Kasus ini terjadi tepatnya 6 Juni 2015 atau hamper 2 tahun yang lalu.
Apa itu konflik ? Secara ekplisit saya sungguh tertarik kepada pernyataan Lewis A.
Coser: Pengertian konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan atas status, kekuasaan, bermaksud untuk menetralkan, mencederai, atau
melenyapkan lawan.
Hal ini sesuai dengan Teori Cultural Transmission dari penelitian yang dilakukan
oleh Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay. Dalam penelitian tersebut, mereka
menemukan bahwa ada korelasi antara tingkat kejahatan di suatu area dengan
kecenderungan orang yang tinggal di area tersebut untuk ikut melakukan kejahatan.
Semakin tinggi tingkat kejahatan di suatu area, maka semakin besar kecenderungan
orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan kejahatan. Dan
sebaliknya, semakin rendah tingkat kejahatan di suatu area, semakin kecil
kecenderungan orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan
kejahatan .
Cultural transmission dalam penelitian Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay
berlaku pula dalam proses belajar mengenai tawuran. Pelajar yang belajar di
sekolah yang sering terlibat tawuran akan cenderung lebih mudah untuk terlibat
tawuran daripada pelajar yang belajar di sekolah yang tidak terlibat tawuran.
Saya justru tidak melihat korelasi masalah antara apa yang tertuang dalam materi
modul 6 terhadap studi kasus Konflik Tawuran antar pelajar. Saya melihat bahwa
domain Konflik Tawuran antar pelajar lebih kearah perubahan sosial (sosiologi), hal
ini didasari bahwa secara fundamental ini bukanlah permasalahan komunikasi tapi
lebih kepada permasalahan stereotipe sosial dalam masyarakat dalam hal ini adalah
pelajar sebagai bagian dari masyarakat.
Tapi Dengan menyebut Nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang saya akan
mencoba menarik pertanyaan Bagaimana mengatasi konflik di tinjau dari modul 6
diatas? kedalam sebuah konsep komunikasi antar pribadi versi modul 6.
1. Dominasi afektif dalam konflik tawuran pelajar. Dalam ranah ini adalah
tentang bagaimana mengatasi konflik tawuran pelajar dilihat dari aspek
afektif untuk menangkal kecenderungan reaksi emosional pelajar terhadap
suatu objek yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan dan keyakinan benar
salah terhadap suatu objek atau perbuatan. Bagaimana pelajar berperilaku
dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus
tersebut. Ada kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan
kepercayaan dan perasaan ini nantinya akan membentuk sikap seorang
pelajar. Apabila pelajar tidak suka, percaya dan merasa bahwa tawuran
sangat merugikan diri sendiri, orang lain dan lingkungan karena merupakan
tindakan criminal, tidak terpuji, mencirikan pribadi yang tidak
berpendidikan dan rendah moral, maka pelajar tersebut cenderung tidak
akan tawuran, terkecuali jika ada kasus dimana kekerasan telah mengalami
pergeseran nilai dan telah menjadi budaya.
2. Produk dalam konflik tawuran pelajar. Pembahasan produk dimaksud bahwa
perasaan, emosional atau aspek afektif pelajar cenderung mempengaruhi
prilaku yang mereka tunjukkan kepada orang lain dalam bentuk sikap. Yaitu
apakah dalam bentuk rasa tidak suka, senang, khawatir, benci ataukah marah
yang biasanya para pelajar tunjukkan dalam bentuk komunikasi nonverbal
selain sedikit dalam ungkapan bahasa verbal. Bahasa nonverbal hanya dapat
dicermati dengan ketelitian karena sifatnya terselubung dari sikap individu.
Dan biasanya terjadinya berlangsung tanpa disadari oleh pelajar dan hanya
dapat dirasakan oleh lawan komunikasinya yaitu pelajar lainnya.
3. Fenomena Conscious dan unconscious dalam konflik tawuran antar pelajar.
Dalam ranah ini bahwa semakin banyak file positif yang ada di pikiran sadar
maupun bawah sadar para pelajar maka semakin baik dan semakin positif
konsep diri yang ada pada diri para pelajar, begitupun sebaliknya ketika
terdapat banyak file negatif makan konsep diri para pelajar akan semakin
negative.
4. Sikap positif
Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan
hidup seseorang, karena konsep diri dapat disamakan dengan suatu sistem operasi
yang menjalankan suatu komponen,
Konsep diri yang positif akhirnya berwujud berupa sikap diri positif yang dapat
terlihat oleh orang lain, sebagai lingkungan sosial para pelajar dimana tempat
mereka bergaul dan berinteraksi. Sikap diri positif memenuhi beberapa hal penting,
seperti;
adanya keyakinan akan kemampuan untuk mengatasi masalah;
merasa setara dengan pelajar lain;
menerima pujian tanpa rasa malu;
menyadari, bahwa setiap pelajar merupakan manusia yang mempunyai
berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui
masyarakat;
mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-
aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Dilihat dari perspektif Differential Association Theory terjadi melalui proses belajar
dalam interaksi dengan lingkungan sekolah di mana pelajar tersebut berada. Proses
belajar berlangsung secara intensif melalui proses komunikasi yang intensif antar
anggota kelompok tersebut sehingga transfer budaya terjadi dan budaya tersebut
dapat tetap dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, disarankan bagi pihak terkait perlunya upaya memutuskan mata
rantai transfer budaya tawuran dalam lingkungan sekolah sehingga proses tersebut
tidak berjalan dengan baik dan tradisi tawuran dapat hilang dengan sendirinya.
Pemutusan mata rantai tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas,
durasi, prioritas dan intensitas dalam hubungan interaksi antar individu di sekolah
tersebut, misalnya dengan mengatur jadwal masuk kelas antara kelas 1, kelas 2 dan
kelas 3 dengan jadwal masuk pagi dan masuk siang sehingga proses interaksi dan
komunikasi tidak berjalan dengan baik.
Teori Differential Association sebagai konsep yang sebenarnya tepat (menurut saya)
sebagai langkah awal unutk menjawab bagaimana mengatasi konflik (dalam hal ini
adalah kasus konflik tawuran antar pelajar). Teori ini menekankan bahwa semua
tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang
tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu
pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan
proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi. Namun saya tidak akan
membahasnya karena tidak sesuai konteks pertanyaan yaitu bagaimana mengatasi
konflik di tinjau dari modul 6, sedangkan teori ini tidak termasuk dalam modul 6.
Sekian terima kasih.