Anda di halaman 1dari 14

Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015

Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

PENGARUH PERLAKUAN BLANSING


DAN TINGKAT KEMATANGAN BUAH
TERHADAP MUTU TEPUNG PISANG DEWAKA

Cecilia Carolina Harbelubun1), Ni Luh Sri Suryaningsih2), Yenni Pintauli Pasaribu3)


1)
Alumni, 2 & 3) Staf Pengajar pada Universitas Musamus Merauke

ABSTRACT

The problems often encountered in making banana flour is browning. It caused by


enzyme polyphenol oxidase produced in banana, which can promote browning
process when it’s exposed on the air. One method that is commonly used to
prevent browning is blanching. The objective of this research was find out the
effect of blanching at diferrent maturity stages of dewaka banana.
Blanching treatment performed in hot water of 75°C, 80°C, 85°C, 90°C, 95°C
and without blanching treatment. The maturity stages of banana used in this study
were based on peel color at color index 1, 2 and 3. The results showed
that blanching treatment of 75°C and color index 1 gave the most preferred
dewaka banana flour with moisture content of 10,67%, fineness of 97,4%, yield of
32,51% and whiteness degree of 68,28%.

Keywords: dewaka banana, blanching, maturity stage.

PENDAHULUAN
Pisang dewaka merupakan salah satu jenis pisang yang banyak tumbuh di

Kabupaten Merauke, sehingga persediaannya melimpah. Walaupun persediaannya

melimpah, pemanfaatan pisang dewaka masih sangat kurang. Hal ini

disebabkan karena pisang dewaka memiliki rasa yang asam sehingga kurang

disukai untuk dikonsumsi dalam bentuk segar. Suryaningsih dan Pasaribu (2015)

telah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan pisang dewaka sebagai sumber

energi alternatif yaitu bioetanol.

Sebagai produk hasil pertanian, pisang mudah mengalami kerusakan karena

masih melakukan proses metabolisme setelah dipanen, sehingga daya simpan

pisang sangat terbatas. Oleh karena itu, pisang dewaka perlu diolah menjadi

produk pangan lain. Salah satu produk olahan pisang yang dapat menjadi pilihan

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 417


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

adalah tepung pisang.

Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam

pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang mempunyai beberapa

keunggulan dibandingkan dengan pisang segar dan olahan pisang lainnya, yaitu

daya simpan lebih lama, memudahkan dalam pengemasan dan pengangkutan,

dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan dan jangkauan

pemasarannya cukup luas, serta dapat meningkatkan nilai ekonomis pisang. Pada

dasarnya semua jenis pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna

tepung yang dihasilkan bervariasi, karena dipengaruhi oleh tingkat kematangan

buah, jenis buah dan cara pengolahan.

Masalah yang sering dihadapi saat pembuatan tepung pisang adalah adanya

reaksi pencoklatan (browning). Hal ini disebabkan pisang mengandung enzim

polifenol oksidase, sehingga mudah mengalami reaksi pencoklatan apabila

kontak dengan udara. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlakuan untuk

mencegah terjadinya pencoklatan. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk

mencegah terjadinya pencoklatan adalah blansing. Blansing adalah suatu proses

pemanasan yang diberikan terhadap suatu bahan yang bertujuan untuk

menginaktivasi enzim, melunakkan jaringan dan mengurangi kontaminasi

mikroorganisme yang merugikan.

Selain reaksi pencoklatan tersebut, pisang dewaka yang kurang diminati

menjadikan pisang tersebut dipanen dalam tingkat kematangan yang berbeda

tergantung kebutuhan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui pengaruh perlakuan blansing dan tingkat kematangan buah terhadap

mutu tepung pisang dewaka. Adapun metode blansing yang digunakan adalah

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 418


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

blansing dengan air panas pada suhu 75°C, 80°C, 85°C, 90°C dan 95°C. Tingkat

kematangan buah pisang dewaka yang digunakan berdasarkan indeks warna

kulit, yaitu indeks warna 1, 2 dan 3 (Prabawati dkk., 2008).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2015 di Laboratorium

Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Musamus Merauke.

Peralatan yang digunakan yaitu pisau, alat perajang, timbangan analitik,

panci, kompor, termometer, nampan, blender, baskom, cawan timbang, oven,

desikator, ayakan dengan ukuran 60 mesh, kamera digital dan laptop untuk

pengukuran warna. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang

dewaka yang tersedia di petani dengan 3 tingkat kematangan berdasarkan indeks

warna kulit, yaitu indeks warna 1, 2 dan 3 (Prabawati dkk., 2008).

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :


1. Buah pisang disortasi dan ditimbang sebanyak 1,5 kg. Pisang yang dipilih
adalah pisang yang tidak memiliki kerusakan atau cacat pada permukaan
kulitnya.
2. Buah pisang dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran dan
kemudian ditiriskan.
3. Pisang yang telah bersih dikupas kulitnya sehingga dihasilkan daging
pisang.
4. Daging pisang kemudian diberi perlakuan tanpa blansing dan blansing
dengan air panas pada suhu 75°C, 80°C, 85°C, 90°C dan 95°C selama 5
menit.
5. Daging pisang yang telah diberi perlakuan diiris melintang menggunakan alat
perajang dengan ketebalan potongan maksimal 0,5 cm.
6. Setelah itu, irisan pisang disusun dalam nampan dan dijemur di bawah

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 419


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

sinar matahari hingga kering. Tanda irisan pisang telah kering yaitu
apabila irisan pisang telah mengeras, tapi mudah dipatahkan (rapuh).
7. Irisan pisang yang telah kering kemudian digiling menggunakan blender
hingga menjadi tepung. Sebanyak 50 gr irisan pisang kering digiling dengan
kecepatan 3 pada blender selama 2 menit hingga menjadi tepung.
8. Hasil penggilingan kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh selama 5
menit dan dilakukan pengamatan selanjutnya.

Adapun parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi :

1. Rendemen

Rendemen merupakan jumlah produk yang dihasilkan dari suatu produksi.

Pengukurannya dengan cara membandingkan bobot tepung pisang yang

dihasilkan dengan bobot pisang setelah di buka kulitnya. Dari data rendemen

dapat diketahui berapa persentase produk yang dihasilkan per bobot bahan

baku yang digunakan. Untuk mengetahui presentase rendemen dapat

diketahui dengan rumus :

............................... (1)

2. Kehalusan Tepung
Kehalusan tepung diuji dengan menggunakan ayakan dengan ukuran 60

mesh. Sebanyak 50 g sampel diambil dari tepung pisang dewaka yang

dihasilkan, kemudian diayak selama 5 menit sampai hanya bagian kasar yang

tersisa di ayakan. Bagian yang tersisa di ayakan tersebut kemudian ditimbang.

Kehalusan tepung dihitung dengan rumus :

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 420


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

.................................................. (2)

Dimana :
W1 = Bobot bagian yang tersisa di ayakan (g)
W = Bobot sampel awal (g)

Persentase kehalusan yang dihasilkan dibandingkan berdasarkan kehalusan tepung

pisang menurut SNI 01-3841-1995 yaitu minimal 95%.

3. Kadar Air

Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Pertama-tama cawan kosong

dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator,

kemudian ditimbang. Sebanyak 3-4 gram sampel dimasukkan dalam cawan yang

telah ditim-bang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105°C

selama 6 jam. Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar air dihitung menggunakan rumus:

.......................... (3)
Presentase kadar air yang dihasilkan dibandingkan berdasarkan kadar air tepung

pisang menurut SNI 01-3841-1995 yaitu maksimal 12%.

4. Warna
Pengukuran warna tepung pisang dewaka dilakukan melalui pemotretan dengan

menggunakan kamera. Hasil pemotretan kemudian diinterpretasikan dengan

menggunakan software Adobe Photoshop CS6. Hasil pengukuran warna

dikonversi ke derajat putih dengan rumus :

.................... (4)

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 421


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Air Tepung Pisang

Kadar air suatu bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung dalam bahan

tersebut. Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata kadar air tepung pisang dewaka

yang dihasilkan pada semua perlakuan berkisar antara 8 – 11,33%. Kadar air

tertinggi 11,33% diperoleh pada kombinasi tingkat kematangan indeks warna 1

dengan perlakuan tanpa blansing dan perlakuan suhu blansing 90°C. Sedangkan

kadar air terendah diperoleh pada kombinasi tingkat kematangan indeks warna 2

dengan perlakuan suhu blansing 75°C, yaitu sebesar 8%. Berdasarkan SNI

Tepung Pisang kadar air tepung pisang maksimal adalah 12%. Hal ini berarti

kualitas kadar air tepung pisang dewaka telah memenuhi standar karena

presentasenya lebih kecil dari standar maksimal.

Gambar 1. Kadar air tepung pisang dewaka

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa rata-rata kadar air tepung pisang dewaka

dengan indeks warna 1 cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pada saat pengeringan

irisan pisang dewaka dengan indeks warna 1, rata-rata kelembaban relatif

udaranya lebih tinggi dibandingkan saat pengeringan pisang dewaka dengan

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 422


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

indeks warna 2 dan 3. Kelembaban relatif udara (RH) berpengaruh terhadap

pengeringan. Semakin tinggi kelembaban relatif udara maka pengeringan yang

terjadi akan semakin lambat. Kelembaban relatif udara yang tinggi

menyebabkan perbedaan tekanan uap air di dalam bahan dan di udara menjadi

kecil sehingga menghambat aliran uap air dari dalam bahan ke luar. Hal inilah

yang mungkin terjadi pada saat pengeringan irisan pisang dewaka dengan indeks

warna 1, sehingga kadar air tepungnya masih tinggi.

B. Kehalusan Tepung

Berdasarkan SNI Tepung Pisang standar kehalusan tepung pisang

yang baik yaitu minimal 95% lolos ayakan 60 mesh. Pada Gambar 2 dapat

dilihat bahwa tepung pisang dewaka yang telah memenuhi standar kehalusan

adalah tepung pisang dewaka yang dihasilkan dari kombinasi indeks warna 1

dengan perlakuan tanpa blansing dan suhu blansing 75°C dengan presentase

yaitu sebesar 97,4% dan indeks warna 2 dengan perlakuan tanpa blansing

dengan presentase sebesar 95,6%.

Gambar 2. Kehalusan tepung pisang dewaka

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 423


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah dan suhu

blansing yang diberikan, maka semakin rendah presentase kehalusan tepung

pisang yang dihasilkan. Rendahnya kehalusan tepung diakibatkan oleh

kandungan pati yang terdapat di dalam buah pisang. Menurut Ulyarti (1997)

dalam Honestin (2007), pati akan cepat tergelatinisasi jika terjadi penurunan

kekuatan granula yang disebabkan pemasakan yang dapat merusak ikatan-ikatan

di dalam granula. Beberapa studi menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu

pemanasan maka akan meningkatkan derajat gelatinisasi (Lin dkk., 1997 dalam

Honestin 2007). Pati yang tergelatinisasi menyebabkan terbentuknya gumpalan-

gumpalan kecil pada tepung pisang.

Pada suhu blansing 85°C dan 95°C terjadi kenaikan nilai kehalusan tepung pisang

dewaka indeks warna 2, demikian juga dengan pisang dewaka indeks warna 3

pada suhu blansing 95°C. Kenaikan nilai kehalusan ini dikarenakan pada bobot

yang sama jumlah irisan pisang yang telah kering lebih sedikit, sehingga pada

saat dihaluskan dengan kecepatan dan waktu yang sama menghasilkan tepung

yang lebih halus.

C. Rendemen

Rendemen merupakan presentase produk yang dihasilkan dari pembandingan

berat awal bahan dengan berat akhir bahan yang terolah. Rendemen tepung

pisang yang dihasilkan terhadap daging pisang pada tingkat kematangan

indeks warna 1 berkisar antara 27,99 – 32,51%; indeks warna 2 berkisar antara

34,14 – 38,29% dan indeks warna 3 berkisar antara 31,01 – 34,99%. Rendemen

tepung pisang dewaka tertinggi diperoleh pada kombinasi indeks warna 2

dengan perlakuan tanpa blansing, yaitu sebesar 38,29%. Sedangkan

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 424


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

rendemen terendah sebesar 27,99% diperoleh dari kombinasi indeks warna 1

dengan suhu blansing 95°C.

Tingkat kematangan indeks warna 2 menghasilkan rendemen tertinggi pada

semua perlakuan suhu blansing, karena pada tingkat kematangan indeks warna 2

kandungan pati di dalam buah pisang masih tinggi yaitu sebesar 18%. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Widowati (2003) dalam Histifarina dkk. (2012)

bahwa rendemen tepung buah dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah

dan kandungan pati dari buah segar sebelum dikeringkan.

Gambar 3. Rendemen tepung pisang dewaka

Sedangkan pisang dewaka dengan indeks warna 1 menghasilkan rendemen

terendah, disebabkan oleh bahan baku pisang dewaka yang digunakan terdapat

banyak pisang yang berukuran kecil. Pada umumnya dalam satu tandan

pisang, buah yang memiliki tingkat kematangan terendah atau tingkat kematangan

indeks warna 1 biasanya berukuran lebih kecil. Menurut Hidayat (2010), apabila

pisang dalam suatu bobot tertentu, semakin banyak ukuran pisang yang kecil-

kecil maka akan semakin rendah rendemen daging pisang yang dihasilkan.

Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit jumlah pisang ukuran kecil maka

rendemen akan semakin tinggi. Ukuran pisang berkaitan dengan luas

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 425


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

permukaan kulit pisang. Pisang dalam suatu bobot tertentu, apabila banyak

terdapat pisang dengan ukuran kecil maka luas permukaan kulit pisangnya

makin besar sehingga bobot kulit pisangnya makin besar. Dan begitu juga

sebaliknya, apabila sedikit terdapat pisang ukuran kecil maka luas permukaannya

makin kecil sehingga bobot kulit pisangnya makin kecil (Hidayat, 2010).

Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa rendahnya rendemen juga

dipengaruhi oleh suhu blansing. Menurut Widya (2003), nilai rendemen yang

rendah disebabkan penyusutan bobot akibat air yang hilang karena

pemanasan. Proses pemanasan membuat sel-sel membran menjadi lebih

permeabel, sehingga pergerakan air tidak terhambat dan air lebih mudah

dikeluarkan saat pengeringan, dimana dalam penelitian ini proses pemanasan yang

dimaksud adalah proses blansing.

D. Derajat Putih

Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada bahan

dan produk pangan. Peranan warna sangat nyata karena umumnya konsumen

akan mendapat kesan pertama baik suka ataupun tidak suka terhadap suatu produk

pangan dari warnanya. Derajat putih tepung pisang dewaka diperoleh dari

konversi nilai L*a*b* ke rumus derajat putih. Semakin tinggi derajat putih suatu

tepung maka biasanya makin disukai konsumen karena penampakannya yang

lebih bersih dan menarik.

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 426


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

Gambar 4. Derajat putih tepung pisang dewaka

Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa derajat putih paling tinggi diperoleh

dari tepung pisang dewaka indeks warna 1 dengan suhu blansing 85°C yaitu

sebesar 69,23%. Pemberian perlakuan blansing dapat mencegah terjadinya reaksi

pencoklatan enzimatis sehingga perubahan warna dapat dicegah.

Dari hasil penelitian, secara umum derajat putih tepung pisang dewaka pada

tiga tingkat kematangan yang diberi perlakuan blansing memiliki derajat putih

yang cukup baik. Tetapi, terjadi penurunan derajat putih pada tepung pisang

dewaka indeks warna 3 dengan suhu blansing 90°C dan 95°C.

Penyebabnya adalah pisang dewaka indeks warna 3 memiliki kandungan

gula yang cukup tinggi dibandingkan dengan indeks warna 1 dan 2. Adanya

pemberian perlakuan blansing pada suhu yang tinggi, menyebabkan

terjadinya reaksi-reaksi lain selain reaksi pencoklatan enzimatis. Reaksi yang

mungkin terjadi adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan

non-enzimatis biasanya terjadi pada bahan makanan yang banyak mengandung

gula. Karamelisasi adalah salah satu reaksi pencoklatan non- enzimatis yang

terjadi karena proses pemanasan karbohidrat dalam hal ini sukrosa dan gula

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 427


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

pereduksi tanpa adanya komponen yang mengandung nitrogen. Proses pemanasan

ini menyebabkan dehidrasi gula yang akan menghasilkan senyawa furan yang

berwarna coklat (Vania, 2010). Hal inilah yang menyebabkan pisang dewaka

indeks warna 3 dengan blansing pada suhu 95°C memiliki derajat putih terendah

(52,55%).

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan
ini adalah sebagai berikut:
1. Rata-rata kadar air tepung pisang dewaka yang dihasilkan berkisar antara
8 - 11,33%. Kadar air terbaik diperoleh pada tepung pisang dewaka
indeks warna 2 dengan perlakuan suhu blansing 75°C, yaitu sebesar 8%.
2. Tingkat kematangan pisang dewaka pada indeks warna 1 yang diberi
perlakuan blansing pada suhu 75°C menghasilkan tepung dengan
presentase kehalusan yang terbaik dan telah memenuhi standar, yaitu
97,4%.
3. Rendemen tepung pisang dewaka terbaik dihasilkan pada tingkat
kematangan indeks warna 2 dengan suhu blansing 80°C, yaitu sebesar
36,51%.
4. Derajat putih terbaik sebesar 69,23% diperoleh pada tingkat kematangan
indeks warna 1 dengan perlakuan suhu blansing 85°C.
5. Kombinasi perlakuan blansing pada suhu 75°C dan tingkat kematangan
indeks warna 1 memberikan hasil tepung pisang yang paling optimal
berdasarkan kadar air, kehalusan tepung, rendemen dan derajat putih
yang dimilikinya. Hasil analisis perlakuan tersebut memiliki kadar air
10,67%, kehalusan tepung 97,4%, rendemen 32,51% dan derajat putih
68,28%.

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 428


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

B. Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
antara lain :
1. Sebaiknya pisang dewaka yang digunakan memiliki ukuran seragam
agar mendapatkan hasil tepung pisang dewaka yang seragam.
2. Sebaiknya pengeringan dilakukan hingga diperoleh kadar air irisan
pisang dewaka yang seragam.
3. Perlu dipelajari lebih lanjut mengenai pengaruh tingkat kematangan di
atas indeks warna 3 terhadap mutu tepung pisang dewaka.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan
pisang yang telah dipasarkan terhadap mutu tepung pisang dewaka.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis untuk
mengetahui umur simpan tepung pisang dewaka yang dihasilkan.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi tepung
pisang dewaka pada pembuatan produk pangan.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, R. 2010. Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu Kaya β -
Karoten dan Karakterisasi Mutunya. Skripsi Sarjana, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insititut Pertanian Bogor.
Bogor.
Histifarina, D., A. Rachman, D. Rahadian dan Sukmaya. 2012. Teknologi
Pengolahan Tepung Dari Berbagai Jenis Pisang Menggunakan Cara
Pengeringan Matahari dan Mesin Pengering. Agrin Vol. 16, No. 2,
Oktober 2012.
Honestin, T. 2007. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
batatas). Skripsi Sarjana, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Insititut Pertanian Bogor. Bogor.
Prabawati, S., Suyanti dan D. A. Setyabudi. 2008. Teknologi Pascapanen dan
Teknik Pengolahan Buah Pisang. Balai Penelitian dan Pengembangan
Penelitian: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Soeseno, A. 2007. Kajian Karakteristik Gelombang Ultrasonik Untuk Deteksi
Tingkat Kematangan Buah Pisang Raja Bulu (Musa paradisiaca sp). Skripsi
Sarjana, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Insititut Pertanian Bogor. Bogor.
Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3841-1995 Tepung Pisang. Badan

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 429


Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2015
Palembang,Sumatera Selatan,25-26 Nopember 2015

Standarisasi Nasional. Jakarta.


Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 3751:2009 Tepung Terigu Sebagai Bahan
Makanan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Suryaningsih, N.L.S. dan Y. P. Pasaribu. 2015. Dewaka Banana As An Alternative
Energy Source. Procedia Food Science 3 (2015) 211-215.
Vania, A. 2010. Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional
dengan Subtitusi Tepung Pisang Modifikasi. Skripsi Sarjana, Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Widya, D. 2003. Proses Produksi dan Karakteristik Tepung Biji Mangga Jenis
Arumanis (Mangifera indica L.). Skripsi Sarjana, Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

(Universitas Sriwijaya – BPTP Sumsel) page - 430

Anda mungkin juga menyukai