Anda di halaman 1dari 11

POTENSI HIDROKARBON PADA SUB-

CEKUNGAN BUSUR MUKA SIMEULEU:


TANGGAPAN GEOLOGI KELAUTAN SEBAGAI
SECOND OPINION
07 Mar, 2016 By PPPGL 0 Comments

Penulis Artikel :
Subaktian Lubis, Susilohadi, Ediar Usman, Moh. Salahuddin, dan P. Hadiwijaya
Pendahuluan
Berita pada media cetak Jakarta Post, 11 Februari 2008 serta munculnya
polemik yang berkembang pada media elektronik tentang ditemukanya
cadangan migas raksasa oleh BPPT di cekungan busur muka Simeulue yang
terletak di lepas pantai sebelah barat Aceh dengan perkiraan cadangan
mencapai 320 milyar barrel telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan
ahli geologi dan perminyakan Indonesia, karena angka cadangan yang
dikemukakan termasuk spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan-
cekungan di Indonesia. Sebagai pembanding bahwa Saudi Arabia, yang
mempunyai cekungan-cekungan raksasa dan cadangan terbesar di dunia,
hanya mempunyai cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.
Cekungan Simeulue telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak
tahun 1968 hingga 1978 ketika perusahaan Union Oil melaksanakan kontrak
kerjasama eksplorasi. Selama waktu tersebut beberapa pemboran eksplorasi
telah dilaksanakan, terutama di daerah dekat pantai pada kedalaman laut
kurang dari 200 m (Rose, 1983). Tiga sumur menemukan indikasi adanya
akumulasi gas dalam batuan karbonat, tetapi tidak satupun mengindikasikan
nilai komersial.
Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Balitbang Energi dan Sumber Daya
Mineral, Departemen ESDM, sebagai salah satu institusi pemerintah yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan berbagai penelitian potensi sumber
daya mineral dan energi di laut, juga telah melakukan kajian saintifik
terhadap beberapa data seismik yang tersedia di kawasan tersebut. Gambar
1. memperlihatkan fisiografi terbentuknya zona subduksi, prisma akresi, dan
cekungan busur luar di sepanjang tepian lempeng aktif Sumatera yang terdiri
dari cekungan Simeulue-Sibolga, cekungan Nias dan cekungan Mentawai-
Bengkulu.
Gambar 1. Fisiografi cekungan busur muka di sebelah barat Sumatera
Beberapa data seismik yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada
cekungan busur muka di kawasan lain juga digunakan sebagai data
pembanding.
Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa
peneliti dikawasan ini seperti kajian seismik stratigrafi beberapa cekungan
busur muka di cekungan southwest Sumatera dan southwest Java (postdoc
project Susilohadi bersama BGR, 2005) menggunakan data RV Sonne SO137
juga tidak memperlihatkan potensi hidrokarbon yang signifikan pada
cekungan-cekungan busur muka. Demikian pula, hasil review beberapa
publikasi yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur
muka, diantaranya Cruise Report and Preliminary Result SO186-2 (Gaedicke,
dkk., 2006); Cruise Report SO200-2 (2009); dan Techtonics and Structural
Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition (van Weering, dkk.,
1986) juga tidak menunjukan kemungkinan adanya potensi hidrokarbon yang
berlimpah.
Oleh sebab itulah, pernyataan bahwa sub-cekungan busur muka Simeulue
memiliki cadangan migas terukur atau Original Oil in Place (OOIP, dalam
satuan barrel), dirasakan merupakan pernyataan yang terlalu dini tanpa
dukungan data test laboratorium perminyakan lainnya
Model Tektonik Tepian Lempeng Aktif (Active Plate Margin)
Pergerakan relatif antara Lempeng India-Australia dan Eurasian selama
Kenozoikum terekam secara jelas oleh data-data paleomagnetic dan anomali-
anomali magnetik pada kerak samudera. Berdasarkan hal-hal tersebut,
berbagai model rekonstruksi geologi di Indonesia bagian barat telah
bermunculan, seperti: Daly dkk. (1987), Rangin dkk. (1999), Longley (1997),
dan Hall (1996, 1997). Sejak awal Kenozoikum lempeng India dan Australia
telah menyatu dan bergerak ke arah utara relatif terhadap lempeng Eurasia
(Liu dkk., 1983; Hall, 1997, 1998). Tumbukan antar lempeng tersebut di barat
daya paparan Sunda dimulai pada jaman Kapur (Katili, 1975; Hamilton, 1979),
dan menjadi sangat aktif selama Paleosen dengan mencapai kecepatan
penunjaman hingga lebih dari 15 cm/tahun (Molnar & Tapponier, 1975; Karig
dkk., 1979). Penurunan kecepatan hingga 3 cm/tahun terjadi pada jaman
Eosen Tengah ketika Benua India mulai bertemu dengan Benua Eurasia (Karig
dkk., 1979). Pada saat tersebut banyak cekungan-cekungan mulai terbentuk
karena adanya gaya-gaya tarikan di daerah Indonesia bagian barat (Daly dkk.,
1991; Hall, 1996, 1997). Pada jaman Eosen Akhir hingga Oligosen Awal
pemekaran (spreading) kerak samudera terjadi kembali di Lautan Hindia
hingga memungkinkan adanya perubahan arah tumbukan lempeng Indo-
Australia menjadi timur laut dan kecepatan penunjaman lempeng tersebut di
sepanjang tepian Sumatera dan Jawa menjadi konstan 5-6 cm/tahun (Liu dkk.,
1983; Karig dkk., 1979; Daly dkk. 1987, Hall, 1996, 1997). Hal tersebut pada
akhirnya akan mengawali pembentukan cekungan busur muka pada jaman
Neogen di sepanjang busur Sunda. Tumbukan India dengan Eurasia pada
jaman Oligosen Akhir hingga Miosen Awal juga telah mengakibatkan sejumlah
besar sedimen daratan (terrigenous) diendapkan di Lautan Hindia dan Palung
Sunda. Sedimen tersebut terakumulasi dengan cepat hingga memungkinkan
pembentukan prisma akresi (Matson dan Moore, 1992).
Pada Miosen Tengah bagian tenggara lempeng benua Eurasia mengalami
perputaran (Hall, 1997). Perputaran tersebut telah mengakibatkan
bertambahnya kemiringan posisi bagian barat Busur Sunda relatif terhadap
gerakan lempeng Indo-Australian dan disertai dengan kegiatan magmatik
yang kuat (Simanjuntak & Barber, 1996; Hall, 1996, 1997). Posisi penunjaman
yang miring di barat daya Sumatera tersebut juga menyebabkan adanya
pemisahan gaya tekanan tektonik (partition of strain) ke arah tegak lurus zona
penunjaman yang mengakibatkan persesaran naik dalam prisma akresi, dan
ke arah sejajar zona penunjaman yang diwujudkan dengan munculnya sistem
Sesar Sumatera (Katili, 1973; Hamilton, 1979; Moore, dkk. 1980; McCaffrey,
1991 & 2000; Malod dkk., 1995) dan Sesar Mentawai (Diament dkk., 1992).
Selat Sunda mencerminkan daerah transisi antara daerah dengan penunjaman
miring di sepanjang barat Sumatera dan daerah dengan penunjaman tegak
lurus (frontal) di sepanjang selatan Jawa. Selat Sunda diinterpretasikan
sebagai akibat perputaran relatif antara Jawa dan Sumatera yang terjadi di
jaman Kenozoikum Akhir (Ninkovich, 1976; Zen, 1985), atau sebagai akibat
tarikan hasil pergeseran sisi barat daya Sumatera (Sumatra sliver) ke arah
barat laut di sepanjang Sesar Sumatera (Huchon dan Le Pichon, 1984).
Lempeng samudera India bergerak ke timurlaut menunjam lempeng benua
Eurasia membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan
Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai
potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral serta hidrokarbon juga
berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai
dan gawir laut).
Bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang
disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di tepian
bagian timurnya atau perairan sebelah barat Sumatera terbentuk jalur
punggungan lurus utara selatan yang disebut Ninety East Ridge (letaknya
hampir berimpit dengan bujur 90 timur) diyakini merupakan daerah
mineralisasi (Usman, 2006). Pada bagian yang dalam terbentuk cekungan
kerak samudera terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India
membentuk Bengal Fan yang meluas sampai ke perairan Nias dengan
ketebalan sedimen antara 2.000 3.000 meter (Curray, 1982; Ginco, 1999).
Daerah Pematang Tengah Samudra pada lempeng Indo-Australia merupakan
implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera)
yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun,
sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008).
Gambar 2 memperlihatkan konfigurasi ideal komponen tektonik tepian
lempeng aktif yang lazim terbentuk pada zona penunjaman, yang terdiri dari:
palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan
busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur
gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin).
Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian
daratan atau kontinen (Lubis et al., 2007).

Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif


(Hamilton, 1979)
Hasil identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra
seabeam dan foto dasar laut, dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi
dasar laut utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif.
Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu: zona subduksi,
palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk
geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar
laut yang terbaik dan paling komplit di dunia karena batas-batasnya yang jelas
dan mudah dikenali.
Cekungan Busur Muka Simeulue
Zona subduksi terbentuk akibat gabungan proses-proses yang terjadi pada
tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu
sendiri. Sebagai konsekuensi dari proses-proses tektonik tepian aktif, maka
muncul ciri-ciri proses yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar
mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben,
serta intrusi (hot spot?) membentuk tinggian menyerupai gunungapi
(seamount?) namun di luar busur volkanik, tinggian (ridge) dan cekungan
busur muka seperti cekungan Simeulue-Sibolga (Gambar 3).
Gambar 3. Cekungan busur muka Simeulue yang terletak antara pulau Simelue
dan daratan Sumatera.
Berdasarkan interpretasi seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan
ini relatif muda (Miocene) sehingga sedikit kemungkinan terjadi proses
pematangan sebagai source rock hidrokarbon (IPA, 2002). Selain itu, tingkat
pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju
pengendapan di laut dalam relatif cepat. Demikian pula dengan kemungkinan
proses pematangan diagenesa dari volcanic arc pengaruhnya relatif kecil
karena jaraknya yang terlalu jauh.
Ciri-Ciri Khas Cekungan Busur Muka
Berdasarkan penemuan-penemuan karakteristik cekungan busur muka di
dunia (Dickinson dan Seely,1979) serta referensi lain yang berkaitan dengan
kondisi batuan sumber dan batuan reservoar cekungan busur muka adalah
sbb.:
1. Sedimen yang berada pada prisma akresi umumnya tersusun oleh sedimen-
sedimen yang over compacted sehingga mereduksi porositas sebagai batuan
reservoar.
2. Source rock di bagian barat cekungan kurang berperan sebagai batuan
sumber sebab banyak diendapkan endapan turbidit dan trench fill deposit
sehingga bukan merupakan batuan reservoar yang baik.
3. Sedimen pengisi cekungan busur muka dominan berasal dari kontinen dan
umurnya relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan berperan
sebagai batuan sumber (source rock) terbentuknya hidrokarbon. Tingkat
pematangan (maturitas) batuan reservoir juga relatif rendah karena sumber
termal berada jauh dari letak cekungan itu sendiri.
4. Diskontinuitas batuan reservoar tinggi karena ketidak-stabilan tektonik
dan pergeseran sedimentasi selama pengendapan, sehingga tidak
memungkinkan terbentuk batuan sumber dalam lamparan yang luas.
Review Cruise SeaCause-II Indonesia-Jerman

Survey kemitraan Indonesia (BPPT, Bakosurtanal, LIPI dan PPPGL) dan


Jerman (BGR) yaitu Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tgl.
21 Januari 25 Februari 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah
Landas Kontinen di luar 200 mil. Selama kegiatan tersebut telah
dilaksanakan pengambilan data seismik 2D sepanjang sekitar 1500 km
lintasan, yang dilengkapi dengan data-data batimetri multibeam, magnetik
dan gravitasi. Sebagian kegiatan tersebut terfokus pada daerah laut dalam
(deep water) cekungan Simeulue, dan hanya satu lintasan seismik yang
mengikat dengan tiga lokasi bor ex Union Oil dekat pantai.
Hasil review dan re-interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong sub-
cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi sbb:
1. Sub-cekungan Simelue merupakan bagian dari cekungan Sibolga, bentuk
cekungan a-symetri, terletak pada laut dalam dengan kedalaman laut antara
1.000-1.500 m (Gambar 4), makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal
mencapai lebih dari 5.000 m.

Gambar 4. Peta batimetri sekitar sub-cekungan Simeulue.


2. Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar (kelanjutan Sesar
Mentawai?) yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault)
sehingga mengakibatkan deformasi kuat struktur batuan sedimen pada tepian
cekungan.
3. Di bagian timur cekungan, ditemukan lamparan karbonat (Miocene) dan
indikasi beberapa carbonate build-up Late-Miocene yang dapat berperan
sebagai batuan reservoir hidrokarbon, namun belum dapat dipastikan adanya
batuan dasar cekungan sebagai batuan sumber.
4. Batuan dasar cekungan diperkirakan berumur Paleo-Oligocene, walaupun
tidak ditemukan control aktifitas magmatik (sebagai sumber pematangan
thermal), kecuali di bagian timur mendekati daratan Sumatera kemungkinan
dipengaruhi oleh aktivitas gunungapi dari busur volkanik. Gambar 5.
Memperlihatkan pola anomali magnet yang mencerminkan bentuk pola batuan
dasar sub-cekungan busur muka Simeuleu.
Gambar 5. Peta anomaly magnet yang memperlihatkan bentuk batuan dasar
cekungan busur muka.
5. Interval antar lintasan survey yaitu > 20 km tidak dapat serta-merta
mewakili seluruh kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap
masih terlalu jauh.
Prospek Hidrokarbon Sub-cekungan Simeulue sebagai Second Opinion
Berdasarkan kajian yang dilakukan PPPGL terhadap data terbatas yang
tersedia maka dapat dikemukakan hal-hal berikut:
1. Besarnya cadangan migas hasil hitungan BPPT yaitu antara 107-320 milyar
barrel, mungkin merupakan hasil hitungan sangat spekulatif untuk seluruh
batuan reservoir yang dianggap homogen (asumsi volume total dari batuan
karbonat Miocene sebagai kontainernya), jadi bukan cadangan terukur pada
reservoar yang lazim terperangkap pada antiklin atau perangkap struktur
lainnya.
2. Interpretasi rekaman seismic 2D lazimnya hanya dapat menentukan cirri-
ciri plays saja yaitu hanya mengidentifikasi kemungkinan batuan reservoir
seperti carbonate build up. Jadi belum layak digunakan untuk menghitung
cadangan migas. Untuk meningkatkan status indikasi plays menjadi lead
maka diperlukan data seismik tambahan dengan interval yang lebih rapat agar
dapat menentukan bentuk perangkap dan batuan tudung (cap rock, seal), dan
batuan induk (source rock). Selanjutnya untuk mengetahui bahwa lead
tersebut berpotensi migas maka perlu data pemboran dan analisa core
sehingga statusnya meningkat menjadi prospek.
3. Dalam status prospek dikenal istilah cadangan probabilitas P10, P50 dan
P90. Prospek telah mencantumkan hasil analisa kimia perminyakan dari core
hasil pemboran, sehingga dapat diketahui kemungkinan besarnya cadangan
(reserved). Cadangan inipun masih perlu dibuktikan klasifikasinya menjadi
cadangan terduga (P3), cadangan terukur (P2) dan cadangan terbukti (P1).
4. Oleh sebab itu, tidak mungkin menghitung cadangan migas hanya
berdasarkan data seismik 2D saja. Demikian pula untuk menghitung besarnya
akumulasi minyak bumi total (OOIP) pada status terbukti/mungkin/harapan
dalam satuan barrel memerlukan data tambahan yaitu survey G & G
(geophysics dan Geology) terutama seismik 3D serta analisa porositas batuan
reservoir.
5. Tujuan dan ijin yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada
survey kemitraan dengan BGR (Jerman) ini adalah survey saintifik murni
tentang Geo-risk potential pasca tsunami Aceh, bukan ditujukan secara
khusus untuk pencarian potensi migas (hydrocarbon hunting), sehingga
metode dan kelengkapan peralatan seismik yang digunakan dalam survey ini
belum memenuhi standar industri pada suatu eksplorasi hidrokarbon.
Kesimpulan
Kajian geologi dan proses tektonogenesa sub-cekungan busur muka
Simeulue yang terletak di lepas pantai barat Aceh, menunjukkan bahwa
sedimen pengisi cekungan dominan berasal dari produk volkanik daratan
Sumatera. Sediman klastik berbutir halus yang mengisi cekungan bagian atas
bukan merupakan batuan tudung (seal) yang baik bagi suatu perangkap
hidrokarbon.
Berdasarkan analisa seismik stratigrafi dan seismic facies, sedimen pengisi
cekungan memperlihatkan telah terdeformasi rendah dicirikan oleh adanya
bentuk-bentuk pelipatan yang lemah. Perkiraan ketebalan sedimen di bagian
barat sekitar 6.000 meter, sedangkan di bagian timur hanya mencapai 3.000
meter.
Sedimen pengisi sub-cekungan Simeuleu memiliki ketebalan yang relatif
cukup tebal sehingga memang masih memungkinkan sebagai cekungan
berpotensi hidrokarbon jika dieksplorasi lebih lanjut, walaupun masih dalam
kualifikasi pesimis secara ekonomis.

Sumber Bacaan

Berglar, K., Gaedicke, Chr., Lutz, R., Franke, D., Djajadihardja, Y.S., 2009.
Neogene subsidence and stratigraphy of the Simeulue forearc basin,
Northwest Sumatra. Marine Geology, Volume 253, Issues 1-2, 1-13.

Cruise Report SO200-2, 2009. Subduction Zone Segmentation and


Controls on Earthquake Rupture: The 2004 and 2005 Sumatera Earthquakes.
National Oceanography Centre, Southampton University, UK.

Curray, J.R., Emmel F.J., Moore D.G., and Raitt R.W., 1982. Structure,
Tectonics, and Geological History of the Northeastern Indian Ocean. The
Indian Ocean, The Ocean Basin and Magins, vol. 6.

Daly, M.C., Hooper, B.G.D., Smith, D.G., 1987. Tertiary plate tectonics and
basin evolution in Indonesia. Proceedings of IPA 16th Ann. Conv., p. 399-428.

Diament, M., Harjono, H., Karta, K., Deplus, C., Dahrin, D., Zen Jr., M.T.,
Gerard, M., Lassal, O., Martin., A., Malod, J., 1992. Mentawai Fault Zone off
Sumatera: a new key to the geodynamics of western Indonesia. Geology, 20,
259-262.

Dickinson, W.R., Seely, D.R., 1979. Structure and Stratigraphy of Forearc


Regions. Am. Assoc. Petrol. Geol. Bulletin, 63, 2-31.
GINCO-1, 1999. Geoscientific Investigations on the Active Convergence
Between the East Eurasian and Indo-Australian Plates Along Indonesia, Cruise
Report, Sonne Cruise So-137 (Unpublished).

Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asian Terranes. In: R. Hall


and D. Blundell (eds.), Tectonic evolution of Southeast Asia Geol. Soc. London
Spec. Pub., 106, 153-184.

Hall, R., 1997. Cenozoic plate tectonic reconstructions of SE Asia. In: R.


Hall and R. Murphy (eds.), Petroleum Geology of Southeast Asia, Geol. Soc.
London Spec. Pub., 126, 11-23.

Hall, R., 1998. The plate tectonics of Cenozoic SE Asia and the
distribution of land and sea, In: R. Hall and J.D. Holloway (eds.), Biogeography
and geological evolution of SE Asia, Backhuys Publishers, Leiden, 99-131.

Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian region, US Geol.Surv.


Prof. Pap. 1078, 345 pp.
Huchon, P., Le Pichon, X., 1984. Sunda Strait and Central Sumatera Fault.
Geology, 12, 668-672.
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Government
Printing Office, Washington DC
IPA, 2002. Indonesia Basins, April 23, 2002 EK, IPA Publication.

Katili, J.A., 1975. Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island
arcs. Tectonophysics, 26, 165-188.
Katili, J.A., 2008. Tectonics and Resources: Collection of Geological Studies.
Marine Geological Institute, Bandung.

Karig, D.E., Suparka, S., Moore, G.F., Hehanusa, P.E., 1979. Structure and
Cenozoic evolution of the Sunda Arc in the central Sumatera region. In:
Watkins, J. S., Montadert, L. & Dicerson, P. W. (Eds),Geological and
Geophysical Investigations of Continental Margin. AAPG Memoir 29, 223-237.

Liu, C.S., Curray, J.R., McDonald, J.M., 1983. New constraints on the
tectonic evolution of the eastern Indian Ocean. Earth Planetary Sci. Letters,
65, 331-342.

Longley, I.M., 1997. The tectonostratigraphic evolution of SE Asia. In:


Fraser, A.J., Matthew, S.J., Murphy, R.W. (Eds.), Petroleum Geology of
Southeast Asia, Geol. Soc. London Spec. Pub., 126, 311-339.
Lutz, R., Berglar, K., Gaedicke, Chr., and Franke, D., 2007. Petroleum Systems
Modelling in the Simeulue Forearc Basin off Sumatra. AAPG Hedberg
Conference, The Hague, The Netherlands.

Lubis S, Hutagaol P.J., and Salahuddin M, 2007. Tectonic Setting in the


Vicinity of Subduction Zone off West Sumatera and South Java. Proceeding
APRU/AEARU Research Symposium 2007, Jakarta.
Malod, J.A, Karta, K., Beslier, M.O., Zen Jr., M.T., 1995. From normal to
oblique subduction: tectonic relationships between Java and Sumatera. Jour.
SE Asian Earth Sci., 12, 85-93.

Matson, R., Moore, G.F., 1992. Structural controls on forearc basin


subsidence in the central Sumatera forearc basin. In: Geology and Geophysics
of Continental Margins, Am. Assoc. Petrol. Geol. Memoir, 53, 157-181.

McCaffrey, R., 1991. Slip vectors and stretching of the Sumateran


forearc. Geology 19, 881-884.

McCaffrey, R., Zwick, P.C., Bock, Y., Prawirodirdjo, L., Genrich, J.F.,
Stevens, C.W., Puntodewo, S.O., Subarya, C., 2000. Strain partitioning during
oblique plate convergence in northern Sumatera: geodetic and seismologic
constraints and numerical modeling, J. Geophys. Res. 105 (B12), 28363 -
28376.

Moore, G.F., Curray, J.R., Moore, D.G., Karig, D.E., 1980. Variations in
deformation along the Sunda forearc, northeast Indian Ocean. In: Hayes, D.E.
(Ed.), Amer. Geophys. Union Geophys. Monograph 23, 145-160.

Moore, G.F. and Karig, D.E., 1980. Structural Geology of Nias Islands,
Indonesia: Implication for Subduction Zone Tectonic, Am. J.Sci. 280, p 193-223

Ninkovich, D., 1976. Late Cenozoic clockwise rotation of Sumatera.


Earth & Planet. Scie. Let., 29; 2, 269-275.
PPPGL, 2008. Toponim Map of the Underwater Features of Indonesian Water.
Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung.

Rangin, C., LePichon, X., Mazzotti, S., Pubellier, M., Chamot-Rooke, N.,
Aurelio, M., Walpersdorf, A., Quebral, R., 1999. Plate convergence measured by
GPS across the Sundaland/Philippine Sea Plate deformed boundary: the
Philippines and eastern Indonesia. Geophys. J. Int. 139(2), 296-316.

Rose, R., 1983, Miocene carbonate rocks of Sibolga Basin, northwest


Sumatra: 12th Indonesian Petroleum Association Annual Convention, p. 107-
125.

Simanjuntak, T.O., Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the


Neogene orogenic belts of Indonesia. Geol. Soc. London Spec. Pub., 106, 185-
201.

Susilohadi, Gaedicke Christop., and Ehrhardt Axel. 2005. Neogene


structure and sedimentation history along the Sunda forearc basins off
southwest Sumatera and southwest Java. Marine Geology, Elsevier. Vol. 19.

Usman, E., 2006. Eksplorasi Mineral di Daerah Oceanic Crust: Peluang


dan Tantangan Lembaga Riset Kelautan Nasional, Jurnal Mineral & Energi vol.
4, no. 3, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Weering, van Tj., Kusnida, D., Kridoharto, P., Lubis, S., 1986. Techtonics
and Structural Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition. NIOZ,
The Netherlands.

Zen, M.T., 1985. Krakatau and the tectonic importance of the Sunda
Strait. Proc. Symp. 100 Years Development Krakatau and its Surroundings.
Indones. Inst. Sci.. Jakarta, Indonesia, 100-106.

Anda mungkin juga menyukai