UTS Pengaruh Sosial - Kelompok 1
UTS Pengaruh Sosial - Kelompok 1
Disusun Oleh:
Kurniati 1801620107
Azhar Aulia Pangestu 1801620131
Fitriani Rasyidah 1801620082
Paulina Natasya Hermina l801620051
Roza Alifia Aegista 1801620100
PENDAHULUAN
Pesta demokrasi yang terlaksana pada setiap lima tahun sekali selalu
meninggalkan sejarahnya masing-masing. Kali ini pada pemilihan presiden 2014
yang membagi kelompok pendukung menjadi dua kubu besar, yakni pendukung
Jokowi dan pendukung Prabowo. Dengan adanya dua kubu tersebut mulailah
banyak suatu konflik yang diakibatkan dari para pendukung Jokowi dan
pendukung Prabowo yang bersifat fanatik. Panggilan yang terkesan menjatuhkan
juga turut ada dalam perselisihan dua kubu tersebut yang terjadi pada pilpres
tahun 2019 yang dimana terdapat panggilan "cebong" yang ditujukan untuk para
pendukung Jokowi-Amin dan panggilan "kampret" yang ditujukan untuk para
pendukung Prabowo-Sandi.
Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislative
dan eksekutif. Partai partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerindra
yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi.
Berbagai isu sosial, ekonomi dan politik yang muncul dalam ranah publik atau
media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.Politik
partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti di DKI
Jakarta.
Upaya yang dilakukan oleh masing-masing paselon juga turut menjadi
sorotan, terutama dalam upaya mengambil hati masyarakat muslim, yang dimana
pihak Prabowo disokong oleh para alumni aksi gerakan demo 212 yang terjadi
kala itu. Tidak mau kalah dari pihak sebelah, pihak Jokowi juga turut
menggandeng seorang ulama besar Kyai Ma'ruf Amin sebagai wakilnya dalam
memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden tahun 2019-2024.
Tipe II - Kasus C
1. Dinamika Kelompok dan Identitas Sosial
a. Dinamika Kelompok
Merupakan proses terjadinya pengaruh antar individu dalam dan antar
kelompok seiring berjalannya waktu. Proses yang terjadi tidak hanya
mempengaruhi bagaimana anggota kelompok berinteraksi satu sama lain, tetapi
juga mempengaruhi bagaimana individu tersebut merespon lingkungan, dan apa
yang ingin dicapai olehnya.
Kubu pendukung yang terbentuk karena masing-masing pendekatan yang
dilakukan capres. Jokowi dengan persona individunya dan Prabowo dengan pro
rakyat miskin, anti “status quo”, dan anti Barat. Hal ini mengakibatkan polarisasi
dan performance dari masing-masing kelompok pendukung.
Dinamika yang terjadi dari dua kelompok pendukung ini diakibatkan
adanya kelompok lain yang dilihat sebagai saingan dalam mencapai tujuan.
b. Identitas Sosial
Menghubungkan identitas yang dimiliki individu dengan kualitas dan
karakteristik kelompok. Berada di kelompok seperti apa – itulah yang akan
melekat pada informasi individu tersebut. Identitas sosial mempengaruhi
bagaimana individu memiliki proses interpersonal, perasaan solidaritas, dan
pandangan terhadap outgroup.
Pandangan terhadap outgroup ini menimbulkan pemberian nama outgroup
dari masing-masing dengan kampret ataupun cebong. Selain itu, dalam identitas
sosial, nilai yang individu pegang perlahan-lahan melebur dengan apa yang ada di
kelompok, salah satunya yaitu fanatisme.
Fanatisme yang muncul pada masing-masing kelompok, akan membuat
individu yang tergabung dalam kelompok dinilai dari kelompok ia berada.
c. Konflik
Adapun model konfrontasi dan eskalasi yang dilakukan dalam hal konflik
antara Jokowi dan prabowo dalam merebutkan kedudukan Presiden Republik
Indonesia yaitu sebagaimana yang kita ketahui bahwa konfrontasi adalah suatu
permusuhan atau pertentangan. Secara luasnya adalah cara untuk menentang
musuh tetapi dilakukan dengan cara tidak terang-terangan. Sedangkan eskalasi
adalah keadaan yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu dalam hal ini
ruang lingkupnya yaitu ketika pemilihan Presiden Republik Indonesia yaitu
Jokowi dan Prabowo.Berdasarkan uraian pada kasus dan apabila dikaitkan dengan
materi dalam pembelajaran ini tentang konflik maka ketidakcocokan, perbedaan
pendapat mereka yang mencolok tentang perusahaan, sifat kompetitif dari saling
ketergantungan mereka, dan penolakan mereka untuk mengambil kurang dari
yang mereka rasa adalah hak mereka. Mereka mencoba untuk meredakan
ketegangan, tetapi pada musim semi, orang-orang itu terjebak dalam spiral
permusuhan.Meskipun pihak-pihak yang berkonflik mungkin berharap untuk
mencapai solusi atas perselisihan mereka dengan cepat, sejumlah faktor psikologis
dan interpersonal dapat menggagalkan upaya mereka untuk mengendalikan
konflik. Seperti halnya konflik Jokowi dan Prabowo, dimana Pendukung Jokowi
mewakili kelompok yang menggunakan persona individu untuk memobilisasi
massa. Kelompok ini merespon positif citra Jokowi sebagai politikus generasi
baru yang merupakan produk reformasi dan bukan bagian dari patron elite masa
lalu. Mereka mengapresiasi pendekatan politik Jokowi yang moderat dan inklusif
yang bersandar pada reformasi. Sementara kelompok pendukung Prabowo yang
suka dengan pendekatan jagoannya yang pro rakyat miskin, anti “status quo”, dan
anti Barat. Mereka juga mendukung agenda Prabowo yaitu mengganti sistem
politik yang sudah rusak, menolak campur tangan pihak luar dalam perekonomian
dan pengelolaan kekayaan alam, dan mengganti elite politik korup yang adalah
antek asing. Semua faktor ini memberi makan konflik, mengubahnya dari
ketidaksepakatan menjadi perang korporat penuh. Ketika konflik meningkat,
keraguan dan ketidakpastian anggota kelompok digantikan oleh komitmen yang
kuat terhadap posisi mereka.
Kelompok pendukung Jokowi, misalnya, menjadi lebih yakin bahwa
wawasannya benar, dan ketidaksetujuannya dengan Kelompok pendukung
Prabowo hanya meningkatkan komitmennya kepada mereka. Ketika orang
mencoba membujuk orang lain, mereka mencari argumen pendukung. Jika proses
elaborasi ini menghasilkan informasi lebih lanjut yang konsisten, mereka menjadi
lebih berkomitmen pada posisi awal mereka. Orang-orang merasionalisasi pilihan
mereka begitu mereka telah membuatnya: Mereka mencari informasi yang
mendukung pandangan mereka, mereka menolak informasi yang bertentangan
dengan pendirian mereka, dan mereka menjadi bercokol pada posisi semula.
Selain itu, orang merasa bahwa begitu mereka berkomitmen pada suatu posisi di
depan umum, mereka harus mempertahankannya. Mereka mungkin menyadari
bahwa mereka salah, tetapi untuk menyelamatkan muka.
Reaktansi juga dapat menyebabkan seseorang menjadi terlalu
berkomitmen pada posisinya dan menolak untuk berkompromi. Ketika reaktansi
terjadi, individu berusaha untuk menegaskan kembali rasa kebebasan mereka
dengan menegaskan otonomi mereka. Reaksi individu selama konflik dibentuk
secara mendasar oleh persepsi mereka tentang situasi dan orang-orang dalam
situasi itu. Kesimpulan anggota kelompok tentang kekuatan, sikap, nilai, dan
kualitas pribadi lainnya masing-masing memberikan dasar untuk saling
pengertian, tetapi selama konflik persepsi ini cenderung sangat terdistorsi
sehingga mengobarkan daripada konflik yang mulus. Orang dengan SVO
kompetitif adalah yang paling tidak akurat dalam persepsi mereka tentang kerja
sama. Ketika kooperator memainkan PDG dengan kooperator lain, persepsi
mereka tentang strategi pasangannya hanya 6% tidak akurat. Ketika pesaing
memainkan PDG dengan kooperator, bagaimanapun, mereka salah menafsirkan
strategi pasangan mereka 47% dari waktu, secara keliru percaya bahwa kooperator
sedang bersaing (Kelley & Stahelski, 1970a, 1970b, 1970c; Sattler & Kerr, 1991).
Pesaing juga bias dalam pencarian mereka untuk informasi, karena mereka
lebih cenderung mencari informasi yang mengkonfirmasi kecurigaan mereka
—”Saya berurusan dengan orang yang kompetitif”— daripada informasi yang
mungkin mengindikasikan bahwa pihak lain berusaha untuk bekerja sama (Van
Kleef & De Dreu, 2002). Seperti halnya Jokowi dan Prabowo bahwa pendukung
fanatik Prabowo menggunakan kata cebong untuk merujuk pada pendukung
fanatik Jokowi. Istilah cebong muncul dari kata kecebong yang merupakan anak
katak. Istilah ini berasal dari kegemaran Jokowi memelihara kodok ketika menjadi
Walikota Solo. Sedangkan pendukung fanatik Jokowi membalas dengan
menggunakan kata kampret untuk merujuk pada pendukung fanatik Prabowo.
Awalnya, kata itu muncul sebagai ekspresi umpatan kekesalan yang digunakan
pendukung Prabowo untuk mengomentari kebijakan Jokowi. Sehingga banyak
kelompok Prabowo sering sekali mengkapitalisasi isu agama melalui gerakan
masif, seperti Gerakan 212 dan Munajat 212, maka Jokowi, sejauh ini, tampaknya
enggan memobilisasi massa atas nama agama. Tidak adanya gerakan tandingan
massa dari Jokowi yang mengatasnamakan Islam membuat fanatisme kubu
Prabowo semakin mengerucut dan mempertajam identitas politiknya. Mengingat
kembali bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana orang satu
dengan orang lainnya tidak boleh terpecah belah, harus saling tolong menolong,
menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, untuk
itu kita sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya tidak berpecah belah sehingga
menimbulkan konflik antara satu dengan yang lainnya. kita harus berdamai dan
menjunjung tinggi semboyan bangsa indonesia tentang bhineka tunggal ika,
Pancasila adalah dasar negara.
Dalam fungsi kehadiran orang lain, terdapat suatu teori yang dikenal dengan
social facilitation yang dimana terdapat peningkatan kinerja tugas yang terjadi
ketika terdapat orang yang bekerja di hadapan orang lain, hal ini merupakan studi
psikologi yang telah dilakukan oleh Norman Triplett pada tahun 1898 mengenai
reaksi orang terhadap orang lain dan teori itu juga diperkuat dengan adanya teori
drive processes oleh Zajonc yang dimana kehadiran orang lain meningkatkan
kecenderungan untuk melakukan respons dominan dan menurunkan
kecenderungan untuk melakukan respons non dominan. Hal ini dapat kita sangkut
pautkan dengan kejadian pilpres tahun 2019 yang dimana kala itu terdapat
perselisihan yang ketat terhadap pendukung kubu Jokowi-Amin dan kubu
Prabowo-Sandi. masing-masing pendukung melakukan kinerjanya masing-masing
dengan ciri khasnya, yaitu kubu dari Prabowo-Sandi selalu mengaitkan
dukungannya dengan gerakan umat Muslim 212 sedangkan kubu Jokowi-Amin
melakukan penggandengan ulama besar dalam pencalonannya walaupun memang
kubu Jokowi-Amin tidak mengaitkan isu penggerakan agama dalam
pencalonannya, namun dengan adanya contoh diatas dapat kita lihat mereka saling
berkompetisi dalam melakukan peningkatan suatu kinerja dalam mendukung
pilihannya.
Selain itu dalam kejadian ini juga terkait dengan teori prejudice and social
facilitation yang berarti sikap negatif yang mendarah daging tentang anggota
kelompok lain. sebagaimana kita ketahui terdapat banyak sekali ujaran kebencian
yang terjadi pada pilpres tahun 2019, dimana masing-masing kubu saling
menjatuhkan, baik itu kubu Jokowi-Amin ataupun kubu Prabowo-sandi, bahkan
terdapat panggilan yang terkesan menjelek-jelekan dari masing-,masing kubu
tersebut seperti “cebong” yang diperuntukan untuk orang-orang yang mendukung
Jokowi-Amin dan panggilan “kampret” yang diperuntukan untuk orang-orang
yang mendukung Prabowo-Sandi.
DAFTAR PUSTAKA