Anda di halaman 1dari 8

Ekspresionline.

com

https://ekspresionline.com/senja-kala-sastra-koran/

Home Opini

Senja Kala Sastra Koran

Di penghujung umur media cetak, kita menyaksikan sastra koran yang sedang sekarat.

by Abdul Hadi Monday, 23 March 2020

Senja Kala Sastra Koran

Ilustrasi Sastra Koran/Pixabay.com

Ekspresionline.com–Fenomena sastra koran di Indonesia merupakan hal unik yang tidak terjadi di
negara-negara lain. Media massa yang seharusnya menyajikan fakta, berani menanggung risiko
menampilkan sastra, baik itu prosa atau puisi yang notabenenya karya rekaan. Kuntowijoyo (1999)
sempat memuji nyali besar koran Indonesia yang menghadirkan karya fiksi setiap minggunya. Berkat
koran, corak sastra di Indonesia kian beragam.

Katrin Bandel (2006) bahkan pernah menyatakan bahwa koran di Indonesia “menyeleweng” karena
memuat karya fiksi. Padahal fungsi media massa adalah penyedia informasi. Hal inilah yang tidak
ditemui di koran-koran besar di luar negeri.

Namun, tak bisa dibantah bahwa media cetak telah melahirkan banyak sastrawan kesohor
Indonesia.

Sejak sastra koran mencapai puncaknya pada tahun 70-an dan 80-an, nama-nama seperti Seno
Gumira Ajidarma, Ahmadun Yosi Herfanda, Agus Noor, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Sutardji Calzuom
Bachri, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan banyak lagi telah dibesarkan oleh sastra koran.

Miskin Kritik dan “Setengah Matang”

Sejauh ini, apresiasi dan kritik sastra di ruang budaya media cetak jarang dijumpai. Ibaratnya,
dialektika sastra di koran seperti benih yang nyaris tidak disiram dan kurang diberi pupuk.

Perjalanan sastra koran yang kerap menuai cibiran dianggap mendistorsi kebebasan bersastra. Di
media massa, bagaimanapun juga pihak koran mempertimbangkan khalayaknya. Masing-masing
media memiliki rambu-rambu yang harus ditaati penulis jika karyanya ingin dimuat. Ditambah lagi
ruang sastra koran yang terbatas, menjadikan sastrawan harus menyiasati tulisannya agar sejalan
dengan politik keredaksian media cetak bersangkutan.
Tidak heran, sastra koran bisa dibilang sastra “setengah matang”. Prosa yang ditayangkan media
cetak tidak kuat alurnya, perwatakan yang minim, hingga ketegangan cerita yang kurang terpelihara.
Hal ini agaknya disebabkan halaman koran yang kurang banyak sehingga prosa di koran hanya
menekankan pada salah satu dari unsur-unsur di atas.

Persoalannya kian rumit jika redaktur sastra koran bukan dari latar belakang sastra. Subjektivitas
redaktur seringkali disalahkan di forum-forum kesusastraan, apalagi tidak ada indikator yang jelas
dan baku sebagai syarat kelayakan suatu karya sastra lolos di koran yang diampunya.

Harris Effendi Thahar (2009) pernah menyatakan bahwa sastra koran tidak lepas dari ciri media
massa yang aktual. Karenanya, tema-tema cerpen yang bertepatan dengan suatu peristiwa
didahulukan untuk dimuat. Misalnya pada cerpen Lukisan Air Mata Danarto karya cerpenis muda
Daruz Armedian yang terbit di Kedaulatan Rakyat (22/4/2018) beberapa waktu selepas sastrawan
Danarto meninggal. Atau cerpen Tiang Lampu (Kedaulatan Rakyat, 26/11/2019) karya Junaidi Khab,
yang tayang beberapa hari selepas berita mobil Setya Novanto menabrak tiang listrik.

Kita tentu berbeda zaman dengan Seno Gumira Ajidarma yang menyatakan slogan terkenalnya: jika
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Kini, jurnalisme tidak dibungkam dan sastra dibebaskan
(nyaris) sebebas-bebasnya.

Jika sastrawan (muda) Indonesia hanya menuliskan kembali berita menjadi fiksi, maka tidak ada
tawaran baru dalam sastra koran Indonesia. Apabila tadi saya menyebutnya “setengah matang”,
(jika terus berlanjut), maka sastra koran tetap stagnan atau malah dekaden sebagai seni literasi.

Mirisnya, sastra koran yang setengah matang atau mungkin tidak pernah matang, kini nasibnya
berada di penghujung umur. Sekarat dan berada di ambang maut.

Menjelang Senja Kala

Penetrasi internet yang masif di Indonesia semakin meminggirkan media cetak.

Pada medio 2019, tim Tirto di Jawa dan Bali melakukan riset media cetak. Dari 1.201 responden,
hanya tujuh persen dari generasi Z yang membaca koran. Sebagian besar dari mereka mengandalkan
media sosial dan daring untuk menangguk informasi.
Tak pelak, oplah koran di Indonesia kian turun sirkulasinya. Beberapa malah gulung tikar seperti
Jakarta Globe (2015), Sinar Harapan (2015), Koran Sindo (2016), Harian Bernas (2018), dan sisanya
yang “kalah”, menjual medianya kepada konglomerat media digital.

Senja kala media cetak yang dikatakan Bre Redana (Kompas, 27/12/2015) tentu saja berdampak
pada perkembangan sastra koran. Setelah cerita bersambung di beberapa media cetak tidak lagi
diterbitkan, kini cerpen dan puisi koran juga di ambang kematian. Sebut saja Radar Surabaya dan
Harian Jogja yang sudah menutup rubrik sastranya, bahkan Kompas pun tidak lagi menayangkan
puisi secara reguler setiap Sabtu. Beberapa tetap bertahan atau menerbitkan karya sastra dua
minggu sekali seperti Media Indonesia, hingga mengurangi jumlah kata di rubrik sastranya.

Demikian juga apresiasi sastra koran yang digagas beberapa pihak tampak timbul tenggelam, seakan
menegaskan bahwa masa depan sastra koran kian buram. Tidak sedikit, media cetak yang
menerbitkan kumpulan cerpen (kumcer) berlaku tidak konsisten. Demikian juga Anugerah Sastra
Pena Kencana yang hanya berjalan selama dua tahun (2008 dan 2009). Hanya Kompas yang
menerbitkan kumcer secara berkala tiap tahun sejak 1992-sekarang (kecuali pada 1998).

Harapan para penulis muda pada koran tampaknya juga menurun. Seiring menjamurnya (beberapa)
media daring yang miskin kurasi, karya sastra siber yang dipandang sebelah mata membeludak di
internet.

Jika menilik prediksi bahwa media cetak akan mati 20 tahun lagi sebagaimana yang dinyatakan Asto
Subroto, akankah sastra koran juga mati dan menjadi memori dari sejarah kesusastraan Indonesia?
Pertanyaan selanjutnya, apakah medium sastra siber cukup bertaji mewadahi karya dan kritik
sastrawan kita?

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Majalah_sastra

Majalah sastra adalah publikasi berkala yang ditujukan untuk sastra dalam arti luas. Majalah sastra
biasanya mempublikasikan cerita pendek, puisi dan esai, beserta kritik sastra, resensi buku, profil
biografi penulis, wawancara, dan surat-surat. Majalah sastra sering disebut jurnal sastra, atau
majalah kecil, yang tidak dimaksudkan untuk merendahkan, melainkan sebagai kontras dengan
majalah-majalah yang lebih besar atau majalah komersial.

Contoh majalah sastra adalah karas

https://majalahkaras.kemdikbud.go.id/

Karas merupakan majalah yang memuat karya dan esai sastra Indonesia serta karya sastra
terjemahan dalam bahasa Indonesia. Karas diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dan
terbit dua kali dalam satu tahun: Juni dan Desember.

https://my-best.id/137691
Buku sastra adalah buku-buku yang berisi karya imajinatif dan bersifat subjektif. Berbeda dengan
buku nonsastra yang berisi fakta ilmiah bersifat objektif, karya sastra akan mengantarkan Anda pada
kebebasan imajinasi. Jika Anda gemar membaca, pastikan buku sastra Indonesia ada dalam koleksi
Anda.

Buku sastra Indonesia sendiri sangat beragam jenisnya, sebut saja puisi, naskah drama, cerpen,
hingga novel. Hingga saat ini, puisi dan novel masih menjadi buku sastra Indonesia yang populer.
Harus diakui, sastrawan Indonesia sangatlah kreatif dalam memainkan kata dan menguras emosi
pembaca sehingga Anda bisa larut dalam karyanya.

Dengan membaca buku sastra, Anda juga bisa lebih mengenal budaya Indonesia, khususnya bahasa
Indonesia. Membaca karya sastra akan membuat Anda menyadari betapa kayanya perbendaharaan
kata atau diksi bahasa Indonesia.

Anda juga bisa memahami perkembangan sastra Indonesia melalui buku-buku sastra Indonesia.
Sekali jatuh cinta dengan sastra, Anda akan sulit untuk melepaskannya!

http://kreskit.pbsi.uad.ac.id/sastra-cyber-sebagai-eksistensi-generasi-milenial-dalam-
mengembangkan-literasi/#:~:text=Sastra%20cyber%20seperti%20Wattpad%2C%20PlukMe,ditulis
%20menjadi%20hal%20yang%20menarik.

Sastra cyber seperti Wattpad, PlukMe, Cabaca, dan Webtoon bisa menjadi wadah untuk
menyalurkan bakat menulis. Platform sastra cyber terbuka bagi siapa pun untuk membuat akun dan
menulis di akun miliknya. Peran pembaca terhadap cerita yang ditulis menjadi hal yang menarik.

Contoh tambahan KBM app

Pengarang kontroversial

https://id.quora.com/Siapa-penulis-asal-Indonesia-yang-kontroversial

Penulis Indonesia kontroversial?

Hai! Terima kasih telah bertanya. Mari saya coba rangkum berdasar yang telah saya baca dan
ketahui:

1.Pramoedya Ananta Toer


(Foto: dokumentasi pribadi)

Kayaknya hampir semua karya Pram adalah kontroversi bagi bangsa ini pada masanya. Tapi yang
populer dan mendapat tentangan besar-besaran rezim agaknya Tetralogi Buru. Alasannya? Pram
adalah Lekra dan Tetralogi Buru oleh pemerintah diklaim mengusung nilai-nilai Marxisme-Leninisme.

Peredaran karya Pram pasca dilarang rezim pun dilakukan sangat hati-hati di bawah tanah. Yang
kedapatan membaca udah jelas bakal "diamankan" (diamankan yang nggak menimbulkan rasa aman
sedikitpun tentunya). Interpretasi dan diskusi atas Pram oleh orde baru adalah kejahatan pada
negara.

2.Armijn Pane

(Foto: dokumentasi pribadi)

Sastrawan angkatan Pujangga Baru ini mendapat pro-kontra pasca Belenggu terbit. Mengapa?
Karena karya yang diklaim sebagai novel psikologis pertama oleh pengarang Indonesia ini
menampilkan hal-hal tabu pada masanya. Seperti prostitusi dan perselingkuhan.

Padahal apa yang ditulis Armijn Pane melalui konflik cinta segitiga tokoh-tokoh yang terjebak di
antara pemikiran modern dan kemapanan nilai-nilai tradisional adalah representasi zaman pada saat
itu.

3.Achdiat K. Mihardja

Atheis. Saya rasa hingga hari ini buku ini masih punya bara kontroversial. Coba aja baca buku
tersebut ketika momen kumpul keluarga. Saya pernah langsung ditegur dan diceramahi orang tua
saat menenteng buku ini! Haha.

Atheis pasca terbit langsung mendapat kecaman dari dua pihak. Golongan agama mencibir Achdiat
K. Mihardja melalui karakter Hasan dan doktrin-doktrin agama yang tidak dibahas secara
komprehensif dalam novel. Sementara golongan Marxis dan Anarkis menganggap Achdiat K.
Mihardja gagal mengejawantahkan ide-ide Marx serta Nietzsche.
4.Ahmad Tohari

Melalui trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari ditentang rezim orde baru, dan nyaris batal
terbit. Hal ini karena karyanya di anggap kekiri-kirian (ya, bangsa ini sampai hari ini masih paranoid
dengan unsur kiri).

Meski berhasil terbit, trilogi ini mendapat sensor selama 25 tahun. Salah satu adegan yang tak bisa
dinikmati pembaca pada masa itu adalah adegan pembunuhan mereka yang dianggap PKI.

Ahmad Tohari melalui trilogi ini mengisahkan perjalanan hidup Srintil, seorang ronggeng saksi
pergolakan pada masa penumpasan PKI.

Oh ya, Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diadaptasi ke layar lebar.

5.Ayu Utami

(Foto: dokumentasi pribadi)

Bangsa ini dengan segala kuasanya masih bertahan pada patriarki. Buktinya Ayu Utami melalui
Saman ditentang. Hal ini karena Ayu Utami adalah perempuan, dan ia menulis seks secara gamblang
serta mengaitkannya dengan nilai-nilai tradisional.

Saman adalah cerita tentang seorang pastur yang beralih jadi aktivis di rezim orde baru, dan empat
orang perempuan yang punya pemikiran liberal khususnya terkait seks. Hal yang sampai saat ini
masih tabu di Indonesia.

Ayu Utami melalui Saman juga dianggap sebagai pelopor 'sastra wangi' yang hari ini telah diikuti
pengarang perempuan lainnya.

sederhananya adalah sebutan untuk karya sastra yang ditulis oleh perempuan. Istilah ini muncul
pasca Saman terbit. Lebih jauh, karya yang disebut sastra wangi seringkali mengusung tema seks
atau gender. Melalui itu para penulis menyampaikan ideologi dan perspektif feminis.
Meski begitu, banyak pula yang memperdebatkan istilah sastra wangi sebagai sebuah genre "baru".
Tapi mereka yang dikategorikan pengusung sastra wangi berpandangan, pemberian istilah jangan
hanya berdasarkan penilaian tampak luar sebuah karya, tanpa usaha menyelami makna.

6. H.B. Jassin

Kontroversi yang dihadapi Jassin datang dari kalangan muslim. Melalui terjemahan Alquranul Karim -
Bacaan Mulia, Jassin melakukan puitisasi atas terjemahan Alquran.

Berbagai surat melayang ke Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia, yang isinya meminta agar
terjemahan Jassin tersebut ditarik dari pasaran.

Tidak hanya gugatan melalui surat, buku-buku yang yang membahas terjemahan Jassin pun terbit:
Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin (1978) oleh Nazwar Syamsu, Polemik
tentang Al Quranul Karim Bacaan Mulia (1979) oleh H. Oemar Bakry, dan Sorotan atas Terjemahan
Quran H.B. Jassin (1979) oleh K.H. Siradjuddin Abbas.

Inti dari gugatan atas Jassin terhadap terjemahannya oleh mereka yang tak berterima adalah, Jassin
sebagai doktor Sastra Indonesia yang bukan ulama di bidang agama Islam dianggap tidak layak
menerjemahkan Alquran. Selain itu, banyak yang meragukan kemampuan bahasa Arab Jassin.

Karya Jassin ini tidak bisa beredar secara luas. Dan karena pemerintah (Departemen Agama) dan
MUI menolak karya tersebut, masyarakat pun akhirnya menganggap karya Jassin sebagai mushaf
yang sesat.

Edit: lumayan lengkap tentang Jassin dan terjemahan Alqurannya bisa dibaca di sini: Jawaban Marah
Dian untuk Apakah kamu pernah menemukan keindahan sastra dari sebuah karya agama?

Karya-karya di atas hari ini sudah bebas dibaca, diinterpretasikan, dan didiskusikan. Tapi agaknya
bara-bara ketakutan rezim atas buah pemikiran masih menyala. Buku yang kekiri-kirian sampai hari
ini masih saja dirazia dan ruang diskusi masih saja dibungkam. Daftar penulis yang sempat menuai
kontroversi pun masih banyak lagi. Tapi segitu dulu yang saya ingat dan sudah saya baca (kecuali
H.B. Jassin)

-mrh

melakukannya) :"D
Saya tidak suka penulis yang sengaja menulis isu kontroversi tapi tanpa riset yang jelas, misalnya isu
peperangan, isu pemerkosaan, feminisme, dan—yang paling sering bikin geregetan—penyakit
mental.

Saya tidak suka penulis yang attitude-nya buruk. Ketika saya bekerja di penerbitan, satu kali saya
menemukan penulis yang sungguh membagongkan; manipulatif dan playing victim, merendahkan
editor, bahkan sampai koar-koar di status whatsapp dan ig-nya alih-alih berdiskusi baik-baik dengan
pihak penerbit.

Saya tidak suka penulis yang macam saya zaman smp dulu—yang menulis hanya ingin
menumpahkan halu tanpa pesan yang jelas dan akibatnya bikin anak orang (pembaca) berdelusi
yang tidak sehat. Alhamdulillah setelah benar-benar nyemplung di dunia penerbitan, saya sudah
tobat nulis begitu lagi. Enggak lagi deh nulis tulisan dengan cacat logika.

https://kbbi.web.id/kontroversial

bersifat menimbulkan perdebatan: karena pandangannya yang radikal

Anda mungkin juga menyukai