Anda di halaman 1dari 6

Cekungan Bengkulu

2009 MARCH 22
tags: Cekungan Bengkulu
by admin
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia.
Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik
(fore - arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya demikian
berdasarkan posisi geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari
dulu begitu? Belum tentu, dan inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-
publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin (1989), Hall et al.
(1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya di proceedings IPA baik
untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.

Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan


Barisan (dalam hal ini adalahvolcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat
Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu
adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc
basinBengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.

Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen
Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian
paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah
Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan
Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,
Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera
Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Setting tektonik regional Sumatra (sumber:
http://en.wikibooks.org/wiki/File:Sumatra_map.jpg)

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan


Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen
kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua
cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di
beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben
Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan
Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang,
Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu
masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera
Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang
masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan
karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di
Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang
sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-
sedimen regresif  (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara
Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami
pengangkatan dan inversi.

Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di


Cekungan Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase
penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat.
Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem
sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar
Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore,
sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-
Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang
sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-
slip atau duplex) akan bersifat trans-tensionatau membuka wilayah yang
diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat
Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar
mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan
cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk
mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak
terlalu dalam.

Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga,


Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat
pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam
dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an
telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat
ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan
gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—
proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).

Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di


Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya
lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan
minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak
mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah
ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target
Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di
Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.

Cekungan Bengkulu akan merupakan harapan pertama untuk penemuan


minyak di sistem Paleogennya. Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor
oleh operator Fina pada tahun 1992 (Arwana-1) menemukan oil shows dan
menembus sedimen Oligo-Miosen yang berkualitas baik sebagai batuan
induk minyak. Kemudian, berdasarkan data sumur ini pula, diketahui
bahwa termal cekungan ini panas (4,5-5 F/100 ft) sebuah anomali bagi
“cool basin“—sebutan yang terkenal untuk Cekungan-cekungan forearc.

Gradient geothermal yang besar ini merupakan anomali pada


sebuah forearc basin yang rata-rata di Indonesia sekitar 2.5 F/100 ft atau
di bawahnya (Netherwood, 2000); Bila dibandingkan
cekungan forearc lain, memang banyak publikasi menyebutkan thermal
Cekungan Bengkulu di atas rata-rata. Itu pula yang dipakai sebagai salah
satu pemikiran bahwa Cekungan ini dulunya bersatu dengan Cekungan
Sumatera Selatan (pada Paleogen)—pemikiran yang juga didukung oleh
tatanan tektonostratigrafinya.
Gradient geothermal dipengaruhi konduktivitas termal masing-masing
lapisan pengisi cekungan dan heatflow dari basement di bawah cekungan.
Apabila basementnya kontinen, maka ia akan punya heatflow yang relatif
lebih tinggi daripada basement intermediat dan oseanik. Selain itu,
kedekatan dengan volcanic arc akan mempertinggi thermal background di
wilayah ini dan berpengaruh kepada konduktivitas termal. Gradient
geothermal yang diluar kebiasaan ini, tentu saja baik bagi pematangan
batuan induk dan generasi hidrokarbon.

Sekuen syn-rift dan post-rift di cekungan ini belum tertembus, di situlah


harapan akumulasi migas berada. Diperlukan data seismik yang lebih baik
untuk target dalam dan diperlukan sumur-sumur dalam untuk menembus
target-target Paleogen.

Selain data seismik, rembesan minyak dipermukaan juga menjadi data


yang sangat berharga apabila bisa diplot di peta geologi permukaan yang
cukup detail, lalu dilihat penampang geologinya. Nanti akan diketahui dari
batuan mana rembesan itu berasal. Yang tak kalah penting adalah
melakukan serangkaian analisis geokimia kepada rembesan minyak itu, hal
ini akan memberi tahu kita sifat batuan induk yang telah menggenerasikan
minyak tersebut.

Sejarah tulisan ini:


Tulisan tentang Cekungan Bengkulu ini diawali dari kiriman Pak Awang
HS pada medio Maret 2009 di iagi-net yang berupa jawabannya terhadap
pertanyaan seorang mahasiswa tentang cara terbentuknya Cekungan
Bengkulu. Kiriman ini ditanggapi oleh beberapa orang anggota milis.
Dengan demikian, para anggota milis iagi-net yang berkontribusi—baik
bertanya maupun menjawab—dalam diskusi mengenai Cekungan
Bengkulu ini adalah: Awang HS, Junrial Hairul Huzaen, Bayu Nugroho
dan Sigit Prabowo. Terima kasih juga untuk Yorris Wibriana atas
informasinya tentang gambar setting tektonik regional Sumatra.

Anda mungkin juga menyukai