Anda di halaman 1dari 4

UAS STUDY KELAYAKAN BISNIS

NAMA:WISNU SAPUTRO
NIM:20210047
KELAS:C (wates)

PELANGGARAN AMDAL PLTA TAMPUR


Pemerintah Aceh bersama Perusahaan Modal Asing (PMA) PT. Kamirzu
berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur I yang
mencakup tiga kabupaten: Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Namun,
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) mega proyek tersebut
dipertanyakan karena penyusunannya yang terkesan dipaksakan.
Hariadi Kartodihardjo, Profesor Kebijakan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada diskusi “Melihat Dinamika Kebijakan Sumber Daya Alam Terhadap PLTA
Tampur” di Banda Aceh, 19 Februari 2018 menyebutkan, secara administrasi
amdal PLTA Tampur terlihat baik. Akan tetapi, substansinya masih menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan kritis.
Beberapa hal yang muncul dalam diskusi adalah tidak adanya mitigasi konflik
satwa serta kemana masyarakat akan direlokasi akibat daerahnya masuk lokasi
pembangunan.Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam ini.
Dalam dokumen amdal dituliskan, terkait konflik satwa liar hanya akan dilakukan
penggiringan. Sementara BKSDA Aceh menilai, hal tersebut terlalu teknis dan
masih membutuhkan diskusi lebih lanjut. Termasuk survei mendalam di lokasi.
Masyarakat yang hadir dalam diskusi juga mengaku, ketika mereka akan
direlokasi, mereka tidak tahu akan ditempatkan dimana dan bagaimana prosesnya.
Di tempat baru nanti mereka mendapatkan apa, tidak ada kejelasan dalam
perencanaan pembangunan PLTA Tampur.
Perubahan bentang alam untuk habitat satwa di lokasi pembangunan juga belum
pasti. Saya kira, informasi amdal ini belum cukup sebagai rujukan pengambilan
keputusan, Terkait proyek energi dan sumber daya alam, Aceh merupakan daerah
yang menjadi salah satu andalan. Tapi, yang harus dilihat, keseimbangan antara
ekonomi, lingkungan, serta sosial yang dibangkitkan dari sumber daya alam, dan
biasanya yang sangat diabaikan itu persoalan sosial. “Biasanya dalam proyek
seperti ini yang dilihat hanya potensinya, lalu mengundang investor. Sementara,
bagaimana pembangunan itu dilakukan, kapasitas perhatiannya rendah sekali.
Dalam diskusi yang dihadiri pegiat lingkungan dan perwakilan pemerintah ini,
Hariadi juga mengungkap temuan tentang korupsi di bidang perizinan. Korupsi
bisa dimulai dari pengurusan perizinan, penyiapan kawasan, evaluasi, pengawasan,
dan pengendalian.
Saat proses perizinan, pelanggaran yang biasa ditemukan seperti manipulasi
peta, pemerasan, tawaran tambahan atau pengurangan luas izin sebagai alat
negosiasi, biaya pengesahan dokumen amdal dan Izin Lingkungan, atau adanya
konsultan yang sudah ditunjuk pejabat tertentu.
Sementara itu, oknum konsultan penyusun amdal berpotensi melakukan
pelanggaran dengan meminjam sertifikat kompetensi penyusun untuk membuat
amdal, yang bisa jadi tidak sesuai fakta, dan melibatkan masyarakat dalam
konsultasi publik yang berpotensi diatur.
Pelaksana kegiatan atau usaha juga berpeluang melakukan kecurangan seperti tidak
memberikan informasi rencana kegiatan secara transparan kepada publik, dan
pelaksana kegiatan atau proyek lebih mementingkan dokumen lingkungan hidup
sebagai persyaratan administrasi.
Community Organizer Yayasan SHEEP Indonesia menilai, amdal PLTA Tampur 1
disusun asal jadi. Tanpa melihat dampak dari pembangunan proyek tersebut, baik
untuk lingkungan hidup, satwa, maupun masyarakat. “Kami sama sekali tidak
menemukan analisa-analisa dampak dari proyek secara lengkap. Dokumennya
dibuat asal, isi analisinya juga normatif semua.
Contohnya, untuk mengatasi konflik satwa akan dilakukan penggiringan. Tapi,
tidak disebutkan bagaimana dan kemana penggiringan dilakukan. Lalu saat proyek
dilaksanakan, disebutkan aliran air sungai akan ditutup. Itu saja tidak dijelaskan,
saat air ditutup, sumber air untuk masyarakat termasuk untuk areal pertanian dari
mana. Padahal, dokumen amdal disusun, salah satunya untuk menganalisa dampak
negatif yang terjadi.
Dalam dokumen juga tidak terlihat kajian bencana alam seperti banjir bandang atau
gempa. Padahal semua orang tahu, Aceh merupakan daerah rawan gempa, Juru
Bicara Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) yang juga Koordinator
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh menyebutkan, pembangunan PLTA
Tampur 1 harus dibatalkan. Bukan hanya mengancam masyarakat, tapi juga daerah
yang akan digenangi PLTA tersebut merupakan habitat satwa dilindungi terancam
punah.
Semua satwa kunci di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ada di lokasi
pembangunan PLTA Tampur, khususnya orangutan, gajah, dan harimau sumatera,
tim YEL baru selesai melakukan survei satwa di wilayah itu, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mengeluarkan izin pinjam kawasan hutan
untuk PLTA Tampur 1, karena dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat
cukup besar.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Aceh, banyak pembangkit listrik yang sudah
dan sedang dibangun. PLTA Peusangan tengah digarap, listrik panas bumi di
Sabang lagi dibangun, sementara listrik panas bumi Gunung Seulawah Agam
dalam perencanaan. Selesaikan itu semua, jangan ganggu hutan Leuser.
Tidak sesuai prosedur
Dinas Pengairan Aceh mengaku bingung dengan proyek PLTA Tampur 1
dikarenakan perusahaan tidak melakukan kegiatan seperti yang ditentukan.
Bahkan, hingga saat ini, Komisi Keamanan Bendungan (KKB) belum ada di Aceh,
hanya di Jakarta. Padahal, bendungan yang akan dibangun melebihi 170 meter.
lokasi pembangunan saat ini pengeboran untuk bendungan sudah dilakukan di 14
titik dengan kedalaman lebih 100 meter. Yang jadi masalah, pengeboran tidak
mengikuti ketentuan, padahal lokasinya sudah ditetapkan, terang perwakilan
Rekomtek Dinas Pengairan Aceh, Fadlul.
Fadlul menyebutkan, dirinya juga telah meminta kelengkapan dokumen ke
perusahaan seperti data hidrologi, ketersediaan air, serta dokumen pendukung lain.
Sampai saat ini, data-data tersebut belum diberikan.
Ini pidana, jika syarat-syarat tak dipenuhi. Kalau izin diberikan tanpa persyaratan
terpenuhi, berarti melanggar hukum namanya, Direktur Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan
Hidup dam Kehutanan Wiratno, pada 21 Februari 2018 menjelaskan, hingga saat
ini dirinya belum mengetahui pengurusan izin pinjam kawasan hutan oleh PT.
Kamirzu untuk pembangunan PLTA Tampur 1.
Hutan lindung tidak bisa diubah. Kalau izin pinjam kawasan untuk PLTA, saya
belum mendengar itu. Kawasan Ekosistem Leuser dalam upaya menekan laju
kerusakan menegaskan, setiap pembangunan, termasuk PLTA harus membuat
kajian dampak terhadap masyarakat sekitar dalam Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
Amdal itu bukan hanya dibuat, tapi juga harus dikomunikasikan kepada
masyarakat yang terdampak kegiatan tersebut,masyarakat di sekitar lokasi
pembangunan harus yang paling tahu. Meskipun amdal sudah ada, tapi
mengkomunikasikan dampaknya kepada masyarakat sangat penting. Bukan
persoalan dokumen dan tandatangan saja.
Dalam amdal, harus dimasukkan dampaknya dari aspek sosial, ekonomi, dan
ekologi. Hal ini sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan

Anda mungkin juga menyukai