Anda di halaman 1dari 5

Cekungan Sedimen Indonesia 1949-2006 :

Perkembangan Konsep dan Status Terkini

Oleh : Awang Harun Satyana (Divisi Eksplorasi BPMIGAS)

Penyebaran jalur minyak Indonesia secara regional pertama kali dikemukakan oleh van
Bemmelen (1949), untuk mineralisasi dikemukakan oleh Westerveld (1952). Masa kini, kita tahu
jalur-jalur minyak itu digambarkan ke dalam sebaran-sebaran cekungan.

Gambar 1 . Peta awal penyebaran jalur minyak Indonesia (van Bemmelen, 1949).

van Bemmelen membagi jalur-jalur itu ke dalam sebelas jalur : 1. East Sumatra Belt (North, Mid,
South Sumatra), 2. West Sumatra Belt (cekungan-cekungan fore-arc Sumatra sekarang), 3. SE
Sunda Belt (maksudnya SE Sundaland, termasuk North Java dan Madura, SE Borneo, East
Borneo, NE Borneo, dan Sabah), 4. Central Borneo (Melawi-Ketungau sekarang), 4a. NW
Borneo (Sarawak-Brunei sekarang), 5. West Celebes (Lariang, Karama, Sulawesi Selatan) – jalur
ini bergabung di baratdayanya dengan jalur SE Sunda, 6. East Arm Celebes (Banggai-Sula
sekarang), 7. Buton, 8. Timor-Seram (Banda arc sekarang), 9. South New Guinea (memanjang
dari Kepala Burung-Lengguru-Asmat-Merauke), 10. Median New Guinea (Central Range), 11.
North New Guinea (Sarera-Rombebai-Jayapura). van Bemmelen menyusun jalur-jalur ini
berdasarkan kejadian rembesan, lapangan-lapangan minyak, dan kemungkinan geologinya.

Kompilasi jalur-jalur minyak van Bemmelen ini menarik dan sampai saat ini terbukti benar. Di
luar jalur-jalur ini, meskipun sekarang diidentifikasi banyak cekungan, sampai sekarang tak ada
penemuan hidrokarbon. Jalur2 minyak ini meliputi onshore dan offshore. Tentu ada penemuan-
penemuan minyak di luar jalur ini yang tak diperkirakan van Bemmelen, yaitu di offshore
Natuna, offshore Makassar Strait, dan offshore Tanimbar. Secara garis besar, dapat dikatakan
bahwa jalur minyak van Bemmelen 80 % benar.

Pada akhir tahun 1960-an beberapa tulisan penting tentang cekungan minyak Indonesia telah
muncul terutama untuk cekungan-cekungan Sumatra Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan
Timur (dari L.G. Weeks dalam suatu forum World Oil Symposium). Khusus Indonesia Barat,
Koesoemadinata (1971) mempelopori dengan publikasi klasiknya di AAPG Bulletin tahun 1971.
Tidak lama setelah teori tektonik lempeng diterima banyak pihak, mulailah disusun peta-peta
cekungan sedimen Indonesia dan Asia Tenggara secara regional, misalnya Murphy (1975),
Soeparjadi (1975) dan Fletcher dan Soeparjadi (1976), dengan mengacu kepada kerangka
geologi Indonesia berdasarkan teori tektonik lempeng. (Hamilton, 1971 dan Katili, 1972).

Gambar 2 . Peta awal cekungan Tersier Indonesia (Fletcher dan Soeparjadi, 1976).

Fletcher dan Soeparjadi (1976) menyebutkan Indonesia mempunyai 28 cekungan Tersier yang
terbagi menjadi tipe : foreland, cratonic, outer arc, dan inner arc. Jumlah ini kemudian direvisi
oleh Nayoan dkk. (1979) menjadi 40 cekungan yang terbagi ke dalam lima tipe cekungan :
foreland, outer arc, interior cratonic, open shelf, unspecified basin. Publikasi ini kemudian
menjadi publikasi resmi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) (IAGI, 1980).

Gambar 3 . Peta awal tipe cekungan Tersier Indonesia (Nayoan dkk., 1979; IAGI, 1980).
Tahun 1985, IAGI mengeluarkan revisi cekungan sedimen lagi (Suardy dan Taruno, 1985)
menjadi 60 cekungan. Inilah pembagian resmi yang sampai sekarang masih dipakai.

Gambar 4 . Peta masa kini cekungan sedimen Indonesia (IAGI, 1985).

Tahun 1992, Pertamina dan Beicip merevisi publikasi IAGI (1985) ini menjadi 66 cekungan
yang terbagi ke dalam 15 tipe cekungan, klasifikasi jarang menjadi acuan.

Gambar 5 . Peta cekungan sedimen Indonesia (Pertamina dan Beicip, 1992).

Berdasarkan pemeriksaan teknis dan data pemboran sampai saat ini, penulis lebih menyukai
pembagian cekungan dari Pertamina dan Beicip (1992). Sebenanya, kita bisa menggabung
publikasi IAGI (1985), publikasi Pertamina dan Beicip (1992), data hasil survey geomarin, dan
semua data seismik termasuk speculative surveys yang dilakukan sampai 2006 di daerah-daerah
yang sangat frontier (Sulawesi Sea, Gorontalo, dan lain-lain) untuk menyusun peta cekungan
baru. Kita juga dapat membagi cekungan-cekungan ini menjadi cekungan Tersier, cekungan
Mesozoikum, dan cekungan Paleozoikum.

Satu hal lain, penulis juga telah me-ranking semua cekungan di Indonesia berdasarkan duapuluh
kriteria teknis. Berdasarkan itu, risiko setiap cekungan dapat diketahui, mana cekungan berisiko
sangat rendah – sangat tinggi. Perlu diperhatikan, bahwa cekungan bukanlah bentuk fisiografi
cekungan yang diisi air laut tetapi fisiografi cekungan (depresi) yang diisi sedimen. Sebab, dalam
klasifikasi cekungan yang kita punyai saat ini ada cekungan-cekungan laut saja (isinya hanya air
laut dengan sedimen sangat tipis) seperti ditunjukkan oleh survey-survey geomarin. Cekungan-
cekungan di Banda, di forearcs Sumatra, Jawa dan Sulawesi dapat memanfaatkan lintasan-
lintasan survey geomarin (single dan multi-beam).

Sekarang, mari kita lihat perubahan apa yang terjadi setelah 21 tahun kita mempunya 60
cekungan. Pada tahun 1985, saat kita pertama kali mempublikasikan bahwa Indonesia
mempunyai 60 cekungan sedimen, status keenampuluh cekungan itu terbagi menjadi : 14
memproduksi minyak, 7 sudah dibor-ada penemuan-tetapi belum berproduksi, 12 sudah dibor-
belum ada penemuan, 27 belum dibor. Sampai status Desember 2006 status ke-60 cekungan
Indonesia itu terbagi menjadi : 16 memproduksi minyak, 8 sudah dibor-ada penemuan-tetapi
belum berproduksi, 14 sudah dibor-belum ada penemuan, 22 belum dibor.

PRODUCING (16 0R 27 %)
DRILLED, WITH DISCOVERIES OR SHOWS (8 OR 13 %)
DRILLED, NO DISCOVERIES (14 OR 23 %)
UNDRILLED (22 OR 37 %)

Gambar 6 . Peta status eksplorasi-produksi cekungan sedimen Indonesia (Desember2006).


STATUS 1985 STATUS 2006
Cekungan Berproduksi 14 16
Cekungan Penemuan Belum 7 8
Berproduksi
Cekungan Sudah Dibor 12 14
Belum ada Penemuan
Cekungan Belum Dibor 27 22

Tabel 1 . Perbandingan status eksplorasi-produksi cekungan sedimen Indonesia (1985-2006)

Selama 21 tahun dari tahun 1985 ke 2006 hanya ada tambahan dua cekungan berproduksi
(Sengkang dan Banggai) dan lima cekungan baru dibor. Ini bukan suatu gambaran yang terlalu
menggembirakan. Kelihatannya, kita terlalu berat dengan mengusung bahwa kita mempunya 60
cekungan, tetapi banyak di antaranya yang potensinya sangat kecil. Mungkin, sekarang kita perlu
membedakan mana peta cekungan minyak dan mana peta cekungan sedimen. Eksplorasi yang
lebih banyak dilakukan di cekungan-cekungan yang sudah berproduksi adalah penyebab utama
kelambatan perkembangan status cekungan ini. Ini dapat dipahami sebab eksplorasi di cekungan
baru mempunyai risiko yang sangat tinggi, meskipun bila menemukan cadangan ada
kemungkinan akan menemukan cadangan yang sangat besar (high risk high reward)

Tantangan lain, di batas-batas cekungan, di tinggian-tinggian pegunungan berbatuan beku atau


ofiolit, banyak ditemukan juga rembesan. Di Sulawesi Timur, rembesan gas dan minyak
ditemukan di retakan ofiolit sebelah barat dan baratdaya Luwuk sampai ke Tanjung Api. Jauh di
bawah thrust sheet ofiolit ini bagian depan cekungan Banggai tertekuk sebagai foredeep dari
suatu foreland basin. Kondisi ini akan mematangkan batuan induk di wilayah foredeep, minyak
dan gas digenerasikan dan bermigrasi ke kedua arah : ke timur mengisi lapangan-lapangan gas
dan minyak di Cekungan Banggai, ke atas mengisi retakan-retakan ofiolit sampai ke Tanjung
Api.

Tantangan masih besar, mari kita segera galakkan eksplorasi migas di Indonesia agar ada
kesinambungan masa depan produksi minyak dan gasbumi di Indonesia. ***

Anda mungkin juga menyukai