Anda di halaman 1dari 5

Penebangan hutan secara liar

Akhir-akhir ini kondisi bumi sudah semakin memprihatinkan. Salah satunya terjadi
akibat penebangan hutan secara liar yang dilakukan manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa
sesungguhnya peran hutan begitu besar dalam kelangsungan hidup manusia.
Seperti halnya yang kita ketahui bahwa hutan adalah paru-paru bumi, yang berfungsi sebagai
filter udara kotor. Sehingga, jika hutan tumbuh subur, maka udara yang dihirup manusia menjadi
bersih.
Namun, dewasa ini banyak sekali manusia-manusia yang merusak hutan demi
keuntungan pribadi semata. Tanpa izin pemerintah, mereka melakukan penebangan hutan secara
liar. Tujuannya adalah untuk menjual kayu-kayu pepohonan di dalam negeri sendiri maupun
diekspor hingga ke negara tetangga. Sekaligus untuk membuka lahan hutan menjadi lahan
pembangunan. Dampak yang ditimbulkan dari penebangan hutan secara liar ini sangatlah buruk.
Mau tahu apa saja dampaknya? Berikut uraian singkatnya:
1. Menimbulkan Bencana Longsor
Hutan-hutan yang ditebang tidak sanggup lagi menyerap air hujan. Ketika hujan deras, maka air
akan tidak terserap oleh akar pohon dan tanah.
Akibatnya, arus air akan menyeret tanah hingga menemukan tempat terendah (sesuai sifat air
mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah). Dengan demikian tanah terkikis dan longsor.
2. Menimbulkan Banjir
Hampir sama seperti sebelumnya, hutan yang ditebang akan memicu terjadinya banjir. Hal ini
terjadi karena pepohonan membutuhkan air untuk proses kehidupannya. Ketika hujan turun, air
akan diserap oleh tanah dan pohon sehingga tidak sempat menggenang terlalu lama.
3. Mencemarkan Udara
Tanpa pohon, udara menjadi tidak bersih dan sehat. Karbondioksida yang sesungguhnya tidak
baik dihirup oleh manusia, menjadi tidak tertanggulangi lagi.
4. Mengganggu Ekosistem
Hutan adalah tempat tinggal bagi kebanyakan hewan di muka bumi. Ketika hutan ditebang, maka
ekosistem hewan-hewan di dalamnya akan terganggu.
Akibatnya, beberapa jenis hewan akan mengalami kepunahan karena kemampuan mereka
berkembang biak turut mengalami gangguan. Bukan hanya hewan, beberapa jenis tumbuhan pun
mengalami hal yang serupa. Contoh kasus penebangan hutan adalah sebagai berikut:

Pemerintah Tapanuli Utara Evaluasi Izin Tebang Kayu Rakyat


June 26, 2014 Ayat S Karokaro, Medan

Kayu dari hutan Tapanuli Utara ditebang dan dibawa keluar daerah untuk dijual. Foto: Ayat S
Karokaro
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara, mengevaluasi perizinan
penebangan kayu lewat izin pemanfaatan kayu rakyat (IPKR) secara menyeluruh. Evaluasi
dilakukan karena penebangan kayu tinggi bahkan sudah masuk kawasan hutan.
Nikson Nababan, Bupati Taput mengatakan, mereka yang mengantongi IPKR tidak
memperhitungkan dampak negatif. Akibatnya, kabupaten ini sering terjadi longsor dan banjir.
Dia mengatakan, hasil evaluasi bersama Dinas Kehutanan, menemukan terjadi kerusakan hutan
cukup parah akibat penebangan liar dan menyalahi aturan.
Dari laporan, ditemukan sejumlah penerima IPKR, menggunakan untuk menebang dan membeli
kayu yang diduga tidak sesuai aturan.
Mereka, katanya, sudah turun ke lapangan setelah laporan terkait penebangan kayu di daerah
penyangga resapan air. Benar saja, penebangan massif bahkan kayu di pinggir lereng gunung
juga ditebang. Ini mampu merusak resapan air dan sangat rawan longsor karena daerah
penyangga dibabat habis.
Kabupaten Taput salah satu daerah perbukitan dan rawan longsor. Topografi kawasan memiliki
kemiringan cukup tajam.

Awalnya, Pemerintah Taput bersama Dinas Kehutanan membuat aturan soal izin penebangan
kayu melalui IPKR guna mencegah penebangan berdampak buruk bagi daerah itu. Dengan ada
izin Dinas Kehutanan bisa mengawasi. Di luar dugaan, banyak penyalahgunaan hingga harus
evaluasi total.
Kebijakan ke depan dibuat lebih ketat. Para pemilik IPKR wajib melakukan penghijauan
kembali. Jika ada yang tidak melakukan, kemungkinan besar izin dicabut dan dilarang
beroperasi lagi.
Alboin Siregar, Kadis Kehutanan Taput, mengatakan, hutan konservasi ada delapan, empat suaka
margasatwa, satu taman buru, satu taman hutan raya, enam taman wisata dan satu cagar alam
laut.
Pengawasan hutan, katanya, terus dilakukan dan menindak hukum para pelanggar.
Data Walhi Sumut, laju deforestasi selama 13 tahun, cukup luas. Hutan lindung dan konservasi
1.797.079 hektar. Dari angka itu, luas perlu direhabilitasi 888.805 hektar (49,5%). Untuk hutan
produksi, 2.251.854 hektar, perlu direhabilitasi 1.339.981 (59,5%). Jadi, keseluruhan, dari
4.048.933 hektar kawasan hutan, harus rehabilitasi 2.228.786 hektar (55,3%).

Penelitian: Pembentukan Kabupaten Baru Musnahkan Hutan


Tropis Indonesia
October 24, 2012 Aji Wihardandi

Penggundulan hutan di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Hari Senin 22 Oktober 2012 silam Dewan Perwakilan Rakyat nampaknya akan meluluskan
pembentukan sebuah kabupaten baru di Indonesia, yaitu Kalimantan Utara. Empat kabupaten
lain yang masuk pembahasan adalah Pangandaran, Pantai Selatan, Manokwari Selatan, dan
Pegunungan Arfak di Papua. Kendati upaya ini dinilai sebagai langkah untuk meningkatkan
otonomi daerah, namun hal ini ternyata dinilai menjadi sebuah langkah yang akan menyulitkan
Indonesia untuk menekan laju deforestasi jika kondisi saat ini masih terus berlangsung.
Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu oleh London School of
Economics (SE), Massachusetts Intitute of Technology (MIT) dan South Dakota State University
(SDSU), yang mengaitkan antara meningkatnya otonomi lokal dengan meningkatnya angka
deforestasi antara tahun 1998 hingga 2009. Para peneliti melihat bahwa siklus pemilihan kepala
daerah sebagai sumber utama deforestasi ini. Para politisi di wilayah-wilayah yang memiliki
hutan tropis, cenderung bergantung secara finansial kepada para penebang hutan, pengembang
perkebunan dan para petambang untuk mendanai kampanye mereka. Semakin gencar kampanye,
maka semakin besar hutang para politisi kepada para perusak hutan ini.
Kesimpulan ini didapat berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan di berbagai zona hutan di
daerah-daerah kabupaten baru, yang meningkat pesat dari hanya sekitar 291 menjadi 498 sejak
gerakan desentralisasi tahun 1998 hingga 2009. Para peneliti menemukan bahwa propinsi yang
dipecah ke dalam kabupaten baru meningkatkan insiden deforestasi di propinsi tersebut sekitar
7.8%.
Para peneliti menemukan bahwa pembalakan liar meningkat pada saat kampanye dan proses
pilkada berlangsung, namun berkurang drastis setahun setelah pilkada selesai, dan berganti
dengan konversi hutan yang meningkat, untuk pertambangan maupun perkebunan. Perubahan
dari pembalakan liar ke penebangan yang legal dinilai sebagai sebuah langkah balas budi dari
para kandidat yang menang atas dukungan para pebisnis kehutanan terhadap kampanye dan telah
memuluskan langkah mereka ke tampuk kekuasaan.
Kami menyimpan sebuah siklus penebangan politik dimana pemerintah lokal menjadi lebih
permisif terhadap pembalakan liar menjelang pilkada, ungkap peneliti. Kami menemukan
bahwa di wilayah-wilayah yang dilarang dilakukan penebangan meningkat sekitar 42% setahun
sebelum pilkada berlangsungpembalakan liar ini kemudian turun secara drastis sekitar 36% di
tahun pemilihan dan tidak diketahui kelanjutannya setelahnya.
Di wilayah konversi, kami menemukan kenaikan penebangan sekitar 40% di tahun pemilihan
umum dan peningkatan sebesar 57% di tahun berikutnya setelah pemilihan.
Karena kelas menengah yang relatif kecil dan faktor-faktor lain, pemilu lokal di Indonesia sering
didanai oleh orang-orang dan perusahaan yang terkait dengan industri ekstraktif seperti logging,
pertambangan, dan pengembangan perkebunan. Hal ini penting karena bupati memegang banyak
kekuasaan ketika terkait keputusan tentang lahan apa yang akan digunakan untuk pertanian dan
perkebunan, dan apakah pembalakan liar akan ditoleransi.
Lebih luas, temuan ini menunjukkan bahwa jika hubungan antara pemilu dan deforestasi tidak
dipatahkan, maka peningkatan unit politik bisa memperburuk tekanan untuk penebangan dan
mengkonversi hutan, serta berpotensi melemahkan program pemerintah pusat untuk mengurangi
deforestasi dan degradasi lahan gambut (REDD +). Kalimantan Utara dan Papua Barat sangat
rentan karena kedua daerah mempertahankan tutupan hutan yang cukup besar dan sudah
menderita deforestasi.

Jika program REDD tidak dirancang dengan mempertimbangkan aktor-aktor lokal yang saat ini
mendapatkan manfaat besar dari penebangan legal dan ilegal, maka program ini tidak mungkin
efektif.
CITATION: Robin Burgess, Matthew Hansen, Benjamin Olken, Peter Potapov, and Stefanie
Sieber. The Political Economy of Deforestation in the Tropics. London School of Economics.
January 20

Anda mungkin juga menyukai