Sindy Putri Firda Tobing - Hukum Dagang Internasional

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

Nama : Sindy Putri Firda Tobing

Nim : A2021221037
Hari, tgl. : Rabu, 31 Mei 2023
Konsentrasi : Hukum Bisnis
Mata Kuliah : Hukum Perdagangan Internasional
Dosen : Dr. Budi Hermawan Bangun, SH., M.Hum.
Ujian Akhir Semester
1. Dalam konteks hukum internasional, legal capacity (kapasitas hukum) dan legal
capability (kemampuan hukum) merujuk pada kemampuan negara sebagai subyek
hukum internasional.
 Legal capacity mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memiliki hak
dan kewajiban hukum serta untuk melakukan tindakan hukum. Dalam konteks
perdagangan internasional, legal capacity negara melibatkan pengakuan oleh
negara-negara lain terhadap keberadaan negara sebagai entitas hukum yang
independen dan berdaulat. Hal ini mencakup pengakuan terhadap negara
dalam hubungannya dengan pembentukan dan penegakan hukum,
penandatanganan perjanjian internasional, dan partisipasi dalam organisasi
internasional.
 Legal capability, di sisi lain, merujuk pada kemampuan negara untuk
melaksanakan hak dan kewajiban hukum secara efektif. Legal capability
melibatkan aspek kelembagaan, yaitu apakah negara memiliki sistem hukum
yang memadai, aparat hukum yang kompeten, dan mekanisme untuk
menegakkan hukum di tingkat nasional. Kemampuan negara untuk
menegakkan dan melaksanakan perjanjian internasional, mengatur
perdagangan internasional, dan menyelesaikan sengketa juga merupakan
faktor penting dalam menentukan legal capability.
Dalam rangka menjadi subyek hukum internasional, negara harus memiliki
legal capacity dan legal capability yang memadai. Legal capacity memastikan bahwa
negara diakui sebagai entitas hukum yang berdaulat, sedangkan legal capability
menentukan apakah negara memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban dan
melaksanakan hak-haknya dalam konteks hukum internasional, termasuk dalam
hubungannya dengan perdagangan internasional.
2. Setuju , Beberapa orang berpendapat bahwa globalisasi dalam perdagangan
internasional telah mengurangi makna kedaulatan negara. Mereka berargumen bahwa
dengan adanya perjanjian perdagangan internasional, seperti Perjanjian Perdagangan
Bebas, negara-negara sering kali harus mengorbankan sebagian kedaulatan mereka
untuk mematuhi aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh organisasi internasional atau
kelompok perdagangan. Misalnya, negara harus mengikuti standar dan peraturan yang
ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menghindari sanksi
perdagangan. Hal ini bisa dianggap sebagai pengurangan kedaulatan negara karena
negara tidak sepenuhnya bebas untuk menentukan kebijakan perdagangannya sendiri.
3. Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia memiliki beberapa
keuntungan dan kerugian yang dapat dilihat melalui analisis kasus perdagangan
internasional yang melibatkan negara ini di WTO. Salah satu kasus yang relevan
adalah kasus yang melibatkan kebijakan ekspor mineral Indonesia pada tahun 2014.
 Keuntungan:
Akses pasar yang lebih luas: Melalui keanggotaan di WTO, Indonesia dapat
mengakses pasar global yang lebih luas dengan mengikuti aturan dan regulasi yang
ditetapkan oleh WTO. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan
ekspor produk-produknya ke berbagai negara anggota WTO tanpa diskriminasi.
Perlindungan hukum internasional: Sebagai anggota WTO, Indonesia mendapatkan
perlindungan hukum internasional yang kuat terhadap diskriminasi perdagangan dan
praktik perdagangan yang tidak adil. Jika Indonesia merasa dirugikan oleh kebijakan
perdagangan negara lain, misalnya dalam bentuk tarif yang tidak adil atau hambatan
perdagangan lainnya, Indonesia dapat mengajukan sengketa ke mekanisme
penyelesaian sengketa WTO untuk mencari keadilan.
 Kerugian:
Dampak pada industri dalam negeri: Keanggotaan di WTO juga dapat
memberikan beberapa kerugian bagi industri dalam negeri Indonesia. Misalnya,
ketika Indonesia harus membuka pasar dalam negerinya untuk produk impor dari
negara-negara anggota WTO, industri dalam negeri mungkin menghadapi persaingan
yang lebih sengit. Jika industri dalam negeri belum siap menghadapinya, hal ini dapat
berdampak negatif pada pertumbuhan dan kelangsungan industri tersebut.
 Analisis kasus: Salah satu kasus yang melibatkan Indonesia di WTO adalah
kebijakan ekspor mineral pada tahun 2014. Pada tahun tersebut, Indonesia
menerapkan larangan ekspor bijih mineral, termasuk nikel, bauksit, dan
tembaga, dalam upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri
dan mempromosikan industrialisasi.
Namun, kebijakan ini mendapatkan tantangan dari Amerika Serikat, Uni Eropa,
dan Kanada di WTO. Negara-negara tersebut berargumen bahwa kebijakan tersebut
melanggar aturan WTO terkait larangan ekspor, perlakuan diskriminatif terhadap
produk impor, dan pembatasan ekspor yang tidak diizinkan. Setelah melalui proses
penyelesaian sengketa WTO, panel WTO memutuskan bahwa kebijakan ekspor
mineral Indonesia melanggar aturan WTO.
Dalam konteks ini, kerugian bagi Indonesia sebagai anggota WTO adalah
adanya batasan terhadap kebijakan ekspor yang dapat diambil untuk melindungi
kepentingan dalam negeri. Keputusan WTO ini membatasi kebijakan ekspor
Indonesia dalam hal ekspor mineral, yang dapat mempengaruhi potensi pendapatan
dan pertumbuhan ekonomi negara. Namun, keputusan ini juga memberikan
pemahaman lebih lanjut bagi Indonesia tentang keterikatan dan kewajiban dalam
kerangka perdagangan internasional yang diatur oleh WTO.
Kesimpulannya, keanggotaan Indonesia di WTO memberikan keuntungan
berupa akses pasar yang lebih luas dan perlindungan hukum internasional. Namun,
ada juga kerugian yang berkaitan dengan persaingan industri dalam negeri dan
batasan terhadap kebijakan ekspor. Kasus kebijakan ekspor mineral Indonesia di
WTO menggambarkan dinamika ini dan menggarisbawahi pentingnya memahami dan
mematuhi aturan perdagangan internasional yang ditetapkan oleh WTO.
4. Pasca pandemi Covid-19, kebijakan perdagangan negara-negara dapat mengalami
variasi antara lebih terbuka atau lebih protektif. Meskipun sulit untuk membuat
generalisasi yang tepat untuk semua negara, ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi arah kebijakan perdagangan pasca pandemi:
 Penekanan pada pemulihan ekonomi: Banyak negara berupaya untuk
memulihkan ekonomi mereka setelah dampak pandemi Covid-19. Dalam
upaya ini, beberapa negara mungkin menerapkan kebijakan proteksionis untuk
melindungi industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Mereka
dapat memberlakukan kebijakan tarif lebih tinggi, hambatan perdagangan non-
tarif, atau subsidi domestik untuk mendukung sektor-sektor tertentu.
 Kerjasama internasional: Pandemi Covid-19 telah menyoroti pentingnya
kerjasama internasional dalam menangani krisis global. Beberapa negara
mungkin lebih cenderung untuk meningkatkan kerjasama dan memperkuat
hubungan dagang dengan mitra mereka. Hal ini dapat mendorong kebijakan
perdagangan yang lebih terbuka, termasuk peningkatan perjanjian
perdagangan regional atau multilateral.
 Ketidakpastian dan kebijakan dalam negeri: Pandemi Covid-19 menciptakan
ketidakpastian yang besar di pasar global. Ketidakpastian ini dapat mendorong
negara-negara untuk mengadopsi kebijakan yang lebih protektif dalam upaya
untuk melindungi ekonomi mereka dari risiko dan ketidakstabilan yang lebih
lanjut. Faktor-faktor seperti peningkatan pengangguran, kebutuhan akan
industri dalam negeri yang lebih mandiri, dan ketidakpastian pasokan global
dapat mendorong negara-negara untuk lebih memprioritaskan kepentingan
domestik dalam kebijakan perdagangan mereka.
Kaitannya dengan rezim hukum perdagangan internasional yang berlaku saat
ini, perang dagang dan kebijakan proteksionis dapat menimbulkan ketegangan dan
tantangan terhadap kerangka hukum perdagangan internasional yang ada. WTO,
sebagai badan yang mengatur perdagangan internasional, telah menjadi tempat
perdebatan dan penyelesaian sengketa terkait kebijakan perdagangan yang melanggar
aturan WTO. Negara-negara yang terlibat dalam perselisihan tersebut harus mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh WTO.
Namun, perang dagang dan kebijakan proteksionis juga dapat merongrong
kerja sama dan konsensus dalam rezim perdagangan internasional. Beberapa negara
mungkin cenderung untuk mencari alternatif bilateral atau regional dalam bentuk
perjanjian perdagangan yang lebih khusus. Hal ini dapat mengganggu upaya untuk
memperkuat rezim hukum perdagangan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, pasca pandemi Covid-19, kebijakan perdagangan negara-
negara dapat bervariasi antara lebih terbuka atau lebih protektif, tergantung pada
konteks dan kepentingan nasional.
5. Choice of law (pilihan hukum) mengacu pada keputusan yang dibuat oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak atau sengketa hukum untuk menentukan hukum
yang akan diterapkan untuk mengatur hak dan kewajiban mereka. Ini berarti mereka
memilih sistem hukum dari negara atau yurisdiksi tertentu yang akan menjadi dasar
bagi penyelesaian sengketa atau pelaksanaan kontrak mereka
Choice of forum (pilihan forum) merujuk pada keputusan yang dibuat oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak atau sengketa hukum untuk
menentukan di mana sengketa tersebut akan diajukan atau diproses. Ini mencakup
pemilihan pengadilan atau badan penyelesaian sengketa alternatif yang akan memiliki
yurisdiksi untuk menangani kasus tersebut.
Forum pengadilan suatu negara biasanya memakai sistem hukum dari negara
tersebut dalam menangani sengketa dagang yang bersifat privat internasional yang
ditanganinya. Prinsip dasar yurisdiksi adalah bahwa pengadilan negara tertentu akan
menerapkan hukum nasional mereka sendiri untuk memutuskan sengketa yang
diajukan di pengadilan mereka, kecuali ada prinsip hukum internasional yang
mengizinkan atau mengharuskan pengadilan tersebut untuk menerapkan hukum dari
negara lain.
Namun, dalam beberapa kasus, terutama dalam sengketa dagang internasional
yang melibatkan kontrak atau perjanjian antar-negara atau antar-pihak dari negara
yang berbeda, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa dapat secara sukarela
memilih untuk mengadakan persidangan di pengadilan yang berada di yurisdiksi
negara lain dan setuju untuk menerapkan hukum dari negara tersebut. Dalam hal ini,
pilihan forum dapat mempengaruhi pilihan hukum yang akan diterapkan dalam
penyelesaian sengketa tersebut.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pilihan hukum dan pilihan forum harus
sesuai dengan aturan hukum internasional yang berlaku dan dapat memenuhi
persyaratan legalitas dan keadilan. Selain itu, negara-negara memiliki sistem hukum
yang berbeda dan memiliki yurisdiksi yang terbatas, sehingga kemungkinan
penerapan sistem hukum negara lain oleh forum pengadilan suatu negara dapat
terbatas dan tergantung pada peraturan dan kebijakan hukum nasional.
6. Negosiasi merupakan salah satu cara yang paling sederhana dalam menyelesaikan
sengketa dagang internasional. Dalam negosiasi, pihak-pihak yang terlibat dalam
sengketa berupaya mencapai kesepakatan dan mencari solusi bersama untuk
menyelesaikan perselisihan mereka tanpa melibatkan pihak ketiga atau menggunakan
mekanisme formal seperti pengadilan atau arbitrase.
Keuntungan dari negosiasi adalah sebagai berikut:
 Kontrol dan fleksibilitas: Dalam negosiasi, pihak-pihak memiliki kontrol
penuh atas proses dan hasilnya. Mereka dapat menentukan jadwal, topik yang
akan dibahas, dan mencapai kesepakatan yang mempertimbangkan
kepentingan dan preferensi masing-masing pihak. Fleksibilitas ini
memungkinkan penyesuaian yang lebih baik dengan situasi unik yang terkait
dengan sengketa dagang internasional.
 Biaya dan waktu: Negosiasi umumnya lebih hemat biaya dibandingkan
dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa formal seperti
pengadilan atau arbitrase. Pihak-pihak dapat menghemat biaya yang signifikan
yang biasanya terkait dengan proses formal. Selain itu, negosiasi juga dapat
menyelesaikan sengketa dengan lebih cepat daripada melalui jalur hukum
yang lebih formal.
Meskipun demikian, negosiasi juga memiliki beberapa kelemahan yang
membuatnya dianggap kurang efektif dalam beberapa situasi:
 Ketidakseimbangan kekuasaan: Negosiasi dapat menjadi tidak efektif ketika
ada ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak yang terlibat. Jika salah
satu pihak memiliki kekuatan tawar yang lebih besar atau dominan, mereka
mungkin cenderung mendikte hasil negosiasi sesuai dengan kepentingan
mereka sendiri, yang tidak selalu menghasilkan kesepakatan yang adil atau
berkelanjutan.
 Ketidakmampuan mencapai kesepakatan: Dalam beberapa kasus, negosiasi
mungkin tidak dapat mencapai kesepakatan karena perbedaan yang tidak dapat
diatasi antara pihak-pihak yang terlibat. Jika ada perbedaan fundamental
dalam pandangan atau kepentingan yang tidak dapat dipertemukan, negosiasi
mungkin menjadi jalan buntu dan tidak menghasilkan penyelesaian yang
memuaskan.
 Kekurangan penegakan hukum: Negosiasi bersifat sukarela dan tidak memiliki
otoritas hukum yang mengikat secara langsung. Ini berarti bahwa kesepakatan
yang dicapai melalui negosiasi mungkin tidak memiliki mekanisme penegakan
yang kuat. Jika salah satu pihak tidak mematuhi kesepakatan atau berubah
pikiran setelah negosiasi, sulit untuk menegakkan komitmen yang telah dibuat.
Dalam situasi yang kompleks atau ketika terdapat ketidakseimbangan kekuasaan
yang signifikan, negosiasi sering kali perlu didukung oleh mekanisme penyelesaian
sengketa yang lebih formal, seperti arbitrase atau pengadilan, untuk memastikan

Anda mungkin juga menyukai