Anda di halaman 1dari 69

STRUKTUR DONGENG PADA MANUSKRIP BABAD

DIPANEGARA (KAJIAN STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS)

Dosen Pembimbing :
Dr. Sunu Catur Budiyono. M.Hum.

Oleh :

Moch. Tri cahyo. Purnomo


175200022

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2020

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal oleh : Moch. Tri cahyo. Purnomo

Nim 175200022

Judul proposal : Struktur Dongeng Pada Babad Dipanegara (Kajian


Strukturalisme Levi-Strauss)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.

Mengetahui, Surabaya, 5 Januari 2021

Kaprodi Pendidikan Bahasa Indonesia Pembimbing,

Tri Indrayanti, S.Pd., M.Pd. Dr. Sunu Catur Budiyono, M.Hum


NIDN. 0703016504

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah.............................................................3

C. Rumusan Masalah............................................................................................3

D. Tujuan Penelitian.............................................................................................3

E. Manfaat Penelitian...........................................................................................3

BAB II KAJIAN PUSTAKA...............................................................................4

A. Dasar Teori......................................................................................................4

1. Mitos Levi-Strauss.......................................................................................4

2. Teori Strukturalisme Levi-Strauss...............................................................7

3. Struktur Dalam Teks...................................................................................11

4. Struktur Kekuasan Kerajaan Jawa..............................................................12

B. Tinjauan Penelitian yang Relevan..................................................................14

C. Kerangka Konseptual......................................................................................15

BAB III METODE PENELITIAN......................................................................17

A. Pendekatan Penelitian.....................................................................................17

B. Data dan Sumber Data....................................................................................17

C. Teknik Pengumpulan Data..............................................................................18

D. Teknik Analisis Data......................................................................................19

E. Keabsahan Data``............................................................................................19
iii
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Karya sastra merupakan representasi dari ungkapan pribadi sang penulis dan
berupa pemikiran, gagasan, serta pengalaman yang ditulis ke dalam bentuk
penggambaran konkret. Karena itu karya sastra dapat dikatakan sebagai sebuah
kesatuan unsur yang dibentuk oleh penulis dan dapat menciptakan efek sastra
sehingga tergambar sebagai sebuah ruang representasi dari hasi interpersonal dan
berisikan kombinasi aturan dalam teks tertulis. Adanya permasalahan serta peristiwa
yang dihadirkan ke dalam bentuk cerita oleh penulis mampu mencerminkan
kandungan makna yang dapat memberikan maanfaat pada para pembaca. Kandung
makna yang tercermin dari karya sastra merupakan penggambaran dari fungsi utama
karya sastra dalam melukiskan kehidupan manusia.

Peristiwa atau permasalahan yang hadir dalam bentuk teks sastra dan menjadi
fungsi utama yakni manuskrip. Mempelajari manuskrip merupakan sebuah bentuk
rasa kecintaan terhadap kekayaan budaya di nusantara. Melalui Manuskrip kita
mampu memetik hasil berupa ilmu pengetahuan bagi khazanah sejarah kita terhadap
kehidupan masa lalu. Penulis manuskrip bukan sekadar memindahkan apa yang dia
rekam dan saksikan pada kehidupannya ke dalam bentuk teks, melainkan memberi isi
serta tafsiran sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan sang penulis. Keyakinan-
keyakinan yang penulis tuangkan ke dalam manuskrip sebagai karya sastra berupa
ungkapan perjuangan, penderitaan, cita-cita dan sebagainya. Manuskrip sebagai karya
sastra yang berdasarkan pada realitas dan imajiner mampu menawarkan dengan penuh
makna dan isi untuk diungkapkan kembali melalui sarana sastra, untuk itu guna
menemukan makna dan isi yang yang tercermin perlu adanya orientasi yang
mengarah pada corak objektif karya sastra sebagai dunia rekaan dari kehidupan
sosial-budaya masyarakat yang nyata.

iv
Keterkaitan antara karya sastra dengan bidang ilmu sosial dan bahasa telah
mampu melahirkan sebuah prespektif baru di kalangan strukturalisme. Seperti halnya
teori strukturalisem Levi-Strauss, merupakan teori yang dinggap baru dan hadir dalam
bidang ilmu antropologi. Strukturalisme Levi-Straus mampu memberikan pandangan
terbaru mengenai gejala dalam fenomena budaya. Teori strukturalisme Levi-Strauss
mampu menyuguhkan hal-hal yang dianggap remeh menjadi suatu bentuk yang
memiliki peranan penting dalam menggali gejala sosial budaya. Sebagai sebuah teori
struktural yang berkembang dalam bidang ilmu antropologi, teori Levi-Strauss
menawarkan corak gagasan dalam menganalisa kebudayaan dari segi hubungan
bahasa dan kebudayaan itu sendiri.

Teori Levi-Straus dianggap sangat relevan dalam menganalisis manuskrip Babad


Dipanegara. Manuskrip Babad Dipanegara merupakan manuskrip asli yang ditulis
sendiri oleh pangeran Dipanegara yang memiliki gelar Kanjeng Sultan Abdul Hamid
ketika menjalani pengasingannya di Manado, Sulawesi Utara. Manuskrip tersebut
pada mulanya ditulis dengan wujud tembang puisi berbahasa Jawa, namun telah
diterjemahkan dengan bahasa Indonesia. Manuskrip Babad Dipanegara berisikan
mengenai cerita kejayaan Majapahit pada era kepemimpinan Raja Brawijaya ke-4
yaitu Hayam Wuruk sampai pada keturunannya yang kelak menjadi cikal bakal
berdirinya kerajaan Islam di daerah Jawa Tengah.

Manuskrip Babad Dipanegara diperkaya dengan berbagai cerita dan rangkuman


peristiwa penting yang diceritakan secara runtut sehingga mampu menjadi khazanah
sejarah bagi pembacanya. Dari variabilitas cerita yang terkandung pada naskah
tersebut menjadikan naskah yang ditulis oleh Pangeran Dipanegara mendapatkan
pengakuan dunia pada tahun 2013 oleh UNESCO sebagai Memory of The World. Hal
menarik yang dapat ditelisik pada manuskrip Babad Dipanegara yaitu struktur
pembentuk dongeng yang mengandung beragam makna yang dikemas ke dalam
mitos, selain itu terdapat kisah ceritra Pangeran Dipanegara yang memimpin perang
Jawa melawan VOC Belanda. Berdasarkan hal menarik tersebut, peneliti mencoba
menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss karena menganggap struktur naratif
yang khas pada manuskrip Babad Dipanegara terdapat adanya mitos, kebudayaan, dan
politik kerajaan Mataram.

iv
B. BATASAN MASALAH

Bardasarkan pembahasan permasalahan, peneliti membatasi fenomena yang akan


dibahas yaitu pada pola dan relasi struktur dongeng (surface structure dan deep
structure) dalam Manuskrip Babad Dipanegara beserta mitos pada kisah
kepemimpinan Pangeran Dipanegra pada perang Jawa.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dan juga batasan masalah pada penelitian, maka
dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola struktur dongeng pada Manuskrip Babad Dipanegara

2. Bagaimanakah Mitos Kepemimpinan Pangeran Dipanegara pada Manuskrip


Babad Dipanegara

D. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian dengan judul Kajian Strukturalisme pada Manuskrip Babad


Dipanegara yang bertujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan peranan sturktur dongeng teks pada Manuskrip Babad


Dipanegara

2. Mendeskripsikan mitos Kepemimpinan Pangeran Dipanegara pada Manuskrip


Babad Dipanegara

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para


pembacanya baik secara teoritis maupun praktis. Khususnya bermanfaat bagi
mahasiswa program studi pendidikan Bahasa Indonesia dalam mengkaji dan
menelaah novel pada karya sastra menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss.
Bagi peneliti, penelitian ini mampu mendorong kembali keinginan dalam
mengapresiasi karya sastra serta menambah keilmuaan di bidang sastra terutama
dalam interdisiplier ilmu antripologisastra dan bermanfaat dalam dunia pendidikan.

iv
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Strukturalisme Levi-Strauss

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, tepatnya pada abad ke-20
teori sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teori
sastra tersebut dipengaruhi oleh kemajuan teknologi sehingga menjadi sejajar
dengan kompleksitas kehidupan manusia. Selain itu perkembangan teknologi
mampu menghadirkan efektifitas pada bidang penelitian sastra. Kemudahan-
kemudahan yang hadir menjadikan pelaksanaan penelitian memicu perkembangan
teori pada bidang sastra. Karya sastra sendiri memiliki hubungan dengan realitas
kehidupan yang selalu mengalami perkembangan, sehingga menjadikan fungsi
utama sastra sebagai penggambaran atas realitas kehidupan yang terus
berkembang. Dari hal tersebutlah diperlukan suatu teori sastra yang berbeda guna
menelisik lebih jauh untuk menemukan pemahaman mengenai struktur pembentuk
karya sastra.

Hubungan karya sastra dengan kehidupan masyarakat menciptakan pengaruh


yang kuat terhadap perkembangan teori sastra. Seperti halnya strukturalisme yang
mampu memasuki berbagai bidang pada kehidupan manusia. Teori strukturalisme
menjelma menjadi teori modern yang telah membawa pemahaman kepada
manusia. Gagasan-gagasan pada strukturalisme yang menganggap bahwa teks
sastra merupakan struktur yang memiliki elemen-elemen saling berkaitan.
Pendekatan yang dilakukan secara objektif terhadap karya sastra sejatinya telah
lama eksis sejak tahun 340 sebelum masehi. Pendekatan yang sama tuanya dengan
puitika sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan tersebut menganggap karya
sastra sebagai sebuah struktur yang otonom. Sebagai objek yang berdiri sendiri,
karya sastra memiliki dua kelemahan yaitu melepaskan karya sastra dari sejarah
sastra serta melepaskan karya sastra dari dimensi sosial-budaya.

4
Strukturalisme beranggapan bahwa fenomena eksternal seperti halnya
aktivitas budaya dan produk yang ada pada karya sastra tak lebih sebagai bagian
dari institusi sosial yang ditandakan sebagai suatu struktur berdiri sendiri. Konsep
strukturalisme dalam teori sastra sendiri bermaksud memaparkan secara tangkas
dan cermat mengenai keterkaitan segala unsur yang ada pada karya sastara
sebagai bagian yang dapat menghasilkan makna secara menyeluruh.

Konsep fungsi pada strukturalisme dapat berperan sebagai penunjuk


antarhubungan atas unsur-unsur yang terlibat, sehingga tidak hanya terpatri dalam
lingkup sempit, melainkan karya sastra memiliki unsur-unsur yang dapat
dikatakan lebih dari sekadar pemahaman ataupun penjumlahan bentuk maupun isi.
Unsur-unsur pada karya sastra mampu membuat penilaian terhadap kualitas karya
sebagai sebuah totalitas bukan akumulasi. Menurut Kutha (2015:77),
antarhubungan menganggap bahwa pergeseran nilai subtansial ke arah struktur di
mana nilai kualitas menuju arah kualitas totalitas. Hubungan yang tercipta pada
struktur karya sastra tidak semata-mata bercorak positif, melainkan mampu
menjadi negatif seperti halnya konflik dan pertentangan.

Tradisi strukturalis yang memandang hubungan antar elemen-elemen sebagai


antarhubungan yang memperoleh tempat memadai. Prinsip-prinsip yang dipegang
teguh oleh para strukturalis nampaknya memberikan konsistensial dalam
pelaksanaan penelitian karya sastra sehingga mampu mempengaruhi setiap bidang
lainnya dalam memperlakukan objek sebagai struktur otonom. Prinsip para
strukturalisme tentunya memanfaatkan secara maksimal kadar antarhubungan
sehingga menjelma sebagai jaringan yang mengikat dan mampu menangkap
gejala-gejala untuk diberikan makna. Seperti halnya gagasan strukturalisme Levi-
Strauss yang mengemukakan mengenai objek dari struktural yang merupakan hal-
hal yang dapat menampilkan sifat-sifat suatu sistem sebagai satu kesatuan yang
tidak dapat diubah tanpa terlebih dahulu mengubah semua unsur-unsur lain.

Claude Levi-Strauss merupakan seorang struktural yang berasal dari Perancis


dan dikenal sebagai ahli antropologi. Levi-Straus lahir pada tanggal 28 November
1908 di Belgia. Gagasan dan ide-ide Levi-Strauss mengenai strukturalisme
mampu dikenal dalam dunia filsafat dan sastra. Berdasarkan pemikirannya

5
tersebut Levi-Strauss telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam
dunia sastra. Ia menganggap bahwasanya budaya merupakan suatu gejala
simbolik atau sebagai konfigurasi pada sistem perlambangannya, sehingga apabila
seseorang ingin menelisik perangkat budaya tertentu maka seseorang tersebut
hendaknya melihat pada kaitan dengan sistem keseluruhan yang menjadi pijakan
sistem perlambangan sebagai sebuah bagian. Gagasan Levi-Strauss sendiri
terinspirasi dari model analisis linguistik struktural Ferdinand de Saussure.

Namun Levi-Strauss bukanlah seorang antropologi satu-satunya yang


memilih menggunakan model dari linguistik yang bertujuan untuk memahami
gejala-gejala sosial dan budaya. Para antropolog Amerika Serikat juga telah
banyak menggunakan model dari linguistik guna menganalisis dan
mendeskripsikan kebudayaan. Hal yang membedakan Levi-Strauss dengan para
antropologi lainnya pada segi penerapan model linguistik analisis yakni pada
elemen-elemennya yang melesap pada bagian struktur dan model dalam teori
Strukturalisme Levi-Strauss. Baginya struktur merupakan model yang digunakan
dalam menangkap gejala-gejala kebudayaan. Sehingga model tersebut saling
mempengaruhi dan menjali relasi-relasi.

Pandangan yang berbeda dalam menangkap gejala kebudayaan antara


antropologi dengan Levi-Strauss mengenai hubungan antara kebudayaan dan
bahasa yaitu; pertama bahwa bahasa merupakan digunakan oleh masyarakat
dianggap memiliki refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat itu sendiri,
sehingga pandangan tersebut merupakan dasar para ahli antropologi dalam
melihat kebudayaan masyarakat dengan bahasa sebagai pusatnya. Pandangan
kedua yakni, bahasa termasuk dalam bagian kebudayaan, sehingga berbeda
dengan pandangan pertama yang menjadikan bahasa sebagai suatu gejala yang
memiliki kesetaraan dengan budaya sedangkan pada pandangan keduaa bahasa
menjadi payung dari kebudayaan. Pandangan ketiga memiliki pendapat bahwa
bahasa merupakan kondisi atas kebudayaa yang memiliki dua arti. Pertama bahwa
secara diankronis bahasa lebih dahulu daripada kebudayaan karena melalui bahasa
sebagai media, manusia dapat mengetahui budayanya. Kedua, bahasa adalah suatu
kondisi dari kebudayaan karena pada material pembangun yaitu bahasa yang turut
membentuk struktur kebudayaan. Material-material lainnya selain bahasa yaitu

6
oposisi biner, korelasi, relasi-relasi, dan sebagainya. Sehingga pada pengartian ini
bahasa merupakan peletak pondasi guna terbentuknya struktur yang kompleks dan
sejajar dengan berbagai unsur kebudayaan lainnya.

Berdasarkan pada ketiga perbedaan tersebut, Levi-Staruss lebih memilih


pandangan yang ketiga karena dianggap bahasa dan kebudayaan merupakan hasil
dari adanya variabilitas aktivitas pada masyarakat yang memiliki kesamaan.
Aktivitas yang dimaksud merupakan (uninvited guest) yaitu sebuah nalar dari
manusia sehingga terdapat adanya korelasi antara bahasa dan kebudayaan sebagai
hasil dari produk nalar manusia sendiri. Hubungan bahasa dan kebudayaan seperti
yang dikatakan oleh Levi-Strauss merupakan sebuah kesejajaran atau korelasi
yang dapat ditemukan diantara keduanya, korelasi berada pada tingkatan struktur
yang memiliki istilah mathematical models. Model matematis bahasa tentunya
memiliki perbedaan pada tingkatan dengan model matematis kebudayaan. Karena
bagi Levi-Strauss tidak ada korelasi seratus persen pada hubungan bahasa dan
kebudayaan.

Kaplan dan Manner (Laksono, 2012:239) “bagi Levi-Strauss, budaya pada


hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambangan.
Lebih lanjut, untuk memahami suatu perangkat lambang budaya tertentu, orang
harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat
sistem perlambangan itu akan menjadi bagian.” Akan tetapi ketika Levi-Strauss
berbicara tentang fonem kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak
mempermasalahkan referen atau arti lambang secara empirik. ia perhatikan adalah
pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis
untuk membentuk sistem keseluruhan.

Levi-Strauss terkesan melihat cara kerja analisis yang dilakukan oleh para
ahli bahasa dalam menelisik berbagai macam gejala bahasa di dunia, sehingga
mereka mampu merumuskan berbagai macam formula guna memahami berbagai
fenomena bahasa yang begitu kompleks. Mereka juga memanfaatkan konsep
permutasi secara cerdas dalam menganalisis, bahkan formula mereka tersusun dari
permutasi-permutasi baru yang ditemuka di lapangan.

7
Teori strukturalisme Levi-Strauss secara implisit menganggap teks naratif
seperti halnya mitos sejajar dengan kalimat. Hal tersebut didasarkan atas dua hal
yakni, teks sebagai sebuah kesatuan yang memiliki makna dan dapat mewujudkan
ekspresi, keadaan pemikiran dari pengarang. Karena pada makna sebuah teks
dianggap tidak hanya sekadar makna saja melainkan lebih dari hal tersebut karena
makna yang ditampilkan oleh teks lebih dari keseluruhan yang diekspresikan oleh
kalimat-kalimat yang membentuk teks sendiri. Alasan kedua bahwasanya teks
diartikulasikan dari bagian-bagian seperti halnya kalimat yang diartikulasikan
oleh kata. Petti dalam (Ahmisa-Putra, 2012:32) mengatakan bahwasanya, sebuah
teks merupakan kumpulan dari peristiwa-peristiwa yang membentuk sebuah
ceritra yang menampilkan tokoh dalam gerak. Sehingga strukturalisme Levi-
Strauss secara implisit menganggap sebuah cerita merupakan hasil dari proses
artikulasi.

2. Struktur Teks Teori Levi Strauss

Pada perspektif Levi-Strauss mengenai struktural kebudayaan menganggap


pada dasarnya merupakan sebuah rangkaian transformasi dari struktur yang ada di
dalam. Struktur tersebut seperti halnya pada not balok yang mampu digerakan
dengan jari tangan pada piano serta mampu berpindah ke nada-nada yang merdu,
dan dapat kembali lagi ke pita dan ke nada suara kemudian proses tersebut
mengarahkan pada proses penerjemahan dalam sistem kode tulis musik ke kode
gerak tangan dan kode musik. Pada dasarnya strukturalisme Levi-Strauss
merupakan sebuah model yang menjelaskan mengenai relasi-relasi yang
berhubungan satu sama lainnya serta saling mempengaruhi.

Pada Struktural Levi-Straus terdapat dua macam pembagian yakni struktur


luar (surface structure) dan struktur dalam (deep Structure). Levi-Strauss dalam
(Heddy-Shri, 2012:61) struktur luar merupakan keterkaitan antarstruktur yang
telah kita bangun sendiri sesuai dengan empiris dari relasi-relasi itu sendiri.
Sedangkan struktur dalam merupakan sebuah susunan yang dibangun sebagai
hasil dari adanya struktur lahir namun tidak terlihat pada sisi empiris maupun
fenomena. Fenomena tersebut memperlihatkan adanya sebuah struktur tetap.

8
Struktur tersebutlah yang dapat dikatakan sebagai struktur dalam (deep Structure).
Struktur dalam sendiri digunakan untuk memahami gejala kebudayaan yang
dianalisis.

Heddy Shrii (2012:64) mengatakan bahwa penggunaan teori strukturalisme


Levi-Strauss mampu memperilhatkan transformasi pada fenomena yang diteliti,
dengan menyusun terlebih dahulu rangkai-rangkaian transformasi dari fenomena
yang kita teliti ke dalam bentuk tabel transformasi maka kita akan dapat
membangun model yang mampu menjelaskan atau membantu kita memahami
fenomena-fenomena tersebut sebagai suatu kesatuan. Sehingga pada langkah
tersebut kita dapat menemukan bahwa fenomena yang diteliti memperlihatkan
adanya struktur tertentu yang bersifat tetap atau meneng, diam dan tidak berubah
sama sekali. Struktur inilah yang dapat kita katakan sebagai struktur dalam (deep
structure).

Struktur yang dapat dianggap sebagai struktur permukaan yang ada pada
karya sastra sepertihalnya; sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah
kostum, rituil, tatacara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur
permukaan yang menunjukann adanya suatu gejala. Pendapat Haddy-Shri releva
dengan aplikasi teori Levi-Strauss, sehingga struktur dalam yang merupakan
struktur dari struktur memiliki tatatan berbeda dengan struktur luar. Struktur
dalam merupakan tataran nirsadar atau tidak disadari oleh para pelaku nirsadar.

Ketika dalam kehidupa sehari-hari kita menyaksikan fenomena dan


mendengarkan merupakan gambaran dari sebuah struktur dalam, namun gambaran
atau perwujudan tersebut tidak lengkap karena struktur mampu terwujud hanya
sekadar parsial yang artinya deep Structure merupakan bagian dari suatu
keseluruhan pada gejala. Lane (Haddy-Sharii 2012:68) mengatakan bahwa
struktur bukanlah apa yang kita lihat dan dengar dalam kenyataan, akan tetapi
struktur tersebut dapat kita abstraksikan dari berbagai gejala yang nyata. Apabila
peneliti menggunakan sudut pandang struktural dalam menganalisis suatu gejala,
maka tugas awal peniliti yakni mengungkapkan struktur luar terlebih dahulu
sehingga peneliti akan dapat sampai pada tahap struktur dalam sebagai suatu hal
yang dapat menjelaskan sebab gejala dari yang diteliti.

9
Berdasarkan kehadiran model tersebut maka analisis struktural telah
menciptakan kemungkinan baru ditemukannya perkiraan atas transformasi-
transformasi budaya yang pernah terjadi pada masyarakat. Analisis struktural
tersebut telah dapat diterapkan sebagai media dalam mengalisis unsur yang lebih
kecil sehingga mengarahkan kepada tujuan menemukan fenomena yang diteliti.
Kaplan dan Manners (Laksono, 2012:244) mengatakan, Para strukturalis
menyatakan bahwa jika seseorang telah memahami sistem-sistem budaya yang
pada hakikatnya bersifat formal. Segala macam hubungan logis antara fenomena-
fenomena budaya pun menjadi dapat disingkapnya. Suatu struktur yang muncul
pada suatu taraf sehubungan dengan muatan tertentu,mungkin muncul kembali
pada tarf lain dengan muatan yang sama sekali berbeda.

3. Sintagmatis dan Paradigmatis

Miteme merupakan merupakan sebuah unsur pada konstruksi mitis dan satuan
kosokbali. Setelah melakukan analisa dan menemukan miteme yang berupa
kalimay-kalimat yang mampu menunjukan adanya relasi-relasi pada sebuah mitos,
selanjutnya miteme diletakan pada kartu index. Kartu tersebut dapat menunjukan
kepada peneliti mengenai subjek yang dapat melakukan fungsi tertentu atau
menunjukan adanya relasi yang muncul secara diankronis. Kemunculan relasi
yang secara diankronis pada tempat-tempat tertentu atau sangat jauh jaraknya
maka harus disusun secara sintagmatis dan paradigmatis. Penyusunan sintagmatis
dan paradigmatris pada tahap analisis akan membawa peneliti menemukan
susunan miteme. Menurut Levi-Strauss (Haddy-Shri, 2012:96) seperangkat mitos
pada dasarnya membentuk semacam partitur orkestra.

Sintagmatis dan paradigmatis secara terminlogi merupakan hubunga asosiatif


antara kata-kata yang diberikan oleh bahasa sehingga kata-kata tersebut menjadi
pola rangkaian sebagai konsep. Tentunya terdapat perbedaan antara sintagmatis
dengan paradigmatis. Hubungan sintagmatis pada sebuah kata dengan kata-kata
lainnya dalam sebuah kalimat terletak pada posisi di depan atau di belakang,
seperti yang terdapat di antara kata “minum” dengan kata “saya” dam “kopi”. Dari
kalimat tersebut terbentuk kalimat “saya minum kopi”. Selain itu ketika kita
melakukan tuturan, kita telah melampaui proses pemilihan kata pada khazanah

10
pengetahuan kita dan kata yang tidak kita pilih untuk diucapkan juga memiliki
hubungan asosiatif sebagai pengertian antara kata-kata lain dengan kata yang kita
tuturkan. Sehingga hubungan rantain tersebutlah dikatakan sebagai rantai
paradigmatis.

Hubungan paradigmatis pada sebuah kata merupakan hubungan yang


memisahkan berbagai perbedaan untuk pendefinisian kata tersebut sehingga
hubungan esensialnya berada di luar sintagmatis.

4. Mitos Levi-Strauss

Pada kajian Levi Strauss, mitos yang dimaksud berbeda dengan mitos yang
berada pada dimensi mitologi serta dalam pandangan para antropologi. Levi-
strauss menganggap bahwa mitos merupakan sesuatu yang tidak harus
dipertentang dengan sejarah dan kenyataan, bagi Levi-straus hal tersebut akan
menjadi permasalahan yang kompleks karena adanya perbedaan makna pada dua
konsep tersebut. Permasalahan kompleks yang muncul dari dua hal tersebut akibat
adanya anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa sejarah merupakan
kenyataan yang menjadi kebenaran sedangkan mitos dianggap sebagai kisah
dongeng yang kebenarannya tidak ternisbihkan. Mitos sendiri merupakan sebuah
dongeng dalam konteks strukturalisme Levi-strauss karena apa yang berada pada
suatu kelompok kesucian mitos dianggap hal yang biasa saja dan menjadi sesuatu
problematis.

Dongeng merupakan sebuah ceritra yang lahir dari masyarakat sebagai


sebuah hasil pergulatan imajinasi mereka serta unsur-unsur imajinasi yang tidak
terlepas dari kehidupan nyata masyarakat. Dalam dongeng sendiri imajinasi
manusia mendapatkan kedudukan yang bebas dan mutlak karena tidak adanya
sebuah aturan dan larangan dalam menciptakan ceritra sehingga kerapkali
ditemukan adanya hal-hal yang diluar logika atau tak masuk akal. Levi-Strauss
menilai mitos dari segi kualitas logis sehingga perhatiaannya terhadap mitos pada

11
setiap dongeng menjadi hal yang fragmentaris. Mitos dipandang sebagai aspek
yang naratif dalam sebuah kebudayaan tertentu karena pada dasarnya mitos
merupakan sebuah pesan kultural dari dan terhadap anggota masyarakat.

Levi-Strauss juga mengembangkan gagasannya dalam analisis mitos. Bagi


Levi-Strauss mitos merupakan sesuatu yang bebas dan arbiter sehingga adanya
kesamaan antara unsur-unsur mitos dengan unsur bahasa yang tidak mengandung
arti apabila berdiri sendiri. Mitos bagi Levi-Strauss mengandung sebuah amanat
yang dikodekan. Amanat atau makna yang terkandung dalam mitos terdapat
dalam relasi-relasi elemen. Sehingga mitos dengan bahasa memiliki sifat yang
tersususn atas satuan unit. Hal yang membedakan mitos dengan bahasa yaitu
faktor waktu, di mana terdapat adanya reversible time dan non reversibile time
sehingga mitos akan selalu nampak sama meskipun dengan kemasan penampilan
yang berbeda. Selain itu mitos juga bersifat dialektis yang ditampilkan oleh
adanya kontradiksi dan oposisi. Struktur mendasar yang dilihat Levi-Strauss
dalam meneliti mitos merupakan struktur pikiran manusia sendiri sebagai logika
yang menjadi landasan ponopang.

Mitos dipandang memiliki kesamaan dengan bahasa, hal tersebut tidak begitu
saja terjadi, Levi-Strauss menganggap pemilihan model-model dari linguistik
berdasarkan persaman yang tampak antra mitos dengan bahasa. Berbeda dengan
para ahli antropologi lainnya yang tidak memandang sama sekali persoalan antara
bahasa dengan mitos, Levi-Strauss justru menguraikan secara komprehensif
mengenai ciri-ciri bahasa yang dianggap memiliki kesamaan dengan mitos.
Kesamaan antara bahasa dengan mitos dilandaskan pada esensinya yakni; bahasa
merupakan media atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
antara penutur dengan pendengar atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya.
Hal tersebut dipandang sama dengan mitos yang disampaikan melalui prantara
bahasa guna pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat diketahui dari
pengucapnya. Sehingga nantinya masyarakat berusaha mencari dan menggali
pesan-pesan yang dipercayai ada dalam kandungan mitos di dunia.

Landasan kedua terinsipirasi oleh pandangan de Saussure mengenai bahasa


yang terdapat aspek langue dan parole. Parole merupakan aspek statistikal bahasa

12
yang hadir sebagai sebab penggunaan bahasa yang konkrit. Langue sendiri di
mata Levi-Strauss merupakan aspek strukturalnya. Kedua bahasa merupakan
struktur-struktur yang membentuk struktur sistem yang relatif sehingga tidak
terpengaruh oleh individu. Dari hal tersebutlah yang membedakan bahasa satu
dengan bahasa yang lainnya. Bahasa sebagai langue bisa berada dalam waktu
yang terbalik karena bahasa terlepas dari diankronik, hal tersebut berbanding
terbalik karena bahasa sebagai parole sehingga, Levi-Strauss menganggap bahasa
berada dalam waktu yang tidak dapat dibalik

Mitos pada pandangan Levi-Strauss bisa berada pada kondisi dua waktu yaitu
terbalik dan waktu tidak bisa terbalik. Fakta tersebut dapat dilihat pada mitos yang
selalu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di waktu lampau. Selain itu
pola pada mitos juga termasuk ciri yang menjadikan mitos selalu terlihat relvan
dan oprasional pada konteks sekarang. Pola yang dideskripsikan pada mitos
memiliki sifat timeless dan reversible time yang dapat menjelaskan di masa lalu
dan di masa sekarang sekaligus di masa yang mendatang. Jadi berdasarkan hal
tersebut mitos memiliki sifat yang sama dengan bahasa namun juga di sisi lain
mitos berbeda dengan bahasa karena bahasa memiliki sisi sinkronis dan
diankronis yang terpisah dalam analisis, sedangkan mitos memiliki sisi sinkronis,
diankronis, dan pankronis. Sinkronis dan diankronis pada mitos menyatu dan
tidak terpisah sehingga oleh Levi-Strauss dikatakan sebagai struktur ganda.
Historis dan ahistoris merupakan struktur ganda tersebut dan membuat mitos
menjadi sama namun berbeda.

Persamaan lain antara mitos dan bahasa pada pandangan Levi-Strauss yakni
terdapat adanya kontradiksi yang menarik seperti halnya terdapat banyaknya
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang logis atau di
luar akal sehat manusia juga dapat kita temui dalam mitos sehingga menjadikan
mitos nampak tidak terdapatnya logika. Dalam mitos tidak ada yang tidak
mungkin terjadi, ciri apapun dapat mencuat pada tokoh mitis (mythical figures)
sehingga terdapat adanya relasi di antara mereka. Kita dapat menemui berbagai
macam mitos yang tersebar di dunia namun ketika membacannya, kita akan dapat
menemukan sesuatu yang menarik yakni sebuah kemiripan-kemiripan antara

13
mitos satu dengan mitos yang lainnya. Kemiripan yang terjadi pada mitos yang
berbeda tempat dapat ditemui pada ciri-ciri dari para tokohnya.

Endraswara (2013:111) mengatakan bahwa kemiripan di antara dongeng di


berbagai wilayah seperti kemiripan anatara beberapa unsur atau tokoh, menurut
Levi-Strauss bukan suatu kebetulan dan bukan hasil dari kontak satu sama lain.
Kemiripan tersebut merupakan hasil dari nalar manusia sendiri. Seorang penulis
dongeng pada dasarnya memiliki nalar yang universal. Nalar manusia, juga berisi
tuntutan dan keinginan manusia yang satu sama lain sering mirip. Hal tersebut
mengartikan bahwa ada aspek ketaksadaran yang memompa penulis dongeng di
belahan dunia.

Gejala mitos tersebut diyakini Levi-Strauss dengan merefleksi kembali


kesamaan identitas yang ada pada mitos dan bahasa. Kesamaan tersebut
berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh para ahli bahasa fonologi yang
menemukan bahwa fonem-fonem pada bahasa di dunia memiliki keterbatasan
dalam jumlahnya, selain itu juga terdapat adanya hukum-hukum yang mengatur
kombinasi antar fonem. Adanya hukum-hukum tersebut merupakan hal yang lalai
disadari oleh para pemakai bahasa. Berdasarkan fenomena fonem tersebut,
analisis struktural memandangnya sebagai kumpulan ciri-ciri yang berbeda
(distictive features) yang dapat diketahui apabila diposisikan dalam jaringan atau
konteks relasi dengan fonem-fonem lain. Berdasarkan hal tersebut mitos memiliki
kesamaan gejala dengan bahasa yang ada di berbagai tempat sehingga perlu
menganalisanya berdasarkan gejala fonem yang saling berkaitan mengenai
kesamaan (kombinasi). Dengan mengaitkan persamaan dalam menganalisis mitos
berdasarkan analisa bahasa tersebut, Levi-Strauss telah membangun keyakinan
pada teori strukturalnya yang cukup kuat untuk menganalisa mitos.

Pada Struktur kekuasaan kerajaan Jawa, mitos masih menguasai dan


mendominasi pemikiran masyarakat Jawa, sehingga dalam kepemimpinan Jawa
diyakini terdapat adanya hubungan dengan kekuatan gaib. Legitimasi mitos poada
kepemimpinan Jawa kerapkali hadir dengan prosesi ritual yang dilakukan oleh
masyarakat.

14
5. Ciri Khas Budaya Kepemimpinan Jawa

Kepemimpinan Jawa memiliki ciri khas budaya yang berbeda. Karakteristik


kepemimpinan Jawa memiliki kaitannya dengan spiritualitas, kewibawaan, dan
ideologi. Aspek-aspek tersebutlah yang dapat menimbulkan kekuatan lain dari
luar diri dan lingkungan seorang pemimpin. Endraswara (2013:12) mengatakan
bahwa karakteristik kekuasaan di jagad pimpinan Jawa selalu mengaitkan dengan
kekuatan gaib. Orang Jawa senantiasa memegang teguh kekuatan lain di luar
dirinya.

Kebudayaan Jawa lahir dari hasil pemikiran dan konsepsi dari dalam diri
masyarakat Jawa. Secara etimologi kata Budaya berasal dari kata budi dan daya.
Budi adalah akal yang merupakan bagian dari rohani dalam kebudyaan dan daya
sendiri merupakan suatu tindakan yang menjadi unsur jasmani. Hanafie (2016:32)
mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia (sebagai
makhluk sosial) yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan
lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya.

Budaya kepemimpinan Jawa memiliki nilai tradisi yang karakteristik yakni


lebih menggunakan konsep sentralistik sehingga terdapat kecenderungan pihak
yang menepati posisi puncah dalam hal ini disebut pemimpin. Dari hal tersebut
dapat muncul budaya ewuh pakewuh yang diekspresikan dalam tingkah laku
rukun dan prinsip hormat. Karakteristik kepemimpinan Jawa juga memusatkan
adikodrati sebagai sesuatu yang dapat memberikan daya dan kebijaksanaan dalam
proses kepemimpinan.

Kepercayaan adikodrati yang diyakini dalam masyarakat Jawa sebagai ajaran


religi. Religiusitas pada masyarakat Jawa tercipta dari hasil masyarakat dalam
mempercayai dan menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas kedalam hidupnya.
Seperti yang dikatakan Endraswara (2013:16) kekuasan Jawa memang bercampur
dengan kekuatan lain. Wibawa pu ikut bermain dalam kekuasaan jawa. Kekuasaan
Jawa hendak dibangun di atas fondasi trah (turun-temurun). Suksesi
kepemimpinan jawa terus berpusar pada orang-orang dekat. Oleh sebab itu,
kharismatik pemimpin selalu menjadi pertimbangan khusus.

15
5.1 Wewenang dalam Kepemimpinan Jawa

Kekuasaan merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki seseorang atau


kelompok yang menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan apa yang telah
diputuskan. Pada kekuasaan terdapat adanya sebuah kepemimpinan yang
dikelilingi oleh berbagai persoalan seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, ras,
gender, dan kolonialisme. Seperti halnya dalam lingkup persoalan budaya yang
mempengaruhi struktur kekuasaan atau kepemimpinan, budaya pun dianggap
memiliki keterpengaruhan secara dominan yang memberikan warna. Terutama
pada kebudayaan Jawa yang mempengaruhi sistem kepemimpinan dengan tujuh
unsur budayanya.

Kehidupan bermasyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari interaksi sosial


sehingga dipenuhi oleh berbagai orientasi dan nilai-nilai yang menimbulkan
adanya kontak. Kontak yang terjadipun dapat berupa kontak budaya politik dalam
dimensi sosial. Pada dasarnya interaksi merupakan aktivitas-aktivitas masyarakat
yang membentuk proses pengembangan budaya politik bangsa sehingga dalam
proses tersebut lahir sosialisasi politik yang menjadikan masyarakat harus
menyerap, menghayati, dan mengalami nilai-nilai politik yang ada lingkup
sekitarnya. Berdasarkan pada kegiatan interaksi yang melahirkan budaya politik di
lingkup masyarakat maka lahir sebuah konsep kekuasaan budaya sepertihalnya
kebudayaann jawa. Kekuasaan sendiri merupakan media analisis yang didasarkan
pada realitas dalam ilmu politik kekuasaan beserta gejala-gejala yang saling
berkaitan.

Kekuasaan di Indonesia pada dasarnya masih dipengaruhi oleh kekuasaan


tradisional Jawa yang diperkuat dengan realitas mengenai dominasi pusat
pemerintahan di Indonesia berada di pulau Jawa. Sehingga menciptakan
kecenderungan bagi masyarakat non-Jawa untuk beradaptasi dan menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai Jawa. Persepsi tersebut menjadi basis politik masyarakat
non-Jawa untuk dapat menempatkan diri sejajar dengan masyakarakat Jawa yang
mendominasi roda perpolitikan dan roda pemerintahan.

16
Pada struktur kekuasaan kerajaan dalam kepemimpinan pasti memiliki sebuah
wewenang. Pada praktinya raja atau pemimpin Jawa memiliki sebuah penasihat
dalam memberikan wewenangnya. Kewenangan sangatlah lekat pada kekuasaan
dan terdapatnya sebuah legitimasi. Selain kewenangan, karakteristik lain pada
kekusaan Jawa menurut Setiawan pada (Endraswara, 2013:12) yakni

A. Kekuasaan Jawa berbentuk (sentralistis) yaitu sebuah kekuasaan yang


tidak memencar dan terkonsenterasi. Sehingga dari sifat memusat
tersebut maka tidak ada kekuatan lain yang dibiarkan otonom atau
terlepas dari kendali pusat pemerintahan.

B. Kekuasaan Jawa berasal dari adikodrati atau disebut sebagai alam illahiah
yang tunggal. Sehingga penguasa atau raja tidak perlu memberikan
pertanggungjawaban atau justifikasinya secara moral kepada rakyat
dikarenakan kekuasaan tersebut tidak berasal dari rakyat.

Pada struktur kekuasan jawa terdapat adanya tiga kategori kepemimpinan


yakni 1) nistha, 2) madya, 3) utama. Hal tersebut berdasarkan anggapan bahwa
gaya merupakan sebuah kondisi dalam memaknai budaya dan memberikan sebuah
identitas pempimpin sesuai dengan kondisinya. Pada tingkatan nistha yang
dimaksudkan adalah sebuah bentuk atau gaya kepemimpinan yang keluar dari
norma-norma dan dianggap sebagai suatu keburukan. Selanjutnya pada tingkatan
madya merupakan gaya kepemimpinan yang membahagiakan rakyat,
kesejahteraan rakyatnya merupakan tujuan sehingga menganggap jika rakyatnya
sejahtera berarit negerinya juga sejahtera. Namun gaya kepemimpinan utama
merupakan yang sesungguhnya di mana sosok pemimpin menjadi seorang
panutan dan dicintai oleh rakyatnya. Gaya kepemimpinannya dengan langsung
terjun ke bawah, meninjau desa-desar tanpa perlu khawatir akan sebuah ancaman
bahaya karena rakyatnya yang akan menjaganya.

5.2 Kepemimpinan Ratu Adil dan Mesianistis Jawa

Hal lain yang ditemui dalam struktur kekuasaan Jawa terdapat adanya
mesianistis yakni sebuah keyakinan pada kelahiran seorang pemimpin baru
dengan prosesi ramal. Hal tersebut berdasarkan pemikiran spekulatif yang tercipta

17
pada rakyat sehingga benar-benar meyakini mengenai aktivitas mistis tersebut.
Mesianisme pada masyarakat Jawa yang bekembang memiliki sifat garis pada
gerakan millenarisme di Eropa. Gerakan tersebut meyakini bahwa akan ada
kedatangan mesias yang dapat menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan.
Pemikiran spekulatif pada masyakarat Jawa tersebut menciptaka keyakinan
mengenai mesinis yang dianggap sebagai seorang dewa atau seorang tokoh yang
dapat menghantarkan kepada keselamatan. Tokoh tersebut juga sering disebut
sabagai ratu adil yang memiliki kaitan dengan keadaan sebelumnya yang
dianggap menyengsarakan.

Endraswara (2013:132) Orang Jawa secara simbolik memang gemar


melakukan pecarian mesianis. Mesianis adalah keyakinan pada kelahiran
pimpinan baru dengan cara meramal. Ramalan akan hadirnya pimpinan yang
menjanjikan muncul, karena adanya ketidakpuasan rakyat. Pemikiran spekulatif
orang Jawa memang sering ada realitasnya, bagi yang benar-benar meyakininya,
Seperti di era R. Ng. Ranggawarsita, banyak ramalan Jawa mesianistis yang
seolah-olah bernuansa historis.

5.3 Wahyu Kepemimpinan Jawa

Kepemimpinan raja-raja Jawa tidak luput dengan adanya sesuatu yang mistis.
Seperti halnya konsep kepercayaan wahyu yang dijadikan pusat kepercayaan
sehingga dianggap bahwa menjadi seorang pemimpin harus karena memperoleh
wahyu. Hal tersebut merupakan hasil dari adanya sinkretisme pada kebudayaan
Jawa sehingga dianggap adanya campur tangan adikodrati. Pemahaman tersebut
menghasilkan sistem paradigma jika adikodrati telah merestui dan mengehendaki
bahwa seseorang mendapatkan wahyu baik dari orang kecil maupun besar maka
siapapun tentunya tidak boleh menghalangi.

Endraswara (2013:241) mengatakan jika perebutan kepemimpinan didasarkan


pada paradigma wahyu terlebih lagi jika masing-masing yang merebut memiliki
wahyu maka tidak luput kemungkinan akan terjadinya pertumpahan darah. Jika
hal ini tidak disadari, seringkali orang berebut pimpinan sampai ada darah
mengalir. Setidaknya, antar teman, antar saudara yang semula damai dan baik

18
dapat menjadikan musuh bebuyutan. Dari hal tersebut maka timbul dendam
kesumat yang sulit untuk dibendung.

Kepercayaan masyarakat Jawa kepada wahyu keprabon, pada diri seorang


pemimpin masih tetap melekat. Hal tersebut dapat terjadi apabila seorang
pemimpin dapat memberikan rasa pengayoman dan mengabdikan dirinya kepada
rakyat dengan jujur dan amanah. Pebadian kepada masyarakat dengan
memberikan sesuatu yang dapat dipercaya mampu menjadikan rakyat loyal
sehingga masa kepemimpinan berjalan dengan damai. Tetapi tidak luput akan ada
konflik dalam internal, maka seorang pemimpin juga haru memiliki rasa waspada.
Sebab di antara punggawa tidakluput kemungkinan akan ada yang menjatuhkan.
Konsep wahyu, ratu adil, dan pulung merupakan konsep trilogi dalam
kepemimpinan Jawa, ketiganya harus ditempuh dengan melakukan laku, seperti
mesu budi, mesu brata, tapa, dan berpuasa meminta kepada Hyang Agung.
Berdasarkan konsepsi tersebut, kepercayaam wahyu merupakan suara dari Tuhan,
yang ada di balik umat manusia yang dipercaya untuk menerimanya.

Shoim Anwar (2019:13) mengatakan bahwa masyarakat lama umumnya


mengaitkan segala kehidupannya dengan kepercayaan atau sistem religi. Dimensi
spiritual masyarakat yang sangat kuat menyebabkan aktivitas mereka kerapkali
diawali atau diakhiri dengan upacara tertentu. Kepercayaan mereka selalu
bertumpu pada sangka paraning dumadi, yaiut dari mana dan mau ke mana tujuan
hidup ini.

5.4 Moralitas dalam Kepemimpinan Jawa.

Moralitas merupakan hasil abstraksi dari sebuah kepemimpinan. Pradigma


masyarakat Jawa menganggap kualitas kepemimpinan raja Jawa diukur dari
moralnya. Moralitas dalam hal ini menyangkut baik dan buruknya sikap dan sifat
dari sang pemimpin. Endraswara (2013:41) mengatakan, bahwa moral adalah
aturan ideologi yang membingkai tindakan seorang pimpinan. Moral merupakan
ukuran baik buruk terhadap tindakan seseorang. Pimpinan yang bermoral, tentu
memiliki tindakan yang baik. Pimpinan yang bermoral, tentu tindakannya
bertentangan dengan nalar.

19
Raja atau pemimpin Jawa sejatinya juga memiliki ideologi yang
mencantumkan moralits di dalamnya. Ideologi sendiri merupakan paradigma
berfikir seseorang yang menjadi landasan gerak. Ideologi yang kental pada
masyarakat Jawa yakni kejawen. Hal tersebut didasarkan pada pola perilaku
mereka yang memasalahkan individunya dalam kehidupan yang memoduskan
kekerasan. Sehingga meletakan kepemimpinan harus pada lingkup komunal yang
penuh dengan budi pekerti dan kehalusan.

Kepemimpinan Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam hal mengambil


keputusan meskipun berbeda pendapat, kepemimpinan Jawa cenderung pada sikap
hati-hati, waspada, dan berupaya untuk tidak menimbulkan konflik. Sehingga
kepemimpinan Jawa dapat dikatakan memegang teguh budaya Jawa. Moralitas
pada kepemimpinan Jawa juga berlaku pada tatanan amanah. Amanah merupakan
bentuk kewenangan seorang pemimpin sesuai dengan kedudukannya dan titahnya.
Dapat dikatakan demikian karena di dalam amanah mengandung moral dan tugas.
Tak hanya itu kepemimpinan Jawa meletakan legitimasi sebagai tatanan moral
yang nantinya juga dianut oleh masyarakatnya.

A. Tinjauan Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah

1. Penelitian yang dilakukan oleh Isa Ansari yang berjudul “Kekuasaan Jawa
Dalam Struktur Kerajaan Islam dan Pewayangan: Sebuah Analisis
Strukturalisme Levi-Strauss”. Hasil dari penelitian tersebut berhasil
mengungkapkan mengenai beberapa struktur yang ada dalam sejarah kerajaan
Islam di Jawa.dan bahkan transformasinya.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian saya terletak pada telaah


teori strukturalisme Levi-Strauss dalam karya sastra namun perbedaannya yaitu
pada penelitian saya menggunakan pendekatan objektif.

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah

20
2. Penelitian yang dilakukan oleh Yulita Shafridha Farnadayanti yang berjudul
“Mitos Pemandian Bektiharjo Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban”. Hasil
dari penelitian tersebut bahwa miteme pada mie kesatu, dua, tiga, dan empat
yang terdapat dalam ceriteme mengungkapkan adanya sikap toleransi untuk
menjaga tali persaudaraan sesama pemeluk agama Islam.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian saya terletak pada telaah


strukturalisme Levi-Strauss dengan cara analisis pembabakan perepisode guna
mendapatkan sebuah kesimpulan. Letak perbedaannya yakni pada objek yang
diteliti.

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah

3. Penelitian yang dilakukan olehneneng Yanti KH. yang berjudul “Analisis


Strukturalisme Levi-Strauss Terhadap Kisah Pedagang dan Jin Dalam Dongeng
Seribu Satu Malam”. Hasil dari penelitian tersebut bahwa pada kisah Seribu
Satu Malam terdapat sebuah penyelesaian permasalahan kehidupan para tokoh
yang identik dengan keanehan dan keajaiban dan adanya struktur-struktur
tertentu pada cerita tersebut yang menggambarkan sikap para tokoh dalam
menghadapi permasalahan.

B. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan hubungan antara konsep satu terhadap


konsep yang lainnya pada masalah yang diteliti. Kerangka konseptual berguna
dalam menghubungkan serta menjelaskan secara lebar mengenai teori yang
dipakai sebagai landasan penelitian yang didasarkan dari dasar teori penelitian.
Kerangka Konseptual dapat dikatakan juga sebagai ringkasan dari dasar teori
yang dihubungkan dengan garis yang sesuai dengan variabel yang diteliti.

Kerangka konsep agar dapat diamati, maka hal yang dilakukan adalah dengan
menjabarkan variabel-variabelnya. Maka dari itu kerangka konseptual merupakan
suatu susunan kontruksi yang logis dan diatur dalam rangka menjelaskan variabel
yang akan diteliti. Kerangka tersebut dirumuskan guna menjelaskan alur kontruksi
logika dalam mengkaji secara sistematis.

21
Penelitian ini didasarkan pada objek yaitu manuskrip Babad Dipanegara guna
mendeskripsikan bagaimana struktur dongeng manuskrip Babad Dipanegara
beserta Mitos Kepemimpinan Pangeran Dipanegara.

22
MANUSKRIP BABAD
DIPANEGARA

STRUKTURALISME
LEVI-STRAUSS

STRUKTUR DONGENG
MANUSKRIP

EPISODE

CERITEME

MITOS
KEPEMIMPINAN
DIPANEGARA

23
BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN PENELITIAN

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan objektif yang


merupakan pendekatan terpenting dalam teori sastra modern. Pendekatan objektif
sendiri adalah pendekatan yang melihat karya sastra sebagai suatu struktur yang
otonom, sehingga pendekatan apa pun pada dasarnya bertumpu pada karya sastra
sendiri. Pendekatan objektif sendiri memusatkan pada unsur pembentuk teks dan
menganggap di dalam karya sastra terdapat adanya elemen-elemen yang saling
berkaitan.

Pendekatan objektif sendiri lahir sebagai hasil pemikiran Aristoteles yang


menganggap bahwa sebuah tragedi memiliki struktur dan unsur kesatuan yang
saling terjalin. Sehingga berdasarkan tersebut maka akan membangun struktur
cerita. Pendekatan objektif masuk di Indonesia pada tahun 1960 berbarengan
dengan masuknya teori strukturalisme, sehingga mampu memberikan hasil yang
maksimal dalam menganalisis karya sastra. Hal tersebut menjadikan pendekatan
objektif diaplikasi ke berbagai bidang ilmu di kehidupan manusia yang mampu
melahirkan penemuan-penemuan baru pada manusia sendiri.

Pendekatan objektif sendiri dipelopori oleh prespektif Strukturalisme Praha


dan kaum Formalis Rusia. Selain itu pendekatan objektif mendapatkan pengaruh
dari teori Linguistik Saussure. Hal tersebut dikarenakan Saussure mengubah studi
linguistiknya dari pendektakan diankronik ke arah sinkronik sehingga pada
linguistik tidak ditekankan pada sejarah perkembangan melainkan lebih pada
hubungan antar unsur. Nurgiayantoro (1995:36) mengatakan bahwa masalah
unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendektan
objektif. Pendekatan objektif muncul dengan diimbangi teori strukturalisme yang
dikembangkan oleh Levi-Strausse.

17
Pada pendekatan objekif, karya sastra diberikan perhatian penuh pada struktur
otonomnya, sehingga beberapa ahli mengatakan bahwa pendekatan objektif
dinakaman juga dengan pendekatan strukturalisme. Para strukturalis memeliki
cara tersendiri dalam memandang karya sastra yaitu dengan memusatkan
pemahaman pada teks karya itu sendiri. Menjadikan tahap anlisis pada karya
sastra diarahkan pada bagian-bagian karya sastra dalam melihat keseluruhan serta
memandang bahwa keseluruhan merupakan kumpulan bagian. Pengaplikasian
pendekatan objektif harus terlepas dari latar belakang karya sastra, atau dari diri
sang penulis dan terlepas pada efek yang ditimbulkan kepada para pembacanya.

Rene Wellek dan Austin Warren (2016:24) menyatakan bahwasanya analisis


sastra harus mementingkan segi intrinsik. Sehingga menjadikan seorang peneliti
karya sastra untuk mengoptimalkan pada unsur atau bagian-bagian yang ada pada
karya itu. Selaras dengan pendapat Teew (1984:61) berpendapat bahwa
bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang
peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Penerapan pendekatan
objektif dirasa sangat sederhana dalam menganalisis karya sastra yakni; 1)
Melakukan pendeskripsian unsur-unsur pada karya sastra, 2) melakukan kajian
pada keterikatan makna ataupun relasi-relasi yang ada pada karya sastra, 3)
mendeskripsikan fungsi terhadap hubungan dan relasi yang telah ditemui pada
karya sastra. Sehingga dengan melakukan pola penerapan pendekatan objektif
tersebut, peneliti akan menemukan pemahaman karya sastra sebagai satu kesatuan
yang utuh.

B. METODE PENELITAN

Metode penelitian merupakan cara untuk mendapatan suatu data dari


permasalahan yang dianalisis. Cara yang digunakan dalam memperoleh data dari
gejala yang dianalisa tersebut tentunya dengan sistematika ilmiah. Sehingga
penelitian akan didasarkan pada aspek keilmuan, sistematis, empiris, dan rasional.
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif
kualitatif.

18
Metode deskriptif kualitatif merupakan jenis metode yang digunakan untuk
menganalisis suatu gejala atau fenomena dan data. Kemudian data atau variabel
atas permasalahan yang dikaji dijabarkan dalam bentuk analisis secara sistematis.

C. DATA DAN SUMBER DATA

Data merupakan sebuah kumpulan fakta yang berupa angka, simbol atau
apapun yang diperoleh melalui hasil pengamatan terhadap suatu objek. Data yang
akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kata, kalimat atau kutipan teks/dialog
yang memiliki kaitan dengan struktur kekuasaan pada kerajaan Jawa.

Adanya sumber data peneliti mampu memperoleh data yang akan dianlisis atau
dikupasnya. Sumber data merupakan tempat atau objek yang dapat ditelisik
sehingga melahirkan data dengan menggunakan teori atau metode. Sumber data
pada penelitian ini yakni Manuskrip Babad Dipanegara

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengumpulan data merupakan teknik strategis dalam penelitian guna


mendapatkan data. Sugiyono (2009:224) mengatakan, bahwasanya teknik
pengumpulan data merupakan langka yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Secara sederhana
pengumpulan data dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang
dilakukan peneliti guna menggait dan mengungkapkan fenomena serta informasi
sesuai dengan lingkup penelitian.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan mengunakan teknik


baca dan catat. Teknik tersebut merupakan suatu teknik di mana peneliti membaca
dengan cermat terhadap sumber lalu mencatat kalimat ata kata yang dapat menjadi
Ceriteme pada sumber data yaitu Manuskrip Babad Dipanegara yang diuraikan
sebagai berikut;

1. peneliti membaca keseluruhan Manuskrip Babad Dipanegara secara


berulang kali. Dari pembacaan tersebut peneliti memperoleh

19
pengetahuan dan kesan mengenai isi ceritera, tokoh-tokoh, dan juga
berbagai tindakan atau peristiwa yang mereka lakukan

2. peneliti mencatat dan menggaris bawahi kalimat atau dialog pada teks
di dalam Manuskrip Babad Dipanegara tersebut. Dialog atau teks yang
pada tingkatan kalimat, peneliti anggap sebagai sebuat
miteme/ceriteme.

3. Setelah didapati hasil yang sesuai maka peneliti menempatkan data


yang berupa miteme/ceriteme tersebut ke dalam korpus data

Sedangkan guna mendapatkan teori yang relevan untuk penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik kepustakaan yang merupakan ilmu-ilmu tentang sumber-
sumber yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut berupa
buku, penelitian terdahulu, catatan, dan sumber internet.

E. TEKNIK ANALISIS DATA

Teknik analisis data pada penelitian ini adalah dengan melakukan analisis
pada teks Manuskrip Babad Dipangera. Analisis tersebut bertujuan untuk
mengetahui struktur dongeng Manuskrip Babad Dipangera tentunya dibantu
dengan menguraikan episode-episode pada bagian manuskrip sesuai dengan teori
Levi-Strauss. Dalam mengenalisis struktur Babad Dipanegara peneliti akan
membaginya ke dalam bentuk episod-episode agar dapat memahami Babad
Dipanegara secara struktural. Selain itu juga bagian-bagian tertentu perlu kita
perhatikan di dalamnya yang berkaitan dengan kisah kepemimpinan Pangeran
Dipanegara. Bagian-bagian tersebut merupakan ceriteme-ceriteme yang ada pada
dongeng. Setelah menemukan ceriteme maka tahap selanjutnya yakni menyusun
secara pragmatis dan sitagmatis.

Ceriteme merupakan kalimat, frasa, kata-kata, atau bagian dari alenia yang
dapat ditempatkan ke dalam relasi dengan ceriteme lainnya sehingga menunjukan
adanya makna tertentu. Menurut Haddy-Sharii (2012:264) mengatakan bahwa

20
ceriteme bisa mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar belakang
kehidupan, interaksi atau hubungan sosial, status sosial ataupun hal-hal lain, dari
tokoh-tokoh ceritera yang penting artinya bagi analisis. Tentu saja derajat
kepentingan (signifikansi) setiap ceriteme bersifat relatif.

Peneliti akan melakukan tafsir ceriteme yang telah dirangkum ke dalam


episode sehingga akan menemukan perbedaan dan persamaan yang mampu
memperlihatkan adanya variasi tema pada Babad Dipanegara. Levi-Strauss dalam
(Haddy-Sharii 2012:264) mengatakan bahwa pada mulanya wujud atau bentuk
dari varias-variasi ini tidak begitu jelas. Akan tetapi, jika kita dapat
menggambarkan terlebih dahulu maka secara perlahan pola-pola relasi
antarelemen atau struktur, serta makna-makna yang ada pada setiap bagian disitu
akan tampil ke permukaan. Tahapan yang dilakukan peneliti dalam analisis data
yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Peneliti mengambil data yang telah didapati dari korpus data. Data
merupakan miteme atau ceriteme yang telah dipilih oleh Peneliti.

2. Peneliti melakukan tahapan pembagian data dalam beberapa episode.


Masing-masing episode mendeskripsikan sesuatu gejala yang peneliti
anggap sebagai hal penting.

3. Setelah dibagi ke bentuk episod-episode, peneliti mendeskripsikan temuan


dengan menyandingkan berbeagai episode sehingga akan muncul sebuah
pengertian yang lahir dari relasi-relasi episode tersebut. Dalam hal ini
setiap episode umumnya berisikan mengenai deskripisi tentang tindakan
atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam ceritera

4. Tindakan atau peristiwa tersebutlah yang merupakan miteme dan hanya


dapat ditemukan pada tingkatan kalimat. Sehingga peneliti memperhatikan
rangkaian kalimat yang dapat memperlihatkan ide tertentu.

21
B. KEABSAHAN DATA

Keabsahan data merupakan pengujian terhadap teori, metode penelitian, dan


data. Pemeriksahan keabsahan data dilakukan dengan cara

1. Membaca dan menelaah berkali-kali Manuskrip Babad Dipanegara


guna menemukan data analisa yaitu struktur dongen teks dan Mitos
Kepemimpinan Pangeran Dipanegara

2. Trianggulasi metode yaitu dengan cara membandingkan hasil temuan


ceriteme yang berupa kalimat dengan teori strukturalisme Levi-Strauss

3. Trianggulasi sumber yaitu dengan cara mengecek data yang terseleksi


melaui beberapa sumber refrensi

4. Data yang terpilih selanjutnya di diskusikan dengan Dosen


pembimbing dan teman sejawat.

22
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

1. Analisis Sruktur Babad Dipanegara

Adapun beberapa episode yang telah peneliti bagi yakni; 1) Episode


Terbentuknya Mataram, 2) Episode Konflik Pajang dan Mataram, 3) Episode
kejayaan Mataram, 4) Episode Runtuhnya Mataram 5) Episode perlawanan
Pangeran Dipanegara,

1.1 Episode (1) Terbentuknya Mataram

Ceriteme pada Episode Terbentuknya Mataram yakni bermula ketika Sultan


Pajang Hadiwijaya yang dikenal sebagai Jaka Tingkir mengadakan sayembara
untuk membunuh Arya Jipang (Arya Panangsangan) Raja yang memerintah
daerah Jipang.. Sayembera tersebut terdapat pada Pupuh V Durma. Adapun
ceriteme yang merupakan bukti.

“Aku beri Hadiah Negeri Mataram, dan di Pati, Siapa yang kuat
dan bersedia menghadapi Arya Panagsang, sudah aku buat
sayembara, Pati dan Mataram pasti menjadi milikinya.”( Hal. 68
Pupuh V Durma).
Menanggapi hal tersebut Ki Juru Martani meberitahukan kepada Ki Ageng
Pemanahan atas berita tersebut. Ki Juru Martani mendesak agar Ki Ageng
Pemanahan untuk mengikuti sayembara tersebut, lalu menanyakan apakah Ki
Pemanahan siap untuk bertarung melawan Arya Jipang. Dasar tersebutlah yang
nantinya digunakan Ki Ageng pemanahan untuk membunuh Arya Jipang dan naik
ke tahta Mataram. Dalam episode Tebentuknya Mataram perlu kita pahami
bahwasannya sayembara yang diadakan oleh Sultan Pajang sebagai wujud
kesanggupan dalam menebus sumpah Ratu Kalinyamat.

Dalam Babad Tanah Jawa, Ratu Kalinyamat melakukan sumpah atas dasar
rasa sakit hatinya akibat sepupunya Sunan Prawoto yang sejatinya harus naik
tahta justru tewas dibunuh oleh Arya Penangsang dan sekaligus suaminya tewas

23
di tangan Arya Panangsang di hutan selepas bertemu dengan Sunan Kudus untuk
meminta keadilan atas kematian Sunan Prawoto. Selanjutnya Ki Ageng
Pemanahan diberikan pasukan Tarub dan Sela untuke mengawalnya dalam
pertempuran melawan Arya Penangsang yang didukung oleh kekuatan pasukan
Jipang. Dalam ceritra di Babad Dipanegara, Raden Ngabehi lah yang berhasil
mengalahkan Arya Panangsang dengan menggunakan keris Kiai Plered. Berikut
ceriteme yang menunjukan Raden Ngabehi berhasil membunuh Arya Jipang.

“Memang sudah lama di kandang, Gagak Rimang Menjadi


sangat liar tidak bisa dikendalikan, Raden Ngabehi kemudian
membawa Kiai Plered, sudah ditusukkan lalu ditarik, Arya
Jipang tewas.” (hal 75, Pupuh V Durma).
Setelah mengalahkan Arya Jipang, Raden Ngabehi berteriak kepada para
prajurit Jipang yang jumlahnya lebih unggul daripada Prajurit Tarub dan Sela
untuk menyerah dan tunduk. Pada malam harinya, Ki Ageng Pemanahan, Ki
Penjawi, dan Ki Juru Martani berembuk untuk menceritakan siapa yang telah
berhasil membunuh Arya Jipang. Sehingga pada akhirnya mereka setuju bahwa
nantinya yang dilaporkan kepada Kanjeng Sultan Pajang, bahwa Ki Ageng
Pemanahanlah yang berhasil membunuh Arya Jipang.

Sifat kepemimpan Jawa kerapkali menampilkan sosok kendel yang


merupakan senjata terpenting bagi seorang pemimpin. Kendel yang memiliki arti
berani merupakan sifat yang mampu membwa seorang pemimpinn untuk
bertindak lebih dan menimbulkan rasa kepercayaan. Hal tersebut nampak ketka
Raden Ngabehi yang melawan Arya Jipang yang terkenal sakti, bahkan sampai
Sultan Pajangpun sungkan melawan selain karena alasan kerabat yakni Arya
Jipang sangat sakti. Endraswara (2013:125-126) mengatakan bahwa sifat kendel
merupakan pusaka andalan sang pemimpin. Pusaka Tersebut menimbulkan rasa
percaya diri ketika memimpin sebuah komunitas. Selain itu ritual dan sifat kendel
merupakan simbol kekuasan. Pemimpin memiliki kekuatan khusus karena
bertameng benda-benda keramat artinya pusaka aji yang dapat membantu
legitimasi seorang pemimpin.

24
Pemikiran Ki Juru Martani berdalih bahwa, apabila yang dilaporkan Raden
Ngabehi (Sutawijaya) sebagai seseorang yang telah mengalahkan Arya Jipang
maka nantinya Sultan tidak akan menghadiahkan negara Pati dan Mataram karena
Raden Ngabehi masih muda dan hanya diberikan pakaian beserta harta, selain itu
juga Raden Ngabehi telah dianggap sebagai anak angkat Sultan Pajang.
Keputusan tersebut dapat diterima oleh masing-masing pihak terutama anaknya
Raden Ngabehi, segeralah diumumkan kepada para prajurit bahwa yang
membunuh Arya Jipang adalah Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya mereka
kembali ke Pajang beserta pasukan Tarub dan Sela untuk melaporkan bahwasanya
telah berhasil memenangkan sayembara tersebut.

Namun Sultan Pajang Hadiwijaya merasa sedih sampai tujuh hari tidak
pernah keluar dari tempat persemedian dan memanggil Patih Mancanegara
mengenai kebenaran ramalan dari Sunan Giri, Bahwa kelak akan ada Raja dari
Mataram yang keturunannya menguasai Tanah Jawa. Hal tersebut terdapat pada
Pupuh V Durma, berikut ceritemenya

“Lalu berkata, “Kakak Mancanegara sebabnya kau kupanggil,


ada masalah yang pentiing, aku sudah ingat betul akan perkataan
Kanjeng Sunan Giri”. (hal 81, Pupuv V Durma).
Dalam falsafah kepemimpinan Jawa bahwa wahyu merupakan sesuatu konsep
yang telah dipercayai sebagai representasi dari suara-Nya (Hyang Agung).
Sehingga sudah menjelma menjadi paradigma para raja pada zaman dahulu
mengenai konsep wahyu. Para Pemimpin adalah orang yang terpilih sehingga
menjadi keyakinan bahwa seorang pemimpin terdapat adanya campurtangtan
adikodrati. Hal tersebutlah yang menjadikan Sultan Pajang cemas dan memikirkan
cara lain untuk tetap terlihat menepati janji, sehingga menawarkan wilayah lain
kepada Ki Ageng Ngabehi karena Mataram merupakan wilayah yang sempit. Hal
tersebut terdapat pada ceriteme berikut.

“Janji atas dua negara, Pati dan Mataram, tetapi yang di


Mataram maksud Sang Raja, supaya Kakanda mau ditukar
dengan wilayah yang lain, sebab Mataram wilayahnya kecil”.
(hal 81 Pupuh V Durma).

25
“ Selain itu sekarang masih hutan. Paduka disuruh memilih
tanah jawa, semua pilihlah, walaupun berlipat dua kali, Sang
Raja, Kanda Mengizinkan.” (hal 81 Pupuh V Durma).
Namun cara tersebut ditentang oleh banyak pihak selain Ki Panjawi dan Ki
Juru, yakni Ki Ageng Sela yang merupakan guru dari Sultan Pajang Hadiwijaya
dan sekaligus kakek dari Ki Ageng Pemanahan serta buyut Raden Ngambehi
(Sutawijaya). Ki Ageng Sela menganggap bahwasanya yang dilakukannya adalah
dusta terhadap janji dan dirinya. Karena prinsip dari figur seorang pemimpin
kerajaan Jawa yakni haruslah Hanata yakni kejujuran. Endraswara (2013:56)
mengatakan bahwa para pemimpin haruslah menghayati falsafah njunjung
drajating praja, yaitu konsep dalam menegakan kejujuran.

Ramalan bahwa akan ada kerajaan besar yang nantinya berkuasa dan lebih
hebat dari Pajang sudah ada sejak masa Brawijaya ketika anaknya ke 14 Raden
Bondan Surati yang merupakan ayah dari Ki Ageng Sela mendapatkan wahyu.
Hal tersebut terdapat pada Babad Dipanegara Pupuh II Kinanti. Ceriteme tersebut
sebagai berikut

“Kanjeng Sang Prabu sudah mengetahui hal yang gaib atas


takdir Allah, Anaknya Raden Surati akan menjadi penguasa
Tanah Jawa dikemudia hari, tanpa ada yang menyela.” (Hal 15
Pupuh II Kinanti)
“Kekuasaan di Jawa akan turun-temurun, seluruh para pejabat
tiada lain keturunannya Raden Bondan Surati.” (hal 15 Pupuh II
Kinanti)
Selain itu juga pesan ramalan yang di dapati dari Ki Ageng Sela yang
merupakan anak dari Raden Bodan Surati dan sekaligus kakek dari Ki Ageng
Pemanahan dan buyut dari Sutawijaya. Ramalan tersebut terdapat pada ceriteme
yang ada di Pupuh IV Dhandanggula. Berikut data ceritemenya.

“Semua sudah diampuni Allah, anak cucumu besok akan


menguasai seluruh tanah Jawa, tetapi pesanku supaya nanti
diingatkan akan empat perkara, mengurungkan kelakuan,
kegelapan dalam agama, dengki, dan kibir itu yang
membatalkan puasa. (hal 53 Pupuh IV Dhandanggula).

26
Setelah itu Ki Ageng Pemanahan akhirnya diangkat dan dilantik menjadi raja
di Kerajaan Mataram sebagai hasil dari upayanya dalam membunuh Arya Jipang
meskipun kebenarannya yang telah membunuh adalah Raden Ngabehi yang
merupakan anaknya. Pelantikan tersebut setelah ia berjanji kepada Sulltan Pajang
untuk setia sehingga Sultan Pajang atas desakan Sunan Giri dan disaksikan oleh
Ki Ageng Sela..

1.1.1 Tafsir Episode (1) Terbentuknya Mataram

Dalam episode tersebut terbentuknya Mataram merupakan landasan baru


dalam perpolitikan kerajaan di Tanah Jawa yang penuh dengan perebutan dan
konflik sebagai pembaharuan kekuasaan sebelumnya yang telah runtuh yakni
Majapahit. Dalam episode tersebut Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai sosok
yang menurunkan raja-raja Mataram. Selain itu dalam episode (1) Terbentuknya
Mataram kita dapat mengetahui berebagai falsafah kepemimpinan. Falsafah
kepemimpinan yang hadir pada episode 1 menunjukan corak khusus pada budyaa
Jawa. Seperti yang dikatakan oleh Antlov dan Cideroth dalam (Endraswara,
2016:164) bawa pemimpin adalah figur yang menyangkut bagaimana tetap
berkuasa, serta bagaimanna menyerahkan kekuasaan. Konsep ini menandai bahwa
pemimpin itu figur penting terkait kekuasaan. Yang dibutuhkan adalah regulasi
kekuasan. Maka kepemimpinan dapat dimaknai sebagai sebuah strategi dan proses
orang berkuasa. Penguasa akan berhadapan dengan pihak lain, sehingga butuh
strategi yang khas.

Pendapat Antlov dan Cideroth tersebut sama seperti yang dilakukan oleh
Sultan Pajang yakni Pangeran Hadiwijaya yang menyingkirkan Arya Jipang yang
jauh lebih kuat dan masih merupakan kerabatnya. Cara Sultan Pajang mengadakan
sayembara untuk membunuh Arya Jipang dapat dipandang sebagai strategi politik.
Gramsci (Endraswara, 2013:108) tentang hagemoni. Dari sisi antropologi budaya
dan sastra, hagemoni sebenarnya upaya menguasai orang lain.

Selain itu juga, Ki Ageng Pemanahan merupakan sosok yang telah lama
ditakdirkan sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut nampak pada ceriteme-

27
ceriteme mengenai ramalan akan ada kerajaan besar yang berdiri. Ki Ageng
Pemanahan pada ceriteme yang terdapat pada episode 1 (Terbentuknya Mataram)
dianggap sebagai sosok yang mampu mebawa ke awal kejayaan. Terdapat indikasi
mengenai konsep wahyu yang melekat pada ceriteme pada episode 1, bahwa
budaya Kerajaan Jawa masih memegang teguh pemimpin yang mendapatkan
wahyu. Pada Babad Tanah Jawa (2007:110) Ki Ageng Pemanahan diramalkan
oleh Sunan Giri sebagai sosok yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi
pemimpin semua orang di seluruh pulau Jawa.

Ki Ageng Pemanahan merupakan sosok yang ada pada konsep agung


binathara selain mendapatkan wahyu, Ki Ageng Pemanahan dipandang sebagai
sosok yang benar-benar disegani. Endraswara (2013:109) mengatakan bahwa
pemimpin agung binathara adalah orang yang benar-benar di segani. Dia adalah
orang yang berwibawa, tidak perlu mencari-cari kewibawaan. Pemimpin termasuk
sudah dengan sendiri akan dihargai oleh rakyat. Ada dua tanda penting dalam
kepemimpinan agung binathara yakni 1) dapat menjaga kepaduan lisan dan
perbuatan, 2) dapat diteladani segala tindakannya, dapat meyenangkan bawahan,
dan tidak menyakiti bawahan. Jadi kisah terbentuknya Mataram pada episode 1
dapat dipaparkan sebagai berikut.

28
Sultan
Hadiwijaya
Hubungan Patron-Klien
klien
(Raja Pajang)
Ki Ageng Sela
Eps 1
(Patron)
Hubungan Persaudaran
Hubungan
Keturunan

Ki Ageng
Pemanahan
(Raja Mataram)

1.2 Episode (2) Konflik Pajang dan Mataram

Pada episode (2) Konflik Pajang dan Mataram Terdapat pada Pupuh VIII
Pungkur. Namun Mataram telah dipimpin oleh Sutawijaya yang memiliki gelar
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Wafatnya Ki Ageng Pemanahan yang
memiliki gelar Sulta Metaram akibat jatuh sakit, ceriteme yang menandai
wafatnya Ki Ageng Pemanahan terdapat pada Pupuh VII Asmaradana yakni
sebagai berikut.

“Ki Ageng Mentaram lalu sakit, tetapi tidak mengapa, kemudia


sudah menjadi kehendak Ilahi sampai wafatnya, tempat
semadinya bersinar, bumi bergerak bagai gempa.” (hal 105,
Pupuh VII Asmaradana).
Setelah tujuh hari kematian Ki Ageng Mentaram, sesuai dengan wasiatnya Ki
Ageng Pati berdiskusi dengan Ki Juru Martani agar segera mengabarkan kepada
Sultan Pajang untuk dapat memutuskan pengganti yang nantinya memimpin
Mataram. Sesampainya di Pajang dengan Ngabehi (Sutawijaya), Ki Juru Mertani
dan Ki Ageng Pati menemui Sultan Pajang dan mengabarkan bahwa Sultan

29
Mentaram telah wafat, mendengar kabar tersebut Sultan Pajang langsung
bersedih, serta Adipati Mancanegara dan Pangeran Benawa yangt mendengar
kabar duka ikut bersedih. Berikut ceriteme yang menggambarkan kejadian
tersebutu.

“Ki Ageng Pati berkata, “Tuan, hamba datang untuk


memberitahukan kabar bahwa Kanda Mentaram sudah wfat,”
kaget Sang Raja mendengar hal tersebut. Lama tidak berkata,
matanya berkaca-kaca. (hal 105, Pupuh VII Asmaradana).
Setelah mendengar kabar duka yang telah disampaikan oleh Ki Ageng Pati,
Sultan Pajang, Hadiwijaya memutuskan untuk memilih penerus kerajaan Mataram
yakni Raden Ngabehi Sutawijaya. Selain itu juga Ki Ageng Pati dijadikan sebagai
penasehat Sutawijaya diganti namanya menjadi Adipati Bregola. Ki Juru Martani
juga digantikan namanya oleh Sultan Pajang menjadi Adipati Modaraka. Berikut
ceriteme yanng menggambarkan kejadian tersebut.

“Sang Raja berkata pelan, “Manca dan semua adipati, perhatikan


keinginanku, sekarang negara Mataram, setelah meninggalnya
Kanda Ki Ageng Mentaram, aku berikan kepada si Ngabehi
sebagai penggantinya. (hal 106, Pupuh VII Asmaradana).
“Dan namanya aku ganti menjadi Senapati Mataram dan
menjadi penasihatnya adalah Kanda Pati aku beri gelar Adipati
Bregola, Kanda Juru juga berganti nama”. (hal 106, Pupuh VII
Asmaradana).
Dari ceriteme-ceriteme di atas menandakan bahwasanya pada kepemimpinan
Jawa terdapat adanya wewenang. Hal tersebut merupakan kondisi yang normal
karena dalam kepemimpinan hendaknya seorang pemimpin memiliki wewenang
atau tindakan dalam sesuatu hal yang sekiranya memiliki dampak. Endraswara
(2013:16) mengatakan bahwa Setiap pemimpin memiliki wewenang memutuska
apa saja. Putusa seorang pemimpin akan berdampak luas. Oleh sebab itu, banyak
pemimpin Jawa yang memiliki penasehat sebelum menggunakan wewenangnya.

Max Weber (Endraswara, 2013:17) mengatakan bahwa wewenang memiliki


tiga macam yaitu; 1) tradisional, 2) karismatik, 3) legal rasional. Wewenang
tradisional adalah wewenang yang berdasarkan atas kepercayaan sehingga tradisi
serta kekuasaan adalah wajar dan patut dihormati. Ceriteme yang mengisahkan

30
peralihan kekuasaan Mataram antara Ki Ageng Pemanahan dengan putranya
Sutawijaya atas dasar perintah Sultan Pajang merupakan bentuk wewenang yang
telah dilaksanakan. Sultan Pajang sebagai figur seorang pemimipin dapat
memutuskan apa saja termasuk memilih pengganti atas kekuasan yang
diperintahnya karena terdapatnya unsur hegemoni. Selain itu juga, karismatik
merupakan aspek wewenang yang berpengaruh dalam keterlaksanaan perintah.
Sultan Pajang tentunya sebagai seorang pemimpin memiliki kharisma yang kuat
hasil dari kekuatan mistik atau kesaktian. Aspek lainnya yakni legal rasional yang
mendasarkan pada suatu kepercayaan pada landasan. Sultan Pajang memutuskan
penerus kepemimpinan Mataram yakni Sutawijaya karena adanya landasan bahwa
pengganti tahta haruslah seorang keturunan raja atau saudara sehingga
mengindikasikan adanya aturan-aturan (rules of the games).

Naiknya Sutawijaya menjadi raja Mataram dan bergelar Senopati Ing Alaga
Sayidin Panatagama merupakan dasar konflik antara Pajang dengan Mataram.
Pada kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan konflik tidak terjadi karena Ki Ageng
Pemanahan telah mendeklarasikan janjinya kepada Sultan Pajang sehingga
pantang bagi figur seorang raja Jawa untuk menjilad ludahnya sendiri
(mengingkari janji). Perseteruan antara Pajang dengan Mataram bermula ketika
Raden Pabelan yang merupakan putra dari Tumenggung Mayang yang merupakan
adik ipar dari Senapati dibunuh oleh utusan Sultan Pajang. Sementara
Tumenggung Mayang diusir dan dibuang ke Jepara oleh kehendak Sultan.

Kehendak Sultan Pajang bukan tanpa sebab, karena sikap kenakalan Raden
Pabelan yang melakukan lambang sari (persetubuhan) dengan Dyah Ayu Retna
Kemuning yang merupakan anak bungsu yang sangat canti dari Sultan Pajang.
Kecatikan tersebut yang mampu mengikat Raden Pabelan sehingga berani
menyelinap masuk ke keputren selama tujuh hari tujuh malam. Namun aktivitas
tersebut rupanya diketahui oleh para dayang kerajaan yang diperintahkan untuk
mengurus sang putri. Persetubuhan tersebut akhirnya dilaporkan kepada sang
Sultan yang akhirnya membuatnya murka. Ceriteme yang menggambarkan
kejadian tersebut sebagai berikut.

31
“Belum menikah, meski begitu diceritakan sudah sering
bertemub dengan Raden Pabelan setiap malam, diam-diam
menyelinap masuk, lama-lama diketahui dan ditangkap, di
keputren dibunuh.” (hal 136, Pupuh VIII Pungkur).
“Ayahnya, Tumenggung Mayang, atas kehendak Sang Prabu
dan Sang Ratu sudah ditangkap dan dibuang ke Jepara, seribu
prajurit Pajang yang mengawal.” (hal 136, Pupuh VIII Pungkur).
Dari certieme tersebut yang menggambarkan mengenai kehnendak keji Sang
Sultan Pajang terhadap para prajuritnya untuk membunuh Raden Pabelan serta
mengusir dan mengsingkan Tumenggunng Mayang ke Jepara mengindikasikan
tidak adanya rasa kesabaran atau mawas diri dan cenderung dikuasai oleh hawa
nafsu. Ketidakhadiran pemikiran jernih kepada Sultan Pajang akibat adanya rasa
emosional yang menguasai diri. Sejatinya pemimpin Jawa harus mampu
mengendalikan hawa nafsu. Endraswara (2013:207) mengatakan bahwa pekerjaan
pemimpin yang paling berat adalah melawan jiwanya sendiri. Jiwa manusia
bergerak terus menerus, menentut berbagai hal, yang kadang-kadang di luar
dugaan. Tuntutan itu didorong oleh hawa nafsu yang meledak-ledak.

Kehendak keji Sultan Pajang tersebut didengar oleh Panembahan Senapati


melalui informasi yang diberikan oleh istri Tumenggung Mayang yakni Raden
Ayu Mayang. Panembahan Senapati menyesalkan sikap dan kehendak ayah
angkatnya Sultan Pajang dalam mengambil keputusan. Kehendak tersebut dirasa
sangat keji sehingga menjadikannya bersedih hati. Bahkan pada Babad Tanah
Jawa juga menjelaskan bahwa Panembahan Senapati merasa bersedih hati atas
sikap ayah angkatnya tersebut. Sehingga memutuskan untuk menyelamatkan adik
iparnya Tumenggung Mayang dengan memerintahkan kepada para menterinya.
Ceriteme pada Babad Dipanegara yang menggambarkan kejadian tersebut
sebagai berikut.

“Raden Ayu Mayang Berkirim surat ke Mentarakm kepada Sang


Senapati, sudah disampaikan, lalu dibaca isi suratnya, sedang
dihadapan prajurit Mataram, Ki Mondaraka di hadapannya,
setelah usai membaca tulisan. (hal 136, Pupuh VIII Pungkur)
“Ini sungguh ayahmu yang memulai.” Sang Senapati lalu
berkata kepada semua menteri yang di depan, “Saudaraku, sekali

32
lagi aku meminta rebutlah Tumenggung Mayang bersama anak
dan isterinya”. (hal 136, Pupuh VIII Pungkur)
Kontradiksi sikap tersebut menandahkan bahwa secara tersamar kebudayaan
dalam kepemimpinan Jawa menggambarkan mengenai hubungan kepemimpinan
dengan faktor keturunan. Seperti yang dikatakan Endraswara (2013:208) bahwa
keturunan orang baik boleh jadi menurunkan pemimpin yang baik pula. Begitu
pula sebaliknya, pemimpin yang jelek, akan memunculkan figur pemimpin yang
buruk. Maka untuk mengatasi dan membatasi hawa nafsu yaitu dengan etika Jawa
pa karet”.

Pa Karet adalah istilah landasan filosofi etika Jawa asli. Sebab, kehadiran
hawa nafsu yang menyublim ke dala empat ansir hidup, dalam proses emansi
merupakan pletikiking Dzat Jati. Dzat Panembahan jati ini yang membimbing
empat anasir, yang pada gilirannya menjadi empat nafsu. Keempat nafsu itu, akan
bergerak bebas manakala tidak ada etika yang membatasi. (Endraswara,
2016:131)

Konflik Pajang dengan Mataram berlangsung dengan perbedaan kekuatan


yang jauh. Pajang sebagai kerajaan yang besar tentunya memiliki jumlah pasukan
yang lebih banyak karena disokong berbagai kekuatan dari wilayah yang telah
tunduk. Namun prajurit Mataram hanya berjumlah 800 pasukan. Ceriteme yang
menggambarkan kisah tersebut yakni.

“Berjajar Adipati Demak, Palembang, Betawi, Mandura,


Cirebon, Sumedang, Kerawang, Surabaya, Blambangan, Kediri,
Jipang, Madiun, Banten, dan Ponorogo, semua sudah siap
perang.” (hal 138,Pupuh VIII Pungkur).
Terdapat mitos dalam episode (2) Konflik Pajang dan Mataram, ketika
Mataram berperang melawan Pajang terdapat pasukan gaib yang berasal dari Ratu
Kidul. Hal tersebut diyakini bahwa Panembahan Senapati telah menikah dengan
Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Ketika Mataram terjadi perang maka Ratu
Kidul akan membantunya dengan pasukan yang berasal dari jin, siluman, setan
dan bidadari. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

33
“Berganti cerita. Sultan Pajang siap bertempur dengan sang
Senapati, dikisahkan Kanjeng Ratu Kidul sudah mengetahui
kalau suaminya, Sang Senapati Mentaram, sudah berhadapan
dengan pasukan lawan, pasukannya di Randugunting.” (hal. 140
Pupuh VIII Pungkur).
“Sultan Pajang di Borongan, pimpinan perang bersiaga di
Prambanan, Kanjeng Ratu Kidul memanggil para raja jin di
Tanah Jawa.” (hal 140 Pupuh VIII Pungkur).
Kerapkali dalam cerita kerajaan Jawa dilingkupi mitos. Cerita mengenai
keberadaan Ratu Kidul tercantum diberbagai refrensi, tidak hanya dalam Babad
Dipanegara ini melainkan Babad Tanah Jawa juga mengisahkan hal serupa.
Endraswara (2013:6) mengatakan bahwa banyak mitos yang melingkupi
kepemimpinan Jawa, Pimpinan Kerator Mataram yang dibagi dua menjadi
Yogyakarta dan Surakarta, meyakini ada hubungan dengan kekuaatan gaib
Kanjeng Ratu kidul. Barthes (Endraswara, 2013:6) menggariskan bahwa mitos
adalah wujud pemikiran semiologi. Semiologi adalah ilmu simbol, yang biasanya
memakai lewat jalu konotif. Mitos dipelajari lewat mitologi. Mitologi adalah
paham tentang simbol pemaknaan yang biasanya lebih luas dari makna denotatif.
Banyak prajurit Pajang yang lari tunggang langgang akibat melihat sosok jin dan
setan yang membantu prajurit Mataram. Meskipun datang dengan jumlah pasukan
yang lebih besar, prajurit Pajang tetap kalah melawan prajurit Mataram beserta
prajurit Ratu Kidul yang merupakan bangsa jin, setan, dan para bidadari. Berikut
ceritme yang menggambarkan mitos tersebut.

“Kanjeng Sultan Pajang diterjang batu sebesar gunung, sangat


ketakutan semua prajurit Pajang kacau semua tidak tahu kawan
atau lawam, semua sudah mengira sulit untuk hidup.” (hal 142,
Pupuh VIII Pungkur)
“Genderuwo, thek-thekan, ilu-ilu, keblak, banaspati, wewe,
wedhon, bungang bahu, jerangkong dengan kepalanya, berbagai
macam makhluk halus sudah berbaris sudah memenuhi, orang
yang mengungsi.” (hal 142, Pupuh VIII Pungkur).
Mataram berhasil mengalahkan prajurit Pajang dengan bantuan pasukan jin,
setan, dan bidadari dari Ratu Kidul. Sultan Pajang mengelami kelumpuhan akibat
terjatuh dari gajahnya. Paginya beserta pasukan Pajang sang sultan kembali

34
menuju kerajaannya dengan kondisi luka-luka. Akibat luka yang diderita oleh
Sultan Pajang menjadiannya sakit parah hingga lumpuh. Sehingga sang Ratu
Pajang membuat pesan untuk Senapati bahwa ayahnya sakit keras sehingga
membuatnya bersedih. Kematian Hadiwijaya (Sultan Pajang) pun tak lepas dari
mitos bahwa Sultan Pajang ditusuk oleh jin yang diutus oleh Senapati Mataram.
Jin yang diutus oleh Senapati Mataram bernama Juru Taman.

Persetruan Pajang dan Mataram tak hanya terjadi akibat permasalahan


mengenai Tumenggung Mayang. Perseteruan Pajang dengan Mataram berlajut
akibat putra mahkota Pangeran Benawa tidak terpilih menjadi penerus kerajaan
Pajang setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa diberikan
kekuasaan di wilayah Jipang, sedangkan yang menggantikan tahta Pajang yakni
Adipati Demak atas perintah Sunan Kudus. Sunan Kudus berasalan bahwa
Pangeran Benawa masih sangat muda sehingga digantikan oleh sang menantu
karena masih trah ratu. Pangeran Benawa yang merasa sakit hati dan kecewa
karena hanya diperintahkan menjadi bupati Jipang meminta bantuan Senapati
untuk merebut kekuasaan Pajang. Hal tersebut didasari oleh mimpinya yang
ditemui oleh Sultan Pajang untuk meminta bantuan kepada Senapati. Senapati pun
merasa senang hati dan mengamini permintaan dari adiknya Pangeran Benawa.

Senepati Mataram pun meminta Pangeran Benawa untuk menyiapkan


persenjataan dan pasukannya untuk bersama-sama menggempur Pajang.
Mengetahui bahwa Senapati Mataram dan Pangerang Benawa akan menyerang
Pajang, Adipati Demak sebagai Sultan Pajang yang baru juga menyiapkan
pasukannya untuk menahan serangan Mataram. Pertempuran sengit terjadi serta
Pajang dapat dikuasai oleh Senapati. Adipati Demak yang kalah dikembalikan di
negerinya Demak. Pertempuran Pajang dengan Mataram dikisahkan pada Pupuh
X Garisa di dalam Babad Dipanegara. Kebaikan Senapati Mataram meskipun
telah menang ia tetap mengampuni Adipati Demak serta masih menganggap
Adipati Demak dan istrinya Diyah Retna sebagai kerabat, hal tersebut terdapat
pada ceriteme berikut.

35
“Kaget Kanjeng Senapati sebab adiknya menangis, berkata,
“sudah Dinda diamlah.” (hal 159, Pupuh X Girisa)
“Kaget Senapati melihat adiknya diikat dan berkata, “apa yang
terjadi? Adik dengan ikatan?” (hal 159, Pupuh X Garisa)
Setelah berhasil mengalahkan prajurit Pajang yang dipimpin Adipati Demak.
Senapati Mataram mengangkat adiknya Pangeran Benawa untuk bertahta di
kerajaan Pajang. Hal yang mendasari Senapati Mataram tidak mau bertahta di
Pajang yakni menjaga amanat dari sang ayah Ki Ageng Pemanahan untuk tetap
bertahta di Mataram karena kelak keturunannya akan menguasai seluruh tanah
Jawa dari Mataram.

1.2.1 Tafsir episode (2) Konflik Pajang dengan Mataram

Pada episode (2) Konflik Pajang dengan Mataram menunjukan bahwasanya


keturunan dari Ki Ageng Sela akan menguasai tanah Jawa. Terdapat hubungan
ceriteme antara episode (1) dengan episode (2) Bahwa dari Ki Ageng Pemanahan
dan berlanjut ke Raden Sutawijaya teradapat indikasi mengenai mitos ramalan
Sunan Giri, bahwa benar akan takluknya Pajang pada Mataram. Berdasarkan hal
tersebut maka pada tafsir pada episode (2) merupakan simbolisasi mitos yang
menyelimuti kepemimpinan kerjaan Tanah Jawa. Oleh sebab itu Mitologi
kepemimpinan Jawa memiliki ciri khas yang bercorak pada tradisional.

Endraswara (2013:6) mengatakan bahwa dalam hal suksesi saja,


kepemimpinan jJawa jelas khas. Ciri khas kepemimpinan Jawa dalam hal suksesi,
antara lain (a) pengganti pimpinan harus trahing kusuma rembesing madu,
maksudnya masalah keturunan sangat dipertimbangkan. Trah menjadi syarat
utama dalam dunia pemimpin Jawa, b) dipilih oleh pemimpin sebelumnya, dengan
jalan ditunjuk, asalkan memenuhi kriteria. Pemimpin yang ditunjuk tidak dapat
menolak melainkan haru sendika dhawuh (menurut), c) tanpa adanya periodesasi
kepemimpinan, tergantung yang bersangkutan akan turun tahta atau belum.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, episode (2) sangat jelas sekali menunjukan


gejala tersebut. Fenomena pergantian dari Ki Ageng Pemanahan ke Sutawijaya,
dan pergantian Sultan Pajang ke Adipati Demak yang merupakan gagasan dari

36
Sunan Kudus atas pertimbangan bahwa masih dalam trah raja, serta pengangkatan
Pangeran Benawa menjadi Sultan Pajang setelah mengalahkan Adipati Demak
merupakan bukti dari ciri kepemimpinan Jawa.

1.3 Episode (3) Kejayaan Mataram

Setelah takluknya Pajang kepada Mataram maka otomatis pusat pemerintah


diahlikan menuju Mataram. Pada episode (3) ini memaparkan mengenai kejayaan
Mataram yang sebelumnya telah diramalkan pada episode (1) dan episode (2).
Pada Babad Dipanegara ditemukan adanya ceriteme yang menunjukan pergantian
kepemimpinan dengan sistem trah. Sistem pemilihan pemimpin yang
berlandaskan dengan sitem keturunan merupakan bagian penting dari budaya
kepemimpinan kerajaan Jawa. Diceritakan pada pupuh X Gerisa, Senapati telah
wafat karena sakit sehingga tampuk kekuasaan harus segera diisi. Berdasarkan
gagasan dan kemauan dari Ki Mondaraka dan sang Adipati Pragola yang diangkat
sebagai raja yakni pangeran Adipati Mas Jolang sebagai raja ketiiga Mataram.
Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Kanjeng Sang Senapati Ngalaga, sakit dan sampai pada


wafatnya, sesuai kehendak dan takdir Allah.” (hal 161, Pupuh X
Gerisa)
Namun sebelum kematian sang Senapati Sutawijaya kondisi Mataram saat itu
sudah berjaya karena telah mengalahkan Pajang sekaligus mengalahkan Madiun.
Perang tersebut tentunya dibantu oleh sang Adipati Pragola. Serta dijelaskan
bahwa wilayah timur telah tunduk semua kepada Mediun. Berikut ceriteme yang
menggambarkan peristiwa tersebut.

“Panembahan namanya, wilayah timur tunduk semua, Sang


Senapati sudah mengetahui beritanya.” (hal 161, Pupuh X
Gerisa)
“Sang Senapati dan adiknya Sang Pragola menyerang dan
terjadilah pertempuran, Madiun bisa dikalahkan.” (hal 161,
Pupuh X Gerisa)
Di bawah kepemimpinan Sultan Mataram yang baru yakni Mas Jolang
kondisi Mataram semakin makmur dan mejadi besar sesuai dengan ramalan. Mas

37
Jolang memiliki tiga anak yang masing-masing bernama Pangeran Natapura,
Pangerang Rangsang, dan adik perempuan bernama Ratu Wandan. Senapati Mas
Jolang pun wafat karena sakit sehingga diteruskan oleh Pangeran Rangsang.
Penobatan pangerang Rangsang sangat lambat dikarenakan posisi Pangeran yang
berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus berguru ilmu agama.
Atas bujuk dari guru religiusnya yaitu sang Syarif dan para Iman Mekkah,
sehingga Pangeran Rangsang harus kembali ke Jawa dan meneruskan tampuk
kekuasaan. Setelah Raja Mas Jolang wafat maka Pangeran Rangsang pun
memerintah menjadi raja Mataram. Beriktu ceriteme yang menggambarkan
peristiwa tesebut.

“Setelah Kiai Singaranu menyampaikan berita bahwa Kanjeng


Raja sudah wafat, Kanjeng Pangerang sedikit meneteskan air
mata.” (hal 166 Pupuh XI Pucung).
“Sang Sarif dan para iman berkata, “Pulanglah cucuku, itu jalan
yang terbaik.” (hal 169 Pupuh XI Pucung).
Kepemimpinan Pangeran Rangsang menjadikan Mataram semaikin makmur
hingga menjadi prestasi mengalhkan pandahulunya. Selain itu cakupan wilayah
yang dikuasai oleh Mataram sampai ke Jawa Timur. Masa kepemimpinan
Pangeran Rangsang memindahkan kratonnya ke Plered. Berikut merupaka
ceriteme yang menggambarkan kejayaan Mataram dan pemindahan Keraton.

“Setelah itu semya pulang ke rumah masing-masing. Kanjeng


Sultan semakin lama berkuasa, semakin makmur tanah Jawa”.
(hal 170 Pupuh XI Pucung).
“Di Mataram ibadahnya semakin khusuk, tidak ada kejahatan,
setelah itu Kanjeng Sultan memindah keratonnya.” (hal 171,
Pupuh XI Pucung).
1.3.1 Tafsir Episode (3) Kejayaan Mataram.

Pada episode ini memaparkan mengenai kejayaan Mataram dari masa


peninggalan Pangeran Mas Jolang dan dilanjutkan oleh putranya yakni Pangeran
Rangsang. Dalam Babad Dipanegara tidak uraikan secara jelas mengenai
kejayaan Mataram yang berhasil menguasai wilayah tengah dan timur. Selain itu
ditemukannya sebuah moralitas kepemimpinan yang selalu diemban oleh para

38
raja-raja Jawa. Endraswara (2013:37) mengatakan bahwa amanah adalah perintah
(dhawuh), yang memuat tugas dan kesanggupan moral. Amanah adalah
kewenangan pimpinan sesuai dengan titah raja.

Kejayaan dari Pangeran Rangsang sebenarnya merupakan keterlanjutan dari


hasil kepemimpinan Mas Jolang selaku ayahnya masih kalah dengan
Kepemimpinan Raden Rangsang. Pada episode ini, peneliti menukan tafsiran
bahwa para raja-raja Jawa sangatlah patuh dalam menjaga amanah dan
menjadikannya sebagai sebuah moralitas. Pada literatur Falsafah Kepemimpinan
Jawa yang ditulis Endraswara, mengenai moralitas Sultan Agung yang
diakumulasi kepemimpinan sang Raja Mataram. Endraswara (2013:38)
mengatakan bahwa Raja adalah sentral pengambilan keputusan. Hal ini
dimanifestasikan dalam sikap yang selalu menujuk dan berakar ke bumi, atau
bhumi sparsa mudra. Intinya adalah kepemimpinan yang berorientasi kerakyatan
yang memiliki komitmen setia pada janji, berwatak tabah, kokoh dan selalu
berbuat baik.’

Sikap kebaikan dan kebajikan yang dimiliki oleh Pangeran Rangsang


merupakan hasil dari usaha kerasnya dalam memperdalam ilmu agama di
Mekkah. Pangeran Rangsang begitu banyak menerima ajaran agama islam oleh
syeh dan iman besar di Mekkah sehingga hal tersebut menjadi bekal Pangeran
Rangsang untuk memerintah Mataram. Hal lain yang tak kalah penting dari
episode 1, episode 2, dan episode 3 terdapat hubungan yang tersembunyi
mengenai budaya Tapa Brata sebagai nilai religius yang melekat pada raja-raja
Jawa. Berikut ini merupakan skema ceritema persamaan dan perbedaan episode
(3) kejayaan Mataram.

39
Meredam
MJ
Garis Keturunan pemberontakan

internal
Suka Bertapa
Raja Mataram Amanah
(Moralitas) (Iradat)

Memperluas
PR Wilayah
Mataram

MJ : Mas Jolang

PR : Pangeran Rangsang

Pada bagan ceriteme tersebut menunjukan adanya relasi-relasi yang terbangun


antara tokoh Mas Jolang selaku ayah dari Pangeran Ranngsang yang kedua-
duanya merupakan raja Mataram yang mampu membawa kedamaian dan kejayaan
Mataram. Tetapi perbedaannya terdapat pada suksesi mereka. Mas Jolang
menciptakan kejayaan dan kedamaian dengan hanya berfokus pada
pemberontakan internal kerajaan yakni meredam pemberontakan Pangeran Puger
dan Pangeran Jayaraga. Sedangkan Pada Pangeran Rangsang yang mampu
memperluas wilayah Mataram hingga ketimur dan bahkan menaklukan wilayah
Surabaya.yang sebelumnya belum bisa ditundukan oleh ayahnya.

Tampak adanya orientasi agama dan amanah sebagai sebuah moralitas yang
harus dijaga setiap penerus raja sebelumnya. Masa pemerintahan mereka dianggap
sebagai titik kejayaan Mataram daripada penerus Pangeran Rangsang selanjutnya
yang kerapkali timbul konflik hingga pada perpecahan Mataram. Perpaduan
budaya jawa dengan islam yang kerapkali dilaksanakan oleh raja-raja Mataram
merupakan bentuk sinkretisme budaya. Cederroth (Endraswara, 2013:87)
mengatakan, sinkretis Jawa bukan berada dalam proses disintegrasi. Tetapi apa

40
yang tampaknya terjadi adalah perubahan sifat dari yang terikat tradisi dan
komunal menjadi melihat ke dalam dan individualistis.

Moertono (Endraswara, 2013:85) mengatakan bahwa gerakan mistik selalu


mempunyai manfaat riil, karena usaha manusia dapat ditampung untuk diwariskan
kemudian kepada keturunannya atau lingkungan hidupnya. Walaupun orang juga
benar-benar menyadari bahwa iradat sebagai tindakan mistik bukanlah sesuatu
yang boleh diremehkan. Iradat adalah upaya manusia untuk meraih kekuasaan
secara sungguh-sungguh, penuh dengan laku. Laku mistik orang Jawa itulah yang
dalam keyakinan agama Islam dinamakan sufi. Kepemimpinan Jawa pun merasa
sah melakukan hal-hal sufistik.

1.4) Episode (4) Runtuhnya Mataram.

pemerintahan Pangeran Rangsang, ketentraman Mataram mulai terusik ketika


di Betawi yang dipimpin oleh Pangeran Jakarta diganggu dan diserang oleh
Belanda. Pihak Belanda membantu mengabulkan semua keinginan Pangeran
Jakarta sebagai taktiknya untuk menguasai wilayah Betawi secara perlahan.
Memberikan segala bantuan kepada Pangeran Jakarta sehingga memiliki hutang
budi. Akal licik dari Belanda pun segera diketahui oleh Pangeran Jakarta ketika
rakyat Betawi dipaksa untuk bekerja dibawah Belanda dengan paksa. Berikut
ceriteme yang menggambarkan perstiwa tersebut.

“Sudah akrab dengan Pangeran Jakarta sang nahkoda itu, karena


pandai merayu, lalu diungkapkan semua keinginannya.” (hal
172, Pupuh XI Pucung)
“Lama-lama tertata orang Betawi bersama yang mengerjakan
tanah itu tetapi tidak bisa dicegah oleh Sang Pangeran”. (hal
172, Pupuh XI Pucung).
Timbul perlawanan dari Pangeran Jakarta untuk menyerang benteng pasukan
Belanda yang berada di Betawi. Merasa kalah persenjataan akhirnya Pangerang
Jakarta lari dan melaporkan kepada pihak Mataram. Mendegar hal tersebut Ki
Singaranu cukup kaget sehingga memerintahkan Ki Mandureja dan Bupati

41
Wangkit Semarang diutus untuk menyerang Betawi. Perang berlangsung sengit
masing-masing pihak mengalami kekalahan hingga Sultan Rangsang
memerintahkan pasukan Mataram untuk kembai. Menanggapi hal tersebut,
Belanda mengira bahwa Mataram telah mengampuni mereka sehingga mengutus
wakilnya untuk memberikah persembahan. Berikut ceriteme yang
menggambarkan peristiwa tersebut,

“Dari Betawi menuju Mataram, gubernur sebagai wakil, yaitu


Kapten Temas, menghadap setiap tahunnya, membawa
persembahan, dengan gagah berani datan sendiri.” (hal 182
Pupuh XII Durma).
Setelah mengkesampingkan Betawi dan memanfaatkan VOC Belanda,
Senapati Rangsang memanfaatkan kerjasama VOC agar mendapatkan bala tentara
agar nanti dapat meredam berbagai pemberontakan. Namun akhirnya Senapati
Rangsang wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Adipati.
Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut,

“Kanjeng Sultan berkata kepada para patih dan penghulu,


“Panggillah, inilah putraku, Ki Adipati, yang akan
menggantikanku.” (hal 182 Pupuh XII Durma).
“Kemudian disemayamkan, bergetar tanah Jawa, cukup dahsyat,
gerhana bulan matahari, semua menduga karena Kanjeng Sultan
berpulang ke Rahmatullah.” (hal 183 Pupuh XII Durma).
Setelah naiknya ke tahta Mataram, Pangeran Adipati banyak mendapatkan
ujian dan cobaan. Banyak terjadinya perlawanan sepertihalnya perang melawan
Pangeran Trunajaya yang disokong bala bantuan dari berbagai wilayah timur dan
Makassar. Dalam perang tersebut Trunajaya berhasil mengalahkan prajurit
Mataram dan menewaskan Pangeran Purbaya. Prajurit Trunajaya berhasil
marangsak masuk ke dalam Plered. Trunajaya melakukan penjarahan ke Plered
dan membakarnya. Namun pemberontakan itu dihadapi oleh Pangeran Puger atas
kehendak Sri Nalendra. Namun Pangeran Adipati wafat dan dimakamkan di
Tegalarum sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Beriktu ceriteme yang
menggambarkan kematian Pangeran Adipati.

42
“Berganti cerita. Kanjeng Pangeran Adipati sudag wafat
ayahnya sangat sedih, ingin naik haji lalu Kanjeng Pangeran
memanggil Adipati Tegal Mertalaya, Kanjeng Pangeran
berkata.”. (hal 189 Pupuh XII Durma).
Setelah meninggalnya Pangeran Adipati. Maka Mataram dipimpin oleh
putranya yang bernama Pangeran Mangkurat. Pertempuran melawan
pemberontakan Trunajaya sangat sengit karena Plered telah jatuh sehingga
Pangeran Mangkurat pun membangung kartasura. Setelah Trunajaya
meninggalkan Plered maka kesempatan tersebut diambil ahli oleh Pangeran Puger
untuk menguasai kembali Kraton yang telah jatuh serta mengangkat dirinya
menjadi raja di Plered. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“ Kanjeng Pangerang dan prajurit sudat datang, tetapi sudah


sepi, lali masuk keraton, sudah naik takhta, yang mengangkat
para punggawa dan para pendeta, menjulukinnya sang Raja.”
(hal 188 Pupuh XII Durma).
Sehingga terpecahnya Mataram karena Plered diambil ahli oleh Pangeran
Puger sedangkan Kanjeng Pangeran Mangkurat mengangkat dirinya sebagai Raja
Mataram berikutnya. Berikutnya ceriteme yang menggambarkan peristiwa
tersebut.

“Kanjeng Pangeran berkata, “Semua pejabatku doakan, aku naik


tahta dan julukanku Sultan Mangkurat Tanah Jawa”. (hal 190
Pupuh XII Durma).
Pangeran Mangkurat teringat pesan ayahnya Pangeran Rangsang bahwa
untuk merebut kerajaan Mataram kembali atas Trunajaya maka memintalah
bantuan kepada Belanda yang pernah diperangi ayahnya. Sehingga Pangeran
mengutus Ki Mondaraka untuk berangkat ke Batavia. Sehingga pemberontakan
Trunajaya dapat diredam dan dikalahkan, Berikut ceriteme yang menggambarkan
peristiwa tersebut.

“Di Kedu setelah wafat, selain satu lawan satu sama kuatnya
dalam perang, sudah Takdir Allah celaka Trunajaya,” (hal 192,
Pupuh XII Durma).
“Beritahu Pada adikmu kalau Trunajaya mati, aku nanti naik
tahta dan akan mendirikan wilayah di kartasura, dan aku sangat-
sangat rindu.” (hal 192, Pupuh XII Durma).

43
Setelah berhasil mengalahkan Trunajaya atas bantuan Belanda, Amangkurat
harus menebus jasa VOC dengan menyerahkan sebagian wilayah Mataram ke
tangan VOC Belanda. Namun Pangeran Puger yang berada di Plered menolak
untuk tunduk ke Kartasura alhasil Amangkurat II melaksanakan serangan ke
Plered. Pertempuranpun terjadi perang Mataran dengan Kartasura. Berikut
ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“berganti cerita. Di Kartasura, Kanjeng Sunan Mangkurat sudah


mendengar berita kalau adiknya di Matarak tidak mau
menghadap harus dilawan.” (hal 196 Pupuh XII Durma).
“Sudah siap perang, banyak prajurit Mataram dikepung oleh
musuh, tetapi tidak takut, mengamuknya bagai banteng terluka.”
(hal 196, Pupuh XII Durma).
Perlawanan pangeran Puger terhadap Kartasura selain enggan menurut yakni
dikarenakan adiknya yang menjadi istri Pangeran Cakraningrat di Madura
diselingkuhi dengan Pakuwati. Pangeran Puger berhasil naik tahta di Semarang
dengan mendapat julukan Kanjeng Sinuhun Hamengkuwubuawa Senapati
Ngalaga Abdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah tanah Jawa. Berikut
ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Ditembak oleh para opsir dan seribu prajurit banyaknya, lalu


diangkat kemudian, Kanjeng Pangeran Puger bertakhta di
Semarang, Kanjeng Sinuhun Hamengkubuwana Senapati
Ngalaha Abdurahman Sayidin Panatagama, yang menguasai
tanah Jawa. (hal 214, Pupuh XII Durma).
Dengan diangkatnya Pangeran Puger menjadi raja Mataram ia lalu meminta
bantuan tentara Belanda bersama-sama dengan prajurit Semarang, Surabaya,
Madura bergerak menyerang Kartasura. Prajurit Kartasura pun kalah jumlah
sehingga pertempuran dimenangkan oleh Pangeran Puger dan Amangkurta III
diasingkan ke timur. Pangeran Puger pun wafat dan digantikan anaknya yakni
pangeran Adipati yang mendapatkan julukan Kanjeng Susuhanan Mangkubuwana
(Amangkurat IV). Beriktu Ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Sudah takdir Allah, Kanjeng Susuhunan Prabu tidak beruisa


panjang, dan wafat, jadi yang mengemban tugas Keraton yakni

44
Pangeran Riya, lalu Raden Adipati sudah sepakat dengan yang
mempunyai kepentingan.” (hal 217, Pipuh XIV Sinom)
“Pangeran riya ditipu diasingkan keluar, menjadi lulus naik
takhta yakni Pangeran Adipati dengan julukan Kanjeng
Susuhanan Mangkubuwana, setelah dewasa adiknya juga
dewasa.” (hal 217, Pupuh XIV Sinom).
Masa kepemimpinan Amangkurat IV begitu rumit ia dijatuhi hukuman
gantung setelah terjadinya pemberontakan Arya Mataram di Pati sehingga ia
ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Setelah geger pecinan yang
merupakan pemberontakan orang Cina di Jawa dan dipimpin oleh Sunan Kuning,
Pangeran Pakubuwana II yang merupakan putra Amangkurat IV menderikan
Kraton Surakarta karena kraton Kartasura telah hancur. Berikut merupakan
ceriteme yang menggambarkan pemindahan kraton.

“Di Kartasura sudah pindah keraton namanya Solo, Kanjeng


Sunan Kombul sudah lama wafat dimakamkan di
Ngalangkunan, anaknya menggantikan Kanjeng Pangeran
Adipati dengan julukan Kanjeng Sunan Mangkubuwana.
1.4.1 Tafsir Episode (4) Runtuhnya Mataram

Pada Episode (4) menceritakan mengenai konflik yang terjadi terus menuru
antara putra pangeran ketrunan Mataram serta pemberontakan Trunajaya. Hasil
yang didapati pada episode 4 diawali dengan campur tangan Belanda dalam
membantu raja-raja Mataram dan bahkan mengadakan perjanjian yang
menyengsarakan para raja. Dari ceriteme-ceriteme yang ada bahwa VOC Belanda
masuk ketika terjadinya pemberontakan Trunajaya sehingga Amangkurat I
meminta bantuan kepada VOC yang diperangi ayahnya Pangeran Rangsang, guna
meredam Belanda. Setelah itu perjanjian diteruskan hingga masa Amangkurat II.
Pada masa Amangkurat II perjanjian dengan VOC gagal karena ia melindungi
Untung Surapati.

Keruntuhan Mataram didasari oleh adanya perebutan kekuasan kerajaan dan


bahkan ada mitos pada Babad Tanah Jawi bahwa Amangkurat II meracuni
Amangkurat I sewaktu pelariann ketika dikepung Trunajaya. Dari relasi-relasi
ceriteme yang terjadi di sini peneliti dapat melihat adanya kontradiksi dimana

45
raja-raja dalam mempertahankan kekuasaanya cenderung menggunakan hagemoni
dan membiarkan kekuatan asing masung tanpa ia sadari jika kekuatan asing
tersebut secara perlahan akan meruntuhkan kekuasanya. Kondisi Mataram pecah
ketika Kartasura yang dipimpin oleh Amangkurat II melawan Pangeran Puger
yang memimpin Mataram keraton Plered. Perpecahan tersebut terus terjadi ketika
terjadi geger pecinan yang merusak Kartasura sehingga harus dipindahkan ke Solo
dan mendirikan kesultanan Surakarta sesuai perintah Pakubuwana II.

Budaya kepemimpinan Jawa menganggap bahwa ketika Keratorn atau pusat


pemerintahan telah hancur oleh perang maka harus mencari wilayah baru untuk
ditempati karena tempat yang hancur diyakini tidak mendapatkan wahyu lagi. Hal
tersebut terjadi seperti hanya Plered yang pindah ke Kartasura dan Kartasura lalu
dipindahkan ke Solo (Surakarta) Runtuhnya Mataram ketika masa kepeimpinan
Pakubuwana yang menyerahkan wilayah kepada VOC karena sebagai ganti rugi
perang geger pecinan. Berdasarkan ceriteme pada episode (4) maka berikut skema
yang menggambarkan perbedaan dan persamaan.

46
Melawan Pangeran
Belanda Rangsang

Berkerjasama
Amangkurat I dengan Belanda

Amangkurat II Pangeran Puger

Berkerjasama
Amangkurat III Amangkurat IV dengan
Belanda

Pakubuwono II

1.5 Episode (5) Perjuangan Pangeran Dipanegara

Pada episode (5) mendeskripsikan mengenai perjuangan Pangeran


Dipanegara. Perjuangan Pangeran Dipanegara terjadi ketika masa kepemimpinan
Sultan Hamengkubuwana III. Pada masa kepemimpinan Hamengkubuwana
pemerintahan Mataram telah terpecah menjadi wilayah Yogyakata yang didirikan
oleh Hamengkuwubawan I dan Surakarta. Sebelum melakukan perang Jawa
dengan
Melawan pihak Belanda, Pangeran Dipanegara melakukan perlawanan terhadap
Belanda
paman-pamannya. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Perang ini mustahil, musuhmu paman-pamanmu, mereka


terlaluanyak.” Pangeran Dipanegara, menjawab dengan
perlahan, “Walau begitu, hanya dengan doa restu Paduka.” (hal
234 Pupuh XV Asmaradana).

47
Pangeran Dipanegara mau memimpin perang Jawa ketika dirinya sedang
melakukan tapa brata di gua Secang. Pangeran Dipanegara melakukannya setiap
bulan Ramadhan. Pada saat melakukan tapa brata pangeran mendapatkan pesan
dari seseorang yang datang menemuinya. Seseorang yang datangt merupakan
Sunan Kalijaga yang memberikan wahyu bahwa esok ia akan memimpin perang
suci melawan Belanda dan ia mendapatkan julukan Ratu Adil. Berikut ceriteme
yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Kanjeng Pangeran di Gua Secang setiap bulan Ramdan, begitu


keinginannya, Kanjeng Pangeran memanjatkan doa dengan sepenuh hati kepada
Allah, jarang pulang, saat duduk di batu gilang ia berangan-angan”. (hal 302,
Pupuh XX Dhandhangula)

“Lalu ada seseorang datang di hadapannya bersama dengan


angin, pakaiannya yang berumbai bagaikan haji, kaget Kanjeng
Pangeran dan berkata, “Aku tidak mengetahui akan engkau?”
Orang yang ditanya menjawab, “Saya tidak mempunyai rumah.
“Kedatangan saya diutus memanggil. “Kanjeng Pangeran
berkata, “Siapa namanya yang menyuruh dan di mana
rumahnya?” Dan orang ini menjawab, “Ya, tanpa rumah semua
Jawa ini sebagai rumahnya. Sekarang diberikan julukkan Ratu
Adil yang menyuruh saya.” (hal 302, Pupuh XX Dhandanggula)
Perang Dipenegoro atau Perang di Jawa dimulai ketika para Belanda
memasang patok-patok di atas laha milik Dipanegara wilayah Tegalreja. Selain itu
juga Belanda meminta pajak yang tinggi kepada masyarakat menjadikan rakyat
semakin sengsara. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.

“Tegalreja sudah habis, Gusti, sudah menjadi jalan semua, akan


menyebar beritanya, sudah dipatok.” Kanjeng Pangeran bersedih
hatinya, setelah mendapat laporan Ki Soban Branjangkawat
yang diutus memanggil sang patih, Mas Ngabehi Mangnharja.
(hal, 310 Pupuh XX Dhandhanggula)
Perang pertama terhadap Belanda berada di wilayahnya yakni Tegalsari,
bersama dengan sang ayahanda Pangeran Dipanegara. Perlawanan Dipanegara
berhasil dimenangkan olehnya dan melakukan taktik bumi hangus agar Belanda

48
tidak dapat menggunakannya. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa
tersebut.

“Hitam warnanya berkaki putih, besar mebelalak matanya,


tinggi besar, kuda ayahnya sedang kelelahan, naik tandu
tergesah-gesah.” (hal 324 Pupuh XX Dhandhanggula).
“Tidak ketinggalan, lalu Pangeran membawa pusakanya,
tombak kiai Rondan, ayahnya juga membawa Kiai Jimat,
Pangeran Rangga tidak menunggu kuda.” (hal 324 Pupuh XX
Dhandhanggula).
Dalam melakukan perlawanan Pangeran Dipanegara banyak mendapatkan
bantuan terutama dari para kalangan kiai, petani, dan masyarakat. Selain itu
keraton Surakarta juga membantu perjuangan Pangeran Dipanegara dalam
melawan Belanda. Perang melawan Belanda disebut sebagai jihad. Beriktu
ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut,

“Di Selarong Sang Pemimpin Perang dikelilingi para ulama,


putra kerabat kerajaan, sarif, haji, ulama, para adipati, Kiai
Kwaron, dan Ki Maja, ayahnya berkata dengan sunguh-
sungguh. (hal 339Pupuh XX Dhandhanggula)
Perang Dipanegara berlangsung selama 5tahun dengan menggunakan taktik
gerilya sehingga menyusahkan pihak Belanda dalam menangkap. Kekalahan
Pangeran Dipanegara akibat sudah terdesak. Sehingga Pangeran Dipanegarap un
ditangkap dan diasingkan ke Manado. Serta berpesan apabila ia gugur maka
jenazahnya dimakamkan di Imogiri. Beriktu ceriteme mengenai peristiwa
tersebut.

“Kalau aku gugue, makamkan jenazahku di Pajimatan Imogiri,


tidak ada alasan lagi selain ingin bersama istriku. (hal 661,
Pupuh XLIII Maskumambang)
“Masih di dalam Kota Manado, besok wallahualam, adalah
takdir Allah ta’ala. (hal 661, Pupuh XLIII Maskumambang).

49
1.5.1 Tafsir episode (5) Perjuangan Pangeran Dipanegara

Pada epsode 5 menjelaskan mengenai perjuangan pangeran Dipanegara


terdapat ceriteme yang memiliki hubungan dengan episode 1 mengenai simbolik
keberanian pemimpin Raja Jawa yakni kuda hitam dan keris-keris pusaka. Pada
episode tersebut menceritakan bahwa konsep ratu adil ia dapati ketika
mendapatkan wahyu dari Sunan Kalijaga bahwa ia akan memimpin perang suci
melawan Belanda. Oleh karena itu perang Jawa disebut juga sebagai perang jihad
(Sabil) sehingga pasukan Dipanegara mendapat dukungan dari para petani, kiyai
dan rakyat kecil.

Selain itu juga episode tersebut dapat ditafsirkan dari puncak perlawanan
Mataram terhadap Belanda sebelum pecah menjadi dua akibat perjanjian Gayatri.
Dari sejarah episode sebelumnya dapat kita ketahui bahwa selain era Pangeran
Rangsang, era Pangeran Dipanegara lah yang berani melawan dan menjadikan
perang besar Jawa melawan Belanda.

2. Struktur Dongen Manuskrip Babad Dipanegara

Dalam menguraikan berbagai episode mengenai Babad Dipanegara dan telah


ditempatkan secara sintagmatis dan paradigmatis. Sehingga peneliti menemukan
mengenai sejarah kehidupan kerajaan Mataram hingga akhir kerajaan Mataram.
Secara diankronis urutan episode tersebut adalah sebagai berikut:

Terbentuknya Mataram Konflik Pajang dan Mataram Kejayaan

Runtuhnya Mataram Perlawanan Pangeran Dipanegara

Urutan episode tersebut menunjukan tentang alur dongeng pada manuskrip


Mataram
Babad Dipanegara. Analisis struktural sepeti ini mampu memperlihatkan
mengenai struktur-struktur yang hadir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
manuskrip Babad Dipanegara. Serta dapat menjadi bingkai pemahaman dongeng
di dalamnya. Berikut Sruktur yang ada pada manuskrip Dipanegara.

50
Religiusitas

(kepercayaan)

Kepemimpinan
Konflik Kejayaan
Jawa

Kehancuran

Struktur I Lingkaran

Pada struktur lingkaran tersebut telah membuat peristiwa yang semula sulit
dipahami kini dapat dipahami, bahwa pada kepemimpinan Jawa tidak luput
dikelilingin “bingkai simbolis” sehingga peristiwa yang ada pada episode dan
berupa ceriteme kini diubah menjadi bentuk simbolis. Bentuk simbolis tersebut
dirangkai dan mengikuti garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar.

Tataran-tataramn tersebut saling melingkar dan berkesinambungan melingkari


kepemimpinan Jawa. Oposisi biner yang saling berhubungan dalam garis
lingkaran yang melingkari kepimpinan Jawa membentuk suatu keharmonisan dan
keselarasan antar satu komponen dengan komponen lain. Berdasarkan hal tersebut
bahwa struktur dongeng manuskrip Dipanegara tidak lain merupakan untaian
jalinan dari beberagai ceriteme yang terdapa pada dongeng tersebut. Terutama
menyangkut bagaimana sejarah Mataram.

3. Mitos Kepemimpinan Pangeran Dipanegara

Kepemimpinan Jawa kerapkali tidak luput mengenai mitos-mitos yang


mengelilingi. Tertutama pada kepemimpinan Pangeran Dipanegara yang dianggap
sebagai seorang ratu adil. Konsep kepercayaan wahyu yang dijadikan pusat

51
kepercayaan sehingga dianggap bahwa menjadi seorang pemimpin harus karena
memperoleh wahyu. Pada manuskrip Babad Dipanegara menceritakan bahwa
Pangeran Dipanegara berani dan mau memimpin perang melawan Belanda setelah
mendapatkan pesan dari Sunan Kalijaga pada saat ia melaksanakan pertapaannya
di Gua Secang. Hal tersebut lah yang menjadikan Pangeran Dipanegara dikatakan
ratu adil. Seperti yang telah diuraikan di episode 5 perjuangan Pangeran
Dipanegara dalam analisis struktur dongeng Manuskrip Babad Dipanegara.
Ditemukan adanya beberapa mitos yang menyelimuti kepemimpinan Pangeran
Dipanegara, sehingga bisa ditarik deskripsi mengenai mitos kepemimpinan
Pangeran Dipanegara yakni;

3.1 Gelar Ratu Adil Pangeran Dipanegara

Pemikiran spekulatif pada masyakarat Jawa tersebut menciptaka keyakinan


mengenai mesinis yang dianggap sebagai seorang dewa atau seorang tokoh yang
dapat menghantarkan kepada keselamatan. Tokoh tersebut juga sering disebut
sabagai ratu adil yang memiliki kaitan dengan keadaan sebelumnya yang
dianggap menyengsarakan. Masyarakat pada masa kepemimpinan Pangeran
Dipanegara setelah kekalahan Mataram terhadap Belanda merasa sengsara
sehingga pangeran Dipangera dianggap sebagai penyelaman dan diyakini akan
mengeluarkan rakyat dari kesengsaraan.

3.2 Pusaka Pangeran Dipanegara

Kepemimpinan Pangeran Dipanegara terdapat adanya simbol-simbol


keberanian dan kekuatan diantaranya menggunakan kuda hitam dalam berperang.
Tak hanya itu raja Jawa meyakini keris sebagai kekuatan di luar tubuhnya. Simbol
Kuda Hitam dan Keris merupakan simbol kepemimpinan yang berani dan simbol
kekuatan yang ada pada Kepemimpinan Raja Jawa. Simbol tersebut dapat
memberikan stimulus terhadap keberanian seseorang sehingga apabila seorang
pemimpin memiliki suatu pusaka atau senjata maka dianggap memiliki kekuatan
mistik yang hebat.

52
Endrswara (2013:125) mengatakan bahwa kepemimpinan Jawa sering
memanfaatkan sifat kendel sebagao pusaka penting, untuk mempertahankan
kekuasaan. Sifat Kendel adalah pusaka andalan sang pemimpin. Pusaka tersebut
yang menimbulkan rasa percaya diri ketika memimpin sebuah komunitas. Selain
itu pemimpin Jawa dalam memiliki pusaka tentu tidak secara instan melain
adanya ritual terntentu seperti tapa brata agar mendapatkan kekuatan dan
pusakanya. Selaras hal tersebut Woodward (Endraswara, 2013:126) mengatakan
bahwa mistik merupakan praktik religi untuk menyatukan dirinya dengan
kekuatan lain agar ketika memimpin lebih percaya. Kepercayaan adikodrati yang
diyakini dalam masyarakat Jawa sebagai ajaran religi. Religiusitas pada
masyarakat Jawa tercipta dari hasil masyarakat dalam mempercayai dan
menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas kedalam hidupnya.

Kepemimpinan Pangeran Dipanegara dapat menjadi suritauladan bagi


pemimpin bangsa sekarang. Kepimpinan Pangeran Dipanegara tidak hanya
sekadar epos melainkan terdapat falsafah hidup sebagai seorang pemimpim yang
adil dan mementikan nasib rakyatnya. Tidak heran apabila dalam perjuangannya
melawan Belanda pangeran Dipanegara mendapatkan apresiasi dan dukungan dari
rakyatnya karena menunjukan contoh kebaikan dan legitimasinya. Pangeran
Dipanegara dalam kategori pemimpin Jawa telah menduduki posisi utama. Posisi
utama merupakan pemimpin Jawa yang banyak disukai oleh rakyatnya dan
memahami keutamaan menjadi seorang pemimpin. Endraswara (2013:55)
pemimpin harus berwawasan luas, memiliki ilmu kanuragan, kedigdayaan dan
kewicaksanaan. Semua sikap tersebut telah ada dalam diri Pangeran Dipanegara
dalam melaksanakan dharmanya kepada rakyat.

53
BAB V

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Setelah melakukan analisis terhadap manuskrip Babad Dipanegara


menggunakan teori Levi-Strauss, peneliti menemukan struktur teks Manuskrip
Dipanegara yang terdapat unsur-unsur yang saling berelasi. Unsur-unsur yang
saling menjalrin relasi yakni ceriteme. Melalui unsur tersebut peneliti melihat
bahwa Kerajaan Mataram pada awalnya merupakan kadipaten Pajang namun
berganti setelah melaksanakan serangan pada era kepemimpinan Sutawijaya.
Selanjutnya Pajang menjadi wilayah yang telah ditundukan yang berada pada
episode 2 dan mengangkat Pangeran Benawa sebagai Sultan Pajang karena
Pangeran Sutawijaya percaya mengenai amanah bahwa anak cucunya akan
menguasai tanah Jawa dibawah pemerintahan Mataram. Dari episode 1 dan 2
terdapat indikasi mengenai konsep wahyu bahwa budaya Kerajaan Jawa masih
memegang teguh pemimpin yang mendapatkan wahyu. Mitos tersebut merupakan
ciri khas kepemimpinan Jawa sehingga berpengaruh pada suksesi (trah) yang
haruslah keturunan dari seorang raja sebelumnya.

Terdapat struktur tersembunyi mengenai mitos ramalan yang ternyata terdapat


pada episode 3 mengenai Kejayaan Mataram, bahwa ramalan Sunan Giri atas
negeri Mataram yang menguasai Tanah Jawa berada pada pemerintahan Pangeran
Rangsang yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga ke wilayah timur
dan Palembang. Selain mitos mengenai ramalan Sunan Giri juga terdapat mitos
mengenai adanya kekuatan mistis yang berasal dari Ratu Pantai Selatan menjadi
simbol adanya zat adikodrati. Melalui ceriteme-ceriteme yang disusun menjadi
sintagmatis dan paradigmatis peneliti mampu menemukan struktur terpendam
yang menjadikan Mataram runtuh. Struktur tersebut berada pada epsiode (4)
Runtuhnya Mataram, VOC Belanda lah yang menjadi unsur yang mempengaruhi

54
kepemimpinan. Sehingga benar benar pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta
selepas perang Jawa yang dipimpin Dipangera dalam perjanjian Gayatri.

Selain itu peneliti menemukan mitos pada perjuangan Pangeran Dipanegara


yang diyakini sebagai Ratu Adil. Hal tersebut merupakan paradigma pemikiran
masyarakat dari hasil konsepsi trilogi. Pemikiran spekulatif pada masyakarat Jawa
tersebut menciptaka keyakinan mengenai mesinis yang dianggap sebagai seorang
dewa atau seorang tokoh yang dapat menghantarkan kepada keselamatan. Tokoh
tersebut juga sering disebut sabagai ratu adil yang memiliki kaitan dengan
keadaan sebelumnya yang dianggap menyengsarakan. Masyarakat pada masa
kepemimpinan Pangeran Dipanegara setelah kekalahan Mataram terhadap
Belanda merasa sengsara sehingga pangeran Dipangera dianggap sebagai
penyelaman dan diyakini akan mengeluarkan rakyat dari kesengsaraan.

Munculnya Pangeran Dipanegara sebagai seorang pemimpin Jawa akibat dari


pesan yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga sewaktu ia melakukan ritual tapa
berata. Dari analisa struktur teks manuskrip Dipanegara peneliti menemukan
unsur lain yang tak kalah penting mengenai amanah yang dipandang sebagai
moralitas raja Jawa. Moralitas dalam Kepemimpinan Jawa. Moralitas merupakan
hasil abstraksi dari sebuah kepemimpinan. Pradigma masyarakat Jawa
menganggap kualitas kepemimpinan raja Jawa diukur dari moralnya. Moralitas
pada kepemimpinan Jawa juga berlaku pada tatanan amanah. Amanah merupakan
bentuk kewenangan seorang pemimpin sesuai dengan kedudukannya dan titahnya.
Dapat dikatakan demikian karena di dalam amanah mengandung moral dan tugas.
Tak hanya itu kepemimpinan Jawa meletakan legitimasi sebagai tatanan moral
yang nantinya juga dianut oleh masyarakatnya. Adanya simbol-simbol dari
Pangeran Dipanegara sebagai seorang pemimpin yang mirip pada episode 1 yakni
ketika Pangeran Ki Ageng Pemanahan dan Sutawijaya menggunakan kuda hitam
dalam berperang. Tak hanya itu raja Jawa meyakini keris sebagai kekuatan di luar
tubuhnya. Simbol Kuda Hitam dan Keris merupakan simbol kepemimpinan yang
berani dan simbol kekuatan yang ada pada Kepemimpinan Raja Jawa.

2. Saran

55
Berdasarkan hasil pengkajian terhadap manuskrip Babad Dipanegara
menggunakan teori Levi-Strauss, maka peneliti bermaksud memberikan saran
yang dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya, yakni sebagai berikut.

2.1 Bagi peneliti selanjutnya diharapkann untuk mengkaji lebih banyak


sumber maupu refrensi mengenai kebudayaan Jawa, karena akar dari mitos
yang akan dikaji bersumber dari literatur tersebut.

2.2 Peneliti selanjutnya hendaknya lebih mempersiapkan diri dan menjaga


stamina agar dalam proses penelitian teori yang digunakan maupun data
yang dianalisis dapat dilaksanakan secara optimal. Terutama bagi
mahsiswa untuk membuat jadwal, hal tersebut untuk mensiasati apabila ada
batas pengumpulan yang singkat

2.3 Dalam melakukan analisis data, peneliti selanjutnya hendak


memperhatikan pola ceriteme yang mampu menunjuka peristiwa penting
setelah melakukan tahapan peyusunan melalui pola episod-episode, jangan
lupa untuk melakukan tafsir dan menyusun ceriteme menjadi sitagmatik
dan paradigmatik ke dalam kartu tabel.

Daftar Pustaka

Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif.


Yogyakarta. Jalasutra dan Anggota IKAPI.

56
Wellek, Rene dan Warren Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Umum.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung.


Alfabeta.

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.

Endraswara, Suwardi. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta. Penerbit


Narasi.

Ahimsa, Heddy Shri. 2012. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta. KEPEL PRESS.

H, Hoed, Benny. 1995. Jean Piaget Strukturalisme. Jakarta. Yayasan Obor


Indonesia

Emzir dan Rohman, Saifur. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta. Rajawali
Pers.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur


Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta. Pustaka Belajar

Gunawan, Apriyanto, Nana, Yeri, Isidora. 2019. Babad Dipanegara. Yogyakarta.


Narasi

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada


Uniersity Press.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta. CAPS

Endraswara, Suwardi. 2016. Antropologi Sastra Jawa. Yogyakarta. Morfalingua

Ihromi. T.O. 2016. Antropologi Budaya. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Purwadi dan Toyoda, Kazunori. 2007. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta.


Gelombang Pasang

Wintala Achmad, Sri dan Adji Bayu, Krishna. 2018. Perempuan-perempuan


Tangguh Penguasa Tanah Jawa. Yogyakarta. Araska.

57
Rita Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti. 2016. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Malang.
Penerbit Andi

Laksono, P.M. 2012. David Kaplan dan Albert A. Manners Teori Budaya.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Faruk. 2017. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Suratman, Munir, dan Salamah. 2015. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang.
Intimedia

Anwar, M. Shoim. 2019. Sastra Lama. Surabaya. CV. Pustaka Ilalang

Aminuddin.2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Baru


Algensindo
Dewantara, Ki Hadjar. 2013. Pemiran, Konsepsi, Sikap Merdeka. II
(Kebudayaan). Yogyakarta. Taman Siswa.

58

Anda mungkin juga menyukai