bersinergi. Fungsi koordinasi
dalam konteks pembinaan otonomi daerah serta penyelesaian permasalahan antar daerah tetap dilakukan
secara bersama antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana mestinya.
Sinergitas perumusan kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Daerah seyogianya sangat penting
utamanya dalam menyangkut beberapa aspek penting dalam kehidupan yaitu meliputi segi pendidikan,
kesehatan, sosial dan ekonomi serta aspek lainnya.
Untuk mewujudkannya haruslah tercipta komunikasi serta koordinasi yang baik dalam merumuskan
kebijakan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sehingga amanat konstitusi dan undang-
undang serta asas-asas pemberian otonomi daerah dapat berjalan sebagaimana-mestinya. Pada akhirnya
muara dari sinergitas tersebut adalah mewujudkan amanat konstitusi yaitu mewujudkan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

C. Penutup

C.1. Kesimpulan

Pemerintah pusat mengambil peran yang signifikan terhadap perumusan suatu kebijakan baik bersifat
nasional maupun kebijakan yang diambil Pemerintah daerah. Fungsi pemerintah pusat adalah dalam konteks
fungsi alokasi (allocation branch), fungsi distribusi (distribution branch), fungsi stabilisasi (stabilizaton
branch), fungsi pembangunan, dan fungsi Pemberdayaan. Peranan pemerintahan daerah selain melaksanakan
prinsip otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan juga dalam hal
pemberian kewenangan baik dalam urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Hal-
hal yang menyangkut peranan pemerintah daerah dapat sederahanakan yaitu dalam aspek pendidikan,
kesehatan, ekonomi dan sosial serta kewenangan lain yang diberikan atas asas otonomi oleh undang-undang.
Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan. Sinergi ini dilaksanakan dalam perumusan
suatu kebijakan. Masing-masing pihak baik pemerintah pusat dan daerah dapat secara bersama-sama
berkolaborasi dalam tahapan proses pembuatan kebijakan diantaranya adalah dalam tahap perumusan,
peramalan, rekomendasi, monitoring serta evaluasi kebijakan.

C.2. Saran

Dari penjelasan yang dikemukakan maka terdapat beberapa saran yaitu:


1. Dalam merumuskan suatu kebijakan daerah, sudah selayaknya pemerintahan daerah menggunakan
42
Dewi, Studi Analisis Kebijakan, 25.

72
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

tahapan-tahapan sesuai dengan kaidah dalam perumusan kebijakan maupun hal-hal yang dianggap
penting utamanya terhadap implementasi kebijakan nantinya.
2. Pemerintah pusat harus bersinergi dan mengambil peran dalam perumusan kebijakan daerah walaupun
tetap berpatokan pada asas desentralisasi yaitu terkait kewenangan daerah. Namun fungsi koordinasi
dan komunikasi dengan pemerintahan daerah merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam
rangka memperbaiki kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan tujuan awal pembentukannya.
Sinergitas dianggap penting demi menjaga amanat konstitusi dan undang-undang serta asas-asas
pemberian otonomi daerah dapat berjalan sebagaimana-mestinya.

73
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 61-75

Daftar Pustaka

Abdullah, Dudung. “Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.” Jurnal Hukum Positum 1,
no. 1 (2016): 83.

Agustino, Leo. Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Cetakan I. Bandung: Alfabeta, 2014.

Bungaran Antonius Simanjuntak, Iswan kaputra, Amrin Banjarnahor, Ali Muda Dalimunthe, Armansyah
Matondang, Feri Nofirman Tanjung. Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia: Merangkai Sejarah Politik
dan Pemerintahan Indonesia. Diedit oleh Prof.Dr.Bungaran Antonius Simanjuntak. Pertama. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonensia, 2013.

BW, Yeremia Sukoyo /. “Penerapan Otonomi Daerah Masih Temui Banyak Masalah.” BeritaSatu.Com. Last
modified 2021. Diakses Juni 16, 2022. https://www.beritasatu.com/nasional/766805/penerapan-
otonomi-daerah-masih-temui-banyak-masalah.

Dewi, Dr. Rahayu Kusuma. Studi Analisis Kebijakan. Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2016.

Fachruddin. Membangun Otonomi Daerah, Memperkuat NKRI. Diedit oleh Teguh Kresno Utomo Sulistio.
Jakarta: Serat Alam Media (SAM), 2016.

Hariyanto. “Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Berdasarkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi 3, no. 2 (2020): 99–115.

HR, Dr. Ridwan. Hukum Adminstrasi Negara. Revisi 12. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Jimly Assihddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Nugraha, Harry Setya. “Anomali Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.” Jurnal de Jure 13, no. 2 (2021): 76–91.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia,
1945.

———. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Indonesia, 2014.

Saiful Anam and Partners. “Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dalam Penelitian Hukum.”
Saiful Anam and Partners. Last modified 2017. Diakses Oktober 20, 2022. https://www.saplaw.top/
pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/.

Sari, Meri Enita Puspita. “PERAN PEMERINTAH DALAM PENYEDIAAN AKSES PELAYANAN PUBLIK” 2, no.
1 (2018): 1–12.

Sri Nur Hari Susanto. “Desentralisasi Asimetris dalam Konteks Negara Kesatuan.” Adminitrative Law &
Governance Journal Volume 2, no. Issue 4 (2019): 1–19.

Tahir, Arifin. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bandung: Alfabeta,
2014.

Thahir, Baharuddin. “Kebijakan sosial dan otonomi daerah.” Jurnal Kebijakan Pemerintahan Vol. 2 (2021):
91–102.

Tinggi, Pemerintah Kota Tebing. “Pentingnya Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah.” Website Resmi Pemerintah
Kota Tebing Tinggi. Last modified 2018. https://www.tebingtinggikota.go.id/berita/berita-umum/

74
Sinergitas Pemerintah Pusat dan... (Rodes Ober Adi Guna Pardosi)

pentingnya-sinergi-pemerintah-pusat-dan-daerah.

Hukum Online, Kala Dugaan Suap Wali Kota "Berkedok" CSR Klub Sepak Bola” , Last modified 2017,
https://www.hukumonline.com/berita/a/kala-dugaan-suap-wali-kota-berkedok-csr-klub-sepak-bola-
lt59c78c68f1d7f.

75
Rekonstruksi Perencanaan Pembentukan Undang-Undang Dalam
Akselerasi Partisipasi Masyarakat

Mar’atun Fitriah
Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
Email: fitriahmaratn@gmail.com

ABSTRACT

Planning is one of the stages that must be passed in the process of forming laws, so this research focuses on
the construction of legal rules that underlie the planning stages and the principles of community participation
that are intertwined therein. In this regard, this research was conducted with the aim to: First, unfold the
problems in regulating the planning phase of the formation of laws and elucidate the relation it has with people's
participation. Second, elaborate the idea of reconstruction in regulating the planning phase of the formation of
laws in support of people's participation. This research is anormative legal research with statutory approach
and the conceptual approach. The collection of research materials used a literature study, which was then
analyzed using qualitative methods. From the results of this research, the author draws conclusion that the
problems in planning the formation of laws are caused by the following things: First, the provisions related to
the planning substance aspects (criteria for planned substance and unplanned substance) were formulated
too broadly, consequently in their implementation, it caused problems in terms of the quantity of the National
Legislation Program. Second, provisions related to the mechanism or procedure for planning the formation
of laws in its implementation is not enforced consistently by legislators. In addition, the formulation of rules
related to ways of involving the people in the planning process for the formation of laws is not sufficiently
accommodating to the need for people's participation. Due to these problems, some reconstructions are required.
The form of the reconstructions are: First, the ways of collecting people's participation by accommodating
several new methods which have not been formulated in the legislation. Second, the addition of supervisory
authority to the Legislative Body as a means of internal control/supervision in the form of formal verification
of the requirements that must be enforeced by legislators in the planning phase. As an alternative to other
supervision, it can also adopt an exante review mechanism in formiil judicial review of the formation of laws
by the Constitutional Court as an effort to minimize formal violations committed by legislators before the law
is passed.

Keywords: Reconstruction; Law Making Process; Planning; Public Participation.

Abstrak

Perencanaan adalah salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses pembentukan undang-undang, maka
penelitian ini berfokus pada konstruksi aturan hukum yang mendasari tahapan perencanaan dan prinsip
partisipasi masyarakat yang terjalin didalamnya. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini dilakukan
dengan tujuan: Pertama, menjelaskan problematika pengaturan tahapan perencanaan pembentukan
undang-undang serta keterkaitannya dengan partisipasi masyarakat. Kedua, mengembangkan gagasan
rekonstruksi pengaturan perencanaan pembentukan undang-undang dalam mengakselerasi partisipasi
masyarakat. Metodologi penelitiannya ialah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-
undangan dan konseptual. Hasil penelitian menemukan problematika perencanaan pembentukan undang-
undang disebabkan oleh beberapa hal berikut: Pertama, terdapat ketentuan terkait aspek substansi
perencanaan (kriteria substansi yang terencana dan substansi yang tidak terencana) yang dirumuskan
terlalu luas sehingga dalam implementasinya menyebabkan persoalan dalam segi kuantitas prolegnas.
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

Kedua, ketentuan terkait aspek mekanisme atau prosedur perencanaan pembentukan undang-undang
dalam implementasinya tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pembentuk undang-undang. Selain
itu, rumusan aturan terkait cara-cara pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembentukan
undang-undang tidak cukup akomodatif terhadap kebutuhan penyelenggaraan partisipasi masyarakat. Oleh
karenanya bentuk rekonstruksi yang diperlukan ialah: Pertama, penguatan cara-cara partisipasi masyarakat
dengan mengakomodir beberapa cara baru yang belum dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
Kedua, penambahan kewenangan pengawasan kepada Badan Legislasi sebagai upaya sarana pengawasan
internal dalam bentuk verifikasi formal terhadap persyaratan yang harus dipenuhi pembentuk undang-
undang dalam tahapan perencanaan. Sebagai alternatif pengawasan lainnya maka dapat pula mengadopsi
mekanisme ex ante review dalam judicial review pembentukan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai upaya meminimalisir pelanggaran formil yang dilakukan pembentuk undang-undang sebelum
undang-undang disahkan.

Kata Kunci: Rekonstruksi; Proses Pembentukan Undang-Undang; Perencanaan; Partisipasi Publik.

A. Pendahuluan

Sistem pembentukan perundang-undangan khususnya undang-undang terus menjadi diskursus di ruang-


ruang publik tentang bagaimana menghasilkan suatu peraturan yang dapat menyelesaikan permasalahan
dalam masyarakat, memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat, dan akhirnya mampu mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur berdasar Pancasila. Mengingat peran undang-undang
penting dalam mencapai tujuan negara, maka proses pembentukannya perlu dilakukan secara terencana,
terpadu dan sistematis. Selain itu, proses pembentukannya harus menjamin ketersediaan ruang-ruang
partisipasi bagi masyarakat.
Peran peraturan perundang-undangan (tertulis-formal) sebagai salah satu sarana dalam mewujudkan
tujuan negara dapat dipahami sebagai konsekuensi dari tradisi hukum Eropa Kontinental dimana dekat
dengan konsep negara hukum (rechstaats) sebagaimana yang termaktub dalam Undang - Undang Dasar
1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).1 Tantangan pembentukan peraturan perundang-undang dewasa
ini berkutat pada permasalahan kualitasnya yang mana apabila dijabarkansetidak-tidaknya dapat dibagi
menjadi beberapa hal: Pertama, undang-undang tidak efektif, dalam arti tidak dapat mencapai tujuan yang
diharapkan; Kedua, undang-undang tidak implementatif; Ketiga, undang-undang yang tidak responsif, yang
sejak dirancang dan diundangkan mendapatkan penolakan yang keras dari masyarakat. Keempat, undang-
undang bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan kesulitan baru di masyarakat;
dan Kelima, muncul undang-undang yang tidak relevan dengan kebutuhan atau permasalahan yang ada
di masyarakat.2 Kondisi ini menyebabkan peran undang-undang sebagai sarana mencapai tujuan negara
tidak efektif.
Permasalah tersebut di atas berkaitan dengan daya laku (validity)3 dan daya guna (efficacy)4 sehubungan
dengan itu maka dapat diidentifikasi bahwa salah satu penyebab munculnya berbagai persoalan diatas
ialah karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Hal tersebut sejalan
dengan yang dinyatakan oleh Yuliandri dalam suatu risetnya bahwa terciptanya suatu peraturan perundang-
undangan yang responsif yang bersumber dari aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang lama
dan daya guna yang efektif untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat adalah muara dari pelaksanaan
1
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Indonesia adalah Negara Hukum”
2
Joko Riskiyono, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan”, Jurnal Aspirasi, Vol 6 No.2, Desember 2015, hlm 172
3
Mengukur daya guna suatu undang-undang dinilai dari implementasi norma tersebut apakah efektif atau tidak dalam
arti lain tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma tersebut tinggi berarti juga uu tersebut merupakan solusi yang
tepat bagi permasalahan yang ada di masyarakat. Lebih lanjut lihat di Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan:
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hlm.6.
4
Mengukur daya laku (validitas atau geltung) suatu undang-undang dinilai dalam tiga komponen yang saling terkait,
y, 2008, Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan, BPHN, Jakarta, hlm.21.
75
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

partisipasi masyarakat.5 Oleh karena itu, dalam proses pembentukan undang-undang sejak tahapan awal
hingga tahapan akhir dituntut untuk melibatkan sebanyak mungkin partisipasi dan menyerap sebanyak
mungkin aspirasi masyarakat.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya
disebut UU P3) diatur terkait mekanisme pembentukan Undang-Undang yang dibagi dalam tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.6 Tahapan
perencanaan merupakan tahap awal yang dapat dilakukan dalam mewujudkan misi terbentuknya undang-
undang yang berkualitas dan aspiratif sebab kualitas7 materi suatu undang-undang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses pembentukan undang-undang.8 Di Indonesia sendiri perencanaan
undang-undang dituangkan dalam bentuk instrumen yang disebut Program Legislasi Nasional (selanjutnya
disebut Prolegnas), instrument ini ditujukan untuk membangun materi hukum yang konsisten dengan
tujuan Negara dan berbasis pada kebutuhan masyarakat.9
Prolegnas sebagai bagian yang inheren dengan mekanisme perencanaan undang-undang, tentu dalam
penyusunannya harus melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat, terlebih karena letaknya berada
di tahapan awal pembentukan undang-undang. Konstruksi pengaturan terkait prolegnas sebagai instrumen
tahapan perencanaan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.10 Jika merujuk pada aturan
yang berlaku paling tidak konstruksi prolegnas dapat digambarkan ke dalam dua poin yaitu : Pertama,
pengaturan terkait aspek substansi yang menjadi kriteria dasar perencanaan pembentukan undang-undang.
Kedua, pengaturan terkait aspek mekanisme atau prosedur penyusunan prolegnas. Aspek substansi yang
menjadi kriteria dasar perencanaan pembentukan undang-undang atau penyusunan prolegnas terjabarkan
dalam Pasal 18 UU P311 yang mengatur bahwa salah satu parameter dalam menyusun prolegnas sebagai
instrumen perencanaan pembentukan undang-undang adalah aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pada titik ini menjadi keniscayaan bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam tahapan perencanaan proses
pembentukan undang-undang.
Implementasi aturan tersebut justru membawa sejumlah persoalan sebab penilaian atas frasa “aspirasi
dan kebutuhan hukum masyarakat” sangat kabur sehingga seringkali keputusan diserahkan sepenuhnya
kepada penilaian anggota-anggota legislatif yang menyebabkan kemudian banyak RUU yang diusulkan tidak
berdasarkan pada kebutuhan dalam rangka mengatasi permasalahan yang berkembang di masyarakat,
tetapi justru RUU yang diajukan lebih mengisyaratkan “keinginan” individual anggota Dewan Perwakilan
Rakyat atau partai semata. Sebagai contoh dalam kasus dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual dari Prolegnas tahun 2020 berdasarkan keputusan evaluasi terhadap Prolegnas Prioritas tahun
202012 padahal pada saat itu kasus kekerasan seksual sedang maraknya terjadi dan muncul dipermukaan.13
Keputusan itu sangat bertolak belakang dengan respon DPR terhadap beberapa RUU yang pembahasannya
justru dilanjutkan bahkan berhasil disetujui menjadi undang-undang di tahun yang sama walau mendapat
sejumlah protes dari kalangan masyarakat. RUU tersebut diantaranya: RUU Cipta Kerja dan RUU tentang

5
Yuliandri, dkk, 2014, “Pengkajian Hukum tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penentuan Arah Kebijakan Prioritas
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan”, Jakarta, hlm.7-8
6
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
7
Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.7.
8
Ibid.,
9
Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress,
Jakarta, hlm.366.
10
Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
11
Pasal 18 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan.
12
Haryanti Puspa Sari, “16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Priorotas, Salah Satunya RUU PKS”, diakses, 10 september
2021, pukul 14.00.
13
Aflina Mustafainah, dkk, “CATAHU Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2020: Perempuan Dalam Himpitan
Pandemi : ”, Komnas Perempuan, Jakarta, hlm.8.

76
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
termuat dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2020.14
Frasa “aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat” juga dikritik oleh Fahmi Ramadhan dalam
penelitiannya, ia menyebutkan bahwa multi tafsirnya ketentuan tersebut menjadikannya sulit untuk diukur,
lebih lanjut berpotensi menimbulkan korupsi legislasi pembentuk undang-undang.15 Selain itu, sistem
perencanaan legislasi melalui prolegnas yang sekarang digunakan berpotensi besar menghasilkan kegagalan
capaian dari aspek kuantitas karena desain prolegnas yang tidak mampu memperkirakan kapasitas dan
beban kerja Pemerintah maupun DPR.16
Aspek substansi lainnya dari perencanaan pembentukan undang-undang ialah ketentuan yang
memungkinkan suatu RUU masuk menerabas daftar RUU yang sudah dimuat dalam prolegnas. Ketentuan
tersebut lazim dikenal dengan sebutan kumulatif terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat 1 dan RUU
non-prolegnas yang termuat dalam Pasal 23 ayat 2 UU P3.17 Terakomodirnya ketentuan tersebut nyatanya
membuat prolegnas menjadi sering tidak dipatuhi oleh pembentuk undang-undang dan juga mengakibatkan
bertambahnya beban kerja DPR dan Pemerintah dibidang legislasi. Bahkan pembentuk undang-undang
(Pemerintah atau DPR) terindikasi menggunakan pasal tersebut sebagai jalan untuk menambahkan RUU
yang bermuatan politis, kepentingan oligarki, ataupun kepentingan kelompok tertentu yang jauh dari
kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Beberapa contoh nyatanya yaitu RUU Perubahan UU Mahkamah
Konstitusi dan RUU Perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua RUU tersebut masuk dalam
Prolegnas melalui ketentuan kumulatif terbuka “tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi” dan dalam
waktu singkat berhasil disahkan walaupun jika diteliti lebih jauh ada pelanggaran formil yang terjadi dengan
memasukkan RUU dalam daftar kumulatif terbuka akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi tetapi
perubahan isinya tidak hanya menyasar pasal-pasal yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi melainkan juga merubah pasal-pasal yang tidak terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi
yang dimaksud18 serta tidak menyertakan judicial order dari Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum
pembentukan pada konsiderannya.19
Upaya hukum yang tersedia untuk menggugat pelanggaran formil dalam proses pembuatan undang-
undang dapat dilakukan melalui formal judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tetapi upaya tersebut
baru dapat dilakukan setelah rancangan undnag-undang sah dan berlaku menjadi undang-undang. 20
Mekanisme yang tersedia tidak dapat mencegah timbulnya kerugian akibat keberlakuan suatu aturan.
Sehingga seharusnya perlu disediakan mekanisme lain untuk menggugat suatu pelanggaran formil dan
dapat dilakukan sebelum undang-undang tersebut berlaku. Dalam literatur hukum, dikenal istilah ex ante
review dalam judicial review, yang memungkinkan peradilan untuk memerikasa dugaan pelanggaran formil
yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang sebelum RUU disahkan dan berlaku.21
Persoalan yang berkaitan dengan aspek substansi semakin pelik apabila ditambah dengan persoalan
aspek prosedur/mekanisme dalam proses perencanaan pembentukan undang – undang. Hasil dari riset yang
dilakukan oleh PSHK terhadap proses pembentukan undang-undang sepanjang tahun 2020 menunjukkan
temuan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun dan kembali terjadi pada 2020, yakni ketidakpatuhan
DPR dan pemerintah terhadap prosedur pembentukan undang-undang, salah satunya ialah pengabaian
14
Surat Keputusan DPR No. 1/DPR RI/II/2019-2020.
15
Fahmi Ramadhan Firdaus, 2021, Mewujudkan Pembentukan Undang-Undang yang Partisipatif, Amerta Media,
Banyumas, hlm.23.
16
PSHK, 2013, Catatan Kinerja DPR Tahun 2012: Fondasi Tahun Politik, PSHK, Jakarta, hlm.18
17
Lihat Pasal 23 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
18
Lihat Risalah Sidang Perkara No. 100/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formiil UU No. 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
19
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
20
Lihat Pasal 2 ayat 3 Peraturan Mahkama Konstitusi No.2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
21
Victor Imanuel W.Nale, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap RUU di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol.10
No.3 (September 2013), hlm.443-444.
77
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

ketentuan dalam undang-undang terkait penyediaan ruang partisipasi publik baik dalam tahapan penyusunan
RUU (bagian dari proses perencanaan) maupun dalam tahap pembahasannya.22 Padahal dengan dibukanya
partisipasi dalam tahapan perencanaan pembentukan undang-undang akan memberikan justifikasi yang
memadai atas pilihan-pilihan yang diambil oleh pembentuk undang-undang dalam mendorong suatu
RUU masuk dalam prolegnas (instrumen perencanaan) sehingga dapat pula meningkatkan legal efficacy
dan rational acceptability suatu undang-undang. Memastikan keterlibatan masyarakat terakomodir sejak
tahapan ini sangat penting sebab dalam tahapan inilah terjadi proses identifikasi masalah dalam rangka
membuat undang-undang, proses ini dapat berjalan efektif apabila para pemangku kepentingan (stakeholders)
berpartisipasi dalam memberikan masukan.
Pasal 96 ayat 1 UU P3 secara umum telah menjamin bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khusus untuk tahapan
perencanaan jaminan atas bentuk atau cara keterlibatan masyarakat dalam prosesnya termuat dalam aturan
teknis tata cara pelaksanaan perencanaan pembentukan undang-undang bagi lembaga yang berwenang.
Dalam hal ini lembaga yang berwenang dalam perencanaan pembentukan undang – undang yaitu DPR23
, Pemerintah,24 dan DPD25. Proses perencanaan pembentukan undang-undang bermula dari tahapan
penyusunan, pembahasan, dan penetapan prolegnas. Lalu berlanjut pada tahapan penyusunan draf RUU
atau dengan kata lain tahapan legislative drafting, setelah penyusunan draf RUU selesai lalu kemudian
draft RUU tersebut dikirimkan kepada Pemerintah (dalam hal RUU disusun oleh pihak DPR) ataupun DPR
(dalam hal RUU disusun oleh pihak Pemerintah) maka inilah menjadi tanda berakhirnya proses perencanaan
pembentukan undang-undang. Walau dengan adanya Pasal 96 UU P3 tetapi pada nyatanya persoalan
partisipasi terus menjadi tantangan dalam proses pembentukan undang-undang. Padahal keharusan adanya
partisipasi dalam pengambilan keputusan publik (participatory democracy)26 merupakan konsekuensi logis
dari dianutnya kedaulatan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Hal ini
juga dinyatakan oleh R.M Peters bahwa: “All modern constitutions or basic laws contain the concept and
principle of popular sovereignty, which essentially means that the people are the ultimate source of public
power or government authority. The concept of popular sovereignty holds simply that in a society organized
for political action, the will of the people as a whole is the only right standard of political action”.27

Tahapan perencanaan merupakan salah satu bagian dari procedural due process of law making bertujuan
untuk memastikan substantive due process of law making berupa undang-undang yang berkualitas dapat
terpenuhi. Berkualitas yang dimaksud tentunya merujuk pada undang-undang yang demokratis, aspiratif,
partisipatif dan berkarakter responsif/populistis 28 atau undang-undang yang merepresentasikan kepentingan
warga negara secara kolektif. Tetapi dengan berbagai persoalan yang sebelumnya sudah dijabarkan maka
dapat diketahui bahwa partisipasi belum dipandang sebagai aspek vital untuk membantu dalam mewujudkan
undang-undang yang berkualitas, dalam kontek perencanaan pembentukan undang-undang pandangan
bahwa prolegnas yang merupakan instrument perencanaan diposisikan sekadar ‘daftar keinginan’ atau ‘daftar
judul’ pada gilirannyapun menyebabkan partisipasi pada tahap ini hanya sebagai syarat formal belaka.29
Berangkat dari aturan hukum terkait perencanaan dan partisipasi dalam prosesnya serta berbagai
persoalan implementasinya sebagaimana yang penulis uraikan di atas, maka hemat penulis indikator
22
PSHK, 2019, Legislasi Masa Pandemi : Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020, YSHK, Jakarta, hlm.7-9.
23
Aturan teknisnya merujuk pada Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang jo
Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional
24
Aturan teknisnya merujuk pada Peraturan Presiden RI No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
25
Aturan teknisnya merujuk pada Peraturan DPD RI No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib
26
Edi Wibowo et.al, 2004, Kebijakan Publik dan Budaya, YPAPI, Yogyakarta, hlm. 31.
27
Laszlo Vertesy, “The Public Participation in the Drafting of Legislation in Hungary”, International Public Administration
Review, Vol.14 No.4 (November 2016), hlm.116.
28
Mahfud MD, 2017, Politik hukum di Indonesia, Cetakan ke-7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.363.
29
Dikemukakan oleh Pataniari Siahaan dalam penelitian disertasinya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku. Lebih
lanjut lihat di Pataniari Siahaan, Politik Hukum……..Op.Cit,hlm.361
78
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

partisipasi dalam perencanaan pembentukan undang-undang mengalami sejumlah hambatan sehingga


menarik bagi penulis sendiri untuk mengurai lebih lanjut problem tersebut dalam penelitian dengan judul
“Rekonstruksi Perencanaan Pembnetukan Undang-Undang dalam Akselerasi Partisipasi Masyarakat”.

B. Pembahasan dan Analisis

B.1. Konstruksi Hukum Perencanaan Pembentukan Undang-Undang

Perencanaan merupakan bagian dari proses pembuatan undang-undang sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 1 UU P3 bahwa “…. pembuatan peraturan perundang-undangan mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”. Bertalian
dengan itu Pasal 1 angka 9 jo Pasal 16 UU P3 telah secara tegas memberikan definisi bahwa Prolegnas
merupakan “instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang …….” dan “…….perencanaan
penyusunan undang-undang dilakukan dalam prolegnas”. Semua ketentuan tersebut membentuk persepsi
bahwa kedudukan dokumen prolegnas inheren atau melekat dengan proses pembentukan undang-undang
khususnya pada tahapan perencanaan.
Konstruksi hukum tahapan perencanaan dalam proses pembentukan undang-undang dapat ditemukan
dalam UU P3. Paling tidak menurut penulis terdapat dua hal yang penting untuk diketahui berkaitan dengan
konstruksi hukum perencanaan, yaitu:
a. Hal terkait aspek substansi yang menjadi kriteria dasar perencanaan pembentukan undang-undang.
Kriteria substansi ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu: Pertama, kriteria substansi yang terencana
mengatur skala atau batasan substansi yang disebut prioritas, terjabarkan pada pasal 1830; Kedua,
substansi yang tidak terencana mengatur hal atau alasan pembentukan undang-undang di luar dari
substansi yang terencana, terjabarkan pada pasal 2331 .
b. Hal terkait aspek mekanisme atau prosedur. Aspek ini berkaitan dengan proses dimulai dan berakhirnya
tahapan perencanaan dalam proses pembentukan undang-undang. Tahapan perencanaan dimulai
dengan menyusun prolegnas. Secara garis besar, proses penyusunan prolegnas mencakup 3 (tiga)
tahapan, yaitu: Tahap kompilasi, tahap penyusunan dan pembahasan program legislasi, dan terakhir
tahap penetapan.
Setelah proses penyusunan prolegnas, tahapan selanjutnya dari perencanaan pembentukan undang-
undang yaitu penyusunan RUU sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 UU P332 bahwa
penyusunan RUU dilakukan berdasarkan prolegnas dengan kata lain setelah prolegnas ditetapkan penyusunan
draf (materi muatan) RUU baru dimulai. Penyusunan draf (materi muatan) RUU yang termuat dalam
prolegnas dilaksanakan oleh instansi/lembaga (Pemerintah, DPR, maupun DPD) yang telah ditetapkan
atau ditunjuk pula dalam keputusan DPR tentang penetapan prolegnas. Oleh karena dalam penyusunan
dan perumusan draf (materi muatan) RUU dapat dilakukan oleh tiga lembaga negara (Pemerintah, DPR,
maupun DPD) maka proses penyusunan dan perumusan draf RUU pada masing-masing lembaga dapat
dirincikan sebagai berikut:
a. RUU yang berasal dari DPR.
1) Penyiapan atau Penyusunan RUU. RUU yang berasal dari DPR dapat disusun oleh anggota DPR, Komisi,
gabungan Komisi atau Baleg yang dibantu oleh tenaga ahli alat kelengkapan dewan atau Badan Keahlian.
2) Penyebarluasan dan Pengharmonisasin, pembulatan, serta pemantapan konsepsi oleh Badan Legislasi.
RUU yang telah selesai disusun disebarluaskan guna mendapat masukan dari masyarakat dan kelompok

30
Lihat Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 berbunyi: “Prolegnas harus disusun berdasar atas a). perintah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c). perintah Undang-Undang lainnya; d). sistem perencanaan pembangunan nasional; e). rencana pembangunan jangka
panjang nasional; f). rencana pembangunan jangka menengah; g). rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
dan h). aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat”.
31
Lihat Pasal 23 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019”.
32
Lihat Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 berbunyi: RUU, baik yang berasal dari DPR maupun
Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
79
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

kepentingan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap aspek teknik, aspek substansi, dan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan
3) Pengambilan Keputusan dalam rapat paripurna DPR. Proses ini menyepakati usulan RUU menjadi RUU
dari DPR dengan keputusan berupa: persetujuan tanpa perubahan, persetujuan dengan perubahan,
atau penolakan. Jika keputusannya berupa penolakan maka RUU tidak dapat lagi diajukan pada
persidangan DPR pada masa itu. Jika keputusannya berupa persetujuan dengan perubahan maka
RUU disempurnakan terlebih dahulu. Jika keputusannya berupa persetujuan tanpa perubahan maka
RUU langsung disampaikan kepada Presiden.33
b. RUU yang berasal dari Pemerintah.
1) Penyiapan atau Penyusunan RUU. Dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan
fungsi di bidang Peraturan Perundang-undangan pada instansi Pemrakarsa.
2) Pembahasan RUU dalam Rapat panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian.
Keanggotaannya terdiri dari unsur: kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum; kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian dan/atau lembaga lain yang terkait
dengan substansi yang diatur dalam RUU; dan perancang Peraturan Perundang-undangan yang berasal
dari instansi Pemrakarsa.
3) Penyebarluasan. RUU yang telah selesai disusun disebarluaskan guna mendapat masukan dari
masyarakat dan kelompok kepentingan.
4) Pengharmonisasin, pembulatan, dan pemantapan konsepsi. Dilakukan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum
5) Penyampaian RUU oleh Presiden kepada DPR. RUU yang disampaikan disertai dengan surat Presiden
berisi penunjukan Menteri yang akan mewakili pemerintah dalam tahapan pembahasan RUU.34
c. RUU yang berasal dari DPD.
(Khusus yang berkaitan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan
keuangan pusat dan daerah).35
1) Penyiapan atau Penyusunan RUU. RUU yang berasal dari DPD disusun oleh komite atau Panitia
Perancang Undang-Undang (PPUU).
2) Pengharmonisasin, pembulatan, dan pemantapan konsepsi. Proses ini diarahkan untuk mewujudkan
keselarasan konsep usul RUU dengan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, tujuan nasional, dan memuat
kesesuaian unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis.
3) Uji Sahih dan Ulasan Pakar. Draf RUU yang telah selesai, dapat dimintai masukan dari masyarakat
melalui uji sahih dan ulasan pakar sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU.
4) Tahap Penyampaian kepada DPR. Setelah RUU yang sudah disusun mendapat pengesahan dalam
Sidang Paripurna DPD maka selanjutnya RUU tersebut disampaikan kepada DPR dengan surat Pimpinan
DPD. Penyampaian sebagaimana dimaksud dilakukan secara langsung dari Ketua DPD RI kepada Ketua
DPR RI. Selanjutnya Ketua DPR meneruskannya kepada Presiden.
Pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan RUU dimulai dari tahapan penyiapan
atau penyusunan dan berakhir pada penyampaian RUU serta terbitnya surat Presiden tentang penunjukkan
Kementerian yang akan menjadi mitra DPR dalam pembahasan RUU yang ditujukan kepada ketua DPR.
Pada titik ini juga menjadi akhir dari proses yang perlu dilalui dalam perencanaan pembentukan undang-
undang. Dengan konstruksi hukum sebagaimana di atas maka sesungguhnya dalam proses perencanaan
33
Lihat pada Pasal 46 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo
PerDRR No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
34
Lihat pada Pasal 47 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo
Peraturan Presiden RI No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
35
Lihat pada Pasal 48 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo
PerDPD No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib.
80
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

pembentukan undang-undang (tercakup pula kegiatan penyusunan NA dan draf RUU) terbuka ruang
bagi masyarakat untuk memberikan masukan mengenai materi muatan atau substansi RUU. Masukan
masyarakat sangat diperlukan dalam rangka penyempurnaan materi muatan atau substansi RUU karena
tidak menutup kemungkinan terdapat kekeliruan perumusan dari pembentuk undang-undang sehingga
RUU yang disusunnya bisa saja belum menjawab problematika yang muncul.
B.2. Problematika Dalam Konstruksi Hukum Perencanaan Pembentukan Undang-Undang.

Problematika yang dimaksud pada bagian ini akan dijabarkan ke dalam dua aspek, yaitu: pada aspek
substansi dan aspek mekanisme dalam perencanaan pembentukan undang-undang.
a. Kriteria Substansial Rancangan Undang-Undang yang Dimuat Dalam Prolegnas
Dalam definisinya disebutkan bahwa prolegnas disusun secara sistematis berarti penyusunannya
didasarkan pada metode dan parameter tertentu untuk menjamin tercapainya tujuan. Parameter tersebut
berkaitan dengan tolak ukur ataupun indikator yang dipergunakan dalam menentukan ruu yang menjadi
skala prioritas untuk dibahas dalam satu tahun atau dalam kurun waktu lima tahun di DPR. Terdapat
beberapa indikator dalam penyusunan daftar RUU dalam prolegnas yang harus dipenuhi sebagai suatu
arah kebijakan, salah satunya yaitu: aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.36
Indikator ‘aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat’ tersebut menurut penulis sangat berpengaruh
dalam menambah panjang daftar RUU dalam prolegnas sehingga sulit untuk dikendalikan. Dengan
terumuskannya ketentuan tersebut maka membuka ruang penafsiran yang luas, seakan-akan tanpa
batasan bagi lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan mengusulkan RUU. Selain itu, dalam
implementasinya pun tentu rumusan tersebut akan menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menjadi
kriteria ‘kebutuhan hukum’ itu?, terlebih karena di dalam UU a quo tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut
terkait rumusan tersebut, maka tentu akan berimpilkasi pada timbulnya penafsiran berbeda-beda, setiap
pihak yang mempunyai kewenangan mengusulkan ruu akan dengan mudah mengklaim bahwa ruu tersebut
merupakan ‘kebutuhan hukum masyarakat’ walaupun substansinya justru mencerminkan persepsi sepihak
para pengambil kebijakan yang memuat ‘kepentingan hukum kelompok-kelompok yang berkuasa’.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa rumusan yang multi tafsir tersebut berpotensi menimbulkan
permasalahan dimana prolegnas yang ditujukan sebagai sarana kontrol atas pembentukan undang-undang
baik secara kuantitas serta kualitasnya menjadi sulit terealisasi. Selain itu multi tafsirnya ketentuan tersebut
juga dapat memunculkan potensi keadaan sebagaimana yang disebut oleh Fahmi Ramadhan sebagai
korupsi legislasi, lebih lanjut ia menyatakan bahwa seharusnya kriteria substansial untuk memasukan
RUU kedalam Prolegnas berdasar pada ‘kebutuhan hukum masyarakat’ dapat diukur dengan melibatkan
publik dalam proses penyusunan Prolegnas.37
Permasalahan prolegnas dari segi kuantitas sudah sejak lama menuai kritik dan evaluasi. Misalnya saja
dapat dilihat dari laporan BPHN terkait evaluasi pelaksanaan prolegnas tahun 2005-2009 yang menyatakan
bahwa beberapa faktor yang menghambat realisasi prolegnas antaralain: terkait jumlah rencana legislasi
yang terlalu banyak untuk diselesaikan selama lima tahun.39 Belum lagi dalam jangka waktu tersebut
terdapat penambahan jumlah ruu yang masuk sebagai usulan ruu non-prolegnas sehingga menambah
panjang daftar ruu yang harus dibahas pada kurun waktu tersebut. Jumlah tersebut sangat berbanding
jauh dengan jumlah capaian ruu yang mampu diselesaikan oleh DPR dalam waktu yang bersangkutan.
Tidak banyak mengalami perubahan, kritik BPHN atas prolegnas tahun 2005 tersebut diatas masih menjadi
kritik pelaksanaan prolegnas pada saat ini dan beberapa tahun belakangan. Sebagaimana temuan yang
diuraikan oleh Indonesia Parliamentary Center bahwa capaian legislasi periode tahun 2015-2019 hanya
36
Lihat Pasal 18 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
37
Fahmi Ramadhan Firdaus, Mewujudkan Pembentukan……Op.Cit,hlm.88.
38
Pada prolegnas jangka menengah 2005-2009 ditetapkan sebanyak 284 RUU. Lebih lanjut lihat di 3 Dekade Prolegnas,
BPHN Departermen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm.49.
39
Pada tahun 2005 ditetapkan sebanyak 284 (dua ratus delapan puluh empat) RUU, tetapi selama satu tahun berikutnya
di lingkungan pemerintah saja telah muncul 17 (tujuh belas) rencana legislasi baru Usulan-usulan rencana legislasi
baru tersebut disebut RUU non-Prolegnas. Lebih lanjut lihat di ibid.,

81
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

mampu mengesahkan 89 RUU. Jumlah tersebut dianggap sangat rendah mengingat prolegnas jangka
menengah 2015-2019 menargetkan 189 RUU. 89 RUU yang mampu diselesaikan tersebutpun masih lebih
didominasi oleh jumlah ruu yang berasal dari daftar non-prolegnas.40
Tidak hanya bermasalah dalam hal kuantitas dimana jumlah capaian yang minim dari target yang
sudah ditentukan, kualitas UU yang dihasilkanpun menimbulkan polemik di masyarakat. Salah satu contoh
yang akan penulis ulas dalam sub-bab ini yaitu UU Ibukota Negara, sejak masuk pertama kali kedalam
prolegnas tahun 202041 lalu kemudian masuk lagi pada prolegnas 202142 dan 202241, menuai sejumlah
kritik dari beberapa fraksi, misalnya: Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PKS walau demikiam
tidak mengurunkan niat untuk tetap melanjutkan RUU ini.44 Pertimbangan dan kritik yang disampaikan
oleh fraksi-fraksi tersebut tidak dihiraukan hingga masuk tahap pembahasan di DPR pertanggal 2 Desember
2021 setelah DPR menerima Surat Presiden (surpres) No. 44/Pres/09/2021 tertanggal 29 september 2021,
dan akhirnya RUU IKN dapat disetujui menjadi UU pertanggal 18 Januari 2022.45
DPR menunjukkan argumentasi yang lemah dalam mempertimbangkan agenda legislasi mana yang
akan didorong oleh mereka dalam suatu periode untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat. Standar
ganda seringkali terlihat dalam argumentasi DPR dalam memutuskan untuk menyusun dan membahas RUU
pada suatu periode. Sebagai contoh pada prolegnas prioritas tahun 2020, RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual (RUU PKS) dihapus dari prolegnas tahun tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan prolegnas
dengan alasan sulitnya pembahasan dan masih menimbulkan kontroversi di publik. Sementara sejumlah
RUU lainnya diprolegnas tahun yang sama seperti salah satunya RUU Cipta Kerja yang juga mendapatkan
penolakan luas dari publik tetap dilanjutkan pembahasannya bahkan sampai disahkan.46 Selain RUU PKS,
terdapat beberapa lagi undang-undang yang dianggap penting oleh masyarakat dan didorong untuk segera
dituntaskan tetapi justru tidak dijadikan prioritas oleh DPR, seperti : RUU Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Data Pribadi.47 Dari sini terlihat ada problematika
dalam menerjemahkan kebutuhan hukum masyarakat sehingga diperoleh sebuah keputusan agenda legislasi
mana yang hendak didorong untuk segera diselesaikan.
Dari uraian poin diatas (kuantitatif dan kualitatif) maka dapat terlihat bagaimana ketentuan terkait
frasa “aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat” menimbulkan problematika dalam implementasinya.
Dengan rumusan yang terlalu umum dan kabur tersebut dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan
interpretasi berbeda antara ‘kebutuhan hukum’ dalam versi masyarakat dan ‘kebutuhan hukum’ dalam versi
penguasa. Sehingga bisa saja suatu undang-undang diadakan tidak dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat, apalagi jika diperburuk dengan proses atau tahapan yang minim keterbukaan dan partisipasi
masyarakat.
Rumusan ‘aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat’ harus dilihat dan dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 19 jo Pasal 44 jo Lampiran I UU 12/2011 yang mana pada intinya mensyaratkan bahwa penyusunan
prolegnas harus disertai dengan suatu naskah akademis yang memuat salah satunya tentang landasan
sosiologi dibentuknya suatu UU.48 Secara sederhana dapat dipahami bahwa landasan sosiologis merupakan
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
40
Dari 189 RUU , Laporan Pemantauan DPR Tahun 2019: Tantangan Efektifitas, Transparansi, dan Representasi yang
Belum Terjawab, Indonesia Parliamentary Center, Jakarta, hlm.16.
41
Surat Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/II/2019-2020 tertanggal 22 Januari 2020, diakses 21 Januari 2022,
42
Surat Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/II/2020-2021 tertanggal 23 Maret 2021, 21 Januari 2022, Pukul 13.20.
44
Dikutip di dalam sebuah berita, salah satu catatan yang disampaikan oleh Fraksi PKS terkait prolegnas prioritas
tahun 2021 21 Januari 2022, Pukul 13.25.
45
Berita Legislasi, “DPR Setujui RUU IKN”, diakses di laman DPR RI, 21 Januari 2022, Pukul 13.37.
46
Rofiq Hidayat, “Pembentuk UU Rombak Daftar Prolegnas 2020 Menuai Kritik”, Hukum Online, diakses di https://bit.
ly/3n4JTkZ, 23 Januari 2022, Pukul 12.00.
47
Charles Simabura, Ronald Rofiandri&Lidwina Inge, 2021, Laporan Studi Dokumen : Penguatan Partisipasi Publik
dalam Proses Legislasi di Tengah Pandemi Covid-19, Cakra Wikara Indonesia, Jakarta, hlm.46.
48
Selain landasan sosiologis tentu perlu pula menyertakan landasan filososfi dan landasan yuridisnya.
82
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara yang digali secara mendalam melalui
penjaringan aspirasi atau masukan masyarakat.
Hubungan antara frasa ‘kebutuhan hukum masyarakat’ dengan ‘landasan sosiologis’ yang termuat
dalam naskah akademik membuat kedudukan naskah akademik ini sangat penting sebagai syarat dalam
merencanakan suatu pembentukan undang-undang. Keberadaan dasar sosiologis dimaksudkan untuk
menumbuhkan dan mengembangkan akar-akar sosial dari diri masyarakat, agar dikemudian hari tidak terjadi
kondisi dimana peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan ditolak oleh masyarakat dengan
wujud ketidakmauan untuk menegakkan peraturan tersebut atau dilakukan melalui aksi demonstrasi untuk
menentangnya.49 Selain untuk membentuk legitimasi sosial, uraian atas landasan sosiologis juga menjadi
aspek penilaian atas urgensitas suatu kebutuhan masyarakat untuk diatur dalam suatu undang-undang
sehingga perlu dimasukkan kedalam prolegnas, secara bersamaan juga menjadi salah satu sarana kontrol
atas kuantitas dan kualitas -dalam hal ini substansi- undang-undang yang akan dibentuk. Ini menjadi
catatan penting agar daftar prolegnas tidak sekedar menjadi daftar “judul-judulan” atau daftar keinginan
semata tanpa urgensi dan signifikansi.
b. Rancangan Undang-Undang di Luar yang Ditetapkan dalam Prolegnas
UU P3 mengatur pembentukan undang-undang haruslah dimulai dengan suatu perencanaan.
Namun, dengan beberapan alasan tertentu RUU yang telah dimuat dalam prolegnas dapat disisipi dengan
materi (RUU) baru. Alasan-alasan yang dibenarkan secara hukum telah dimuat dalam Pasal 23 UU a quo.
Dengan adanya pengaturan yang demikian ini berarti RUU yang sudah termasuk dalam daftar prioritas
(prolegnas) tidak bersifat mutlak. Apabila timbul kebutuhan yang benar-benar objektif dan mendesak atau
memenuhi syarat yang ditetapkan diatas maka di tengah jalan pun dapat diajukan dan ditambahkan RUU
yang baru ke dalam daftar resmi RUU yang diprioritaskan.
Praktik yang berkembang setelah berlakunya aturan tersebut, ternyata justru menimbulkan
problematika, karena ketentuan “keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional”
dirumuskan terlalu longgar sehingga membuka pula ruang interpretasi yang dapat megarah pada pembentukan
undang-undang yang menyangkut kepentingan politik sesaat bukan berdasar pada kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Problematika akan pengaturan yang memungkinkannya suatu RUU masuk menerabas daftar
RUU yang sudah dimuat dalam prolegnas, sesungguhnya sudah mendapat kritik dari berbagai ahli, salah
satunya dari Andi Irman Putra, ia menuliskan dalam suatu penelitian yang dilakukannya bahwa target
Prolegnas tidak pernah tercapai bahkan lebih sering prioritas pembahasan didasarkan pada kebutuhan
undang-undang yang saat itu mendesak, apalagi yang menyangkut kepentingan politik.50
Riset yang dilakukan oleh PSHK menunjukkan jumlah prolegnas periode 2014-2019 ialah 193
RUU, jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan 33 RUU kumulatif terbuka yang berasal dari ratifikasi
perjanjian international dan RUU sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.51 DPR dan Pemerintah
menjadikan prolegnas semacam menu yang bisa dengan mudah ditambah-tambah sesuai dengan selera
mereka. Padahal penambahan usulan tersebut juga tidak menjamin DPR dan pemerintah dapat menyelesaikan
RUU baru tersebut. Periode prolegnas yang lebih terbarupun menunjukkan kenyataan yangmana RUU non-
prolegnas masuk dan dibahas tanpa didasari oleh pertimbangan yang jelas, hal ini termuat dalam hasil
pemantauan yang dilakukan oleh Indonesia Parliamentary Center (IPC) terhadap kinerja legislasi DPR RI
periode prolegnas 2015-2019. Sebanyak 2 RUU berhasil disahkan yang sebelumnya tidak terdaftar di dalam
Prolegnas 2015-2019, salah satunya yaitu: Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.53
49
Yuliandri, dkk, “Pengkajian Hukum tentang Partisipasi….Op.Cit, hlm.58.
50
Andi Irman Putra, 2008, Peran Prolegnas Dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan UUD
1945 (Pasca Amandemen), BPHN, Jakarta, hlm.65.
51
PSHK, 2019, Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi di Indonesia: Prosiding Forum Akademik Kebijakan
Reformasi Regulasi 2019, PSHK, Jakarta, hlm.60
52
Indonesia Parliamentary Center, 2020, Tantangan Reformasi Parlemen , Jakarta, hlm.3.
53
Indonesia Parliamentary Center, 2020, Laporan Pemantauan : Catatan Legislasi Tahun 2020 dan Outlook Legislasi
2021, IPC, Jakarta, hlm.12.
83
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

Tahun 2020, DPR dan Pemerintah telah menyelesaikan perubahan ketiga UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menjadi UU No. 7 Tahun 2020 untuk menindaklanjuti sejumlah norma dalam UU MK
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dinyatakan konstitusional bersyarat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud yaitu: Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU- Xl/2013. Dalam
catatan pemantauan kinerja legislasi periode 2020 yang dilakukan oleh Indonesia Parliamentary Center (IPC)
ditemukan bahwa UU a quo menyertakan naskah akademik yang bukanlah merupakan naskah akademik
yang baru (yang dibuat dalam rangka perubahan ketiga UU MK) melainkan naskah akademik yang lama
yang dibuat dalam rangka perubahan kedua UU MK (UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang).42 Catatan lainnya,
naskah akademik yang adapun bermasalah dalam hal format yang tidak sesuai dengan ketentuan UU P3
(Lampiran I UU P3: Teknik Penyusunan Naskah Akademik) serta naskah akademik disusun dengan tidak
ditopang oleh data yang akurat.54
Selain itu, UU a quo yang masuk sebagai RUU melalui ketentuan kumulatif terbuka akibat putusan
Mahkamah Konstitusi, nyatanya pada konsideran menimbang tidak mencantumkan putusan MK menjadi
dasar perubahan materi UU a quo. Padahal jika perubahan materi undang-undang memang diperuntukkan
pada pasal yang diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi maka penting untuk mencantumkan
putusan dimaksud dalam konsideran menimbang yang merupakan ringkasan penjabaran landasan materiil
konstitusional suatu undang-undang. Faktanya pun, bila menelusuri lebih lanjut materi UU a quo yang
dirubah pada batang tubuh, ternyata DPR dan Pemerintah tidak hanya mengubah materi muatan yang
diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi tetapi juga mengubah sejumlah materi muatan lainnya.55
Catatan tambahan, dasar dimasukkannya Revisi UU MK ke dalam daftar kumulatif terbuka yang diusulkan
tahun 2020 adalah produk-produk putusan MK di tahun 2011, 2012, dan 2013. Terdapat rentang waktu
yang sangat jauh antara putusan tersebut dengan pencantuman RUU Revisi UU MK dalam daftar kumulatif
terbuka, sehingga perubahan pada tahun 2020 terbilang amat terlambat.56
Pada dasarnya adalah hak DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan tersebut, namun
berdasarkan UU P3, jika pilihan DPR dan Pemerintah menggunakan mekanisme RUU kumulatif terbuka
maka perubahan tersebut seharusnya hanya dilakukan terhadap pasal dan/atau ayat yang diamanatkan
dalam putusan MK. Bukannya melebar pada pasal dan ayat lainnya. Apabila pilihannya tetap melakukan
perubahan dengan peluasan materi maka seharusnya RUU tersebut dimasukkan dalam prolegnas prioritas
tahun berikutnya yang disertai dengan konsepsi, naskah akademik, dan RUU yang kesemuanya harus
disusun dengan melibatkan partisipasi publik. Dimana partisipasi publik ini juga tidak dilaksanakan dalam
pembentukan UU a quo karena ditetapkan sebagai RUU kumulatif terbuka sebagai tindak lanjut putusan
Mahkamah Konstitusi.57 Revisi UU MK yang dilakukan tanpa dasar urgensi yang jelas memang merupakan
salah satu tanda tanya besar dalam politik legislasi selama 2020.
Dari sisi yuridis, munculnya berbagai RUU diluar daftar Prolegnas atau ditengah prolegnas yang
berjalan memang diberikan ruang, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran. Seperti
yang sudah diulas di atas dasar hukum dari RUU non- prolegnas merujuk pada Pasal 23 ayat 2 UU P3,
pengaturan lebih lanjut terkait teknis pengajuan, pembahasan, dan penetapannya di DPR dapat ditemukan
pada Pasal 41- Pasal 45 PerDPR 2/2019, dan dalam lingkup penyusunan RUU non- prolegnas dilingkungan
pemerintah pengaturannya dapat ditemukan pada Pasal 24 – Pasal 26 Perpres 87/2014. Untuk RUU yang
diajukan berdasarkan kumulatif terbuka memiliki proses dan syarat yang hampir sama dengan ketentuan

54
Permohonan judicial review Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 90/PUU-XVIII/2020, hlm.17. Diakses di laman Mahkamah
Konstitusi, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Registrasi 2&menu=4., 3 Februari 2022, Pukul 13.37.

84
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

pengusulan RUU pada umumnya dan ketentuan pada RUU non-prolegnas.58 Perbedaanya hanya terletak
pada syarat diharuskannya melampirkan naskah akademik, tidak berlaku untuk RUU anggaran pendapatan
dan belanja negara dan RUU penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.59
Hal yang pasti dapat diketahui dari aturan terkait pengajuan RUU non-prolegnas dan juga kumulatif
terbuka ialah bahwa terdapat syarat yang harus dipenuhi apabila pembentuk undang-undang hendak
mengajukan RUU baru (yang tidak termuat dalam prolegnas yang ditetapkan diawal) untuk dibahas pada
periode yang sedang berjalan, syarat tersbut ialah:60
1) Perlunya menjelaskan urgensi atas pengajuan RUU tersebut, sehingga terdapat alasan atau pertimbangan
yang jelas dan dapat diterima secara hukum, yang memperbolehkan RUU tersebut menerabas daftar
RUU yang sudah disepakati dalam prolegnas.
2) Perlunya usulan pengajuan RUU tersebut dilengkapi dengan naskah akademis, draft RUU, bahkan
dilingkungan pemerintah perlu untuk melewati proses harmonisasi
3) Perlunya usulan tersebut disepakati oleh Badan Legislasi dan Menteri sebagai perwakilan Pemerintah
sebelum ditetapkan secara resmi untuk dapat dibahas pada periode berjalan.
Sesungguhnya menurut penulis, apabila syarat satu dan dua sebagaimana dimaksud diatas dapat
dipenuhi oleh pihak yang mengajukan RUU maka setidak-tidaknya kritik bahwa RUU yang diajukan
diluar prolegnas tidak didasari oleh pertimbangan yang jelas dapat dengan mudah terjawab atau teratasi.
Persoalannya seringkali pembentuk undang-undang tidak hirau pada syarat tersebut. Contohnya bisa
kembali pada RUU non-prolegnas yang muncul pada periode 2015-2019 sebagaimana yang sudah disinggung
pada uraian diatas, berdasarkan penelusuran lanjutan yang dilakukan oleh Indonesia Parliamentary Center
(IPC) ditemukan bahwa RUU non-prolegnas tersebut ternyata pengusulannya tidak disertai dengan naskah
akademik sebagaimana yang sudah dipersyaratkan.61
Terkait hal-hal di atas diskusi menarik lainnya yang tidak kalah penting dibicarakan ialah bagaimana
derajat partisipasi yang seharusnya dihadirkan dalam pembentukan RUU yang berasal dari kumulatif
terbuka dan non-prolegnas?. Apakah berbeda dengan derajat partisipasi yang seharusnya ada pada saat
pembentukan RUU biasa (yang disusun melalui perencanaan dan dimuat dalam list prolegnas)?. Pertama,
terkait dengan RUU yang berasal dari non-prolegnas, jika merujuk pada kondisi-kondisi yang dirumuskan
yaitu : ‘keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam serta keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi nasional’ maka rumusan demikian dapat dikatakan memposisikan negara dalam
kondisi yang abnormal, dalam logika sederhananya tentu pada kondisi negara abnormal penyelenggaraan
kekuasaan negara dalam hal ini terkhusus pada kekuasaan pembentukan undang-undang, juga tidak
dapat pula dilaksanakan dengan proses yang normal -dalam arti melalui setiap tahapan dari perencanaan
sampai pengundangan termasuk menyertakan partisipasi masyarakat yang memadai dalam prosesnya
sebagai konsekuensi dari penerapan asas keterbukaan- sehingga RUU yang berasal ketentuan ini cara
atau proses penyusunanya dapat menyimpang dari ketentuan undang-undang bahkan konstitusi,62 oleh
karenanya jika partisipasi masyarakat tidak memadai bahkan tidak dihadirkan maka bukan menjadi suatu
pelanggaran hukum.
Kedua, terkait RUU yang berasal dari kumulatif terbuka. Sebagaimana yang jamak diketahui kategori
kumulatif terbuka dibagi menjadi 5 (lima) jenis sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya. Semua jenis

55
Materi baru di luar putusan MK, Indonesia Parliamentary Center, 2022, Indeks Kinerja Legislasi DPR RI Tahun
Sidang 2020-2021 (High Effectivity Low Accountability), IPC, Jakarta, hlm.35.
56
Ibid.,
57
Indonesia Parliamentary Center, Catatan Legislasi Tahun 2020…. Op.Cit, hlm.6.
58
Lihat Pasal 25 - Pasal 28 PerDPR 2/2019 serta Pasal 22 & Pasal 23 Perpres 87/2014
59
Lihat Pasal 23 ayat (3) Perpres 87/2014
60
Lihat Pasal 43 ayat 1, Pasal 25 - Pasal 28 PerDPR 2/2019 serta Pasal 25, 22, dan 23 Perpres 87/2014
61
Ibid., hlm.4.
62
Konsep yang dibangun bahwa dalam keadaan-keadaan seperti yang dirumuskan, suatu RUU tidak harus melewati
tahapan perencanaan termasuk melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Susi Dwi Harijanti, “Perppu sebagai
Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”, Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, Vol.2 No.1, April 2017, hlm.82-83
85
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

tersebut tentu dapat diperdebatkan level partisipasi masyarakat yang diperlukan dalam pembentukannya.
Sebelum membicarakannya lebih detail, sehubungan dengan hal ini penting terlebih dahulu mengecek
putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil dan materiil UU No. 7
Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga UU MK. Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir terhadap level
partisipasi masyarakat yang disertakan dalam pembentukan RUU yang berasal dari ketentuan kumulatif
terbuka khusus yang disebabkan oleh akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan
hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa :
“Di samping itu, perubahan undang-undang melalui daftar kumulatif terbuka mempunyai sifat khusus
yang tidak dapat sepenuhnya dipersamakan dengan usulan perubahan undang-undang yang bersifat normal,
yaitu RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah”.63
Dalam pertimbangan di atas disebutkan bahwa UU yang berasal dari daftar kumulatif terbuka
mempunyai ‘sifat khusus’. Sifat khusus dijelaskan lebih lanjut dalam konteks kumulatif terbuka akibat
putusan Mahkamah Konstitusi, yang oleh karena melaksanakan sebuah putusan dari badan peradilan
dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, maka pembentuk undang-undang diposisikan sebagai ‘eksekutor
(pelaksana) dari putusan pengadilan’ sehingga rumusan norma yang akan dibentuk tidak boleh bergeser
dari esensi dasar yang diperintahkan putusan yang dimaksud, hal ini berkaitan dengan sifat putusan
Mahkamah Konstitusi yakni final dan memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam kerangka berpikir demikian, maka proses pembentukan
UU yang dilakukan sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan Mahkamah
tidak relevan apabila prosesnya dilaksanakan layaknya pembentukan UU yang normal, termasuk dalam
hal ini syarat partisipasi publik yang ketat.
Tentu pandangan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diperdebatkan, misalnya saja jika dikaitkan
dengan putusan Mahkamah yang memuat open legal policy64 , putusan yang memuat open legal policy yang
perumusan normanya masih diserahkan kepada pembentuk undang-undang tentu memerlukan keterlibatan
masyarakat yang memadai (memenuhi syarat-syarat meaningful participation seperti yang dirumuskan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020) sebab bagaimanapun isi/bunyi norma
yang akan dibentuk/dirumuskan tidak berasal dari tafsir/putusan pengadilan dan kewenangannya ada
di pembentuk undang-undang, sehingga partisipasi ada untuk menjamin bahwa rumusan yang akan ada
tidak merugikan atau bertentangan dengan kepentingan serta hak-hak masyarakat.
Selain itu tentu partisipasi tetap dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan akan pelaksanaan suatu
kekuasaan, banyak teori maupun pandangan ahli yang menyatakan bahwa UU umum dipahami sebagai
produk politik sebab dalam pembentukannya tidak terlepas dari tarik-menarik antara berbagai macam
kepentingan65, tidak terkecuali UU yang dibentuk atas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, tidak
dapat dipastikan bahwa tidak terdapat kepentingan yang menyelinap masuk dalam putusan Mahkamah
Konstitusi yang akan ditindak lanjuti dalam suatu pembentukan atau perubahan UU, dalam konteks
ini maka partisipasi diperlukan sebagai sarana untuk menjaga agar substansi sebuah UU tidak untuk
kepentingan elit, kuasa modal, ataupun oligarki, melainkan untuk kepentingan masyarakat luas.
Sebagaimana kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang derajat partisipasi
masyarakatnya tidak serta merta dapat dikecilkan, kumulatif terbuka jenis lainnya pun berlaku sama
(pengesahan perjanjian internasional; penetapan/pencabutan PERPPU; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; serta pembentukan UU APBN) kendati sebagaimana yang dinyatakan Mahkamah
bahwa daftar kumulatif terbuka mempunyai ‘sifat khusus’66 tetapi bagaimanapun dalam pandangan penulis
hal ini hanya terkait dengan metode masuknya suatu RUU untuk diproses/dibahas/disahkan, RUU tersebut
63
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil dan Materiil UU No. 7 Tahun
2020 Tentang Perubahan Ketiga UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, hlm.315-316.
64
Open legal policy dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi,
Vol.13 No.3, September 2019, hlm.564.
65
Mahfud MD, Politik hukum….. Op.Cit, hlm.210.
66
Penjelasan tambahan terkait jenis kumulatif terbuka pengesahan perjanjian internasional dan penetapan/pencabutan
PERPPU.
86
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

tetap akan menjadi suatu hukum yang mengatur/mengikat masyarakat sehingga masyarakat tetap harus
dilibatkan secara bermakna (meaningful participation) dalam prosesnya. Bagaimanapun pembentukan
undang-undang yang berasal dari kumulatif terbuka dan non-prolegnas yang menunjukkan ketidak jelasan
dasar pembentukan/perubahan dan justru memperlihatkan consensus politis yang tidak responsif terhadap
kebutuhan masyarakat atau kebutuhan penyempurnaan aturan ketatanegaraan memerlukan partisipasi yang
memadai dalam prosesnya sehingga dapat mencegah prosesnya dikuasai oleh sekelompok kecil elite politik
yang ambisius memaksakan berlakunya aturan yang belum memenuhi kebutuhan konkrit masyarakat.67
c. Mekanisme dalam Perencanaan Pembentukan Undang-Undang.
Aspek ini berkaitan dengan proses dimulai dan berakhirnya tahapan perencanaan dalam proses
pembentukan undang-undang. Tahapan perencanaan dimulai dengan menyusun prolegnas. Secara garis
besar, proses penyusuna prolegnas mencakup 3 (tuga) tahapan, yaitu:
1) Tahap kompilasi. Setiap RUU yang akan masuk dan ditetapkan dalam prolegnas diinventarisasi terlebih
dahulu oleh masing-masing lembaga (Pemerintah, DPR, maupun DPD). Inventarisasinya dilakukannya
melalui kegiatan penelitian yang kemudian hasilnya dituangkan kedalam suatu naskah akademik
68
. Kompilasi berbagai isu yang didapatkan melalui kegiatan penelitian disusun oleh masing-masing
lembaga menjadi rencana legislasi yang berisi judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Pada intinya hal yang harus dihasilkan pada tahapan ini ialah suatu naskah akademik.
Yang penting pula untuk dipahami suatu penelitian/kajian dalam rangka menyusun naskah akademik tidak
selalu harus menghasilkan rekomendasi yang mengarah pada perlunya pengajuan serta penyusunan suatu
Rancangan. Selama ini kecenderungan penyusunan naskah akademik, seakan-akan digunakan sebagai
pembenaran untuk memunculkan/menyusun RUU-nya serta segera dimasukan dalam Program Legislasi.
Sementara maksud dilakukannya penelitian justru untuk menemukan jawaban apakah suatu isu perlu
atau tidak dibuatkan undang-undang. Maka kesimpulan yang didapatkanpun bisa saja, tidak diperlukan
pembentukan undang-undang atau pembentukan aturannya dilevel peraturan perundang-undangan lainnya
selain undang-undang.
Dasar hukum penyusunan naskah akademik merujuk pada UU P3 (sudah diuraikan pada
sub-bab konstruksi hukum perencanaan) serta aturan pelaksanaan Pasal 8 jo Pasal 19 Perpres 87/2014
untuk penyusunan dilingkungan pemerintah dan Pasal 14 ayat (4) jo Pasal 7 PerDPR 2/2019 untuk
penyusunan dilingkungan DPR yang mengikat pula bagi DPD. Persyaratan dibuatnya naskah akademik
dalam proses penyusunan prolegnas menjadi suatu ‘kewajiban’ pembentuk undang-undang, hal tersebut
diketahui dengan adanya frasa ‘harus’ pada pasal-pasal69 dalam aturan penyusunan naskah akademik baik
dilingkungan Pemerintah maupun DPR. Maka jika tidak terdapat naskah akademis maka RUU tersebut
cacat dalam prosesnya.
Persoalannya ialah kendati sudah diatur eksplisit dan jelas syarat ‘keharusan’ tersebut,
dalam implementasinya ada ketidaktaatan dan ketidakkonsistenan pembentuk undang-undang dalam
melaksanakannya. Sesuai dengan data yang penulis peroleh dari laman resmi DPR RI, ditemukan bahwa
beberapa RUU yang masuk kedalam prolegnas suatu periode ternyata tidak disertai oleh naskah akademis
bahkan draft RUUnya pun tidak tersedia, berikut datanya ditampilkan dalam sebuah bagan :

67
J.M. Otto, J. Arnscheidt, B. van Rooij. 2008. Law Making For Development: Exploration Into the Theory and Practice
of International Legislative Projects. Belanda: Leiden University Press. Hlm.59.
68
Lihat Pasal 19 jo Pasal 20 ayat 1 jo Pasal 21 ayat 2-4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
69
Lihat pada Pasal 19 Perpres 87/2014 jo Pasal 7 PerDpr 2/2019

87
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

Bagan.1
Ketersediaan & Publikasi Naskah Akademis dan Draft RUU pada Daftar RUU dalam Prolegnas Tahun 2020, 2021,
dan 2022

Sumber : Diolah dari web DPR RI

Dari data tersebut dapat terlihat bahwa dalam periode prolegnas tahun 2020-2022 jumlah
RUU yang terdaftar dan tidak memiliki naskah akademik bahkan lebih banyak daripada RUU yang memiliki
naskah akademik.
2) Tahap penyususan dan pembahasan program legislasi. Rencana program legislasi yang dihasilkan
masing-masing lembaga (Pemerintah, DPR, maupun DPD) dibahas bersama ketiga lembaga tersebut pada
forum yang dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPR. Dari pembahasan bersama tersebut kemudian
dihasilkan kesepakatan Program Legislasi (berupa daftar judul RUU) yang akan dibentuk dan dibahas
dalam kurun waktu lima tahun dan juga satu tahun.70 Dalam tahapan ini juga dipersyaratkan adanya
penyebarluasan dokumen prolegnas yang akan disepakati guna mendapat masukan masyarakat atau
pemangku kepentinga.71
Pada intinya sebelum masuk tahap pembahasan bersama, ‘rancangan program legislasi’ yang
berasal dari setiap lembaga harus disebarluaskan terlebih dahulu agar mendapat masukan dari masyarakat
sehingga keterlibatan masyarakat pada tahapan inipun juga dibuka. Terbukanya pintu bagi masyarakat
memberikan masukan seharusnya dapat menjadi mekanisme kontrol pula terhadap ‘rancangan program
legislasi’ yang ada, artinya ketika RUU yang ternyata termuat dalam ‘rancangan program legislasi’ tidak
memenuhi persyaratan naskah akademik sebagaimana dipersyaratkan pada tahapan sebelumnya maka
masyarakat dapat memberi masukan pada Baleg agar RUU tersebut tidak dimasukkan dalam ‘program
legislasi’.72 Dalam pembahasan dan pengambilan keputusan penetapan prolegnas juga disebutkan bahwa
Baleg harus memperhatikan ketersediaan naskah akademik (khususnya prolegnas priorotas tahunan).
Dalam kaitan ini, dinilai bahwa Baleg sebagai koordinator pada pembahasan dan persetujuan prolegnas
kurang dilengkapi oleh kewenangan untuk menyatakan menolak sebuah RUU masuk kedalam daftar
prolegnas, khususnya bagi RUU yang tidak memenuhi syarat administrasi -tersedia naskah akademik-.
Padahal kewenangan tersebut dapat menjadi sarana kontrol internal terhadap ketaatan pembentuk undang-
undang melaksanakan ketentuan persyaratan tersebut.
3) Tahap penetapan. Program Legislasi yang telah disepakati kemudian disahkan atau ditetapkan dalam
rapat paripurna DPR dan dituangkan kedalam surat keputusan DPR.73

70
Lihat Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
71
Lihat Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
72
Lihat Pasal 22 PerDPR 2/2019
73
Lihat Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

88
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

4) Tahapan penyusunan RUU. Setelah proses penyusunan prolegnas, tahapan selanjutnya dari perencanaan
pembentukan undang-undang yaitu penyusunan RUU sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 45
ayat 1 UU P374 bahwa penyusanan RUU dilakukan berdasarkan prolegnas dengan kata lain setelah
prolegnas ditetapkan penyusunan draf (materi muatan) RUU baru dimulai. Penyusunan draf (materi
muatan) RUU yang termuat dalam prolegnas dilaksanakan oleh instansi/lembaga (Pemerintah, DPR,
maupun DPD) yang telah ditetapkan atau ditunjuk pula dalam keputusan DPR tentang penetapan
prolegnas.
Penyusunan RUU merupakan tahap akhir dari seluruh proses perencanaan yang harus
ditempuh oleh pembentuk undang-undang sebelum memasuki tahapan pembahasan. Penilaian terhadap
kualitas undang-undang tertuju pada dua wilayah, yaitu proses dan substansi (rancangan) undang-undang.75
Kualitas proses bisa ditelusuri sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga persetujuan
sebab paling tidak pada keempat tahapan tersebut ada ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses
legislasi.76 Pada konteks penyusunan draf RUU adanya ruang pertisipasi tersebut sedikitnya tercermin
dalam ketentuan terkait peyebarluasan RUU baik yang dilakukan oleh Pemerintah, DPR, maupun DPD.77
Pengaturan terkait penyebarluasan draft RUU dimaksudkan agar masyarakat dapat memberi/
menyampaikan tanggapan dan pandangannya terkait draft RUU tersebut untuk kemudian dipergunakan
sebagai bahan penyempurnaan draft RUU. Tetapi dalam impelementasinya (merujuk data pada bagan 1)
masalah yang terjadi ialah pembentuk undang-undang tidak secara konsisten mempublikasikan draf RUU
sehingga dalam beberapa proses penyusunan RUU masyarakat menjadi sulit memberikan masukan dan
aspirasinya. Padahal pemenuhan hak atas informasi publik dapat terwujud jika ada transparansi atau
keterbukaan pembentuk undang-undang, pada gilirannya juga menjadi “jembatan” untuk pemenuhan
hak partisipasi. Sederhananya dapat dikatakan bahwa prinsip partisipasi merupakan kelanjutan dari
keterbukaan, tatkala prinsip keterbukaan telah diralisasikan, maka partisipasi harus segera masuk untuk
melengkapinya.78
Dalam bentuk formalnya (aturan perundang-undangan) cara-cara yang disediakan bagi masyarakat
untuk menyampaikan pendapat atau masukannya dalam penyusunan draf RUU pada masing-masing
lembaga yang berwenang (Pemerintah, DPR, maupun DPD) dirumuskan hampir sama. Di lingkungan
Pemerintah mengatur bahwa partisipasi dilakukan dengan cara meyelenggarakan forum konsultasi publik,
uji publik, sosialisasi, diskusi, ceramah, loka karya, seminar, pertemuan ilmiah atau dengan mengirim
surat resmi ke pemangku kepentingan serta metode atau media lain yang mudah diakses masyarakat.80
Dilingkungan DPR mengatur bahwa partisipasi dilakukan dengan cara meyelenggarakan forum seminar,
lokakarya, diskusi, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja baik ke daerah maupun ke
luar negeri.81 Dilingkungan DPD mengatur bahwa partisipasi dilakukan dengan cara mengadakan uji sahi
publik dan ulasan pakar.82
Bentuk-bentuk partisipasi yang demikian dalam implementasi tentu tidak akan optimal mewujudkan
prinsip meaningful participation (hak untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan).
Sebab cara-cara tersebut fakultatif tergantung dari keinginan dan kepentingan pembentuk undang-undang
(Pemerintah, DPR, dan DPD) untuk menyelenggarakannya. Pelaksanaan cara-cara partisipasi tersebut
74
Lihat Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 berbunyi : RUU, baik yang berasal dari DPR maupun
Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
75
M.Ilham F. Putuhena, “Politik Hukum Perundang-undangan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Produk Legislasi”,
Jurnal Rechtsvinding, Vol.1 No.3, (Desember 2012), hlm.352.
76
Ibid.,354
77
Lihat Pasal 88 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo Pasal 171 Perpres 87/2014 jo Pasal 53 PerDPR 2/2020 jo Pasal
191 PerDPD 2/2019.
78
Nurrahman Aji Utomo, “Mengurai Kerangka Legislasi sebagai Instrument Perwujudan Hak Asasi Manusia”, Jurnal
Konstitusi, Vol 3 No 4, Desember 2016, hlm.905-906.
79
Lihat Pasal 173 jo Pasal 175 Peraturan Presiden RI No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
80
Lihat Pasal 5 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
89
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

diatas umumnya datang dari pihak pembentuk undang-undang (Pemerintah, DPR, maupun DPD) yang
meminta masyarakat untuk memberi masukan-masukan terkait dengan perumusan kebjakan. Dan dalam
pelaksanaannyapun masih terdapat berbagai penafsiran dikalangan pembuat kebijakan tentang siapa yang
dimaksud dengan istilah masyarakat, ada yang mengartikan setiap orang pada umumnya, setiap orang
atau lembaga yang terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat.
Menentukan masyarakat yang mana yang perlu diajak atau terlibat dengan demikian dipilih dan ditentukan
sendiri oleh pembentuk undang-undang, kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan keterbatasan bagi
setiap orang dari kalangan masyarakat masuk dalam arena legislasi. Kritik atas keterbatasan bagi setiap
orang dari kalangan masyarakat ikut dalam arena legislasi, juga disampaikan oleh Rudy, dkk yang ditulis
berdasarkan penelitian yang dilakukannya, ia menyoroti cara-cara seperti kunjungan kerja ke daerah atau
rapat dengar pendapat umum yang dilakukan oleh DPR juga cenderung masih bersifat patron-klien. Maka
menurutnya perlu untuk menginisiasi cara-cara yang baru dan merumuskannya pada perubahan UU
P3.83 Berkaitan dengan hal ini jika merujuk pada pendapat Maria Farida Indrati maka menurutnya yang
dimaksud dengan masyarakat adalah setiap orang pada umumnya, terutama masyarakat yang ”rentan”
terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat
yang terkait.84
Berdasarkan kritik -kritik serta permasalahan di atas dapat diketahui bahwa pada akhirnya,
cara-cara atau bentuk partisipasi yang diselenggarakan oleh pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, maupun
DPD) tampaknya baru sampai pada level (kualitas) partisipasi yang disebut dalam teori Arnstein sebagai
tokenisme. Tokenisme menghasilkan kebijakan sekedarnya, pembuat kebijakan berupaya melibatkan
masyarakat tetapi sifatnya sangat artifisial (dangkal). Apa yang dilakukan pengambil kebijakan (Pemerintah,
DPR, maupun DPD) barulah bersifat konsultasi, menginformasikan informasi lalu dilanjutkan dengan
memberi kesempatan masyarakat untuk berpendapat dan didengar namun pada kelanjutannya pemegang
kekuasaan lebih dominan dalam memberikan keputusan akhir, atau dengan kata lain tidak ada jaminan
pendapat masyarakat dipertimbangkan.85 Seringkali tidak terdapat penjelasan secara tertulis mengenai
argumentasi pembuat kebijakan (Pemerintah, DPR, maupu, DPD) terhadap tindak lanjut dari masukan
yang disampaikan oleh masyarakat. Padahal jika merujuk pendapat karen czapanskiy partisipasi publik
itu sendiri merupakan gambaran akan penghargaan terhadap masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat
akan lebih peduli pada hal-hal berkenaan dengan kebutuhannya.86
B.3. Rekonstruksi Perencanaan Pembentukan Undang-Undang dalam Akseleresai Parti-
sipasi Masyarakat
Bagan.2
Konstruksi dan Rekonstruksi

81
Lihat Pasal 53, Pasal 60, dan Pasal 61 Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
82
Lihat Pasal 185 Peraturan DPD RI No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Tertib
83
Rudy,dkk, 2016, “Rekonstruksi Pembangunan Legislasi Berbasis Hukum Pengayoman”, Universitas Lampung,
Lampung, hlm.86-87
84
Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan……Op.Cit, hlm.262-265.
85
Sherry R. Arnstein, “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of the American Planning Association,Vol. 85
No.1(2019), hlm.28-30.
86
Czapanskiy, Karen and Rashida, , Duke Journal of Comparative & International Law, Vol.19 No. 1, (2009), hlm. 39.
90
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

Dari persoalan yang telah diuraikan sebelumnya maka bentuk rekonstruksi yang dapat penulis rumuskan
dan tawarkan, sebagai berikut:
a. Penguatan Cara-Cara Partisipasi Masyarakat dalam Tahapan Perencanaan Pembentukan Undang-
Undang.
Tahap perencanaan merupakan satu tahap dari rangkaian tahapan proses pembentukan undang-undang.
Tinjauan terhadap proses meliputi penilaian terhadap dua aspek prosedur pembentukan, yaitu: Pertama,
pe- nilaian berdasarkan kepatuhan pembentuk peraturan terhadap prosedur formal sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kedua, penilaian berdasarkan kualitas partisipasi yang di lakukan dalam
proses pembentukan Undang-Undang.
Uraian analisis terhadap aspek pertama sudah banyak penulis sampaikan pada poin sebelumnya.
Sedangkan untuk aspek kedua (kualitas partisipasi) akan dijelaskan lebih lanjut pada poin ini. Ukuran kualitas
partisipasi dalam proses pembentukan undang-undang dapat merujuk pada ukuran partisipasi bermakna
(meaningful participation) yang sudah dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.91/
PUU-XVIII/2020 yang dimana merumuskan bahwa untuk mewujudkan partisipasi bermakna (meaningful
participation) setidak-tidaknya harus memenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu:
Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Ini berarti bahwa masyarakat perlu
diberikan atau disediakan ruang agar dapat dengan mudah menyampaikan apa yang menjadi aspirasinya.
Dalam konteks, penyusuna RUU berarti masukan maupun kritiknya tersebut ditujukan untuk RUU yang
sedang disusun oleh lembaga yang memiliki kewenangan (Pemerintah, DPR, dan DPD). Terselenggaranya hak
ini hanya dimungkinkan apabila lembaga yang memiliki kewenangan pembentuk undang-undang terlebih
dahulu membuka informasi ataupun dokumen tentang penyusunan suatu undang-undang.
Tindak lanjut dari hak pertama, yaitu diperlukan pula pemenuhan atas Hak untuk dipertimbangkan
(right to be considered) artinya berbagai pendapat yang masuk dan dihimpun wajib menjadi bahan untuk
dipertimbangkan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Setiap masukan ataupun pendapat baik
yang digunakan ataupun tidak digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan wajib dijelaskan
serta disampaikan oleh lembaga yang memiliki kewenangan (Pemerintah, DPR, dan DPD) pembenetukan
undang-undang secara terbuka kepada masyarakat. Dengan begitu hak ketiga yaitu untuk mendapatkan
penjelasan (right to be explained) juga terpenuhi.
Tolak ukur dari kualitas partisipasi yang bermakna sebagaimana dimaksudkan di atas belum terakomodasi
dengan baik dalam aturan perundang-undangan yang mengatur terkait cara-cara pelibatan masyarakat
dalam tahapan perencanaan pembentukan undang-undang, sebab cara-cara yang tersedia cenderung
membatasi ketersediaan ruang bagi masyarakat untuk masuk dalam arena legislasi. Tidak tersedianya
ruang/cara yang memadaipun pada akhirnya mengakibatkan partisipasi yang ada tidak mampu menyentuh
seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena terdapat berbagai kekurangan pada mekanisme pelibatan masyarakat dalam konstruksi
aturan hukum perencanaan pembentukan undang-undang hingga implementasinya, sebagaimana diuraikan
di atas maka perlu ada upaya merumuskan cara-cara lain agar tersedia ruang yang memadai bagi masyarakat
untuk masuk dalam arena legislasi. Cara - cara yang menurut penulis dapat ditambahkan atau diakomodir
oleh pembentuk undang-undang, ialah:
1) Survei
Bentuk partisipasi yang dapat dikembangkan dalam proses perumusan kebijakan adalah survei. Survei
adalah salah satu metode yang banyak dipergunakan saat ini dalam menangkap aspirasi masyarakat
terkait suatu isu tertentu yang sedang menjadi tren.87 Kehadiran lembaga survei dapat menjadi jembatan
antara pembuat kebijakan dengan masyarakat dalam memberikan informasi tentang persepsi, harapan dan
87
“Trusts terhadap Institusi Politik, Isu-Isu Mutakhir, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu”, diakses di https://
indikator.co.id/wp-content/uploads/2022/04/RILIS-03-04-22_Survei-Nasional_2022_3_APRIL _2022.pdf , 14 juni
2022, pukul 10.00.

91
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

evaluasi publik terhadap kondisi dan perkembangan isu-isu yang sedang terjadi. Dengan survei masyarakat
dapat berperan secara aktif memberikan penilaian dan masukan- masukan yang objektif, hasil survey
dipergunakan sebagai salah satu bahan baku dalam perumusan kebijakan. Disamping dapat dilaksanakan
oleh pemerintah sendiri, publik juga dapat berperan dalam melakukan survei untuk kemudian hasilnya
dipresentasikan di hadapan pemerintah atau perumus kebijakan.
2) Petisi Online
Seiring dengan adanya kemajuan peradaban dengan perkembangan teknologi informasi ada banyak
cara untuk mengemukakan pendapat atau memberikan kritik di muka umum, salah satunya dengan
menandatangani petisi secara virtual. Jalan ini dapat menjadi salah satu cara membuka dan mendorong
masyarakat lebih berani mengeluarkan pendapatnya dan berpartisipasi secara aktif terhadap permasalahan-
permasalahan sektor publik.88
Di negara lain, seperti Amerika Serikat wadah partisipasi masyarakat melalui petisi online ini bahkan
diakomodir oleh pemerintah sendiri. Petisi di Amerika Serikat dapat ditemukan dasar hukumnya pada
Amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa "konstitusi Amerika serikat
melarang kongres membuat undang-undang yang isinya membentuk suatu agama, melarang praktik agama
secara bebas, serta menghambat kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul secara damai
dan kebebasan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintah terkait dengan ganti rugi atas keluhan
masyarakat”.89 Oleh karenanya di masa kepemimpinan Presiden Barack Obama tahun 2011 dalam situs
WhiteHouse.gov disediakan kanal untuk mengajukan petisi atas suatu isu dengan ketentuan petisi tersebut
harus mencapai 150 dukungan selama 30 hari setelah melewati itu agar direspon oleh pemerintah maka
harus mencapai 100 ribu tandatangan dalam waktu 30 hari.90
Saluran partisipasi melalui petisi bisa dimanfaatkan untuk mengetahui dan sekaligus menyeleksi aspirasi
masyarakat yang menjadi prioritas untuk segera ditangani sebab menjadi sorotan tajam oleh masyarakat
luas. Oleh karena itu kedepannya lembaga yang berwenang dalam proses legislasi dapat mempertimbangkan
petisi sebagai salah satu cara/sarana dalam mengakomodir partisipasi masyarakat dalam proses legislasi
(termasuk pada tahapan perencanaan dan penyusunan ruu). Tentu dengan diikuti perumusan standar dan
ketentuan tertentu agar sebuah petisi bisa ditindaklanjuti.

3) Monitoring Isu di Media Sosial (Twitter/Facebook)


Dalam konteks Indonesia, saat ini banyak isu-isu popular terkait hukum, sosial, maupun
penyelenggaraan pemerintahan justru diperoleh dari media sosial. Media sosial telah mampu memberikan
kontribusi nyata dalam membangun opini publik melalui sentiment hingga tren yang terkini. Kehadiran
media sosial telah membuka kesempatan tiap pihak untuk terlibat dan mengeksistensikan dirinya dengan
lebih luas melalui status maupun komentar terkait persoalan terkini. Untuk dapat menggunakan data aspirasi
masyarakat yang dijaring dari media sosial sebagai salah satu basis dalam permusan atau pengambilan
kebijakan, secara teknis diperlukan suatu perangkat/sistem yang mampu merekam dan mengkategorikan
beragam perbincangan yang ada dimedia sosial dengan tingkat akurasi yang baik pula. Salah satu aplikasi
yang sedang berkembnag dan dapat menjadi contoh ialah Drone Emprit Academic, sistem yang mampu
memonitor dan menganalisis media sosial dan berbagai online platform berbasis teknologi big data, sistem ini
mampu menyajikan peta Social Media Network Analysis (SNA) tentang darimana fenomena sosial menyebar,
siapa yang menginisiasi, dan kelompok-kelompok mana yang membicarakannya secara realtime melalui
metode streaming. Sehingga dapat diketahui siapa yang menjadi buzzer, influencer dan kluster lainnya. 92

88
PFitri Pebriani dan Nuzul Asri Safitri, “Kekuatan Petisi Online dalam Pembuatan Perundang-Undangan di Indonesia
(Studi Kasus Situs: Change.Org), Jurnal Khazana Hukum, Vol.3 No.3, November 2021, hlm.99.
89
Ibid., hlm.105
90
Ibid.,
91
Shannon C McGregor, “Social Media as Public Opinion: How Journalist Use Social Media to Represent Public Opinion”,
Journalism, Vol.20 No.8 (2019), hlm.070.
92
Bambang Arianto, “Pemanfaatan Aplikasi Drone Emprit Academic dalam Menganalisis Opini Publik di Media Sosial”,
Journal of Social Politics and Government, Vol.2 No.2, Desember 2020, hlm.182-183.
92
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

Dengan mengembangkan sistem serupa maka percakapan yang dihasilkan dari media sosial bisa menjadi
alternatif dalam membaca opini publik yang dapat digunakan pula oleh pengambil kebijakan (Pemerintah,
DPR, maupun DPD) sebagai dasar dalam perumusan atau pengambilan keputusan (termasuk dalam
perumusan suatu RUU). Artinya percakapan ini sudah bisa dikatakan sebagai opini publik atau bentuk
partisipasi yang kekinian.
b. Memperkuat Kedudukan Naskah Akademik Melalui Mekanisme Kontrol/Pengawasan.
Dari uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa naskah akademik mempunyai peran yang
sangat strategis dalam pembentukan suatu undang-undang, terkhusus dalam tahapan perencanaan. Maka
dalam pandangan penulis sangat perlu ada penguatan akan peran naskah akademik. Bentuk penguatan
tersebut penulis rumuskan dalam hal pengawasannya. Dalam konteks pembuatan undang-undang lembaga
yang berwenang ialah DPR, DPD, dan Pemerintah tetapi sesungguhnya berdasarkan pasal 20 ayat 1 jo 20A
ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen, DPR lah yang memegang kekuasaan pembentukan undang-undang.
Oleh karena naskah akademik merupakan salah satu prasyarat yang harus ada dalam pembentukan
undang-undang maka pengawasan dipatuhinya syarat ketersediaan naskah akademik bagi RUU yang akan
diajukan kedalam prolegnas menurut penulis lebih tepat dilaksanakan oleh DPR sebagai lembaga yang
memegang kekuasaan pembentukan undang-undang.
Kewenangan pengawasan oleh DPR lebih lanjut dapat diserahkan kepada alat kelengkapannya,
yaitu: Badan Legislasi (Baleg). Baleg menjadi organ yang tepat dalam melaksanakan tugas pengawasan
dipatuhinya syarat ketersediaan naskah akademik bagi RUU yang akan diajukan kedalam prolegnas sebab
Baleg mempunyai peran strategis dalam mengkoordinasikan penyusunan, pembahasan sampai pada
persetujuan prolegnas, serta penyebarluasan prolegnas.93 Oleh karena itu, Baleg perlu dilengkapi oleh
kewenangan untuk menyatakan menolak sebuah RUU masuk kedalam daftar prolegnas jika RUU tersebut
tidak memenuhi syarat administrasi -tersedia naskah akademiknya-. Penambahan kewenangan tersebut
dapat menjadi sarana kontrol/pengawasan internal dalam bentuk verifikasi formal terhadap persyaratan
yang harus dipenuhi pembentuk undang-undang dalam tahapan perencanaan (penyusunan prolegnas).
Penambahan kewenangan tersebut juga dapat menjadi salah satu upaya pencegahan kuantitas prolegnas
yang membludak sebab aturan mekanisme penjaringan RUU yang akan dimuat dalam prolegnas dirumuskan
lebih ketat. Selain itu, juga dapat menjadi sarana kontrol terhadap RUU yang berasal dari ketentuan
kumulatif terbuka dan non-prolegnas (RUU yang diusulakan dari ketentuan tersebut juga mensyarakatkan
perlunya naskah akademik kecuali bagi RUU anggaran pendapatan dan belanja negara dan RUU penetapan/
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
Penambahan kewenangan pengawasan kepada Baleg tentu harus dilaksanakan/ditegakkan
dengan penuh tanggung jawab dan konsisten. Penambahan kewenangan pengawasan kepada Baleg juga
dapat menjadi salah satu jalan penguatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan prolegnas (perencanaan
undang-undang). Sebab dalam aturan yang sudah ada Baleg diberikan kewenagan peyebarluasan.94 Dalam
kondisi tersebut masyarakat juga dapat berperan serta dalam mengawasi setiap RUU yang dimuat dalam
rancangan prolegnas apakah sudah disertai oleh persyaratan yang ditentukan (termasuk adanya naskah
akademik) dan dapat meyampaikan penolakan kepada Baleg jika menemui RUU yang tidak disertai oleh
naskah akademik atau bahkah menolak RUU yang sudah ada naskah akademiknya tetapi ternyata dalam
penyusunan naskah akademik dirasa belum cukup banyak melibatkan masyarakat. Masukan atau aspirasi
yang terjaring dari masyarakat tadi juga dapat menjadi basis Baleg menyatakan penolakan terhadap suatu
93
Lihat Pasal 105 Undang - Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
94
Lihat Pasal 41 Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional jo
Pasal 10 & Pasal 15 Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang
94
Mustafa Lutfi dalam Monograf Dekonstruksi Perundang-Undangan Indonesia, Menggapai Cita-Cita Ideal Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, FH UI, Jakarta, hlm.180-183

93
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

RUU untuk dimuat dalam daftar prolegnas.


Selain melalui pengawasan internal sebagaimana yang penulis rumuskan, tentu pengawasan
eksternal yang selama ini sudah dilaksanakan melalui formiil judicial review oleh Mahkamah Konstitusi
tetap diperlukan sebagai mekanisme kontrol lainnya terhadap kepatuhan pembentuk undang-undang
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam proses legislasi termasuk terkait hal pelibatan masyarakat
secara bermakna dalam setiap tahapannya, kendati memang formiil judicial review ini merupakan upaya
represif artinya dilaksanakan setelah rangkain proses legislasi sudah selesai dilakukan dan ruu sudah
berlaku menjadi undang-undang, sehingga pada tahap selanjutnya disediakan proses di pengadilan untuk
menguji proses legislasi yang sudah berlangsung (ex-post facto judicial review).95
Oleh karena formiil judicial review ini bersifat represif, maka ada upaya untuk membentuk
atau membangun konsep pengujian oleh lembaga peradilan (judicial review) yang sifatnya justru preventif
artinya menempatkan proses pengujian undang-undang pada posisi sebelum RUU disahkan menjadi suatu
undang-undang. Konsep ini lazim dikenal dengan Ex ante review yang dimana menurut Verschuuren dan
Van Gestel bertujuan untuk menganalisis kemungkinan dampak yang akan diakibatkan apabila suatu
regulasi ditetapkan dan memberikan alternatif yang dapat digunakan dalam regulasi terkait. Mekanisme ini
digagas dengan maksud menawarkan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kerugian yang mungkin
akan ditimbulkan setelah pengundangan suatu undang- undang.96
Diskursus perihal desain untuk menerapkan mekanisme ex ante review dalam judicial
review ditawarkan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas legislasi di Indonesia. Mekanisme ex ante
review dilaksanakan dengan melakukan kajian secara komprehensif terhadap seluruh aspek dalam RUU
yang hendak disahkan mulai dari aspek prosedur pembentukan, harmonisasi RUU, dan kemungkinan
dampak yang akan terjadi apabila undang-undang tersebut disahkan. Hal ini bertujuan agar pelanggaran
formil dan materiil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dicegah/ diminimalisir.97
Menggagas model ex ante review dalam judicial review ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk kesadaran
akan kekurangan mekanisme pengawasan oleh internal lembaga DPR, yang tidak terlepas dari berbagai
konflik kepentingan sebab bagaimanapun anggota-anggota DPR merupakan orang-orang dari partai politik
tidak terkecuali pula pengurus Badan Legislasi DPR98 sehingga sangat memungkinkan mengurangi derajat
obyektifitas pengawasan yang dilakukan oleh internal lembaga DPR.

C. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut :


1. Konstruksi perencanaan pembentukan undang-undang terbagi ke dalam dua hal yaitu: aspek substansi
dan aspek mekanisme, keduanya mempunyai keterkaitan dengan partisipasi masyarakat. Dalam
implementasinya kedua aspek tersebut mengandung problematika sehingga berdampak pada kualitas
naskah RUU yang dihasilkan serta pelaksanaan partisipasi masyarakat yang menjadi tidak memadai.
Aspek substansi dalam perencanaan diatur terlalu luas sehingga menyebabkan perencanaan undang-
undang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pada aspek mekanismenya, aturan yang ada tidak
cukup akomodatif terhadap kebutuhan partisipasi masyarakat yang bermakna sehinga pelaksanaan
partisipasi mengalami stagnansi, seringkali dilaksanakan hanya sekadar formalitas tanpa mengupayakan
partisipasi masyrakat menjadi sarana yang mampu memperbaiki kualitas isi dari undang-undang yang
akan dibentuk.

96
Ibid.,
97
Ibid.,
98
Mengutip data penelitian IPC menunjukkan konfigurasi partai pada alat kelengkapan dewan khususnya Pimpinan
Badan Legislasi terdiri dari: Gerindra PDIP Nasdem PKB PPP. Lebih lanjut lihat di Indonesia Parliamentary Center,
Laporan Pemantauan….Op.Cit,hlm.8-10

94
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

2. Akselerasi partisipasi masyarakat menujuju meaningful participation dalam perencanaan pembentukan


undang-undang dapat diwujudkan dengan beberapa rekonstruksi, yaitu: Pertama, penguatan cara-
cara partisipasi masyarakat dengan mengakomodir beberapa cara baru yang belum terumuskan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Kedua, penambahan kewenangan pengawasan
kepada Badan Legislasi sebagai upaya sarana kontrol/pengawasan internal dalam bentuk verifikasi formal
terhadap persyaratan yang harus dipenuhi pembentuk undang-undang dalam tahapan perencanaan.
Upaya pengawasan lainnya yang dapat dilakukan ialah dengan mengadopsi mekanisme ex ante review
dalam judicial review pembentukan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sebagai cara alternatif
untuk memastikan RUU yang hendak disahkan telah melaui prosedur yang semestinya dan telah
melibatkan masyarakat secara bermakna, sehingga pelanggaran formil dan materiil dalam pembentukan
undang-undang dapat dicegah/diminimalisir.
Rekomendasi
1. Diperlukan pedoman formal partisipasi publik dalam tahapan perencanaan pembentukan undang-
undang, yang secara pasti mengakomodir berbagai cara – cara pelibatan masyarakat melalui e-participation
(partisipasi berbasis media elektronik). Oleh karena telah berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2020
tentang Perubahan kedua UU P3 yang juga telah mengadopsi konsep e-participation maka cara-cara yang
telah penulis rumuskan pada bagian rekonstruksi dapat diadopsi pada level Peraturan Perundang-Undangan
dibawah UU 13/2020 maupun pada level aturan lembaga/tata tertib lembaga yang memiliki kewenangan
dalam pembentukan undang-undang.
2. Jika hendak mengadopsi bentuk pengawasan dalam tahapan perencanaan yang dirumuskan
penulis, maka diperlukan perubahan sejumlah undang-undang yang mengatur terkait kewenangan dari
Badan Legislasi maupun undang-undang yang mengatur terkait kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

95
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

DAFTAR PUSTAKA

Al- Fatih, Sholahuddin, dkk. Monograf Dekonstruksi Perundang-Undangan Indonesia: Menggapai Cita-Cita
Ideal Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: FH UI.

Farida, Maria. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Firdaus, Fahmi Ramadhan. 2021. Mewujudkan Pembentukan Undang-Undang yang Partisipatif. Banyumas:
Amerta Media.

J.M. Otto, J. Arnscheidt, B. van Rooij. 2008. Law Making for Development: Exploration into the Theory and
Practice of International Legislative Projects. Belanda: Leiden University Press.

MD, Moh. Mahfud. 2017. Politik hukum di Indonesia, Cetakan ke-7. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Siahaan, Pataniari. 2012. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945.
Jakarta: Konpress.

Wibowo, Edi, et.al. 2004. Kebijakan Publik dan Budaya. Yogyakarta: YPAPI.

Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan
Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bambang Arianto, “Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014”, Jurnal Ilmu Sosial dan
Politik UGM, Vol.18 No.2, (November 2014).

Fitri Pebriani dan Nuzul Asri Safitri, “Kekuatan Petisi Online dalam Pembuatan Perundang-Undangan di
Indonesia (Studi Kasus Situs: Change.Org), Jurnal Khazana Hukum, Vol.3 No.3, (November 2021).

Iwan Satriawan dan Tanto Lailam, “Open legal policy dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan Pembentukan
Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Vol.13 No.3, (September 2019).

Joko Riskiyono, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan


Kesejahteraan”. Jurnal Aspirasi. Vol 6 No.2. (Desember 2015).

Karen Czapanskiy and Rashida, “The Right of Public Participation in the Law Making Process and the Role
of the Legislature in the Promotion of this Right”, Duke Journal of Comparative & International Law,
Vol.19 No. 1 (2009).

Laszlo Vertesy, “The Public Participation in the Drafting of Legislation in Hungary”, International Public
Administration Review, Vol.14 No.4 (November 2016), hlm.116.

Nurrahman Aji Utomo, “Mengurai Kerangka Legislasi sebagai Instrumen Perwujudan Hak Asasi Manusia”,
Jurnal Konstitusi, Vol 3 No 4, (Desember 2016).

M.Ilham F. Putuhena, “Politik Hukum Perundang-undangan dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Produk
Legislasi”, Jurnal Rechtsvinding, Vol.1 No.3, (Desember 2012).

Susi Dwi Harijanti, “Perppu sebagai Extra Ordinary Rules: Makna dan Limitasi”, Jurnal Paradigma Hukum
Pembangunan, Vol.2 No.1, (April 2017).

Sherry R. Arnstein. “A Ladder of Citizen Participation”. Journal of the American Planning Association. Vol.
85 No.1 (2019).

Shannon C McGregor, “Social Media as Public Opinion: How Journalist Use Social Media to Represent Public
Opinion”, Journalism, Vol.20 No.8, (2019).

Victor Imanuel W. Nale, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap RUU di Indonesia”, Jurnal Konstitusi,

96
Rekrontruksi Perencanaan Pembentukan Undang-undang... (Mar’atun Fitriah)

Vol.10 No.3 (September 2013).

Ahmad Hanafi, dkk. 2020. Laporan pemantauan DPR tahun 2019: Tantangan efektifitas, transparansi, dan
representasi yang belum terjawab. Jakarta: IPC.

Aflina Mustafainah, dkk. 2021. CATAHU Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2020: Perempuan Dalam
Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan
Penanganan di Tengah Covid-19. Jakarta: Komnas Perempuan.

Andi Irman Putra. 2008. Peran Prolegnas Dalam Perencanaan Pembentukan Hukum Nasional Berdasarkan
UUD 1945 (Pasca Amandemen). Jakarta: BPHN.

BPHN. 2008. 3 Dekade Prolegnas. Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM RI.

Charles Simabura, Ronald Rofiandri, &Lidwina Inge. 2021. Laporan Studi Dokumen: Penguatan Partisipasi
Publik dalam Proses Legislasi di Tengah Pandemi Covid-19. Jakarta: Cakra Wikara Indonesia.

Indonesia Parliamentary Center. 2020. Tantangan Reformasi Parlemen: Meningkatkan Efektivitas Fungsi
Legislasi. Jakarta: IPC.

--------------. 2020. Laporan Pemantauan: Catatan Legislasi Tahun 2020 dan Outlook Legislasi 2021. Jakarta:
IPC.

--------------. 2022. Indeks Kinerja Legislasi DPR RI Tahun Sidang 2020-2021 (High Effectivity Low
Accountability). Jakarta: IPC.

Maria Farida dkk. 2008. Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan. Jakarta: BPHN.

PSHK. 2019. Legislasi Masa Pandemi: Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020. Jakarta: YSHK.

--------. 2013. Catatan Kinerja DPR Tahun 2012: Fondasi Tahun Politik. Jakarta: PSHK.

--------. 2019. Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi di Indonesia: Prosiding Forum Akademik
Kebijakan Reformasi Regulasi 2019. Jakarta: PSHK.

Rudy, dkk. 2016. Rekonstruksi Pembangunan Legislasi Berbasis Hukum Pengayoman. Lampung: Universitas
Lampung.

Yuliandri, dkk. 2014. Pengkajian Hukum tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penentuan Arah Kebijakan
Prioritas Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Pusat Penelitian & Pengembangan
Sistem Hukum Nasional BPHN.

Internet:

Berita Legislasi, “DPR Setujui RUU IKN”, diakses di laman DPR RI, https://www.dpr.go.id/berita/detail/
id/37041/t/DPR+Setujui+RUU+IKN+jadi+UU, 21 Januari 2022, Pukul 13.37.

Haryanti Puspa Sari, “16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas, Salah Satunya RUU PKS”, diakses di
https://nasional.kompas.com /read/2020/07/02/15540101/16-ruu-resmi-ditarik-dari-prolegnas-
priori tas-salah-satunya-ruu-pks?page=all, 10 september 2021, pukul 14.00.

Indikator, “Trusts terhadap Institusi Politik, Isu-Isu Mutakhir, dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu”, diakses
di https://indikator.co.id/wp-content/uploads/2022/04/RILIS-03-04-22_SurveiNasional_2022_3_
APRIL2022.pdf, 14 juni 2022, pukul 10.00.

Ratna Puspita & Febrianto, “Ini alasan RUU Ibu Kota Negara masuk prolegnas prioritas”, diakses di https://

97
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 19 No. 2 - Juni 2023: 74-98

www.republika.co.id/berita/qqgwoh428 /ini-alasan-ruu-ibu-kota-negara-masuk-prolegnas-prioritas,
21 Januari 2022, Pukul 13.25.

Rofiq Hidayat, “Pembentuk UU Rombak Daftar Prolegnas 2020 Menuai Kritik”, Hukum Online, diakses di
https://bit.ly/3n4JTkZ, 23 Januari 2022, Pukul 12.00.

Undang – Undang Dasar Tahun 1945.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional.

Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Peraturan Mahkama Konstitusi No.2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian Formil UU No.19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undnag-Undang No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil dan Materiil UU No. 7 Tahun
2020 Tentang Perubahan Ketiga UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

98
Mengeksplorasi Krisis Kebijakan dan Perlindungan Bagi Anak-Anak
Terhadap Sexual Grooming Di Ruang Maya

Dandi Ditia Saputra, Sayid Mohammad Rifqi Noval, Ahmad Jamaludin


Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara
Email: dandi.ditia5@gmail.com, Juristdomain@gmail.com, Jamaludinumam@gmail.com

Abstract

The rapid development of the internet, which is in line with the growth of its users, has increased the vulnerability
of children. Perpetrators of quality violence are increasingly adapting to the convenience provided by the internet
to exploit children's vulnerabilities, resulting the new modus operandi that can be called "sexual grooming."
Thus, the purpose of this study is to determine the enormity of the impact caused by sexual grooming in the
absence of adequate regulations, as well as to identify alternative policies that can prevent sexual violence
by criminalizing sexual grooming. This research is normative legal research, which is also prescriptive. The
approaches used are a comparative approach and an conseptual approach. The study's findings indicate
that: first, children's vulnerability to bold sexual violence increases in a row with the widespread use of the
internet, resulting in perpetrators adapting to the internet to commit sexual violence in order to avoid resistance
and disclosure. Second, until now, Indonesia's positive law has not been able to define and prohibit sexual
grooming to prevent sexual violence, Indonesia only has rules that prohibit and hold perpetrators accountable
for the consequences of sexual grooming.

Keyword: Children; Criminal Law; Internet; Sexual Grooming; Sexual Violence

Abstrak

Pesatnya perkembangan internet yang sejalan dengan pertumbuhan penggunannya, hingga mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap anak. Para pelaku kekerasan seskual kian beradaptasi dengan
kemudahan yang diberikan internet guna mengeksploitasi kerentanan anak, sehingga menghasilkan
modus operandi baru yang dapat disebut sebagai sexual grooming. Maka, penelitian ini berupaya melihat
seberapa besar dampak yang sedemikian rupa diakibatkan oleh sexual grooming dari ketiadaan peraturan
yang memadai, serta menemukan alternatif kebijakan yang dapat mencegah kekerasan seksual dengan
mengkriminalisasi sexual grooming. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang juga bersifat
preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perbandingan dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: pertama, kerentanan anak terhadap kekerasan seksual yang
dilakukan secara daring meningkat seiring dengan masifnya penggunaan internet, yang mengakibatkan
para pelaku beradaptasi dengan internet untuk melakukan kekerasan seksual guna menghindari penolakan
dan pengungkapan. Kedua, sampai saat ini, hukum positif Indonesia masih belum mampu mendefiniskan
serta melarang sexual grooming untuk mencegah kekerasan seksual, Indonesia hanya memiliki aturan yang
melarang dan meminta pertanggugjawaban pelaku atas akibat dari sexual grooming.

Kata Kunci: Anak; Hukum Pidana; Internet; Kekerasan Seksual; Sexual Grooming
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

A. Pendahuluan

Dominasi ruang maya terhadap eskalasi eksploitasi seksual anak berkembang seiring dengan penggunaan
platform kominikasi internet dengan ekskalasi minat seksual pada anak-anak, ditunjang akses tanpa batas
telah membuat sosial media mengalami pergeseran budaya sampai pada titik yang mengharuskan penyedianya
berupaya untuk melawan konten tidak pantas atau melanggar kebijakan penyedianya.1 Perkembangan
teknologi secara langsung telah menunjang pelaku kejahatan untuk beradaptasi menemukan modus baru
dalam melakukan kekerasan seksual seperti pelecehan, dimana para pelaku kian mudah menyembunyikan
identitas mereka sehingga menyulitkan proses identifikasi oleh para penegak hukum.2 Hingga pada akhirnya
sexual grooming yang beradaptasi dengan penggunaan internet semakin meningkatkan aksesibilitas serta
pengisolasian korban,3 kemudian berdampak pada terbentuknya pola hubungan yang terbangun secara
daring namun terimplikasi pada pelanggaran seksual secara daring maupun luring,4 seperti perdagangan
seks guna memproduksi pornografi yang mengeksploitasi orang-orang rentan dengan kekerasan, paksaan
dan penipuan.5
Kekhawatiran kian meningkat seperti yang ditulis oleh Greijer dalam tulisannya mengenai eksploitasi
seksual komersial khususnya terhadap anak sebagai bentuk kekerasan seksual yang seringkali dilakukan
oleh kelompok terorganisir dengan mengekploitasi kerentanan anak sebagai objek seksual.6 Sementara
sebagian besar penelitian yang dilakukan dalam bidang pelanggaran seksual di internet mengeksplorasi
pelanggaran pornografi anak, dengan fokus pada orang-orang yang mengakses, memiliki mendistribusikan,
atau memproduksi materi seksual eksplisit anak-anak, akan tetapi relatif sedikit penelitian mengenai
seseorang yang secara khusus menggunakan platform komunikasi internet untuk bertemu dan berinteraksi
dengan anak-anak guna melakukan eksploitasi seksual.7
Pada tahun 2017, International Labour Organization memperkirakan terdapat 20% dari sekitar 4,5
juta korban eksploitasi seksual di seluruh dunia merupakan anak-anak.8 Data dari United Nations Office
on Drugs and Crime (selanjutnya disebut UNODC) juga menunjukan bahwa 72% dari perdagangan anak
perempuan merupakan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi seksual, sedangkan secara umum
50% korban perdagangan manusia adalah untuk tujuan eksploitasi seksual.9 Fenomena ini sebetulnya
juga terjadi Indonesia, ECPAT Internasional dalam laporannya menyatakan bahwa 54% dari 137 orang yang
didakwa memfasilitasi kekerasan seksual terhadap anak antara rentang tahun 2010-2014 di Indonesia.10
Data lain seperti yang dilaporkan oleh SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan
Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menunjukan
dalam rentang awal tahun 2022 sampai saat ini terdapat 5.336 kasus kekerasan dan 31,3%-nya korbannya
merupakan anak-anak dengan rentang usia 13 sampai 17 tahun, kemudian data juga menunjukan terdapat
1
Greyson K. Young, “How Much Is Too Much: The Difficulties of Social Media Content Moderation,” Information and
Communications Technology Law 31, no. 1 (2022): 1–16, https://doi.org/10.1080/13600834.2021.1905593.
2
International Centre for Missing & Exploited Children, “Online Grooming of Children for Sexual Purposes: Model
Legislation & Global Review” (International Centre for Missing & Exploited Children, 2017).
3
Tatiana R. Ringenberg et al., “A Scoping Review of Child Grooming Strategies: Pre- and Post-Internet,” Child Abuse &
Neglect 123 (January 1, 2022): 105392, https://doi.org/10.1016/J.CHIABU.2021.105392.
4
David Shannon, “Online Sexual Grooming in Sweden-Online and Offline Sex Offences against Children as Described
in Swedish Police Data,” Journal of Scandinavian Studies in Criminology and Crime Prevention 9, no. 2 (2008): 160–80,
https://doi.org/10.1080/14043850802450120.
5
Fight the New Drug, “How Porn Can Fuel Sex Trafficking,” Fight the New Drug, accessed February 17, 2022, https://
fightthenewdrug.org/how-porn-can-fuel-sex-trafficking/.
6
Susanna Greijer and Jaap Doek, Terminology Guidelines for the Protection of Children from Sexual Exploitation and
Sexual Abuse, 1st ed. (Bangkok: ECPAT International, 2016).
7
Juliane A. Kloess et al., “A Qualitative Analysis of Offenders’ Modus Operandi in Sexually Exploitative Interactions With
Children Online,” Sexual Abuse : A Journal of Research and Treatment 29, no. 6 (September 1, 2017): 563–91, https://
doi.org/10.1177/1079063215612442.
8
International Labour Organization, “ILO Monitor: COVID-19 and the World of Work,” 2021.
9
UNODC, “Global Report on Trafficking in Persons 2020” (Vienna: United Nations, 2021).
10
Arist Merdeka Sirait, “EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL MENGINTAI ANAK KITA,” Jurnal Legislasi Indonesia 3,
no. 5 (2008): 87–92.
100
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

104 korban perdagangan manusia dan 45 korban eksploitasi.11 Dalam sumber yang sama, terlihat peningkatan
jumlah laporan kekerasan yang cukup menghawatirkan yakni 20.722 kasus pada tahun 2020 dan 21.300
kasus pada tahun 2021.
Data diatas telah menunjukan kerentanan anak menjadi korban kekerasan seksual, yang mana saat ini
anak kian dihadapkan pada bahaya kekerasan seskual dengan unsur rayuan, penipuan dan paksaan yang
akhirnya membawa mereka pada industri prostitusi, di tambah dengan unsur kerahasiaan dari perdagangan
seks anak membuat jumlah korban dapat lebih tinggi dari data yang tersedia.12 Seperti dilansir oleh Fight
the New Drug dalam lamanya yang menjelaskan pelbagai modus kekerasan seksual untuk tujuan produksi
pornografi yang mengeksploitasi orang-orang rentan dengan paksaan, kekerasan serta penipuan.13 Selain
dari itu, ancaman lain terhadap anak-anak juga menyoal kasus kekerasan seksual untuk tujuan produksi
CSAM, para pelaku kerap meminta CSAM yang dibuat sendiri oleh anak hingga akhirnya digunakan untuk
mengancam korbannya guna melakukan hal tersebut berulang kali.14 Dunia internasional bahkan terlah
mencatat kekahwatiran ini, salah satunya dilaporkan oleh National Center for Missing and Exploited Children
(NCMEC) yang menerima 16 juta laporan berisi lebih dari 60 juta konten CSAM dari berbagai platform media
sosial seperti Facebook dan Google.15
Berkembangnya modus pelaku yang beradaptasi dengan internet kian memicu peningkatan kasus
kekerasan seskual terhadap anak, salah satunya adalah kemudahan untuk membuat, memiliki dan berbagai
materi pelecehan seksual anak secara daring hingga menghasilkan trauma berkelanjutan karena sulitnya
menghilangkan jejak digital yang sudah tersimpan.16 Kekahwatiran ini dipicu dari eskalasi pertambahan
pengguna media sosial di Indonesia yang kian bertambah seiring tahun, tercatat pada tahun 2019 hingga 2020
terdapat 12 juta pengguna baru yang kemudian bertambah sebanyak 10 juta pengguna pada tahun 2021,
dan pada tahun 2022 pengguna media sosial di Indonesia menjadi 191,4 juta atau bertambah 12,6% dari
tahun sebelumnya.17 Fenomena tersebut kemudian turut dimanfaatkan oleh para pelaku untuk melakukan
aktivitas seksualnya dengan mengeksplorasi interaksinya dengan anak-anak guna memilih korban hingga
akhirnya dapat melakukan pelecehan seksual secara langsung,18 dengan manfaatkan riwayat serta jejak
digital data pribadi anak-anak antara lain seperti nama, alamat, nomor telepon, foto, video, dan alamat
IP yang tersedia guna disalahgunakan untuk melacak lokasi serta aktivitas anak dari waktu ke waktu.19
Baru-baru ini, kekhawatiran mengenai kejahatan “sexual grooming” telah muncul sebagai masalah
sosial, dan istilah “grooming” telah sering disebutkan dalam laporan berita dan media di Indonesia.20 Kondisi
11
KPPPA RI, “Data Kasus Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Indonesia,” SIMFONI-PPA, April 2022, https://kekerasan.
kemenpppa.go.id/ringkasan.
12
Joan A. Reid and Shayne Jones, “Exploited Vulnerability: Legal and Psychological Perspectives on Child Sex Trafficking
Victims,” Victims & Offenders 6, no. 2 (April 2011): 207–31, https://doi.org/10.1080/15564886.2011.557327.
13
Fight the New Drug, “How Porn Can Fuel Sex Trafficking,” Fight the New Drug, accessed February 17, 2022, https://
fightthenewdrug.org/how-porn-can-fuel-sex-trafficking/.
14
Tony Krone et al., “Child Sexual Abuse Material in Child-Centred Institutions: Situational Crime Prevention
Approaches,” Journal of Sexual Aggression 26, no. 1 (January 2, 2020): 91–110, https://doi.org/10.1080/13552600.2
019.1705925.
15
National Center for Missing and Exploited Children, “2019 Reports by Electronic Service Providers (ESP),” 2020.
16
Matthew E. Hirschtritt, Douglas Tucker, and Renée L. Binder, “Risk Assessment of Online Child Sexual Exploitation
Offenders,” The Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law 47, no. 2 (June 1, 2019): 155–64, https://
doi.org/10.29158/JAAPL.003830-19.
17
Simon Kemp, “Digital 2020: Indonesia,” February 18, 2020; Simon Kemp, “DIGITAL 2021: INDONESIA,” 2021; Simon
Kemp, “Digital 2022: Indonesia,” February 15, 2022.
18
Juliane A. Kloess et al., “A Qualitative Analysis of Offenders’ Modus Operandi in Sexually Exploitative Interactions
With Children Online,” Sexual Abuse : A Journal of Research and Treatment 29, no. 6 (September 1, 2017): 563–91,
https://doi.org/10.1177/1079063215612442.
19
Pedro Hartung, “The Children’s Rights-by-Design Standard for Data Use by Tech Companies,” Good Governance of
Children’s Data Project Office of Global Insight and Policy ( New York, November 2020).
20
Siti Parhani, “Apa Itu Child Grooming Dan Mengapa Ini Kekerasan Seksual,” MAGDALENE, January 8, 2021, https://
magdalene.co/story/apa-pun-alasannya-grooming-adalah-kekerasan-seksual; Rakhmad Hidayatulloh Permana,
“Mengenal Grooming, Modus Baru Pelecehan Seksual Terhadap Anak,” DetikNews, July 2019.
101
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

miris ini kemudian telah dialami oleh 2 (dua) anak perempuan yang dijual secara daring guna tujuan
eksploitasi seksual dengan tarif 700.000 Rupiah untuk 1 (satu) kali kencan pada awal tahun 2022 di Kota
Bandung.21 Hal serupa turut terjadi di Kota Surabaya yang dialami oleh seorang anak perempuan berusia
15 tahun yang dijual dengan tujuan eksploitasi seksual menggunakan aplikasi MiChat oleh tetangganya
di Kota Surabaya.22 Tidak hanya itu, para pelaku juga memanfaatkan internet untuk mencari anak-anak
guna mengeksploitasinya secara daring, seperti dilakukan oleh seorang pria di Jakarta Barat pada tahun
2019 yang melakukan child sexual grooming melalui game online.23 Kepolisian Negara Republik Indonesia
mencatat bahwa angka kejahatan seksual yang difasilitasi perkembangan teknologi terbilang fluktuatif
sejak tahun 2015 sampai dengan 2018, di mana pada tahun 2015 ada 300 lebih kasus sedangkan sampai
Agustus 2019 sudah terdapat 236 kasus serupa, dalam laporan yang menunjukan penggunaan direct
massages atau ruang percakapan pribadi telah menyulitkan pengungkapan kasus sampai tuntas - tingkat
ketuntasannya hanya mencapai 50 persen.24
Berdasarkan dari kesadaran diatas tentang masalah tersebut, fokus penelitian adalah mengkaji sexual
grooming sebagai modus baru dalam melakukan kekerasan seksual khusunya terhadap anak-anak yang
difasilitasi oleh internet, hingga pada akhirnya membutuhkan kerangka kerja legislatif yang memadai untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Sementara dalam penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Ni
Putu Ika Wijakusumariasih dengan judul “Legal Protection For Children Against Online Sexual Exploitation
and abuse of Children” telah menelaah mengenai perlindungan hukum anak-anak di Indonesia terhadap
kekerasan seksual secara daring, namun fokusnya lebih pada regulasi perlindungan anak di dunia maya
dari eksploitasi seksual pedofil online. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh G. Aswathy Prakash, Asha
Sundaram dan B. Sreeya yang mengulas “Online exploitation of children and the role of intermediaries: an
Indian legislative and policy perspective” namun dengan penekanan membahas akuntabilitas dan tindakan
dari platform media digital terhadap konten bermuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan eskplotasi
online pada anak di India.
Ketiadaan kerangka hukum yang komprehensif dan penegakan hukum yang konsisten mengenai
permaslahan diatas mengharuskan pembuat undang-undang membuat aturan mengenai pelarangan sexual
grooming, agar pemerintah dapat mencegah, mengadili, menghilangkan kekerasan seksual anak dan
menyediakan kebutuhan korban. Kebutuhan akan regulasi tersebut berupaya untuk menghindari kekeliruan
dalam perlidungan dan penegakan hukum. Maka yang menjadi pertanyaan besar, bagaimana peraturan
sexual grooming di Indonesia. Oleh karenanya penulis hendak mengkaji bagaimana internet mempengaruhi
peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan secara daring? serta bagaimanakah
koseptualisasi aturan dalam menghukum perilaku sexual grooming sebagai modus kekerasan seksual yang
dilakukan di ruang maya saat ini?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan
pendekatan perbandingan (comparative approach) dan konseptual (conseptual approach). Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekunder, yang terdiri dari: i) bahan hukum primer yaitu
bahan-bahan hukum yang mengikat seperti: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

21
Indra Kurniawan, “Kasus Perdagangan Manusia Di Bandung Terungkap, Tersangka Merupakan Mahasiswi,” PRFM
News, January 2022, https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-133591394/kasus-perdagangan-
manusia-di-bandung-terungkap-tersangka-merupakan-mahasiswi.
22
Ghinan Salman, “Prostitusi Di Rusunawa Surabaya, Tersangka Ajari Korban Download Aplikasi Kencan Untuk
Cari Pelanggan,” KOMPAS.com, 2022, https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/03/114700978/prostitusi-di-
rusunawa-surabaya-tersangka-ajari-korban-download-aplikasi?page=all#page2.
23
Mei Amelia Rahmat, “Polisi Tangkap Pelaku Child Grooming via Aplikasi Game Online,” detikNews, July 29, 2019,
https://news.detik.com/berita/d-4643687/polisi-tangkap-pelaku-child-grooming-via-aplikasi-game-online.
24
Sabik Aji Taufan, “236 Kasus Child Grooming Terjadi Sepanjang 2019,” Jawa Pos, August 3, 2019, https://www.
jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/03/08/2019/236-kasus-child-grooming-terjadi-sepanjang-2019/.

102
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

Anak serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual; ii) bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti doktrin, karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal, dan tulisan-tulisan lain
yang berisifat ilmiah; dan iii) bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum,
kamus istilah hukum, ensiklopedia, data internet yang berkaitan dengan penelitian. Analisis data dilakukan
secara deskriptif-kualitatif. Spesifikasi penelitian ini menggunakan deskriptif analitis, yaitu memaparkan
data yang bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang persitiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat guna dianalisis berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan. Selain dari itu, penelitian ini
juga bersifat preskriptif, yaitu mempelajari tujuan, validitas aturan, konsep-konsep, dan norma-norma
hukum serta nilai-nilai keadilan.

B. Pembahasan

B.1. Sexual Grooming Sebagai Akibat dari Pertumbuhan Internet dan

Penggunanya
Sexual grooming pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980-an ketika lembaga penegak hukum
mengamati bahwa pelaku pelecehan seksual tertarik pada lembaga yang melayani aktivitas anak-anak guna
mendapatkan akses dan terlibat guna melakukan persiapaan untuk melecehkan anak-anak.25 Melihat dari
sifatnya yang melakukan pelanggaran tanpa kekerasan, istilah sexual grooming telah diartikan dengan kata
jebakan, rayuan emosional, atau bujukan.26 Kompleksitas dari taktik yang digunakan oleh pelaku dalam
dalam upaya mereka untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak sangat jelas dalam laporan
orang-orang yang terkena dampaknya, sexual grooming merupakan masalah yang relevan yang jelas di
masyarakat, tetapi masih ada sedikit pemahaman tentang fenomena ini.27 Definisi sexual grooming lebih
awal diberikan oleh O'Connell, yakni sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang pedofil guna melakukan
pertemuan dengan seorang anak dengan tujuan yang timbul dari perilaku merupakan pelanggaran hukum.
Definisi ini jelas bermasalah karena mengacu pada istilah pedofil, dimana sebagian besar pelaku yang
melakukan kekerasan seksual pada anak, bukan hanya mereka yang diklasifikasikan sebagai pedofil.28
Gillespie kemudian memberikan definisi mengenai sexual grooming yakni sebuah proses di mana seorang anak
berteman dengan calon pelaku dalam upaya untuk mendapatkan kepercayaan anak yang memungkinkan
mereka mendapatkan persetujuan anak guna melakukan aktivitas seksual.29
Istilah sexual grooming terhadap anak mengacu pada konseptualisasi khas di mana pelaku merawat
calon korban, yang sedemikian rupa melibatkan proses secara kognitif/psikologis guna mempersiapkan
diri untuk membenarkan atau meminimalkan resiko dari perilaku tindak kejahatannya.30 Selain itu,
definisi sexual grooming juga melibatkan bentuk penipuan yakni dapat diistilahkan seperti jebakan,31
penghianatan kasih sayang dan kepercayaan, serta manipulasi yang merupakan aspek penting dari sexual

25
Kenneth Lanning, “The Evolution of Grooming: Concept and Term,” Journal of Interpersonal Violence 33, no. 1
(January 1, 2018): 5–16, https://doi.org/10.1177/0886260517742046.
26
Natalie Bennett and William O’Donohue, “The Construct of Grooming in Child Sexual Abuse: Conceptual and
Measurement Issues,” Journal of Child Sexual Abuse 23, no. 8 (November 17, 2014): 957–76, https://doi.org/10.1080
/10538712.2014.960632.
27
Rachel O’Connell, “A Typology of Child Cybersexploitation and Online Grooming Practices,” in Rom Mobile to Fixed
Internet: The Morphing of Criminal Activity Online (Netsafe Conference, Auckland, New Zealand, 2003), 28Samantha
Craven, Sarah Brown, and Elizabeth Gilchrist, “Sexual Grooming of Children: Review of Literature and Theoretical
Considerations,” Journal of Sexual Aggression 12, no. 3 (2007): 287–99, 29Alisdair A. Gillespie, “Tackling Grooming,”
The Police Journal 77, no. 3 (November 1, 2004): 239–55,
30
Craven, Brown, and Gilchrist, “Sexual Grooming of Children: Review of Literature and Theoretical Considerations.”
31
Bernard Gallagher, “Abuse of Children in Public Care,” Child Abuse Review 8, no. 6 (December 1999): 357–65.

103
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

grooming.32 Definisi yang ada tentang sexual grooming telah mengidentifikasi bBahwa perawatan seksual
melibatkan suatu langkah-langkah atau urutan perilaku,34 hingga ditemukan kesepakatan bahwa sexual
grooming adalah proses dari serangkaian tindakan sistematis yang diarahkan untuk beberapa maksud.35
Sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Lanning dan Dietz bahwa tujuan sexual grooming yakni untuk
mendapatkan kerja sama dengan korban guna mengurangi kemungkinan pengungkapan dan meningkatkan
kemungkinan kontak seksual di masa depan.36
Selain dari itu, dalam definisi sexual grooming yang telah dijelaskan mendukung 3 (tiga) tujuan, yaitu:
a) digunakan untuk menciptakan situasi yang membuat kekerasan seksual dapat lebih mudah dilakukan,
dengan tujuan untuk mengurangi penolakan anak;37 b) untuk memfasilitasi tindakan kekerasan seksual
berulang di masa depan pada anak;38 c) untuk mengurangi kemungkinan pengungkapan setelah melakukan
kekerasan seksual, seperti menjaga kerahasiaan atau menormalisasi kekerasan seksual tersebut.39 Winters,
Kaylor dan Jeglic dalam penelitiannya mengusulkan definisi sexual grooming yaitu sebagai proses penipuan
yang digunakan oleh pelaku kekerasan seksual untuk memfasilitasi kontak seksual dengan anak di bawah
umur sekaligus menghindari deteksi.40
Dilansir oleh Magdalene, Anna Surti Artiani seorang Psikolog anak dari Universitas Indonesia menjelaskan
bahwa grooming merupakan bagian dari kekerasan seskual, meskipun pelaku hanya berniat untuk mencari
kesenangan ataupun sekedar teman berbincang, mencari anak di bawah umur merupakan sebuah kekerasan
seksual terhadap anak.41 Sexual grooming secara daring maupun luring terhadap anak-anak merupakan
proses yang sama-sama umumnya digunakan guna melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. 42

Sexual grooming mengacu pada metode di mana pelaku memanipulasi calon korbannya ke dalam situasi
yang membuat pelecehan seksual dapat lebih mudah terjadi sementara pada saat yang sama mencegah anak
mengungkapkan aktivitas pelecehan serta mencegah orang lain mengakui perilaku tidak pantas tersebut.43
Kerentanan terhadap anak semakin dipersulit karena anak-anak sekolah dasar berentang usia 10-11
tahun memang cukup mampu mengidentifikasi dan menolak aktivitas pelecehan seksual, namun memiliki
kecakapan yang rendah untuk menceritakan dan melaporkan perilaku tidak pantas tersebut.44 Serupa
dengan yang ditunjukan Tufford and Lee yang menunjukan bahwa terdapat sebanyak 93% dari 33.000
orang di Kanada telah mengisyaratkan untuk tidak melaporkan pengalamannya mengenai penganiayaan
anak kepada kepolisian, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena mengindikasikan hanya sebagian
kecil dari aktivitas kejahatan tersebut yang terdeteksi dan dilaporkan.45
Kerentanan kian meningkat sejalan dengan adanya elemen komersial dari para trafficker untuk
mendapatkan kompensasi uang dari perdagangan dan pertukaran konten CSAM yang dihasilkan dari
proses sexual grooming di internet.46 Seperti peristiwa miris di Korea Selatan yang disebut sebagai kejahatan
32
Anna Salter, Transforming Trauma: A Guide to Understanding and Treating Adult Survivors of Child Sexual Abuse
(Thousand Oaks, California, 2022), https://doi.org/10.4135/9781452232102.
33
Michael Petrunik, “The Shaming of Sexual Offenders: Risk, Retribution and Reintegration by A.-M. McAlinden,” The
Howard Journal of Criminal Justice 47 (July 1, 2008): 338–39.
34
D. Howitt and K. Sheldon, Sex Offenders and the Internet (Wiley, 2009).
35
Bernard Gallagher, “Abuse of Children in Public Care,” Child Abuse Review 8, no. 6 (December 1999): 357–65.
36
Kenneth V. Lanning and Park Dietz, “Acquaintance Molestation and Youth-Serving Organizations,”
37
Bennett and O’Donohue, “The Construct of Grooming in Child Sexual Abuse: Conceptual and Measurement Issues.”
38
Knoll, “Teacher Sexual Misconduct: Grooming Patterns and Female Offenders.”
39
Craven, Brown, and Gilchrist, “Sexual Grooming of Children: Review of Literature and Theoretical Considerations.”
40
Georgia M. Winters, Leah E. Kaylor, and Elizabeth L. Jeglic, “Toward a Universal Definition of Child Sexual Grooming,”
Deviant Behavior, 2021, https://doi.org/10.1080/01639625.2021.1941427..
41
Parhani, “Apa Itu Child Grooming Dan Mengapa Ini Kekerasan Seksual.”
42
Limor Ezioni, “The Crime of Grooming,” Child and Family Law Journal 8, no. 1 (March 27, 2020), 43Bernard Gallagher
et al., “International and Internet Child Sexual Abuse and Exploitation – Issues Emerging from Research,” Child and
Family Law Quarterly 15 (March 29, 2012).
44
Murfiah Dewi Wulandari et al., “Children’s Knowledge and Skills Related to Self-Protection from Sexual Abuse in
Central Java Indonesia,” Journal of Child Sexual Abuse 29, no. 5 (July 3, 2020): 499–512, 45Lea Tufford and Barbara
Lee, “Relationship Repair Strategies When Reporting Child Abuse and Neglect,” 37, no. 3 (2020): 235–49
46
Cindy Miller-Perrin and Sandy K. Wurtele, “Sex Trafficking and the Commercial Sexual Exploitation of Children,”
Women & Therapy 40, no. 1–2 (n.d.): 123–51, https://doi.org/10.1080/02703149.2016.1210963.
104
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

yang belum pernah terjadi dalam sejarah, dimana seorang pria berumur 25 tahun membuat ruang obrolan
didalam aplikasi Telegram guna mengeksploitasi setidaknya 75 korban termasuk 16 anak-anak dibawah
umur.47 Modus yang dilakukan adalah dengan membuka lowongan pekerjaan palsu secara daring yang
mengharuskan korbannya untuk memberikan informasi pribadi termasuk nomor dan alamat pribadi, setelah
dipekerjakan para korban akan diminta untuk mengirimkan foto diri yang lebih terbuka tanpa busana
guna sebagai bahan pemeresan seperti mengancam akan mempostinya di internet dengan detail informasi
pribadi yang di dapatkan sebelumnya, para korban di paksa untuk mematuhi setiap permintaan foto dan
video aktivitas seksual.48 Di lansir pula bahwa pelaku menarik ribuan pengguna yang akan masuk dan
melihat aktivitas seksual tersebut dan beberapa diharuskan membayar setidaknya sebanyak 12.000 dolar
dengan menggunakan transaksi bitcoin.49
Kekhawatiran mulai berkembang mengenai penggunaan platform kominikasi internet dengan ekskalasi
minat seksual pada anak-anak, akses tanpa batas telah membuat sosial media mengalami pergeseran budaya
sampai pada titik yang mengharuskan penyedianya berupaya untuk melawan konten tidak pantas yang
melanggar kebijakan.50 Sementara sebagian besar penelitian yang dilakukan dalam bidang pelanggaran
seksual di internet mengeksplorasi pelanggaran pornografi anak, dengan fokus pada orang-orang yang
mengakses, memiliki mendistribusikan, atau memproduksi materi seksual eksplisit anak-anak, akan
tetapi relatif sedikit penelitian yang diketahui tentang seseorang yang secara khusus menggunakan platform
komunikasi internet untuk bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak guna melakukan kejahatan
seksual. 51

Para pelaku kerap kali dilaporkan menggunakan platform populer dikalangan anak-anak seperti media
sosial, aplikasi pesan dan permainan daring guna melakukan penipuan untul menarik korbannya.52 Setelah
berhasil menjebak korbannya, para pelaku kemudian mengalihkan pembicaraannya dengan menggunakan
aplikasi pesan pribadi atau email.53 Hal tersebut semakin diperparah oleh pertumbuhan jumlah penggunan
platform komunikasi internet yang juga terjadi di Indonesia, yang mana dalam kurun waktu 3 tahun
terdapat penambahan sekitar 41 juta pengguna baru media sosial.54 Kürtüncü dalam penelitiannya juga
mencatat bahwa keberadaan smartphone yang telah memberikan kemudahan khususnya bagi anak muda
dan masyarakat dalam mengakses internet seperti media sosial.55
Selain dari melalui aplikasi permainan daring, flatform media sosial seperti Facebook telah memfasilitasi
para pelaku perdagangan manusia dengan mengeksplorasi hubungan semacam pertemanan guna mendapatkan
kepercayaan dan kenyamanan untuk terkoneksi hingga menjerat calon korbannya.56 Kemudian, media
sosial seperti Instagram dan situs yang menyediakan ruang obrolan video acak semacam Omegle masih
menjadi platform kesukaan para pelaku dalam mencari korbanya, yang kerap kali menggunakan strategi
sweet-talk yakni melontarkan pujian, sanjungan, cinta dan kasih sayang ketika berkomunikasi dengan
Jessie Young and Yoonjung Seo, “South Korean Leader of Telegram Sexual Blackmail Ring Sentenced to 40 Years,”
47

CNN, 2020, https://edition.cnn.com/2020/11/25/asia/korea-telegram-sex-crime-verdict-intl-hnk/index.html.


48
Hong-ji Kim, “Outrage in South Korea over Telegram Sexual Abuse Ring Blackmailing Women and Girls,” The
Guardian, 2020.
49
Yoonjung Seo and Julia Hollingsworth, “South Korea Is Cracking down on Digital Sex Crimes.
50
Young, “How Much Is Too Much: The Difficulties of Social Media Content Moderation.”
51
Kloess et al., “A Qualitative Analysis of Offenders’ Modus Operandi in Sexually Exploitative Interactions With Children
Online,” September 1, 2017.
52
Kimberly J. Mitchell et al., “Use of Social Networking Sites in Online Sex Crimes against Minors: An Examination of
National Incidence and Means of Utilization,” The Journal of Adolescent Health: Official Publication of the Society for
Adolescent Medicine 47, no. 2 (August 2010): 183–90, https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2010.01.007.
53
Lina Leander, Sven Christianson, and Pär Granhag, “Internet-Initiated Sexual Abuse: Adolescent Victims’ Reports
About On- and Off-Line Sexual Activities,” Applied Cognitive Psychology 22 (December 1, 2008): 1260–74,
54
Kemp, “Digital 2020: Indonesia”; Kemp, “DIGITAL 2021: INDONESIA”; Kemp, “Digital 2022: Indonesia.”
55
Meltem Kürtüncü, Tülay Kuzlu Ayyıldız, and Aylin Kurt, “An Examination of Smartphone Addiction and Loneliness
among High School Students According to Various Variables: A Sample from Turkey,” Perspectives in Psychiatric Care
57, no. 2 (April 1, 2021): 941–47, https://doi.org/10.1111/PPC.12639.
56
Mary K. Twis, Lynzee Kirschner, and Don Greenwood, “Trafficked by a Friend: A Qualitative Analysis of Adolescent
Trafficking Victims’ Archival Case Files,” Child and Adolescent Social Work Journal 38, no. 6 (July 31, 2020): 611–20
105
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

anak-anak hingga mendapatkan kepatuhan guna mempersiapkannya untuk dilecehkan.57


Joleby, Lunde Landstro dan Jonsson dalam penelitiannya juga mengklaim bahwa pelaku kekerasan seksual
secara daring menggunakan lebih banyak tekanan, paksaan, dan bahasa persuasif dalam interaksi mereka
dengan anak-anak.58 Tekanan digambarkan sebagai respons dari terhadap penolakan dan ketidakpatuhan,58
9para pelaku menggunakan ancaman serius ketika pertama kali menghubungi anak serta menuntut agar
anak-anak melakukan aktivitas seksual yang sangta parah dan terkadang memalukan.60 Selain dari itu,
dalam melaksanakan maksudnya para pelaku juga kerap kali menggunakan berbagai strategi manipulatif
dalam interkasinya dengan anak-anak seperti memberikan pujian, sanjungan dan memaksa seorang anak
dengan permohonan, intimidasi, ancaman serta pemerasan.61 Metode tersebut digunakan guna membuat
anak-anak tidak peka, merangsang keingintahuan seksual, melunturkan penolakan, menormalkan aktivitas
seksual, serta memvalidasi hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak.62 Mengabadikan
paparan terbuka bagian tubuh, merekam aktivitas seksual seperti masturbasi dan obrolan bernada sensual
seringkali dilakukan para pelaku untuk memeras dan mengancam seorang anak guna membuat kepatuhan
dan keterlibatan yang berkelanjutan dalam melakukan aktivitas seksual yang diinginkan oleh pelaku.63
Winters, Kaylor dan Jeglic dalam penelitiannya juga menjelaskan mengenai 5 (lima) tahap menyeluruh
dalam proses sexual grooming yang kompleks, yaitu:64
1. Pemilihan korban, beberapa model perawatan mengusulkan bahwa memilih korban yang rentan adalah
langkah awal dalam proses grooming. Kerentanan terhadap anak dapat dilihat dari karakteristik fisik
atau psikologis.65
2. Mendapatkan akses dan isolasi, bahwa pelaku berusaha untuk mendapatkan akses pada anak yang
ditargetkan dan mengisolasinya dari orang lain. Setelah pelaku mendapatkan akses mereka sering
bekerja untuk mengisolasi anak secara fisik dan emosional seperti dari lingkungan keluarga dan teman
sebaya.66
3. Pengembangan kepercayaan, setelah memilih dan mendapatkan akses pada korban selanjutnyaa pelaku
berupaya untuk mengembangkan kepercayaan dan kerja sama dengan anak. Pengembangan kepercayaan
dapat dilakukan oleh para pelaku yang kerap kali membuat anak merasa dicintai, menggunakan suap
atau bujukan, maupun mengeksploitasi kerentanannya.67

57
Malin Joleby et al., “Offender Strategies for Engaging Children in Online Sexual Activity,” Child Abuse and Neglect 120
(October 1, 2021), https://doi.org/10.1016/J.CHIABU.2021.105214.
58
Ibid.
59
Sarah Seymour-Smith and Juliane Kloess, “A Discursive Analysis of Compliance, Resistance and Escalation to Threats
in Sexually Exploitative Interactions between Offenders and Male Children,” British Journal of Social Psychology 60
(January 22, 2021), https://doi.org/10.1111/bjso.12437.
60
Emily Chiang and Tim Grant, “Deceptive Identity Performance: Offender Moves and Multiple Personas in Online Child
Abuse Conversations,” Applied Linguistics 40 (January 1, 2018), https://doi.org/10.1093/applin/amy007.
61
Joe Sullivan and Ethel Quayle, “Manipulation Styles of Abusers Who Work with Children,” in Creating Safer
Organisations, 2012, 85–98, https://doi.org/10.1002/9781119943228.ch5.
62
Angelique Grosskopf, “Online Interactions Involving Suspected Paedophiles Who Engage Male Childre,” ).
63
Peter Briggs, Walter T. Simon, and Stacy Simonsen, “An Exploratory Study of Internet-Initiated Sexual Offenses and
the Chat Room Sex Offender: Has the Internet Enabled a New Typology of Sex Offender?,” Sexual Abuse 23, no. 1 (March
1, 2011): 72–91, https://doi.org/10.1177/1079063210384275.
64
Sarah Seymour-Smith and Juliane Kloess, “A Discursive Analysis of Compliance, Resistance and Escalation to Threats
in Sexually Exploitative Interactions between Offenders and Male Children,” British Journal of Social Psychology 60
(January 22, 2021)
65
Charol Shakeshaft, “Educator Sexual Misconduct: A Synthesis of Existing Literature PPSS 2004-09,” US Department
of Education (ED Pubs, P, June 2004), https://eric.ed.gov/?id=ED483143.
66
Louanne Lawson, “Isolation, Gratification, Justification: Offenders’ Explanations of Child Molesting,” Issues in Mental
Health Nursing 24, no. 6–7 (2003): 695–705, https://doi.org/10.1080/01612840305328.
67
W.L. Marshall, S. Smallbone, and Liam Marshall, “A Critique of Current Child Molester Subcategories: A Proposal for
an Alternative Approach,” Psychology, Crime & Law 21 (September 17, 2014): 205–18, https://doi.org/10.1080/10683
16X.2014.925724..

106
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

4. Desensitisasi anak untuk konten seksual dan kontak fisik, yakni tahap yang melibatkan pengenalan
percakapan dan sentuhan seksual guna melunturan penolakan atas aktivitas seksual. Para pelaku
kerap kali memperkenalkan topik seksual ke dalam diskusi, seperti menceritakan lelucon yang tidak
pantas, memberikan pendidikan seksual, atau terlibat dalam percakapan seksual.68
5. Pemeliharaan pasca-manipulasi, para pelaku dapat terlibat dalam melakukan kekerasan seksual yang
sedang berlangsung dengan korban dan mencegah pengungkapan, misalnya dengan mendorong anak
untuk menjaga rahasia dan tidak mengungkapkan kekerasan seksual.
B.2. Meninjau Instrumen Hukum Mengenai Sexual Grooming

Sexual grooming kerap dianggap sebagai tahap awal dari tindakan kekerasan seksual, namun dibeberapa
negara aturan mengenai sexual grooming dengan sendiriya dianggap sebagai tindak pidana yang berdiri
sendiri,69 hal tersebut diakibatkan oleh dampak jangka pajang dari kekerasan seksual seperti depresi,
kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma.70
Literatur yang ada telah menjelaskan bahwa tindakan sexual grooming dapat di jerat dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi. Meskpiun demikian, landasan hukum dalam perlindungan anak di dunia maya yang
tidak cukup dalam memberikan perlindungan anak sesuai dengan Konvensi PBB tentang hak-hak anak.
Dimana hal ini dapat dilihat dari kurangnya kejelasan dasar hukum yang mendefinisikan konten melecehkan
anak atau materi pelecehan anak seperti belum memasukkan terminologi komputer dan internet.71
Andaru dalam penelitiannya mencatat bahwa masih belum ada peraturan yang spesifik mengatur
mengenai sexual grooming di Indonesia, sehingga para penegak hukum diharuskan mengambil kebijakan
dengan memfokuskan pada akibat seperti eksploitasi serta pornografi anak melalui internet dalam upaya
perlindungan hak-hak anak.72 Karena definisi pelanggaran pidana penting, sangat mengkhawatirkan
menemukan contoh dalam penelitian baru-baru ini mengenai online sexual grooming di mana para peneliti
gagal mendefinisikan sexual grooming secara daring menurut definisi hukum yang ada.
Kegagalan dalam mempelajari sexual grooming sebagai modus untuk tujuan kekerasan seksual, dapat
dilihat dari kepuasan dalam menghukum pelaku online sexual grooming sepeti dalam kasus TR karena
melakukan pencabulan terhadap anak-anak di bawah umur melalui media sosial denga dikenakan Pasal 82
dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak, Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) jo
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi serta Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.73 Sejatinya, penting bagi pembuat kebijakan dan
legislator untuk membuat pendekatan terpadu guna melindungi anak-anak dari semua pelanggaran atas
martabat dan integritas seksual, juga untuk memantau, bertindak, mencegah dan menanggapi bentuk-
bentuk kekerasan seksual baru.74
68
Loreen Olson et al., “Entrapping the Innocent: Toward a Theory of Child Sexual Predators’ Luring Communication,”
Communication Theory 17 (July 25, 2007): 231–51, https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2007.00294.x.
69
Daniel Pollack and Andrea MacIver, “Understanding Sexual Grooming in Child Abuse Cases,” ABA Child Law Practice
34 (November 1, 2015): 165–68.
70
Helen Hailes et al., “Long-Term Outcomes of Childhood Sexual Abuse: An Umbrella Review,” The Lancet Psychiatry 6
(September 1, 2019), https://doi.org/10.1016/S2215-0366(19)30286-X.
71
Ni Putu Ika Wijakusumariasih, “Legal Protection For Children Againts Sexual Exploitation and Abuse of Children
Online,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 8, no. 1 (May 30, 2019): 1, https://doi.
org/10.24843/jmhu.2019.v08.i01.p01.
72
Imara Pramesti Normalita Andaru, “Cyber Child Grooming Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online Di Era
Pandemi,” Jurnal Wanita Dan Keluarga 2, no. 1 (2021): 41–51, https://doi.org/10.22146/jwk.2242.
73
Annisa Hafizhah and Lamsumihar Andjelina Panggabean, “Kekeliruan Pemahaman Tentang Online Grooming Dalam
Sistem Hukum Di Indonesia,” Jurnal Wanita Dan Keluarga 2, no. 1 (July 26, 2021): 1–11, https://doi.org/10.22146/
JWK.2238. 8
74
Edy Ikhsan and Rosmalinda, “Should Children Be Victims of Their Future? (Reflections on the Implementation of
Child Rights through Legal Terms),” Central Asia and the Caucasus 23, no. 1 (March 2, 2022): 577–92,

107
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

Dalam penelitiannya, Yu Hyo Eun dan Lee Chang Han juga mengaharuskan untuk memberlakukan
undang-undang yang efektif guna mencegah kekerasan seksual yang dilakukan di masa depan.75 Mengambil
langkah-langkah seperti menetapkan standar peraturan merupakan alat yang ampuh guna mencegah
adanya korban wajib dilakukan secara lugas.76 Dengan mengingat dampak jangka panjang dari kekekerasan
seksual terhadap anak-anak, memiliki undang-undang yang memungkinkan penuntutan atas tindakan
persiapan dapat membantu upaya pencegahan kekekerasan seksual serta berpotensi menghentikan kejahatan
seksual terhadap anak sebelum terjadi.77 Menerapkan undang-undang yang secara tegas mengkriminalisasi
proses sexual grooming merupakan sesuatu yang penting karena proses ini dapat menyebabkan kejahatan
kekerasan seksual lain seperti pemerkosaan, penyerangan, penganiayaan, child sexual abuse material atau
pornografi anak dan melunturkan penolokan aktivitas seksual.78
Beberapa literatur yang ada menjelaskan bahwa sexual grooming merupakan tahap awal dari tindakan
kekerasan seksual dengan sedemikian rupa memanipulasi calon korbannya. Namun, Peraturan yang berlaku
saat ini di Indonesia hanya dapat menjangkau akibat dari proses sexual grooming, yang cukup relevan
apabila diintegrasikan pada beberapa Undang-Undang seperti:
1. Pasal 82 Jo 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa pelaku kerap kali memeras dan mengancam
seorang anak guna membuat kepatuhan dan keterlibatan yang berkelanjutan dalam melakukan
aktivitas seksual yang diinginkan oleh pelaku dengan menggunakan materi seksual seperti paparan
terbuka bagia tubuh, rekaman masturbasi serta obrolan bernada sensual, akibatnya pelaku dapat
dijatuhi sanksi sesuai Pasal 82 selama 5 (lima) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliyar rupiah karena telah memenuhi unsur yang terdapat
pada Pasal 76E yaitu dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
2. Pasal 88 Jo 76 I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Materi aktivitas seksual dapat digunakan juga untuk
penyalahgunaan demi kepentingan ekonomi guna menguntungkan diri pelaku atau oraang lain dengan
maksud memperkaya atau menambah kekayaan. Sehingga untuk mengakomodir kemungkinan tersebut
Pasal 88 memberikan sanksi berupa pidana penjara selama 10(sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.200.000.000,00(dua ratus juta rupiah), jika melakukan pelanggaran yang termuat dalam
Pasal 76I pada setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
3. Pelaku kerap kali dapat memproduksi pornografi anak dengan mengeksploitasi orang-orang rentan dengan
kekerasan, paksaan dan penipuan. Perlilaku ini, memiliki unsur perbuatan yaitu memproduksi atau
membuat foto dan video yang dalam hal ini memuat unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 yang melarang tindakan memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: (a) persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang; (b) kekerasan seksual; (c) masturbasi atau onani; (d) ketelanjangan
atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; (e) alat kelamin; atau (f) pornografi anak. Kemudian,
dalam Pasal 29 menyebutkan bahwa terhadap pelaku dapat dikenakan pidana penjara paling singkat
6(enam) bulan dan paling lama 12(dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dalam
perkara tindak pidana yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model pornografi, aktivitas seksual

75
Hyo Eun Yu and Chang Han Lee, “Determinants of Responses to Cyber Sexual Harassment and Sexual Violence
Victimization,” Korean Association Of Victimology 28, no. 3 (December 30, 2020): 31–57, https://doi.org/10.36220/

108
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

tersebut dilarang pada Pasal 9 yang menjadikan pelaku sexual grooming dapat dikenakan pidana penjara
paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 12(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,000 (enam miliyar
rupiah). Selain itu anak sebagai unsur pemberat daripada tindak pidana grooming juga telah diatur
dalam Pasal 11 sehingga terhadap pelaku dapat bertambah pemidanaan sebanyak 1/3 (sepertiga) dari
maksimum ancaman pidana sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang
Pornografi.
4. Pelaku kerap kali mendistribusikan pornografi anak sebagai upaya untuk meyakinkan anak di bawah
umur untuk membuat lebih banyak materi tersebut. Dengan demikian, Kekerasan seksual tersebut
dapat dikenai Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) karena telah melanggar Pasal 27 ayat (1) yang melarang setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Serupa dengan yang diatur oleh Pasal 32 Jo Pasal 6 ayat Jo Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi. Dimana, Pasal 32 menyebutkan bahwa setiap orang yang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Kemudian, anak sebagai unsur pemberat
daripada tindak pidana sexual grooming ini hakikatnya telah dilarang dalam Pasal 11 sehingga terhadap
pelaku dapat bertambah pemidanaan sebanyak 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidana sesuai
pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam hal ini, para pelaku kerap
menunjukan materi pornografi pada anak-anak guna melunturkan resistensi anak terhadap pornografi.79
Selain dari itu, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual seyogyanya
diharapkan dapat menjadi salah satu solusi guna membuat aturan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual.80
Namun setelah di undangkan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak secara eksplisit
menempatkan sexual grooming sebagai bagian dari kekerasan seksual, yang hanya sebatas mendefinisikan
bahwa mempertunjukan materi pornografi sebagai bagian dari pelecehan seksual.81 Larangan tersebut
bukanlah sesuatu yang baru, dimana sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun
2008 tentang Pornografi yang menegaskan mengenai larangan untuk mempertontonkan materi pornografi
termasuk pada anak-anak. Meskipun demikian, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga
telah memuat larangan untuk melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap
tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat
seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, yang dapat dipidana karena pelecehan seksual
nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp10.0OO.000,- (sepuluh juta rupiah).
76
Carolina Villacampa and Ma Jesus Gómez, “Online Child Sexual Grooming: Empirical Findings on Victimisation and
Perspectives on Legal Requirements,” Http://Dx.Doi.Org/10.1177/0269758016682585 23, no. 2 (December 20, 2016):
105–21, https://doi.org/10.1177/0269758016682585.
77
Helen Hailes et al., “Long-Term Outcomes of Childhood Sexual Abuse: An Umbrella Review,” The Lancet Psychiatry 6
(September 1, 2019), https://doi.org/10.1016/S2215-0366(19)30286-X.
78
Stefan Dombrowski et al., “Protecting Children From Online Sexual Predators: Technological, Psychoeducational, and
Legal Considerations.,” Professional Psychology-Research and Practice - PROF PSYCHOL-RES PRACT 35 (February 1,
2004), https://doi.org/10.1037/0735-7028.35.1.65.
79
Georgia M. Winters et al., “The Sexual Grooming Model of Child Sex Trafficking,” 1 (2021): 60–77, h 80Muhammad
Iqbal and Genie Cyprien, “The Urgency of Regulation in the Case of Online Gender-Based Violence in Indonesia,” Sawwa:
Jurnal Studi Gender 16, no. 2 (October 30, 2021): 173–90, https://doi.org/10.21580/SA.V16I2.8132.
81
Sayid Muhammad Rifki Noval et al., “De-Eskalasi Perdagangan Dan Eksploitasi Anak Secara Daring Di Era Pandemi
Covid-19 Dalam Optik Hukum Telematika,” SANKSI 1, no. 1 (2022).

109
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

Dalam mendakwa seseorang dengan sexual grooming terhadap anak perlu ditunjukan bahwa niat individu
adalah untuk melakukan kekerasan seksual.82 Dalam beberapa yurisdiksi, seseorang dapat dihukum karena
semata-mata karena terlibat dalam proses sexual grooming selama niat untuk melakukan kekerasan seksual
ditetapkan bahkan jika kontak pelecehan seksual tidak pernah terjadi.83 Lembaga penegak hukum wajib
memberikan bukti bahwa seseorang: a) bermaksud untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak;
b) seseorang tersebut telah melakukan langkah-langkah subtansial.84 Istilah ‘langkah-langkah subtansial’
berarti tindakan wajib lebih dari sekedar persiapan tetapi kurang dari tindakan terakhir sebelum kekerasan
seksual dilakukan.85 Hingga pada akhirnya, mengharuskan untuk bergantung pada kontruksi mens rea
dalam artian pikiran bersalah atau niat untuk melakukan kejahatan, dan actus reus dalam artian tindakan
bersalah yaitu tindakan atau kelalaian yang terdiri dari unsur-unsur fisik kejahatan,86 untuk membuktikan
sexual grooming terjadi. Dengan demikian, aturan yang melarang sexual grooming memungkinkan hukuman
atas tindakan perawatan seksual dengan maksud untuk melakukan kekerasan seksual (mens rea), tanpa
melakukan actus reus dari kekerasan seksual itu sendiri.87
Para pembuat kebijakan telah berupaya untuk mengembangkan undang-undang yang dapat
mengkriminalisasi sexual grooming, meskipun cukup sulit untuk menentukan ambang batas kapan kejahatan
telah dilakukan.88 Undang-Undang seyogyanya dapat membantu melindungi anak-anak dari segala bentuk
kekerasan seksual yang terjadi sebagai akibat dari sexual grooming.89 Oleh karena itu, sexual groming
harus didefinisikan dengan jelas dan dapat dihukum sebagai pelanggaran mandiri.90 Meskipun demikian,
telah ada pengakuan global mengenai bahaya sexual grooming guna kekerasan seksual anak, International
Centre for Missing and Exploited Children (ICMEC) kemudian memeriksa Undang-Undang dari 196 negara
yang secara keseluruhan ICMEC menemukan bahwa dari 196 negara yang ditinjau, 63 negara memiliki
beberapa undang-undang perawatan seksual, sementara 133 negara termasuk Indonesia tidak memiliki
undang-undang untuk mengkriminalisasi sexual grooming.91 Sepeti, Undang-undang Australia dan Kanada
yang berfokus pada mengkriminalisasi komunikasi dengan seorang anak guna melakukan aktivitas seksual
atau melakukan pelanggaran seksual.
Meskipun, cukup sulit untuk mendeteksi dan mengidentifikasi perilaku sexual grooming karena
hanya ada sedikit definisi hukum standar, atau bahkan terminologi yang ditetapkan untuk grooming atau
online sexual grooming. Definisi hukum sexual grooming terdapat di negara maju seperti Inggris yang
telah memasukan kata “sexual grooming” dalam Sexual Offences Act (SOA) 2003, yakni mengkriminalisasi
pertemuan atau komunikasi dengan anak di bawah usia 16 tahun guna melakukan suatu aktivitas seksual
atau pelanggaran yang relevan. Peraturan tersebut juga mencakup pelaku kekerasan seksual yang dengan
sengaja bertemu dengan anak untuk aktivitas seksual yang juga menekankan bahwa bahaya eksploitasi
seksual terhadap anak-anak dapat dicegah sejak awal sebagai sarana untuk memberantas niat kriminal
para calon pelaku.92 Larangan pada setiap orang yang dengan menggunakan alat atau sistem komunikasi
82
Ezioni, “The Crime of Grooming.”
83
Ibid.
84
Pollack and MacIver, “Understanding Sexual Grooming in Child Abuse Cases.”
85
Ibid.
86
Jane Goodman-Delahunty and Natalie Martschuk, Mock Jury and Juror Responses to Uncharged Acts of Sexual
Misconduct: Advances in the Assessment of Unfair Prejudice, Zeitschrift Für Psychologie, vol. 228, 2020, https://doi.
org/10.1027/2151-2604/a000410.
87
Leah E. Kaylor et al., “An Analysis of Child Sexual Grooming Legislation in the United States,” Psychology, Crime &
Law, February 22, 2022, 1–19, https://doi.org/10.1080/1068316X.2022.2043313.
88
Deon Minnie, “The Grooming Process And The Defence Of Consent In Child Sexual Abuse Cases” (Nelson Mandela
Metropolitan University, 2008).
89
Zsuzsanna Rutai, Online Grooming of Children - Experiences to Be Used in Cyprus, 2013.
90
Deon Minnie, “The Grooming Process And The Defence Of Consent In Child Sexual Abuse Cases” (Nelson Mandela
Metropolitan University, 2008).
91
International Centre for Missing & Exploited Children, “Online Grooming of Children for Sexual Purposes: Model
Legislation & Global Review.”
92
Jeongyeon Kim, “Characteristics of ‘Grooming’ Sexual Crimes in Sexual Violence Crime Cases and Critical Review of
Relevant Revised Legal Provisions,” Korean Association Of Victimology 27, no. 2 (August 31, 2019): 31–60,
110
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

atau memanfaatkan jasa komunikasi guna mengadakan pertemuan dengan maksud melakukan aktivitas
seksual juga sudah di atur oleh Pasal 248e KUHP Belanda, meskipun lebih fokus pada kekerasan seksual
dengan kontak fisik.
Sementara itu, Federal enticement statute of the U.S. Criminal Code menjelaskan bahwa setiap orang
dapat didakawa dengan pidana denda dan/atau dipenjara tidak lebih dari 10 tahun atas upaya untuk
membujuk, memaksa individu yang belum mencapai usia 18 tahun untuk terlibat dalam prostitusi atau
aktivitas seksual apa pun. Kata ‘upaya’ dapat digambarkan bahwa kekerasan seksual belum harus terjadi
untuk kejahatan yang akan dilakukan.93 Aturan tersebut juga sejalan dengan India, yang telah mengatur
larangan sexual grooming dalam the Information Technology (Amendment) Act of India yang telah diamandemen
pada tahun 2008 dengan jelas melarang siapapun untuk mempersiapkan, membujuk atau menyebabkan
anak pada hubungan secara daring guna melakukan tindakan seksual eksplisit pada sumber daya komputer
atau memfasilitasi pelecehan seksual anak secara daring atau merekam dalam bentuk apapun guna
penyalahgunaan pribadi atau orang lain yang berkaitan dengan tindakan seksual eksplisit anak.
Padal awal tahun 2021, Pemerintah Korea Selatan telah merevisi act on the protection of children and
juveniles against sexual abuse sebagai tanggapan atas kasus “online sexual blackmail ring” yang sudah
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dalam Undang-Undang yang direvisi, sexual grooming atau memikat anak
dibawah umur melalui internet ke dalam bisnis seksual yang melanggar hukum akan dikenakan hukuman
pidana, dijelaskan bahwa seseorang yang berulang kali mengirim pesan daring hingga menimbulkan rasa
malu atau kebencian seksual kepada anak-anak atau menipu mereka guna melakukan beberapa praktik
seksual dengan tujuan mengekploitasinya secara seksual akan dikenakan hukumann hingga 3 (tiga) tahun
penjara atau denda sebesar 30 juta won (26.000 dolar).94 Undang-Undang tersebut juga mengizinkan
polisi untuk melakukan penyelidikan rahasia terhadap kejahatan digital terhadap anak, penyidik dapat
menyamarkan identitas atau menggunakan ID palsu guna mengumpulkan informasi atau barang bukti.
Dengan demikian peraturan yang melarang sexual grooming wajib melindungi anak-anak dengan
menuntut secara hukum terhadap calon pelaku sebelum kekerasan seksual terjadi, tetapi juga menghindari
tuduhan palsu dengan memasukkan tindakan yang terlalu luas atau tidak divalidasi secara ilmiah untuk
menjadi indikasi perilaku sexual grooming terhadap anak.95

C. Penutup

Dalam uraian dan Analisa terhadap dua permasalahan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai
berikut: pertama, perkembangan teknologi telah meningkatkan kerentanan anak terhadap kekerasan seksual
yang dilakukan secara daring. Masifnya penggunaan internet dengan menawarkan berbagai kemudahan
membuat anak kian terbius dalam menggunkannya, dengan sedemikian rupa dapat melunturkan batas ruang
privasi sehingga dapat dengan mudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh para pelaku sexual grooming
untuk melakukan kekerasan seksual dengan menghindari penolakan dan pengungkapan. Karenanya,
rekomendasi penerapan verifikasi usia terhadap anak-anak dalam menggunakan internet kiranya dapat
melindunginya dari kekerasan seksual oleh para pelaku sexual grooming di ruang maya. Kedua, ketiadaan
regulasi yang cukup relevan mendefiniskan serta mengkriminalisasi sexual grooming kian mempersulit
pencegahan adanya korban kekerasan seksual, Indonesia dengan Undang-Undang yang ada hanya dapat
menjangkau akibat dari proses sexual grooming. Hingga kemudian dengan melihat besarnya dampak
yang diakibatkan oleh sexual grooming serta ketiadaan peraturan yang memadai, mewajibkan Pemerintah
Indonesia untuk memiliki instrumen hukum yang dapat mencegah sebelum adanya korban dari kekerasan
seksual dengan mengkriminalisasi sexual grooming.

93
Kaylor et al., “An Analysis of Child Sexual Grooming Legislation in the United States.”
94
Yonhap, “Child Grooming for Sexual Abuse to Be Punished in S. Korea,” The Korea Herald, March 2021, http://www.
koreaherald.com/view.php?ud=20210323000135.
95
Kaylor et al., “An Analysis of Child Sexual Grooming Legislation in the United States.”

111
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

Daftar Pustaka

Andaru, Imara Pramesti Normalita. “Cyber Child Grooming Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender
Online Di Era Pandemi.” Jurnal Wanita Dan Keluarga 2, no. 1 (2021): 41–51. https://doi.org/10.22146/
jwk.2242.

Bennett, Natalie, and William O’Donohue. “The Construct of Grooming in Child Sexual Abuse: Conceptual
and Measurement Issues.” Journal of Child Sexual Abuse 23, no. 8 (November 17, 2014): 957–76.
https://doi.org/10.1080/10538712.2014.960632.

Briggs, Peter, Walter T. Simon, and Stacy Simonsen. “An Exploratory Study of Internet-Initiated Sexual
Offenses and the Chat Room Sex Offender: Has the Internet Enabled a New Typology of Sex Offender?”
Sexual Abuse 23, no. 1 (March 1, 2011): 72–91. https://doi.org/10.1177/1079063210384275.

Chiang, Emily, and Tim Grant. “Deceptive Identity Performance: Offender Moves and Multiple Personas in
Online Child Abuse Conversations.” Applied Linguistics 40 (January 1, 2018). https://doi.org/10.1093/
applin/amy007.

Craven, Samantha, Sarah Brown, and Elizabeth Gilchrist. “Sexual Grooming of Children: Review of Literature
and Theoretical Considerations.” Journal of Sexual Aggression 12, no. 3 (2007): 287–99. https://doi.
org/10.1080/13552600601069414.

Dombrowski, Stefan, John LeMasney, C. Ahia, and Shannon Dickson. “Protecting Children From Online Sexual
Predators: Technological, Psychoeducational, and Legal Considerations.” Professional Psychology-Research
and Practice - PROF PSYCHOL-RES PRACT 35 (February 1, 2004). https://doi.org/10.1037/0735-
7028.35.1.65.

Ezioni, Limor. “The Crime of Grooming.” Child and Family Law Journal 8, no. 1 (March 27, 2020). https://
lawpublications.barry.edu/cflj/vol8/iss1/1.

Fight the New Drug. “How Porn Can Fuel Sex Trafficking.” Fight the New Drug. Accessed February 17, 2022.
https://fightthenewdrug.org/how-porn-can-fuel-sex-trafficking/.

———. “How Porn Can Fuel Sex Trafficking.” Fight the New Drug. Accessed February 17, 2022. https://
fightthenewdrug.org/how-porn-can-fuel-sex-trafficking/.

Gallagher, Bernard. “Abuse of Children in Public Care.” Child Abuse Review 8, no. 6 (December 1999): 357–65.

Gallagher, Bernard, Kris Christmann, Claire Fraser, and Beth Hodgson. “International and Internet Child
Sexual Abuse and Exploitation – Issues Emerging from Research.” Child and Family Law Quarterly 15
(March 29, 2012).

Gillespie, Alisdair A. “Tackling Grooming.” The Police Journal 77, no. 3 (November 1, 2004): 239–55. https://
doi.org/10.1350/pojo.77.3.239.54092.

Goodman-Delahunty, Jane, and Natalie Martschuk. Mock Jury and Juror Responses to Uncharged Acts of
Sexual Misconduct: Advances in the Assessment of Unfair Prejudice. Zeitschrift Für Psychologie. Vol.
228, 2020. https://doi.org/10.1027/2151-2604/a000410.

Greijer, Susanna, and Jaap Doek. Terminology Guidelines for the Protection of Children from Sexual
Exploitation and Sexual Abuse. 1st ed. Bangkok: ECPAT International, 2016.

Grosskopf, Angelique. “Online Interactions Involving Suspected Paedophiles Who Engage Male Childre.” Trends

112
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

& Issuesin Crime and Criminal Justice. Australian Government: Australian Institute of Criminology,
December 2010.

Hafizhah, Annisa, and Lamsumihar Andjelina Panggabean. “Kekeliruan Pemahaman Tentang Online
Grooming Dalam Sistem Hukum Di Indonesia.” Jurnal Wanita Dan Keluarga 2, no. 1 (July 26, 2021):
1–11. https://doi.org/10.22146/JWK.2238.

Hailes, Helen, Rongqin Yu, Andrea Danese, and Seena Fazel. “Long-Term Outcomes of Childhood Sexual
Abuse: An Umbrella Review.” The Lancet Psychiatry 6 (September 1, 2019). https://doi.org/10.1016/
S2215-0366(19)30286-X.

Hartung, Pedro. “The Children’s Rights-by-Design Standard for Data Use by Tech Companies.” Good
Governance of Children’s Data Project Office of Global Insight and Policy. New York, November 2020.

Hirschtritt, Matthew E., Douglas Tucker, and Renée L. Binder. “Risk Assessment of Online Child Sexual
Exploitation Offenders.” The Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law 47, no. 2
(June 1, 2019): 155–64. https://doi.org/10.29158/JAAPL.003830-19.

Howitt, D., and K. Sheldon. Sex Offenders and the Internet. Wiley, 2009. https://books.google.co.id/
books?id=-XO\_wPs6a-gC.

Ikhsan, Edy and Rosmalinda. “Should Children Be Victims of Their Future? (Reflections on the Implementation
of Child Rights through Legal Terms).” Central Asia and the Caucasus 23, no. 1 (March 2, 2022): 577–92.
https://doi.org/10.37178/CA-C.23.1.051.

International Centre for Missing & Exploited Children. “Online Grooming of Children for Sexual Purposes:
Model Legislation & Global Review.” International Centre for Missing & Exploited Children, 2017.

International Labour Organization. “ILO Monitor: COVID-19 and the World of Work,” 2021.

Iqbal, Muhammad, and Genie Cyprien. “The Urgency of Regulation in the Case of Online Gender-Based
Violence in Indonesia.” Sawwa: Jurnal Studi Gender 16, no. 2 (October 30, 2021): 173–90. https://
doi.org/10.21580/SA.V16I2.8132.

Joleby, Malin, Carolina Lunde, Sara Landström, and Linda S. Jonsson. “Offender Strategies for Engaging
Children in Online Sexual Activity.” Child Abuse and Neglect 120 (October 1, 2021). https://doi.
org/10.1016/J.CHIABU.2021.105214.

Kaylor, Leah E., Georgia M. Winters, Elizabeth L. Jeglic, and Jennifer Cilli. “An Analysis of Child Sexual
Grooming Legislation in the United States.” Psychology, Crime & Law, February 22, 2022, 1–19. https://
doi.org/10.1080/1068316X.2022.2043313.

Kemp, Simon. “Digital 2020: Indonesia,” February 18, 2020.

———. “DIGITAL 2021: INDONESIA,” 2021.

———. “Digital 2022: Indonesia,” February 15, 2022.

Kim, Hong-ji. “Outrage in South Korea over Telegram Sexual Abuse Ring Blackmailing Women and Girls.”
The Guardian, 2020. https://www.theguardian.com/world/2020/mar/25/outrage-in-south-korea-
over-telegram-sexual-abuse-ring-blackmailing-women-and-girls.

Kim, Jeongyeon. “Characteristics of ‘Grooming’ Sexual Crimes in Sexual Violence Crime Cases and Critical
Review of Relevant Revised Legal Provisions.” Korean Association Of Victimology 27, no. 2 (August 31,
2019): 31–60. https://doi.org/10.36220/kjv.2019.27.2.31.

Kloess, Juliane A., Sarah Seymour-Smith, Catherine E. Hamilton-Giachritsis, Matthew L. Long, David Shipley,

113
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

and Anthony R. Beech. “A Qualitative Analysis of Offenders’ Modus Operandi in Sexually Exploitative
Interactions With Children Online.” Sexual Abuse : A Journal of Research and Treatment 29, no. 6
(September 1, 2017): 563–91. https://doi.org/10.1177/1079063215612442.

———. “A Qualitative Analysis of Offenders’ Modus Operandi in Sexually Exploitative Interactions With
Children Online.” Sexual Abuse : A Journal of Research and Treatment 29, no. 6 (September 1, 2017):
563–91. https://doi.org/10.1177/1079063215612442.

Knoll, James. “Teacher Sexual Misconduct: Grooming Patterns and Female Offenders.” Child Sexual Abuse
19, no. 4 (July 2010): 371–86. https://doi.org/10.1080/10538712.2010.495047.

KPPPA RI. “Data Kasus Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Indonesia.” SIMFONI-PPA, April 2022. https://
kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan.

Krone, Tony, Caroline Spiranovic, Jeremy Prichard, Paul Watters, Richard Wortley, Karen Gelb, and Charlotte
Hunn. “Child Sexual Abuse Material in Child-Centred Institutions: Situational Crime Prevention
Approaches.” Journal of Sexual Aggression 26, no. 1 (January 2, 2020): 91–110. https://doi.org/10
.1080/13552600.2019.1705925.

Kurniawan, Indra. “Kasus Perdagangan Manusia Di Bandung Terungkap, Tersangka Merupakan Mahasiswi.”
PRFM News, January 2022. https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-133591394/
kasus-perdagangan-manusia-di-bandung-terungkap-tersangka-merupakan-mahasiswi.

Kürtüncü, Meltem, Tülay Kuzlu Ayyıldız, and Aylin Kurt. “An Examination of Smartphone Addiction and
Loneliness among High School Students According to Various Variables: A Sample from Turkey.”
Perspectives in Psychiatric Care 57, no. 2 (April 1, 2021): 941–47. https://doi.org/10.1111/PPC.12639.

Lanning, Kenneth. “The Evolution of Grooming: Concept and Term.” Journal of Interpersonal Violence 33,
no. 1 (January 1, 2018): 5–16. https://doi.org/10.1177/0886260517742046.

Lanning, Kenneth V., and Park Dietz. “Acquaintance Molestation and Youth-Serving Organizations.” Journal of
Interpersonal Violence 29, no. 15 (October 1, 2014): 2815–38. https://doi.org/10.1177/0886260514532360.

Lawson, Louanne. “Isolation, Gratification, Justification: Offenders’ Explanations of Child Molesting.” Issues
in Mental Health Nursing 24, no. 6–7 (2003): 695–705. https://doi.org/10.1080/01612840305328.

Leander, Lina, Sven Christianson, and Pär Granhag. “Internet-Initiated Sexual Abuse: Adolescent Victims’
Reports About On- and Off-Line Sexual Activities.” Applied Cognitive Psychology 22 (December 1, 2008):
1260–74. https://doi.org/10.1002/acp.1433.

Marshall, W.L., S. Smallbone, and Liam Marshall. “A Critique of Current Child Molester Subcategories: A
Proposal for an Alternative Approach.” Psychology, Crime & Law 21 (September 17, 2014): 205–18.
https://doi.org/10.1080/1068316X.2014.925724.

Miller-Perrin, Cindy, and Sandy K. Wurtele. “Sex Trafficking and the Commercial Sexual Exploitation of
Children.” Women & Therapy 40, no. 1–2 (n.d.): 123–51. https://doi.org/10.1080/02703149.2016.1
210963.

Minnie, Deon. “The Grooming Process And The Defence Of Consent In Child Sexual Abuse Cases.” Nelson
Mandela Metropolitan University, 2008.

Mitchell, Kimberly J., David Finkelhor, Lisa M. Jones, and Janis Wolak. “Use of Social Networking Sites in
Online Sex Crimes against Minors: An Examination of National Incidence and Means of Utilization.”
The Journal of Adolescent Health: Official Publication of the Society for Adolescent Medicine 47, no. 2

114
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

(August 2010): 183–90. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2010.01.007.

National Center for Missing and Exploited Children. “2019 Reports by Electronic Service Providers (ESP),”
2020.

Noval, Sayid Muhammad Rifki, Soecipto, Ahmad Jamaludin, Dandi Ditia Saputra, Nabila Farah Munifah,
Nurhasanah, Puji Syukur Raswanti, and Sely Nur Lestia. “De-Eskalasi Perdagangan Dan Eksploitasi
Anak Secara Daring Di Era Pandemi Covid-19 Dalam Optik Hukum Telematika.” SANKSI 1, no. 1 (2022).

O’Connell, Rachel. “A Typology of Child Cybersexploitation and Online Grooming Practices.” In Rom Mobile
to Fixed Internet: The Morphing of Criminal Activity Online. Auckland, New Zealand, 2003. https://
www.semanticscholar.org/paper/A-TYPOLOGY-OF-CHILD-CYBERSEXPLOITATION-AND-ONLINE-Cy
berspace/898c0e9791e5d227dd875129ca05cf7cae08d4c4.

Olson, Loreen, Joy Daggs, Barbara Ellevold, and Teddy Rogers. “Entrapping the Innocent: Toward a Theory
of Child Sexual Predators’ Luring Communication.” Communication Theory 17 (July 25, 2007): 231–51.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2007.00294.x.

Parhani, Siti. “Apa Itu Child Grooming Dan Mengapa Ini Kekerasan Seksual.” MAGDALENE, January 8,
2021. https://magdalene.co/story/apa-pun-alasannya-grooming-adalah-kekerasan-seksual.

Permana, Rakhmad Hidayatulloh. “Mengenal Grooming, Modus Baru Pelecehan Seksual Terhadap Anak.”
DetikNews, July 2019.

Petrunik, Michael. “The Shaming of Sexual Offenders: Risk, Retribution and Reintegration by A.-M. McAlinden.”
The Howard Journal of Criminal Justice 47 (July 1, 2008): 338–39. https://doi.org/10.1111/j.1468-
2311.2008.00526_6.x.

Pollack, Daniel, and Andrea MacIver. “Understanding Sexual Grooming in Child Abuse Cases.” ABA Child
Law Practice 34 (November 1, 2015): 165–68.

Rahmat, Mei Amelia. “Polisi Tangkap Pelaku Child Grooming via Aplikasi Game Online.” detikNews, July 29,
2019. https://news.detik.com/berita/d-4643687/polisi-tangkap-pelaku-child-grooming-via-aplikasi-
game-online.

Reid, Joan A., and Shayne Jones. “Exploited Vulnerability: Legal and Psychological Perspectives on Child
Sex Trafficking Victims.” Victims & Offenders 6, no. 2 (April 2011): 207–31. https://doi.org/10.1080
/15564886.2011.557327.

Ringenberg, Tatiana R., Kathryn C. Seigfried-Spellar, Julia M. Rayz, and Marcus K. Rogers. “A Scoping
Review of Child Grooming Strategies: Pre- and Post-Internet.” Child Abuse & Neglect 123 (January 1,
2022): 105392. https://doi.org/10.1016/J.CHIABU.2021.105392.

Rutai, Zsuzsanna. Online Grooming of Children - Experiences to Be Used in Cyprus, 2013.

Salman, Ghinan. “Prostitusi Di Rusunawa Surabaya, Tersangka Ajari Korban Download Aplikasi Kencan Untuk
Cari Pelanggan.” KOMPAS.com, 2022. https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/03/114700978/
prostitusi-di-rusunawa-surabaya-tersangka-ajari-korban-download-aplikasi?page=all#page2.

Salter, Anna. Transforming Trauma: A Guide to Understanding and Treating Adult Survivors of Child Sexual
Abuse. Thousand Oaks, California, 2022. https://doi.org/10.4135/9781452232102.

Seo, Yoonjung, and Julia Hollingsworth. “South Korea Is Cracking down on Digital Sex Crimes. Has It Done
Enough?” CNN, 2021. https://edition.cnn.com/2021/01/15/asia/south-korea-telegram-digital-sex-
intl-hnk-dst/index.html.

115
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 99-117

Seymour-Smith, Sarah, and Juliane Kloess. “A Discursive Analysis of Compliance, Resistance and Escalation
to Threats in Sexually Exploitative Interactions between Offenders and Male Children.” British Journal
of Social Psychology 60 (January 22, 2021). https://doi.org/10.1111/bjso.12437.

Shakeshaft, Charol. “Educator Sexual Misconduct: A Synthesis of Existing Literature PPSS 2004-09.” US
Department of Education. ED Pubs, P, June 2004. https://eric.ed.gov/?id=ED483143.

Shannon, David. “Online Sexual Grooming in Sweden-Online and Offline Sex Offences against Children
as Described in Swedish Police Data.” Journal of Scandinavian Studies in Criminology and Crime
Prevention 9, no. 2 (2008): 160–80. https://doi.org/10.1080/14043850802450120.

Sirait, Arist Merdeka. “EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL MENGINTAI ANAK KITA.” Jurnal Legislasi
Indonesia 3, no. 5 (2008): 87–92.

Sullivan, Joe, and Ethel Quayle. “Manipulation Styles of Abusers Who Work with Children.” In Creating
Safer Organisations, 85–98, 2012. https://doi.org/10.1002/9781119943228.ch5.

Taufan, Sabik Aji. “236 Kasus Child Grooming Terjadi Sepanjang 2019.” Jawa Pos, August 3, 2019.
https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/03/08/2019/236-kasus-child-grooming-terjadi-
sepanjang-2019/.

Tufford, Lea, and Barbara Lee. “Relationship Repair Strategies When Reporting Child Abuse and Neglect.”
Child and Adolescent Social Work Journal 37, no. 3 (2020): 235–49. https://doi.org/10.1007/s10560-
020-00656-6.

Twis, Mary K., Lynzee Kirschner, and Don Greenwood. “Trafficked by a Friend: A Qualitative Analysis of
Adolescent Trafficking Victims’ Archival Case Files.” Child and Adolescent Social Work Journal 38, no.
6 (July 31, 2020): 611–20. https://doi.org/10.1007/S10560-020-00662-8.

UNODC. “Global Report on Trafficking in Persons 2020.” Vienna: United Nations, 2021.

Villacampa, Carolina, and Ma Jesus Gómez. “Online Child Sexual Grooming: Empirical Findings on
Victimisation and Perspectives on Legal Requirements.” Http://Dx.Doi.Org/10.1177/0269758016682585
23, no. 2 (December 20, 2016): 105–21. https://doi.org/10.1177/0269758016682585.

Wijakusumariasih, Ni Putu Ika. “Legal Protection For Children Againts Sexual Exploitation and Abuse of
Children Online.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 8, no. 1 (May 30,
2019): 1. https://doi.org/10.24843/jmhu.2019.v08.i01.p01.

Winters, Georgia M., Elizabeth L. Jeglic, and Leah E. Kaylor. “Validation of the Sexual Grooming Model of
Child Sexual Abusers.” Https://Doi.Org/10.1080/10538712.2020.1801935 29, no. 7 (October 2, 2020):
855–75. https://doi.org/10.1080/10538712.2020.1801935.

Winters, Georgia M., Leah E. Kaylor, and Elizabeth L. Jeglic. “Toward a Universal Definition of Child Sexual
Grooming.” Deviant Behavior, 2021. https://doi.org/10.1080/01639625.2021.1941427.

Winters, Georgia M., Sarah Schaaf, Rasmus F. Grydehøj, Cecilia Allan, Amber Lin, and Elizabeth L. Jeglic.
“The Sexual Grooming Model of Child Sex Trafficking.” Victims & Offenders 17, no. 1 (2021): 60–77.
https://doi.org/10.1080/15564886.2021.1926031.

Wulandari, Murfiah Dewi, Fattah Hanurawan, Tutut Chusniyah, and Sudjiono. “Children’s Knowledge and
Skills Related to Self-Protection from Sexual Abuse in Central Java Indonesia.” Journal of Child Sexual
Abuse 29, no. 5 (July 3, 2020): 499–512. https://doi.org/10.1080/10538712.2019.1703231.

Yonhap. “Child Grooming for Sexual Abuse to Be Punished in S. Korea.” The Korea Herald, March 2021.

116
Mengeksplorasi Kegiatan Kebijakan... (Dandi Ditia Saputra; Sayid Mohammad Rifqi Noval; Ahmad Jamaludin)

http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20210323000135.

Young, Greyson K. “How Much Is Too Much: The Difficulties of Social Media Content Moderation.” Information
and Communications Technology Law 31, no. 1 (2022): 1–16. https://doi.org/10.1080/13600834.2
021.1905593.

Young, Jessie, and Yoonjung Seo. “South Korean Leader of Telegram Sexual Blackmail Ring Sentenced to
40 Years.” CNN, 2020. https://edition.cnn.com/2020/11/25/asia/korea-telegram-sex-crime-verdict-
intl-hnk/index.html.

Yu, Hyo Eun, and Chang Han Lee. “Determinants of Responses to Cyber Sexual Harassment and Sexual
Violence Victimization.” Korean Association Of Victimology 28, no. 3 (December 30, 2020): 31–57.
https://doi.org/10.36220/kjv.2020.28.3.31.

117
Konsekuensi Pengaturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
Terhadap Prinsip Check And Balances

I Gusti Ayu Ketut Intan Pradnyawati, I Gusti Ayu Putri Kartika, Made Gde Subha Karma Resen.

Universitas Udayana
E- Mail: intanpradnya08@gmail.com
Ubaiyana
Direktorat Hukum dan Regulasi
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Abstract

The capital city of the Nusantara as specified in Law Number 3 of 2022 concerning the State Capital, is a
special area that has several specificities. one of them is the regulation regarding the head of the authority.
This study aims to analyze consequences of setting the head of authority in the IKN Law and its relation to
the principle of checks and balances. The method used in this research is a normative legal research method.
This study shows that the arrangement of the head of the authority at the ministerial level has significant
consequences, regarding the legitimacy of the president in appointing and replacing the position of the Head
of the Authority through a reshuffle. Another consequence is the reinstatement of head of the authority without
clear boundaries and the absence of DPRD in the Capital City of the Nusantara and the arrangement and
special duties of the head of the authority which can lead to executive heavy so that it can damage the concept
of checks and balances. Such an arrangement gives legitimacy to the DPRRI to carry out its oversight because
it doesn’t have a clear regulatory.

Key Words: Capital City, Head of the Authority, Consequences

Abstrak

Ibu kota Nusantara sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara adalah sebuah daerah khusus yang memiliki beberapa kekhususan. Salah satunya mengenai
pengaturan kepala otorita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsekuensi dari pengaturan kepala
otorita dalam UU IKN dan kaitannya dengan prinsip check and balances. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan
kepala otorita setingkat menteri memiliki konsekuensi yang cukup signifikan, yaitu mengenai legitimasi
presiden dalam penunjukkan dan penggatian jabatan Kepala Otorita melalui reshuffle. Konsekuensi
pemilihan kembali kepala otorita tanpa batasan yang jelas serta ketiadaan DPRD di Ibu Kota Nusantara
dan pengaturan kewenangan dan tugas khusus kepala otorita yang dapat menyebabkan executive heavy
sehingga dapat mencederai konsep check and balances. Pengaturan demikian memberikan legitimasi
kepada DPRRI untuk melaksanakan pengawasannya dikarenakan belum memiliki pengaturan yang jelas.

Kata Kunci: Ibu Kota, Kepala Otorita, Konsekuensi


Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

A. Pendahuluan

Pengesahan Rancangan Undang–Undang tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang – Undang Nomor
3 Tahun 2022 (selanjutnya disebut UU IKN) oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah pada tanggal
18 Januari 2022 menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pasca diundangkannya UU IKN tersebut,
Indonesia akan mempunyai Ibu Kota Negara (IKN ) yang baru menggantikan Jakarta. Pengundangan UU
IKN ini menjadi legitimasi pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Wacana pemindahan ibu kota negara tidak hanya muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo, wacana mengenai pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden
Sukarno. Rencana pemindahan ibu kota negara juga kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto yang menyatakan bahwa Jakarta tidak lagi bisa merepresentasikan ibu kota negara sehingga
memerlukan wilayah baru. Presiden Soeharto kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun
1997 mengenai pengembangan daerah Jonggol.1
Kementerian PPN/Bappenas melakukan pengkajian sejak tahun 2017 yang pada pokoknya menyimpulkan
bahwa Ibu Kota Negara, yang saat ini berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta, sudah tidak lagi dapat
mengemban peran yang optimal untuk menjadi kota yang menjamin warganya senantiasa aman, terhindar
dari bencana alam, atau untuk mendapatkan kondisi hidup layak dan berkelanjutan. Hal itu disebabkan
dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi
lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun, dan ketidakmerataan persebaran
pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah lain.2
Pertimbangan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur juga berkaca pada keberhasilan
negara lain misalnya di Uni Emirat Arab, dimana Dubai oleh masyarakat dunia terkenal sebagai kota bisnis
utama tetapi yang menjadi ibu kota negara adalah Abu Dhabi. Negara lain yang sukses dalam melakukan
pemindahan ibu kota adalah India yang memisahkan pusat bisnis di Mumbai dan menetapkan New Delhi
sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan.3 Bahkan negara Brazil juga sempat memindahkan ibukotanya
dari Rio De Janeiro ke Brasília, pemindahan ini dianggap berhasil dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk
dari awal pemindahan tahun 1960: 136.643 orang; Tahun 2000: 2.931.823 orang; Tahun 2019: 4.558.991
orang. Hal lain juga dapat dilihat dari GDP per capita tertinggi di Brazil R$ 64.653, sebagai perbandingan
Rio de Janeiro hanya R$ 31.064.4
Ibu Kota Nusantara sebagai daerah khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN dijamin
kekhususannya dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang”. Salah satu kekhususan yang terdapat dalam UU IKN adalah kepala pemerintahan Ibu Kota
Nusantara tidak dipimpin oleh seorang gubernur seperti daerah-daerah lain di Indonesia melainkan Kepala
Otorita. Keberadaan Kepala Otorita sebagai kepala pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Nusantara diatur
dalam Pasal 1 ayat (10) UU IKN. Lebih lanjut, dalam UU IKN ditentukan bahwa Otorita Ibu Kota Nusantara
sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota
Nusantara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b UU IKN. Otorita Ibu Kota Nusantara
adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibu
Kota Nusantara merupakan satuan wilayah setingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Otorita
yang kedudukannya setingkat menteri.
1
Ervin Nugrohosudin, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legislatif 5. no 2 (2022): 80, doi:
https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21002
2
Kementrian PPN/Bappenas, “Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara,” halaman 48-
49.
3
Wesley Liano Hutasoit, “Analisa Pemindahan Ibukota Negara,” Jurnal Dedikasi 19, no. 2 (2018):108-128, DOI:
https://doi.org/10.31293/ddk.v39i2.3989
4
Kementrian PPN/Bappenas, “Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara,” halaman 5

119
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

Kedudukan Kepala Otorita yang setingkat menteri dan di sisi lain memimpin suatu satuan wilayah
setingkat provinsi merupakan ketentuan yang tergolong baru dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di
Indonesia sehingga menarik untuk dikaji lebih lanjut . Pada umumnya penyelenggaraan pemerintahan daerah
di Indonesia dipimpin oleh seorang gubernur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya
disebut UU Pemerintahan Daerah) ditentukan bahwa gubernur sebagai Penyelenggara Pemerintahan di
daerah juga sebagai wakil pusat di daerah. Provinsi selain berkedudukan sebagai daerah otonom juga
berkedudukan sebagai wilayah administrasi maka dari itu selain mengurus daerah otonom gubernur sebagai
kepala daerah juga sebagai wakil pusat didaerah.5
Meskipun tergolong sebagai konsep yang baru di Indonesia tetapi pengaturan kedudukan Kepala
Otorita yang setingkat menteri untuk memimpin suatu daerah selaras dengan ketentuan pasal 18B ayat 1
UUD 1945 yang pada prinsipnya menentukan bahwa kekhususan suatu daerah diakui sepanjang diatur
dengan undang – undang. Pengaturan Kepala Otorita yang demikian dipandang mempermudah koordinasi
antara presiden dan Kepala Otorita dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait dengan ibu kota
negara. Namun, konsekuensi pengaturan Kepala Otorita setingkat menteri berpotensi mengalami reshuffle/
pergantian jabatan Kepala Otorita dan Wakil Kepala Otorita oleh presiden, potensi tersebut diperkuat dengan
ketiadaan lembaga legislatif di IKN. Dalam kaitannya dengan teori check and balance yang menekankan
antara Eksekutif, Legislatif, dan juga Yudikatif agar tidak terjadi kekuasaan penuh terhadap lembaga
eksekutif (executive heavy). Kekuasaan eksekutif yang terlalu mendominasi, berpotensi besar menciptakan
abuse of power dalam pemerintahan
Dengan demikian, maka penulis dalam tulisan ini akan mengkaji permasalahan tersebut dengan judul
“Konsekuensi Pengaturan Kepala Otorita SDalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota
Negara terhadap Teori Check And Balances.” Sebelumnya terdapat beberapa penelitian yang membahas
tentang kedudukan dan kewenagan Kepala Otorita Ibu Kota Negara dengan judul “Kedudukan Kepala Otorita
Ibu Kota Nusantara ” yang ditulis oleh Ervin Nugrohosudin6 dan tulisan dengan judul “Pengangkatan Kepala
Otorita Ibu Kota Negara Dari Non Parpol: Perspektif Politik“ yang ditulis oleh Prayudi.7 Penelitian pertama
membahas mengenai penjabaran kedudukan kepala otorita IKN dan latar belakang pemindahan IKN ke
Kalimantan Timur sedangkan Penelitian yang kedua lebih menitikberatkan aspek politik dari pengangkatan
Kepala Otorita sedangkan fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengkaji pengaturan
kedudukan kepala otorita setingkat dengan menteri dan apa konsekuensi yuridis dari kedudukan kepala
otorita yang setingkat dengan menteri tersebut.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini ialah 1). Bagaimana kedudukan dan kewenagan dari kepala
dan wakil kepala otorita ibu kota nusantara? Dan rumusan masalah kedua 2) Bagaimana konsekuensi
pengaturan kedudukan kepala otorita ibu kota nusantara dalam UU IKN terhadap teori check and balances?

II. Metode Penelitian


Metode penelitian adalah tata cara mengklarifikasi masalah dan mengembangkan pengetahuan dengan
menggunakan metode ilmiah.8 Metode penelitian hukum yang penulis gunakan dalam menyusun penulisan
ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
5
M. Arafat Hermana dan Arie Elcaputera. “Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Di Daerah Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 5, no.2 (2020): 113, doi:http://dx.doi.
org/10.29300/imr.v5i2.3482.
6
Ervin Nugrohosudin, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legislatif 5. no 2 (2022): 80, DOI:
https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21002
7
Prayudi, “Pengangkatan Kepala Otorita Ibu Kota Negara Dari Nonparpol: Perspektif Politik”, Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI 14, no.5 (2022)
8
Jonadi Efendi & Johnny Ibrahim, “Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”, (Depok: Premada Media
Group,2018).

120
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

untuk mencari solusi pada tataran standar filosofis, kaidah, asas, teori, dan kaidah hukum.9 Penulis
dalam mengkaji permasalahan menggunakan pendekatan perundang –undangan (statute approach) dengan
menempatkan UU IKN sebagai objek dari kajian serta beberapa pendekatan lain seperti pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative
approach).

III. Hasil Dan Pembahasan


3.1 Kedudukan Dan Kewenangan Kepala Otorita

Kepala otorita merupakan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah kepala Pemerintah Daerah
Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU IKN. Hal ini merupakan sesuatu
yang baru dalam ketatanegaraan di Indonesia, sistem pemerintahan di Indonesia pada umumnya dipimpin
oleh seorang gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 ditentukan bahwa
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis.” Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sebagaimana ditentukan dalam UU IKN dan Undang – Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka dapat
dianalisis mengenai persamaan dan perbedaan antara tugas dan kewenangan gubernur dan kepala otorita.

1.1 Tabel Perbandingan Kewenangan Kepala Otorita dan Gubenur

Berdasarkan tabel perbandingan di atas terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara tugas
dan kewenangan Kepala Otorita dan kepala daerah. Persamaannya secara jelas dapat dilihat dari tugas
sebagai penyelenggaraan pemerintahan, kesamaan tersebut juga diungkapkan oleh Anggota Pansus RUU
Ibu Kota Negara (IKN) DPR, Guspardi Gaus yang dikutip dari laman JawaPos.Com10 yang mengatakan
9
Yati Nurhayati, Ifrani & M. Yasir Said, “Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum”, Jurnal
Penegakkan Hukum Indonesia (JPHI) 2, no.1 (2021):1-2, doi: https://doi.org/10.51749/jphi.v2i1.14
10
Anonim. Penjelasan Tentang Posisi Kepala Otorita di Ibu Kota Nusantara. JawaPos.com. Dipublikasikan pada19
Januari 2022. Diakses pada 14 November 2022. https://www.jawapos.com/ibu-kota-baru/19/01/2022/penjelasan-
tentang-posisi-kepala-otorita-di-ibu-kota-nusantara/?page=all

121
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

“tidak ada bedanya antara tugas gubernur dengan Kepala Otorita dikarenakan mereka sebagai pelaksana
pembangunan. Yang menjadi pembeda adalah Kepala Otorita langsung bertanggung jawab kepada Presiden
RI sementara Gubernur bertanggung jawab ke DPRD.”

Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa antara kepala daerah dan Kepala Otorita memuat sejumlah
perbedaan yang menunjukkan sifat khusus Kepala Otorita seperti, pengadaan tanah, perizinan investasi,
kemudahan berusaha, serta pemberian fasilitas khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan dalam
rangka kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara dan lain sebagainya. Kedudukan
Kepala otorita yang setingkat menteri tetapi memimpin suatu pemerintahan daerah daerah setingkat provinsi
sehingga dalam penjabaran tersebut konsep Otorita IKN didesain layaknya pemerintahan daerah setingkat
provinsi.11 Kedudukan Kepala Otorita yang demikian bertujuan agar terjaminnya keberlangsungan IKN
dan tidak terlibat tarik menarik kepentingan politik praktis/pemilu kepada daerah12 serta meminimalisasi
campur tangan politik praktis yang sudah dilakukan dalam tataran pemerintahan pusat yaitu antara
Presiden dan DPR.13 Selain itu juga untuk mempermudah koordinasi antara presiden dan Kepala Otorita
dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangan terkait dengan ibu kota negara.
Sifat khusus dari Ibu Kota Nusantara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN dijamin
dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang memberikan ruang untuk dibentuknya daerah khusus. Meskipun
dalam UUD tidak dijelaskan mengenai syarat – syarat dibentuknya daerah khusus tetapi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010 halaman 39 dapat dijadikan tolok ukur untuk menentukan
dapatkah suatu daerah dikatakan sebagai daerah khusus atau tidak. Berdasarkan putusan tersebut, maka
suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak
asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan
dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status
khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Jika dikaitkan dengan putusan tersebut maka
penetapan IKN sebagai daerah khusus terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi
dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus.

3.2 Konsekuensi Pengaturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Dalam UU IKN Terhadap
Prinsip Check and Balances

Di Indonesia, secara umum satuan pemerintah daerah dipimpin oleh seorang gubernur yang dipilih
secara demokratis oleh rakyat. Hal demikian secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (4) UUD
1945. Kendatipun demikian, ketentuan tersebut tidak mengabaikan adanya pemerintahan khusus di suatu
daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Implementasi dari pemerintahan khusus
di Indonesia dapat dilihat pada penetapan beberapa daerah khusus di Indonesia seperti Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.14 Dimana di Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X
merupakan Raja Kesultanan Yogyakarta yang memimpin setelah wafatnya sang ayah pada 2 Oktober 1988.

11
Fanisa Luthfia Putri Erwanti Dan Waluyo, “Catatan Kritis Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
Tentang Ibu Kota Negara Serta Implikasi Hukum Yang Ditimbulkan,” Jurnal Demokrasi Dan Ketahanan Nasiona l1, no.
1(2022):44-56.
12
DR. K.R.R.A. Suharyono S. Hadiningrat, Hasil Kajian Impi :Aspirasi Rakyat Dalam Pemindahan Ikn Dari Jakarta Ke
Kalimantan Timur.
13
Nicholas Ryan Aditya dan Dian Erika Nugraheny. Poin Penting Undang-Undang Ibu Kota Negara Yang Tak Boleh
Dilewatkan. Kompas.com. Dipublikasikan pada 20 Februari 2022. Diakses pada 20 November 2022. https://jeo.
kompas.com/poin-penting-undang-undang-ibu-kota-negara-yang-tak-boleh-dilewatkan
14
Baharudin, “Desain Daerah Khusus/ Istimewa Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Menurut
Konstitusi”, Masalah - Masalah Hukum 45, no. 2 (2016); 85-92, doi:10.14710/mmh.45.2.2016.85-92

122
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

Pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal
18 ayat (4) UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut frasa ‘secara demokratis’ jika dikaji berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013 bahwa baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun
pemilihan secara tidak langsung sama-sama masuk dalam kategori demokratis.15 Hal ini senada dengan
pendapat dari Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa ketentuan pemilihan secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
ini dapat dilaksanakan baik melalui cara langsung atau dengan cara tidak langsung melalui DPRD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU IKN ditentukan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara
merupakan kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri,
ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR”. Lebih lanjut pada
penjelasan pasal tersebut ditentukan bahwa “Sebagai salah satu bentuk kekhususan, kepala daerah di Ibu
Kota Nusantara tidak dipilih melalui pemilihan umum namun ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh
Presiden dengan sebelumnya berkonsultasi dengan DPR. Yang dimaksud dengan "berkonsultasi dengan
DPR' adalah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR yang ditunjuk dan/atau diberi kewenangan untuk
hal tersebut”.
Kedudukan Kepala Otorita setingkat menteri memberikan legitimasi kepada presiden dalam menunjuk,
mengangkat dan memberhentikan Kepala Otorita sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU IKN.
Legitimasi penunjukkan kepala otorita oleh presiden adalah implementasi dari hak prerogatif presiden. Hak
prerogatif secara sederhana dapat diartikan sebagai kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh seorang presiden
tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya.16 Thomas Jefferson menjelaskan bahwa, hak prerogatif adalah
kekuasaan yang langsung diberikan oleh konstitusi (power granted him directly by constitution).17 Hak
prerogatif merupakan implikasi dari dianutnya sistem pemerintahan presidensial di Indonesia berdasarkan
UUD 1945.
Secara konseptual pola hubungan antara menteri dalam sistem presidensial adalah sepenuhnya pembantu
presiden, artinya menteri dalam kabinet merupakan perpanjangan tangan presiden yang melaksanakan
sepenuhnya kebijakan yang telah digariskan oleh presiden.18 Pola hubungan dari presiden dengan lembaga
setingkat menteri seperti Panglima Tentara Nasional Indonesia19 dalam pola relasinya dengan presiden
dapat dikaji berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang pada pokoknya
menentukan bahwa TNI bertanggung jawab kepada Presiden. Ketentuan tersebut senada dengan ketentuan
Pasal 10 UUD 1945 ditentukan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Sedangkan kepala daerah selain berkedudukan sebagai daerah
otonom juga berkedudukan sebagai wilayah administrasi sehingga selain mengurus daerah otonom Gubernur
sebagai kepala daerah juga sebagai wakil pusat di daerah.20 Sebagai kepala daerah otonom maka gubernur
tidak bertanggung jawab secara langsung kepada presiden dikarenakan dalam konsep otonomi daerah,
daerah mendapatkan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kebutuhan daerah dan masyarakatnya sesuai dengan konstitusi. Kedudukan
gubernur sebagai kepala daerah otonom berhubungan dengan asas desentralisasi, dengan desentralisasi

15
Ali Marwan Hsb, “Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-IX/2013”, Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 03(2016): 227 - 234, doi:https://doi.org/10.54629/jli.v13i3.147
16
Wahyu Gunawan, “Kekuasaan Dan Mekanisme Pengangkatan Menteri Pada Sistem Presidensiil Di Indonesia”, Jurist-
Diction 1, no. 1(2018);345, doi:https://doi.org/10.20473/jd.v1i1.9749
17
Robert Weissberg dalam Sunarto, “Prinsip Cheks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Masalah -
Masalah Hukum Jilid 45, no. 2. (2017):160, doi:http://dx.doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163
18
Indah Purwakasari Prasetyanngsih, 2012, “Kedudukan Menteri Dalam Sistem Pemerintahan Menurut Undang-Udang
No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara”, Skripsi. Program Studi S1 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
19
Anonim. Lembaga Setingkat Menteri. Ombudsman Republik Indonesia. Tidak diketahui tanggal tahun dan bulan
terbit. Diakses pada 11 November 2022. https://ombudsman.go.id/linkdir/link_list?cat_id=2
20
M. Arafat Hermana,” Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Di Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 5, no. 2 (2020):113, doi: http://dx.doi.org/10.29300/imr.v5i2.3482
123
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

gubernur menjadi kepala daerah otonom bertanggung jawab kepada warga yang memilihnya.21 Dalam
melaksanakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga, pemerintahan
daerah berwenang dalam menyelenggarakan urusan hukum dan peraturan perundang-undangan bersama
dengan dewan perwakilan rakyat daerah sebagai unsur pembuat peraturan daerah yang memiliki legalitas
dalam tindakan pemerintahan daerah.
Kedudukan Kepala Otorita setingkat menteri dan bertanggung jawab kepada presiden menurut penalaran
yang wajar berpotensi dilakukannya reshuffle. Secara bahasa, reshuffle memiliki arti perombakan. Istilah
reshuffle ini dekat dengan perombakan atau pergantian kabinet/jabatan dalam sistem pemerintahan. Dalam
politik, reshuffle kabinet merupakan perubahan anggota kabinet pemerintah yang diputuskan oleh kepala
pemerintahan, misalnya presiden.22 Reshuffles kabinet juga dapat didefiniskan sebagai “cabinet reshuffles
– defined as personnel changes in the ministerial composition of a government – may significantly affect
prime-ministerial performance”. 23

Reshuffles dapat dilatarbelakangi oleh konsep kabinet pemerintahan yang ideal ataupun sekedar
kepentingan politik. Hal ini bergantung pada kebijakan pemerintahan yang dijalankan presiden. Selain itu
juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kondisi politik masyarakat. Seperti misalnya desakan
dan aspirasi masyarakat, evaluasi kinerja kabinet yang buruk, korupsi dan skandal, serta tingkat kepercayaan
masyarakat dapat menjadi faktor-faktor Presiden dalam melakukan reshuffle.24 Mencermati bagaimana pola
relasi antara presiden dan Kepala otorita sebagaimana ditentukan pada UU IKN, maka menurut penalaran
yang wajar terdapat probabilitas dilakukannya reshuffle atau penggantian jabatan Kepala Otorita oleh
presiden dengan pertimbangan-pertimbangan politik sebagaimana telah dijelaskan diatas. Demikian pula
dalam UU IKN tidak terdapat pasal yang mengatur mengenai larangan bagi Presiden melakukan reshuffle
kepada Kepala Otorita yang sedang menjabat. Sementara itu, menurut UUD 1945, prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah harus dilakukan secara demokratis. Karenanya, kekosongan dalam peraturan ini tidak
boleh diabaikan, karena minimnya keterlibatan masyarakat atau lembaga legislatif sebagai wakil rakyat
dalam proses pemilihan Kepala Otorita akan mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di IKN. Hal ini
dikarenakan pola relasi antara Presiden dan Kepala Otorita sangat tergantung pada kondisi politik yang
ada. Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya, dimana gubernur sebagai
kepala daerah dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU IKN ditentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
IKN hanya diselenggarakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara tanpa keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Lebih lanjut pada pasal 13 ayat (1) UU IKN ditentukan bahwa “Dikecualikan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota
Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD”. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa Penyelenggaraan pemerintah di IKN tanpa keberadaan DPRD.
Pengawasan oleh DPR RI menjadi konsekuensi logis dari kedudukan Kepala Otorita setingkat menteri
dikarenakan berdasarkan fungsi pengawasan DPR RI, DPR RI berhak untuk mengawasi penyelenggaraan
pelaksanaan pemerintah termasuk menteri-menteri yang membantu presiden melaksanakan pemerintahannya.
Namun menjadi pertanyaan kemudian apakah DPR RI berwenang untuk mengawasi pelaksanaan
penyelenggaraan satuan pemerintahan daerah setingkat provinsi?.

21
Ni Luh Putu Arianti dan A.A Arian, “Kedudukan Dan Kewenangan Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah”, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum 02, no 3(2014):3
22
Siti Nur Aeni. Memahami Reshuffle, Pengertian, Tujuan, dan Penerapannya di Indonesia. Kata Data.co.id. Dipublikasikan
pada15 Juni 2022. Diakses pada 12 November 2022. https://katadata.co.id/agung/berita/62a9b999bcab5/memahami-
reshuffle-pengertian-tujuan-dan-penerapannya-di-indonesia
23
Grotz, Florian, Corinna Kroeber and Marko Kukec. “Cabinet Reshuffles and Prime-Ministerial Performance in Central
and Eastern Europe.” Government and Opposition, 2022, 1–22. doi:10.1017/gov.2022.24.
24
Yusron Munawir, “Problematika Pelaksanaan Hak Prerogatif Presiden dalam Perombakan Kabinet Indonesia Bersatu
II,” Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2013, hlm. 241.

124
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

Secara prinsip, DPR RI memiliki hak bertanya kepada pemerintah termasuk kepada menteri-menteri yang
membantu presiden, khususnya Kepala Otorita yang berkedudukan setingkat menteri. Meskipun pengawasan
DPR RI terhadap Kepala Otorita secar prinsip dimungkinkan karena kedudukan kepala otorita setingkat
menteri, tetapi terhadap fungsi pengwasan DPR RI kepada Kepala Otorita atas ketiadaan DPRD di Otorita
IKN belum memiliki dasar aturan yang jelas, baik dalam UU IKN maupun dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) serta perubahannya, belum
ada ketentuan yang mengatur secara spesifik bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh DPR terhadap
otorita IKN termasuk komisi yang mengawasi pemerintahan otorita. Selain itu, jika dianalisis secara mendalam,
terdapat sejumlah perbedaan antara DPR dan DPRD dalam hal fungsi, kedudukan, keanggotaan, tugas,
dan wewenang berdasarkan UU MD3 beserta perubahannya.

Tabel 1.3 Perbandingan Tugas dan Wewenang DPR

125
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

126
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

Dengan melihat tabel perbandingan di atas maka baik DPRD dan DPR RI memiliki fungsi yang sama
yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Namun dalam pengimplemntasian kedua
tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR dan DPRD berbeda seperti digambarkan pada tabel di atas.
Jika dikaitkan dengan ketiga fungsi DPRD tersebut maka dalam susunan organisasi di bawah Kepala
Otorita maka masing – masing fungsi dari DPRD diimplementasikan oleh beberapa struktur di bawah
Kepala Otorita. Berdasarkan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2022 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Otorita Ibu Kota Nusantara (selanjutnya disebut Perka
OIKN No.1/2022) maka dengan melihat pasal 104 Perka OIKN No.1/2022 ditentukan bahwa “Direktorat
Hukum mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan advokasi hukum, menyusun perjanjian dan
produk hukum dan peraturan perundang-undangan dalam lingkup Otorita Ibu Kota Nusantara” maka
dari kententuan tersebut fungsi legislasi dari DPR diakomodir oleh Direktorat Hukum peraturan, fungsi
pengawasan oleh DPR di otorita diakomodir Direktorat Kepatuhan sebagaimana pasal 106 Perka OIKN
No.1/2022 ditentukan bahwa “Direktorat Kepatuhan mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan
internal, koordinasi supervisi pemenuhan kepatuhan, serta pencegahan pelanggaran di lingkungan Otorita
Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“ dan pengawasan juga
dilakukan oleh Direktorat Pengawasan, Pemantauan, dan Evaluasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 46
Perka OIKN No.1/2022 dengan formulasi “Direktorat Pengawasan, Pemantauan, dan Evaluasi mempunyai
tugas melaksanakan penyiapan perumusan, pengoordinasian, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi, dan
pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, pemantauan, dan evaluasi”. Sedangkan fungsi
anggaran diakomodir oleh Direktorat Pengawasan dan Audit Internal sebagaimana pasal 109 huruf b Perka
OIKN No.1/2022 dengan formulasi “pengawasan internal terhadap kinerja dan keuangan melalui audit,
reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya”.
Susunan organisasi Otorita IKN sekilas memang mampu mengakomodir fungsi – fungsi yang seharusnya
dijalankan DPRD. Namun jika ditelaah lebih dalam maka fungsi legislasi hanya mengakomodir peraturan
perundang–undangan dalam lingkup internal Otorita Ibu Kota Nusantara yang berbeda dengan tugas
DPRD yang membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur sebagai penampung kekhususan
dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah sedangkan dalam pengaturannya
tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945.25
Konsekuensi selanjutnya dari pengaturan Kepala Otorita ialah terkait prosedur pemilihan kembali
kepala otorita. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU IKN ditentukan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota
Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memegang
jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan
diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama”. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan
bahwa “Mekanisme pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota
Nusantara dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah lainnya”. Ketentuan tersebut tidak
mengatur batas maksimal seorang Kepala Otorita dapat dipilih kembali. Kekosongan hukum tersebut dapat
mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di IKN terlebih kurangnya partisipasi-partisipasi lembaga
perwakilan. Pengaturan tersebut juga memberikan konsekuensi bahwa dengan minimnya representasi-
representasi rakyat dalam penunjukkan Kepala Otorita dalam peraturan a qou juga bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang dianut di Indonesia. Namun perlu ditekankan Kembali penetapan kepala
otorita langsung oleh presiden dikarenakan kepala otorita ditetapkan berdasarkan politik hukum pemindahan
dan pembangunan IKN pada rezim politik tertentu pada saat itu. Selain itu, penetapannya juga berdasarkan
kebutuhan pembangunan IKN pada saat itu, misal pada saat tahap pemindahan, dibutuhkan pemimpin
dengan kriteria memiliki riwayat karir di dunia urban planning, planalogi, transportasi, perencanaan
infrastruktur untuk untuk mempermudah pemindahan IKN

25
Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah.

127
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

Berdasarkan tugas dan kewenangan dalam UU IKN yang dimiliki oleh Kepala Otorita sebagaimana
dijelaskan pada tabel di atas, kewenangan- kewenangan yang diemban oleh Kepala Otorita berpotensi
terjadinya executive heavy. Executive heavy terjadi bilamana kekuasaan eksekutif yang terlalu mendominasi,
berpotensi besar menciptakan abuse of power dalam pemerintahan, “The abuse of power can impact corrupt
behavior, collusion and nepotism.” 26
Kekuasaan eksekutif yang terlalu mendominasi, berpotensi besar
menciptakan abuse of power dalam pemerintahan.27
Pola executive heavy dalam pemerintahan yang pernah terjadi dalam politik hukum Indonesia diantaranya:28
1) Dapat dipilih kembali tanpa batas.
2) Tidak adanya kontrol legislatif maupun yudikatif kepad eksekutif.
3) Eksekutif sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan dan sangat sedikit peran dan fungsi
legislatif dalam pembentukannya.
4) Tidak berfungsinya fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif sehingga tidak dapat melakukan
impeachment.
Jika pola tersebut dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan di IKN maka dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Dapat dipilih kembali tanpa batas.
pola ini dapat dilihat dari kekosongan hukum dalam limitasi pemilihan kembali kepala otorita sebagaimana
dijabarkan di atas.
2. Tidak adanya kontrol legislatif maupun yudikatif kepada eksekutif.
berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU IKN ditentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
IKN hanya diselenggarakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara tanpa keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. dengan demikian, kontrol legislatif tidak secara limitatif diatur sebagaimana dijabarkan di atas.
3. Eksekutif sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan dan sangat sedikit peran dan fungsi
legislatif dalam pembentukannya. Pembentukan peraturan perundang - undangan hanya dilakukan
oleh otorita IKN
4. Tidak berfungsinya fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif sehingga tidak dapat melakukan
impeachment. Sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU IKN ditentukan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan IKN hanya diselenggarakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara tanpa keberadaan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyebabkan tidak berfungsinya fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap
eksekutif.
Terpenuhinya pola executive heavy di atas mencirikan adanya penyelenggaraan pemerintahan executive
heavy di otorita IKN. Terpenuhinya pola - pola executive heavy bertentangan dengan prinsip- prinsip negara
hukum Indonesia. Meskipun demikian, perlu diingat kembali bahwa pembentukan otorita IKN adalah dengan
tujuan untuk mempermudah koordinasi antara presiden dan Kepala Otorita dalam menyelenggarakan tugas
dan kewenangan terkait dengan ibu kota negara.
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem check and balance dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Menurut pendapat dari Randall G. Holcomb29 bahwa checks and balances merupakan “a
system of checks and balances requires a separation of powers within the structure of government. The
system of checks and balances works on the principle that the individual branches of government guard their
powers from being usurped by other branches” dengan tidak adanya DPRD di Otorita IKN menyebabkan
ketidakberimbangan pemerintahan atau hilangnya check and balances pada fungsi legislatif di otorita IKN
sehingga kerangka representasi rakyat sudah jelas tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan
pada kawasan Ibu Kota Nusantara. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
26
Bambang Riyadi, “Culture of Abuse of Power in Indonesia from the Perspective of Criminology and Law”, International
Journal of Criminology and Sociology 9 (2020):274-284, doi: https://doi.org/10.6000/1929-4409.2020.09.26
27
Moh. Mahfud MD, dalam Khulaifi Hamdani dan Ulvi Wulan ,2022, “Rezim Executive Heavy Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legisatif 2, no.5(2022) doi: https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21349

128
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

(Perludem), Titi Anggraini, dalam Detik. News menyatakan “…juga Bila tidak ada DPRD di IKN Nusantara,
representasi warga IKN Nusantara dengan pemerintah setempat bakal terputus. Aspirasi warga IKN Nusantara
tidak bisa hanya digantungkan ke DPR dan DPD. Ada potensi bahaya bila DPRD tidak ada, yakni aspek
pengawasan terhadap pemerintah eksekutif akan absen. Dalam kondisi itu, kesewenang-wenangan pemerintah
terhadap rakyat dimungkinkan terjadi".30 Selain itu kepala otorita bertanggung jawab kepada presiden
dan berpotensi tidak dapat secara optimal mengakomodir kepentingan masyarakat setempat.31 Dalam salah
satu tulisan juga dikatakan bahwa 32 “there is a strong consensus in the literature that checks and balances
and separation of powers should be understood almost interchangeably, and that they are important tools
in fighting corruption. It is almost a truism that “checks and balances” are effective in curbing corruption”.
Terlebih lagi dalam Pasal 9 ayat (1) UU IKN dengan formulasi “Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin
oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara
yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR”,
jika diinterpretasikan secara gramatikal, frasa berkonsultasi” pada frasa tersebut berarti hanya sebatas
memberikan saran, apakah saran tersebut akan digunakan atau tidak menjadi keputusan dari presiden.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan
otorita, UU IKN menentukan kedudukan Kepala Otorita adalah setingkat menteri sedangkan kewenangan
khusus yang dimiliki Kepala Otorita diantaranya, pengadaan tanah, perizinan investasi, kemudahan berusaha,
serta pemberian fasilitas khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan dalam rangka kegiatan
persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara dan kewenangan membentuk produk hukum
tanpa diimbangi oleh DPRD IKN.
Konsekuensi dari pengaturan Kepala Otorita dalam UU IKN ialah pertama, pengaturan ini memberikan
konsekuensi presiden untuk menunjuk atau melakukan reshuffle/penggantian jabatan kepala otorita dengan
pertimbangan-pertimbangan politik. Kedudukan Kepala Otorita setingkat menteri tersebut memberikan
konsekuensi DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya kepada Kepala Otorita, oleh karena
pengaturan ini menempatkan Kepala Otorita sebagai pembantu presiden. Kedua, terkait dengan pengaturan
prosedur pemilihan kembali kepala otorita dalam UU IKN, tidak diatur secara jelas mengenai batas maksimal
seorang Kepala Otorita dapat dipilih kembali. Oleh karena itu, dapat dikatakan terdapat kekosongan hukum.
Ketiga, pengaturan mengenai kewenangan-kewenangan khusus ditambah denagan ketiadaan DPRD di
IKN menimbulkan probabilitas executive heavy dalam penyelenggaran pemerintahan otorita. Hal ini juga
mencederai prinsip check and balances karena ketiadaan DPRD di IKN menyebabkan ketidakberimbangan
dalam penyelenggaran pemerintahan dan bertentangan dengan prinsip penyelenggaran pemerintahan daerah
secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945.
V. Rekomendasi
1. Mengembalikan keberadaan fungsi pengawasan pemerintahan otorita oleh lembaga-lembaga perwakilan
rakyat seperti DPRD IKN atau merevisi ketentuan dalam UU MD3 dengan memberikan kewenangan
kepada DPR RI untuk melakukan pengawasan terhadap Kepala Otorita yang merupakan lembaga
setingkat menteri.
2. Melakukan harmonisasi pengaturan terkait mekanisme penunjukkan kepala otorita yang demokratis
sesuai dengan amanat UUD 1945 dan batas maksimum kepala otorita yang sama dapat ditunjuk
kembali.
3. Merubah frasa “konsultasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) UU IKN menjadi “persetujuan”.
28
Miriam Budiardjo, dalam alam Khulaifi Hamdani dan Ulvi Wulan, “Rezim Executive Heavy Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legisatif 2, no.5 (2022) doi: https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21349
29
Randall G. Holcomb, “Checks and Balances: Enforcing Constitutional Constraints”, J 30Anonim. Ahli sebut Bentuk
Pemerintahan IKN Nusantara Tak Demokratis. Detik News. Dipublikasikan pada 25 Januari 2022. Diakses pada 24
Januari 2022. 31Rizk Mulyaningsih, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Dalam Perspektif Hukum Otonomi
Daerah”, Lex renaissance 7, no. 2(2022): 296-309, doi: https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss2.art6
32
Luciano Da Ros & Matthew Taylor, “Checks and Balances: The Concept and Its Implications for Corruption”

129
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Juni 2023: 117-131

DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Jonadi & Ibrahim, Johnny.2018, “Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”, Premada Media
Group, Depok.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. 2011 “Panduan Praktis Memahami Perancangan


Peraturan Daerah”, Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Jakarta.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik


Indonesia. 2021, “Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara”.

Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusi. 2011, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan
Daerah”. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan.

Nugrohosudin, Ervin. 2022, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legislatif 5. no 2: 80.
https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21002

Erwanti, Fanisa Luthfia Putri Dan Waluyo,2022, “Catatan Kritis Pembentukan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara Serta Implikasi Hukum Yang Ditimbulkan”, Jurnal Demokrasi
Dan Ketahanan Nasional1, no. 1:44-56.

Bambang Riyadi, 2020, “Culture of Abuse of Power in Indonesia from the Perspective of Criminology and
Law”, International Journal of Criminology and Sociology 9:274-284, https://doi.org/10.6000/1929-
4409.2020.09.26

Mulyaningsih, Rizk. 2022, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara Dalam Perspektif Hukum Otonomi
Daerah”, Lex Renaissance 7. no2 : 296-309, https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss2.art6

Marwan Hsb, Ali. 2016, “Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-IX/2013”, Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 03: 227 - 234, https://doi.
org/10.54629/jli.v13i3.147

Baharudin, 2016. “Desain Daerah Khusus/ Istimewa Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menurut Konstitusi”, Masalah - Masalah Hukum 45, no. 2: 85-92, http://dx.doi.org/10.14710/
mmh.45.2.2016.85-92

Erwanti, Fanisa Luthfia Putri Dan Waluyo. 2022, Catatan Kritis Pembentukan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara Serta Implikasi Hukum Yang Ditimbulkan, Jurnal Demokrasi
Dan Ketahanan Nasional, Volume 1, No. 1: 44-56.

K.R.R.A. Suharyono S. Hadiningrat, Hasil Kajian Impi :Aspirasi Rakyat Dalam Pemindahan Ikn Dari Jakarta
Ke Kalimantan Timur. Hasil Kajian Impi Aspirasi Rakyat Dalam Pemindahan IKN Dari Jakarta Ke
Kalimantan Timur.

Hamdani, Khulaifi dan Wulan, Ulvi. 2022. “Rezim Executive Heavy Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Ibu Kota Nusantara”, Jurnal Legisatif 2, no.5: 91-100, doi:https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21349

Hermana, M. Arafat dan Elcaputera, Arie. 2020. “Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Di Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 5, no.2:
113, doi:http://dx.doi.org/10.29300/imr.v5i2.3482.

Gunawan, Wahyu. 2018. “Kekuasaan Dan Mekanisme Pengangkatan Menteri Pada Sistem Presidensiil Di
Indonesia,” Jurist-Diction1, no.1:345, doi:https://doi.org/10.20473/jd.v1i1.9749

Nurhayatti, Yati, Ifrani& Said,M.Yasir. 2021 “Metodologi Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu

130
Konsekuensi Peraturan Kepala Otorita... (I Gusti Ayu Ketut, I Gusti Ayu Putri, Made Gede Subha)

Hukum”, Jurnal Penegakkan Hukum Indonesia (JPHI) 2, no.1 :1-2, doi: https://doi.org/10.51749/
jphi.v2i1.14

Da Ros, Luciano & Taylor, Matthew. 2021. “Checks and Balances: The Concept and Its Implications for
Corruption”, Revista Direito GV. 17, no. 10: 3, doi:http://dx.doi.org/10.1590/2317-6172202120

Prayudi. 2022. “Pengangkatan Kepala Otorita Ibu Kota Negara Dari Nonparpol: Perspektif Politik” Pusat
Penelitian Badan Keahlian DPR RI 14, no.5.

Randall G. Holcomb, 2018, “Checks and Balances: Enforcing Constitutional Constraints”, Journal of
Economies 6, no.57: 8-12, doi:http://dx.doi.org/10.3390/economies6040057

Weissberg, Robert dalam Sunarto.2017. “Prinsip Cheks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
Masalah - Masalah Hukum Jilid 45, no. 2:160, doi:http://dx.doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163

Hutasoit, Wesley Liano . 2018. “Analisa Pemindahan Ibukota Negara,” Jurnal Dedikasi 19, no. 2:108-128,
DOI: https://doi.org/10.31293/ddk.v39i2.3989

Grotz, Florian, Kroeber, Corinna and Marko Kukec. 2022. “Cabinet Reshuffles and Prime-Ministerial
Performance in Central and Eastern Europe.” Government and Opposition: 1–22. doi:10.1017/
gov.2022.24.

Arianti, Ni Luh Putu dan A.A Arian, 2014. “Kedudukan Dan Kewenangan Gubernur Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah”, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum 02, no 3(2014):3

Anonim. Ahli sebut Bentuk Pemerintahan IKN Nusantara Tak Demokratis. Detik News. dipublikasikan
pada 25 Januari 2022. Diakses pada 24 Januari 2022. https://www.dw.com/id/ahli-sebut-bentuk-
pemerintahan-ikn-nusantara-tak-demokratis/a-60543517

Anonim. Penjelasan Tentang Posisi Kepala Otorita di Ibu Kota Nusantara. JawaPos.com. 19 Januari 2022.
Diakses pada 14 November 2022. https://www.jawapos.com/ibu-kota-baru/19/01/2022/penjelasan-
tentang-posisi-kepala-otorita-di-ibu-kota-nusantara/?page=all

Nicholas Ryan Aditya dan Dian Erika Nugraheny. Poin Penting Undang-Undang Ibu Kota Negara Yang Tak
Boleh Dilewatkan. Kompas.com. Dipublikasikan pada 20 Februari 2022. Diakses pada 20 November
2022 https://jeo.kompas.com/poin-penting-undang-undang-ibu-kota-negara-yang-tak-boleh-dilewatkan

Siti Nur Aeni. Memahami Reshuffle, Pengertian, Tujuan, dan Penerapannya di Indonesia. Kata Data.co.id.
Dipublikasikan pada15 Juni 2022. Diakses pada 12 November 2022. https://katadata.co.id/agung/
berita/62a9b999bcab5/memahami-reshuffle-pengertian-tujuan-dan-penerapannya-di-indonesia

Anonim. Lembaga Setingkat Menteri. Ombudsman Republik Indonesia. Tidak diketahui tanggal tahun dan
bulan terbit. Diakses pada 11 November 2022. https://ombudsman.go.id/linkdir/link_list?cat_id=2

Yusron Munawir, “Problematika Pelaksanaan Hak Prerogatif Presiden dalam Perombakan Kabinet Indonesia
Bersatu II,” Tesis, Universitas Islam Indonesia, 2013, hlm. 241.

Skripsi

Indah Purwakasari Prasetyanngsih, 2012, “Kedudukan Menteri Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Undang-Udang No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara”, Skripsi. Program Studi S1 Ilmu
Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

131
Problematika Pembentukan Produk Hukum Daerah Sebagai Indikator
Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Menyebabkan Hyper
Regulation Di Daerah

Chintya Insani Amelia, Safira Annisa, Ahmad Yani


Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Gadjah Mada
Email: ahmadyani1996@mail.ugm.ac.id

Abstract

Problem of hyper regulation in Indonesia does not only occur in the central government but also occurs in
regional governments. Particularly in the regions, one of the causes of hyper regulation is the establishment
of regional law products as indicators for evaluating local government performance which are stipulated by
several ministries or state agencies such as the Ministry of Empowerment and Child Protection and the Ministry
of Youth and Sports. This study aims to examine the formation of regional legal products as an assessment
indicator that can encourage hyper regulation, and aims to examine the level of need for the formation of
regional legal products as an indicator of local government performance. The research method in this study
is normative-empirical with a statutory approach, a conceptual approach and a case approach. The research
results show. The results of the research show that first, the formation of legal products as an achievement
of government performance has caused hyper regulation in the regions because several ministries stipulate
these performance achievements so that the regions have an obligation to implement them so that they are
not stigmatized as regions with low performance. Second, the level of need for the formation of regional legal
products as an indicator of local government performance achievements such as Child Friendly City Regulations
and Youth Friendly Regional Regulations shows that not all content material in several Regional Regulations
regulates and technically describes higher laws and regulations and not all contain local content material.
which is an indicator of the need for regional regulations.

Keywords: Hyper Regulation, Regional Government Performance Assessment Indicators, Child-friendly


Regional Regulations, Regional Legal Products for Corruption Prevention

Abstrak

Permasalahan hyper regulation di Indonesia tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat namun juga terjadi
di pemerintahan daerah. Khususnya di daerah, salah satu penyebab hyper regulation adanya pembentukan
produk hukum daerah sebagai indikator penilaian kinerja pemerintah daerah yang ditetapkan beberapa
kementerian atau lembaga negara seperti Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan
Kementerian Pemuda dan Olahraga. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembentukan produk hukum
daerah sebagai indikator penilaian dapat mendorong hyper regulation, dan bertujuan untuk menelaah tingkat
kebutuhan pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator kinerja pemerintah daerah. Metode
penelitian dalam kajian adalah normatif-empiris dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan. Hasil penelitian menunjukkan pertama,
pembentukan produk hukum sebagai capaian kinerja pemerintah telah menyebabkan hyper regulation
di daerah karena beberapa kementerian menetapkan capaian kinerja tersebut sehingga daerah memiliki
kewajiban untuk melaksanakan supaya tidak distigma sebagai daerah yang berkinerja rendah. Kedua,
tingkat kebutuhan pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator capaian kinerja pemerintah
daerah seperti Perda Kota Layak Anak dan Perda Layak Pemuda menunjukkan tidak semua materi muatan
dalam beberapa Perda mengatur dan menjabarkan secara teknis peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi serta tidak semua memiliki materi muatan lokal yang menjadi indikator kebutuhan Perda di daerah.
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

Kata Kunci: Hyper Regulation, Indikator Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota Layak Anak, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Layak Pemuda

A. PENDAHULUAN

Permasalahan perundang-undangan1 di Indonesia tidak pernah menemukan titik urai. Richard Suskind
menggambarkan permasalahan dalam negara hukum adalah banyaknya hyper regulation. Chandranegara
(2020) menyebutkan istilah hyper regulation sering dimaknai sebagai obesitas hukum.2 Hyper regulation
atau obesitas hukum pada suatu daerah menyebabkan regulasi yang tumpang-tindih atau disharmonis. Di
sisi lain, adanya kesalahan paradigma yang acapkali memandang peraturan perundang-undangan sebagai
solusi atas semua permasalahan sosial. Indonesian Parliamentary Center (2019) menegaskan hal ini bahwa
permasalahan hyper regulation di Indonesia dipengaruhi oleh satu paradigma yang keliru bahwa regulasi
atau produk hukum selalu dianggap sebagai solusi semua masalah. Padahal nyatanya permasalahan sosial
bukan hanya terkait problem regulasi yang tidak memadai, akan tetapi juga terkait dengan budaya atau
kultur hukum baik penegak hukum maupun masyarakat.3
Regulasi di Indonesia selalu bertambah setiap tahunnya. Jumlah regulasi pada Januari 2023 mencapai
45.530 dari keseluruhan produk hukum di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 4.072 tingkat pusat, 17.917
tingkat peraturan menteri, 4.880 tingkat peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, 18.661 tingkat
peraturan daerah.4 Jumlah perundang-undangan yang paling banyak terdapat pada tingkat pemerintah
daerah dibandingkan dengan perundang-undangan pada tingkatan lainnya.
Meskipun pembentukan produk hukum daerah merupakan kewenangan pemerintah untuk menjalankan
otonomi daerah dan tugas pembantuan5 , akan tetapi tidak semua pelaksanaan fungsi pemerintah harus
dituangkan dalam produk hukum daerah. Di sisi lain, Penulis menemukan fenomena hyper regulation
di daerah disebabkan adanya pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator capaian kinerja
pemerintah daerah. Hal ini dapat ditemui pada Indikator Capaian Kabupaten/Kota Layak Anak dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam klaster Penguatan Kelembagaan
yang menetapkan adanya indikator regulasi dengan bobot nilai 60. Hal yang sama pada Indikator Capaian
Pelayanan Kabupaten/Kota Layak Pemuda dari Kementerian Pemuda dan Olahraga juga menetapkan
ketersediaan regulasi kepemudaan sebagai indikator penilaian kinerja pemerintah daerah.
Jumlah regulasi pada suatu wilayah bukanlah penentu baiknya capaian kinerja pemerintah daerah.
Bahkan Thomas Hobbes pernah mengatakan “unnecessary laws are not good law, but just traps for money”
(kuantitas hukum atau regulasi yang banyak dan tidak perlu bukanlah hukum yang baik, akan tetapi hanya

1
Diani Sadiawati menyebutkan permasalahan regulasi diklasifikasi menjadi: 1) konflik regulasi, suatu kondisi dimana
terdapat pasal atau ketentuan yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan lainnya. 2) Inskonsistensi regulasi,
inkonsisten apabila terdapat ketentuan atau pengaturan yang tidak konsisten dalam satu peraturan perundang-
undangan beserta turunnya. 3) multitafsir regulasi, yakni terdapat ketidakjelasan pada objek dan subjek yang diatur
sehingga menimbulkan ketidakjelasan rumusan Bahasa (sulit dimengerti) serta sistematika yang tidak jelas. 4) tidak
operasional, yakni apabila regulasi tersebut tidak memiliki daya guna, namun peraturan tersebut masih berlaku atau
peraturan tersebut belum memiliki peraturan pelaksana Ibnu Sina Chandranegara, “Bentuk-Bentuk Perampingan dan
Harmonisasi Regulasi”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 26(3), 2020, hlm. 436.
2
Ibid.,
3
Indonesian Parliamentary Center, “Hyper Regulation” dalam https://ipc.or.id/hyper-regulation/ diakses pada tanggal
23/11/2022.
4
Lihat selengkapnya dalam https://peraturan.go.id/ diakses pada tanggal 07/01/2023.
5
Eka N.A.M. Sihombing, “Problematika Penyusunan Program Pembentukan Daerah” Jurnal Legislasi, 13(3), 2016,
hlm. 286. Selanjutnya lihat Pasal 65 ayat (1) huruf a, c, d, dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja.

133
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

jebakan untuk anggaran).6 Pengukuran kinerja pemerintah melalui pembentukan produk hukum daerah
justru akan menjadi jebakan anggaran bagi pemerintah daerah dalam membiayai proses legislasi. Di sisi
lain, pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator capaian pemerintah daerah akan memperparah
hyper regulation di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan identifikasi permasalahan pertama, bagaimana
pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator penilaian dapat mendorong hyper regulation? dan
kedua, sajauhmanakah tingkat kebutuhan pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator kinerja
pemerintah daerah dapat menjadi solusi permasalahan di daerah tersebut?
Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan
(statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan berkaitan dengan ketentuan yang mengatur indikator pembentukan produk
hukum sebagai capaian kinerja pemerintah daerah di bidang kabupaten/kota anak dan bidang kabupaten/
kota layak pemuda. Pendekatan konseptual berkaitan dengan konsep asas pembentukan perundang-
undangan. Pendekatan kasus berkaitan dengan penerapan indikator pembentukan produk hukum daerah
di beberapa daerah. Sumber data berupa bahan hukum sekunder yang terdiri atas peraturan perundang-
undangan terkait, buku, jurnal, dan referensi lainnya yang menunjang kajian. Semua bahan dikumpulkan
kemudian dilakukan analitis-kritis untuk memecahkan identifikasi permasalahan yang telah diajukan.

B. PEMBAHASAN

B.1. Pembentukan Produk Hukum Daerah sebagai Indikator Capaian Kinerja Mendorong
Hyper Regulation

Hyper regulation merupakan salah satu permasalahan utama dalam perundang-undangan di Indonesia.
Solikhin (2020) mengungkapkan terdapat 2 (dua) permasalahan pokok dalam sistem regulasi di Indonesia,
yakni pertama pembengkakan jumlah perundang-undangan di Indonesia, dan kedua banyaknya peraturan
perundang-undangan yang tidak sinkron satu sama lain. Menurut Solikhin hal ini merupakan “bencana”
yang justru menghambat pembangunan negara. Terkait permasalahan hyper regulation tidak hanya terjadi
pada pemerintah pusat, namun juga menjamur pada pemerintahan daerah. Berdasarkan data yang telah
diungkapkan sebelumnya jumlah produk hukum di daerah per Januari 2023 mencapai 18.661.8
Dalam kajian ini ditemukan salah satu faktor penyebab hyper regulation di daerah adalah adanya
pembentukan peraturan daerah sebagai indikator capaian kinerja pemerintah daerah. Beberapa kementerian
atau lembaga menerapkan indikator capaian kinerja tersebut terhadap setiap pemerintah daerah. Misalnya
salah satu indikator capain kinerja pemerintah daerah terkait kota layak anak dari Kementerian Pemberdayaan
dan Perlindungan Anak memasukkan pembentukan Peraturan daerah (Perda) Kota Layak Anak sebagai
capain kinerja. Begitupula dalam indikator capaian kinerja pemerintah daerah terkait daerah layak pemuda
dari Kementerian Pemuda dan Olahraga juga memasukkan pembentukan Perda sebagai capaian kinerja.
Indikator capaian kinerja pemerintah daerah melalui pembentukan Perda menjadi salah satu pemicu
pembengkakan peraturan di daerah. Dalam kerangka evaluasi capaian kinerja pemerintah, pembentukan
Perda tersebut menjadi jebakan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Hal ini terlihat jelas dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, yakni dalam Pasal 382 ayat (1) sampai

6
Rizal Irvan Amin dan Achmad, “Mengurai Permasalahan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” Res Publica,
4(2), 2020, hlm. 210.
7
Wilma Silalahi, “Penataan Regulasi Berkualitas dalam Rangka Terjaminnya Supremasi Hukum” Jurnal Hukum
Progresif, 1(8), 2020, hlm. 58.
8
Lihat selengkapnya dalam https://peraturan.go.id/ diakses pada tanggal 07/01/2023.

134
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

ayat (7)9 UU Pemda menentukan penilaian kinerja pemerintah daerah. Pada ketentuan tersebut, evaluasi
kinerja pemerintah daerah dilakukan oleh kementerian dan lembaga negara non kementerian. Selanjutnya
apabila daerah dinilai berkinerja rendah, maka dilakukan pembinaan khusus. Akan tetapi ketika telah dibina
khusus, namun pemerintah daerah tersebut masih menunjukkan kinerja rendah maka Pemerintah Pusat
melakukan pengambilalihan pelaksanaan Urusan Pemerintahan tertentu atas biaya yang diperhitungkan
dari APBD yang bersangkutan dan melimpahkan kepada gubernur. Pola evaluatif ini mengharuskan setiap
daerah untuk tunduk dan mengikuti petunjuk pemerintah pusat agar tidak distigma sebagai daerah yang
berkinerja rendah. Sehingga, pemerintah daerah wajib membentuk Perda yang dimaksud. Pembentukan
produk hukum daerah10 merupakan salah satu evaluasi atas kinerja pemerintah daerah. Menurut Enny
Nurbaningsih (2011) pola evaluasi kinerja pemerintah daerah harus digunakan secara hati-hati jangan
sampai justru mematikan kreativitas daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, karena
pada akhirnya pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah ditentukan oleh tingkat kebutuhan daerah.11
Selanjutnya kajian ini akan memperlihatkan 2 (dua) kementerian yang menerapkan pembentukan Perda
sebagai salah satu indikator kinerja pemerintah daerah yang justru mendorong hyper regulation di daerah,
yakni pertama Pembentukan Perda Kabupaten/Kota Layak Anak dari Kementerian Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak, dan kedua Pembentukan Perda Layak Pemuda dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.

1.1. Pembentukan Perda Kabupaten/Kota Layak Anak

Kabupaten/kota layak anak adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis
hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha,
yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.12 Pembahasan mengenai pembentukan kabupaten/
kota layak anak berangkat dari penentuan indikator bagi kabupaten/kota layak anak (KLA) sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor
12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. Peraturan Menteri ini merupakan delegasi
dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, “Pengembangan KLA
mengacu pada Indikator KLA yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.”
9
Pasal 382 ayat (1) menentukan “Dalam hal Daerah provinsi berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah berkinerja rendah, Menteri, menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan tertentu yang menjadi kewenangan Daerah”. Ayat (2)
“Menteri melakukan fasilitasi khusus terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi yang telah dibina
namun tidak menunjukkan perbaikan kinerja”. Ayat (3) “Fasilitasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan jika penyelenggaraan Urusan Pemerintahan tertentu yang menjadi kewenangan Daerah yang berkinerja
rendah namun tidak berpotensi merugikan kepentingan umum secara meluas”. Ayat (4) “Menteri dalam melakukan
fasilitasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan menteri teknis dan kepala lembaga
pemerintah nonkementerian”. Ayat (5) “Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan fasilitasi khusus kepada
penyelenggaraan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang telah dibina namun tidak menunjukkan perbaikan kinerja”.
Ayat (6) “Dalam hal Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang sudah dibina sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menunjukkan perbaikan kinerja dan berpotensi merugikan kepentingan umum secara
meluas, Pemerintah Pusat melakukan pengambilalihan pelaksanaan Urusan Pemerintahan tertentu atas biaya yang
diperhitungkan dari APBD yang bersangkutan”. Ayat (7) “Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (6)”.
10
lihat Pasal 65 ayat (1) huruf a, c, d, dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
11
Enny Nurbaningsih, “Berbagai Bentuk Pengawasan Kebijakan Daerah dalam Era Otonomi Luas”, MIMBAR HUKUM
23(1), 2011. hlm. 175
12
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011
tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.

135
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) melalui Deputi
Bidang Tumbuh Kembang Anak membagi indikator dan ukuran kabupaten/kota layak anak ke dalam 6
(enam) indikator kelembagaan dan 25 (dua puluh lima) indikator substansi yang kemudian dikelompokkan
ke dalam 5 (lima) klaster hak anak berupa: 1) Hak sipil dan kebebasan; 2) Lingkungan keluarga dan
pengasuhan alternatif; 3) Kesehatan dan kesejahteraan dasar; 4) Pendidikan, pemanfaatan waktu luang,
dan kegiatan budaya; dan 5) Perlindungan khusus.
Salah satu indikator adalah pemenuhan bidang penguatan kelembagaan berupa adanya peraturan
perundang-undangan dan kebijakan pemenuhan hak anak dengan nilai 60. Peraturan Perundang-undangan
yang dimaksud terutama adalah peraturan daerah (Perda). Substansi Perda tersebut mencakup pemenuhan
hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak mencakup 5 (lima) klaster yaitu: a) hak sipil dan kebebasan;
b) lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; c) kesehatan dasar dan kesejahteraan; d) pendidikan,
pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni dan budaya; dan e) perlindungan khusus. Perda tersebut dapat
terdiri dari satu Perda yang mencakup lima klaster atau berbagai Perda yang merupakan penjabaran dari
masing-masing klaster tertentu. Selain Perda, peraturan perundang-undangan lainnya adalah Peraturan
Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, dan/atau Peraturan Kepala Desa/setingkat.13
Pada konteks upaya pemenuhan perlindungan bagi anak, penyusunan peraturan daerah dilakukan
dalam rangka menjawab pertanyaan dari apa yang telah ditentukan dalam Bab III Lampiran Indikator
Kabupaten/Kota Layak Anak yang meliputi 4 (empat) pertanyaan berupa: “(1) Apakah tersedia Peraturan
Daerah (Perda) tentang pemenuhan hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA)? Jika ada, sebutkan
Perda apa saja? (2) Selain Perda, apakah tersedia peraturan perundang-undangan lainnya dan/atau kebijakan
tentang pemenuhan hak anak? Sebutkan! (3) Apakah telah dibentuk Gugus Tugas KLA/sejenisnya? Dengan
landasan hukum atau kebijakan daerah apa Gugus Tugas KLA itu dibentuk? dan (4) Apakah ada Rencana
Aksi Daerah (RAD) mengenai KLA? Untuk periode tahun berapa RAD tersebut dijalankan?”14

1.2. Pembentukan Perda Kabupaten/Kota Layak Pemuda

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, Pemuda didefinisikan sebagai WNI dalam
rentang usia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun, dimana dalam rentang ini merupakan fase yang
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan Statistik Pemuda Indonesia Tahun 2022
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah pemuda di Indonesia diperkirakan sebanyak 65,82
juta jiwa, atau sebesar 24 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah ini menjadi
salah satu bukti perkiraan para ahli bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-
2035. yang dimaksud dengan bonus demografi yaitu fenomena dalam struktur kependudukan dimana usia
produktif pada rentang 15-64 tahun sangat besar dibandingkan dengan yang berusia muda dan lansia.15
Pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam mengembangkan dan memajukan potensi pemuda pada
tiap-tiap daerah. Berangkat dari hal tersebut, melalui Peraturan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda
Kementerian Pemuda dan Olahraga No. 1.22.8 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Indikator dan Bobot
Nilai Pelayanan Kabupaten/Kota Layak Pemuda—pelaksanaan teknis atas Peraturan Menteri Pemuda dan
Olahraga No. 11 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Pemuda—menetapkan indikator
salah satu capaian kinerja pemerintah daerah melalui ketersediaan regulasi kepemudaan di daerah.16

13
Lihat selengkapnya dalam Lampiran Permen PPPA No. 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten Layak Anak.
14
Vide: Lampiran Permen PPPA No. 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten Layak Anak.
15
Sita Dewi, et. al, Bonus Demografi di Indonesia: Suatu Anugerah Atau Petaka, Journal Of Information System,
Applied, Management, and Research, Vo.l. 2 No. 3 Agustus 2018, hlm.17
16
Lihat Lampiran Peraturan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga No. 1.22.8
Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Indikator dan Bobot Nilai Pelayanan Kabupaten/Kota Layak Pemuda.

136
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

Dalam lampiran peraturan tersebut, disebutkan penilaian kabupaten/kota layak pemuda terdiri atas 3
(tiga) tingkatan, yakni 1) utama, 2) madya, dan 3) pratama. Khususnya indikator pembentukan regulasi
atau produk hukum daerah ditempatkan pada penilaian tingkatan pertama yakni utama.17
Berdasarkan kedua uraian di atas, paradigma yang kurang tepat ketika pemangku kebijakan selalu
menganggap permasalahan sosial dapat diselesaikan dengan regulasi. Melalui perintah pembentukan produk
hukum daerah di atas, justru akan menjadi tumpukan regulasi di daerah apabila semua kementerian
menerapkan indikator yang sama. Hitungannya, jika semua kementerian (34 kementerian) menerapkan
pola yang sama, maka dalam 1 (satu) daerah wajib membuat sebagai 34 Perda yang berasal dari penilaian
kinerja pemerintah pusat. Jika 514 jumlah kabupaten/kota x 34 Perda = 17. 476 Perda.

B.2. Kebutuhan Pembentukan Produk Hukum

Pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator kinerja pemerintah daerah harus dikembalikan
pada tujuan pemberian kewenangan kepada daerah dalam membuat suatu peraturan daerah. Dasar peletakan
kewenangan dan penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu mendorong upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap budaya lokal dengan tetap
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.18
Peraturan daerah sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang masuk dalam hierarki
juga mengharuskan taat pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19 A. Hamid
S. Attamimi mengemukakan pendapatnya mengenai asas pembentukan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat dibagi menjadi asas-asas formal dan asas-asas material. Asas formal dimaksud terdiri
atas tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ/lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat
dilaksanakan, dan dapat dikenali. Sementara untuk asas material terdiri atas asas sesuai dengan cita hukum
Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip
negara berdasar atas hukum, dan sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.20
Ide awal lahirnya produk hukum daerah berangkat dari konsep otonomi daerah yang diusung dalam
rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.21 Inti pelaksanaan
otonomi daerah yakni keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintah
atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan
memajukan daerahnya.22 Visi otonomi daerah dapat dirumuskan ke dalam 3 (tiga) ruang lingkup interaksi
yang utama berupa politik, sosial-budaya, dan ekonomi.23 Visi otonomi daerah di bidang sosial budaya
harus dikelola dengan sebaik mungkin di antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.24

17
Ibid.,
18
NPM. Juanda. 2016. Bentuk dan Mekanisme Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
19
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
20
Hamid. S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Sebagaimana dikutip dalam
NPM. Juanda, ibid.
21
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
22
Ekom Koswara K., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Pemberdayaan. Yayasan Paribas Jakarta, hlm. 25.
Sebagaimana dikutip dalam Suparto, 2017, “Otonomi Daerah di Indonesia; Pengertian, Konsep, Tujuan, Prinsip dan
Urgensinya”, Prosiding Fisipol Universitas Maritim Raja Ali Haji, 15 November 2018.
23
Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 23., sebagaimana
dikutip dalam Suparto, ibid.
24
Ibid.

137
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

Terkait kewenangan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah dijabarkan dalam Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Pemerintahan Daerah
berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
UU Pemda) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 kemudian
mengatur lebih lanjut hal tersebut. Pasal 65 Ayat (2) huruf c: “Kepala Daerah berwenang menetapkan Perda
yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Pasal 154 ayat (1) huruf a: “DPRD kabupaten/kota
mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/Walikota”.
Adapun materi muatan yang dapat diatur dalam Perda berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yakni: a) Penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan; dan b) Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Selain itu, Perda juga dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dalam menentukan Perda/Perkada yang dibentuk setiap
tahunnya, pemerintah harus menentukan skala prioritas. Berdasarkan Permendagri, skala prioritas ditentukan
berdasarkan kriteria: 1) perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 2) rencana pembangunan
daerah; 3) penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan 4) aspirasi masyarakat daerah.
Berdasarkan uraian di atas, selanjutnya akan dilakukan analisis kebutuhan pembentukan produk
hukum daerah layak anak dan layak bagi kabupaten/kota berdasarkan 2 (dua) indikator utama yakni
pertama penjabaran/pelaksanaan teknis terhadap peraturan yang lebih tinggi, kedua pengaturan materi
muatan kearifan lokal. Penjabaran ini akan dilakukan berdasarkan analisis Perda Layak Anak dan Perda
Layak Pemuda di beberapa kabupaten/kota yang telah menetapkan perda tersebut.

2.1. Kebutuhan Pembentukan Perda Layak Anak

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011
tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (selanjutnya disebut dengan Permen PPPA) menetapkan
indikator penilaian kabupaten/kota dapat disebut layak anak salah satunya dengan terpenuhinya penguatan
kelembagaan melalui adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak.
Permen PPPA dimaksud mengamanatkan substansi pengaturan mencakup pemenuhan hak anak berdasarkan
konvensi Hak Anak (KHA) yang terdiri atas 5 (lima) klaster.25
Analisa terhadap kebutuhan pembentukan Perda Layak Anak dengan mencermati pada 3 contoh
daerah kabupaten/kota yaitu: 1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota
Layak Anak; 2) Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Kabupaten Layak Anak selanjutnya disebut dengan Perda Kabupaten Semarang; dan 3) Peraturan Daerah
Kabupaten Mukomuko Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kabupaten Layak Anak selanjutnya disebut dengan
Perda Kabupaten Mukomuko.
Analisa pertama pada pembentukan Perda tersebut didasarkan pada penjabaran/pelaksanaan teknis
terhadap peraturan yang lebih tinggi. Analisa kedua dilakukan dengan mencermati pengaturan materi
muatan kearifan lokal. Sebagai upaya menghadirkan peraturan daerah yang implementatif dan ditaati
oleh seluruh lapisan masyarakat, perlu untuk memerhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat sebagai
suatu kearifan lokal. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, arif,
bernilai baik yang mana tertanam dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.26
25
Lampiran Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011
tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, 5 (lima) klaster berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) mencakup: (a)
hak sipil dan kebebasan; (b) lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (c) kesehatan dasar dan kesejahteraan; (d)
pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni dan budaya; dan (e) perlindungan khusus.
26
Sartini, 2014, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat, Jurnal Filsafat, hlm.111. Sebagaimana
dikutip dalam Ni Wayan Rai Sukmadewi, 2017, Eksistensi Yuridis Kearifan Lokal dalam Peraturan Perundang-Undangan,
E-Journal Ilmu Hukum, No.02 Vol. 04, Universitas Udayana

138
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

Pelaksanaan otonomi daerah menggariskan pendelegasian wewenang atau lazim dimaknai sebagai
penerapan prinsip desentralisasi kepada daerah dalam administrasi pembangunan di daerah.27 Kearifan
lokal berperan penting dalam meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap peraturan daerah yang dibentuk.
Diakomodirnya kearifan lokal tidak hanya sebagai bentuk penghargaan terhadap masyarakat, namun juga
pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat.28 Dikaitkan dengan keberagaman nilai dan kearifan lokal
di tiap-tiap daerah, substansi pengaturan peraturan daerah sepatutnya mampu mengakomodir nilai-nilai
yang hidup di masyarakat.

2.1.1. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak,
selanjutnya disebut Perda Kota Yogyakarta

Pada dasarnya materi muatan dalam Perda Kota Yogyakarta sebagian substansi yang diatur memuat
materi yang sama dengan apa yang tertuang dalam Permen PPPA. Kekhususan dan penjabaran teknis dalam
Perda Kota Yogyakarta secara singkat dapat nampak pada poin-poin sebagai berikut:
a. Upaya pelaksanaan Kota Layak Anak yang didasarkan pada prinsip tata pemerintahan yang baik; non-
diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
anak; dan penghargaan terhadap pandangan anak.29
b. Prinsip tata pemerintahan yang baik merupakan prinsip baru yang diakomodir dalam Perda yang mana
sebelumnya tidak diatur dalam Permen PPPA. Pelaksanaan prinsip ini dimaksudkan sebagai bentuk
transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi, dan supremasi hukum.30
c. Langkah strategi implementasi KLA melalui pengarusutamaan hak anak; mendorong gerakan masyarakat
untuk menciptakan lingkungan yang layak bagi anak; dan mendorong berbagai pihak terkait untuk
bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak anak.31
d. Tahapan perwujudan kota layak anak dilakukan melalui tahapan persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.32
e. Tanggung jawab berbagai pihak dalam upaya memenuhi hak anak baik pihak yang terkait secara
langsung maupun tidak langsung.33 Penjabaran tanggung jawab masing-masing pihak terdiri atas
tanggung jawab Pemerintah Daerah, orang tua, masyarakat, dan dunia usaha.
f. Perwujudan Kota Yogyakarta sebagai kota layak anak juga diupayakan melalui Sekolah Ramah Anak,
Pelayanan Kesehatan Ramah Anak dan Kampung Ramah Anak.
Terkait dengan kearifan lokal Pelibatan masyarakat secara langsung dalam mewujudkan Kota Yogyakarta
sebagai kota layak anak salah satunya melalui pembentukan Gugus Tugas KLA dan bab khusus Tanggung
Jawab Masyarakat sebagaimana diatur dalam Bab IX. Tanggung Jawab Masyarakat dimaksudkan sebagai
bentuk pembebanan kewajiban dan tanggung jawab untuk turut serta dalam penyelenggaraan perlindungan
anak. Perwujudan kota layak anak juga diupayakan melalui Sekolah Ramah Anak, Pelayanan Kesehatan
Ramah Anak dan Kampung Ramah Anak.
Sekolah ramah anak ditetapkan di setiap kecamatan dan setiap jenjang pendidikan. Pelayanan kesehatan
ramah anak ditetapkan di seluruh pelayanan kesehatan di tingkat kota. Sementara kampung ramah anak
27
Eliza Meiyani, 2019, Peranan Kearifan Lokal dalam Peraturan Daerah, Jurnal Baca No.1 Vol.IV, hlm. 56-72.
28
Ibid.
29
Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak.
30
Penjelasan Pasal 5 huruf a Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak.
31
Pasal 6 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak, Implementasi KLA
didasarkan pada strategi: a. pengarusutamaan hak anak; b. mendorong gerakan masyarakat untuk menciptakan
lingkungan yang layak bagi anak dari tingkat keluarga, Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan sampai dengan
tingkat Kecamatan; dan c. mendorong berbagai pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung untuk bertanggung
jawab terhadap pemenuhan hak anak.
32
Pasal 18 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak
33
Pasal 7 huruf d Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak

139
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

ditetapkan untuk paling sedikit tersedia di setiap kelurahan.


Meski telah diatur upaya perwujudan kota layak anak melalui program-program disebutkan di atas,
bentuk kekhususan Perda Kota Yogyakarta dikaitkan dengan nilai kearifan lokal belum nampak secara
khusus. Program dan strategi yang dicanangkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah masih
dikategorikan secara umum dan belum menyentuh materi khusus kearifan lokal yang hanya ada di kota
Yogyakarta.

2.1.2. Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelengga-
raan Kabupaten Layak Anak selanjutnya disebut dengan Perda Kabupaten Semarang

Layaknya Perda Kota Yogyakarta, prinsip tata pemerintahan yang baik merupakan prinsip baru yang
diakomodir dalam Perda Kabupaten Semarang yang mana sebelumnya tidak diatur dalam Permen PPPA.
Pelaksanaan prinsip ini dimaksudkan sebagai bentuk transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan
informasi, dan supremasi hukum. Perda Kabupaten Semarang secara khusus menambahkan bagian peran
serta bagi media massa untuk dapat turut serta menciptakan kabupaten layak anak.34
Terkait kearifan lokal materi muatan yang diatur dalam Perda Kabupaten Semarang secara umum
menjadi penjabaran teknis dari indikator Kota/Kabupaten Layak Anak. Namun demikian, tidak ditemukan
substansi yang mengakomodir kearifan lokal secara khusus.

2.1.3. Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kabupaten
Layak Anak selanjutnya disebut dengan Perda Kabupaten Mukomuko

Jika dilakukan pencermatan materi muatan yang terkandung dalam Perda ini adalah sebagai berikut:
a. Perda Kabupaten Mukomuko menambahkan prinsip tata pemerintahan yang baik dalam upaya
pelaksanaan kabupaten layak anak.
b. Tahapan perwujudan Kabupaten Mukomuko sebagai kabupaten layak anak dilakukan melalui tahapan
persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.35
c. Pemerintah Daerah Kabupaten Mukomuko membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
d. Pemerintah Daerah Kabupaten Mukomuko juga membentuk Pusat Informasi dan Koordinasi (PIK) di
tingkat kecamatan dan desa/kelurahan dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan kegiatan
UPTD PPA.
e. Pemerintah Daerah Kabupaten Mukomuko membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga dan Anak atau
disingkat Puspaga yang ditujukan memperkuat pencegahan permasalahan anak di dalam keluarga.
f. Penetapan Sekolah Ramah Anak, Pelayanan Kesehatan Ramah Anak dan Kampung Ramah Anak.
g. Perda Kabupaten Mukomuko secara khsus menambahkan peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat
dan media massa dalam rangka pemenuhan hak dan perlindungan anak.
h. Daerah Mukomuko menerapkan prinsip reward and punishment dengan memberikan penghargaan
kepada kecamatan, kelurahan atau desa yang memenuhi persyaratan penilaian sebagai wilayah layak
anak termasuk kepada setiap orang, badan usaha, atau lembaga yang melaksanakan kewajiban dan
memberikan dukungan. Pengaturan sanksi administratif sebagai bagian dari punishment.
Terkait kearifan lokal Tidak jauh berbeda dari 2 (dua) Perda yang dibahas di muka, materi muatan dalam
Perda Kabupaten Muko Materi secara umum menjadi penjabaran teknis dari indikator Kota/Kabupaten
34
Pasal 22 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak
Anak, Peran Media Massa dalam KLA : a. melakukan penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat
dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak; b. melindungi anak yang berhadapan dengan hukum dengan tidak mengeksploitasi berita di media cetak dan
elektronik; dan c. menjaga nilai-nilai SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam penyiaran, penampilan, dan
penayangan berita tentang kondisi kehidupan anak dalam masyarakat.”
35
Pasal 22 Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kabupaten Layak Anak
140
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

Layak Anak. Namun demikian, tidak ditemukan substansi yang mengakomodir kearifan lokal secara khusus.

2.2. Kebutuhan Pembentukan Perda Layak Pemuda

Berdasarkan Permenpora 11 Tahun 2017, pengembangan kabupaten /kota layak pemuda (klp)
dimaksudkan guna mendorong peran serta pemuda khususnya pada pembangunan daerahnya. Sehingga
dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk bertangggung jawab terhadap pemenuhan layanan
kepemudaan secara sinergis dengan masyarakat maupun dunia usaha. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah
melalui kementerian pemuda dan olah raga memberikan penghargaan kepada Kabupaten dan Kota yang
melaksanakan pemenuhan layanan kepemudaan dengan dinilai berdasarkan indicator kabupaten/kota layak
pemuda, yakni penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda. Pada indicator pengembangan
pemuda, tumbuh kembangnya kewirausahaan pemuda diukur dalam bobot nilai tertentu. Sehingga jika
dikaitkan dengan aspek penilaian berupa pembentukan regulasi, maka seharusnya peraturan daerah yang
disusun dalam rangka pemenuhan pemilaian KLP ini dapat menjabarkan kebijakan-kabijakan pemerintah
daerah, khususnya dalam pengembangan pemuda.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa Indonesia tengah menghadapi bonus demografi.
Pemuda sebagai bagian dari penduduk yang berusia produktif memiliki peranan yang sangat besar dalam
meningkatkan perekonomian negara, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam bidang ketenagakerjaan.
Namun ironisnya, berdasarkan statistic pemuda Indonesia 2022, sebanyak 8,62 persen dari pemuda di
Indonesia tidak memiliki aktivitas bekerja atau menganggur. Dari sumber yang sama, tingkat pengangguran
pemuda sebesar 13,93 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa 14 dari 100 angkatan kerja tidak terserap
dalam pasar kerja. Kondisi ini hendaklah dapat diubah dari ancaman menjadi peluang. Bahwa tingginya
tingkat pengangguran di kalangan pemuda dapat menjadi pintu masuk bagi berkembangnya kewirausahaan
pemuda dengan menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Dengan demikian produktivitas pemuda dalam kerja
tidak terbatas pada tiga sektor utama penyerap tenaga kerja saja, yakni pertanian, manufaktur, maupun
jasa, tetapi juga mampu mengembangkan usahanya sendiri.
Masalah pengangguran pada usia produktif hanyalah salah satu dari berbagai masalah kepemudaan
yang dihadapi daerah, disamping masalah lain seperti misalnya kriminalitas di kalangan pemuda, maupun
terpaparnya pemuda oleh narkoba. Maka dari itu, disusunnya suatu regulasi daerah mengenai kepemudaan
diharapkan menjadi solusi untuk mengurai masalah tersebut. Terlebih dalam peraturan ditingkat pusat
telah disusun mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab yang dapat dijabarkan secara lebih konkret
oleh Pemerintah Daerah dalam Peraturan Daerah yang disusunnya.
Berdasarkan data tingkat pengangguran terbuka menurut provinsi sebagaimana yang dituangkan
dalam statistic pemuda Indonesia 2022, dapat dilihat bahwa Provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka tertinggi adalah provinsi Jawa Barat sebesar 20,16 persen selanjutnya diurutkan berikutnya diikuti
oleh provinsi Banten (19,06%), Provinsi Sulawesi Utara (18,81%), Provinsi Maluku (18,37%), DKI Jakarta
(16,95%), dan Kepulauan Riau (16,44%). Beberapa Kabupaten dalam enam provinsi yang dikategorikan
memiliki tingkat pengangguran terbuka pemuda paling tinggi tersebut, telah memiliki regulasi tingkat
daerah yang mengatur mengenai kepemudaan.
Untuk itu akan dibandingkan tiga peraturan daerah tentang kepemudaan untuk dianalisis apakah
peraturan daerah tersebut menjabarkan secara lebih teknis peraturan yang lebih tinggi serta apakah terdapat
pengaturan yang bersifat muatan lokal dalam peraturan daerah tersebut. Khususnya dalam pengaturan
mengenai kewirausahaan pemuda yang dapat menekan angka pengangguran di daerah tersebut.

2.2.1. Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Kepemudaan.

141
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

Secara singkat, argumentasi pembentukan perda ini dapat disimpulkan dari muatan dalam konsiderans
yang menjelaskan bahwa pemuda adalah bagian dari pembangunan daerah yang memiliki peran strategis
sehingga harus didukung penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan. Walaupun hal tersebut telah
diimplementasikan di Kota Banjar, tetapi dalam prakteknya belum dilaksanakan secara optimal serta masih
bersifat parsial. Maka dari itu diperlukan pengaturan kepemudaan dalam bentuk peraturan daerah.
Akan tetapi argumentasi penyusunan tersebut tidak terjawab dalam norma-norma yang tertuang dalam
batang tubuh. dari 44 jumlah Pasal pada Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 1 Tahun 2021 Tentang
Kepemudaan, tidak kurang 40 pasal diantaranya merupakan saduran dari Undang-undang Nomor 40
Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Yang Nampak sedikit berbeda hanyalah pada pengaturan mengenai
pembinaan dan pengawasan. Namun dalam pembinaan itupun hanya mengatur mengenai subyek dan
obyek pembinaan, tetapi tidak dijelaskan maksud dan tujuan dari pembinaan tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemerintah Kota Banjar Provinsi Jawa Barat belum memiliki Langkah strategis dalam
pembangunan kepemudaan yang tertuang sebagai muatan lokal dalam Peraturan daerah ini.

2.2.2. Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pembangu-
nan Kepemudaan

Memahami dari dasar menimbang peraturan daerah ini, secara sosiologis argumentasi pembentukan
perda ini adalah untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pada para pihak
dalam kaitannya dengan pembangunan Kepemudaan.
Dari 55 Pasal dalam peraturan daerah ini, seluruhnya telah menjelaskan pentingnya disusun perda
ini sebagai arah dan landasan bagi pemerintah daerah, masyarakat, organisasi kepemudaan, maupun
berbagai pihak lain yang terkait dalam pembangunan kepemudaan. Namun disayangkan bahwa arah,
landasan serta pembagian tugas dan wewenang yang tercantum dalam Perda ini merupakan pengulangan
dari peraturan-peraturan yang lebih tinggi, yakni UU Kepemudaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, serta Penyediaan Prasarana
dan Sarana Kepemudaan. Maka dapat dikatakan bahwa pemerintah kota Tangerang selatan tidak memiliki
kebijakan khusus yang bersifat teknis terkait kepemudaan untuk menjabarkan lebih lanjut materi-materi
muatan dalam peraturan yang lebih tinggi.

2.2.3. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pembangunan
Kepemudaan

Sebagaimana tercantum dalam konsiderans, peraturan daerah ini disusun untuk melaksanakan
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Kepemudaan, yang mana Pemerintah Daerah memiliki ketegasan dalam
pelaksanaan kebijakan nasional dan menetapkan kebijakan daerah dalam pembangunan kepemudaan.
Jika diperhatikan, dari 45 pasal yang termuat dalam batang tubuh perda ini, walaupun sebagian merupakan
saduran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti UU Kepemudaan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2011, namun terdapat beberapa penormaan yang menjabarkan lebih lanjut
bentuk-bentuk penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan secara lebih teknis dan implementatif.
Hal ini menjadi sinkron antara batang tubuh dengan konsiderans menimbang yang menyatakan bahwa
pemerintah daerah perlu menetapkan kebijakan daerah dalam mendukung pengembangan kepemudaan.
Tetapi setelah melakukan analisis, penulis menemukan bahwa rincian bentuk kegiatan penyadaran,
pemberdayaan, dan pengembangan pemuda yang tertuang dalam Perda ini, dapat pula ditemukan dalam
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Kepemudaan. Dalam penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan, tidak menutup kemungkinan terjadinya duplikasi antara satu daerah
dengan daerah lain, karena dalam tahapannya penyusun acapkali melaksanakan studi banding antar

142
Probelmatika Pembentukan Produk Hukum... (Chintya Insani Amelia; Safira Annisa; Ahmad Yani)

daerah. Namun yang perlu diperhatikan bahwa permasalahan dan kondisi pemuda antara satu daerah
dengan daerah lain relative berbeda, sehingga diperlukan penyelesaian yang berbeda pula.
Dari ketiga peraturan daerah yang dianalisa diatas, tidak ditemukan satu perda pun yang mencantumkan
kebijakan daerah sebagai muatan lokal dalam penyelesaian masalah kepemudaan di daerahnya. Berdasarkan
hal tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya peraturan perundang-undangan tingkat
pusat mengenai kepemudaan, mulai dari UU 40 Tahun 2009 hingga peraturan turunannya, telah secara
lengkap dan rinci mengatur segala hal terkait penyelenggaraan layanan kepemudaan. Sehingga pemerintah
daerah tanpa Menyusun peraturan daerah tersendiri, seharusnya telah dapat langsung mengimplementasikan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pun tidak ada salahnya jika pemerintah
daerah memutuskan untuk Menyusun regulasi daerah terkait kepemudaan, namun hendaknya perlu
didasarkan pada realita permasalahan kepemudaan yang ada di daerah tersebut. Sehingga aturan-aturan
yang nantinya diterapkan dalam peraturan daerah dapat lebih implementatif. seperti misalnya contoh yang
diambil adalah keterkaitan tingginya tingkat pengangguran dengan pengaturan mengenai pengembangan
kewirausahaan pemuda, ternyata dari tiga perda yang dianalisis tidak ada satupun yang mencantumkan
kebijakan khusus dari daerah yang dituangkan dalam perda untuk menurunkan angka pengangguran
dengan mendorong kewirausahaan pemuda.

C. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan pertama, pembentukan produk hukum sebagai capaian kinerja pemerintah
telah menyebabkan hyper regulation di daerah karena beberapa kementerian menetapkan capaian kinerja
tersebut sehingga daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan supaya tidak distigma sebagai daerah
yang berkinerja rendah. Kedua, tingkat kebutuhan pembentukan produk hukum daerah sebagai indikator
capaian kinerja pemerintah daerah seperti Perda Kota Layak Anak dan Perda Layak Pemuda menunjukkan
tidak semua materi muatan dalam beberapa Perda mengatur dan menjabarkan secara teknis peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak semua memiliki materi muatan lokal yang menjadi
indikator kebutuhan Perda di daerah.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diperlukan pengkajian ulang terhadap urgensi indikator capaian
kinerja pemerintah daerah melalui pembentukan Perda. Hal tersebut diperlukan untuk mengurai hyper
regulation di daerah di masa mendatang.

143
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2022: 132-144

DAFTAR PUSTAKA

Eka N.A.M. Sihombing. “Problematika Penyusunan Program Pembentukan Daerah”. Jurnal Legislasi, 13(3),
2016: 286.

Ekom Koswara K., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Pemberdayaan. Yayasan Paribas, Jakarta.

Eliza Meiyani. “Peranan Kearifan Lokal dalam Peraturan Daerah”. Jurnal Baca 1(IV), 2019: 56-72.

Enny Nurbaningsih. “Berbagai Bentuk Pengawasan Kebijakan Daerah dalam Era Otonomi Luas”. MIMBAR
HUKUM 23(1), 2011: 175.

Hamid. S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan
dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta.

Ibnu Sina Chandranegara. “Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi”. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, 26(3), 2020: 436.

Juanda. 2016. Bentuk dan Mekanisme Pengawasan Pembentukan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Pusat
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Ni Wayan Rai Sukmadewi. “Eksistensi Yuridis Kearifan Lokal dalam Peraturan Perundang-Undangan”.
E-Journal Ilmu Hukum, 2(4), 2017.

Rizal Irvan Amin dan Achmad. “Mengurai Permasalahan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”.
Res Publica, 4(2), 2020: 210.

Sita Dewi, et. al. “Bonus Demografi di Indonesia: Suatu Anugerah Atau Petaka”. Journal Of Information
System, Applied, Management, and Research, l(3), 2018: 17.

Suparto, “Otonomi Daerah di Indonesia; Pengertian, Konsep, Tujuan, Prinsip dan Urgensinya”, Prosiding
Fisipol Universitas Maritim Raja Ali Haji, 15 November 2018.

Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta.

Wilma Silalahi. “Penataan Regulasi Berkualitas dalam Rangka Terjaminnya Supremasi Hukum”. Jurnal
Hukum Progresif, 1(8), 2020: 58.

Indonesian Parliamentary Center, “Hyper Regulation” dalam https://ipc.or.id/hyper-regulation/ diakses


pada tanggal 23/11/2022.

https://peraturan.go.id/ diakses pada tanggal 07/01/2023.

144
Kekuatan Hukum Dan Perlindungan Hak Merek Produk Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek Dan Indikasi Geografis

Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalibd Fakultas Hukum Universitas
Islam Riau
Email: athalib@law.uir.ac.id, bzulfikripohan@law.uir.ac.id, cbambang1115@gmail.com,
dnuraisyahthalib@gmail.com

Abstract

A trademark gives somebody or a company the right to use certain distinctive marks. This allows the business to
increase its commercial value, goodwill, and reputation in the eyes of its customers. However, there are several
instances where the trademark Registrar will refuse to grant a trademark. A trademark registration application
can generally be objected to for registration on absolute or relative grounds for denial, such as conflict with
earlier trademarks and well- known marks, or because it is forbidden for registration. This article attempts
to examine the legal force of registered trademarks, and analyze the barriers to acceptance of trademark
applications. The research method employed here is doctrinal or broadly speaking called as a library research
with some legal cases, legal material collection techniques using literature studies and legal material analysis
using content analysis. The results of the study show that mark is deceptively similar to an existing trademark,
the Registrar may refuse to grant registration. This is however, approved that is a subjective assessment.

Keywords: Legal Strength, Protection, Trademarks

Abstrak

Merek dagang memberi seseorang atau perusahaan hak untuk menggunakan merek khusus tertentu.
Hal ini memungkinkan bisnis untuk bisa meningkatkan nilai komersial, nama baik, dan reputasinya di
mata pelanggannya. Namun, ada beberapa contoh di mana Pencatat merek dagang akan menolak untuk
memberikan merek dagang. Permohonan pendaftaran merek pada umumnya dapat ditolak pendaftarannya
atas dasar penolakan mutlak atau relatif, seperti bertentangan dengan merek sebelumnya dan merek
terkenal, atau karena dilarang pendaftarannya. Artikel ini mencoba menguji kekuatan hukum terhadap
merek dagang terdaftar, dan menganalisis kendala penerimaan permohonan merek. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode yuridis normative dengan melakukan pengkajian kepustakaan terkait
permasalahan yang dibahas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek menipu mirip dengan merek yang
ada sebelumnya, Petugas Pendaftar dapat menolak untuk memberikan pendaftaran. Bagaimanapun, ini
adalah suatu bukti dari penilaian subjektif.

Kata Kunci: Kekuatan Hukum, Perlindungan, Merek Dagang.


Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

A. Pendahuluan

Dalam dunia perdagangan, merek sebagai salah satu bentuk kekayaan intelektual (selanjutnya disebut
IP) telah digunakan selama ratusan tahun dan memiliki peran penting dalam membedakan asal barang
dan jasa. Sebuah merek dapat menjadi aset yang berharga secara komersial dan membuat suatu produk
menjadi mahal, bahkan lebih berharga dari perusahaan.1 Hak Merek secara eksplisit disebut sebagai
benda immaterial dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis, bagian “Menimbang” huruf a yang berbunyi :2 “Dalam era perdagangan global, sejalan dengan
konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, maka peran merek menjadi sangat penting
terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, melindungi konsumen.
Secara umum bahwa merek dagang adalah tanda yang digunakan untuk mengetahui sumber asal barang-
barang dan jasa-jasa dibuat oleh suatu perusahaan tertentu atau pribadi. Tanda-tanda ini memungkinkan
para pemakai dengan cepat mengaitkan produk dengan produsennya.
Setiap orang atau organisasi perusahaan yang ada, selalu menggunakan nama dan simbol yang
digunakan dalam menjalankan bisnis dan pemasaran barang atau jasa. Simbol-simbol yang akan digunakan
dalam menjalankan bisnis bertujuan untuk membantu atau menunjukkan asal dari barang atau jasa yang
akan digunakannya. Namun, ada saja pelaku yang berbuat curang dan menggunakan merek yang sudah
terkenal. Tidak jarang para konsumen tertipu dan menggunakan merek palsu karena banyak pelaku usaha
yang beritikad tidak baik untuk menggunakan merek terkenal yang sudah ada terlebih dahulu.
Tidak dipungkiri lagi bahwa dengan sebuah merek, barang atau jasa sejenis dapat dibedakan dari
asal, kualitas, dan jaminan bahwa produk tersebut asli. Terkadang yang membuat suatu produk menjadi
mahal bukan
karena produk itu sendiri tetapi karena mereknya.3 Surat permohonan pendaftaran merek harus
ditandatangani oleh pemilik merek atau kuasanya. Namun penandatangannya harus ditentukan oleh satu
orang atau badan hukum, sengketa merek sering muncul karena beberapa faktor, seperti pengusaha tidak
segera mendaftarkan mereknya sehingga pihak lain menggunakannya atau sengketa yang disebabkan oleh
pihak-pihak yang beritikad buruk yang dengan sengaja mendaftar merek dagang dengan merek terkenal atau
menguntungkan untuk tujuan meningkatkan popularitas atau mencari kompensasi moneter di masa depan.
Merek dagang memberikan hak kepada perusahaan untuk menggunakan merek khusus tertentu. Hal ini
memungkinkan bisnis untuk meningkatkan nilai komersial, niat baik, dan reputasinya di mata pelanggannya.
Namun, ada beberapa contoh di mana Pencatat merek dagang akan menolak untuk memberikan merek
dagang karena alasan terdapatnya kesamaan atau kemiripan dengan merek dagang yang telah terdaftar
sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengkaji alasan penolakan dan
menganalisis kendala Penerimaan permohonan pendaftaran.

B. Pembahasan

1. Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merek Konvensi Internasional atas Ratifikasi Merek oleh
Indonesia
Konvensi merek dagang yang mengatur merek dagang secara internasional dikenal sebagai “Konvensi
Paris untuk Melindungi Kekayaan Industri”, yang singkatnya lazim disebut sebagai “Konvensi Paris”. Konvensi
Paris dibuat pada tanggal 20 Maret tahun 1883 yang kemudian telah dilakukan direvisi berulangkali, dan

1
Zaenal Arifin, Muhammad Iqbal, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Yang Terdaftar”,Jurnal Ius Constituendum 5
no. 1 (April 2020) : 47
2
Puspa Melati Hasibuan, Zulfi Chairi, Aflah, “Implementation Of Legal Protection Of Brand Rights For Micro, Small,
And Medium Enterprises (Msmes) According To Law Number 20 Year 2016 Concerning Marks And Geographic
Indications” Journal of Humanities and Social Studies 6 no. 2 (2022) : 156-160
3
Devi Puspita Sari, Audita Nuvriasari, “Pengaruh Citra Merek, Kualitas Produk Dan Harga Terhadap Keputusan
Pembelian Produk Merek Eiger (Kajian Pada Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta)” Jurnal Penelitian
Ekonomi dan Bisnis, 3, no. 2, (2018), 73 - 83

145
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

terakhirnya di Jenewa pada tahun 1979.4 Konvensi ini berdasarkan atas perlindungan yang sama bagi
bangsa- bangsa setiap Negara anggota Serikat Paris jika mereka telah memenuhi

persyaratan. Tambahan terhadap Konvensi Paris itu adalah Persetujuan atau Kesepakatan Madrid
yang dibuat pada tahun 1891.
Selanjutnya, selain itu Kesepakatan Nice berkaitan dengan klasifikasi internasional terhadap barang-
barang dan jasa yang merek dagangnya berlaku (15 Juni 1957), meskipun saat itu beberapa bagian
Indonesia adalah masih di bawah provokasi Belanda, adalah dengan sendirinya anggota dari Perserikatan
Paris sejak tahun 1934, namun dengan kemerdekaan tidak dengan sendirinya menjadi Indonesia tetap
sebagai anggota Konvensi Paris.
Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Tuntutan terhadap perlindungan merek tumbuh dengan cepat setelah banyak orang melakukan aksi
peniruan. Apalagi sesudah dunia perdagangan semakin maju, sarana transportasi dan promosi yang lebih
baik, area pemasaran barang sudah semakin luas. Keadaan-keadan yang menambahkan pentingnya merek
untuk membedakan asal dan kualitas serta menghindari peniruan.5
Suatu merek mendapat perlindungan hukum jika terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (DJKI) sebagaimana juga diatur dalam perjanjian TRIPs dan dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang
Merek 2016 bahwa merek terdaftar memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga tanpa seizin dan
sepengetahuan pemilik Merek untuk menggunakan Merek yang sama untuk barang dan/atau jasa yang
telah didaftarkan sebelumnya.6
Terminologi “persamaan pada pokoknya” adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur
yang menonjol antara merek yang satu dengan merek lainnya, yang dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan

baik mengenai bentuk, cara penulisan, cara penempatan, atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan atau persamaan arti yang terdapat dalam merek tersebut. Dalam arti “persamaan
pada pokoknya” (similar) dianggap terwujud apabila merek hampir mirip dengan merek orang lain yang
berdasarkan pada persamaan bunyi, persamaan arti, dan persamaan tampilan.7
Penolakan permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan
dengan merek terkenal untuk barang dan atau jasa sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan
umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan
pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar-gencaran, investasi di beberapa
negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut. Apabila
hal-hal tersebut belum dianggap cukup, maka Pengadilan Niaga berhak untuk memerintahkan lembaga
yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau
tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan. Merek yang sudah terkenal mempunyai reputasi di kalangan
para konsumen. Presentasi penjualannya terbilang tinggi dan dapat menjadi aset kekayaan sehingga akan
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemiliknya.8
Sehubungan dengan itu, sejauh menyangkut permohonan pendaftaran merek berdasarkan alasan
mutlak atau relatif untuk ditolak, tulisan ini mencoba membahas beberapa kasus permohonan pendaftaran
merek dagang yang ditolak oleh pihak Kantor Merek, karena alasan terdapatnya kesamaan atau kemiripan
dengan merek dagang yang telah terdaftar sebelumnya. Sebaliknya pada sisi lain tulisan ini juga bermaksud
membandingkan beberapa kasus penerimaan pendaftaran merek yang diterima, sekalipun memiliki kesamaan
dengan merek yang terdaftar sebelumnya dengan

4
Zaenal Arifin, Muhammad Iqbal, Op. Cit

146
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

melakukan penelitian secara yuridis normative, mengkaji dengan metode kepustakaan melihat Undang-
Undang dan juga putusan berkaitan dengan kasus yang muncul.
Sengketa Merek MY BABY dengan PURE BABY9 bermula saat kedua merek tersebut mendaftarkan
mereknya ke Dirjen Kekayan Intelektual. MY BABY sebagai merek yang lebih awal mendaftarkan mereknya
mengajukan Permohonan Banding atas merek PURE BABY untuk ditolak pendaftarannya. Hal tersebut
dikarenakan merek PURE BABY dianggap menyerupai pada pokoknya seperti merek MY BABY. Permohonan
Banding atas Merek PURE BABY tersebut dikabulkan oleh Komisi Banding untuk ditolak pendaftarannya
sehingga Perusahaan PURE BABY mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga dengan dalih bahwa persamaan
unsur kata BABY merupakan kata umum dan tidak bisa dijadikan alasan sebagai penolakan pendaftaran
merek PURE BABY.
Penyelesaian kasus sengketa merek tersebut melalui proses hukum yang panjang, karena kedua merek
tersebut memang telah beredar luas di masyarakat. Setiap merek terdaftar memiliki klasifikasi barang
yang didaftarkannya biasa disebut Nice Klasifikasi terdiri dari 45 kelas dimana setiap kelas menentukan
jenis setiap barang/jasa yang didaftarkan mereknya. Kasus merek MY BABY dan PURE BABY memiliki
persamaan jenis barang yang terdapat di kelas 03, namun MY BABY mendaftarkan merek dengan jenis
barang secara keseluruhan yang berada di kelas 03 sementara PURE BABY hanya mendaftarkan merek
dengan jenis barang yang tertentu saja.
Perusahaan MY BABY merasa dirugikan karena produk PURE BABY yang dijual dan telah beredar
dipasaran sama dengan produk MY BABY. Hal tersebut selain mengurangi pembelian dari konsumen
(masyarakat) karena dianggap oleh konsumen merek PURE BABY satu perusahaan dengan MY

BABY. Anggapan seperti itulah yang menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat sehingga
menyebabkan kerugian bagi perusahaan MY BABY.
Kasus berikutnya adalah,10 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) menolak
permohonan merek dan logo Kaki Tiga, yang diajukan Wen Ken Drug Co Pte Ltd. Fattah menyebutkan,
meskipun sudah ada pencoretan merek Cap Kaki Tiga dan Lukisan, masih terdapat pendaftaran baru atas
merek tersebut dengan status pengumuman pada laman Ditjen HKI.
“Kami sudah melayangkan surat keberatan kepada Ditjen HKI, pada tanggal 9 April 2018. Kami keberatan
atas pengumuman pendaftaran merek- merek dengan logo Kaki Tiga,” kata Fattah melalui keterangan
tertulis yang disampaikan kepada pers di Jakarta, Rabu 2 Mei 2018.
Ia menyebutkan, pada e-Status Kekayaan Intelektual, yang diunggah di laman Ditjen HKI, menyebutkan
bahwa perusahaan berkedudukan di Singapura itu telah mendaftarkan merek-merek dengan logo Kaki Tiga
(merek figuratif) atas nama Wen Ken Drug Co.Pte.Ltd dengan nomor D002015039273.

Gambar. 1. Permohonan Gambar. 2. Merek Terdaftar Merek

147
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

Selain itu, turut didaftarkan merek Cap Kaki Tiga+Logo atas nama Wen Ken Drug Co Pte Ltd
(D002015039268) dan merek Cap Kaki Tiga + Logo atas nama Wen Ken Drug Co Pte Ltd.
“Kami keberatan karena logo menyerupai atau merupakan tiruan dari lambang/simbol/emblem/mata
uang Isle of Men. Seharusnya permohonan itu ditolak sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf b Undang-
Undang Merek Tahun 2001,” tegas Fattah.
Sehubungan dengan itu, akhirnya Pencoretan dilakukan atas perintah Putusan Nomor: 85PK/Pdt.
Sus-HKI/2015. Jo. Nomor: 582 K/Pdt.Sus- HaKI/2013. Jo. Nomor: 66/Merek/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Berdasarkan putusan, merek Cap Kaki Tiga dicoret dari daftar umum merek, pendaftaran merek Cap
Kaki Tiga dan Lukisan serta sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hal itu diperkuat Putusan Nomor: 85PK/Pdt.Sus-HKI/2015. Jo. Nomor: 582 K/Pdt.Sus-HaKI/2013.
Jo. Nomor 66 / Merek / 2012 /PN. Niaga.Jkt.Pst yang menyatakan Wen Ken Drug Co Pte Ltd melakukan
itikad tidak baik dalam mendaftarkan seluruh merek dagang Cap Kaki Tiga.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga menyatakan bahwa seluruh merek dagang Cap Kaki Tiga atas
nama Wen Ken Drug Co Pte Ltd menyerupai atau merupakan tiruan dari lambang/simbol/emblem/mata
uang Isle of Men.
Selain itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan batal
seluruh sertifikat merek Cap Kaki Tiga atas nama Wen Ken Drug Co Pte Ltd dan mencoretnya dari daftar
umum merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan segala akibat hukumnya.
Kasus yang tidak kalah menariknya adalah perkara dari perusahaan PT. Astra Sedaya Finance
menggunakan merek jasanya yang diberi nama “Astra Credit Companies (disingkat ACC)” dengan nomor
pendaftarannya: IDM000554835 tertanggal 26 Juni 2014, untuk kelas Barang / Jasa : 36, melawan (Tergugat)
PT. Aman Cermat Cepat dengan merek “KlikACC” dengan
Sertifikat Nomor: IDM000611517 tertanggal 10 April 2018, untuk kelas Barang / Jasa : 36.
Memperhatikan duduk perkara tersebut di atas, sangat jelas pendaftaran yang dilakukan oleh pihak
tergugat dinyatakan telah bertentangan dengan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang 20/2016 menegaskan
sebagai berikut:
“Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.”; sebagaimana penjelasan
Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang 20/2016, yang dimaksud dengan “Pemohon yang beritikad tidak baik”
adalah:
“Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak,
atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak
sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.”
Kemudian dari pada itu bila dibandingkan dengan beberapa kasus luar negeri, khususnya di Negara
Australia, Kantor Kekayaan Intelektual Australia akan melakukan penolakan terhadap merek yang didaftar,
apabila memiliki kriteria-kriteria berikut ini:11
1. The 'idea' of the trade mark (Gagasan Merek Dagang);
2. Marks which contain another trade mark (Merek yang Mengandung Merek Dagang Lain);
3. Considering invented words (Mempertimbangkan Kata-kata yang Ditemukan);
4. Descriptive words in composite marks (Kata Deskriptif dalam Tanda Komposit);
5. Type of goods and services (Jenis Barang dan Jasa);
6. Trade marks in a language other than English (Merek Dagang dalam Bahasa Selain dari Inggris);
7. Words and devices depicting words (Kata dan Perangkat yang Menggambarkan Kata-kata).”
Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas, aturan Kekayaan Intelektual Australia dengan
jelas menegaskan bahwa terdapat tujuh kriteria atau ukuran yang dijadikan dasar pertimbangan untuk
menolak permohonan pendaftaran merek, karena dinilai memiliki kesamaan atau kemiripan dengan merek
yang telah terdaftar.

148
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

Beberapa merek dagang yang memiliki kesamaan fitur terlihat berbeda jika dilihat secara berdampingan.
Namun, jika ide yang sama ditimbulkan oleh kedua merek dagang dan diperkirakan bahwa beberapa pembeli
cenderung mengingat merek dagang dengan gagasan yang ditimbulkan daripada oleh fitur khusus dari
merek dagang, penggunaan merek dagang dapat menyebabkan kebingungan. Alasan penolakan kemudian
adalah atas dasar kesamaan menipu dari merek dagang yang telah terdaftar sebelumnya.
Secara umum merek yang mengandung merek dagang lain, jika satu merek dagang menggabungkan
fitur pembeda yang esensial atau ciri yang mudah diingat dari merek dagang lain, maka kebingungan masih
mungkin terjadi meskipun ada materi lain dalam merek dagang tersebut. Namun pertimbangan harus
diberikan dalam keadaan di mana karena bahan tambahan atau berbeda, merek dagang secara keseluruhan
menyampaikan kesan yang sangat berbeda.
Kemudian, mempertimbangkan kata-kata yang ditemukan, ada kemungkinan penipuan dan kebingungan
yang jauh lebih besar antara kata- kata yang tidak umum digunakan dalam bahasa tersebut. Tidak
diragukan lagi dalam kasus kata yang dibuat-buat, sebuah kata yang tidak digunakan dalam bahasa Inggris,
kemungkinan terjadinya kebingungan sangat jauh lebih besar. Sebuah kata bagus lebih mudah diingat dan
sehubungan dengan beberapa barang tertentu dan mungkin saja dalam kasus kata bagus ada lebih banyak
kemungkinan kebingungan dan oleh karena itu lebih sedikit bukti yang diperlukan untuk menetapkan
probabilitas kebingungan dalam kasus kata bagus daripada dalam kasus kata dalam bahasa Inggris.”
Dasar pertimbangan berikut adalah kata deskriptif dalam tanda komposit, yaitu pertanyaan tentang
bobot apa yang harus diberikan pada keberadaan umum kata-kata yang tidak khas ketika menilai kesamaan
yang menipu sering muncul dalam kasus-kasus yang melibatkan tanda komposit. Tanda gabungan yang
terdiri dari alat pembeda dan kata non-pembeda umumnya akan menjadi prima facie pembeda dan dapat
didaftarkan. Kehadiran perangkat akan berarti bahwa konsumen akan segera memahami tanda tersebut
sebagai lencana asal dan tidak mungkin pedagang lain perlu menggunakan kombinasi kata-perangkat
tertentu. Namun, pertanyaan sulit dapat muncul ketika kombinasi kata-perangkat dibandingkan dengan
tanda selanjutnya yang menyertakan kata non-khas yang sama yang digabungkan dengan perangkat yang
sangat berbeda atau dengan materi pembeda lainnya.
Beberapa kehati-hatian perlu dilakukan sebelum mengkarakterisasi kata-kata dalam gabungan kompleks
merek dagang terdaftar sebagai 'fitur penting' dari merek itu dalam menilai pertanyaan tentang kesamaan
yang menipu. Jika karakterisasi seperti itu dibuat terlalu mudah, itu secara efektif mengubah tanda komposit
menjadi sesuatu yang sangat berbeda.
Pendekatan yang benar, seperti disebutkan di atas, adalah bagi pengambil keputusan untuk melanjutkan
atas dasar bahwa kata-kata deskriptif sampai batas tertentu dapat diabaikan, tetapi tidak boleh diabaikan
sepenuhnya.
Contoh berikut memberikan ilustrasi perbandingan antara tanda majemuk yang menampilkan komponen
kata yang tidak khas, menunjukkan berbagai faktor yang telah diperhitungkan dalam menentukan apakah
tanda yang dimaksud mirip atau tidak mirip.
Contoh 1, dan 2.
Gunung Everest Mineral Water Ltd [2012] ATMO 65
The BBQ Store Pty Ltd v BBQ Factory Pty Ltd [2019] ATMO 132 Tanda yang dibandingkan:

149
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

Contoh. 1. Contoh. 2.

“Nyala api mungkin merupakan satu-satunya elemen yang paling diingat dari Merek Dagang [pemohon],
namun meskipun itu agak deskriptif tentang Barang … ada sangat kecil kemungkinan bahwa konsumen
terkait akan mengingat secara detail tampilan nyala api. Perangkat lainnya memiliki latar belakang hitam
yang biasa-biasa saja ... 'Toko BBQ', seperti ungkapan yang muncul di Merek Dagang, sangat menggambarkan
Barang ... konsep jenis alat memasak luar ruang ini adalah semua yang mungkin terjadi ingat
… Kesan umum yang mungkin diambil oleh konsumen yang relevan menurut saya adalah penjual
barbekyu yang menggunakan api di logonya”.
“Tanda Lawan juga menyertakan perangkat deskriptif — tusuk sate yang diisi dengan apa yang tampak
seperti sepotong daging oranye, dijilat oleh api merah dari bawah. Perangkat ini secara visual berbeda dari
api di Merek Dagang [pemohon], tetapi secara konseptual mereka memiliki motif api. Kata- kata 'TheBBQ
Store', diatur sedikit berbeda di Tanda Lawan. Tetapi melalui lensa ingatan yang tidak sempurna, mereka
secara visual, aura, dan konseptual tidak dapat dibedakan dari Merek Dagang—konsumen yang relevan
tidak dapat diharapkan untuk mencatat, apalagi mengingat, bahwa Lawan menggunakan superscript 'The'
dan Pemohon dengan huruf kecil 'store' . Bahkan dengan diskon yang diperlukan yang diterapkan pada
frasa deskriptif ini, bahwa kedua merek menggunakan kata-kata deskriptif yang sama persis dalam urutan
yang sama persis hanya dapat menambah kesamaan visual dan konseptual mereka”.
Kriteria berikut adalah mengenai jenis barang atau jasa,13 dan pasar tempat barang tersebut dibeli
akan mempengaruhi kehati-hatian pembeli dalam melihat merek dagang pada barang yang mereka pilih.
Umumnya semakin mahal barang yang dipertimbangkan, semakin kecil kemungkinan pembeli tertipu atau
bingung oleh kesamaan antara merek dagang di mana barang tersebut dijual. Demikian pula, barang-barang
yang sangat teknis mungkin hanya akan dibeli oleh orang-orang yang tidak akan tertipu oleh merek dagang
yang agak mirip. Di sisi lain, barang-barang seperti sabun akan dibeli oleh sejumlah besar orang yang
mungkin saja tertipu dengan melihat barang-barang yang memiliki merek dagang serupa.
Prinsip yang sama akan berlaku untuk layanan. Merek dagang serupa yang digunakan sehubungan
dengan layanan perbaikan sepatu yang disediakan oleh perusahaan yang berbeda lebih mungkin menjadi
sumber kebingungan daripada jika layanan tersebut adalah layanan medis spesialis.
Kemudian pemakaian merek bukan dalam bahasa Inggris, tes biasa untuk membandingkan merek
dagang, kata diterapkan ketika memutuskan apakah kata-kata yang diberikan dalam bahasa non-Inggris
secara menipu mirip dengan merek dagang yang sudah ada di Register dan apakah ada alasan penolakan
berdasarkan ketentuan. Hal ini berlaku apakah merek dagang yang dibandingkan keduanya diberikan dalam
karakter Romawi atau dalam huruf atau karakter dari sistem penulisan apa pun, seperti Arab atau Cina.
Jika barang-barang tersebut dipasarkan secara massal, misalnya, pakaian atau bahan makanan,
pembelian dapat dilakukan sebagian besar berdasarkan pemilihan visual. Merek dagang dapat menjadi
bagian dari kemasan yang menampilkan bahan tekstual serupa lainnya dan pembeli dapat menjadi bagian
dari masyarakat umum monolingual. Dalam kasus seperti itu, arti dari masing-masing merek dagang akan
menjadi tidak relevan, sehingga pengujian utamanya adalah visual dan fonetik (jika verbalisasi merek
dagang memungkinkan). Sejauh menyangkut karakter Arab dan Asia, konsumen yang tidak melek dalam
bahasa-bahasa ini diharapkan memberi perhatian khusus pada grafis yang terlibat.

150
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

Lebih lanjut, sebuah kata dan representasi bergambar yang setara dapat ditemukan serupa,14 berdasarkan
fakta bahwa seseorang dengan kecerdasan dan ingatan normal akan mempertahankan dan membawa kesan
keseluruhan yang sama. Pemeriksa perlu mempertimbangkan nama dan gagasan yang akan dikaitkan
dengan merek dagang perangkat tertentu
dibandingkan dengan nama dan gagasan yang disampaikan oleh kata merek dagang. Alasan penolakan
berdasarkan aturan akan ada jika ketika membandingkan merek dagang yang bersangkutan, kesimpulannya
adalah bahwa nama dan ide yang disampaikan sama persis.
Kemudian pada kasus berikut mendapatkan hasil sebaliknya, dapat dilihat di Wolter Joose atas nama
Joose Apparel Pty Ltd v Great White Shark Enterprises Inc [1999] ATMO 59 di mana merek dagang berikut
ditemukan “TIDAK MIRIP”:

Dalam keputusan itu, Petugas Dengar Pendapat menyatakan bahwa meskipun 'perangkat tersebut
benar-benar penggambaran hiu...tidak ada yang mengatakan bahwa itu adalah Hiu Putih Besar'.

2. Kendala Penerimaan Permohonan Pendaftaran Merek.

Keterlibatan berbagai pihak secara terkoordinasi dan bersungguh- sungguh sangat diperlukan guna
menjamin terlaksananya system hak kekayaan intelektual seperti yang diharapkan. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Direktorat Jendral Hak
Kekayaan Intelektual telah ditugas untuk melakukan koordinasi denagn seluruh instansi Pemerintah yang
berkompeten di bidang hak kekayaan intelektual.15
Baru-baru ini, ada beberapa kasus permohonan pendaftaran yang tidak diterima oleh pencatat yaitu,
pertama merek “Roseto” pemohon dengan nomor registrasi: DID2020006945 diterima pada 07 Februari
2020, ditolak oleh registrar berdasarkan kesamaannya dengan merek “ROSSETTI” yang terdaftar sebelumnya
dengan nomor terdaftar: IDM000243335 untuk menggunakan merek yang sama untuk barang dan/atau
jasa, sedangkan sebagai kesan pertama menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Alasan penolakan berdasarkan Pasal 21 (1) (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa suatu permohonan ditolak apabila Merek tersebut pada
pokoknya serupa atau identik dengan: “Merek terdaftar sebelumnya dari pihak lain atau permohonan Merek
sebelumnya untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Kedua, merek CT LON pemohon dengan nomor pendaftaran: DID2020045762 diterima pada tanggal
13 Agustus 2020. Ditolak oleh pencatat berdasarkan Pasal 21(1)(a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, karena kesamaannya dengan merek CITYLON yang telah didaftarkan
sebelumnya dengan nomor terdaftar: IDM000054054 untuk menggunakan merek yang sama untuk barang
dan/atau jasa, sedangkan sebagai kesan pertama menimbulkan kebingungan bagi kalangan masyarakat.
Kasus ketiga, merek ITech dengan nomor pendaftaran: DID2020043196 diterima pada tanggal 4
Agustus 2020. Ditolak oleh pencatat berdasarkan Pasal 21(1)(a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, karena kesamaannya dengan merek ITEK yang terdaftar sebelumnya
dengan nomor terdaftar: IDM000371966 untuk menggunakan merek yang sama untuk barang dan/atau
jasa, sedangkan sebagai kesan pertama menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.

151
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

Dalam kasus pertama, sepanjang menyangkut merek Roseto, Pemohon ditolak oleh registrar berdasarkan
kesamaannya dengan merek ROSSETTI yang terdaftar sebelumnya. Peristiwa penolakan di sini sungguh
disesalkan, karena Pemohon tidak mengajukan banding atas keputusan ini kepada Dewan Merek.
Saat menentukan apakah merek dagang itu identik atau serupa, pencatat merek dagang dan Dewan
Merek sudah semestinya ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan konsisten dalam pengambilan keputusan
mereka. Dalam kebanyakan kasus, jika registrar menolak untuk mendaftarkan merek dagang dan pemohon
mengajukan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Merek, dewan biasanya aka mengkonfirmasi
perintah registrar dan menolak untuk mendaftarkan merek tersebut. Hanya dalam keadaan yang tidak
biasa dewan akan membatalkan keputusan sebelumnya oleh registrar.
Sehubungan dengan ini Penulis mencoba melakukan kajian perbandingan dari berbagai sumber guna
dijadikan sebagai pengetahuan. Bagaimanapun juga, berikut ini akan diperlihatkan beberapa kasus kejadian
serupa yang terjadi sebagai berikut:16
“Baru-baru ini, ada perbedaan antara keputusan yang dibuat oleh panitera dan Dewan Merek. Dalam
sejumlah kasus, registrar telah mencapai keputusan konservatif, menolak aplikasi atas dasar kesamaannya
dengan merek terdaftar. Namun, saat naik banding, dewan telah mengambil pandangan yang lebih luas
dan menemukan bahwa tanda tersebut tidak cukup mirip sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan
masyarakat. Melalui pemeriksaan dua kasus baru-baru ini di mana dewan membalikkan keputusan panitera
sebelumnya, pembaruan ini akan membahas tren ini dan mempertimbangkan apa artinya bagi pendaftar
merek dagang”.
Dalam kasus pertama, merek SAFFIRO pemohon ditolak oleh registrar berdasarkan kesamaannya
dengan merek CEFIRO yang telah terdaftar sebelumnya. Pemohon mengajukan banding atas keputusan
ini kepada Dewan Merek.
Dalam membandingkan merek dagang, dewan berpendapat bahwa, meskipun merek dagang masing-
masing memiliki tiga suku kata dan diakhiri dengan 'firo', huruf-huruf dalam suku kata pertama dari setiap
tanda (yaitu, 'saf' dan 'ce') menciptakan perbedaan visual antara merek dagang tersebut.
Mengenai pengucapan, dewan mencatat bahwa merek pemohon dapat diucapkan 'saf-fi-ro', sedangkan
merek terdaftar dapat diucapkan 'ce-fi-ro'.
Oleh karena itu, pengucapan tanda para pihak berbeda, sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan
masyarakat mengenai kepemilikan atau asal barang tersebut. Oleh karena itu, merek pemohon tidak
dianggap sama dengan merek terdaftar, dan dalam Putusan Nomor 1149/2557, Dewan Merek menyatakan
bahwa merek tersebut dapat didaftarkan.

Merek yang Didaftarkan Merek yang Terdaftar

CROFF
Tidak Sama
COB

Kembali ke tanda “Roseto” yang ditolak sebagaimana tersebut di atas, alasan ditolak oleh pencatat atas
dasar kesamaannya dengan merek ROSSETTI yang terdaftar sebelumnya, meskipun merek dagang masing-
masing memiliki tiga suku kata dan yang pertama di “ro”, huruf-huruf di akhir suku kata dari setiap merek
(yaitu, "to" dan "ti") menciptakan perbedaan visual antara merek dagang.
Membandingkan contoh kasus SAFFIRO dengan CEFIRO seperti disebut di atas sangat jelas ditegaskan
dalam “putusan Dewan Merek”, bahwa di antara keduanya memiliki perbedaan yang nyata, tidak hanya
dalam hal “pengucapan dan tulisan” tetapi juga dalam “desain tulisan”, karenanya dinyatakan merek tersebut
dapat didaftarkan. Sementara itu, hal yang sama juga dimiliki dalam kasus merek yang diajukan, yaitu:

152
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

"Roseto" dengan merek “ROSSETTI” yang telah terdaftar sebelumnya. Kedua merek tersebut juga sangat jelas
memiliki perbedaan dalam hal “pengucapan dan tulisan”, tetapi juga dalam bentuk “tulisan”. Oleh karena
itu, semestinya usulan atas merek “Roseto”, dapat didaftar dan diterima pendaftarannya oleh kantor merek.
Sementara itu, kasus kedua di mana Dewan membatalkan keputusan registrar melibatkan penolakan
merek CROFF (dan perangkat lingkaran) berdasarkan kesamaannya dengan merek COB (dan perangkat
pelindung).
Tidak setuju dengan penolakan awal registrar atas merek pemohon, Dewan berpendapat bahwa elemen
kata "croff" dalam merek dagang pemohon ditempatkan di perangkat lingkaran, sedangkan elemen kata
"tongkol" dalam merek dagang terdaftar ditempatkan di dalam perangkat perisai. Oleh karena itu, merek
dagang secara visual berbeda.
Lebih lanjut, Dewan menemukan bahwa merek dagang pemohon dapat diucapkan “croff”, sedangkan
merek terdaftar dapat diucapkan “cob.” Perbedaan ini memastikan bahwa tidak akan ada kebingungan di
antara masyarakat mengenai kepemilikan atau asal barang. Oleh karena itu Dewan memutuskan (dalam
Keputusan No 1152/2557) bahwa merek pemohon tidak sama dengan merek terdaftar dan dapat melanjutkan
pendaftaran.
Merek yang Didaftarkan Merek yang Terdaftar

CROFF
Tidak Sama
COB

Keputusan ini menggembirakan bagi pendaftar merek dagang. Di masa lalu, pendaftar sering kecewa
ketika tanda yang diizinkan untuk hidup berdampingan di yurisdiksi lain ditolak oleh pendaftar Thailand
dengan alasan kesamaan, dan keputusan ini kemudian ditegakkan oleh Dewan. Keputusan Dewan yang
lebih baru telah menunjukkan kesediaan untuk menantang kriteria yang digunakan oleh pendaftar dan
fokus pada kemungkinan nyata kebingungan publik, bukan pada kesamaan samar dalam penampilan
atau pengucapan.
Lebih lanjut, sepanjang yang berhubungan dengan “penolakan” atas dasar pertimbangan “kesamaan
atau kemiripan” terhadap suatu merek, berikut ini kembali membandingkan beberapa kriteria penilaian
yang dilakukan oleh Kantor Kekayaan Intelektual Australia sebagai berikut:17
“1. Sound as well as appearance to be considered (Suara serta Penampilan mesti dipertimbangkan);
2. Imperfect Recollection (Ingatan yang Tidak Sempurna); 3. Marks with a degree of notoriety or familiarity
(Tanda dengan Tingkat Ketenaran); 4. The descriptiveness of the trade mark (Deskripsi Merek Dagang); 5.
Type of customer (Jenis Pelanggan)”.

Sehubungan dengan hal itu,18 dalam menentukan kemiripan antara dua merek dagang,
kemungkinan pengucapan yang tidak jelas, distorsi suara di telepon atau percakapan lain dan struktur
suku kata kata harus diperhitungkan. Pada pertanyaan "suara" merek dagang, referensi dapat dibuat untuk
kata-kata Sargant LJ dalam kasus "Tripcastroid", London Lubricants (1920) Limited's Application (1924) 42
RPC 264 di halaman 279,

baris 30:

“Satu-satunya kesamaan dalam kata "Tripcastroid" dengan "Castrol" adalah huruf yang menyusun
bagian tengah kata baru. Pengakhiran kata baru berbeda. Meskipun saya setuju bahwa, jika itu adalah

153
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

satu-satunya perbedaan, dengan memperhatikan penghentian kata-kata, itu mungkin tidak cukup untuk
membedakan. Tetapi kecenderungan orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris untuk mengolok-olok
akhir kata juga memiliki efek bahwa awal kata ditekankan dibandingkan, dan, menurut penilaian saya, suku
kata pertama dari sebuah kata, sebagai suatu peraturan, jauh paling penting untuk tujuan pembedaan.”
Namun, temuan kasus di atas harus dipertimbangkan dalam metode pemasaran modern. Petugas
Dengar Pendapat di Giorgio Armani S.p.A v Tiawan Yamani, 17 IPR 92 memutuskan bahwa:
“...kasus lawan...harus gagal karena, sehubungan dengan barang yang dimaksud di sini, saya menganggap
dampak visual dari tanda, yang sangat berbeda, lebih penting daripada kesamaan aural. Realitas komersial
saat ini adalah bahwa barang-barang pakaian tidak dibeli di konter atas permintaan lisan tetapi dipilih
dengan cermat oleh calon pelanggan dari rak di toko dan diperiksa dengan sangat hati-hati dan dibandingkan
dengan barang-barang serupa”.
Kemudian poin penting berikutnya adalah19, dalam mempertimbangkan apakah kata merek dagang,
merek dagang perangkat, atau merek dagang komposit mirip dengan merek dagang yang sudah terdaftar,
House of Lords

dalam kasus “Rysta” membahas doktrin ingatan tidak sempurna dan


pentingnya kesan pertama (1943) 60 RPC 87 di halaman 108:

“Jawaban atas pertanyaan apakah bunyi satu kata terlalu mirip dengan bunyi kata lain... hampir
selalu bergantung pada kesan pertama, karena jelas orang yang akrab dengan kedua kata itu tidak akan
tertipu atau bingung. Adalah orang yang hanya mengetahui satu kata, dan mungkin memiliki ingatan yang
tidak sempurna tentangnya, yang kemungkinan besar akan tertipu. Oleh karena itu, sedikit bantuan yang
dapat diperoleh dari perbandingan yang cermat dari dua kata, huruf demi huruf dan suku kata demi suku
kata, diucapkan dengan kejelasan seperti yang diharapkan dari seorang guru elokusi.”
Pengadilan harus berhati-hati untuk memperhitungkan ketidaksempurnaan ingatan dan pengaruh
pengucapan dan ucapan yang tidak hati-hati di pihak tidak hanya orang yang ingin membeli di bawah
deskripsi dagang, tetapi juga asisten toko yang melayani keinginan orang itu.
Namun, sambil mengingat doktrin ini, harus diingat bahwa House of Lords, juga dalam kasus "Rysta",
menunjukkan bahwa faktor ini tidak boleh terlalu ditekankan. Kata-kata Lord Greene MR di halaman 105
adalah:
“Doktrin ingatan yang tidak sempurna tidak boleh dibawa terlalu jauh. Dalam mempertimbangkan
penerapannya tidak hanya harus dipertimbangkan kelas orang yang mungkin terpengaruh, tetapi tidak
lebih dari kemungkinan biasa dari pengucapan yang buruk, pendengaran yang ceroboh atau ingatan yang
rusak harus diasumsikan”.
Kemudian dari pada itu20, ukuran penilaian penting selanjutnya adalah Tanda dengan tingkat Reputasi
dan kemasyhuran merek dagang pada umumnya tidak boleh dipertimbangkan untuk tujuan Pasal 44.
Relevansi pertimbangan reputasi dan kemasyhuran dengan Pasal 44 telah dipertimbangkan oleh pengadilan
beberapa kali. Panduan dapat diambil dari kasus-kasus yang dibahas di bawah ini.
Dalam Registrar of Trade Marks v Woolworths Limited, (Metro) 45 IPR 411, merek yang dibandingkan
adalah beberapa merek yang terdiri dari kata "Metro" dan aplikasi yang diajukan oleh Woolworths Ltd yang
terdiri dari kata

"Woolworths Metro". Kasus ini diputuskan berdasarkan keadaan khusus, Hakim Prancis setuju dengan
hakim utama bahwa:
“Jika suatu elemen merek dagang memiliki tingkat ketenaran atau keakraban yang dapat diambil
oleh pengadilan, seperti halnya kasus ini, akan dibuat-buat untuk memisahkan fitur fisik dari merek dari

154
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

persepsi pemirsa tentang merek tersebut. Karena pada akhirnya pertanyaan tentang kemiripan adalah
tentang bagaimana merek itu harus dirasakan. Dalam kasus instan, dampak visual dari nama "Woolworths"
tidak dapat dinilai tanpa pengakuan keakraban yang terkenal bagi konsumen”.
Dalam CA Henschke & Co v Rosemount Estates Pty Ltd [2000] FCA 1539, Pengadilan Federal Penuh
ketika mempertimbangkan kesamaan yang menipu dalam konteks pelanggaran menyarankan bahwa tidak
ada prinsip baru yang terlibat dan otoritas pengikat sebelumnya masih berlaku. Pertimbangan kemasyhuran
mungkin relevan sebagai elemen ingatan yang tidak sempurna, sehingga merek yang benar-benar terkenal
lebih kecil kemungkinannya untuk diingat secara salah. Ini menyoroti penerapan proposisi yang sangat
sempit”.
Dalam Pfizer Products Inc v Karam [2006] FCA 1663 Gyles J menyatakan di [50]:
“Saya sama sekali tidak puas bahwa adalah pantas untuk mempertimbangkan reputasi untuk tujuan
perbandingan yang relevan untuk pasal 44 … Bagian 60 membawa reputasi. Saya tidak yakin bahwa apa
yang dikatakan oleh French J di Woolworths di [61] cukup untuk mengubah tes untuk s 44. Ada dukungan
untuk penggunaan reputasi sehubungan dengan pelanggaran ... Tidak jelas bahwa, jika benar, ini akan
diimpor ke s 44”.
Di Australian Meat Group Pty Ltd v JBS Australia Pty Limited [2018] FCAFC 207; 268 FCR 623 Pengadilan
Federal Penuh menyatakan:
“Proposisi terbatas yang diterima oleh Pengadilan sebagai Woolworths bukanlah bahwa reputasi secara
umum relevan dengan kesamaan yang menipu. Itu yang ditolak. Itu adalah proposisi bahwa kesamaan
yang menipu dari ingatan yang tidak sempurna dapat dilawan dengan menunjukkan sifat terkenal dari
merek terdaftar dan kemungkinan yang berkurang dari ingatan yang tidak sempurna”.

Keputusan Metro karena itu tidak ditafsirkan oleh keputusan berikutnya sebagai otoritas untuk proposisi
bahwa reputasi secara umum relevan dengan kesamaan yang menipu.
Deskripsi merek dagang,21 secara umum tepat untuk kurang memperhatikan hal-hal yang tidak khas
ketika membandingkan tanda. Hal ini karena hal yang tidak khas cenderung tidak dianggap sebagai indikasi
asal barang atau jasa, dan oleh karena itu konsumen tidak mungkin dibingungkan oleh adanya hal yang
serupa, tidak khas, dalam dua atau lebih merek dagang. Dalam Cooper Engineering Co Pty Ltd v Sigmund
Pumps Ltd (1952) 86 CLR 536 Pengadilan Tinggi harus mempertimbangkan apakah merek RAIN KING,
terdaftar sehubungan dengan 'spray nozzles, sprinkler dan bagian-bagiannya', harus memblokir permohonan
merek RAINMASTER untuk barang sejenis. Dalam menyimpulkan bahwa tidak ada kemungkinan penipuan
yang masuk akal di antara merek-merek tersebut, Pengadilan mengatakan:
“Pembeli nozel semprot dan alat penyiram… kemungkinan besar tidak akan memperhatikan keberadaan
kata umum seperti hujan dalam kombinasinya. Awalan itu sudah muncul di merek dagang lain untuk
barang dengan deskripsi yang sama yang dijual di pasar Australia seperti Rainwell, Rainmaker, Rain Queen,
dan Rainbow. Pencatat yang terpelajar benar dalam berpendapat bahwa satu-satunya kesamaan antara
dua tanda adalah awalan umum 'Hujan' dan kesamaan ini tidak cukup untuk menciptakan kemungkinan
penipuan yang masuk akal ketika bagian yang tersisa dari tanda sangat berbeda” (di hal. 539 per Dixon,
Williams dan Kitto JJ).”
Pemeriksa juga akan berhati-hati untuk menghindari 'kesalahan di sisi kehati-hatian' ketika menilai
apakah suatu merek sangat mirip dengan merek dagang sebelumnya sehingga kemungkinan akan menipu
atau menyebabkan kebingungan. Sudah lama diyakini bahwa warna deskriptif dapat membatasi hak
pemilik; lihat dalam hal ini pengamatan Maugham J dalam kasus “Ucolite”, (1931) 48 RPC 477 di hal 486:
"Saya pikir benar untuk mengatakan bahwa ketika merek dagang terdaftar ... memiliki warna deskriptif,

155
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 20 No. 2 - Maret 2023: 144-157

Pengadilan agak menolak untuk


membiarkan fakta itu cenderung menjadi semacam monopoli sehubungan dengan karakter deskriptif kata
tersebut."

Sistem merek dagang tidak dimaksudkan untuk berfokus secara eksklusif pada menghilangkan semua
risiko kebingungan konsumen, terlepas dari kebutuhan pedagang lain. Seorang pembuat keputusan mungkin
tidak punya pilihan selain menoleransi beberapa risiko kebingungan jika seorang pedagang telah memilih
untuk membangun bisnis di sekitar istilah deskriptif dan pedagang kemudian ingin menggunakan istilah
deskriptif itu dalam kaitannya dengan bisnisnya sendiri. Hal ini terlihat dalam keputusan Pengadilan Tinggi
di Hornsby Building Information Centre Pty Ltd v Sydney Building Information Centre Ltd (1978) 140 CLR
216, yang berurusan dengan rezim perlindungan konsumen menurut undang- undang:
"Risiko kebingungan harus diterima, melakukan sebaliknya adalah memberikan kepada orang yang
menggunakan kata-kata deskriptif untuk dirinya sendiri monopoli yang tidak adil dalam kata-kata itu ..."
(di hal. 229 per Stephen J)”.
Akhirnya penilaian terhadap pihak Pelanggan22 ternyata unsur yang tidak kalah pentingnya untuk
diperhatikan oleh pihak Registrar. Seperti yang ditunjukkan dalam Crook's Trade Mark, (1914) 31 RPC 79
di halaman 85, merek dagang tidak boleh dilarang pendaftarannya karena "orang bodoh, bodoh atau idiot
yang luar biasa akan tertipu". Pengamatan serupa dilakukan di Australian Woolen Mills Ltd v F. S. Walton
& Co Ltd, (1937) 58 CLR 641 di 658, di mana Dixon dan McTiernan JJ mengatakan:
“Cara biasa di mana orang-orang biasa berperilaku harus menjadi ujian dari kebingungan atau
penipuan apa yang mungkin diharapkan. Calon pembeli barang tidak boleh dikreditkan dengan persepsi
tinggi atau kebiasaan hati-hati. Di sisi lain, kecerobohan atau kebodohan yang luar biasa dapat diabaikan.
Jalannya bisnis dan cara di mana kelas barang tertentu dijual memberikan, dapat dikatakan, pengaturan,
dan kebiasaan serta pengamatan orang-orang yang dipertimbangkan dalam massa memberikan standar.”

C. Penutup

Penolakan terhadap permohonan pendaftaran merek berlaku melalui 2 (dua) cara, yakni secara
internasional dan nasional. Konvensi merek dagang yang mengatur merek dagang secara internasional
dikenal sebagai “Konvensi Paris”. Konvensi ini berdasarkan atas perlindungan yang sama bagi bangsa-
bangsa setiap Negara anggota Serikat Paris jika mereka telah memenuhi persyaratan. Sementara secara
nasional, suatu merek mendapat perlindungan hukum jika terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (DJKI) sebagaimana juga diatur dalam perjanjian TRIPs dan dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang
Merek 2016 bahwa merek terdaftar memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga tanpa seizin dan
sepengetahuan pemilik Merek untuk menggunakan Merek yang sama untuk barang dan/atau jasa yang
telah didaftarkan sebelumnya.
Kendala dalam penerimaan permohonan pendaftaran merek yakni pada Kantor Merek yang kurang
memahami dan mendalami, serta kurang berhati-hati dalam memeriksa dan memutuskan penolakan terhadap
suatu merek yang didaftarkan. Banyak unsur atau kaidah penilaian yang harus dipelajari, dan diperhatikan
secara baik dan seksama untuk menganalisis suatu merek. Beberapa unsur penting dimaksud seperti: 1.
Suara serta penampilan mesti dipertimbangkan; 2. Ingatan yang tidak sempurna; 3. Tanda dengan tingkat
ketenaran; 4. Deskripsi merek dagang; 5. Jenis pelanggan.

156
Kekuatan Hukum dan Perlindungan Hak... (Abd Thaliba, Zulfikri Toguanb, Bambang Andi Putrac, Nur Aisyah Thalib)

Daftar Pustaka
Alfarizi, Maolana. 2021. “Penerapan Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Merek Terkenal Konvensi Paris
Ke Dalam Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis”, Literacy :
Jurnal Ilmiah Sosial, 3, no. 1 : 46-70.

Arifin, Zaenal dan Muhammad Iqbal. 2020. “Perlindungan Hukum Terhadap

Merek Yang Terdaftar” Jurnal Ius Constituendum 5 no. 1 : 47.

Ariandono. 2018. “Kasus Hukum: Ditjen HKI Diminta Tolak Merek Cap Kaki Tiga”. L a s t
modified Mei 5.

https://hukum.tempo.co/read/1086010/kasus-hukum-ditjen-hki- diminta-tolak-merek-cap-kaki-tiga.

Australian Government IP Australia. 2022. “Factors to consider when comparing trade marks”. Last
modified April 20.

https://manuals.ipaustralia.gov.au/trademark/6.-factors-to- consider-when-comparing-trade-marks.

Hasibuan, Puspa Melati, Zulfi Chairi dan Aflah. 2022. “Implementation Of Legal Protection Of Brand
Rights For Micro, Small, And Medium Enterprises (Msmes) According To Law Number 20 Year 2016

Concerning Marks And Geographic Indications” Journal of Humanities and Social Studies 6, no. 2) : 156-160.

Nugraha, Rizal dan Hana Krisnamurti. 2019. “Sengketa Merek Terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Berdasarkan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis”,
Wacana Paramarta : Jurnal Ilmu Hukum, 18 no. 2 : 97-113.

Sanjaya, Putu Eka Krisna dan Dewa Gde Rudy. 2018. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Terkenal
Di Indonesia”, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, 6, no. 11 : 1-12.

Saraswati, Ida Ayu Kade Irsyanti Nadya dan Ibrahim R. 2019. “Pembatalan Merek Karena Adanya Kesamaan
Konotasi Dengan Merek Lain Yang Telah Terdaftar”, Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, 7, no. 4
: 1-15.

Sari, Devi Puspita dan Audita Nuvriasari. 2018. “Pengaruh Citra Merek, Kualitas Produk Dan Harga
Terhadap Keputusan Pembelian Produk Merek Eiger (Kajian Pada Mahasiswa Universitas Mercu Buana
Yogyakarta)” Jurnal Penelitian Ekonomi dan Bisnis, 3, no. 2 : 73 – 83.

Thalib, Abd dan Muchlisin. 2018. Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Raja Grafindo Persada.

Trakulwongveera, Sunisa, Tilleke & Gibbins International Ltd, Thailand. 2015. “Recent Board of Trademarks
decisions on similarity encouraging for trademark applicants”, World Trademark Review. Last
modified June, 3. https://www.tilleke.com/wp- content/uploads/2015/07/2015_
Jul_Recent_BoT_Decisions_Similarit y.pdf.

Trisnawati, Putri Ayu. 2022. “Studi Kasus Sengketa Merek MY BABY Dengan PURE BABY”. Last modified
November 6, 2019. https://pdb- lawfirm.id/studi-kasus-sengketa-merek-my-baby-dengan-pure-baby/.

157

Anda mungkin juga menyukai