Anda di halaman 1dari 3

Sastra Koran

Dessy Wahyuni

Publikasi karya sastra melalui koran sudah sangat lama terjadi di Indonesia. Hampir
semua sastrawan Indonesia memanfaatkan koran sebagai media untuk “mengiklankan”
karya (dan nama) mereka kepada publik. Sebut saja Seno Gumira Ajidarma, Yanusa
Nugroho, Taufik Ikram Jamil, Nurzain Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan
Fakhrunnas M.A. Jabbar (tentu masih ada sederetan nama lainnya). Berkat karya-karya
korannya, nama mereka pun menjulang cakrawala.

Melalui salah satu tulisannya, “Evolusi, ‘Genre’ dan Realitas Sastra Koran”, Ahmadun
Yosi Herfanda menengarai bahwa sastra koran di Indonesia menemukan oasenya pada
dekade ’70-an dan ’80-an. Ketika itu, karena rubrik-rubrik sastra menjamur di hampir
semua surat kabar (seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas, Sinar Harapan,
Kedaulatan Rakyat, dan Media Indonesia), lahirlah nama-nama besar, seperti Sutardji
Calzuom Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan Linus
Suryadi A.G.

Harus diakui bahwa sastra koran memiliki keterbatasan-keterbatasan. Di samping


keterbatasan ruang dan waktu (karena sifat koran: terbatas dan sementara), sastra koran
juga memiliki keterbatasan ide (karena harus menyesuaikan dengan selera redaktur,
yang bisa jadi tidak berlatar belakang sastra). Mungkin hal seperti itulah yang membuat
Katrin Bandel (pengamat sastra Indonesia di Universitas Hamburg, Jerman itu) terheran-
heran atas fenomena sastra koran di Indonesia. Menurutnya, fungsi halaman sastra di
Indonesia agak “luar biasa” karena menyeleweng dari peran koran pada umumnya:
sebagai media informasi di berbagai bidang untuk orang awam. Sementara itu, di
Indonesia koran justru menjadi media komunikasi antarorang sastra dan sekaligus
menjadi media utama untuk menyosialisasikan karya-karyanya.

Keheranan Katrin Bandel atas fenomena sastra koran di Indonesia seperti itu tentu dapat
dimaklumi. Di Jerman, budaya baca masyarakatnya sudah tinggi sehingga tidaklah
mengherankan jika buku sudah menjadi bacaan utama. Bagaimana di Indonesia? Sudah
menjadi rahasia umum, buku jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak) dibaca. Mungkin,
itulah sebabnya koran masih menjadi primadona bagi penulis-penulis Indonesia untuk
memublikasikan karyanya.

Dalam kenyataannya, kehadiran sastra koran telah membuka jalan bagi para penulis
untuk lebih bersemangat menuangkan ide-ide imajinya. Hal itu tentu didorong oleh
keinginan agar karyanya bisa dinikmati oleh para pembaca. Pada umumnya, mereka
menyadari betul bahwa sebuah karya (sastra) akan bermakna jika tidak mendapat
apresiasi masyarakat. Sebagus dan sehebat apa pun karya (sastra) itu, jika tidak
dipublikasikan, tidak ada artinya. Oleh karena itu, idealnya seorang penulis memiliki
ruang publik untuk menginternalisasikan karya-karyanya. Salah satu ruang publik itu
adalah koran.

Para penulis (sastra koran) sebenarnya tidak perlu khawatir mengirimkan karyanya ke
koran. Meskipun harus menyesuaikan dengan selera redaktur, karya yang baik tetap
akan terjaga kualitasnya. Belakangan ini beberapa koran telah berupaya membukukan
karya-karya yang pernah dimuatnya. Kompas, misalnya, bahkan telah menerbitkan
karya-karya sastra pilihannya (dalam bentuk buku) setiap tahun. Media cetak nasional
yang menyapa pembaca melalui tradisi pemuatan cerpen setiap Minggu sejak 1967 ini
telah menerbitkan antologi cerpen pilihan Kompas mulai 1992. Nama-nama seperti Jujur
Prananto, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Putu Wijaya, B.M. Syamsuddin, Yanusa
Nugroho, dll. tercatat sebagai penulis cerpen yang dimuat dalam buku setebal 170
halaman berjudul Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992 (Jakarta: Kompas, 1992)
tersebut. Pada 2014, bahkan 24 cerpen terpilih dimuat dalam Di Tubuh Tarra, dalam
Rahim Pohon: Cerpen Pilihan Kompas 2014. Ini merupakan jumlah terbanyak untuk isi
sebuah buku antologi cerpen pilihan Kompas sejak 1992 tersebut.

Hal yang sama juga dilakukan Riau Pos. Surat kabar ternama di Riau itu, melalui Yayasan
Sagang telah menerbitkan karya-karya pilihannya (berupa cerpen, puisi, esai, bahkan
karya jurnalistik) dalam bentuk antologi setiap tahunnya. Anugerah Sagang 2000:
Kumpulan Cerpen, Sajak, dan Esai Riau Pos 2000 merupakan kumpulan karya sastra
pertama yang dibukukan. Sejak 2000 hingga 2006, cerpen, sajak, dan esai masih
terangkum dalam satu buku (terkadang buku yang diterbitkan hanya memuat cerpen
saja). Akan tetapi, mulai 2007, cerpen, puisi, esai, bahkan karya jurnalistik telah
terangkum pada masing-masing buku yang berbeda, yakni: Keranda Jenazah Ayah
(Kumpulan Cerpen Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); Komposisi Sunyi
(Kumpulan Puisi Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); Krisis Sastra Riau
(Kumpulan Esai Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); serta Dari Belaras ke
Semenanjung (Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award, Pekanbaru: Yayasan Sagang,
2007). Hingga kini, Yayasan Sagang selalu menerbitkan buku kumpulan tersebut secara
ajek.

Upaya penerbitan buku, sebenarnya, juga dapat dilakukan oleh penulis sendiri. Penulis
yang aktif dan produktif bisa mengumpulkan karya-karyanya yang pernah dimuat di
(berbagai) koran, lalu menerbitkannya menjadi sebuah buku kumpulan/antologi. Hal
seperti itu pernah dilakukan cerpenis Benny Arnas dan Yetti A.KA. Kedua penulis itu
mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah dimuat di koran, lalu menerbitkannya
dalam sebuah antologi: Benny Arnas menghasilkan Jatuh dari Cinta (Bandung: Grafindo,
2011), sedangkan Yetti A.KA menghasilkan Satu Hari Bukan di Hari Minggu (Yogyakarta:
Gress Publishing, 2011).

Begitu pula yang dilakukan Dr. Junaidi dan Agus Sri Danardana. Keduanya
mengumpulkan esai-esai sastranya yang pernah dimuat di koran, lalu menerbitkannya
dalam sebuah antologi: Dr. Junaidi menerbitkan Interpretasi Dunia Sastra (berisi 11 esai
analisis sastra dan 7 esai gagasan bahasa-sastra, Pekanbaru: Palagan Press, 2009),
sedangkan Agus Sri Danardana menerbitkan Pelangi Sastra: Ulasan dan Model-model
Apresiasi (Pekanbaru: Palagan Press, 2013).

Senyatanyalah, kehadiran koran telah berandil dalam membesarkan nama penulis.


Koran tidak hanya menjadi media praktis pemuatan karya, tetapi juga menjadi media
strategis perawatan eksistensi penulis/sastrawan. Sekalipun bukan satu-satunya wadah
sastra, di Indonesia, koran masih menjadi pilihan utama penulis untuk memublikasikan
karya-karyanya.

Bravo sastra koran.

***

http://www.riaupos.co/2755-spesial-sastra-koran.html

Anda mungkin juga menyukai