Anda di halaman 1dari 9

PETA BATHIMETRI

 Berita pada media cetak Jakarta Post, 11 Februari 2008 serta munculnya polemik yang
berkembang pada media elektronik tentang ditemukanya cadangan migas raksasa oleh BPPT di
cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai sebelah barat Aceh dengan
perkiraan cadangan mencapai 320 milyar barrel telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan
ahli geologi dan perminyakan Indonesia, karena angka cadangan yang dikemukakan termasuk
spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan-cekungan di Indonesia. Sebagai pembanding
bahwa Saudi Arabia, yang mempunyai cekungan-cekungan raksasa dan cadangan terbesar di
dunia, hanya mempunyai cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.

Cekungan Simeulue telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak tahun 1968
hingga 1978 ketika perusahaan Union Oil melaksanakan kontrak kerjasama eksplorasi. Selama
waktu tersebut beberapa pemboran eksplorasi telah dilaksanakan, terutama di daerah dekat pantai
pada kedalaman laut kurang dari 200 m (Rose, 1983). Tiga sumur menemukan indikasi adanya
akumulasi gas dalam batuan karbonat, tetapi tidak satupun mengindikasikan nilai komersial.

Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen ESDM, sebagai salah satu institusi pemerintah yang mempunyai tugas pokok
melaksanakan berbagai penelitian potensi sumber daya mineral dan energi di laut, juga telah
melakukan kajian saintifik terhadap beberapa data  seismik yang tersedia di kawasan tersebut.
Gambar 1. memperlihatkan fisiografi terbentuknya zona subduksi, prisma akresi, dan cekungan
busur luar di sepanjang tepian lempeng aktif Sumatera yang terdiri dari cekungan Simeulue-
Sibolga, cekungan Nias dan cekungan Mentawai-Bengkulu.
Gambar 1. Fisiografi cekungan busur muka di sebelah barat Sumatera

Beberapa data seismik yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur
muka di kawasan lain juga digunakan sebagai data pembanding. Berdasarkan beberapa kajian
sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti dikawasan ini seperti kajian seismik
stratigrafi beberapa cekungan busur muka di cekungan southwest Sumatera dan southwest Java
(postdoc project Susilohadi bersama BGR, 2005) menggunakan data RV Sonne SO137  juga
tidak memperlihatkan potensi hidrokarbon yang signifikan pada cekungan-cekungan busur
muka.

Demikian pula, hasil review beberapa publikasi yang berkaitan dengan potensi
hidrokarbon pada cekungan busur muka, diantaranya Cruise Report and Preliminary Result
SO186-2 (Gaedicke, dkk., 2006); Cruise Report SO200-2 (2009); dan Techtonics and Structural
Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition (van Weering, dkk., 1986) juga tidak
menunjukan kemungkinan adanya potensi hidrokarbon yang berlimpah.

Oleh sebab itulah, pernyataan bahwa sub-cekungan busur muka Simeulue memiliki
cadangan migas terukur atau Original Oil in Place (OOIP, dalam satuan barrel), dirasakan
merupakan pernyataan yang terlalu dini tanpa dukungan data test laboratorium perminyakan
lainnya

Model Tektonik Tepian Lempeng Aktif (Active Plate Margin)


Pergerakan relatif antara Lempeng India-Australia dan Eurasian selama Kenozoikum
terekam secara jelas oleh data-data paleomagnetic dan anomali-anomali magnetik pada kerak
samudera. Berdasarkan hal-hal tersebut, berbagai model rekonstruksi geologi di Indonesia bagian
barat telah bermunculan, seperti: Daly dkk. (1987), Rangin dkk. (1999), Longley (1997), dan
Hall (1996, 1997). Sejak awal Kenozoikum lempeng India dan Australia telah menyatu dan
bergerak ke arah utara relatif terhadap lempeng Eurasia (Liu dkk., 1983; Hall, 1997, 1998).

Tumbukan antar lempeng tersebut di barat daya paparan Sunda dimulai pada jaman
Kapur (Katili, 1975; Hamilton, 1979), dan menjadi sangat aktif selama Paleosen dengan
mencapai kecepatan penunjaman hingga lebih dari 15 cm/tahun (Molnar & Tapponier, 1975;
Karig dkk., 1979). Penurunan kecepatan hingga 3 cm/tahun terjadi pada jaman Eosen Tengah
ketika Benua India mulai bertemu dengan Benua Eurasia (Karig dkk., 1979). Pada saat tersebut
banyak cekungan-cekungan mulai terbentuk karena adanya gaya-gaya tarikan di daerah
Indonesia bagian barat (Daly dkk., 1991; Hall, 1996, 1997).

Pada jaman Eosen Akhir hingga Oligosen Awal pemekaran (spreading) kerak samudera
terjadi kembali di Lautan Hindia hingga memungkinkan adanya perubahan arah tumbukan
lempeng Indo-Australia menjadi timur laut dan kecepatan penunjaman lempeng tersebut di
sepanjang tepian Sumatera dan Jawa menjadi konstan 5-6 cm/tahun (Liu dkk., 1983; Karig dkk.,
1979; Daly dkk. 1987, Hall, 1996, 1997). Hal tersebut pada akhirnya akan mengawali
pembentukan cekungan busur muka pada jaman Neogen di sepanjang busur Sunda.

Tumbukan India dengan Eurasia pada jaman Oligosen Akhir hingga Miosen Awal juga
telah mengakibatkan sejumlah besar sedimen daratan (terrigenous) diendapkan di Lautan Hindia
dan Palung Sunda. Sedimen tersebut terakumulasi dengan cepat hingga memungkinkan
pembentukan prisma akresi (Matson dan Moore, 1992).

Pada Miosen Tengah bagian tenggara lempeng benua Eurasia mengalami perputaran
(Hall, 1997). Perputaran tersebut telah mengakibatkan bertambahnya kemiringan posisi bagian
barat Busur Sunda relatif terhadap gerakan lempeng  Indo-Australian dan disertai dengan
kegiatan magmatik yang kuat (Simanjuntak & Barber, 1996; Hall, 1996, 1997). Posisi
penunjaman yang miring di barat daya Sumatera tersebut juga menyebabkan adanya pemisahan
gaya tekanan tektonik (partition of strain) ke arah tegak lurus zona penunjaman yang
mengakibatkan persesaran naik dalam prisma akresi, dan ke arah sejajar zona penunjaman yang
diwujudkan dengan munculnya sistem Sesar Sumatera (Katili, 1973; Hamilton, 1979; Moore,
dkk. 1980; McCaffrey, 1991 & 2000; Malod dkk., 1995) dan Sesar Mentawai (Diament dkk.,
1992).

Selat Sunda mencerminkan daerah transisi antara daerah dengan penunjaman miring di
sepanjang barat Sumatera dan daerah dengan penunjaman tegak lurus (frontal) di sepanjang
selatan Jawa. Selat Sunda diinterpretasikan sebagai akibat perputaran relatif antara Jawa dan
Sumatera yang terjadi di jaman Kenozoikum Akhir (Ninkovich, 1976; Zen, 1985), atau sebagai
akibat tarikan hasil pergeseran sisi barat daya Sumatera (Sumatra sliver) ke arah barat laut di
sepanjang Sesar Sumatera (Huchon dan Le Pichon, 1984).
Lempeng samudera India bergerak ke timurlaut menunjam lempeng benua Eurasia
membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat
Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya
mineral serta hidrokarbon juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami,
longsoran pantai dan gawir laut).

Bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid
Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di tepian bagian timurnya atau perairan
sebelah barat Sumatera terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang disebut Ninety
East Ridge  (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) diyakini  merupakan daerah
mineralisasi (Usman, 2006). Pada bagian yang dalam terbentuk cekungan kerak samudera terisi
oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan yang meluas sampai ke
perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000 – 3.000 meter (Curray, 1982; Ginco,
1999).

Daerah Pematang Tengah Samudra pada lempeng Indo-Australia merupakan implikasi


dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada
Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5
cm/tahun (Katili, 2008). Gambar 2 memperlihatkan konfigurasi ideal komponen tektonik tepian
lempeng aktif yang lazim terbentuk pada zona penunjaman, yang terdiri dari: palung samudera
(trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan
busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang
(backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian
daratan atau kontinen (Lubis et al., 2007).
 
Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)

Hasil  identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan
foto dasar laut, dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi dasar laut utama yang umum
terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat
diidentifikasi, yaitu: zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka.
Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar
laut yang terbaik dan paling komplit di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah
dikenali.

Cekungan Busur Muka Simeulue

Zona subduksi terbentuk akibat gabungan proses-proses yang terjadi pada tepian kerak
samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari
proses-proses tektonik tepian aktif, maka muncul ciri-ciri proses yang mungkin terjadi
diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan
graben, serta intrusi (hot spot?) membentuk tinggian menyerupai gunungapi (seamount?) namun
di luar busur volkanik, tinggian (ridge) dan cekungan busur muka seperti cekungan Simeulue-
Sibolga (Gambar 3).
 

Gambar 3. Cekungan busur muka Simeulue yang terletak antara pulau Simelue dan daratan Sumatera.

Berdasarkan interpretasi seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif
muda (Miocene) sehingga sedikit kemungkinan terjadi proses pematangan sebagai source rock
hidrokarbon (IPA, 2002). Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif
rendah karena laju pengendapan di laut dalam relatif cepat. Demikian pula dengan kemungkinan
proses pematangan diagenesa dari volcanic arc pengaruhnya relatif kecil karena jaraknya yang
terlalu jauh.

Berdasarkan penemuan-penemuan karakteristik cekungan busur muka di dunia


(Dickinson dan Seely,1979) serta referensi lain yang berkaitan dengan kondisi batuan sumber
dan batuan reservoar cekungan busur muka adalah sbb.:

1.  Sedimen yang berada pada prisma akresi umumnya tersusun oleh sedimen-sedimen yang
over compacted sehingga mereduksi porositas sebagai batuan reservoar.
2. Source rock di bagian barat cekungan kurang berperan sebagai batuan sumber sebab
banyak diendapkan endapan turbidit dan trench fill deposit sehingga bukan merupakan
batuan reservoar yang baik.
3. Sedimen pengisi cekungan busur muka dominan berasal dari kontinen dan umurnya
relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan berperan sebagai batuan sumber
(source rock) terbentuknya hidrokarbon. Tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoir
juga relatif rendah karena sumber termal berada jauh dari letak cekungan itu sendiri.
4.  Diskontinuitas  batuan reservoar tinggi karena ketidak-stabilan tektonik dan pergeseran
sedimentasi selama pengendapan, sehingga tidak memungkinkan terbentuk batuan
sumber dalam lamparan yang luas. 

Review Cruise SeaCause-II Indonesia-Jerman

Survey kemitraan Indonesia (BPPT, Bakosurtanal, LIPI dan PPPGL) dan  Jerman (BGR)
yaitu  Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tgl. 21 Januari  – 25 Februari 2006 di
perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil.  Selama kegiatan
tersebut telah dilaksanakan pengambilan data seismik 2D sepanjang sekitar 1500 km lintasan,
yang dilengkapi dengan data-data batimetri multibeam, magnetik dan gravitasi. Sebagian
kegiatan tersebut terfokus pada daerah laut dalam (deep water) cekungan Simeulue, dan hanya
satu lintasan seismik yang mengikat dengan tiga lokasi bor ex Union Oil dekat pantai.

Hasil review dan re-interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong sub-cekungan


Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi sebagai berikut:

1. Sub-cekungan Simelue merupakan bagian dari cekungan Sibolga, bentuk cekungan a-


symetri, terletak pada laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-500 m (Gambar 4),
makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai lebih dari 5.000 m.
2.  Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar (kelanjutan Sesar Mentawai?)  yang
mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga mengakibatkan
deformasi kuat struktur batuan sedimen pada tepian cekungan.
3. Di bagian timur cekungan, ditemukan lamparan karbonat (Miocene) dan indikasi
beberapa carbonate build-up Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir
hidrokarbon, namun belum dapat dipastikan adanya batuan dasar cekungan sebagai
batuan sumber.
4. Batuan dasar cekungan diperkirakan berumur Paleo-Oligocene, walaupun tidak
ditemukan control aktifitas magmatik (sebagai sumber pematangan thermal), kecuali di
bagian timur mendekati daratan Sumatera kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas
gunungapi dari busur volkanik. Gambar 5. Memperlihatkan pola anomali magnet yang
mencerminkan bentuk pola batuan dasar sub-cekungan busur muka Simeuleu.
5. Interval antar lintasan survey yaitu > 20 km tidak dapat serta-merta mewakili seluruh
kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap masih terlalu jauh.

Gambar 4. Peta batimetri sekitar sub-cekungan Simeulue.

Prospek Hidrokarbon Sub-cekungan Simeulue sebagai “Second Opinion”

Berdasarkan kajian yang dilakukan PPPGL terhadap data terbatas yang tersedia maka
dapat dikemukakan hal-hal berikut: 

1. Besarnya cadangan migas hasil hitungan BPPT yaitu antara 107-320 milyar barrel,
mungkin merupakan hasil hitungan sangat spekulatif untuk seluruh batuan reservoir yang
dianggap homogen (asumsi volume total dari batuan karbonat Miocene sebagai
kontainernya), jadi bukan cadangan terukur pada reservoar yang lazim terperangkap pada
antiklin atau perangkap struktur lainnya.
2. Interpretasi rekaman seismic 2D lazimnya hanya dapat menentukan cirri-ciri plays saja
yaitu hanya mengidentifikasi kemungkinan batuan reservoir  seperti carbonate build up.
Jadi belum layak digunakan untuk menghitung cadangan migas. Untuk meningkatkan
status indikasi plays menjadi lead maka diperlukan data seismik tambahan dengan
interval yang lebih rapat agar dapat  menentukan bentuk perangkap dan batuan tudung
(cap rock, seal), dan batuan induk (source rock). Selanjutnya untuk mengetahui bahwa
lead tersebut berpotensi migas maka perlu data pemboran dan analisa core sehingga
statusnya meningkat menjadi prospek. 
3. Dalam status prospek dikenal istilah cadangan probabilitas P10, P50 dan P90. Prospek
telah mencantumkan hasil analisa kimia perminyakan dari core hasil pemboran, sehingga
dapat diketahui kemungkinan besarnya cadangan (reserved).  Cadangan inipun masih
perlu dibuktikan klasifikasinya menjadi cadangan terduga (P3), cadangan terukur (P2)
dan cadangan terbukti (P1). 
4. Oleh sebab itu, tidak mungkin menghitung cadangan migas hanya berdasarkan data
seismik 2D saja. Demikian pula untuk menghitung besarnya akumulasi minyak bumi
total (OOIP) pada status terbukti/mungkin/harapan dalam satuan barrel memerlukan data
tambahan yaitu survey G & G (geophysics dan Geology) terutama seismik 3D serta
analisa porositas batuan reservoir.
5. Tujuan dan ijin yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada survey kemitraan
dengan BGR (Jerman) ini adalah survey saintifik murni tentang Geo-risk potential pasca
tsunami Aceh, bukan ditujukan secara khusus untuk  pencarian potensi migas
(hydrocarbon hunting),  sehingga metode dan kelengkapan peralatan seismik yang
digunakan dalam survey ini belum memenuhi standar industri pada suatu eksplorasi
hidrokarbon.
Gambar 5. Peta anomaly magnet yang memperlihatkan bentuk batuan dasar cekungan busur muka.

Kesimpulan

1.  Kajian geologi dan proses tektonogenesa sub-cekungan busur muka Simeulue yang
terletak di lepas pantai barat Aceh, menunjukkan bahwa sedimen pengisi cekungan
dominan berasal dari produk volkanik daratan Sumatera. Sediman klastik berbutir halus
yang mengisi cekungan bagian atas bukan merupakan batuan tudung (seal) yang baik
bagi suatu perangkap hidrokarbon.
2. Berdasarkan analisa seismik stratigrafi dan seismic facies, sedimen pengisi cekungan
memperlihatkan telah terdeformasi rendah dicirikan oleh adanya bentuk-bentuk pelipatan
yang lemah. Perkiraan ketebalan sedimen di bagian barat sekitar 6.000 meter, sedangkan
di bagian timur hanya mencapai 3.000 meter.
3. Sedimen pengisi sub-cekungan Simeuleu memiliki ketebalan yang relatif cukup tebal
sehingga memang masih memungkinkan sebagai cekungan berpotensi hidrokarbon jika
dieksplorasi lebih lanjut, walaupun masih dalam kualifikasi pesimis secara ekonomis.

Anda mungkin juga menyukai