SDFAFWSFSAFSA
SDFAFWSFSAFSA
Belanda
mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Keresidenan Riau (Residentie Riouw)
di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[22] Para sultan Siak
tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka telah terikat perjanjian dengan Belanda. Kedudukan
Siak semakin melemah dengan adanya tarik-ulur antara Belanda dan Inggris yang kala itu
menguasai Selat Melaka, untuk mendapatkan wilayah-wilayah strategis di pantai timur Sumatra.
Para sultan Siak saat itu terpaksa menyerah kepada kehendak Belanda dan menandatangani
perjanjian pada Juli 1873 yang menyerahkan Bengkalis kepada Belanda, dan mulai saat itu,
wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Siak satu demi satu berpindah tangan
kepada Belanda. Pada masa yang hampir bersamaan, Indragiri juga mulai dipengaruhi oleh
Belanda, namun akhirnya baru benar-benar berada di bawah kekuasaan Batavia pada tahun 1938.
Penguasaan Belanda atas Siak kelak menjadi awal pecahnya Perang Aceh.
Di pesisir, Belanda bergerak cepat menghapuskan kerajaan-kerajaan yang masih belum tunduk.
Belanda menunjuk seorang residen di Tanjung Pinang untuk mengawasi daerah-daerah pesisir, dan
Belanda berhasil memakzulkan Sultan Riau-Lingga, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah pada
Februari 1911.[23]
Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Riau menjadi salah satu sasaran utama untuk
diduduki. Bala tentara Jepang menduduki Rengat pada 31 Maret 1942. [16] Seluruh Riau dengan
cepat tunduk di bawah pemerintahan Jepang. Salah satu peninggalan masa pendudukan Jepang
adalah jalur kereta api sepanjang 220 km yang menghubungkan Muaro Sijunjung dan Pekanbaru
yang terbengkalai. Ratusan ribu rakyat Riau dipaksa bekerja oleh tentara Jepang untuk
menyelesaikan proyek ini.[24][25][26]
Era kemerdekaan