Dosen Pembimbing :
Dr. Sunu Catur Budiyono. M.Hum.
Oleh :
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Nim 175200022
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
C. Rumusan Masalah............................................................................................3
D. Tujuan Penelitian.............................................................................................3
E. Manfaat Penelitian...........................................................................................3
A. Dasar Teori......................................................................................................4
1. Mitos Levi-Strauss.......................................................................................4
C. Kerangka Konseptual......................................................................................15
A. Pendekatan Penelitian.....................................................................................17
E. Keabsahan Data``............................................................................................19
iii
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karya sastra merupakan representasi dari ungkapan pribadi sang penulis dan
berupa pemikiran, gagasan, serta pengalaman yang ditulis ke dalam bentuk
penggambaran konkret. Karena itu karya sastra dapat dikatakan sebagai sebuah
kesatuan unsur yang dibentuk oleh penulis dan dapat menciptakan efek sastra
sehingga tergambar sebagai sebuah ruang representasi dari hasi interpersonal dan
berisikan kombinasi aturan dalam teks tertulis. Adanya permasalahan serta peristiwa
yang dihadirkan ke dalam bentuk cerita oleh penulis mampu mencerminkan
kandungan makna yang dapat memberikan maanfaat pada para pembaca. Kandung
makna yang tercermin dari karya sastra merupakan penggambaran dari fungsi utama
karya sastra dalam melukiskan kehidupan manusia.
Peristiwa atau permasalahan yang hadir dalam bentuk teks sastra dan menjadi
fungsi utama yakni manuskrip. Mempelajari manuskrip merupakan sebuah bentuk
rasa kecintaan terhadap kekayaan budaya di nusantara. Melalui Manuskrip kita
mampu memetik hasil berupa ilmu pengetahuan bagi khazanah sejarah kita terhadap
kehidupan masa lalu. Penulis manuskrip bukan sekadar memindahkan apa yang dia
rekam dan saksikan pada kehidupannya ke dalam bentuk teks, melainkan memberi isi
serta tafsiran sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan sang penulis. Keyakinan-
keyakinan yang penulis tuangkan ke dalam manuskrip sebagai karya sastra berupa
ungkapan perjuangan, penderitaan, cita-cita dan sebagainya. Manuskrip sebagai karya
sastra yang berdasarkan pada realitas dan imajiner mampu menawarkan dengan penuh
makna dan isi untuk diungkapkan kembali melalui sarana sastra, untuk itu guna
menemukan makna dan isi yang yang tercermin perlu adanya orientasi yang
mengarah pada corak objektif karya sastra sebagai dunia rekaan dari kehidupan
sosial-budaya masyarakat yang nyata.
iv
Keterkaitan antara karya sastra dengan bidang ilmu sosial dan bahasa telah
mampu melahirkan sebuah prespektif baru di kalangan strukturalisme. Seperti halnya
teori strukturalisem Levi-Strauss, merupakan teori yang dinggap baru dan hadir dalam
bidang ilmu antropologi. Strukturalisme Levi-Straus mampu memberikan pandangan
terbaru mengenai gejala dalam fenomena budaya. Teori strukturalisme Levi-Strauss
mampu menyuguhkan hal-hal yang dianggap remeh menjadi suatu bentuk yang
memiliki peranan penting dalam menggali gejala sosial budaya. Sebagai sebuah teori
struktural yang berkembang dalam bidang ilmu antropologi, teori Levi-Strauss
menawarkan corak gagasan dalam menganalisa kebudayaan dari segi hubungan
bahasa dan kebudayaan itu sendiri.
iv
B. BATASAN MASALAH
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan juga batasan masalah pada penelitian, maka
dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
D. TUJUAN PENELITIAN
E. MANFAAT PENELITIAN
iv
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Strukturalisme Levi-Strauss
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, tepatnya pada abad ke-20
teori sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan teori
sastra tersebut dipengaruhi oleh kemajuan teknologi sehingga menjadi sejajar
dengan kompleksitas kehidupan manusia. Selain itu perkembangan teknologi
mampu menghadirkan efektifitas pada bidang penelitian sastra. Kemudahan-
kemudahan yang hadir menjadikan pelaksanaan penelitian memicu perkembangan
teori pada bidang sastra. Karya sastra sendiri memiliki hubungan dengan realitas
kehidupan yang selalu mengalami perkembangan, sehingga menjadikan fungsi
utama sastra sebagai penggambaran atas realitas kehidupan yang terus
berkembang. Dari hal tersebutlah diperlukan suatu teori sastra yang berbeda guna
menelisik lebih jauh untuk menemukan pemahaman mengenai struktur pembentuk
karya sastra.
4
Strukturalisme beranggapan bahwa fenomena eksternal seperti halnya
aktivitas budaya dan produk yang ada pada karya sastra tak lebih sebagai bagian
dari institusi sosial yang ditandakan sebagai suatu struktur berdiri sendiri. Konsep
strukturalisme dalam teori sastra sendiri bermaksud memaparkan secara tangkas
dan cermat mengenai keterkaitan segala unsur yang ada pada karya sastara
sebagai bagian yang dapat menghasilkan makna secara menyeluruh.
5
tersebut Levi-Strauss telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam
dunia sastra. Ia menganggap bahwasanya budaya merupakan suatu gejala
simbolik atau sebagai konfigurasi pada sistem perlambangannya, sehingga apabila
seseorang ingin menelisik perangkat budaya tertentu maka seseorang tersebut
hendaknya melihat pada kaitan dengan sistem keseluruhan yang menjadi pijakan
sistem perlambangan sebagai sebuah bagian. Gagasan Levi-Strauss sendiri
terinspirasi dari model analisis linguistik struktural Ferdinand de Saussure.
6
oposisi biner, korelasi, relasi-relasi, dan sebagainya. Sehingga pada pengartian ini
bahasa merupakan peletak pondasi guna terbentuknya struktur yang kompleks dan
sejajar dengan berbagai unsur kebudayaan lainnya.
Levi-Strauss terkesan melihat cara kerja analisis yang dilakukan oleh para
ahli bahasa dalam menelisik berbagai macam gejala bahasa di dunia, sehingga
mereka mampu merumuskan berbagai macam formula guna memahami berbagai
fenomena bahasa yang begitu kompleks. Mereka juga memanfaatkan konsep
permutasi secara cerdas dalam menganalisis, bahkan formula mereka tersusun dari
permutasi-permutasi baru yang ditemuka di lapangan.
7
Teori strukturalisme Levi-Strauss secara implisit menganggap teks naratif
seperti halnya mitos sejajar dengan kalimat. Hal tersebut didasarkan atas dua hal
yakni, teks sebagai sebuah kesatuan yang memiliki makna dan dapat mewujudkan
ekspresi, keadaan pemikiran dari pengarang. Karena pada makna sebuah teks
dianggap tidak hanya sekadar makna saja melainkan lebih dari hal tersebut karena
makna yang ditampilkan oleh teks lebih dari keseluruhan yang diekspresikan oleh
kalimat-kalimat yang membentuk teks sendiri. Alasan kedua bahwasanya teks
diartikulasikan dari bagian-bagian seperti halnya kalimat yang diartikulasikan
oleh kata. Petti dalam (Ahmisa-Putra, 2012:32) mengatakan bahwasanya, sebuah
teks merupakan kumpulan dari peristiwa-peristiwa yang membentuk sebuah
ceritra yang menampilkan tokoh dalam gerak. Sehingga strukturalisme Levi-
Strauss secara implisit menganggap sebuah cerita merupakan hasil dari proses
artikulasi.
8
Struktur tersebutlah yang dapat dikatakan sebagai struktur dalam (deep Structure).
Struktur dalam sendiri digunakan untuk memahami gejala kebudayaan yang
dianalisis.
Struktur yang dapat dianggap sebagai struktur permukaan yang ada pada
karya sastra sepertihalnya; sebuah mitos, suatu sistem kekerabatan, sebuah
kostum, rituil, tatacara memasak, dan sebagainya merupakan struktur-struktur
permukaan yang menunjukann adanya suatu gejala. Pendapat Haddy-Shri releva
dengan aplikasi teori Levi-Strauss, sehingga struktur dalam yang merupakan
struktur dari struktur memiliki tatatan berbeda dengan struktur luar. Struktur
dalam merupakan tataran nirsadar atau tidak disadari oleh para pelaku nirsadar.
9
Berdasarkan kehadiran model tersebut maka analisis struktural telah
menciptakan kemungkinan baru ditemukannya perkiraan atas transformasi-
transformasi budaya yang pernah terjadi pada masyarakat. Analisis struktural
tersebut telah dapat diterapkan sebagai media dalam mengalisis unsur yang lebih
kecil sehingga mengarahkan kepada tujuan menemukan fenomena yang diteliti.
Kaplan dan Manners (Laksono, 2012:244) mengatakan, Para strukturalis
menyatakan bahwa jika seseorang telah memahami sistem-sistem budaya yang
pada hakikatnya bersifat formal. Segala macam hubungan logis antara fenomena-
fenomena budaya pun menjadi dapat disingkapnya. Suatu struktur yang muncul
pada suatu taraf sehubungan dengan muatan tertentu,mungkin muncul kembali
pada tarf lain dengan muatan yang sama sekali berbeda.
Miteme merupakan merupakan sebuah unsur pada konstruksi mitis dan satuan
kosokbali. Setelah melakukan analisa dan menemukan miteme yang berupa
kalimay-kalimat yang mampu menunjukan adanya relasi-relasi pada sebuah mitos,
selanjutnya miteme diletakan pada kartu index. Kartu tersebut dapat menunjukan
kepada peneliti mengenai subjek yang dapat melakukan fungsi tertentu atau
menunjukan adanya relasi yang muncul secara diankronis. Kemunculan relasi
yang secara diankronis pada tempat-tempat tertentu atau sangat jauh jaraknya
maka harus disusun secara sintagmatis dan paradigmatis. Penyusunan sintagmatis
dan paradigmatris pada tahap analisis akan membawa peneliti menemukan
susunan miteme. Menurut Levi-Strauss (Haddy-Shri, 2012:96) seperangkat mitos
pada dasarnya membentuk semacam partitur orkestra.
10
pengetahuan kita dan kata yang tidak kita pilih untuk diucapkan juga memiliki
hubungan asosiatif sebagai pengertian antara kata-kata lain dengan kata yang kita
tuturkan. Sehingga hubungan rantain tersebutlah dikatakan sebagai rantai
paradigmatis.
4. Mitos Levi-Strauss
Pada kajian Levi Strauss, mitos yang dimaksud berbeda dengan mitos yang
berada pada dimensi mitologi serta dalam pandangan para antropologi. Levi-
strauss menganggap bahwa mitos merupakan sesuatu yang tidak harus
dipertentang dengan sejarah dan kenyataan, bagi Levi-straus hal tersebut akan
menjadi permasalahan yang kompleks karena adanya perbedaan makna pada dua
konsep tersebut. Permasalahan kompleks yang muncul dari dua hal tersebut akibat
adanya anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa sejarah merupakan
kenyataan yang menjadi kebenaran sedangkan mitos dianggap sebagai kisah
dongeng yang kebenarannya tidak ternisbihkan. Mitos sendiri merupakan sebuah
dongeng dalam konteks strukturalisme Levi-strauss karena apa yang berada pada
suatu kelompok kesucian mitos dianggap hal yang biasa saja dan menjadi sesuatu
problematis.
11
setiap dongeng menjadi hal yang fragmentaris. Mitos dipandang sebagai aspek
yang naratif dalam sebuah kebudayaan tertentu karena pada dasarnya mitos
merupakan sebuah pesan kultural dari dan terhadap anggota masyarakat.
Mitos dipandang memiliki kesamaan dengan bahasa, hal tersebut tidak begitu
saja terjadi, Levi-Strauss menganggap pemilihan model-model dari linguistik
berdasarkan persaman yang tampak antra mitos dengan bahasa. Berbeda dengan
para ahli antropologi lainnya yang tidak memandang sama sekali persoalan antara
bahasa dengan mitos, Levi-Strauss justru menguraikan secara komprehensif
mengenai ciri-ciri bahasa yang dianggap memiliki kesamaan dengan mitos.
Kesamaan antara bahasa dengan mitos dilandaskan pada esensinya yakni; bahasa
merupakan media atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
antara penutur dengan pendengar atau dari kelompok satu ke kelompok lainnya.
Hal tersebut dipandang sama dengan mitos yang disampaikan melalui prantara
bahasa guna pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat diketahui dari
pengucapnya. Sehingga nantinya masyarakat berusaha mencari dan menggali
pesan-pesan yang dipercayai ada dalam kandungan mitos di dunia.
12
yang hadir sebagai sebab penggunaan bahasa yang konkrit. Langue sendiri di
mata Levi-Strauss merupakan aspek strukturalnya. Kedua bahasa merupakan
struktur-struktur yang membentuk struktur sistem yang relatif sehingga tidak
terpengaruh oleh individu. Dari hal tersebutlah yang membedakan bahasa satu
dengan bahasa yang lainnya. Bahasa sebagai langue bisa berada dalam waktu
yang terbalik karena bahasa terlepas dari diankronik, hal tersebut berbanding
terbalik karena bahasa sebagai parole sehingga, Levi-Strauss menganggap bahasa
berada dalam waktu yang tidak dapat dibalik
Mitos pada pandangan Levi-Strauss bisa berada pada kondisi dua waktu yaitu
terbalik dan waktu tidak bisa terbalik. Fakta tersebut dapat dilihat pada mitos yang
selalu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di waktu lampau. Selain itu
pola pada mitos juga termasuk ciri yang menjadikan mitos selalu terlihat relvan
dan oprasional pada konteks sekarang. Pola yang dideskripsikan pada mitos
memiliki sifat timeless dan reversible time yang dapat menjelaskan di masa lalu
dan di masa sekarang sekaligus di masa yang mendatang. Jadi berdasarkan hal
tersebut mitos memiliki sifat yang sama dengan bahasa namun juga di sisi lain
mitos berbeda dengan bahasa karena bahasa memiliki sisi sinkronis dan
diankronis yang terpisah dalam analisis, sedangkan mitos memiliki sisi sinkronis,
diankronis, dan pankronis. Sinkronis dan diankronis pada mitos menyatu dan
tidak terpisah sehingga oleh Levi-Strauss dikatakan sebagai struktur ganda.
Historis dan ahistoris merupakan struktur ganda tersebut dan membuat mitos
menjadi sama namun berbeda.
Persamaan lain antara mitos dan bahasa pada pandangan Levi-Strauss yakni
terdapat adanya kontradiksi yang menarik seperti halnya terdapat banyaknya
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang logis atau di
luar akal sehat manusia juga dapat kita temui dalam mitos sehingga menjadikan
mitos nampak tidak terdapatnya logika. Dalam mitos tidak ada yang tidak
mungkin terjadi, ciri apapun dapat mencuat pada tokoh mitis (mythical figures)
sehingga terdapat adanya relasi di antara mereka. Kita dapat menemui berbagai
macam mitos yang tersebar di dunia namun ketika membacannya, kita akan dapat
menemukan sesuatu yang menarik yakni sebuah kemiripan-kemiripan antara
13
mitos satu dengan mitos yang lainnya. Kemiripan yang terjadi pada mitos yang
berbeda tempat dapat ditemui pada ciri-ciri dari para tokohnya.
14
5. Ciri Khas Budaya Kepemimpinan Jawa
Kebudayaan Jawa lahir dari hasil pemikiran dan konsepsi dari dalam diri
masyarakat Jawa. Secara etimologi kata Budaya berasal dari kata budi dan daya.
Budi adalah akal yang merupakan bagian dari rohani dalam kebudyaan dan daya
sendiri merupakan suatu tindakan yang menjadi unsur jasmani. Hanafie (2016:32)
mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia (sebagai
makhluk sosial) yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan
lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
15
5.1 Wewenang dalam Kepemimpinan Jawa
16
Pada struktur kekuasaan kerajaan dalam kepemimpinan pasti memiliki sebuah
wewenang. Pada praktinya raja atau pemimpin Jawa memiliki sebuah penasihat
dalam memberikan wewenangnya. Kewenangan sangatlah lekat pada kekuasaan
dan terdapatnya sebuah legitimasi. Selain kewenangan, karakteristik lain pada
kekusaan Jawa menurut Setiawan pada (Endraswara, 2013:12) yakni
B. Kekuasaan Jawa berasal dari adikodrati atau disebut sebagai alam illahiah
yang tunggal. Sehingga penguasa atau raja tidak perlu memberikan
pertanggungjawaban atau justifikasinya secara moral kepada rakyat
dikarenakan kekuasaan tersebut tidak berasal dari rakyat.
Hal lain yang ditemui dalam struktur kekuasaan Jawa terdapat adanya
mesianistis yakni sebuah keyakinan pada kelahiran seorang pemimpin baru
dengan prosesi ramal. Hal tersebut berdasarkan pemikiran spekulatif yang tercipta
17
pada rakyat sehingga benar-benar meyakini mengenai aktivitas mistis tersebut.
Mesianisme pada masyarakat Jawa yang bekembang memiliki sifat garis pada
gerakan millenarisme di Eropa. Gerakan tersebut meyakini bahwa akan ada
kedatangan mesias yang dapat menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan.
Pemikiran spekulatif pada masyakarat Jawa tersebut menciptaka keyakinan
mengenai mesinis yang dianggap sebagai seorang dewa atau seorang tokoh yang
dapat menghantarkan kepada keselamatan. Tokoh tersebut juga sering disebut
sabagai ratu adil yang memiliki kaitan dengan keadaan sebelumnya yang
dianggap menyengsarakan.
Kepemimpinan raja-raja Jawa tidak luput dengan adanya sesuatu yang mistis.
Seperti halnya konsep kepercayaan wahyu yang dijadikan pusat kepercayaan
sehingga dianggap bahwa menjadi seorang pemimpin harus karena memperoleh
wahyu. Hal tersebut merupakan hasil dari adanya sinkretisme pada kebudayaan
Jawa sehingga dianggap adanya campur tangan adikodrati. Pemahaman tersebut
menghasilkan sistem paradigma jika adikodrati telah merestui dan mengehendaki
bahwa seseorang mendapatkan wahyu baik dari orang kecil maupun besar maka
siapapun tentunya tidak boleh menghalangi.
18
dapat menjadikan musuh bebuyutan. Dari hal tersebut maka timbul dendam
kesumat yang sulit untuk dibendung.
19
Raja atau pemimpin Jawa sejatinya juga memiliki ideologi yang
mencantumkan moralits di dalamnya. Ideologi sendiri merupakan paradigma
berfikir seseorang yang menjadi landasan gerak. Ideologi yang kental pada
masyarakat Jawa yakni kejawen. Hal tersebut didasarkan pada pola perilaku
mereka yang memasalahkan individunya dalam kehidupan yang memoduskan
kekerasan. Sehingga meletakan kepemimpinan harus pada lingkup komunal yang
penuh dengan budi pekerti dan kehalusan.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Isa Ansari yang berjudul “Kekuasaan Jawa
Dalam Struktur Kerajaan Islam dan Pewayangan: Sebuah Analisis
Strukturalisme Levi-Strauss”. Hasil dari penelitian tersebut berhasil
mengungkapkan mengenai beberapa struktur yang ada dalam sejarah kerajaan
Islam di Jawa.dan bahkan transformasinya.
20
2. Penelitian yang dilakukan oleh Yulita Shafridha Farnadayanti yang berjudul
“Mitos Pemandian Bektiharjo Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban”. Hasil
dari penelitian tersebut bahwa miteme pada mie kesatu, dua, tiga, dan empat
yang terdapat dalam ceriteme mengungkapkan adanya sikap toleransi untuk
menjaga tali persaudaraan sesama pemeluk agama Islam.
B. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep agar dapat diamati, maka hal yang dilakukan adalah dengan
menjabarkan variabel-variabelnya. Maka dari itu kerangka konseptual merupakan
suatu susunan kontruksi yang logis dan diatur dalam rangka menjelaskan variabel
yang akan diteliti. Kerangka tersebut dirumuskan guna menjelaskan alur kontruksi
logika dalam mengkaji secara sistematis.
21
Penelitian ini didasarkan pada objek yaitu manuskrip Babad Dipanegara guna
mendeskripsikan bagaimana struktur dongeng manuskrip Babad Dipanegara
beserta Mitos Kepemimpinan Pangeran Dipanegara.
22
MANUSKRIP BABAD
DIPANEGARA
STRUKTURALISME
LEVI-STRAUSS
STRUKTUR DONGENG
MANUSKRIP
EPISODE
CERITEME
MITOS
KEPEMIMPINAN
DIPANEGARA
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN PENELITIAN
17
Pada pendekatan objekif, karya sastra diberikan perhatian penuh pada struktur
otonomnya, sehingga beberapa ahli mengatakan bahwa pendekatan objektif
dinakaman juga dengan pendekatan strukturalisme. Para strukturalis memeliki
cara tersendiri dalam memandang karya sastra yaitu dengan memusatkan
pemahaman pada teks karya itu sendiri. Menjadikan tahap anlisis pada karya
sastra diarahkan pada bagian-bagian karya sastra dalam melihat keseluruhan serta
memandang bahwa keseluruhan merupakan kumpulan bagian. Pengaplikasian
pendekatan objektif harus terlepas dari latar belakang karya sastra, atau dari diri
sang penulis dan terlepas pada efek yang ditimbulkan kepada para pembacanya.
B. METODE PENELITAN
18
Metode deskriptif kualitatif merupakan jenis metode yang digunakan untuk
menganalisis suatu gejala atau fenomena dan data. Kemudian data atau variabel
atas permasalahan yang dikaji dijabarkan dalam bentuk analisis secara sistematis.
Data merupakan sebuah kumpulan fakta yang berupa angka, simbol atau
apapun yang diperoleh melalui hasil pengamatan terhadap suatu objek. Data yang
akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kata, kalimat atau kutipan teks/dialog
yang memiliki kaitan dengan struktur kekuasaan pada kerajaan Jawa.
Adanya sumber data peneliti mampu memperoleh data yang akan dianlisis atau
dikupasnya. Sumber data merupakan tempat atau objek yang dapat ditelisik
sehingga melahirkan data dengan menggunakan teori atau metode. Sumber data
pada penelitian ini yakni Manuskrip Babad Dipanegara
19
pengetahuan dan kesan mengenai isi ceritera, tokoh-tokoh, dan juga
berbagai tindakan atau peristiwa yang mereka lakukan
2. peneliti mencatat dan menggaris bawahi kalimat atau dialog pada teks
di dalam Manuskrip Babad Dipanegara tersebut. Dialog atau teks yang
pada tingkatan kalimat, peneliti anggap sebagai sebuat
miteme/ceriteme.
Sedangkan guna mendapatkan teori yang relevan untuk penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik kepustakaan yang merupakan ilmu-ilmu tentang sumber-
sumber yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut berupa
buku, penelitian terdahulu, catatan, dan sumber internet.
Teknik analisis data pada penelitian ini adalah dengan melakukan analisis
pada teks Manuskrip Babad Dipangera. Analisis tersebut bertujuan untuk
mengetahui struktur dongeng Manuskrip Babad Dipangera tentunya dibantu
dengan menguraikan episode-episode pada bagian manuskrip sesuai dengan teori
Levi-Strauss. Dalam mengenalisis struktur Babad Dipanegara peneliti akan
membaginya ke dalam bentuk episod-episode agar dapat memahami Babad
Dipanegara secara struktural. Selain itu juga bagian-bagian tertentu perlu kita
perhatikan di dalamnya yang berkaitan dengan kisah kepemimpinan Pangeran
Dipanegara. Bagian-bagian tersebut merupakan ceriteme-ceriteme yang ada pada
dongeng. Setelah menemukan ceriteme maka tahap selanjutnya yakni menyusun
secara pragmatis dan sitagmatis.
Ceriteme merupakan kalimat, frasa, kata-kata, atau bagian dari alenia yang
dapat ditempatkan ke dalam relasi dengan ceriteme lainnya sehingga menunjukan
adanya makna tertentu. Menurut Haddy-Sharii (2012:264) mengatakan bahwa
20
ceriteme bisa mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar belakang
kehidupan, interaksi atau hubungan sosial, status sosial ataupun hal-hal lain, dari
tokoh-tokoh ceritera yang penting artinya bagi analisis. Tentu saja derajat
kepentingan (signifikansi) setiap ceriteme bersifat relatif.
1. Peneliti mengambil data yang telah didapati dari korpus data. Data
merupakan miteme atau ceriteme yang telah dipilih oleh Peneliti.
21
B. KEABSAHAN DATA
22
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
“Aku beri Hadiah Negeri Mataram, dan di Pati, Siapa yang kuat
dan bersedia menghadapi Arya Panagsang, sudah aku buat
sayembara, Pati dan Mataram pasti menjadi milikinya.”( Hal. 68
Pupuh V Durma).
Menanggapi hal tersebut Ki Juru Martani meberitahukan kepada Ki Ageng
Pemanahan atas berita tersebut. Ki Juru Martani mendesak agar Ki Ageng
Pemanahan untuk mengikuti sayembara tersebut, lalu menanyakan apakah Ki
Pemanahan siap untuk bertarung melawan Arya Jipang. Dasar tersebutlah yang
nantinya digunakan Ki Ageng pemanahan untuk membunuh Arya Jipang dan naik
ke tahta Mataram. Dalam episode Tebentuknya Mataram perlu kita pahami
bahwasannya sayembara yang diadakan oleh Sultan Pajang sebagai wujud
kesanggupan dalam menebus sumpah Ratu Kalinyamat.
Dalam Babad Tanah Jawa, Ratu Kalinyamat melakukan sumpah atas dasar
rasa sakit hatinya akibat sepupunya Sunan Prawoto yang sejatinya harus naik
tahta justru tewas dibunuh oleh Arya Penangsang dan sekaligus suaminya tewas
23
di tangan Arya Panangsang di hutan selepas bertemu dengan Sunan Kudus untuk
meminta keadilan atas kematian Sunan Prawoto. Selanjutnya Ki Ageng
Pemanahan diberikan pasukan Tarub dan Sela untuke mengawalnya dalam
pertempuran melawan Arya Penangsang yang didukung oleh kekuatan pasukan
Jipang. Dalam ceritra di Babad Dipanegara, Raden Ngabehi lah yang berhasil
mengalahkan Arya Panangsang dengan menggunakan keris Kiai Plered. Berikut
ceriteme yang menunjukan Raden Ngabehi berhasil membunuh Arya Jipang.
24
Pemikiran Ki Juru Martani berdalih bahwa, apabila yang dilaporkan Raden
Ngabehi (Sutawijaya) sebagai seseorang yang telah mengalahkan Arya Jipang
maka nantinya Sultan tidak akan menghadiahkan negara Pati dan Mataram karena
Raden Ngabehi masih muda dan hanya diberikan pakaian beserta harta, selain itu
juga Raden Ngabehi telah dianggap sebagai anak angkat Sultan Pajang.
Keputusan tersebut dapat diterima oleh masing-masing pihak terutama anaknya
Raden Ngabehi, segeralah diumumkan kepada para prajurit bahwa yang
membunuh Arya Jipang adalah Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya mereka
kembali ke Pajang beserta pasukan Tarub dan Sela untuk melaporkan bahwasanya
telah berhasil memenangkan sayembara tersebut.
Namun Sultan Pajang Hadiwijaya merasa sedih sampai tujuh hari tidak
pernah keluar dari tempat persemedian dan memanggil Patih Mancanegara
mengenai kebenaran ramalan dari Sunan Giri, Bahwa kelak akan ada Raja dari
Mataram yang keturunannya menguasai Tanah Jawa. Hal tersebut terdapat pada
Pupuh V Durma, berikut ceritemenya
25
“ Selain itu sekarang masih hutan. Paduka disuruh memilih
tanah jawa, semua pilihlah, walaupun berlipat dua kali, Sang
Raja, Kanda Mengizinkan.” (hal 81 Pupuh V Durma).
Namun cara tersebut ditentang oleh banyak pihak selain Ki Panjawi dan Ki
Juru, yakni Ki Ageng Sela yang merupakan guru dari Sultan Pajang Hadiwijaya
dan sekaligus kakek dari Ki Ageng Pemanahan serta buyut Raden Ngambehi
(Sutawijaya). Ki Ageng Sela menganggap bahwasanya yang dilakukannya adalah
dusta terhadap janji dan dirinya. Karena prinsip dari figur seorang pemimpin
kerajaan Jawa yakni haruslah Hanata yakni kejujuran. Endraswara (2013:56)
mengatakan bahwa para pemimpin haruslah menghayati falsafah njunjung
drajating praja, yaitu konsep dalam menegakan kejujuran.
Ramalan bahwa akan ada kerajaan besar yang nantinya berkuasa dan lebih
hebat dari Pajang sudah ada sejak masa Brawijaya ketika anaknya ke 14 Raden
Bondan Surati yang merupakan ayah dari Ki Ageng Sela mendapatkan wahyu.
Hal tersebut terdapat pada Babad Dipanegara Pupuh II Kinanti. Ceriteme tersebut
sebagai berikut
26
Setelah itu Ki Ageng Pemanahan akhirnya diangkat dan dilantik menjadi raja
di Kerajaan Mataram sebagai hasil dari upayanya dalam membunuh Arya Jipang
meskipun kebenarannya yang telah membunuh adalah Raden Ngabehi yang
merupakan anaknya. Pelantikan tersebut setelah ia berjanji kepada Sulltan Pajang
untuk setia sehingga Sultan Pajang atas desakan Sunan Giri dan disaksikan oleh
Ki Ageng Sela..
Pendapat Antlov dan Cideroth tersebut sama seperti yang dilakukan oleh
Sultan Pajang yakni Pangeran Hadiwijaya yang menyingkirkan Arya Jipang yang
jauh lebih kuat dan masih merupakan kerabatnya. Cara Sultan Pajang mengadakan
sayembara untuk membunuh Arya Jipang dapat dipandang sebagai strategi politik.
Gramsci (Endraswara, 2013:108) tentang hagemoni. Dari sisi antropologi budaya
dan sastra, hagemoni sebenarnya upaya menguasai orang lain.
Selain itu juga, Ki Ageng Pemanahan merupakan sosok yang telah lama
ditakdirkan sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut nampak pada ceriteme-
27
ceriteme mengenai ramalan akan ada kerajaan besar yang berdiri. Ki Ageng
Pemanahan pada ceriteme yang terdapat pada episode 1 (Terbentuknya Mataram)
dianggap sebagai sosok yang mampu mebawa ke awal kejayaan. Terdapat indikasi
mengenai konsep wahyu yang melekat pada ceriteme pada episode 1, bahwa
budaya Kerajaan Jawa masih memegang teguh pemimpin yang mendapatkan
wahyu. Pada Babad Tanah Jawa (2007:110) Ki Ageng Pemanahan diramalkan
oleh Sunan Giri sebagai sosok yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi
pemimpin semua orang di seluruh pulau Jawa.
28
Sultan
Hadiwijaya
Hubungan Patron-Klien
klien
(Raja Pajang)
Ki Ageng Sela
Eps 1
(Patron)
Hubungan Persaudaran
Hubungan
Keturunan
Ki Ageng
Pemanahan
(Raja Mataram)
Pada episode (2) Konflik Pajang dan Mataram Terdapat pada Pupuh VIII
Pungkur. Namun Mataram telah dipimpin oleh Sutawijaya yang memiliki gelar
Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Wafatnya Ki Ageng Pemanahan yang
memiliki gelar Sulta Metaram akibat jatuh sakit, ceriteme yang menandai
wafatnya Ki Ageng Pemanahan terdapat pada Pupuh VII Asmaradana yakni
sebagai berikut.
29
Mentaram telah wafat, mendengar kabar tersebut Sultan Pajang langsung
bersedih, serta Adipati Mancanegara dan Pangeran Benawa yangt mendengar
kabar duka ikut bersedih. Berikut ceriteme yang menggambarkan kejadian
tersebutu.
30
peralihan kekuasaan Mataram antara Ki Ageng Pemanahan dengan putranya
Sutawijaya atas dasar perintah Sultan Pajang merupakan bentuk wewenang yang
telah dilaksanakan. Sultan Pajang sebagai figur seorang pemimipin dapat
memutuskan apa saja termasuk memilih pengganti atas kekuasan yang
diperintahnya karena terdapatnya unsur hegemoni. Selain itu juga, karismatik
merupakan aspek wewenang yang berpengaruh dalam keterlaksanaan perintah.
Sultan Pajang tentunya sebagai seorang pemimpin memiliki kharisma yang kuat
hasil dari kekuatan mistik atau kesaktian. Aspek lainnya yakni legal rasional yang
mendasarkan pada suatu kepercayaan pada landasan. Sultan Pajang memutuskan
penerus kepemimpinan Mataram yakni Sutawijaya karena adanya landasan bahwa
pengganti tahta haruslah seorang keturunan raja atau saudara sehingga
mengindikasikan adanya aturan-aturan (rules of the games).
Naiknya Sutawijaya menjadi raja Mataram dan bergelar Senopati Ing Alaga
Sayidin Panatagama merupakan dasar konflik antara Pajang dengan Mataram.
Pada kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan konflik tidak terjadi karena Ki Ageng
Pemanahan telah mendeklarasikan janjinya kepada Sultan Pajang sehingga
pantang bagi figur seorang raja Jawa untuk menjilad ludahnya sendiri
(mengingkari janji). Perseteruan antara Pajang dengan Mataram bermula ketika
Raden Pabelan yang merupakan putra dari Tumenggung Mayang yang merupakan
adik ipar dari Senapati dibunuh oleh utusan Sultan Pajang. Sementara
Tumenggung Mayang diusir dan dibuang ke Jepara oleh kehendak Sultan.
Kehendak Sultan Pajang bukan tanpa sebab, karena sikap kenakalan Raden
Pabelan yang melakukan lambang sari (persetubuhan) dengan Dyah Ayu Retna
Kemuning yang merupakan anak bungsu yang sangat canti dari Sultan Pajang.
Kecatikan tersebut yang mampu mengikat Raden Pabelan sehingga berani
menyelinap masuk ke keputren selama tujuh hari tujuh malam. Namun aktivitas
tersebut rupanya diketahui oleh para dayang kerajaan yang diperintahkan untuk
mengurus sang putri. Persetubuhan tersebut akhirnya dilaporkan kepada sang
Sultan yang akhirnya membuatnya murka. Ceriteme yang menggambarkan
kejadian tersebut sebagai berikut.
31
“Belum menikah, meski begitu diceritakan sudah sering
bertemub dengan Raden Pabelan setiap malam, diam-diam
menyelinap masuk, lama-lama diketahui dan ditangkap, di
keputren dibunuh.” (hal 136, Pupuh VIII Pungkur).
“Ayahnya, Tumenggung Mayang, atas kehendak Sang Prabu
dan Sang Ratu sudah ditangkap dan dibuang ke Jepara, seribu
prajurit Pajang yang mengawal.” (hal 136, Pupuh VIII Pungkur).
Dari certieme tersebut yang menggambarkan mengenai kehnendak keji Sang
Sultan Pajang terhadap para prajuritnya untuk membunuh Raden Pabelan serta
mengusir dan mengsingkan Tumenggunng Mayang ke Jepara mengindikasikan
tidak adanya rasa kesabaran atau mawas diri dan cenderung dikuasai oleh hawa
nafsu. Ketidakhadiran pemikiran jernih kepada Sultan Pajang akibat adanya rasa
emosional yang menguasai diri. Sejatinya pemimpin Jawa harus mampu
mengendalikan hawa nafsu. Endraswara (2013:207) mengatakan bahwa pekerjaan
pemimpin yang paling berat adalah melawan jiwanya sendiri. Jiwa manusia
bergerak terus menerus, menentut berbagai hal, yang kadang-kadang di luar
dugaan. Tuntutan itu didorong oleh hawa nafsu yang meledak-ledak.
32
lagi aku meminta rebutlah Tumenggung Mayang bersama anak
dan isterinya”. (hal 136, Pupuh VIII Pungkur)
Kontradiksi sikap tersebut menandahkan bahwa secara tersamar kebudayaan
dalam kepemimpinan Jawa menggambarkan mengenai hubungan kepemimpinan
dengan faktor keturunan. Seperti yang dikatakan Endraswara (2013:208) bahwa
keturunan orang baik boleh jadi menurunkan pemimpin yang baik pula. Begitu
pula sebaliknya, pemimpin yang jelek, akan memunculkan figur pemimpin yang
buruk. Maka untuk mengatasi dan membatasi hawa nafsu yaitu dengan etika Jawa
pa karet”.
Pa Karet adalah istilah landasan filosofi etika Jawa asli. Sebab, kehadiran
hawa nafsu yang menyublim ke dala empat ansir hidup, dalam proses emansi
merupakan pletikiking Dzat Jati. Dzat Panembahan jati ini yang membimbing
empat anasir, yang pada gilirannya menjadi empat nafsu. Keempat nafsu itu, akan
bergerak bebas manakala tidak ada etika yang membatasi. (Endraswara,
2016:131)
33
“Berganti cerita. Sultan Pajang siap bertempur dengan sang
Senapati, dikisahkan Kanjeng Ratu Kidul sudah mengetahui
kalau suaminya, Sang Senapati Mentaram, sudah berhadapan
dengan pasukan lawan, pasukannya di Randugunting.” (hal. 140
Pupuh VIII Pungkur).
“Sultan Pajang di Borongan, pimpinan perang bersiaga di
Prambanan, Kanjeng Ratu Kidul memanggil para raja jin di
Tanah Jawa.” (hal 140 Pupuh VIII Pungkur).
Kerapkali dalam cerita kerajaan Jawa dilingkupi mitos. Cerita mengenai
keberadaan Ratu Kidul tercantum diberbagai refrensi, tidak hanya dalam Babad
Dipanegara ini melainkan Babad Tanah Jawa juga mengisahkan hal serupa.
Endraswara (2013:6) mengatakan bahwa banyak mitos yang melingkupi
kepemimpinan Jawa, Pimpinan Kerator Mataram yang dibagi dua menjadi
Yogyakarta dan Surakarta, meyakini ada hubungan dengan kekuaatan gaib
Kanjeng Ratu kidul. Barthes (Endraswara, 2013:6) menggariskan bahwa mitos
adalah wujud pemikiran semiologi. Semiologi adalah ilmu simbol, yang biasanya
memakai lewat jalu konotif. Mitos dipelajari lewat mitologi. Mitologi adalah
paham tentang simbol pemaknaan yang biasanya lebih luas dari makna denotatif.
Banyak prajurit Pajang yang lari tunggang langgang akibat melihat sosok jin dan
setan yang membantu prajurit Mataram. Meskipun datang dengan jumlah pasukan
yang lebih besar, prajurit Pajang tetap kalah melawan prajurit Mataram beserta
prajurit Ratu Kidul yang merupakan bangsa jin, setan, dan para bidadari. Berikut
ceritme yang menggambarkan mitos tersebut.
34
menuju kerajaannya dengan kondisi luka-luka. Akibat luka yang diderita oleh
Sultan Pajang menjadiannya sakit parah hingga lumpuh. Sehingga sang Ratu
Pajang membuat pesan untuk Senapati bahwa ayahnya sakit keras sehingga
membuatnya bersedih. Kematian Hadiwijaya (Sultan Pajang) pun tak lepas dari
mitos bahwa Sultan Pajang ditusuk oleh jin yang diutus oleh Senapati Mataram.
Jin yang diutus oleh Senapati Mataram bernama Juru Taman.
35
“Kaget Kanjeng Senapati sebab adiknya menangis, berkata,
“sudah Dinda diamlah.” (hal 159, Pupuh X Girisa)
“Kaget Senapati melihat adiknya diikat dan berkata, “apa yang
terjadi? Adik dengan ikatan?” (hal 159, Pupuh X Garisa)
Setelah berhasil mengalahkan prajurit Pajang yang dipimpin Adipati Demak.
Senapati Mataram mengangkat adiknya Pangeran Benawa untuk bertahta di
kerajaan Pajang. Hal yang mendasari Senapati Mataram tidak mau bertahta di
Pajang yakni menjaga amanat dari sang ayah Ki Ageng Pemanahan untuk tetap
bertahta di Mataram karena kelak keturunannya akan menguasai seluruh tanah
Jawa dari Mataram.
36
Sunan Kudus atas pertimbangan bahwa masih dalam trah raja, serta pengangkatan
Pangeran Benawa menjadi Sultan Pajang setelah mengalahkan Adipati Demak
merupakan bukti dari ciri kepemimpinan Jawa.
37
Jolang memiliki tiga anak yang masing-masing bernama Pangeran Natapura,
Pangerang Rangsang, dan adik perempuan bernama Ratu Wandan. Senapati Mas
Jolang pun wafat karena sakit sehingga diteruskan oleh Pangeran Rangsang.
Penobatan pangerang Rangsang sangat lambat dikarenakan posisi Pangeran yang
berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus berguru ilmu agama.
Atas bujuk dari guru religiusnya yaitu sang Syarif dan para Iman Mekkah,
sehingga Pangeran Rangsang harus kembali ke Jawa dan meneruskan tampuk
kekuasaan. Setelah Raja Mas Jolang wafat maka Pangeran Rangsang pun
memerintah menjadi raja Mataram. Beriktu ceriteme yang menggambarkan
peristiwa tesebut.
38
raja-raja Jawa. Endraswara (2013:37) mengatakan bahwa amanah adalah perintah
(dhawuh), yang memuat tugas dan kesanggupan moral. Amanah adalah
kewenangan pimpinan sesuai dengan titah raja.
39
Meredam
MJ
Garis Keturunan pemberontakan
internal
Suka Bertapa
Raja Mataram Amanah
(Moralitas) (Iradat)
Memperluas
PR Wilayah
Mataram
MJ : Mas Jolang
PR : Pangeran Rangsang
Tampak adanya orientasi agama dan amanah sebagai sebuah moralitas yang
harus dijaga setiap penerus raja sebelumnya. Masa pemerintahan mereka dianggap
sebagai titik kejayaan Mataram daripada penerus Pangeran Rangsang selanjutnya
yang kerapkali timbul konflik hingga pada perpecahan Mataram. Perpaduan
budaya jawa dengan islam yang kerapkali dilaksanakan oleh raja-raja Mataram
merupakan bentuk sinkretisme budaya. Cederroth (Endraswara, 2013:87)
mengatakan, sinkretis Jawa bukan berada dalam proses disintegrasi. Tetapi apa
40
yang tampaknya terjadi adalah perubahan sifat dari yang terikat tradisi dan
komunal menjadi melihat ke dalam dan individualistis.
41
Wangkit Semarang diutus untuk menyerang Betawi. Perang berlangsung sengit
masing-masing pihak mengalami kekalahan hingga Sultan Rangsang
memerintahkan pasukan Mataram untuk kembai. Menanggapi hal tersebut,
Belanda mengira bahwa Mataram telah mengampuni mereka sehingga mengutus
wakilnya untuk memberikah persembahan. Berikut ceriteme yang
menggambarkan peristiwa tersebut,
42
“Berganti cerita. Kanjeng Pangeran Adipati sudag wafat
ayahnya sangat sedih, ingin naik haji lalu Kanjeng Pangeran
memanggil Adipati Tegal Mertalaya, Kanjeng Pangeran
berkata.”. (hal 189 Pupuh XII Durma).
Setelah meninggalnya Pangeran Adipati. Maka Mataram dipimpin oleh
putranya yang bernama Pangeran Mangkurat. Pertempuran melawan
pemberontakan Trunajaya sangat sengit karena Plered telah jatuh sehingga
Pangeran Mangkurat pun membangung kartasura. Setelah Trunajaya
meninggalkan Plered maka kesempatan tersebut diambil ahli oleh Pangeran Puger
untuk menguasai kembali Kraton yang telah jatuh serta mengangkat dirinya
menjadi raja di Plered. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.
“Di Kedu setelah wafat, selain satu lawan satu sama kuatnya
dalam perang, sudah Takdir Allah celaka Trunajaya,” (hal 192,
Pupuh XII Durma).
“Beritahu Pada adikmu kalau Trunajaya mati, aku nanti naik
tahta dan akan mendirikan wilayah di kartasura, dan aku sangat-
sangat rindu.” (hal 192, Pupuh XII Durma).
43
Setelah berhasil mengalahkan Trunajaya atas bantuan Belanda, Amangkurat
harus menebus jasa VOC dengan menyerahkan sebagian wilayah Mataram ke
tangan VOC Belanda. Namun Pangeran Puger yang berada di Plered menolak
untuk tunduk ke Kartasura alhasil Amangkurat II melaksanakan serangan ke
Plered. Pertempuranpun terjadi perang Mataran dengan Kartasura. Berikut
ceriteme yang menggambarkan peristiwa tersebut.
44
Pangeran Riya, lalu Raden Adipati sudah sepakat dengan yang
mempunyai kepentingan.” (hal 217, Pipuh XIV Sinom)
“Pangeran riya ditipu diasingkan keluar, menjadi lulus naik
takhta yakni Pangeran Adipati dengan julukan Kanjeng
Susuhanan Mangkubuwana, setelah dewasa adiknya juga
dewasa.” (hal 217, Pupuh XIV Sinom).
Masa kepemimpinan Amangkurat IV begitu rumit ia dijatuhi hukuman
gantung setelah terjadinya pemberontakan Arya Mataram di Pati sehingga ia
ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Setelah geger pecinan yang
merupakan pemberontakan orang Cina di Jawa dan dipimpin oleh Sunan Kuning,
Pangeran Pakubuwana II yang merupakan putra Amangkurat IV menderikan
Kraton Surakarta karena kraton Kartasura telah hancur. Berikut merupakan
ceriteme yang menggambarkan pemindahan kraton.
Pada Episode (4) menceritakan mengenai konflik yang terjadi terus menuru
antara putra pangeran ketrunan Mataram serta pemberontakan Trunajaya. Hasil
yang didapati pada episode 4 diawali dengan campur tangan Belanda dalam
membantu raja-raja Mataram dan bahkan mengadakan perjanjian yang
menyengsarakan para raja. Dari ceriteme-ceriteme yang ada bahwa VOC Belanda
masuk ketika terjadinya pemberontakan Trunajaya sehingga Amangkurat I
meminta bantuan kepada VOC yang diperangi ayahnya Pangeran Rangsang, guna
meredam Belanda. Setelah itu perjanjian diteruskan hingga masa Amangkurat II.
Pada masa Amangkurat II perjanjian dengan VOC gagal karena ia melindungi
Untung Surapati.
45
raja-raja dalam mempertahankan kekuasaanya cenderung menggunakan hagemoni
dan membiarkan kekuatan asing masung tanpa ia sadari jika kekuatan asing
tersebut secara perlahan akan meruntuhkan kekuasanya. Kondisi Mataram pecah
ketika Kartasura yang dipimpin oleh Amangkurat II melawan Pangeran Puger
yang memimpin Mataram keraton Plered. Perpecahan tersebut terus terjadi ketika
terjadi geger pecinan yang merusak Kartasura sehingga harus dipindahkan ke Solo
dan mendirikan kesultanan Surakarta sesuai perintah Pakubuwana II.
46
Melawan Pangeran
Belanda Rangsang
Berkerjasama
Amangkurat I dengan Belanda
Berkerjasama
Amangkurat III Amangkurat IV dengan
Belanda
Pakubuwono II
47
Pangeran Dipanegara mau memimpin perang Jawa ketika dirinya sedang
melakukan tapa brata di gua Secang. Pangeran Dipanegara melakukannya setiap
bulan Ramadhan. Pada saat melakukan tapa brata pangeran mendapatkan pesan
dari seseorang yang datang menemuinya. Seseorang yang datangt merupakan
Sunan Kalijaga yang memberikan wahyu bahwa esok ia akan memimpin perang
suci melawan Belanda dan ia mendapatkan julukan Ratu Adil. Berikut ceriteme
yang menggambarkan peristiwa tersebut.
48
tidak dapat menggunakannya. Berikut ceriteme yang menggambarkan peristiwa
tersebut.
49
1.5.1 Tafsir episode (5) Perjuangan Pangeran Dipanegara
Selain itu juga episode tersebut dapat ditafsirkan dari puncak perlawanan
Mataram terhadap Belanda sebelum pecah menjadi dua akibat perjanjian Gayatri.
Dari sejarah episode sebelumnya dapat kita ketahui bahwa selain era Pangeran
Rangsang, era Pangeran Dipanegara lah yang berani melawan dan menjadikan
perang besar Jawa melawan Belanda.
50
Religiusitas
(kepercayaan)
Kepemimpinan
Konflik Kejayaan
Jawa
Kehancuran
Struktur I Lingkaran
Pada struktur lingkaran tersebut telah membuat peristiwa yang semula sulit
dipahami kini dapat dipahami, bahwa pada kepemimpinan Jawa tidak luput
dikelilingin “bingkai simbolis” sehingga peristiwa yang ada pada episode dan
berupa ceriteme kini diubah menjadi bentuk simbolis. Bentuk simbolis tersebut
dirangkai dan mengikuti garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar.
51
kepercayaan sehingga dianggap bahwa menjadi seorang pemimpin harus karena
memperoleh wahyu. Pada manuskrip Babad Dipanegara menceritakan bahwa
Pangeran Dipanegara berani dan mau memimpin perang melawan Belanda setelah
mendapatkan pesan dari Sunan Kalijaga pada saat ia melaksanakan pertapaannya
di Gua Secang. Hal tersebut lah yang menjadikan Pangeran Dipanegara dikatakan
ratu adil. Seperti yang telah diuraikan di episode 5 perjuangan Pangeran
Dipanegara dalam analisis struktur dongeng Manuskrip Babad Dipanegara.
Ditemukan adanya beberapa mitos yang menyelimuti kepemimpinan Pangeran
Dipanegara, sehingga bisa ditarik deskripsi mengenai mitos kepemimpinan
Pangeran Dipanegara yakni;
52
Endrswara (2013:125) mengatakan bahwa kepemimpinan Jawa sering
memanfaatkan sifat kendel sebagao pusaka penting, untuk mempertahankan
kekuasaan. Sifat Kendel adalah pusaka andalan sang pemimpin. Pusaka tersebut
yang menimbulkan rasa percaya diri ketika memimpin sebuah komunitas. Selain
itu pemimpin Jawa dalam memiliki pusaka tentu tidak secara instan melain
adanya ritual terntentu seperti tapa brata agar mendapatkan kekuatan dan
pusakanya. Selaras hal tersebut Woodward (Endraswara, 2013:126) mengatakan
bahwa mistik merupakan praktik religi untuk menyatukan dirinya dengan
kekuatan lain agar ketika memimpin lebih percaya. Kepercayaan adikodrati yang
diyakini dalam masyarakat Jawa sebagai ajaran religi. Religiusitas pada
masyarakat Jawa tercipta dari hasil masyarakat dalam mempercayai dan
menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas kedalam hidupnya.
53
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
54
kepemimpinan. Sehingga benar benar pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta
selepas perang Jawa yang dipimpin Dipangera dalam perjanjian Gayatri.
2. Saran
55
Berdasarkan hasil pengkajian terhadap manuskrip Babad Dipanegara
menggunakan teori Levi-Strauss, maka peneliti bermaksud memberikan saran
yang dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya, yakni sebagai berikut.
Daftar Pustaka
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar
56
Wellek, Rene dan Warren Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Umum.
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.
Ahimsa, Heddy Shri. 2012. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta. KEPEL PRESS.
Emzir dan Rohman, Saifur. 2015. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta. Rajawali
Pers.
Ihromi. T.O. 2016. Antropologi Budaya. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia
57
Rita Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti. 2016. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Malang.
Penerbit Andi
Laksono, P.M. 2012. David Kaplan dan Albert A. Manners Teori Budaya.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Suratman, Munir, dan Salamah. 2015. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang.
Intimedia
58