Anda di halaman 1dari 3

Analisis Walhi menemukan, tahun 2012, aktor perusak lingkungan hidup tertinggi

perusahaan terutama sektor tambang dan perkebunan, disusul pemerintah. Ketiga perusak
terbesar, kombinasi perusahaan dan pemerintah, baru di posisi buntut: masyarakat.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, temuan ini makin
memperkuat masyarakat sipil untuk terus mendesak tanggung jawab korporasi terhadap
kejahatan lingkungan. Keadaan ini, sekaligus memperkuat analisis sebelumnya bahwa
persoalan lingkungan tidak bisa lepas dari keterikatan antara kepentingan modal dengan
kekuasaan alias tali temali ekonomi-politik kekuasaan.

“Temuan masyarakat yang turut serta sebagai pelaku dari tambang-tambang


inkonvensional dengan tingkat risiko tinggi, dan proses pembiaran oleh pemerintah tanpa
memberikan alternatif sumber penghidupan lain,” katanya dalam paparan Environmental
Outlook Walhi 2013 di Jakarta, Rabu(16/1/13).

Temuan ini, juga mematahkan stigma yang menyatakan, aktor perusak lingkungan adalah
orang miskin. “Bahwa kemiskinan sebagai penyebab kerusakan lingkungan.” (lihat tabel).

Apa saja kerusakan lingkungan yang terjadi? Secara nasional, isu hutan dan perkebunan
menjadi masalah tertinggi perhatian sepanjang 2012, disusul isu yang saling terkait antar
sektor dan dampak yang ditimbulkan. Isu hutan naik karena dukungan kebijakan tingkat
nasional antara lain keluar PP nomor 60 dan PP no. 61 tahun 2012 tentang tata cara
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. “PP itu menjadi alat pemutihan atas izin-
izin yang terlanjur diberikan bagi usaha pertambangan dan perkebunan yang melanggar
tata ruang dan peraturan kehutanan.” PP ini tengah diajukan ke judicial review ke
Mahkamah Agung.

Selain pemberian izin perambahan hutan sebesar 30 juta hektar per juni 2012, Kementerian
Kehutanan memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi. Ia
menjadi sasaran ekspansi perekubanan sawit dan tambang antara lain di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Ada hal menarik dari review kawasan hutan ini. Dimana luas pelepasan kawasan hutan
yang diajukan 22 gubernur lewat dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan
luasan alih fungsi kawasan hutan 12.357.071 hektar. “Ini menunjukkan pengeluaran
keputusan itu tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung
lingkungan. Hanya permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu dalam Kementerian
Kehutanan atau bersama DPR, ketika merumuskan rekomendasi keputusan pelepasan.”

Dalam analisis Walhi itu menyebutkan, pelepasan kawasan hutan besar-besaran terjadi di
Riau, Kalimantan Tengah, Maluku dan beberapa provinsi lain. Fakta ini disamarkan dengan
penunjukan kawasan hutan di Papua mencapai 6 juta hektar. Jadi, tak berlebihan bila
muncul kecurigaan jika kewajiban penataan ruang ditunggangi pengusaha perkebunan dan
pertambangan. “Untuk meloloskan kepentingan melalui usulan review kawasan hutan ini.”

Kemenhut juga melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan hingga 5 juta hektar sampai
Juni 2012 dan proses izin prinsip perkebunan pada kawasan hutan produksi konversi(HPK)
1 juta hektar. Serta izin pinjam pakai untuk pertambangan mencapai 3 juta hektar baik izin
eksplorasi, prinsip dan produksi.

Bila dicermati pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, sampai Juni
2012, pemerintah Indonesia mengalokasikan peruntukan kawasan hutan kepada
pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan negeri ini.

Isu tambang mendominasi permasalahan lingkungan hidup Indonesia, khusus di Sulawesi


dan wilayah Banusrama. Dalam analisis Walhi, marak penghancuran lingkungan oleh
industri tambang karena ada pelemahan regulasi sektor tambang.

Upaya perlindungan dari berbagai ancaman racun tambang hanya menjadi diskursus di
meja diskusi dan seminar. Sedang rakyat lingkar tambang hanya menjadi korban. Salah
satu bukti, Newmont membuang limbah tailing ke laut di Teluk Senunu. Praktik ini, tidak
diterapkan di negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, dan daratan utama Amerika
Serikat.
Di Indonesia, berlangsung pembuangan limbah tambang terbesar di dunia ke laut di Teluk
Senunu. Secara legal, izin pembuangan tailing sudah berakhir, tetapi malah diperpanjang
pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Institusi pemerintah terlihat kompak. Oseanografi LIPI, sebagai institusi negara, tidak mau
mengungkapkan hasil penelitian di bawah laut itu. “Alasan mereka penelitian dibiayai dan
hak cipta jadi milik perusahaan tambang.”

Bencana ekologis, turut mendominasi peristiwa sepanjang 2012. Tahun 2012, Walhi
mencatat, terjadi 503 kali banjir dan longsor menewaskan 125 orang. Sedangkan
kebakaran hutan dan lahan memusnahkan hutan, kebun dan lahan seluas 11.385 hektar.
Angka ini baru di Jawa, Sumatera, Bali, NTB dan NTT. Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Papua, masih proses pendataan, diperkirakan mencapai 17 ribu hektar.

Environmental outlook ini dibuat menggunakan basis analisis peristiwa sepanjang tahun
2012 yang mendapat perhatian publik dan liputan media massa. Juga kasus-kasus
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang diadvokasi Walhi bersama jaringan selama
tahun lalu.

Anda mungkin juga menyukai