Anda di halaman 1dari 51

CEKUNGAN KUTAI

II.1. Geologi Regional


Lapangan penelitian secara regional termasuk dalam fisiografi Cekungan Kutai,
Kalimantan Timur. Cekungan Kutai merupakan salah satu Cekungan Tersier Kalimantan
Timur yang dibatasi sebelah barat oleh Paparan Stabil Sunda dari Kalimantan Barat yang
merupakan komplesks batuan dasar pra-Tersier, batuan beku dan metamorf yang telah stabil,
dibagian baratlaut oleh dibatasi oleh Tinggian Kuching, disebelah utaranya terletak Cekungan
Tarakan yang antara keduanya dipisahkan oleh pegunungan Meratus memisahkan Cekungan
Tarakan yang antara keduanya dipisahkan oleh Busur Mangkalihat. Pada bagian Selatan,
pegunungan Meratus memisahkan Cekungan Kutai dengan subcekungan Barito dan
subcekungan Pasir. Pada bagian Selatan juga dibatasi oleh Patternosfer Arch yang merupakan
batuan dasar yang menunjam ke arah Timur – Tenggara, sedang pada bagian timur Cekungan
Kutai membujur selat Makasar.

Sedimen Tersier di Cekungan Kutai menerus keselatan dengan Cekungan Barito dan
Paparan Patternosfer, demikian pula Cekungan Tarakan. Stratigrafi cekungan ini pada
umumnya menunjukkan daur trangresi yang diikuti dengan regresi, namun terdapat variasi
khusus tiap cekungan.
Tatanan Tektonik Daerah Mahakam

Tatanan tektonik cekungan kutai dapat diringkas sebagai berikut (Gambar 3.1.2).

• Awal Synrift (Paleosen ke Awal Eosen): Sedimen tahap ini terdiri dari sedimen
aluvial mengisi topografi NE-SW dan NNE-SSW hasil dari trend rifting di Cekungan Kutai
darat. Mereka menimpa di atas basemen kompresi Kapur akhir sampai awal Tersier berupa
laut dalam sekuen.

• Akhir Synrift (Tengah sampai Akhir Eosen): Selama periode ini, sebuah transgresi
besar terjadi di Cekungan Kutai, sebagian terkait dengan rifting di Selat Makassar, dan
terakumulasinya shale bathial sisipan sand.

• Awal Postrift (Oligosen ke Awal Miosen): Selama periode ini, kondisi bathial terus
mendominasi dan beberapa ribu meter didominasi oleh akumulasi shale. Di daerah structural
shallow area platform karbonat berkembang

• Akhir Postrift (Miosen Tengah ke Kuarter): Dari Miosen Tengah dan seterusnya
sequence delta prograded secara major berkembang terus ke laut dalam Selat Makassar,
membentuk sequence Delta Mahakam, yang merupakan bagian utama pembawa hidrokarbon
pada cekungan. Berbagai jenis pengendapan delta on – dan offshore berkembang pada
formasi Balikpapan dan Kampungbaru, termasuk juga fasies slope laut dalam dan fasies dasar
cekungan. Dan juga hadir batuan induk dan reservoir yang sangat baik dengan interbedded
sealing shale. Setelah periode ini, proses erosi ulang sangat besar terjadi pada bagian sekuen
Kutai synrift.
Model Pengendapan Delta Mahakam

Delta merupakan garis pantai yang menjorok ke laut, terbentuk oleh adanya sedimentasi
sungai yang memasuki laut, danau atau laguna dan pasokan sedimen lebih besar daripada
kemampuan pendistribusian kembali oleh proses yang ada pada cekungan pengendapan
(Elliot, 1986 dalam Allen, 1997) Menurut Boggs, 1987 (Dalam Allen, 1998), delta diartikan
sebagai suatu endapan yang terbentuk oleh proses sedimentasi fluvial yang memasuki tubuh
air yang tenang (Gambar 4.3.2). Dataran delta menunjukkan daerah di belakang garis pantai
dan dataran delta bagian atas (Upper Delta Plain) didominasi oleh proses sungai dan dapat
dibedakan oleh pengaruh laut terutama penggenangan tidal. Delta terbentuk karena adanya
suplai material sedimentasi dari sistem fluvial. Ketika sungai – sungai pada sistem fluvial
tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang khas dan dapat dikenali pada setiap sistem yang
ada. Morfologi delta secara umum terdiri dari tiga yaitu : delta plain, delta front dan prodelta
Model Lingkungan Pengendapan Delta Mahakam (Allen 1998)

Potensi Hidrocarbon Daerah Delta Mahakam

Pembahasan pengelolaan Delta Mahakam oleh Perusahaan asing sedang hangat saat ini, hal
ini tak lain karena potensi gas dan minyak sangat tinggi didaerah ini. Delta Mahakam dan
sekitarnya mempunyai potensi batubara yang relatif berukuran antara lignit sampai
bituminous, punya potensi tinggi dalam minyak, gas dan Kondensat.
Grafik Produksi Perusahaan Asing dalam Pengelolaan Di Delta Mahakam

Delta mahakam purba juga menjadi daerah incaran para pengusaha batubara selain formasi
tanjung, dan berau di wilayah kisaran Kalimantan Timur.

Referensi

- Allen,G.P, Chambers, J.L.C,1998, Sedimentation in the Modern and Miocene Mahakam


Delta, IPA.
- B. Triatmodjo, Tehnik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta, 1999, p.397.
- ETTI Team. 2010-2012.Delta Mahakam Workfield Report.Jakarta: PT Exploration Think
Tank Indonesia (Tidak Diterbitkan)
- Ranawijaya, D.A.S., E. Usman, M.K. Adisaputra, N.A. Kristanto dan Y. Noviadi, 2000.
Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan Perairan Delta Mahakam, Kalimantan
Timur, Lembar Peta 1915. Laporan Intern Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL)
PPGL.PGK.087.2000. Tidak diterbitkan dalam Mimin K. Adisaputra dan D.
Rostyati.2003.Foraminifera Sedimen Dasar Laut Delta Mahakam,Kalimantan
Timur.Jakarta:Jurnal Geologi Kelautan
-Roberts, H. H., 2001, Late Quaternary Stratigraphy and Sedimentology of the Offshore
Mahakam Delta, East JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Volume 6, No. 3, Desember
2008 173 Kalimantan (Indonesia), AAPG Annual Meeting.
- Storms, J.E.A., R. M. Hoogendoorn, R. A.C. Dam, A.J.F. Hoitink and S.B.
Kroonenberg, 2005, Late-Holocene evolution of the Mahakam delta, East
Kalimantan, Indonesia, Sedimentary Geology. Vol. 180, Issues 3-4 ,p 149-166.
- Berita IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) no 2/2012

II.1.1. Stratigrafi Regional

Menurut Marks et all (1982), stratigrafi regional Cekungan Kutai bagian Tenggara
dari yang tertua sampai yang termuda, sebagai berikut :

1.. Formasi Pamaluan .

2. Formasi Bebulu Group

3 Formasi Balikpapan Group

4. Formasi Kampung Baru Group

5. Formasi Mahakam Group

Pada daerah telitian merupakan formasi Balikpapan, formasi ini tersusun atas
batupasir dan batulempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping, dan batubara. Adapun
umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah bagian bawah – Miosen Atas bagian bawah.
Formasi ini merupakan endapan regresif perenggang delta sampai daratan delta (delta plain).
Ketebalannya diperkirakan sekitar 1000 – 1500 meter, yang mempunyai hubungan menjari
dengan Formasi Bebulu dan ditumpangi secara selaras oleh Formasi Kampung Baru. Formasi
Balikpapan dibagi menjadi tiga bagian yaitu Formasi Klandasan, Formasi Badak Bawah, dan
Formasi Badak Atas, yang merupakan hasil pengendapan di lingkungan delta plain. Formasi
–formasi ini banyak yang menjadi reservoar bagi lapangan minyak di cekungan Kutai.
II.1.2. Struktur Geologi

Menurut Marshall, A. (1977) secara regional daerah Kalimantan Timur terdiri dari
struktur antiklin yang rapat dan sinklin yang lebar dengan arah umum Utara Timur Laut –
Selatan Barat Daya. Semakin ke arah timur struktur geologinya semakin sederhana. Semua
lapangan minyak di Cekungan Kutai terletak pada sumbu antiklin dari barat timur.

Perlipatan regional ini terjadi pada Akhir Miosen Tengah dan berhubungan dengan
pergerakan lempeng tektonik selat Makasar ke arah Barat yang ditahan oleh tinggian
Kuching.

II.2. Sedimentologi Delta Mahakam

Delta Mahakam terbentuk pada muara Sungai Mahakam yang terletak di pantai timur
Pulau Kalimantan, antara 0°20' LS dan 117°40' LT. Delta ini terbentuk pada tahap akhir
transgresi Holosen selama 5000 sampai dengan 7000 tahun yang lalu. Selama waktu itu delta
telah berkembang maju (progradasi) dan membentuk sistem delta yang melingkupi daerah
seluas ± 5000 km²,termasuk 1000 km² delta plain.

Delta Mahakam adalah daerah dimana terdapat beberapa lapangan minyak besar, yang
tersusun oleh rangkaian endapan deltaik Miosen. Allen, (1987) telah melakukan penelitian
atau studi terhadap delta Mahakam modern, karena delta Mahakam modern mempunyai
karateristik yang hampir sama dengan delta Mahakam Miosen sehingga dapat memberikan
gambaran pembentukan reservoar batupasir Miosen di daerah ini.

Dalam pembentukan suatu delta, akan berkembang pola-pola morfologi yang masing
–masing merupakan produk lingkungan pengendapan yang berbeda. Komponen morfologi
delta antara lain delta plain, delta front, dan prodelta. Tiga proses pokok yang mengontrol
pembentukan delta yaitu proses fluvial, tidal dan gelombang air laut. Berdasarkan ketiga
parameter ini, delta Mahakam yang merupakan delta dengan pengaruh proses fluvial dan tidal
yang relatif sama atau seimbang, termasuk dalam tipe fluvial – tide delta.

II.2.1. Aspek – aspek Umum Sedimentasi Delta


Lyell, (1954) mendefinisikan delta sebagai tempat akumulasi sedimen fluvial yang
diendapakan di muara sungai. Dalam pengertian umum, delta didefinisikan sebagai suatu
kenampakan pantai atau garis pantai yang terbentuk akaibat adanya material – material
sedimen yang dibawa oleh air sungai dan diendapkan di muara sungai tersebut. Sebuah delta
terbentuk dan berkembang jika akumulasi sedimen – sedimen yang berasal dari sungai pada
tepi cekungan lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran sedimen oleh proses – proses
yang berasal dari cekungan penerima.

Atas dasar perkembangan pola morfologi dan komponen sedimnennya, Allen (1987)
membagi delta menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Delta plain

Merupakan daratan delta yang dibangun oleh endapan fluvial, diendapkan di atas bagian delta
yang lebih marin (delta front). Bagian ini membentuk dataran landai berawa yang disusun
terutama oleh sedimen berbutir halus seperti serpih, serpih organik dan batubara. Dataran
tersebut digerus secara erosional sampai bagian dasarnya oleh alur- alur (distributary chanel)
yang membentuk pola percabangan yang menyalurkan air dan sedimen. Alur – alur ini adalah
tempat pengendapan pasir (channel fill sand), yang merupakan reservoar yang baik.

2. Delta front

Merupakan paparan laut dangkal dengan kemiringan ke arah laut, yang mengakumulasi
sedimen ke arah laut memalui alur – alur (distributaries). Umumnya pemasukan pasir ke
delta front melalui alur – alur ini membentuk endapan gosong muara sungai (distributary
mouth bar). Pola fasies dan ukuran endapan ini tergantung pada intensitas aktivitas laut
terhadap pantai dan kecepatan pemasukan sedimen oleh sungai. Diantara endapan tersebut,
diendapakan lumpur lanauan dan pasiran, yang semakin meningkat kandungan lumpurnya ke
arah lepas pantai.

3. Prodelta

Prodelta merupakan perselingan antara gosong pasir (sand bar) dan endapan lumpur, tetapi
umumnya berupa zona lumpur tanpa pasir. Zona ini sangat dipengaruhi oleh proses pasang
surut air laut yang hanya mengakumulasi lempung dan lanau. Prodelta sulit dibedakan
dengan endapan paparan (shelf deposit), tetapi pada umumnya lebih tipis dan lebih bersifat
marin.

II.2.2. Delta Mahakam Miosen

Delta Mahakam Miosen telah mengalami beberapa fase pengisian sedimen. Pada kala
Oligosen di daerah ini mulai mengendapkan sekuen trangresif berupa marine shale.Pada
Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi pengendapan sedimen delta sampai fluvial dengan
tebal lebih dari 5000 meter dengan pola pengendapan sekuen regresif. Rangkaian deltaik
disusun oleh beberapa siklus delta dengan ketebalan masing - masing siklus berkisar antara
30 – 80 meter. Siklus ini disusun oleh endapan delta berupa batubara dan endapan transgresif
berupa marine shale, yang ditutupi oleh serpih podelta. Kemudian diatasnya diendapkan
endapan regresif yang terdiri dari batupasir mouth bar dan serpih pasiran, batupasir
distributary channel, splays, serpih organik dan batubara. Puncak siklus ditandai dengan
lapisan batubara yang relatif tebal, ditutupi oleh marine shale atau endapan karbonat yang
menunjukkan aktivitas tektonik regional atau peristiwa kenaikan muka air laut global.

Selama Miosen Tengah sampaai Pliosen terbentuk rangkaian lipatan berarah timur
laut – barat daya sepanjang pantai Kalimantan Timur dan di lepas pantainya. Pembentukan
lipatan ini terjadi bersaman dengan pengendapan sedimmen dari arah barat. Analisa fasies
dari batuan inti (core rock) menunjukkan bahwa delta Mahakam dipengaruhi oleh sistem
fluvial dan tidal dengan tidak adanya pengaruh gelombang air laut. Sifat –sifat umum
morfologi dan sedimentologi delta Mahakam Miosen menunjukkan kesamaan dengan delta
Mahakam modern (Alle,1987).

Lumpur deltaik yang kaya akan bahan organik di delta front dan prodelta serta serpih
organik dan batubara di delta plain merupakan batuan induk bagi pembentukan hidrokarbon
yang terperangkap pada antiklin. Reservoar utama di cekungan delta Mahakam terdapat pada
batupasir distributary channel di delta palain dan mouth bar di delta front.

II.2.3. Delta Mahakam Modern


Delta Mahakam modern terletak di muara Sungai Mahakam, pantai timur Kalimantan.
Delta ini merupakan delta Holosen yang berprogradasi di atas permukaan endapan transgresif
Holosen sejak 5000 – 7000 tahun yang lalu, dan telah mencakup daerah hampir seluas 5000
km², dengan tebal sedimen sekuen regresif delta antara 50 –70 meter (Allen,1987).

Delta Mahakam modern menunjukkan morfologi berbentuk kipas asimetris, yang


terbentuk akibat pengaruh campuran dua sistem, yaitu antar sistem fluvial dan tidal. Delta
Mahakam modern berprogradasi di atas permukan endapan transgresif Holosen, membentuk
pola sedimen regresif yang ukuran butirnya mengkasar keatas (coarsening upward), tersusun
atas pengendapan sedimen prodelta, delta front dan delta plain yang vertikal sebagai
progradasi ke arah laut. Batas luar prodelta berada pada kedalaman 70 meter dan delta front
terletak pada kedalaman 0 – 10 meter dari muka air laut. Alur – alur (channel) pada delta
plain membentuk pola percabangan sungai ke laut, menggerus vegetasi pada delta plain
sampai delta front dengan kedalaman sekitar 20 meter.

II.3. Tinjauan Umum Lapangan Badak

Lapangan Badak terletak di delta Sungai Mahakam , berjarak kira – kira 55 km di


sebelah timur laut kota Samarinda, Kalimantan Timur, pada posisi geografis 117º22'30"
BT, 0º23'30" LS dan 117º27'30" BT , 0°15'0" LS.

II.3.1. Sejarah Lapangan Badak

Lapangan Badak pertama kali ditemukan oleh Huffco Indonesia pada tahun 1972, dan
melakukan pengeboran pada sumur Badak 1. Hingga saat ini sumur yang telah selesai dibor
pada lapangan Badak berjumlah 192 sumur.

Pengeboran lapangan Badak dilakukan pada kedalaman 5000 feet sampai dengan
kedalaman 12000 feet. Sampai sekarang masih dilakukan pengeboran sumur pengembangan
serta pemeliharaan sumur – sumur lama dengan tujuan untuk meningkatkan produksi.

II.3.2. Kondisi Geologi Lapangan Badak


Lapangan Badak merupakan bagian dari delta Mahakam, yang sejarah sedimentasinya
dimulai dari Miosen sampai sekarang. Pada akhir masa Miosen terbentuk delta dibawah
permukaan sungai Mahakam. Delta ini terbentuk dan bergerak dari arah barat ke arah timur
setelah terangkatnya daerah bagian barat yang terangkat sedikit demi sedikit (pengangkatan
dari daerah tinggian Kuching) dari batas datarannya, kemudian beregresi ke arah timur
sehingga terbentuk lipatan – lipatan, dan salah satunya adalah lipatan Badak.

II.3.3. Stratigrafi Lapangan Badak

Stratigrafi lapangan Badak berumur Miosen – Holosen, dicirikan oleh perselingan


antara serpih, batulanau dan batupasir yang merupakan endapan delta. Hidrokarbon
ditemukan dalam perlapisan batupasir delta dari Formasi Balikpapan. Formasi Balikpapan ini
terdiri dari batuan klastik seperti batupasir,batulanau, dan shale, dengan perlapisan
batugamping berselang – seling dan batubara. Sedimen klastik ini diendapkan pada beberapa
zona dari lingkungan delta selama Miosen Tengah sampai Miosen Akhir.

Gwin et al (1974) membagi urutan stratigrafi Lapangan Badak menjadi tiga urutan
berdasarkan variasi fasies batuannya, yaitu Lower Badak sequence dan Middle Badak
sequence yang termasuk dalam Formasi Balikpapan, serta Upper Badak Sequence yang
termasuk dalam formasi Kampung Baru.

a. Lower Badak Sequnce (Sekuen Badak Bawah)

Terdapat pada interval kedalaman 1.021 ft sampai 7540 ft, dan termasuk dalam formasi
Balikpapan. Sekuen ini tersusun atas batulanau dan sisipan serpih, lapisan batugamping dan
interkalasi batupasir kuarsa. Umumnya batupasir yang terdapat memiliki pola mengkasar ke
atas, tidak menerus dan padat dengan semen karbonat, yang menandakan bahwa
pengendapannya terjadi pada lingkungan distal delta front.

b. Middle Badak Sequnce ( Sekuen Badak Tengah)

Middle Badak Sequence masih termasuk dalam Formasi Balikpapan, terdapat pada
kedalaman 2450 ft – 7540 ft. Sekuen ini tersusun atas litologi batupasir kuarsa lebih
melimpah dan tebal, batulanau, shale, dan lapisan batubara. Batupasir ini umumnya berupa
clean sand dan lebih potous dibanding dengan batupasir yang berada ditempat yang lebih
dalam. Fasies sequencenya menunjukkan lingkungan pengendapan proximal delta front
facies.

c. Upper Badak Sequence (Sekuen Badak Atas)

Sekuen ini terletak paad kedalaman 2450 ft hingga ke permukaan dan merupakan
Formasi Kampung Baru. Sekuen ini tersusun atas batupasir kuarsa, beberapa lapisan
batulanau, batulempung, dan lignit yang melimph hingga mencapai 47 % dari ketebalan
sekuen. Fosil fauna tidak ditemukan, sekuen ini merupakan ciri lingkungan delta plain facies.

II.3.4. Struktur Geologi Lapangan Badak

Lapangan Badak terletak pada ujung utara sekitar 80 km dari rangkain antiklin Badak
– Handil. Daerah ini berupa antiklin landai yang asimetri dan relatif condong ke arah timur
laut – barat daya dengan sayap yang relatif terjal dibagian tenggara. Berdasarkan peta struktur
hasil interpretasi seisimik menunjukkan bahwa klosur vertikal berkembang seiring dengan
bertambahnya kedalaman atau menunjukkan pertumbuhan synsedimentary structure. Selama
periode waktu pengendapan batuan penyusunnya berkembang pula struktur geologi pada
daerah ini.
BAB III

DASAR TEORI

Akumulasi hidrokarbon di bawah permukaan dapat dideteksi melalui tahap – tahap


penyelidikan geologi dibawah permukaan yang telah banyak dilakukan oleh perusahaan -
perusahaan minyak di dunia.Tahap – tahap penyelidikan geologi bawah permukaan
merupakan salah satu metode yang penting dalam explorasi dan exploitasi minyak dan gas
bumi.

Produksi minyak dan gas bumi yang terus menerus dapat mengakibatkan cadangan
makin menciut, dan dengan harapan bahwa dengan dilakukannya eksplorasi disuatu daerah
yang diperkirakan terdapat akumulasi hidrokarbon maka dapat diadakan inventarisasi
mengenai jumlah cadangan dan sampai kapan minyak bumi ini akan habis.

III.1. LOG MEKANIK

Log merupakan suatu data yang didapat melalui hasil rekaman suatu lubang bor dari
permukaan sampai kedalaman tertentu. Prinsip dasar dari log adalah mengukur parameter
fisik yang meliputi porositas, kejenuhan hidrokarbon, ketebalan lapisan yang permeabel.

Berdasarkan sifat –sifat fisika yang diukur log mekanik dapat dibagi atas tiga yaitu
log listrik, log radioaktif dan log sonik. Yang termasuk dalam log listrik antara lain log SP
dan log resistivitas, sedangkan yang termasuk dalam log radioaktif antara lain log GR, log
densitas dan log netron.
Logging merupakan salah satu tahap dalam melakukan eksplorasi minyak dan gas
bumi yang bertujuan untuk menentukan letak kedalam zona produktif dan mengetahui
kondisi struktur dan startigrafis suatu daerah dengan cara melalukan korelasi antara sumur
pemboran yang dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan peta bawah permukaan.

III.1.1. Log Sinar Gamma (Gamma Ray Log)

Log sinar gamma adalah log yang mengukur intensitas radiasi sinar gamma yang
dipancarkan secara alamiah oleh batuan. Sumber radiasi sinar gamma di dalam batuan berasal
dari peluruhan potasium, uranium, dan thorium. Dari ketiga unsur tersebut potasium lebih
banyak dijumpai dibanding dengan unsur radioaktif lainnya. Log ini terekam pada track
1dengan satuan API. Nilai radioaktivitas yang diukur sangat tergantung dari macam
batuannya. Pada batuan sedimen , unsur radioaktif banyak terkonsentrasi pada serpih atau
lempung, sehingga dalam log GR besar kecilnya intensitas radioaktif akan menunjukkan ada
tidaknya kandungan serpih atau lempung, yang juga berperan dalam pekerjaan korelasi dan
evaluasi kandungan serpih di dalam suatu formasi.

III.1.2. Log SP (Spontaneous Potensial)

Yaitu log listrik yang digunakan untuk mengetahui beda potensial yang timbul antara
lumpur pemboran dengan batuan insitu pada formasi disekitar lubang bor. Log SP direkam
pada track 1 bersamaan dengan log GR dengan satuan milivolt. Pada shaly section, log SP
mencapai maksimum ke arah kanan. Log SP hanya dapat menunjukkan lapisan permeabel,
namun tidak dapat mengukur harga absolut dari permeabilitas maupun porositas dari suatu
formasi.

III.1.3. Log Tahanan Jenis (Resistivity Log)

Log tahanan jenis yaitu log listrik yang dipakai untuk mengukur tahanan jenis batuan
secara langsung dari dasar sumur samapi ke permukaan. Secara umum tahanan jenis suatu
batuan didefinisikan sebagai kemampuan dari batuan untuk menghambat arus listrik yang
melalui batuan tersebut. Tahanan jenis batuan adalah kebalikan dari daya hantarnya. Jika
tahanan jenis batuan besar maka batuan tersebut mempunyai daya hantar kecil. Faktor yang
mempengaruhi tahanan jenis batuan adalah kandungan fluida dan faktor formasi batuan.

III.1.4. Log Densitas

Log densitas merupakan suatu tipe log porositas yang mengukur densitas elektron
suatu formasi. Prinsip pencatatan dari log densitas adalah suatu sumber radioaktif (cobalt-60
atau cesium 137) yang dimasukkan kedalam lubang bor mengemisikan sinar gamma kedalam
formasi. Didalam formasi sinar tersebut akan bertabrakan dengan elektron dari formasi. Pada
setiap tabrakan sinar gamma akn berkurang energinya. Sinar gamma yang terhamburkan dan
mencapai detektor pada suatu jarak tertentu dari sumber dihitung sebagai indikasi densitas
formasi. Jumlah tabrakan merupakan fungsi langsung dari jumlah elektron didalam suatu
formasi. Karena itu log densitas dapat mendeterminasi densitas elektron formasi dihubungkan
dengan densitas bulk sesungguhnya dalam gr/cc. Harga ρb tergantungdari densitas matrik
batuan, porositas dan densitas fluida pengisi formasi.

III.1.5. Log Netron (Compensated Neutron Log)

Log netron merupakan tipe log porositas yang mengukur kosentrasi ion hidrogen
didalam suatu formasi. Di dalam formasi bersih dimana porositas diisi air atau minyak, log
netron mencatat porositas yang diisi cairan.

Netron energi tinggi yang dihasilkan oleh suatu sumber kima ( campuran americium
dan beryllium) ditembakkan kedalam formasi. Didalam formasi, netron bertabrakan dengan
atom – atom penyusun formasi, sebagai akibatnya netron kehilangan energinya. Kehilangan
energi maksimum akan terjadi pada saat netron bertabrakan dengan atom hidrogen karena
kedua materi tersebut mempunyai massa yang hampir sama. Karena itulah jumlah kehilangan
energi maksimum merupakan fungsi dari kosentrasi hidrogen dalam formasi, karena dalam
formasi yang sarang hidrogen terkosentrasi didalam pori-pori yang terisi cairan, maka jumlah
kehilangan energi dapat dihubungkan dengan porositas formasi.
III.1.6. Log Sonik

Log sonik merupakan suatu log porositas yang mengukur interval waktu lewat (∆t)
dari suatu gelombang suarakompresional untuk melalui satu feet formasi. Interval waktu
lewat (∆t) dengan sataun mikrodetik per kaki merupakan kebalikan kecepatan gelombang
suara kompresional (satuan feet per detik). Harga ∆t tergantung paad litologi dan porositas

III.2. ANALISA DATA LOG MEKANIK

Dalam menganalisa suatu log mekanik dapat dibagi menjadi tiga yaitu analisa log
untuk interpretasi lingkungan pengendapan, anlisa log secara kualitatif dan analisa log secara
kuantitatif.

III.2.1. Analisa Log untuk Interpretasi Lingkungan Pengendapan Delta

Interpretasi suatu sekuen pengendapan cenderung didasarkan pada karakteristik


urutan vertikal dari ukuran butir dan struktur sedimen. Profil ukuran butir dapat diketahui dari
macam – macam pola kurva log. Pada log SP dan log GR merupakan log yang menunjukkan
ukuran butir batuan. Disamping data log yang ada, data paleontologi, core, seismik, maupun
data – data pemboran lainnya (cutting, mudlog) dapat digunakan juga dalan mengiterpretasi
suatu lingkungan pengendapan.

Litologi yang biasanya dijumpai pada endapan delta adalah batupasir, pasir
lempungan, lempung, serpih, serpih organik, batubara dan batuan karbonat. Sedangkan
sekuen delta dibagi menjadi tiga fasies utama yaitu prodelta, delta front, dan delta plain.
Pada endapan prodelta terdiri dari litologi batulempung dan serpih dengan sedikit lapisan
tipis bataulanau dan batupasir. Endapan delta front litologinya terutama terdiri dari batupasir,
sedangakan endapan delta plain terdiri atas bataupasir, lumpur dan akumulasi bataubara.

Berdasarkan kontak dasarnya (base contact), endapan pasir delta dapat dibedakan
menjadi dua kelas utama (Serra an Abbott,1980, Getz et al, 1977, vide Allen, 1987) yaitu:

1. Tipe sekuen bar

Tipe ini dicirikan dengan bidang dasar yang bergradasi dari serpih, serpih pasiran, selang –
seling antar serpih dengan pasir, sampai pasir murni (clean sand). Pada log GR, tipe ini
mempunyai bentuk kurva corong (funnel), dan banyak fijumpai pada fasies delta front yang
merupakan suatu progradasi bar seperti distributary mouth bar atau tidal bar. Biasanya
sekuen ini ditutupi dengan batugamping, semen karbonat, serpih organik atau bataubara.
Sekuen bar yang lebih tipis dapat juga dijumpai pada delta plain.

2 Tipe sekuen channel

Tipe ini dicirikan dengan bidang dasar erosi (erosive base) yang tajam dan bergradasi keatas
dari pasir sampai serpih. Pada sekuen stratigraphi dengan perubahan yang tajam akan
memberikan kurva berbentuk tabung (cylindrical), sedangkan perubahan yang bergradasi
akan memberikan bentuk intermediate. Untuk perubahannya yang menerus memberikan
bentuk kurva lonceng (bell). Tipe sekuen ini banyak dijumpai pada fasies delta plain. Sekuen
suatu delta adalah merupakan gabungan dari tipe sekuen bar dan sekuen channel

III.2.2. Analisa Log Kualitatif

Analisa yang dilakukan yaitu untuk mengetahui zona mana yang bersifat permeable
atau zona impermeable. Selain itu untuk mengetahui jenis litologi yang ada pada data log dan
zona mana yang termasuk zona porous dan zona tidak porous. Dari zona – zona yang
permeable dan porous akan didapatkan jenis kandungan fluida yang terkandung dalm suatu
reservoar, yaitu apakah berupa gas, minyak atau air.

Pada evaluasi kualitatif ini parameter – parameter yang dievaluasi anatara lain :
1. Jenis litologi, jenis litologi pada zona reservoar dapat ditentukan berdasarkan kenampakan
defleksi log tanpa melakukan perhitungan, dan dapat menentukan porositas dan permeabilitas
yang nantinya akan dikaitkan dengan kandungan fluidanya.

2. Jenis fluida reservoar, diperoleh dari analisa porositas dan permeabilitas pada litologi yang
ada.

3. Batas – batas GOC (gas oil contact), GWC (gas water contact),dan OWC (oil water
contact).

III.2.3.Analisa Log Kuantitatif

Analisa log secara kuantitaif dimaksudkan untuk mengetahui sifat – sifat fisik batuan
yang meliputi porositas, permeabilitas, serta untuk mengetahui kuantitas dan jenis kandungan
batuan yang terdiri dari kejenuhan hidrokarbon. Sehingga hasil analisa tersebut dapat
digunakan dalam pembuatan peta gross sand, net sand, dan net pay.

III.2.3.1. Porositas (Ǿ)

Porositas (Ø) merupakan fraksi ruang pori yang terdapat pada suatu batuan, atau
merupakan perbandingan volume rongga – rongga pori terhadap volume total seluruh batuan.
Nilai porositas dari suatu formasi dapat ditentukan dari log netron, densitas, Adapun
perhitungan mencari harga porositas adalah sebagai berikut :

1. Dengan menggunakan log densitas

Log densitas mengukur bulk density (ρb), dimana parameter ini dapat digunakan untuk
menghitung porositas setelah diperhitungkan dengan densitas matriks (ρma) dan densitas
fluida (ρf) dalam satuan g/cc

Rumus yang digunakan

ØD = (ρma – ρb) / (ρma – ρf)


2. Dengan menggunakan log netron

Log netron dipengaruhi oleh jumlah hidrogen di dalam suatu formasi, selain itu juga
dipengaruhi oleh jenis batuan, salinitas, suhu fluida, dan tekanan formasi. Untuk shaly
formation , penambahan serpih akan mempengaruhi porositas batuan.

Rumus yang digunakan :

ØNc = ØN – (ØNlp x Vcl)

Vcl = (ØN – ØD) / (ØNcl – ØDcl)

III.2.3.2. Tahanan Jenis Air Formasi (Rw)

Tahanan jenis formasi merupakan tahanan jenis air yang terdapat dalam formasi
sebelumformasi tersebut ditembus oleh bit pemboran. Air yang terdapat didalam formasi
disebut connate water.

Cara untuk menentukan resitivitas air formasi adalah dengan menggunakan persamaan :

Rw = Rmf x ( Ro / Rxo )

dimana, Rw = resistivitas air formasi , dalam Ωm

Rmf = resistivitas mud filtrate, dalam Ωm

Ro = resisitivitas hidrokarbon, dalam Ωm

Rxo = resisitivitas formasi pada flushed zone, dalam Ωm

III.2.3.3. Resistivitas Formasi (Rt)

Resistivitas formasi (Rt) merupakan harga tahanan jenis dari formasi yang cukup jauh
dari lubang bor dan tidak terpengaruh oleh pemboran atau zona invasi, sehingga tahanan jenis
tersebut merupakan harag tahanan jenis aktual. Harga tahan jenis ini dapat langsung dibaca
pada log tahanan jenis dengan alat yang dalam (LLD/ Laterolog deep) atau dari log induksi
(ILD/ introduction log deep).
III.2.3.4. Tahanan Jenis Zona Terusir (Rxo)

Harga tahanan jenis dari zona terusir (Rxo) ini dapat dibaca pada log MSFL
(Microspherical Focused Log) atau dari log MLL (Micro Laterolog)

III.2.3.5. Kejenuhan Air Formasi (Sw)

Kejenuhan air didefinisikan sebagai fraksi dari pori suatu batuan yang mengandung
atau terisi oleh air. Setelah pemboran, formasi disekitar lubang bor terkontaminasi (flushed)
oleh mud filtrate. Bila hydrocarbon bearing formation yang terletak di dekat lubang bor
memiliki resistivitas rendah, maka sebaliknya di zona yang semakin menjauh menjauh dari
lubang bor mempunyai harga resistivitas yang semakin tinggi.

Pada kedalaman yang tidak dipengaruhi air filtrat (uninvaded zone) batuan
sepenuhnya berisi kandungan awal, sehingga pengukuran – pengukuran pada zona ini
dipengaruhi oleh air formasi, kandungan hidrokarbon dan karakteristik batuan itu sendiri.
Untuk menentukan jenis kandungan fluida pada zona tersebut dilakukan berdasarkan
perhitungan harga Sw, yang secara tidak langsung juga menunjukkan nilai SHC (kejenuhan
Hidrokarbon)

SHC = 1 – Sw

1/√Rt

Sw = -------------------------------------------------

Vlp ( 1 - Vlp/2 ) Ø

-------------------- + --------------

√Rlp √a.Rw

dimana, Rt = tahanan jenis formasi

Ø = porositas
Rw = tahanan jenis air formasi

a = 0,8 untuk batupasir

1 untuk batugamping

III.3. KORELASI DATA LOG

Menurut Koesoemadinata (1982), korelasi adalah suatu operasi dimana satu titik
dalam suatu penampang startigrafi disambungkan dengan titik – titik yang lain pada
penampang – penampang starigrafi lainnya dengan pengertian bahwa titik – titik tersebut
terdapat dalam bidang perlapisan yang sama.

Sedangkan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) disebutkan korelasi adalah penghubung
titik –titik kesamaan waktu atau penghubung satuan – satuan startigrafi dengan
mempertimbangkan kesamaan waktu.

Menurut Koesoedinata (1971) dikenal 2 metode korelasi yaitu :

1. Metode Organik

Metode Korelasi organik merupakan pekerjaan menghubungkan satuan – satuan stratigrafi


berdasarkan kandungan fosil dalam batuan (biasanya foraminifera plantonik). Yang biasa
digunakan sebagai marker dalam korelsi organik adalah asal munculnya suatu spesies dan
punahnya spesies lain. Zona puncak suatu spesies, fosil indeks, kesamaan derajat evolusi dan
lain-lain.

2. Metode Anorganik

Pada metode korelasi anorganik penghubungan satuan – satuan stratigrafi tidak didasarkan
pada kandungan organismenya (data organik). Beberapa data yang biasa dipakai sebagai dasr
korelasi antara lain :

a. Key Bed (lapisan penunjuk)

Lapisan ini menunjukkan suatu penyebaran lateral yang luas, mudah dikenal baik dari data
singkapan, serbuk bor, inti pemboran ataupun data log mekanik. Penyebaran vertikalnya
dapat tipis ataupun tebal . Lapisan yang dapat dijadikan sebagai key bed antara lain : abu
vulkanik, lapisan tipis batugamping terumbu, lapisan tipis serpih (shale break), lapisan
batubara / lignit.

b. Horison dengan karakteristik tertentu karena perubahan kimiawi dari massa air akibat
perubahan pada sirkulasi air samudra seperti zona – zona mineral tertentu,zona kimia
tertentu, suatu kick dalam kurva resistivitas, sifat radioaktivitas yang khusus dari suatu
lapisan yang tipis.

c. Korelasi dengan cara meneruskan bidang refleksi pada penampang seismik.

d. Korelasi atas dasar persamaan posisi stratigrafi batuan

e. Korelasi atas dasar aspek fisik/litologis. Metode korelasi ini merupakan metode yang
sangat kasar dan hanya akurat diterapkan pada korelasi jarak pendek.

f. Korelasi atas dasar horison siluman (panthom horizon)

g. Korelasi atas dasar maximum flooding surface, maximum flooding surface merupakan suatu
permukaan lapisan yang lebih tua dari lapisan yang lebih muda yang menunjukkan adanya
penigkatan kedalaman air secara tiba – tiba.

Sebagian besar pekerjaan korelasi pada industri minyak dan gas bumi menggunakan data
log mekanik. Tipe – tipe log yang biasa digunkan antara lain log penafsiran litologi (Gamma
Ray,SP) yang dikombinasikan dengan log resistivitas atau log porositas (densitas,netron,dan
sonik). Pemilihan tipe log unutk korelasi tergantung pada kondisi geologi yang bersangkutan.
Kombinasi log SP dan resistivitas biasa digunakan pada cekungan silisiklastik sementara
untuk cekungan karbonat digunakan log GR plus resistivitas atau GR plus netron.

Langkah – langkah dalam korelasi log mekanik :

1. Menentukan horison korelasi dengan cara membandingkan log mekanik dari suatu sumur
tertentu terhadap sumur yang lain dan mencari bentuk – bentuk atau pola yang sama atau
hampir sama.
2. Menentukan lapisan penunjuk (marker bed) untuk setiap log yang khas bentuknya yang
yakin akan kesamaan waktunya.

3. Menentukan rekaman log dengan lintasan yang telah ditentukan digantung pada bidang
datum (datum plane), dan korelasi dilakukan lapisan demi lapisan.

4. Pemilihan sumur – sumur yang akan digunakan dalam korelasi diusahakan agar bersifat
representatif terutama untuk mengetahui penyebaran batuan secara lateral.

Korelasi dibagi menjadi dua yaitu korelasi struktur dan korelasi stratigrafi. Korelasi
struktur dibuat dengan cara menempatkan lapisan pada keadaan yang sekarang, sehingga
akan memberikan gambaran posisi batuan setelah mengalami aktivitas tektonik (misalnya
struktur sesar, kekar, dan lipatan), sedangkan korelasi stratigrafi dibuat dengan cara
menempatkan atau menggunakan suatu lapisan penunjuk (marker bed) pada kedudukan yang
sama.

III.4. PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN

Pemetaan bawah permukaan dapat dikatakan sebagai pekerjan – pekerjaan yang


dilaksanakan dengan menggunakan metode khusus untuk merekam informasi geologi bawah
permukaan yang hasil rekamannya (data) kemudian diolah dan ditafsirkan sehingga kita
mendapatkan gambaran yang kebih jelas tentang geologi bawah permukaan.

Pada peta permukan hanya berhadapan dengan satu bidang permukaan, yang dapat
dipetakan adalah sifat – sifat geologi, keadaan geologi, dan topografi. Sedangkan pada peta
bawah permukaan kita berhadapan dengan sejumlah berbagai macam bidang permukaan
ataupun interval – interval anatar dua bidang permukaan tersebut. Bidang permukaan ini
biasanya adalah bidang perlapisan, ketidakselarasan, patahan, dll.

Peta bawah permukaan adalah peta yang menggambarkan bentuk maupun kondisi
geologi bawah permukaan, yang bersifat kuantitatif ( menggambarkan suatu garis yang
menghubungkan titik – titik yang bernilai sama atau garis iso/kontur) dan dinamis (yaitu
kebenaran peta tidak dapat dinilai atas kebenaran metode tetapi atas data yang ada, dan
sewaktu – waktu akan dapat berubah jika ditemukan data – data yang baru).
III.5.1. Peta Kontur Struktur (Stuctural Countoured Map)

Peta kontur struktur merupakan peta yang menunjukkan kedalaman dari zona lapisan
batuan yang sama, dibuat berdasarkan data – data yang diperoleh dari sumur pemboran
eksplorasi, baik selama atau setelah dilakukan pemboran. Peta ini memperlihatkan kondisi
struktur puncak (top) dan dasar (base) dari zona batupasir. Peta ini dibuat berdasarkan data –
data korelasi yang dilakukan pada setiap sumur – sumur pemboran.

III4..2. Peta Fasies (Facies Map)

Peta fasies adalah peta yang menggambarkan suatu perubahan secara litologi dan
paleontologi yang terjadi pada saat pengendapan yang menunjukkan kesamaan litologi dan
paleontologi. Di lingkungan delta, dalam peta fasies akan mencerminkan penyebaran lateral
dari setiap sekuen batupasir yang terbentuk pada suatu zona reservoar, antar lain berupa
sekuen chanel atau sekuen bar, yang juga akan mencerminkan jenis lingkungan pengendapan
dari setiap sekuen batupasir tersebut.

III.4.3. Peta Ketebalan Total Batupasir (Gross Sand Map)

Gross sand map adalah peta yang menggambarkan penyebaran batupasir dengan cara
menghubungkan titik- titik yang mempunyai ketebalan yang sama, dan dibuat berdasarkan
data ketebalan batupasir yang ada pada setiap sumur pemboran. Ketebalan batupasir
diperoleh dari ketebalan zona batupasir dari semua kurva log yang ada.

Dalam penarikan garis kontur untuk peta ini harus memperhatikan beberapa aspek,
antara lain :

1. Geologi regional daerah yang dipetakan, untuk menentukan lingkungan pengendapan


secara regional batupasir tersebut.

2. Karakteristik kurva log mekanik dari sumur-sumur pemboran yang menunjukkan variasi
dan perkembangan batupasir yang dipetakan.
3. Kandungan fluida yang ada tiap sumur yaitu pada zona-zona reservoir yang dipetakan
apakah tubuh batupasirnya saling berhubungan atau tidak.

III.4.4. Peta Reservoar (Net Sand Map)

Peta ini menggambarkan ketebalan batupasir yang terisi hidrokarbon (minyak atau
gas), yang ketebalannya diperoleh dari analisa petrofisik batuan pada zona batupasir.
Ketebalan ini didapat setelah dikoreksi terhadap kandungan shale pada tubuh batupasir
tersebut.

III.4.5. Peta Net Pay

Peta net pay dibuat berdasarkan batas – batas penyebaran fluida yang diplot dalam
peta netsand dan ditampalkan terhadap peta kontur struktur. Peta ini menggambarkan
penyebaran dan variasi ketebalan dari hidrokarbon yang terperangkap dalam reservoar. Batas
– batas penyebarannya adalah dengan menentukan daerah – daerah gas atau oil – water
contact dan peta ini selanjutnya akn digunakan sebagai dasar untuk perhitungan cadangan.

III.5. PERHITUNGAN CADANGAN HIDROKARBON SECARA VOLUMETRIK

Pengertian cadangan adalah jumlah volume minyak dan gas bumi di dalam reservoar.
Cadangan mempunyai dua pengertian yaitu cadangan terhitung dan nyata terdapat di dalam
reservoar, dapat berupa oil in place (OIP) atau gas in place (GIP), serta cadangan yang
mempunyai nilai ekonomis dalam arti dapat diproduksi secara ekonomis (disebut sebagai
reserve). Perbandingan antara OIP dan reserve disebut recovery factor (RF).

Klasifikasi cadangan hidrokarbon , berdasarkan ats derajat ketidak pastian dari


perhitungannya, menurut SPE (1988) cadangan minyak bumi dapat dibedakan menjadi tiga ,
yaitu :

1. Cadangan terbukti (proved reserves)


Cadangan terbukti adalah volume minyak bumi yang diperkirakan dapat diperoleh dari
reservoar yang ada dengan tingkat keyakinan yang tinggi pada kondisi ekonomi dan potensi
yang sedanag berlangsung.

2. Cadangan tereka (probable reserves)

Cadangan tereka adalah cadangan minyak bumi dengan tingkat keyakinanya lebih rendah
dari cadangan terbukti. Cadangan ini termasuk cadangan yang didasarkan dari operasi yang
sedang berlangsung.

3. Cadangan terkira (possible reserves)

Cadangan terkira adalah cadangan minyak bumi yang memiliki derajat kepastian yang
paling rendah dan hanya dapat diperkirakan dengan tingkat kepercayaan yang rendah.

Cadangan hidrokarbon merupakan fungsi dari waktu sehingga estimasinya harus


dilakukan secara periodik. Ketetapan estimasi tergantung paad jumlah dan kualitas data yang
digunakan. Untuk estimasi cadangan hidrokarbon terdapt lima metode estimasi cadangan
yang sering digunakan (Campbell,1973), antara lain :

1. Estimasi dengan cara volume (volumetric estimation)

2. Kesetimbangan bahan (material balance)

3. Kurva penurunan produksi (production decline kurve)

4. Perbandingan dengan cadangan pada reservoar lain yang mempunyai kemiripan kondisi
geologi dan kondisi reservoar yang lain.

5. Perbandingan dengan data dari formasi yang sama pada lapangan yang berbeda

Metode volumetrik lebih ditekankan pada pendekatan data – data geologi bawah
permukaan. Metode ini lmerupakan metode yang menghitung cadangan ditempat hidrokarbon
pada kondisi asli reservoar. Metode material balance dipakai untuk menguji kebenaran
metode volumetrik, hal ini dilakukan karena kurangnya informasi geologi sehingga penting
untuk mengukur volume reservoar secara keseluruhan. Estimasi cadangan hidrokarbon
dengan cara volumetrik memerlukan parameter – parameter tertentu meliputi volume
reservoar yang mengandung hidrokarbon, porositas batuan, presentase pori batuanyang terisi
oleh hidrokarbon dan berapa persen hidrokarbon yang dapt diambil.

Untuk menetukan initial in place dengan metode volumetrik, terlebih dahulu dicari
volume bulk (VB) dari reservoar yang ditempati oleh fluida. Untuk itu diperlukan data log
unutk mengetahui ketebalan formasi produktif. Kalkulasi secara volumetrik didasarkan
terutama pada peta bawah permukaan, data log, data core, dan data DST (drill stem test)

Adapun parameter yang diperlukan untuk perhitungan besarnya cadangan minyak dan gas
bumi secara volumetrik adalah :

 Porositas (Ø)

 Kejenuhan air (Sw)

 Ketebalan lapisan batuan resrvoar

 Luas batuan reservoar

 Formation volume factor (FVF)

Peta yang diperlukan dalam perhitungan cadangan antara lain peta kontur struktur top
lapisan, gross sand map ( peta ketebalan total batupasir), peta net sand (peta ketebalan total
pasir bersih) dan peta net pay . Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menghitung VB
reservoar dari net pay isopach map, yaitu metode piramidal, metode trapezoidal dan metode
grafis (Heysse,1991). Setelah VB didapat selanjutnya menghitung initial oil in place.

Pada metode grafis, luas masing – masing daerah yang dibatasi oleh kontur peta
isopach diplot versus ketebalan yang dinyatakan oleh kontur tersebut. VB reservoar adalah
luas areal dibawah kurva (acre feet)
BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Studi geologi regional daerah penelitian, yaitu dengan melakukan kaji pustaka yang
menyangkut kondisi geologi daerah penelitian.

2. Pembagian tubuh batupasir serta korelasi pada zona C018B dan zona C020A berdasarkan
data – data log sumur pemboran di lapangan Badak..

3. Pembuatan peta facies zona C018B.

4. Pembuatan peta kontur struktur top sand zona C018B.

5. Pembuatan peta net sand zona C018B

6. Pembuatan peta net pay zona C018B.

7. Perhitungan cadangan (volumetrik), berhubung dengan keterbatasan waktu penelitian,


maka perhitungan ini hanya dilakukan perhitungan volume bulk dari zona C018B
berdasarakan dari peta reservoir yang dibuat.
Berikut ini akan dijelaskan lebih detail mengenai analisa dan hasil pembahasan untuk
setiap langkah penelitian .

IV.1. Korelasi Reservoar Zona C018B dan Zona C020A

Sebelum melakukan pemetaan bawah permukaan yang harus dilakukan pertama kali
yaitu korelasi detail dari tiap – tiap zona yang kan dipetakan. Data log yang dipakai untuk
korelasi yaitu data log GR, log SP, log resistivitas, log densitas, log porositas, dan log sonic.

Banyaknya sumur yang dikorelasikan pada zona C018B dan zona C020A yaitu 35
sumur yang terletak pada lapangan Badak pada bagian selatan. Yang dijadikan sebagai dasar
atau patokan dalam korelasi yaitu sumur 191 di lapangan Badak. Ke 35 sumur tersebut
adalah:

- Bdk 0070 - Bdk 0620 - Bdk 1020 - Bdk 1700

- Bdk 0210 - Bdk 0640 - Bdk 1030 - Bdk 1720

- Bdk 0220 - Bdk 0680 - Bdk 1040 - Bdk 1760

- Bdk 0300 - Bdk 0750 - Bdk 1080 - Bdk 1880

- Bdk 0390 - Bdk 0780 - Bdk 1100 - Bdk 1910

- Bdk 0460 - Bdk 0790 - Bdk 1170

- Bdk 0490 - Bdk 0830 - Bdk 1290

- Bdk 0500 - Bdk 0850 - Bdk 1470

- Bdk 0540 - Bdk 0920 - Bdk 1600

- Bdk 0560 - Bdk 0980 - Bdk 1660

Secara umum pada bagian bawah dan bagian atas dari zona tersebut terdapat lapisan
batubara yang memiliki karakteristik pola log yang khas dengan penyebaran lateral relatif
luas, sehingga lapisan batubara tersebut dapat dipakai sebagai marker stratigrafi (datum C017
TZ dan C020 TZ), sehingga lapisan inilah yang dipakai sebagai horison acuan atau bidang
datum untuk pemetaan kontur struktur pada zona C018B didaera penelitian. Korelasi
dilakukan dengan menghubungkan tubuh – tubuh batupasir dengan pola yang sama menjadi
satu tubuh reservoar.

IV.2. Analisa Data Secara Kualitatif

IV.2.1. Lingkungan Pengendapan

Pada zona C018B, berdasarkan data rekaman lognya dapat disimpulkan bahwa daerah
penelitian diendapkan pada lingkungan delta plain dan upper delta front, yang dibuktikan
oleh karakteristik bentuk kurva log yang menunjukkan :

1. Terdapatnya lapisan tipis batubara pada bagian atas dan bawah zona C018B.

2. Banyak ditemukan sisipan serpih atau batulempung.

IV.2.2.. Interpretasi Litologi

Log yang dipakai dalam melakukan interpretasi litologi adalah log Gamma Ray, log
SP, dan log sonic. Pertama – tama yang dilakukan adalah menetukan pasir dan serpih
berdasarkan kenampakan pola kurva lognya, dimana log yang dipakai adalah log GR dan log
SP, untuk batupasir dicirikan oleh log GR dan log SP yang defleksi ke arah kiri dengan
melihat kenampakan log soniknya yang relatif stabil di tengah, sedangkan batubara
ditunjukkan dengan pola GR dan sonic yang defleksinya ke kiri sedangkan log SP
defleksinya ke kanan. Serpih ditunjukkan dengan pola log GR, Log SP, dan log sonic ke
kanan.

IV.2.3. Menentukan Kandungan Fluida

Penentuan adanya hidrokarbon dapat dilihat dari pola – pola kurva lognya, dimana
setelah ditemukan lapisan batupasir dari log GR, Log SP, maupun log sonic. Setelah
ditentukan lapisan batupasirnya kemudian mengamati kombinasi kurva log densitas dan log
neutron. Adanya hidrokarbon akan menyebabkan pembacaan log densitas menjadi menurun
karena minyak dan gas memiliki densitas lebih kecil bila dibandingkan dengan air,
sedangkan pola log neutron kehadiran hidrokarbon menyebabkan pembacaan log menjadi
menurun, sehingga akan terjadi cross over antara keduanya yang dapat menandakan adanya
kehadiran hidrokarbon dimana crossover yang besar menandakan gas sedangkan minyak
menengah dan air lebih kecil akan tetapi selain itu perlu juga dilihat pembacaan log
resistivitasnya dimana kehadiran hidrokarbon akan menunjukkan resistivitas yang rendah,
sehingga hal tersebut dapat pula dijadikan acuan untuk menentukan batas – batas contactnya

Zona C018B adalah salah satu zona batupasir yang merupakan salah satu reservoir
baru (new pool) dari pengeboran sumur Badak 191 dengan menghasilkan minyak ± 323
bopd, solution gas ± 1080 mcfd dan air ± 243 bwpd, dilihat dari kenampakan log densitas,
log soniknya, log resistivitasnya besar dan juga dari berdasarkan data perhitungan petrofisika
(lumping) dengan ketebalan net sand 15,5 ft dan net pay 12,5 ft diperkirakan bagian bawah
dari batupasir ini merupakan kontak antara minyak dan air. Sedangkan pada sumur Bdk 0210,
Bdk 0220, Bdk 0300, Bdk 0390, Bdk 0500, Bdk 1020, Bdk 1470, dan Bdk 1600 tidak ada
kandungan hidrokarbonnya (WET) walaupun didalam perhitungan petrofisik (lumping)
terdapat ketebalan net paynya, tetapi dilihat dari kurva lognya tidak menunjukkan adanya
suatu kandungan hidrokarbon yaitu dimana log resistivitasnya rendah dan tidak menunjukkan
crossover antara log densitas dan log neutron.

IV.3. Analisa Data Log Kuantitatif

Dalam analisa data log secara kuantitatif, dilakukan perhitungan parameter petrofisik
dari reservoir yaitu perhitungan porositas, permeabilitas, dan kejenuhan air yang nantinya
parameter – parameter tersebut dipakai dalam perhitungan cadangan.

Dalam hal ini perhitungan parameter – parameter tersebut menggunakan software yang telah
tersedia di VICO Indonesia yaitu petroworks, dimana perhitungan tersebut menggunakan cut
off yang digunakan oleh VICO Indonesia. Yaitu sebagai berikut:

- Sw ( Water Saturation) = 0,650

- Vcl ( Shale Volume ) = 0,280

- Porosity = 0,070 – 0,500

Dengan hasil data terlampir, tabel 1


IV.4. Pemetaan Bawah Permukaan

Peta bawah permukaan yang dibuat meliputi peta fasies, peta kontur struktur, peta net
sand, dan peta reservoar sand.

IV.4.1. Peta Fasies

Berdasarkan pada bentuk –bentuk kurva log GR dapat ditentukan lingkungan


pengendapan dari zona C018B pada masing –masing sumur, apakah itu adalah channel atau
yang lainnya, kemudian berdasarkan pada analysa tersebut dibuat juga peta fasies yang akan
digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta – peta selanjutnya.

Analisa fasies pengendapan daerah telitian berdasarkan peta ini adalah channel, bar,
dan creavase splay. Pada daerah telitian terdapat tiga chanel utama dengan terdapatnya
creavase splay (limpahan banjir) disekitar tubuh channel dengan bentuk yang relatif lonjong
dan bar yang berada diantara channel – channel tersebut.

Pemisahan atau penyatuan jaringan alur batupasir yang menyusun daerah ini ditentukan
berdasarkan :

1. Berkembang atau tidaknya batupasir di suatu sumur pada zona tersebut.

2. Kemiripan bentuk kurva log listrik yang relatif mencerminkan karakteristik litologi di
lapangan.

3. Korelasi batupasir dengan tebal yang relatif maksimum merupakan sumbu alur utama
pengendapan batupasir dengan penyebaran lateral.

4. Karakteristik fasies berdasarkan rekaman log listrik.

IV.4.2. Kontur Struktur

Peta kontur struktur pada zona C018B dibuat dengan menggunakan batas atas (top
sand) dari batupasir pada masing – masing sumur yang dikorelasikan pada lapangan Badak.
Peta ini menggambarkan kedalaman puncak batupasir pada masing – masing zona, dimana
caranya adalah dengan menghubungkan titik – titik kedalaman top sand yang sama diukur
pada TVDSS, dengan skala grafis 1 : 10.000 dan interval kontur 50 ft. Data kedudukan top
dan bottom zona batupasir C018B disetiap sumur dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kedalaman top sand dan bottom sand zona C018B

No Well UTM - X UTM -Y TOP TVD BOT TVD TOP TVDSS BOT TVDSS

(ft) (ft) (ft) (ft)

1 Bdk 0070 544737.9 9960550 6519.21 6522.96 -6393.62 -6397.34

2 Bdk 0210 548817.3 9959523 6464.91 6486.65 -6437.47 -6459.18

3 Bdk 0220 548968.5 9959594 6618.51 6634.58 -6540.8 -6555.94

4 Bdk 0300 547736.1 9963600 6331 6340.52 -5987.4 -5995.45

5 Bdk 0390 548053.1 9960154 6328.8 6334.33 -6297.33 -6302.85

6 Bdk 0460 547519.1 9958542 6492.92 6500.28 -6464.26 -6471.61

7 Bdk 0490 547461.9 9957621 6681.08 6715.13 -6652.92 -6686.94

8 Bdk 0500 546744.5 9956678 6800.69 6812.13 -6759.2 -6770.64

9 Bdk 0540 546951.9 9958760 6537.24 6543.38 -6478.13 -6484.27

10 Bdk 0560 548053.4 9958078 6577.04 6597.18 -6554.82 -6574.92

11 Bdk 0620 549132.2 9958762 6759.82 6771.39 -6732.22 -6743.77

12 Bdk 0640 544350 9960934 6537.58 6540.96 -6451.92 -6455.29

13 Bdk 0680 547947.1 9956753 6765.69 6771.83 -6735.45 -6741.59

14 Bdk 0750 545959.6 9957345 6676.76 6687.13 -6564.57 -6574.94

15 Bdk 0780 545795.8 9960110 6456.34 6464.64 -6345.29 -6353.55

16 Bdk 0790 549834 9959510 6888.51 6893.39 -6860.7 -6865.57

17 Bdk 0830 546473.5 9959118 6562.17 6564.91 -6437.96 -6440.69

18 Bdk 0850 544513.9 9957881 6783.14 6785.22 -6625.74 -6627.82

19 Bdk 0920 548172.8 9958851 6446.56 6451.48 -6423.65 -6428.57

20 Bdk 0980 548365.5 9958756 6523.92 6551.73 -6493.47 -6521.27

21 Bdk 1020 546143.4 9959488 6617.53 6621.84 -6451.13 -6455.44

22 Bdk 1030 547492.2 9959285 6398.4 6498.97 -6359.65 -6370.21


23 Bdk 1040 547250.8 9956998 6724.16 6724.74 -6687.55 -6688.13

24 Bdk 1080 545237 9960485 6489.74 6492.83 -6396.84 -6399.93

25 Bdk 1100 546565.4 9960059 6441.9 6450.54 -6308.3 -6316.9

26 Bdk 1170 546089.8 9960077 6487.52 6493.58 -6346.77 -6352.83

27 Bdk 1290 548539.3 9958546 6589.01 6603.48 -6554.18 -6568.64

28 Bdk 1470 548186.4 9959666 6353.9 6360.86 -6322.04 -6328.99

29 Bdk 1600 548375.1 9959075 6462.95 6470.75 -6435.2 -6442.99

30 Bdk 1660 547922.6 9960878 6149.81 6154.61 -6117.44 -6122.24

31 Bdk 1700 547787.9 9957308 6649.09 6653.53 -6610.28 -6614.71

32 Bdk 1720 548381.2 9959332 6433.38 6435.82 -6393.69 -6396.13

33 Bdk1760 548018.6 9958469 6532.9 6533.19 -6504.8 -6505.1

34 Bdk 1880 547703 9958403 6581.61 6585.88 -6484.6 -6488.87

35 Bdk 1910 548590.9 9959106 6629.35 6647.63 -6473.65 -6491.93

Berdasarkan pola kontur yang diteliti diketahui bahwa struktur geologi yang
berkembang di zona penelitian adalah struktur perlipatan antiklin dengan arah relatif timur
laut – barat laut, yang didapat dari hasil korelasi antar sumur – sumur dilapangan badak.

IV.4.3. Peta net sand ( net sand isopach)

Untuk membuat peta net sand maka sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu harga
ketebalan batupasir bersihnya, untuk mendapatkan harga ketebalan pasir bersih maka
dilakukan proses lumping, yaitu perhitungan dengan menggunakan komputer untuk
didapatkan data petrofisik zona C018B yang meliputi porositas, kejenuhan air, dan volume
batulempung, dimana hasil perhitungan tersebut didapat dari data log untuk kedalaman top
sand dan bottom sand pada masing – masing zona. Harga cut off yang sudah ditentukan oleh
pihak VICO Indonesia untuk lapangan Badak adalah meliputi :

- Sw = 0,650

- Vcl = 0,28
- Porosity = 0,07 – 0,5

Besarnya ketebalan bersih batupasir pada zona C018B setelah dikoreksi terhadap
kandungan serpih atau lempung, dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Ketebalan net sand dan net pay zona C018B

No Well Net sand (ft) Net pay (ft)

1 Bdk 0070 0 0

2 Bdk 0210 19,5 3.5

3 Bdk 0220 15,14 12.02

4 Bdk 0300 8,05 7.85

5 Bdk 0390 4,46 1.5

6 Bdk 0460 - -

7 bdk 0490 - -

8 Bdk 0500 10.44 3.94

9 Bdk 0540 6,14 0

10 Bdk 0560 - -

11 Bdk 0620 - -

12 Bdk 0640 - -

13 Bdk 0680 - -

14 Bdk 0750 8,50 0

15 Bdk 0780 7,50 0

16 Bdk 0790 2,50 0

17 Bdk 0830 - -

18 bdk 0850 - -

19 Bdk 0920 - -

20 Bdk 0980 26,94 7.5

21 Bdk 1020 - -

22 Bdk1030 5 0

23 Bdk 1040 - -
24 Bdk 1080 - -

25 Bdk 1100 - -

26 Bdk 1170 - -

27 Bdk 1290 - -

28 Bdk 1470 6.96 4.98

29 Bdk 1600 3.25 2

30 Bdk 1660 2.5 0

31 Bdk 1700 3.47 1.5

32 Bdk 1720 0 0

33 Bdk 1760 0.29 0

34 Bdk 1880 1 0

35 Bdk 1910 15.5 12.5

35 Bdk 1910 15.5 12.5

Ketebalan batupasir disetiap sumur untuk zona batupasir C018B didaerah penelitian
menunjukkan bahwa :

1. Nilai ketebalan pasir pada rangkaian sumur – sumur dari arah timur ke barat daya semakin
menurun.

2. Pada sumur – sumur dibagian timur mempunyai ketebalan yang lebiht besar dibanding
ketebalan sumur- sumur disekitarnya.

Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa alur batupasir makin menipis ke arah barat
daya, yang mengindikasikan bahwa energi sedimentasi ke arah tersebut semakin berkurang

IV.4.5. Peta net oil pay

Peta net pay dibuat untuk mengetahui geometri penyebaran dari reservoir yang
mengandung hidrocarbon. Untuk hal tersebut diperlukan peta kontur struktur puncak lapisan
batupasir pada masing – masing zona yang kemudian ditampalkan dengan peta net sand.
Setelah ditampalkan antara peta kontur struktur top sand dan peta net sand, ditentukan batas
OWC ( Oil Water Contact) untuk tank yang bersangkutan. Untuk tank zona telitian berada
pada kedalaman 6486 ft TVDSS pada sumur Bdk 191. Adanya OWC dapat diperkirakan dari
data lognya juga dari hasil perhitungan petrofisik (lumping), dimana pada data lumping nilai
net sand dari Bdk 191 adalah 15.5 sedangkan harga net paynya yaitu 12.5, sehingga dapat
diketahui bahwa harga waternya 3.

IV.5. Perhitungan VB ( Volume Bulk dari C018B Reservoir)

Adanya kandungan hidrokarbon harus dibuktikan dengan analisa kuantitatif, terutama


untuk menentukan porositas dan kejenuhan air (Sw) serta kejenuhan hidrokarbon berdasarkan
analisa petrofisika. Harga Sw dapat digunakan sebagai patokan untuk menetukan ada
tidaknya interval lapisan batuan yang mengandung hidrokarbon. Sebenarnya tidak ada
harga Sw yang pasti untuk menentukan kandungan hidrokarbon karena setiap lapangan
minyak mempunyai karakteristik batuan yang mungkin berbeda harga SW-nya terhadap
lapangan lainnya. Melihat kenyataan tersebut maka sangat sulit untuk mengambil batasan
yang jelas dari kisaran Sw.

Perhitungan volume reservoar dilakukan dengan menggunakan peta ketebalan gas


produktif ( net gas pay map). Pada penelitian kali ini, penulis hanya melakukan perhitungan
VB (Volume Bulk) secara grafis berdasrkan pada peta reservoir yang dibuat, dengan
berdasarkan data ketebalan, oil water contact, dan luas dari peta reservoir dengan
menggunakan software (Zmap+), hasil yang diperoleh adalah sbb

Tabel 4. Hasil perhitungan volume reservoar pada zona batupasir C018B (VB)

No. Tank Positive Area (acree) Positive Volume (acree ft)

1 1 20.9 215.00

Hasil perhitungan VB ini selanjutnya akan digunakan untuk perhitungan volumetric


cadangan, baik untuk menghitung initial oil in place (IOIP) ataupun initial gas in place (IGIP)
pada tahap – tahap berikutnya.
BAB V. KESIMPULAN

Hasil analisa data log sumur di lapangan Badak yang menembus zona reservoar
C018B menghasilkan beberapa peta bawah permukaan yang meliputi peta fasies, peta kontur
struktur top sand, , net sand, dan net pay.

Pada peta fasies yang ada lingkungan pengendapan dari batupasir C018B adalah
channel, bar dan creavase splay. Diantara alur –alur utama atau channel sand terdapat
endapan limpahan banjir (creavase splay) yang dijumpai di beberapa tempat dengan lebar
bervariasi dan penyebaran lateral berbentuk lonjong.

Pada peta penampang kontur struktur daerah penelitian, menunjukkan bahwa untuk
zona C018B merupakan suatu struktur perlipatan yaitu perlipatan antiklin dengan sumbu arah
relatif timur laut – barat laut.

Sedangkan dari data korelasi stratigrafi secara keseluruhan menunjukkan semakin


berkurangnya kandungan pasir ke arah barat daya daerah penelitian dan semakin bertambah
kandungan lempung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arah pengendapan sedimen pada
zona C018B adalah ke arah barat daya dengan energi semakin berkurang

Dari interpretasi petrofisik dan data lognya kandungan fluida pada batupasir zona
C018B sumur Bdk 191 adalah minyak dan air, sedangkan pada sumur lainnya yang dikorelasi
tidak terdapat adanya kandungan hidrokarbon.

Jadi dapat disimpulkan bahwa minyak yang terkandung pada zona C018B yang
terdapat pada sumur Bdk 191 menempati area seluas 20.9 acree dan VB (volume bulk)
sebesar 215.00 acree feet.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, GP., 1987, Deltaic Sediment in The Modern and Miocene Mahakam Deta,

Total Exploration Laboratory, Pessac, Perancis

Harsono, A., 1994, Pengantar Evaluasi Log, 6th rev., Sclumberger Data Services,

Jakarta

Kosoemadinata, R. P., 1980, Geologi Minyak dan Gas Bumi, edisi ke-2, Institut

Teknologi Bandung, Bandung

Kosoemadinata, R. P., 1974, Teknik Penyelidikan Geologi Bawah Permukaan,

Pedoman Praktikum Geologi Minyak dan Gas Bumi, Institut Teknologi

Bandung, Bandung

Kutai Basin Study, 19

Teori, Konsep dan Metodologi Teknik Permanent Scatterer (PS-INSAR) Didalam


Pemetaan Deformasi Permukaan Bumi
Rate This

1. Sejarah Perkembangan Metode PS-InSAR


Perkembangan PS-InSAR didahului dengan penggunaan InSAR (Interferometric Synthetic
Aperture Radar) pada awal tahun 90-an untuk pengukuran deformasi pada permukaan bumi.
Kemudian PS-InSAR pertama kali dikembangkan dan dipatenkan oleh para peneliti bernama
Alessandro Ferretti, Claudio Prati, Fabio Rocca dari Dipartimento di Elettronica e
Informazione-Politecnico Milano, Italia (Ferretti et al., 1999) untuk studi pengukuran
deformasi. Pengembangan metode Permanent Scatterer InSAR didasarkan atas teknik
DInSAR (Differential InSAR) dimana pada prinsip teknik ini bersifat unik, mencakup daerah
liputan yang luas untuk pelaksanaan aplikasi pengamatan dan pengukuran deformasi. Karena
teknik DInSAR menggunakan citra radar multitemporal maka akan timbul temporal
decorrelation dan atmospheric dishomogeneities yang mempengaruhi kualitas hasil
inteferogram. Oleh sebab itu, dikembangkanlah teknik Permanent Scatterer yang dapat
mengeliminasi efek tersebut dan meningkatkan akurasi DEM hingga fraksi dibawah sub-
meter (bahkan hingga akurasi hingga milimeter per tahun dalam pengamatan deformasi).
Adapun urutan historis perkembangan metode PS-InSAR berdasarkan jurnal para peneliti
POLIMI yang telah direview, sebagai berikut:

2. Tujuan Penerapan Metode PS-InSAR


Tujuan dari penerapan metode PS-InSAR pada awal penelitian (Ferretti, 1999) adalah
melakukan identifikasi pada single coherent pixels yang dimulai dari beberapa citra SAR
yang terpisah oleh baseline yang besar dalam rangka mendapatkan akurasi DEM hingga sub-
meter dan pergerakan permukaan bumi pada area koheren rendah berdasarkan basis piksel-
piksel. Dimana secara ringkasnya, bertujuan mendeteksi dan mengamati pergeseran di
kawasan pemukiman dengan akurasi hingga milimeter per tahunnya.

3. Komparasi Metode DInSAR dan PS-InSAR


Sebagai perbandingan penerapan metode DInSAR dan PS-InSAR (Ferreti et al, 2001; Adam
et al, 2003; Panagiotis et al, 2008) sebagai berikut:
a. Metode DInSAR
1. Menghasilkan tingkat akurasi sub meter namun akan meningkat hingga fraksi milimeter
per tahun apabila digunakan kombinasi teknik pengukuran geodesi lainnya (GPS dan Sipat
Datar).
2. Menggunakan pasangan data yang lebih sedikit dibandingkan teknik PS-InSAR.
Penggunaan pasangan citra radar pada teknik ini antara lain: 15 pasangan citra SAR (Ony,
2008), 10 pasangan citra SAR (Baek J. et al., 2008), 4 pasangan citra SAR (Fang M. et al.,
2008) dan lain sebagainya.
3. Lebih mudah dalam melakukan co-registration karena hanya proses penyatuan sistem
koordinat antar citra dalam satu pasangan.
4. Inteferogram yang dihasilkan dalam bentuk fringe dilihat secara spasial (konsep raster)
dimana dilakukan penskalaan untuk mengetahui laju deformasinya berdasarkan skala
ketelitiannya.

b. Metode PS-InSAR
1. Menghasilkan tingkat akurasi hingga milimeter per tahun dari pengolahan citra radar
dengan metode PS-InSAR dan biasanya teknik pengukuran geodesi lainnya digunakan
sebagai validasi akhir saja.
2. Menggunakan pasangan data SAR yang lebih banyak dalam rentang waktu maksimal 7
tahun sejak dilakukannya akuisisi data pada daerah penelitian (Worawattanamateekul J. et al.,
2003). Penggunaan pasangan citra radar pada teknik ini antara lain: 17 pasangan citra SAR
dari 28 pasang yang direncanakan sehingga mengalami kesulitan dalam melakukan
perhitungan estimasi PS-InSAR (Worawattanamateekul J. et al., 2003), 33 pasangan citra
SAR (Ferreti A. et al., 1999), 20 pasangan citra SAR (Elias P. et al., 2009) dan lain
sebagainya.
3. Lebih sulit melakukan co-registration karena selain proses co-registrasi umumnya juga
harus dilakukan tes homogenitas dalam rangka memisahkan dan menemukan pantulan yang
diakibatkan deformasi dan aktifitas atmosfer.
4. Inteferogram yang dihasilkan dalam bentuk fringe kemudian ditransformasikan dalam
konsep vektor untuk kemudian dilakukan analisis numerik menggunakan metode hitung
perataan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan memberikan bobot terhadap piksel yang
berkualitas dalam konsep irregular grid.
4. Metodologi Pemrosesan PS-InSAR
Untuk tahapan pengolahan PS-InSAR sebenarnya hanya pengembangan dari dasar-dasar
pengolahan InSAR dan DInSAR dimana tahapan ringkas pemrosesan metode PS-InSAR
(Adam N., 2003; Ferretti., 2001 et al) , sebagai berikut:
a. Data Input
Proses pertama adalah dengan pemilihan daerah penelitian dimana pasangan citra radar
(SLC) yang memenuhi syarat koherensi digunakan. Dimana perlu diperhatikan kondisi
spektralnya karena kualitas spektral ini akan mempengaruhi inteferogram yang akan
dihasilkan. Untuk kebutuhan data dalam metode PS-InSAR adalah adanya kebutuhan data
lebih (penggunaan citra radar yang rapat secara temporal dan tidak melebihi 7 tahun dari
akuisisi data awalnya) (Woeawattanamateek J. et al., 2003).

b. InSAR Processing
Pada tahap ini dilakukan pemilihan citra master dan slave dengan parameternya adalah efektif
baseline, tanggal akuisisi, frekuensi centroid Doppler dan kondisi iklim pada saat akuisisi
data. Kondisi atmosfer diperlukan untuk mengidentifikasi apabila terjadi sinyal atmosfer
yang kuat didalam citra radar tersebut. Selain itu, didlam pemrosesan data InSAR juga
diperlukan paramater geometri pengamatan seperti height-to-phase conversion factor, the
flat-earth phase, the range distance dan the look angle yang akan diperhitungkan juga.
c. DInSAR Processing
Selama pemrosesan DInSAR, dilakukan simulasi parameter-parameter geometri pengamatan.
Dimana DEM dan Precise Orbit digunakan sebagai data masukan sehingga fasa inteferogram
dapat dimodelkan secara teliti. Kedua hubungan sistem koordinat antara citra master dan
slave diperoleh dari titik ikat bersama dipermukaan bumi. Sehingga pada tahap DInSAR juga
akan dilakukan proses co-registration pada kedua citra tersebut.
d. Calibration
Pada metode PS-InSAR mulai diperkenalkan konsep kalibrasi dimana dilakukan analisis
perilaku temporal backscattering berbasis piksel dengan memperhatikan bobot intensitas
sebarannya. Dimana kesalahan yang muncul akibat adanya anttena pattern loss dan range
spreading loss dapat direduksi seminimal mungkin.
e. Permanent Scatterer Detection
Analisis temporal dari fasa differensial terbatas pada titik pantulan dengan nilai SNR tinggi
dan perilaku gelombang pantul yang stabil dalam jangka waktu lama (umumnya obyek
buatan manusia). Proses identifikasi PS-InSAR didalam co-registrasi citra terkalibrasi adalah
dengan melakukan tes homogenitas (Ferretti et al., 2001). Bertujuan untuk menemukan
sebanyak mungkin pantulan yang disebabkan oleh pola penurunan muka tanah (deformasi)
dan pola atmosfer secara rapat berdasarkan konsep spasial. Hal ini untuk menghindari adanya
titik pantulan yang tidak baik kualitasnya dimana hasilnya akan berupa grid tak beraturan
(irregular grid). Tahapan yang penting lainnya adalah proses ekstraksi data dan konversi data
dari raster menjadi data vektor.
f. Estimation
Berdasarkan fasa DInSAR yang telah diperoleh sebelumnya akan muncul persoalan non
linier inversi dikarena konsep modulo 2π (membutuhkan proses unwrapped). Hal ini bisa
diselesaikan dengan menggunakan perilaku berbeda dalam kontribusi parameter akuisisinya
seperti baseline efektif, baseline temporal, kesalahan orbit, jangkauan dan azimuth lokasi dari
pantulan (Adam et al., 2003). Dilakukan estimasi relatif antara titik pantulan yang berdekatan
satu dengan lainnya sehingga akan mereduksi pengaruh atmosfer dan kesalahan orbit. Selain
itu estimasi relatif yang diselesaikan dengan teknik hitung perataan yang ditransformasikan
dalam bentuk peta global deformasi 2D akan membantu dalam penyusunan periodogram laju
deformasi. Umumnya didalam proses estimasi ini juga dilakukan validasi data PS-InSAR
dengan metode dan algoritma tertentu pula.
Teknologi InSAR

NEW PROMISSING TOOL FOR GROUND DEFORMATION MODELING

Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR) adalah teknologi penginderaan Jauh yang
menggunakan citra hasil dari satelit radar. Satelit radar memancarkan gelombang radar
secara konstan, kemudian gelombang radar tersebut direkam setelah diterima kembali oleh
sensor akibat dipantulkan oleh target di permukaan bumi.

Citra yang diperoleh dari satelit radar berisi dua informasi penting. Informasi tersebut adalah
daya sinar pancar berupa fasa dan amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang
yang dipancarkan serta dipantulkan kembali. Pada saat gelombang dipancarkan dilakukan
pengukuran fasa. Pada citra yang diperoleh dari tiap-tiap pikselnya akan memiliki dua
informasi tersebut. Intensitas sinyal dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari
bahan yang memantulkan gelombang tersebut, sedangkan fasa gelombang digunakan untuk
menentukan apakah telah terjadi pergerakan (deformasi) pada permukaan yang memantulkan
gelombang tersebut.

—————————————————————————————————————
———————————–

Radio Detection and Ranging (RADAR)

Radar atau Radio Detection and Ranging adalah suatu alat yang sistemnya memancarkan
gelombang elektromagnetik berupa gelombang radio dan gelombang mikro. Pantulan dari
gelombang yang dipancarkan tadi digunakan untuk mendeteksi obyek.

Pengamatan dilakukan terhadap intensitas gelombang radio yang diterima sensor dan waktu
yang diperlukan gelombang mulai saat dipancarkan, dipantulkan oleh obyek, dan diterima
kembali oleh sensor. Waktu yang diperlukan oleh gelombang tersebut dinamakan time delay,
kemudian apabila dikalikan dengan kecepatan cahaya akan menghasilkan 2x jarak.

Pada permukaan bumi pulsa gelombang radar dipancarkan kesegala arah, sebagian
pantulannya diterima kembali oleh sensor. Pantulan ini memiliki intensitas yang lebih lemah
dibandingkan ketika dipancarkan dan memiliki polarisasi yang spesifik vertikal atau
horisontal tidak harus sama dengan ketika pertama dipancarkan.

Setiap gelombang elektromagnetik memiliki fenomena yang berbeda-beda sesuai dengan


karakteristiknya masing-masing. Karakteristik gelombang ini berhubungan dengan
frekuensi. Radar menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik pada rentang frekuensi
300 MHz hingga 30 GHz atau panjang gelombang 1 cm hingga 1meter dengan polarisasi
gelombang single vertikal atau horizontal plane. Citra radar yang diperoleh
merepresentasikan jumlah energi pantul yang diterima oleh sensor. Besar kecilnya panjang
gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh. Semakin besar panjang
gelombangnya maka semakin kuat daya tembus gelombangnya. Hal ini berlaku dengan
catatan bahwa semakin tinggi nilai konstanta dielektriknya maka semakin sulit untuk
ditembus.

—————————————————————————————————————
———————————–

Pencitraan dengan RADAR

Pencitraan radar dilakukan kearah samping relatif terhadap arah terbang wahana yang
digunakan, baik itu pesawat atau satelit. Oleh sebab itu, radar dalam melakukan pencitraan
memiliki geomteri tersendiri. Geometri pencitraan radar diantaranya yaitu: Incident angle
(sudut yang dibentuk antara pancaran gelombang radar dengan garis yang tegak lurus
terhadap permukaan obyek), depression angle (sudut yang dibentuk dari arah horisontal ke
arah garis pancaran gelombang radar), Look Angle (sudut antara utara geografis dan arah
pancaran gelombang radar atau dengan garis tegak lurus arah terbang wahana), look direction
(arah antena saat melakukan pencitraan).

—————————————————————————————————————
———————————–

Synthetic Aperture Radar

Synthetic Apertur Radar (SAR) adalah salah satu kelas spesifik dari radar. Dinamakan
sintetik karena tidak menggunakan antena panjang secara spesifik seperti pada Real Aperture
Radar (RAR). Konsepnya adalah memanfaatkan frekuensi dari sinyal radar sepanjang jalur
spektrum untuk membedakan dua penyebaran pada pancaran antena. Faktor yang
menentukan pada proses ini adalah kepanduan radar, yaitu fasa seperti halnya amplitudo
gelombang yang diterima dan disimpan utnuk digunakan pada proses selanjutnya. Dalam hal
ini fasa tersebut harus stabil pada periode mengirim dan menerima sinyal. Hal ini
menyebabkan tercipta kesan seolah-olah digunakan antena panjang dengan
mengkombinasikan informasi dari berbagai gelombang yang diterima.
Tidak seperi RAR yang memiliki kelemahan, SAR menggunakan prinsip Dopler. Penjalaran
gelombang memiliki frekuensi tertentu dan apabila diperoleh suatu frekuensi dengan cara
menerapkan prinsip Dopler, maka frekuensi tersebut dinamakan frekuensi Dopler. Perbedaan
frekuensi yang terjadi akan mengakibatkan hasil citra untuk tiap objek berbeda tanpa perlu
menggunakan antena yang panjang. Pada saat wahana bergerak melewati target sambil
melakukan pencitraan, maka obyek terekam pada selang waktu tertentu dengan frekuensi
yang berbeda beda. Frekuensi yang tertinggi adalah obyek yang memiliki jarak relatif
terdekat dengan sensor.

Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR)

InSAR merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengekstraksi informasi tiga dimensi
(3D) dari permukaan bumi dengan pengamatan fasa gelombang radar. Pada awalnya radar
interferometri digunakan untuk pengamatan permukaan bulan dan planet venus. Pada tahun
1974 teknik ini diaplikasikan pertama kali di bidang pemetaan. Untuk memperoleh topografi
dari citra harus dipenuhi dua buah syarat, yaitu obyek dipermukaan bumi yang dicitrakan
harus dapat terlihat dengan jelas atau memiliki resolusi citra yang tinggi sehingga dapat
dilakukan interpretasi dan identifikasi yang sesuai. Selain itu citra harus memiliki posisi tiga
dimensi yang cukup sehingga daerah yang akan dipetakan dapat diketahui topografinya.
Kedua hal tersebut hanya dapat dipenuhi oleh teknik InSAR. Hal inilah yang menyebabkan
semakin banyak bidang kajian yang mengaplikasikan InSAR.

Dengan diluncurkannya Satelit ERS-1 diikuti ERS-2 maka teknik ini semakin berkembang,
sebab kedua sistem satelit radar ini dapat menghasilkan data interferometri setiap dua hari.
Teknik interferometri mencitrakan suatu obyek di permukaan bumi dengan cara melakukan
pengamatan terhadap beda fasa dua gelombang pendar yang berasal dari satu obyek.
—————————————————————————————————————
———————————–

Metode Pencitraan InSAR

Metode pencitraan InSAR dapat diterapkan pada wahana pesawat terbang ataupun wahana
satelit. Pada wahana pesawat terbang digunakan dua antena pada saat yang sama dan
melakukan pencitraan dengan sekali melintas (single pass), sedangkan pada wahana satelit
digunakan satu antena dengan melakukan pencitraan dengan melintas lebih dari sekali pada
waktu yang berbeda (multi pass). Pada penggunaan dua buah antena, berdasarkan posisi
antena dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu posisi melintang pesawat terbang (accross
track), dan memanjang pesawat terbang (along track).

—————————————————————————————————————
———————————–

Multi Pass

Teknik InSAR yang menggunakan satelit dilakukan dengan cara pengulangan lintasan (multi
pass). Pengulangan lintasan ini pada ERS-1 dan ERS-2 terjadi setiap 35 hari sekali sehingga
sudah terjadi perubahan liputannya. Perubahan liputan lahan ini mempengaruhi sinyal balik
radar. Penggunaan pasangan tandem antara ERS-1 dan ERS-2 yang memiliki perbedaan
waktu melintas 1 hari, maka liputan lahan relatif masih tetap.

Sensor pada satelit ERS-1 dan ERS-2 melakukan penginderaan ke arah samping kanan
dengan sudut masuk sebesar 23 derajat dan tegak lurus arah lintasan. Hal ini menyebabkan
pada saat satelit bergerak pada posisi naik dari selatan ke utara yang disebut juga ascending
sensor mengarah ketimur, sebaliknya saat descending dari arah utara keselatan sensor
mengarah ke barat.

Apabila dicitrakan oleh suatu sensor, dua titik di permukaan bumi yang memiliki jarak dan
azimut tertentu kemungkinan kedua titik tersebut muncul pada satu piksel yang sama,
padahal kedua titik tersebut kenyataannya memiliki tinggi yang berbeda, namun menjadi
tidak dapat dibedakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya sensor lain (sensor
kedua) yang dapat menunjukkan adanya perbedaan ketinggian diantara kedua titik tersebut.
Sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi berbeda dengan sensor pertama. Pada
masing-masing citra untuk titik yang sama akan mempunyai nilai fasa yang berbeda. Beda
fasa itulah yang merupakan fungsi tingginya. Beda fasa ini memiliki nilai pada rentang
minus phi hingga positif phi, sehingga hanya dapat diukur dengan ambiguitas 2 phi.

—————————————————————————————————————
———————————–

Garis Dasar (Baseline)

Dalam menentukan beda fasa salah satu hal yang menentukan adalah pencitraan kedua yang
dibedakan dengan pencitraan pertama oleh garis dasar (baseline). Garis dasar ini disebut juga
dengan nama garis dasar interferometrik. Garis dasar interferometrik satelit ERS dapat
digunakan untuk keperluan tertentu. Semakin pendek garis dasar interferometrik maka
pengaruh terhadap perubahan tinggi akan semakin besar. Hal ini disebabkan dengan
meningkatnya panjang garis dasar interferometrik, maka derau fasa juga akan semakin
meningkat sehingga terjadi ketidaksesuaian antara citra utama dengan citra kedua.

—————————————————————————————————————
———————————–

Parameter yang mempengaruhi sinyal balik radar

Setelah dipancarkan melalui sensor, gelombang radar kemudian dipantulkan oleh permukaan
bumi dan diterima kembali oleh sensor. Gelombang pantulan tersebut disebut juga istilahnya
sebagai sinyal balik. Ada dua parameter yang memperngaruhi sinyal balik yaitu: parameter
sistem dan parameter permukaan.

Pada parameter sistem yang dapat mempengaruhi sinyal balik adalah panjang gelombang,
polarisasi, dan sudut balik. Sementara itu parameter permukaan berhubungan dengan hal-hal
seperti kondisi permukaan daerah yang dicitrakan meliputi kekasaran permukaan, geometri
permukaan, dan sifat dielektrika. Terdapat tiga kemungkinan akibat interaksi pancaran
gelombang radar dengan permukaan bumi yaitu dihamburkan obyek, dipantulkan secara
spekular, atau dipantulkan sempurna.

—————————————————————————————————————
———————————–
Aplikasi-aplikasi InSAR

InSAR yang merupakan salah satu metode dari SAR saat ini banyak digunakan untuk
pemetaan topografi daratan dan permukaan es, studi struktur geologi dan klasifikasi batuan,
studi gelombang dan arus laut, studi karakteristik dan pergerakan es, pengamatan deformasi,
dan gempa bumi.

Khusus untuk bidang deformasi, kini InSAR menjadi alternatif teknologi yang menjanjikan
dalam penelitian deformasi seperti penurunan tanah (land subsidence) dan penelitian gempa
bumi. Penggunaan InSAR dalam penelitian gempa bumi berkembang setelah terjadinya
gempa Landers di Amerika, yang terdokumentasikan serta terinformasika deformasinya
dengan baik oleh citra InSAR

Anda mungkin juga menyukai