Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN UMUM LAPANGAN

Penelitian yang dilakukan selama satu bulan dengan lokasi penelitian yang bertempat di
PT PERTAMINA HULU ENERGI DI REGIONAL 3 ZONA 9 pada tanggal 4 Agustus
2021 – 4 September 2021.

2.1 Sejarah singkat lapangan sangsanga


Lapangan Sangasanga terletak di daratan Kalimantan Timur dan
ditemukan pertama kali oleh Royal Dutch Oil Company tahun 1898. Pada
periode 1905-1942 pengelolaan dilakukan oleh Batavia Petroleum Maatschappij
(BPM) dan selanjutnya pada tahun 1942 – 1945 pengelolaan lapangan ini
dilakukan oleh Jepang. Selama periode berikutnya terjadi beberapa kali
pengalihan, yaitu tahu 1945-1972 oleh BPM/SHELL/PERMINA/PERTAMINA,
tahun 1972-1992 oleh TIPCO – Tesoro, tahun 1992-2008 oleh PTEN-MEDCO
E&P, dan sejak 15 Oktober 2008 sampai sekarang dikelola oleh PT.
PERTAMINA EP. Lapangan tersebut termasuk ke dalam Cekungan Kutai yang
dibagi menjadi Sub-Cekungan Kutai Atas (Upper Kutai Sub-Basin) di bagian
Barat, dan Sub-Cekungan Kutai Bawah (Lower Kutai Sub-Basin) di bagian
Timur.
2.2.1 Geologi Regional Kalimantan Timur
Secara fisiografis, Lapangan Sangasanga terletak pada bagian timur laut
dari sabuk lipatan Delta Mahakam dan termasuk dalam cekungan Kutai yang
memiliki ketebalan sedimen lebih dari 10.000 meter yang berbatasan dengan
Tinggian Mangkalihat, Zona Sesar Bengalon, dan Sangkulirang pada bagian
utara. Sedangkan, di bagian timur berbatasan dengan Selat Makassar, di sebelah
barat berbatasan dengan Central Kalimantan Range (Kuching High) yang berupa
metasedimen kapur yang terangkat dan terdeformasi, dan di bagian selatan
dibatasi oleh Zona Sesar Adang yang bertindak sebagai zona sumbu cekungan
sejak akhir Paleogen hingga sekarang (Moss dan Chamber, 1999).

5
6

Gambar 2.1. A dan B Geologi regional Kalimantan3)

2.1.1. Cekungan Kutai


Tektonik di Lapangan Sanga- Sanga dipengaruhi oleh perkembangan tektonik
regional yang melibatkan interaksi antara Lempeng Pasifik, Lempeng India- Australia
dan Lempeng Eurasia, serta dipengaruhi oleh tektonik regional di Asia bagian Tenggara
(Biantoro et al., 1992) Lapangan Sangasanga termasuk Cekungan Kutai yang dibagi
menjadi dua sub- cekungan (Moss & Chambers, 1999), yakni Sub-cekungan Kutai Atas
(Upper Kutai Sub-Basin) di bagian barat, dan Sub-Cekungan Kutai Bawah (Lower
Kutai Sub-Basin) di bagian timur. Sub-Cekungan Kutai Atas merupakan daerah
pengangkatan tektonik akibat dari deformasi inversi cekungan-cekungan Paleogen pada
Miosen Awal dengan dominan batubara dan lempung karbonatan dengan lingkungan
pengendapan delta plain hingga delta front yang merupakan batuan induk dari
Cekungan Kutai (Patterson et all, 1997). Batas-batas Cekungan Kutai Atas sulit
ditentukan karena kemungkinan besar cekungan ini berasal dari graben dan half-graben
yang saling terpisah. Cekungan Kutai Bawah terbentuk hanya selama Neogen dan
menumpang di atas cekungan-cekungan Paleogen bagian dari Cekungan Kutai Atas.
Secara struktural, Lapangan Sangasanga didominasi oleh perlipatan dan pensesaran
pada Tinggian Kuching yang terbentuk akibat pengangkatan batuan dasar berorientasi
utara - selatan yang berubah arahnya menjadi timur laut- barat daya hingga utara
7

Cekungan Kutai dan sub-paralel terhadap garis pantai timur Pulau Kalimantan
(Gambar 2.2).

Lapangan Produksi Sumur


DET-979 dan DET-1097

Gambar 2.2. (a) Peta Lokasi Struktur Sangasanga terhadap Lapangan Migas lainnya.
(b) Pola Struktur yang Berkembang di Cekungan Kutai3).

Stratigrafi pada cekungan Kutai bagian utara berbeda dengan bagian selatan yang
terbentuk oleh sedimen paparan karbonat, serta laut dangkal dipengaruhi oleh blok
patahan Bungalun Sub Basin (Zona Sesar Bengalon).
Perkembangan struktur Lapangan Sangasanga secara umum dikontrol oleh dua fase
tektonik utama, yaitu :

1. Fase Transgresi dan Bukaan Cekungan (Eosen - Oligosen)


Selama Eosen Tengah terjadi pemekaran, tektonik ekstensionalhingga Oligosen
awal, diawali dengan transgresi, dan rift infill mengendapkan silisiklastik kasar dan
serpih dengan lingkungan bathyal hingga barat cekungan yang merupakan batuan
induk Cekungan Kutai, yang mendapat pengaruh besar dari Tinggian Kucing dan
8

Tinggian Mangkalihat. Pada Oligosen akhir, terjadi pembaharuan aktifitas tektonik


dan amblesan, regresi, ekstensional post-rift laut dalam dan karbonat platform yang
didominasi oleh sedimen delta hingga ke timur Lapangan Sangasanga.

2. Fase Kompresi & Pembentukan Jalur Subduksi Laut China Selatan


(Miosen awal)

Pada Miosen Awal diendapkan secara luas endapan aluvial, menghasilkan


deltaic progradation, yang terdiri dari lapisan- lapisan sedimen klastik delta hingga
paralik atau laut dangkal dengan progradasi dari barat laut ke tenggara cekungan
dan banyak dijumpai lapisan batubara, dengan pola sedimentasi Neogen modern
delta kompleks menerus hingga sekarang, yang tersingkap di mulut Sungai
Mahakam. Akibat tektonik kompresi, terjadi pembalikan atau inversi cekungan,
pengangkatan Kuching, mengakibatkan pengikisan sedimen yang diendapkan
sebelumnya, berasosiasi dengan seri perlipatan yang kuat, dan sinklin yang dikenal
dengan Antiklinorium Samarinda, patahan, dan rekahan mengendapkan batuan
delta delta syn-inversionsecara terus menerus mengalami erosi berkelanjutan dari
bagian pedalaman hinterland, dan dari pengikisan endapan Tersier yang lebih tua,
sebagai respon dari aktifitas pengangkatan tektonik Miosen sampai Pliosen,
menyebabkan progradasi pengendapan delta ke arah timur (Moss & Chambers,
1999). Akibat proses struktur pembalikan (inversi) dari cekungan.
Pembentukan zona subduksi baru ini secara lebih lanjut memberikan gaya
kompresi pada Cekungan Kutai hingga saat ini. Tegasan utara – selatan tersebut
menghasilkan pola struktur Timurlaut- Baratdaya berupa lipatan dan sesar naik.
Perubahan pola sistem subduksi menjadi timurlaut- baratdaya ini membentuk
struktur diaphir (Gambar 2.3.).
Asal mula-jadi lipatan dan sesar di Cekungan Kutai masih belum dengan
jelas diketahui. Beberapa konsep pembentukan telah dikemukakan oleh beberapa
peneliti, seperti gravitational gliding (Ott, 1987), inversi yang berasosiasi dengan
pensesaran mendatar (wrenching) (Biantoro et al., 1992), detachment folding
9

berkaitan dengan over pressured sediments (Chambers & Daley, 1995), dan inversi
endapan delta karena growth fault (Ferguson & McClay, 1997).
Perkembangan struktur Cekungan Kutai secara skematis diilustrasikan oleh
Gambar 2.3. yang dikemukakan oleh Ott (1987). Menurut model ini, Tinggian
Kuching pertama kali mengalami pengangkatan pada Oligosen Akhir-Miosen
Awal. Pengangkatan ini berasosiasi dengan tektonik tumbukan di baratlaut
Kalimantan karena pemekaran Laut Cina Selatan. Pengangkatan ini memicu evolusi
geologi Cekungan Kutai secara keseluruhan. Pertama-tama, pengangkatan ini
memunculkan sumber sediman klastik ke arah Timur, ke arah progradasi endapan
delta. Kedua, tektonik kompresi yang mengakibatkan pengangkatan Tinggian
Kuching juga menyebabkan perlipatan bagian Barat Cekungan Kutai. Perlipatan
dan pengangkatan ini dibarengi dengan progradasi ke arah Timur. Makin kearah
Timur efek kompresi ini semakin menurun namun di bagian bawah endapan
terdapat serpih yang over pressured. Serpih semacam ini dapat menjadi bidang
gelincir (detachment zone) bagi pembentukan perlipatan ke arah timur dan
membentuk antiklinorium seperti yang berkembang di daerah sekitar Samarinda
yang kemudian dikenal sebagai Antiklinorium Samarinda.
10

Gambar 2.3. Peta penampang rekonstruksi perkembangan struktur Lapangan


Sangasanga3).
11

2.1.2. Stratigrafi Regional


Gambar 2.4 dan 2.5 menunjukkan stratigrafi regional Cekungan Kutai dari tua ke
muda yang terdiri dari:

Batuan Dasar
Batuan dasar (basement) diduga sebagai karakter benua dan samudera yang dikenal
sebagai transisi mengambang (rafted transitional). Batuan dasar Cekungan Kutai
berkaitan dengan segmen yang lebih awal pada periode Kapur Akhir- Paleosen (70-60
MA).
Litologi batuan dasar di Cekungan Kutai merupakan batuan metasedimen derajat rendah
(filit, sekis)sebagai produk dari subduksi yang berasosiasi dengan busur Meratus yang
aktif pada waktu Kapur.

Gambar 2.4. Kompilasi stratigrafi regional Lipatan Sangasanga3)

1. Formasi Kiham Haloq


12

Suksesi stratigrafi dalam Cekungan Kutai dimulai dengan pengendapan


sedimen alluvial yaitu Formasi Kiham Haloq pada bagian inner basin dekat dengan
batas Barat (Satyana et al, 1999, dalam Darman dan Sidi, 2000).

2. Formasi Mangkupa
Pada Paleosen Akhir – Eosen Tengah ke Oligosen cekungan ini
mengalami proses penurunan (subsidence) secara intensif dikarenakan adanya
rifting pada basement dan menjadi pusat pengendapan Shale Mangkupa yaitu
pada lingkungan marginal sampai open marine. Beberapa sedimen silisiklastik
berukuran kasar yaitu Pasir Beriun berasosiasi dengan sikuen shale yang
mengindikasikan adanya interupsi penurunan cekungan akibat adanya
pengangkatan (Satyana et al, 1999, dalam Darman dan Sidi, 2000).

3. Formasi Atan dan Kedango


Cekungan mengalami penurunan secara cepat (rapid subsidance) setelah
pengendapan Pasir Beriun, khususnya melalui mekanisme basin sagging yang
menghasilkan pengendapan shale marine Formasi Atan dan endapan karbonat
Formasi Kedango (Satyana dan Biantoro, 1996 dalam Darman dan Sidi, 2000).

4. Formasi Sembulu
Aktivitas tektonik yang terjadi berikutnya adalah pengangkatan pada bagian
tepian cekungan pada Oligosen Akhir. Pengangkatan ini berasosiasi dengan
pengendapan endapan Volkanik Formasi Sembulu pada bagian timur cekungan.
Fasies volkanik terjadi di daerah Mujub (tributary kiri Mahakam) dan Sentakan
(tributary kanan Belajan) sepanjang batas barat Cekungan Kutai dekat dengan Zona
Volkanik Kuching di Kalimantan Tengah. Aktivitas volkanik pada awal Neogen
juga ditemukan di tempat lain di Kalimantan Timur yaitu sepanjang Bungalun
(Teluk Sangkulirang), Marah atas dan Telen, serta di Kajang (Bungalun). Material
volkanik di endapakan pada lingkungan bawah laut (Darman dan Sidi, 2000).
13

Gambar 2.5. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai, Kalimantan Timur3).

5. Formasi Pemaluan
Formasi ini tersusun oleh endapan neritic (0-200 meter). Pengendapan
formasi ini terjadi bersamaan dengan pengangkatan dan inversi cekungan yang
terjadi pada Miosen Awal sampai Miosen Tengah. Distribusi fasies neritic pada
formasi ini tersebar luas terutama di bagian timur cekungan. Batupasir kuarsa
dengan sisipan batulempung, serpih gampingan dan batulanau yang berlapis sangat
baik. Formasi Pemaluan merupakan batuan paling bawah yang tersingkap di Lembar
Samarinda dan bagian atas formasi ini menjemari dengan Formasi Bebulu. Tebal
formasi lebih kurang 2000 meter berumur Oligosen sampai awal Miosen.

6. Formasi Bebulu
Formasi ini terdiri atas batugamping terumbu dengan sisipan batugamping
pasiran dan serpih, warna kelabu gelap, mengandung foraminifera besar dan berbutir
sedang.. Foraminifera besar yang dijumpai antara lain : Lepidocyclina Sumatraensis
Brandy, Miogypsina Sp., Miogupsinaides Spp., Operculina Sp., menunjukan umur
14

Miosen Awal – Miosen Tengah. Lingkungan Pengendapan laut dangkal dengan


ketebalan sekitar 300 meter. Formasi Bebulu berada selaras dengan Formasi
Pulaubalang.

7. Formasi Pulubalang
Formasi ini terdiri atas perselingan antara graywacke dan batupasir kuarsa
dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tufa dasit. Batupasir
graywacke, kelabu kehijauan dengan tebal lapisan antara 50-100cm. Batupasir
kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufaan muda kekuningan, mengandung
foraminifera besar. Batugamping, coklat muda kekuningan, mengandung foram
besar. Batugamping memiliki tebal lapisan 10-40 cm. Di Sungai Loa Haur
mengandung foraminifera besar antara lain Austrotriina howchina, Borelis Sp.,
Leppidocyclina Sp., Mygypsina Sp., menunjukan Miosen Tengah dengan lingkungan
pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal lapisan 1 – 2cm
berselingan dengan batubara yang memiliki tebal mencapai 4m. Tufa dasit berwarna
putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa. Formasi ini juga tersusun oleh
endapan laut dangkal yang terbentuk pada kala Miosen Tengah sampai Miosen
Akhir (Darman dan Sidi, 2000).

8. Formasi Balikpapan
Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih,
lanau dan lignit; pada umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa,setempat
kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung
lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufaan atau lanauan, dan sisipan batupasir
konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah
dan lempung, diameter 0.5–1cm, mudah lepas. Lempung, kelabu kehitaman
mengandung sisa tumbuhan, batubara/ lignit dengan tebal 0,5–3m. Lanau,
kelabu tua, menyerpih, laminasi, tebal 1–2m. Di duga berumur Miosen Akhir – Plio-
Plistosen, lingkungan pengendapan delta hingga laut dangkal, tebal lebih dari 500m.
Formasi ini berada selaras dan setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan.
Formasi ini tersusun atas endapan delta dan alluvial yang terbentuk pada
15

Miosen Tengah-Miosen Akhir. Pada formasi ini dijumpai beberapa lapisan


batubara (Darman dan Sidi, 2000).

9. Formasi Kampung Baru


Formasi ini merupakan formasi termuda pada siklus sedimentasi Tersier dan
tersusun atas batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, s e r p i h , l a n a u d a n
mudah hancur. Batupasir kuarsa, setempat kemerahan atau
k e k u n i n g a n , t i d a k b e r l a p i s , m u d a h h a n c u r , mengandung lapisan tipis
oksida besi atau kongkresi, tufaan atau lanauan, dan sisipan batupasir
konglomeratan atau konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah
dan lempung, diameter 0,5-1cm, mudah lepas. Lempung kelabu kehitaman
mengandung sisa tumbuhan, batubara/ lignit dengan tebal 0,5-3m. Di
perkirakan berumur Miosen Akhir Plio-P l i s t o s e n dengan lingkungan
pengendapan delta hingga laut dangkal dengan tebal lebih dari
5 0 0 m . F ormasi ini berada secara selaras terhadap Formasi Balikpapan.

10. Formasi mahakam


Delta Mahakam tersusun atas endapan Delta Mahakam modern, seiring
dengan terus terjadinya penurunan cekungan (Darman dan Sidi, 2000).

2.2. Geologi Muara Tanjung Una


2.2.1. Petroleum System
a. Batuan Induk
Batuan induk dari Lapangan Sanga- Sanga diduga sebagai  karakter benua dan
samudera yang dikenal sebagai transisi mengambang (rafted  transitional) berkaitan
dengan tektonik konvergen pada Oligosen Akhir, mengangkat Tinggian Kuching dan
membalikan Cekungan Kutai Atas (Satyana et al., 1999), dan menjadi provenan utama
bagi sedimen delta yang diendapkan di Cekungan Kutai Bawah sejak saat itu,
membentuk batuan reservoar, batuan induk dan lapisan penyekat di Cekungan Kutai.
16

Batuan induk utama terdiri dari Formasi Pamaluan, Pulau Balang, dan Balikpapan
dengan litologi berupa batubara dan serpih karbonan. Formasi Pamaluan, kandungan
material organiknya cukup (1-2%), tetapi hanya terdapat di bagian utara dari Cekungan
Kutai. Pada Formasi Bebulu terdapat kandungan material organik yang cukup dengan
HI di atas 300. Formasi Balikpapan merupakan batuan induk yang terbaik di Cekungan
Kutai karena kandungan material organiknya tinggi dengan HI lebih besar dari 400 dan
matang. Formasi ini ketebalannya mencapai lebih dari 3000 m, sehingga diperkirakan
mampu menghasilkan hidrokarbon dalam jumlah yang cukup banyak (Hadipandoyoet
al., 2007).

b. Batuan Sarang/Batuan Reservoar


Batuan reservoar terdapat pada formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah, dan
Kampung Baru yang berumur Miosen Akhir- Pliosen (Hadipandoyo, et al., 2007).
Porositas permukaan pasir literanitik berkisar <5% - 25% dengan permeabilitas <10 mD
- 200 mD.

c. Batuan Tudung
Lapisan- lapisan serpih intraformasional pada Formasi Talang Kelompok Balikpapan
dan Formasi Kampung Baru memiliki potensial sebagai batuan tudung yang berumur
Miosen tersusun dari lapi.

d. Migrasi Hidrokarbon
Jalur migrasi yang diperkirakan dimulai pada Miosen Akhir dan terjadi secara lateral
updip dengan jarak maksimum 10 km dan terakumulasi di perangkap antiklinal dari
dapur Paleogen matang terjadi melalui jaringan sesar- sesar menuju reservoar yang
berumur Miosen Tengah. Migrasi lateral dari areal down- dip, sinklinal reservoar
lapisan kemiringan ke timur menuju trap stratigrafi atau struktur, dalam hal ini sesar
merupakan jalur utama untuk migrasi secara vertikal.

e. Trapping (Pemerangkapan)
17

Jenis perangkap yang didominasi oleh perangkap struktur khususnya tutupan (closure
four way) yang diikat oleh sesar. Perangkap stratigrafi menjadi perangkap yang penting
namun lebih sulit diidentifikasi keberadaannya bila dibandingkan dengan perangkap
struktur. Kombinasi dari perangkap struktur dan stratigrafi lebih umum ditemukan pada
Cekungan Kutai, yang berlangsung pembentukannya mulai Miosen Tengah sampai
Plio-Pleistosen.

2.2.2. Korelasi Sumur


Korelasi sumur dilakukan dengan membuat kerangka sikuen stratigrafi beserta analisa
facies di setiap sumur yang terdapat di lapangan Louise dan Nonny. Analisa di lakukan
dengan mengintegrasikan beberapa data seperti hasil re-evaluasi biostratigraphy,
sedimentologi, stratigrafi dan log sumur. Hasil re-evaluasi data biostratigrafi di analisa
untuk mengetahui batas zona dari paket sedimen sehingga nantinya dapat dihasilkan
batas-batas sikuen stratigrafi (sequence boundary dan maximum flooding surface)
berdasarkan ruang dan waktu. Integrasi petrofisika dan pola log dari tiap sumur
digunakan untuk menginterpretasi litofasies serta sebarannya secara lateral.

2.2.3. Korelasi Sikuen Stratigrafi


Korelasi sikuen pada Struktur Muara yang dijadikan “key well” adalah sumur MRA 319
karena memiliki kedalaman yang paling dalam bila dibandingkan dengan sumur-sumur
yang lain di daerah Muara dan Tanjung Una, sehingga cukup baik untuk merunut pola
sikuen stratigrafi dari yang paling tua ke muda dan di dapatkan juga pola perkembangan
sedimentologinya. Berdasarkan hasil analisa di sumur MRA 319 di ketahui bahwa
terdapat 2 batas sikuen stratigrafi dan 2 (dua) marker maximum flooding surface dan 25
marker zonasi reservoir yang di perkirakan terdapat dalam interval Formasi Pulau
Balang serta Balikpapan (Gambar 2.7 & 2.8.).

Sumur yang terdapat baik di struktur Muara dan Tanjung Una hampir seluruhnya
mencapai kedalaman 700 meter. Semua sumur berada pada antiklin yaitu bagian dari
Samarinda Antiklinorium yang bearah NNE-SSW. Pada korelasi tidak semua sumur
memiliki data log gamma ray, SP maupun resistivity. Sumur-sumur yang tidak memiliki
18

data-data tersebut sama sekali akan memakai jenis panduan litologi pada well terdekat
sebagai panduan korelasi, begitu juga dengan zonasi reservoarnya.

Gambar 2.6. Korelasi sumur dengan paket marker sikuen stratigrafi3)

2.2.4. Konsep Fasies Deltaic Struktur Muara-Tanjung Una


Pembuataan facies dilakukan dengan pendekatan analisis biostratigrafi, data
mud log, sedimentologi dan pola paket log sumur (elektro-fasies). Pendekatan fasies
dengan data seismik juga dilakukan, namun hasilnya tidak memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Sehingga pembuatan paket facies lebih banyak di analisis berdasarkan
konsep-konsep geologi regional untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal.

Pada Struktur Muara dan Tanjung Una batuan sedimennya berada pada Formasi
Balikpapan (Gambar 2.7.). Hal tersebut disimpulkan berdasarkan data sumur yang
menjadikey wellpada struktur Louise dan Nonny yang memperlihatkan dominasi litologi
serpih atau sedimen berbutir halus di bawah marker batas sikuen 3 (SB 3). Hal tersebut
menunjukkan bahwa batuan sedimen tersebut merupakan bagian dari Formasi Pulau
Balang yang kemungkinan merupakan bagian distal dari sistem delta Pulau Balang pada
saat early middle Miocene, dimana posisi proximal lebih ke bagian barat dari daerah
penelitian.
19

Analisis kurva pola log gamma ray umumnya daerah Muara dan Tanjung Una memiliki
pola funnel (corong) dan blocky yang di dominasi oleh litologi batupasir, batubara dan
serpih yang dominan mengandung fosil brakish. Secara umum litologi-litologi ini di
endapkan di lingkungan transisi (deltaik) dengan dominan fasies delta plain dan delta
front (Gambar 2.8. dan Gambar 2.9.).

Dengan melihat korelasi sumur Louise dan Nonny, dapat diperkirakan bahwa fasies
pengendapan sedimen struktur Muara dan Tanjung Una berada pada batas sistem delta
front (Gambar 2.10.), dengan alokasi beberapa batupasir delta mouth bar di dalamnya.
Arah pengendapan sedimennya berarah baratlaut-tenggara menuju off shore.
20

Gambar 2.7. Key well (MRA-319) yang dijadikan referensi dalam penarikan batas
sikuen stratigrafi untuk daerah Muara dan Tanjung Una3).
Ba
s inw Ba
21

ard sin
wa
rd

A A’

DC = Distributary
Channel
DP = Delta Plain
DMB = Delta Mouth Bar
DF = Delta Front
PD = Pro Delta

A’

Gambar 2.8. Korelasi sumur searah jurus batuan (strike line) pada struktur Muara (DP:
Delta Plaint, DF: Delta Front, dan PD: Prodelta)3).

A A’

Gambar 2.9. Korelasi sumur searah jurus batuan (strike line) pada struktur Tanjung
Una (DP: Delta Plaint, DF: Delta Front, dan PD: Prodelta)3).

A’

A
22

Gambar 2.10. Konsep fasies pada struktur Muara-Nonny dengan menggunakan


pendekatan korelasi geologi regional, sikuen stratigrafi, analisis biostratigrafi, data mud
log, sedimentologi dan pola paket log sumur (elektro-fasies)3).
23

Gambar 2.11. Struktur Organisasi PT Pertamina Hulu Energi Regional 3 Zona 93)

Gambar 2.12. Regional 3 Work Program3)


24

Gambar 2.13. Development Area3)


25

Gambar 2.14. Peta Wilayah Kerja Zona 93)

Anda mungkin juga menyukai