Anda di halaman 1dari 23

BAB II

Kerangka TEORI

A. Dasar Teori
1. Konflik
a. Pengertian konflik
Menurut Hardjana (dalam Puspita, 2018:4) konflik adalah suatu
pertentangan atau perselisihan yang terjadi antara dua orang atau dua kelompok
yang perbuatannya berlawanan sehingga kedua-duanya saling terganggu. Menurut
Sarwono (dalam Mulyadi, 2016:84-85), konflik adalah pertentangan antara dua
pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok kecil bahkan
antarbangsa dan negara. Dampak konflik umumnya negatif. Semula orang
mengira bahwa sumber konflik adalah ras, jenis kelamin, kebudayaan, dan
sebagainya. Akan tetapi, penelitian membuktikan bahwa hubungan antarindividu
atau antarkelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting
Menurut Puspita (2018:1), konflik merupakan suatu kondisi tidak
menyenangkan yang terjadi dan sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Konflik bisa dialami oleh diri sendiri maupun dengan orang lain. Konflik dapat
disebabkan oleh perilaku diri sendiri dan dapat terjadi oleh prilaku orag lain.
Sikap tidak dapat menerima kesalahan dan kenyataan menjadi salah satu sumber
yang dapat menimbulkan konflik. Konflik membuat seseorang merasa tidak
nyaman. Oleh karena itu, konflik harus diselesaikan dengan mencari solusi.
Solusi-solusi tersebut dapat dilakukan dengan cara dihindari, didorong, atau
mencari solusi terbaik agar tidak menimbulkan masalah baru.
Menurut berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konflik
merupakan pertentangan diri sendiri maupun dengan orang lain yang
menyebabkan kondisi tidak menyenangkan. Konflik bisa bersumber dari ras, jenis
kelamin, kebudayaan, dan sebagainya. Konflik umumnya berdampak negatif.
Konflik membuat seseorang merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu membuat
konflik harus segera diselesaikan dengan mencari solusi-solusi terbaik agar tidak
menimbulkan masalah baru.
b. Macam konflik,
Konflik fisik dan batin = Konflik internal kjiwaan, ktika, Konflik ex fisik dll
Konflik sosial ada terkait dgn konflik interpersonal.
2. Konflik interpersonal
A pngertian inter
b. ruang lingkup/cakupan/Teori pakar’ dlm
1). sejiwa
2. konflik inter horney,
kbutuhan 10hal, trkait dg eksploitasi
d. eksploitasi - pmbullyan
pmbullyan-konsep diri dri bullying mmnbullkan intrapsikis mngonsepkan tknan
dirinya dari luar 1)
dgn mncr konsep itu mcr solusi
pmbicaraan yg trkait bully, konsep, cara mengatasi djlaskan sbg berikut
a)
3. film imperfect
Sinopsis, kelebihan, memenangkan apa dsb, dimainkan dll

2. Konflik dalam Karya Sastra


Setiap karya sastra memiliki tema, amanat, alur, konflik, tokoh,
penokohan, latar, dan sebagainya. Alur sebuah cerita di dalamnya terdapat
konflik. Menurut Alwi dkk (2010:587), konflik dalam karya sastra adalah
ketegangan atau pertentangan dalam sebuah cerita atau drama yang berada dalam
diri tokoh, antara dua tokoh, dan sebagainya.
Menurut Nurgiyantoro (2019:178-179), konflik merupakan unsur yang
terpenting dalam pengembangan cerita film. konflik terjadi atas peristiwa-
peristiwa manusiawi. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling
menyebabkan satu dengan lain, dan bahkan konflik juga hakikatnya merupakan
peristiwa juga. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita dapat berupa peristiwa fisik
ataupun batin. Peristiwa fisik merupakan interaksi antara seorang tokoh cerita
dengan sesuatu yang berada di luar diri dan dapat berwujud tokoh lain atau
lingkungan. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, dalam hati da
dalam pikiran tokoh. Kedua bentuk peristiwa tersebut saling berkaitan dan saling
menyebakan terjadinya satu dengan yang lain. Bentuk peristiwa atau konflik dapat
berupa perbedaan kepentingan, pengkhianatan, balas dendam, dan bullying.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
pertentangan di dalam sebuah cerita yang timbul dari tokoh lain dan juga bisa
timbul dari pertentangan di dalam batin, dalam hati dan dalam pikiran tokoh itu
sendiri.

3. Bullying
a. Pengertian Bullying
Bullying merupakan salah satu bentuk timbulnya konflik yang berasal dari
pertentangan antar tokoh. Kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari
kata bull yang berarti banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam
Bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang
mengganggu orang lemah. Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku kekerasan
yang memaksakan secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang.
Pelaku bullying biasa disebut bully. Pelaku bisa seseorang, bisa juga sekelompok
orang, dan ia atau mereka mempersepsikan dirinya memiliki power (kekuasaan)
untuk melakukan apa saja terhadap korbannya (Zakiyah, Sahadi, dan Budiarti,
2017:325-326).
Menurut Sejiwa (2008:2), bullying adalah sebuah situasi terjadinya
penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok. Dalam hal ini sang korban bullying tidak mampu membela atau
mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik dan atau mental.
Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bullying
merupakan penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang
atau sekelompok orang yang lebih “lemah”.
b. Macam Bullying
Menurut Shariff (dalam Mulyadi, 2016:94) menyebutkan bentuk-bentuk
bullying menjadi dua, yaitu bullying secara fisik dan bullying secara psikologis.
Penjelasannya sebagai berikut.
1) Bullying secara fisik merupakan bentuk perilaku bullying fisik seperti
memukul, melempar sesuatu (biasanya berbentuk barang), menampar,
mencekik, menjambak dan sebagainya.
2) Bullying secara psikologis merupakan bentuk bullying seperti ejekan,
gurauan sinis yang memang sengaja ditujukan kepada individu tertentu.
Pelaku memastikan bahwa ejekan dan gurauan sinis tersebut didengar secara
langsung oleh korban yang bersangkutan. Bentuk lain bisa berupa gosip dan
fitnah, dan perilaku diskriminatif.
Menurut Coloroso (dalam Zakiyah, Sahadi, dan Budiarti, 2017:325-326),
bullying dibagi menjadi tiga jenis, sebagai berikut.
1) Bullying Fisik
Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling
dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya, namun
kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden penindasan
yang dilaporkan oleh siswa. Jenis penindasan secara fisik di antaranya adalah
memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting,
mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang
menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta barang-barang
milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas,
semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan
untuk mencederai secara serius.
2) Bullying Verbal
Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan,
baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah
dilakukan dan dapat dibisikkan dihadapan orang dewasa serta teman sebaya,
tanpa terdeteksi. Penindasan verbal dapat diteriakkan di taman bermain
bercampur dengan hingar bingar yang terdengar oleh pengawas, diabaikan
karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di
antara teman sebaya. Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan,
fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual. Selain itu, penindasan verbal dapat berupa
perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang
mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-
tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gosip.
3) Bullying Relasional
Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah
pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran,
suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang
digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan
mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk
mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditujukan
untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap
tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu
yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
4) Cyber bullying
Cyber bullying adalah bentuk bullying yang terbaru karena semakin
berkembangnya teknologi, internet dan media sosial. Pada intinya adalah
korban terus menerus mendapatkan pesan negative dari pelaku bullying baik
dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya. Bentuknya berupa
sebagai berikut.
a) Mengirim pesan yang menyakitkan atau menggunakan gambar.
b) Meninggalkan pesan voicemail yang kejam.
c) Menelepon terus menerus tanpa henti namun tidak mengatakan apa-apa.
d) Membuat website yang memalukan bagi si korban.
e) Si korban dihindarkan atau dijauhi dari chat room dan lainnya.
f) “Happy slapping” – yaitu video yang berisi dimana si korban dipermalukan
atau di-bully lalu disebarluaskan.
Adapun menurut Riauskina, dkk (dalam Zakiyah, Sahadi, dan Budiarti,
2017:325-326), mengelompokkan perilaku bullying ke dalam lima kategori,
sebagai berikut.
1) Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak,
menendang, mengunci, seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga
termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain).
2) Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, member panggilan nama, sarkasme, mencela/mengejek,
memaki, menyebarkan gosip).
3) Perilaku nonverbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam,
biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
4) Perilaku nonverbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi
persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,
mengirimkan surat kaleng);
5) Pelecehan seksual (kadang-kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau
verbal).
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bullying terbagi
menjadi beberapa macam, yaitu bullying fisik, verbal dan cyber bullying. Akan
tetapi, dalam penelitian ini hanya akan berfokus pada bullying verbal yang terjadi
di dalam sebuah cerita.
c. Karakteristik Pelaku dan Korban Bullying
Dalam peristiwa bullying selalu ada pelaku dan korban yang terlibat.
Menurut Hazzler, dkk (dalam Mulyadi, 2016:93), menyampaikan bahwa terdapat
beberapa karakteristik bullies atau pelaku bullying dan korban bullying sebagai
berikut.
Karakteristik bullies atau pelaku bullying, yakni 1) berusaha
mengendalikan orang lain melalui ancaman verbal dan aksi fisik; 2) cepat marah
dan bereaksi menggunakan kekerasan lebih cepat dibandingkan orang lain; 3)
memiliki sedikit empati pada orang lain yang menjadi korban bullying dirinya; 4)
menampilkan banyak perilaku agresif yang menonjol.
Karakteristik korban bullying, yakni 1) merasa percaya bahwa dirinya
tidak mampu mengendalikan lingkungan sekitarnya; 2) memiliki keterampilan
sosial yang tidak efektif; 3) memiliki keterampilan interpersonal yang buruk; 4)
tidak sepopuler teman-teman lainnya; 5) terkadang secara fisik lebih kecil, lebih
lemah dan juga lebih muda; 6) memiliki kemampuan berkomunikasi yang buruk
saat sedang merasa stres atau tertekan, dan sebagainya.
Adapun pendapat yang berbeda menurut Zakiyah, Sahadi, dan Budiarti
(2017:326-327) pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi
menjadi empat, sebagai berikut.
1) Bullies (pelaku bullying)
Pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin
popular, sering membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri
hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu
pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu seperti di sekolah atau
di sekitarnya yang merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak geriknya sering
kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata
kasar, dan menyepelekan atau melecehkan.
2) Victim (korban bullying)
korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan
situasi baru. Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati,
sensitif, dan pendiam. Korban bullying merupakan anak yang memiliki ciri fisik
yang berbeda dengan mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan
mental dan atau fisik sehingga disengaja atau tidak dapat menggangu pelaku
bullying.
3) Bully-victim
Bully-victim menunjukkan bully verbal dan fisik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami
peningkatan depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody
daripada orang lain. Bully-victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas, emosi
yang buruk, dan kesulitan dalam bersosialisasi.
4) Netral
Netral merupakan pihak yang tidak terlibat dalam perilaku bullying, baik sebagai
pelaku maupun sebagai korban.
Menurut penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bullying
terdiri atas pelaku, korban, dan pihak netral maupun pendukung. Dalam penelitian
ini akan lebih memfokuskan pada korban bullying.
d. Efek Bullying
Bullying memberikan pengaruh yang sangat buruk, bagi korban dan
pelaku. Menurut Marsh dkk (dalam Mulyadi, 2016:98), beberapa pengaruh
tersebut adalah:
1) Penolakan teman sebaya
Baik pelaku maupun korban biasanya dijauhi oleh teman sebaya karena bullying.
Pelaku dijauhi karena imej buruk sebagai siswa yang nakal. Sementara itu, korban
dijauhi biasanya karena teman-temannya takut terseret masalah yang sama antara
korban dan pelaku.
2) Terlibat kenakalan remaja dan kriminalitas
Kriminalitas di sini artinya sudah ada perilaku yang bertentangan dengan
hukum dan bukan sekedar kenakalan biasa. Hal ini mungkin terjadi
dikarenakan keterlibatan pelaku dengan gank yang juga perilakunya
bermasalah secara sosial.
3) Permasalahan psikologis
Perasaan tidak nyaman dan tidak aman menghantui korban bullying sehingga
memiliki efek domino terhadap hal-hal lainnya seperti prestasi akademis dan
sebagainya.
4) Melakukan kekerasan lebih lanjut di sekolah
Pelaku bullying biasanya bukan hanya melakukan bully tetapi juga tindak
kekerasan lebih lanjut seperti perkelahian dan penganiayaan terhadap teman
sekolahnya.
5) Depresi
Depresi biasanya muncul saat korban merasa malu, tertekan dan stres karena
luka emosional yang terkait dengan bullying secara verbal.
6) Memiliki ide bunuh diri
Ide bunuh diri muncul ketika korban tidak mampu menemukan jalan keluar
atau coping yang sesuai saat depresi karena bullying. Korban biasanya tidak
mampu bercerita kepada orang lain, apalagi bercerita kepada pihak sekolah
dan orang tua.
7) Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya merupakan lingkaran setan yang
terjadi karena dahulu korban pernah melihat atau mengalami bullying.
Perasaan tidak berdaya kemudian terproyeksikan menjadi keinginan untuk
menjadi pelaku. Laki-laki korban bullying saat di sekolah dapat melakukan
kekerasan bertahun-tahun kemudian saat berumah tangga kepada istrinya.
Menurut Sejiwa (2008:12), di Indonesia belum ada data statistik yang
memadai karena penelitian terhadap fenomena bullying masih relatif baru. Namun
karena wujud dan akibat bullying umumnya sama di semua negara di dunia, maka
patut dapat disimpulkan beberapa dampak-dampak bullying sebagai berikut.
1) Mengurung diri
2) Menangis
3) Ingin pindah sekolah / tempat kerja / lingkungan
4) Konsentrasi berkurang
5) Prestasi belajar meurun
6) Tidak mau bermain atau bersosialisasi
7) Suka membawa barang-barang tertentu (sesuai yang diminta oleh pelaku
bully)
8) Anak menjadi penakut
9) Marah-marah atau uring-uringan
10) Gelisah
11) Menangis
12) Berbohong
13) Melakukan perilaku bullying terhadap orang lain
14) Memar atau lebam-lebam
15) Tidak bersemangat
16) Menjadi pendiam
17) Mudah sensitif
18) Menjadi rendah diri
19) Menyendiri
20) Menjadi kasar dan dendam
21) Ngompol
22) Berkeringat dingin
23) Tak percaya diri
24) Mudah cemas
25) Cengeng (untuk yang masih kecil)
26) Mimpi buruk
27) Mudah tersinggung
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi korban
bullying memberikan dampak yang memengaruhi psikologis, fisik dan cara
bersosialisasi seseorang.

4. Psiko-sosial
Menurut Hall dan Lindzey (2012:237-239), pada akhir abad XIX, para
sosiolog mempelajari manusia yang hidup dalam situasi maju dan berpendapat
bahwa manusia adalah produk dari kelas dan golongan, pranata-pranata dan adat-
kebiasaan tradisional. Menurut ilmu-ilmu sosial, individu merupakan produk dari
masyarakat yang sesuai dengan tempat hidup, maka dari itu kepribadian dibentuk
oleh lingkungan sosial daripada factor biologis.
Semakin lama ajaran sosial dan kebudayaan yang berkembang mulai
meresap ke dalam psikologi dan psikoanalisis. Sejumlah pengikut freud akhirnya
menarik psikoanalasis dengan orientasi baru yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu
pengetahuan sosial. Pada abad XX terdapat empat orang yang mengemukakan
teori-teori psikologi sosial, yakni Alfred Adler, Karen Horney, Erich Fromm, dan
Harry Stack Sullivan. Alfred Adler lebih menekankan teori pada kodrat sosial.
Horney mengembangkan teori kepribadian (psikoanalisis) ke psikologi sosial
yang lebih memperhatikan psikologi pada wanita. Fromm lebih dikenal sebagai
renovator dan pengurai teori lama Freud dari segi produktivitas manusia dan
Sullivan lebih terpengaruh oleh antropologi dan psikologi soial.
Dari beberapa pakar yang mengemukakan teori psikologi sosial, Karen
Horney yang paling mendekati dalam film yang akan dikaji. Horney
mengemukakan bahwa psikologi wanita didasarkan pada kekurangpercayaan-diri
serta penekanan yang terlalu berlebihan pada hubungan cinta. Kurang percaya diri
tersebut membuat perasaan kecemasan muncul, hingga meningkat menjadi
perasaan tak berdaya dan penuh ancaman. Hal tersebut yang membuat timbul
konflik dari luar diri maupun di dalam diri, yang disebut konflik interpersonal dan
konflik intrapsikis.

5. Konflik Interpersonal
Horney (dalam Alwisol 2019:143), mengatakan bahwa konflik adalah
pertentangan antar kekuatan yang tidak dapat dihindari. Konflik interpersonal
merupakan konflik yang dihadapkan dengan pilihan keinginan yang arahnya
berbeda. Konflik interpersonal berupa harapan, minat, atau pendirian seseorang
yang bertabrakan dengan orang lain.
Konflik normal berbeda dengan konflik neurotik (kondisi penuh beban).
Perbedaannya terdapat pada taraf atau tinggi rendahnya konflik. Ketika seseorang
mengalami sebuah konflik, tidak berarti mengidap neurotik. Seseorang dengan
kecemasan dasar mungkin memulai hidup dengan konflik yang sangat berat,
konflik antara kebutuhan rasa aman dan kebutuhan menyatakan kebebasan emosi
dan pikiran. Sehingga setiap orang melakukan berbagai cara untuk
mempertahankan diri dengan melawan penolakan, permusuhan dan persaingan
dari orang lain.

6. Konflik Intrapsikis
Menurut Horney (dalam Alwisol, 2019:145), konflik intrapsikis
merupakan kecenderungan neurotik yang timbul dari kecemasan dasar dan
berkembang dari hubungan anak dengan orang lain. Dinamika kejiwaan yang
terjadi menekankan pada konflik budaya dan hubungan antar pribadi.
Menurut Horney (dalam Fatwikiningsih, 2019:145) mulai memberikan
penekanan konflik intrapsikis (konflik batin) lebih besar yang dialami oleh
individu normal maupun individu neurotik. Proses intrapsikis berasal dari
pengalaman interpersonal.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konflik
intrapsikis merupakan konflik yang timbul dari kecemasan dasar dan berkembang
dari hubungan anak dengan orang lain atau lebih singkatnya berasal dari
interpersonal. Untuk dapat memahami konflik intrapsikis, perlu dipahami konsep
diri sebagai berikut.
a. Diri Rendah
Konsep yang salah tentang kemampuan diri, keberhargaan dan kemenarikan diri
yang didasarkan pada evaluasi orang lain yang dipercayainya (terutama pada
orang tua). Evaluasi negatif mungkin mendorong orang untuk merasa tak berdaya.
b. Diri Nyata
Pandangan subjektif tentang diri yang sebenarnya. Mencakup potensi untuk
berkembang, kebahagiaan, kekuatan, kemauan, kemampuan khusus dan keinginan
untuk “realisasi diri”, dan keinginan untuk spontan menyatakan diri yang
sebenarnya.
c. Diri Ideal
Pandangan subjektif mengenai diri yang seharusnya. Suatu usaha untuk menjadi
sempurna dalam bentuk khayalan sebagai kompensasi perasaan tidak mampu dan
tidak dicintai. Dapat juga dikatakan bahwa diri ideal hanya membuat gambaran
bagus untuk diri sendiri. Ketika gambaran diri ideal menjadi semakin kuat,
pengidap neurotik mulai percaya bahwa gambaran ideal itu nyata sehingga
memakai diri ideal sebagai standart evaluasi diri. Akan tetapi, bukannya bergerak
menuju realisasi diri justru bergerak menuju aktualisasi diri ideal. Horney juga
mengemukakan bahwa ada tiga aspek diri ideal neurotik, yakni pencarian
keagungan neurotik, penuntut neurotik, dan kebanggan neurotik.
1) Pencarian Keagungan Neurotik
Gambaran individu yang menganggap diri ideal itu nyata ke dalam aspek
hidupnya yang menjadikannya sebagai acuan tujuan, konsep diri, dan
hubungannya dengan orang lain. Hal yang dibutuhkan adalah kesempurnaan,
mempunyai ambisi yang neurotik, dan dorongan untuk menang dalam balas
dendam.
a) Kebutuhan kesempurnaan merupakan kebutuhan untuk mendorong dan
mencapai kesempurnaan dengan mendirikan seperangkat “keharusan” dan
“ketidakharusan”. Orang neurotik secara tidak sadar mengatakan kepada
dirinya sendiri bahwa “Lupakan bahwa kamu itu nyatanya makhluk yang
memalukan dan inilah kamu yang seharusnya.”
b) Ambisi neurotik adalah dorongan menjadi superior atau unggul. Dorongan
ini mungkin memakai beberapa bentuk yang berbeda sepanjang hidup
manusia. Misalnya, ketika masih sekolah menginginkan menjadi siswa
terbaik, ketika bekerja berambisi menjadi paling sukses dan berambisi
menjadi paling dermawan atau berambisi paling baik hati.
c) Dorongan untuk balas dendam merupakan aspek neurotik yang paling
berbahaya. Keinginan balas dendam ini mungkin disembunyikan sebagai
kesuksesan, tetapi tujuan utamanya adalah membuat orang lain malu dan
membuat sengsara orang lain.
2) Penuntut Neurotik
Membangun dunia fantasi yang tidak selaras dengan dunia nyata. Terkadang,
tidak dapat melihat bahwa tuntutan mendapat perlakuan khusus itu termasuk
masuk akal ataupun tidak. Akan tetapi, jika tuntutan penderita neurotik tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan kemarahan, kebingungan, dan tidak mampu
memahami alasan orang lain tidak memperhatikan tuntutannya.
3) Kebanggaan Neurotik
Kebanggaan neurotik didasarkan pada gambaran diri ideal dan biasanya
diumumkan keras-keras untuk melindungi dan mendukung pandangan diri yang
dibanggakan. Neurotik membayangkan diri sebagai orang yang mulia, hebat dan
sempurna.
4) Kebencian Diri
Neurotik yang terus-menerus mencari keagungan tidak pernah puas karena
menyadari bahwa diri nyata tidak cocok dengan diri ideal yang didambakan. Pada
akhirnya, hal tersebut membuat kebencian dan memandang rendah dirinya sendiri.
Horney mengemukakan enam cara mengekspresikan kebencian diri, sebagai
berikut.
a) Menuntut kebutuhan kepada diri sendiri tanpa ukuran merupakan
pemaksaan yang terus mendorong dirinya sendiri untuk bergerak menuju
kesempurnaan.
b) Menyalahkan diri tanpa ampun merupakan mencaci maki diri sendiri yang
berbentuk berbagai macam, mulai dari menuduh, menipu, dan berekspresi
luar biasa hebat.
c) Menghina diri merupakan wujud memandang kecil, meremehkan,
meragukan, mencemarkan, dan menertawakan diri sendiri.
d) Frustasi diri merupakan menunda atau mendahulukan aktivitas untuk
mengaktualisasi gambaran diri yang rendah dan membelenggu diri dengan
tabu untuk menentang kesenangan.
e) Menyiksa diri merupakan hal yang membahayakan atau menyakiti diri
sendiri dengan mengalami penderitaan akibat suatu keputusan.
f) Tingkah laku dan dorongan merusak diri merupakan wujud fisik dan psikis
yang disadari atau tidak dan benar-benar dilakukan atau hanya imajinasi.
Misalnya makan terlalu banyak, pekerja terlalu keras, pemabuk, bunuh
diri, dan ketika bekerja memutuskan berhenti.
d. Diri Aktual
Kenyataan objektif seorang diri, baik secara fisik maupun mental yang apa adanya
tanpa dipengaruhi oleh persepsi orang lain.

7. Cara Mengatasi Konflik


Menurut Horney (dalam Alwisol 2019:150) penyebab utama timbulnya
neurotik adalah hubungan interpersonal yang salah. Oleh karena itu mengatasi
neurotik, konflik dan kecemasan hanya dapat dilakukan dengan perbaikan
hubungan interpersonal yang salah. Horney mengemukakan bahwa ada tiga cara
bergerak untuk mengatasi konflik sebagai berikut.
1) Bergerak Mendekat Orang Lain
Bergerak mendekati orang lain adalah sebagai bentuk usaha untuk
melawan perasaan tak berdaya. Orang yang merasa selalu kalah atau mudah
kalah akan menjadi sangat membutuhkan kasih sayang-penerimaan dan atau
membutuhkan partner yang kuat yang dapat mengambil tanggungjawab
terhadap kehidupannya. Seseorang bersedia menempatkan diri di bawah
orang lain, menempatkan orang lain lebih cerdas dan lebih menrarik, dan
menilai diri sesuai dengan fikiran orang mengenai dirinya.
2) Bergerak Melawan Orang Lain
Bergerak melawan orang lain merupakan orang yang agresif memandang
orang lain sebagai musuh dan memakai strategi melawan orang lain untuk
meredakan kecemasannya. Seseorang dimotivasi untuk mengeksploitasi
orang lain dan memanfaatkan orang lain untuk keuntungan pribadinya.
Seseorang tidak mau menerima kesalahannya sendiri serta secara kompulsif
berusaha tampil sempurna, kuat dan superior.
3) Bergerak Menjauh dari Orang Lain
Bergerak menjauh dari orang lain merupakan cara mengatasi konflik dasar
isolasi. Orang memilih untuk memisahkan diri. Strategi ini adalah ekspresi
kebutuhan keleluasan pribadi, kemandirian, dan kecukupan diri sendiri.
Seseorang membangun dunianya sendiri dan menolak mengikuti orang lain.
Seseorang menilai tinggi kebebasan dan kecukupan diri serta sering tampak
menyendiri dan sukar didekati.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Horney (dalam Friedman &
Schustack, 2019), dalam menemukan serangkaian strategi yang digunakan oleh
orang untuk menghadapi orang lain, sebagai berikut.
1) Maju ke Depan
Seseorang selalu berusaha membuat orang lain gembira, mendapatkan
cinta dan menjaga penerimaan serta afeksi dari orang lain. Tindakan ini
digunakan untuk mendapatkan cinta, untuk menyembunyikan yang diyakini
benar tentang diri sendiri, dan membuat org lain yakin bahwa mereka patut
disayangi. Sebagai contoh, seorang wanita dibesarkan oleh orag tua pemabuk
mungkin belajar untuk memeroleh rasa percaya diri dengan menuruti tuntutan
yang mengeksploitasi dirinya sebagai orang dewasa, lalu mencari pria yang
mengeksploitasi dirinya dan mencurahkan diri sepenuhnya pada pria untuk
membuat pria senang dan mendapatkan perhatian pria tersebut.
2) Bergerak Melawan Arah
Seseorang berusaha keras mendapatkan kekuasaan, pengakuan, dan
penghormtan dari orang lain. Horney yakin bahwa individu-individu seperti
ini terlalu mengidentifikasi diri dengan kesempurnaan diri ketimbang dengan
diri rendah. Diri rendah merupakan kelemahan yang didasarkan pada evaluasi
negatif orang lain dan munculnya perasaan tak berdaya. Seseorang mulai
meyakini bahwa semua hal yang mereka inginkan tentang dirinya benar.
Serta, usaha keras untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan merupakan
usaha untuk menegaskan kebenaran akan ilusi tersebut.
3) Bergerak Menjauh
Seseorang berusaha untuk tidak menanamkan emosi terhadap hubungan
interpersonal, sebagai usaha menghindari kemungkinan disakiti dalam sebuah
hubungan. Horney yakin individu-individu tersebut ingin mengatasi Despired
Self dan juga merasa tidak mampu mencapai Ideal Self. Seseorang tersebut
melihat dirinya sendiri di waktu sekarang sebagai seseorang yang tidak
berharga untuk dicintai dan dan diperhatikan orang lain dan juga merasa tidak
dapat meraih hal-hal yang lebih besar lagi. Lalu, untuk mencegah terciptanya
jurang pemisah antara kedua aspek diri tersebut dan bersembunyi di belakang
kemandirian dan kesendiriannya.

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Terdapat beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan penilitian ini,
sebagai berikut.
1. Penelitian dari Umi Nurul Fadilah mahasiswa Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2021 dengan judul Analisis Semiotika
Representasi Body Shaming Pada Film Imperfect: Karir, Cinta &
Timbangan. Rumusan masalah bagaimana representasi body shaming dalam
film Imperfect: Karir, Cinta & Timbangan? Hasilnya, penelitian ini
membahas tanda dan makna dengan menggunakan kode-kode sosial
semiotika John Fiske yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi
yang terdapat pada scene - scene film Imperfect: Cinta, Karir dan
Timbangan.
2. Penelitian dari Prilsila Krisanti mahasiswa Universitas Islam Malang pada
tahun 2021 yang berjudul Representasi Tindakan Diskriminatif Tokoh Utama
Wanita dalam Film Imperfect Karya Ernest Prakasa dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Sastra. Rumusan masalah penelitian ini adalah a) bagaimana
bentuk tindakan deskriminatif pada tokoh Rara? b) bagaimana penyebab
diskriminatif pada tokoh Rara? c) bagaimana implikasi tindakan diskriminatif
pada tokoh Rara? Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi tindakan
diskriminatif pada film Imperfect terbagi atas (1) bentuk tindakan
diskriminatif pada tokoh Rara direpresentasikan dalam film Imperfect karya
Ernest Prakasa yaitu berupa diskriminasi verbal dan diskriminasi
penghindaran, (2) penyebab terjadinya tindakan diskriminatif pada tokoh
Rara direpresentasikan dalam film Imperfect karya Ernest Prakasa yaitu
berupa mekanisme pertahanan psikologi, mengalami rasa tidak selamat dan
rendah diri, sejarah, persaingan dan eksploitasi, (3) implikasi tindakan
diskriminatif pada tokoh Rara direpresentasikan dalam film Imperfect karya
Ernest Prakasa dalam pembelajaran sastra yaitu berupa bahan ajar teks ulasan
pada Sekolah Menengah Petama terdapat dalam SKKD serta RPP yang
memiliki Kompetensi Dasar 3.12 Menelaah struktur dan kebahasaan teks
ulasan (film, cerpen, puisi, novel, karya seni daerah) yang diperdengarkan
dan dibaca, dan 4.12 Menyajikan tanggapan tentang kualitas karya (film,
cerpen, puisi, novel, karya seni daerah, dll.) dalam bentuk teks ulasan secara
lisan dan tulis dengan memperhatikan struktur, unsur kebahasaan, atau aspek
lisan.
3. Penelitian dari Cindy Azzahro Nadine mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Malang pada tahun 2019 yang berjudul Konflik Intrapsikis
Tokoh Utama Dalam Novel Kerumunan Terakhir Karya Okky Madasari:
Kajian Psikoanalisis Sosial Karen Horney. Rumusan masalah penelitian ini
ada dua yaitu, 1) bagaimana bentuk konflik intrapsikis yang dilakukan oleh
tokoh utama dalam novel Kerumunan Terakhir karya Okky Madasari? 2)
bagaimana cara tokoh utama dalam mengatasi konflik intrapsikis pada novel
Kerumunan Terakhir karya Okky Madasari? Hasil penelitian (1) terdapat dua
macam konflik intrapsikis tokoh utama, yaitu sebagai kebutuhan
kesempurnaan, ambisi neurotik, dan kebanggaan palsu. Juga, membenci diri
sendiri termasuk meremehkan dirinya sendiri, frustrasi, dan dorongan untuk
melukai diri sendiri. (2) Ada tiga cara untuk menyelesaikan konflik yang
dilakukan oleh tokoh utama, yaitu mendekati orang lain sebagai kebutuhan
akan kasih sayang dan penerimaan, dan kebutuhan akan pasangan yang kuat
dan berpengaruh. Kemudian, menentang orang lain sebagai kebutuhan untuk
mengeksploitasi orang lain dan kebutuhan pengakuan sosial. Dan yang
terakhir adalah menghindari orang lain sebagai kebutuhan akan kemandirian
dan kebebasan.
4. Penelitian dari Refa Dinda Regita mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
yang berjudul Konflik Intrapsikis Tokoh Utama Dalam Novel-Novel Karya
Syahid Muhammad (Teori Psikoanalisis Karen Horney). Rumusan masalah
(1) bagaimana konflik intrapsikis yang dialami tokoh utama dalam novel
Egosentris dan Paradigma karya Syahid Muhammad? (2) upaya tokoh utama
dalam menghadapi konflik yang dialami dalam novel Egosentris dan
Paradigma karya Syahid Muhammad? dan (3) aktualisasi diri tokoh utama
dalam novel Egosentris dan Paradigma karya Syahid Muhammad? Hasilnya
ditemukannya konflik intrapsikis dalam novel Egosentris sebanyak tiga puluh
satu data diri ideal dan tiga puluh dua data kebencian diri dan pada novel
Paradigma ditemukan sebanyak tiga puluh empat data diri ideal dan lima
belas data kebencian diri. Upaya dalam menghadapi konflik intrapsikis dari
masing-masing tokoh utama novel Egosentris dan novel Paradigma yaitu (a)
bergerak mendekati orang lain dengan cara mendekati orang-orang yang
selalu ada di dekatnya yakni, Aldo, Ola, Anya, (b) bergerak melawan orang
lain dengan cara melawan Aldo, Ola, Anya, dan (c) bergerak menjauhi orang
lain, Rana memilih menghilang dan menjauhi teman-temannya. Aktualisasi
diri atau puncak kebahagiaan Rana ketika semua orang mampu memahami
keadaan dirinya dan ia diterima baik oleh semua orang, Rana menjalani
kembali kehidupannya dengan normal.
Dari penelitian terdahulu yang relevan, terdapat persamaan penelitian yang
dilakukan peneliti dengan penelitian tersebut. Pada penelitian pertama dan kedua
memiliki persamaan yang sumber data yang menggunakan film Imperfect karya
Meira Anastasia. Sedangkan pada peenlitian ketiga dan keempat terdapat
persamaan teori psikologi sosial dari Karen Horney sebagai kajian penelitian.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian pertama terletak pada
pembahasan. Pada penelitian pertama fokus membahas tanda dan makna dengan
menggunakan kode - kode sosial semiotika. Perbedaan pada penelitian yang kedua
adalah tokoh yang dibahas hanya menggunakan tokoh Rara dan pembahasan
hanya sampai bentuk diskriminatif serta penyebab saja.
Perbedaan juga terdapat pada penelitian ketiga dan keempat yang terletak
pada sumber data. Pada penelitian ketiga menggunakan Novel Kerumunan
Terakhir Karya Okky Madasari dan penelitian yang keempat menggunakan
Novel-Novel karya Syahid Muhammad. Perbedaan juga terletak pada penelitian
ketiga pada rumusan masalah, yang tidak menemukan penyebab konfliknya.
Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Wanita
Korban Pem-bully-an dalam Film Imperfect Karya Meira Anastasia” dapat
digambarkan sebagai berikut.
Konflik

Bullying

Konflik interpersonal

Konflik intrerpsikis

Bentuk konflik

Diri rendah Diri Nyata Diri Ideal Diri Aktual

Mengatasi konflik

Bergerak mendekat Bergerak melawan Bergerah menjauh

Film Imperfect karya


Meira Anastasia

Pengumpulan data

Analisis data

Hasil

SHAPE \* MERGEFORMAT
Bagan 2.1 kerangka konseptual

Kerangka konseptual dimulai dari konflik yang di dalamnya berisi


berbagai macam peristiwa yang di antaranya peristiwa bullying. Berdasarkan
bullying tersebut, perlu adanya pemecahan masalah. Melalui pemecahan masalah
tersebut, konflik interpersonal dan konflik intrapsikis ditemukan hingga
mendapatkan konsep diri seseorang sebagai cara untuk mengatasi konflik.
Melalui film Imperfect karya Meira Anastasia peneliti memilih untuk
menggunakan teori psikososial dari Karen Horney. Selanjutnya, peneliti
melakukan pengumpulkan data dengan transkripsi dan menganalisis data yang
diperoleh sehingga mendapatkan hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai