Anda di halaman 1dari 4

1. Mengapa konflik terjadi ?

2. Bagaimana mengatasi konflik di tinjau dari modul 6 diatas?

Kasus ini terjadi tepatnya 6 Juni 2015 atau hamper 2 tahun yang lalu.

Apa itu konflik ? Secara ekplisit saya sungguh tertarik kepada pernyataan Lewis A.
Coser: Pengertian konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan atas status, kekuasaan, bermaksud untuk menetralkan, mencederai, atau
melenyapkan lawan.

Mengapa Konflik terjadi ?


Sebelum kita bertanya mengapa konflik terjadi saya terlebih dahulu ingin
menjabarkan sumber konflik atau penyebab konflik. Menurut Smith (dikutip dalam
Sopiah, 2008), sumber terjadinya konflik adalah masalah komunikasi, struktur
organisasi dan faktor manusia.
Masalah komunikasi. Yang bisa terjadi pada masing-masing atau gabungan
dari unsur-unsur komunikasi, yaitu sumber komunikasi, pesan, penerima
pesan dan saluran.
Struktur organisasi. Secara potensial dapat memunculkan konflik. Dalam
organiasasi mempunyai tujuan, kepentingan dan program sendiri-sendiri
yang seringkali berbeda dengan yang lain.
Faktor manusia. Sifat dan kepribadian manusia satu dengan yang lain
berbeda dan unik. Hal ini berpotensi memunculkan konflik.

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan mengapa dengan perspektif filosofis


menurut George Simmel, dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat di
dalamnya selalu mencangkup yang namannya harmoni dan konflik, penarikan dan
penolakan, cinta dan kebencian, dsb. Pendek kata Simmel melihat hubungan
manusia selalu ditandai oleh adanya ambivalensi atau sikap mendua. Simmel tidak
pernah memimpikan suatu masyarakat yang tanpa mengalami friksi terutama antar
individu dan masyarakat. Bagi Simmel, konflik merupakan suatu yang essensial dari
kehidupan sosial sebagai suatu hal yang tidak dapat dihilangkan di dalam
komponen kehidupan sosial. Menurutnya adalah naif jika konflik dipandang sebagai
suatu yang negatif dan konsensus dipandang sebagai suatu yang positif. Masyarakat
yang baik bukanlah masyarakat yang bebas dari konflik. Perdamaian dan
permusuhan, konflik dan ketertiban sebenarnya bersifat korelatif, keduanya sama-
sama memperteguh dan juga menghancurkan bagian-bagian dari adat istiadat yang
ada sebagai dialektika abadi dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, adalah
kesalahan sosiologis apabila memisahkan antara keteraturan dan ketidak teraturan
misalkan konflik dan konsensus, sebab keduanya bukanlah realitas yang berbeda
melainkan hanya beda dalam aspek formalnya belaka dari suatu realitas yang sama
dan dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah konflik terdapat pula konsensus sebab
keduanya merupakan dualisme dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Dan
dari konflik itu lah terjadi sebuah perubahan sosial di lingkungan tersebut yang
pada kenyataanya memiliki fungsi semakin bersemangatnya masing-masing
kelompok untuk meningkatkan kualitasnya agar tidak kalah dengan kelompok
saingannya.

Hal ini sesuai dengan Teori Cultural Transmission dari penelitian yang dilakukan
oleh Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay. Dalam penelitian tersebut, mereka
menemukan bahwa ada korelasi antara tingkat kejahatan di suatu area dengan
kecenderungan orang yang tinggal di area tersebut untuk ikut melakukan kejahatan.
Semakin tinggi tingkat kejahatan di suatu area, maka semakin besar kecenderungan
orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan kejahatan. Dan
sebaliknya, semakin rendah tingkat kejahatan di suatu area, semakin kecil
kecenderungan orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan
kejahatan .
Cultural transmission dalam penelitian Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay
berlaku pula dalam proses belajar mengenai tawuran. Pelajar yang belajar di
sekolah yang sering terlibat tawuran akan cenderung lebih mudah untuk terlibat
tawuran daripada pelajar yang belajar di sekolah yang tidak terlibat tawuran.

Saya justru tidak melihat korelasi masalah antara apa yang tertuang dalam materi
modul 6 terhadap studi kasus Konflik Tawuran antar pelajar. Saya melihat bahwa
domain Konflik Tawuran antar pelajar lebih kearah perubahan sosial (sosiologi), hal
ini didasari bahwa secara fundamental ini bukanlah permasalahan komunikasi tapi
lebih kepada permasalahan stereotipe sosial dalam masyarakat dalam hal ini adalah
pelajar sebagai bagian dari masyarakat.

Tapi Dengan menyebut Nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang saya akan
mencoba menarik pertanyaan Bagaimana mengatasi konflik di tinjau dari modul 6
diatas? kedalam sebuah konsep komunikasi antar pribadi versi modul 6.

1. Dominasi afektif dalam konflik tawuran pelajar. Dalam ranah ini adalah
tentang bagaimana mengatasi konflik tawuran pelajar dilihat dari aspek
afektif untuk menangkal kecenderungan reaksi emosional pelajar terhadap
suatu objek yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan dan keyakinan benar
salah terhadap suatu objek atau perbuatan. Bagaimana pelajar berperilaku
dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus
tersebut. Ada kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan
kepercayaan dan perasaan ini nantinya akan membentuk sikap seorang
pelajar. Apabila pelajar tidak suka, percaya dan merasa bahwa tawuran
sangat merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan karena merupakan
tindakan criminal, tidak terpuji, mencirikan pribadi yang tidak
berpendidikan dan rendah moral, maka pelajar tersebut cenderung tidak
akan tawuran, terkecuali jika ada kasus dimana kekerasan telah mengalami
pergeseran nilai dan telah menjadi budaya.
2. Produk dalam konflik tawuran pelajar. Pembahasan produk dimaksud bahwa
perasaan, emosional atau aspek afektif pelajar cenderung mempengaruhi
prilaku yang mereka tunjukkan kepada orang lain dalam bentuk sikap. Yaitu
apakah dalam bentuk rasa tidak suka, senang, khawatir, benci ataukah marah
yang biasanya para pelajar tunjukkan dalam bentuk komunikasi nonverbal
selain sedikit dalam ungkapan bahasa verbal. Bahasa nonverbal hanya dapat
dicermati dengan ketelitian karena sifatnya terselubung dari sikap individu.
Dan biasanya terjadinya berlangsung tanpa disadari oleh pelajar dan hanya
dapat dirasakan oleh lawan komunikasinya yaitu pelajar lainnya.
3. Fenomena Conscious dan unconscious dalam konflik tawuran antar pelajar.
Dalam ranah ini bahwa semakin banyak file positif yang ada di pikiran sadar
maupun bawah sadar para pelajar maka semakin baik dan semakin positif
konsep diri yang ada pada diri para pelajar, begitupun sebaliknya ketika
terdapat banyak file negatif makan konsep diri para pelajar akan semakin
negative.

4. Sikap positif
Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan
hidup seseorang, karena konsep diri dapat disamakan dengan suatu sistem operasi
yang menjalankan suatu komponen,

Konsep diri yang positif akhirnya berwujud berupa sikap diri positif yang dapat
terlihat oleh orang lain, sebagai lingkungan sosial para pelajar dimana tempat
mereka bergaul dan berinteraksi. Sikap diri positif memenuhi beberapa hal penting,
seperti;
adanya keyakinan akan kemampuan untuk mengatasi masalah;
merasa setara dengan pelajar lain;
menerima pujian tanpa rasa malu;
menyadari, bahwa setiap pelajar merupakan manusia yang mempunyai
berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui
masyarakat;
mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-
aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Hasil penelitian Litbang Kompas menunjukkan bahwa tawuran dilakukan sebagai


wujud solidaritas pertemanan yang diturunkan oleh senior-seniornya kepada
angkatan yang lebih muda . Sebanyak 63,4 persen responden berpendapat bahwa
tawuran pelajar diturunkan dari kakak kelas kepada adik-adik kelasnya. Para kakak
kelas mengajak, bahkan setengah mengancam adik kelas, agar terlibat tawuran
untuk mendukung sekolah. Bukan hanya siswa laki-laki, siswa perempuan pun
dilibatkan untuk menyembunyikan berbagai benda untuk tawuran.

Dilihat dari perspektif Differential Association Theory terjadi melalui proses belajar
dalam interaksi dengan lingkungan sekolah di mana pelajar tersebut berada. Proses
belajar berlangsung secara intensif melalui proses komunikasi yang intensif antar
anggota kelompok tersebut sehingga transfer budaya terjadi dan budaya tersebut
dapat tetap dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, disarankan bagi pihak terkait perlunya upaya memutuskan mata
rantai transfer budaya tawuran dalam lingkungan sekolah sehingga proses tersebut
tidak berjalan dengan baik dan tradisi tawuran dapat hilang dengan sendirinya.
Pemutusan mata rantai tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas,
durasi, prioritas dan intensitas dalam hubungan interaksi antar individu di sekolah
tersebut, misalnya dengan mengatur jadwal masuk kelas antara kelas 1, kelas 2 dan
kelas 3 dengan jadwal masuk pagi dan masuk siang sehingga proses interaksi dan
komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Teori Differential Association sebagai konsep yang sebenarnya tepat (menurut saya)
sebagai langkah awal unutk menjawab bagaimana mengatasi konflik (dalam hal ini
adalah kasus konflik tawuran antar pelajar). Teori ini menekankan bahwa semua
tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang
tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan
proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi. Namun saya tidak akan
membahasnya karena tidak sesuai konteks pertanyaan yaitu bagaimana mengatasi
konflik di tinjau dari modul 6, sedangkan teori ini tidak termasuk dalam modul 6.
Sekian terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai