Anda di halaman 1dari 7

LEMBAR JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Mata kuliah Peraturan Perundang-undangan dan Etika


Hari Senin
Tanggal 5 Juni 2023
Jam 20:00 WIB – 21:00
Kelas ekstensi 22.B2
SKS 1 sks
Waktu 1 Jam

Nama Muhammad Haikal

NIM 220205418

1. IRTP (Industri Rumah Tangga Pangan ) merupakan aset pemerintah yang memberikan
arti sinergis dalam perekonomian di Indonesia, dalam hal ini adanya khusus produk
pangan yang di izinkan diproduksi dikabupaten/kota, pangan izin kota medan yaitu:
a. Dasar hukumnya :

Dasar hukum mengenai Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Indonesia


terkait dengan izin produksi di kabupaten/kota dapat bervariasi tergantung pada regulasi
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Namun, secara umum, beberapa
dasar hukum yang relevan untuk IRTP di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan: Undang-


undang ini mengatur tentang pengawasan dan keamanan pangan secara umum di
Indonesia. Bagian dari undang-undang ini dapat menjadi dasar hukum untuk pengaturan
IRTP di tingkat nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan
Pangan: Peraturan ini memberikan landasan bagi pengawasan dan keamanan pangan di
Indonesia. Dalam konteks IRTP, peraturan ini mungkin mencakup persyaratan terkait
produksi, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi produk pangan di tingkat
kabupaten/kota.
3. Peraturan Daerah: Setiap kabupaten/kota di Indonesia dapat memiliki peraturan daerah
yang mengatur tentang IRTP dan persyaratan produksi pangan di tingkat lokal. Peraturan
daerah ini dapat mencakup izin produksi, persyaratan sanitasi, kriteria kelayakan, dan tata
cara pengawasan IRTP.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang dasar hukum yang
berlaku di kabupaten/kota tertentu terkait dengan IRTP, disarankan untuk mengacu pada
peraturan daerah setempat dan menghubungi instansi terkait, seperti Dinas Kesehatan
atau Dinas Perindustrian di kabupaten/kota tersebut. Mereka akan dapat memberikan
informasi yang lebih terperinci mengenai persyaratan izin produksi pangan dan dasar
hukumnya di wilayah tersebut.

b. Contoh jenis produk pangannya :

Contoh produk pangan yang diizinkan diproduksi dalam Industri Rumah Tangga
Pangan (IRTP) di kabupaten/kota di Indonesia dapat mencakup berbagai jenis makanan dan
minuman. Beberapa contoh produk pangan yang umum diproduksi dalam skala IRTP antara
lain:

1. Makanan ringan seperti keripik, kue kering, dan camilan lainnya.


2. Makanan olahan seperti sambal, saus, atau bumbu dapur.
3. Produk roti dan bakery seperti roti tawar, kue, atau roti manis.
4. Makanan tradisional atau makanan khas daerah seperti dodol, kue klepon, atau serabi.
5. Makanan hasil fermentasi seperti tempe, tahu, atau oncom.
6. Minuman tradisional atau minuman ringan seperti sirup, minuman herbal, atau minuman
tradisional khas daerah.
7. Produk makanan dan minuman olahan lainnya seperti permen, selai, atau minuman botol.

Perlu diingat bahwa contoh-contoh ini hanya sebagian kecil dari berbagai jenis
produk pangan yang dapat diproduksi dalam skala IRTP. Setiap kabupaten/kota di Indonesia
dapat memiliki persyaratan dan ketentuan yang berbeda terkait dengan jenis produk pangan
yang diizinkan diproduksi dalam IRTP. Oleh karena itu, disarankan untuk mengacu pada
peraturan daerah setempat dan berkoordinasi dengan instansi terkait di kabupaten/kota
tersebut untuk mendapatkan informasi lebih rinci mengenai jenis produk pangan yang
diizinkan dalam IRTP.

c. Dalam sistem keamanan pangan terpadu / dasar hukumnya :

Dalam sistem keamanan pangan terpadu di Indonesia, dasar hukum terkait Industri
Rumah Tangga Pangan (IRTP) dapat mencakup beberapa peraturan dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Berikut ini adalah beberapa dasar hukum yang relevan:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan: Undang-


undang ini mengatur tentang pangan secara umum, termasuk pengawasan keamanan
pangan. Dasar hukum ini memberikan landasan bagi implementasi sistem keamanan
pangan terpadu di Indonesia.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pangan Olahan
Rumah Tangga: Peraturan ini mengatur tentang pengawasan dan pengendalian produksi
pangan olahan rumah tangga, termasuk IRTP. Dasar hukum ini memberikan pedoman
dan persyaratan operasional bagi IRTP dalam aspek keamanan pangan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan
Pangan: Peraturan ini menyediakan kerangka kerja untuk sistem keamanan pangan yang
meliputi produksi, penyimpanan, distribusi, dan penjualan pangan. Dasar hukum ini
memberikan landasan umum untuk melindungi konsumen dari risiko keracunan pangan
dan menjaga keamanan pangan di seluruh rantai pasok.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 tentang
Persyaratan Hygiene Sanitasi Industri Rumah Tangga Pangan: Peraturan ini menetapkan
persyaratan hygiene dan sanitasi yang harus dipenuhi oleh IRTP. Dasar hukum ini
bertujuan untuk memastikan produksi pangan rumah tangga dilakukan dengan standar
kebersihan yang memadai.

Selain dasar hukum di atas, terdapat juga regulasi lain yang relevan dalam sistem
keamanan pangan terpadu di Indonesia, seperti peraturan terkait dengan sertifikasi pangan,
pelabelan pangan, pengawasan laboratorium, dan pengendalian mutu pangan.

Penting untuk memperhatikan bahwa dasar hukum tersebut dapat mengalami


perubahan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, disarankan untuk selalu mengacu pada
peraturan hukum yang terkini dan menghubungi instansi terkait seperti Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) atau Dinas Kesehatan setempat untuk informasi lebih lanjut
mengenai dasar hukum yang berlaku dalam sistem keamanan pangan terpadu di
kabupaten/kota tertentu.

2. A. Pangan fungsional dibedakan dengan suplemen makanan dan obat. stimuno dapat
digunakan bersamaan pangan fungsional, suplemen makanan dan obat. Jelaskan boleh
digunakan bersamaan atau tidak, dan dasar hukumnya:

Pangan fungsional, suplemen makanan, dan obat adalah tiga kategori yang berbeda
dalam industri makanan dan farmasi. Stimuno, yang merupakan produk tertentu, harus
diklasifikasikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam masing-masing kategori
tersebut.
1. Pangan Fungsional: Pangan fungsional mengacu pada makanan yang memiliki manfaat
kesehatan tambahan selain fungsi gizi dasar. Contoh pangan fungsional termasuk makanan
yang mengandung probiotik, serat tambahan, atau zat-zat bioaktif lainnya yang dapat
memberikan manfaat kesehatan tertentu. Dasar hukum terkait pangan fungsional dapat
bervariasi tergantung pada regulasi negara tertentu. Dalam beberapa negara, peraturan dan
pedoman khusus dikeluarkan untuk mengatur penggunaan, pemasaran, dan klaim kesehatan
terkait pangan fungsional.
2. Suplemen Makanan: Suplemen makanan adalah produk yang dirancang untuk menyediakan
nutrisi tambahan yang mungkin tidak mencukupi dari diet sehari-hari. Mereka dianggap
sebagai suplemen dan bukan sebagai pengganti makanan. Dasar hukum terkait suplemen
makanan dapat bervariasi di setiap negara. Di beberapa negara, ada regulasi khusus yang
mengatur pendaftaran, produksi, dan label suplemen makanan, termasuk klaim kesehatan
yang dibuat terkait produk tersebut.
3. Obat: Obat adalah produk yang digunakan untuk diagnosis, pengobatan, atau pencegahan
penyakit atau gangguan medis. Obat harus melewati proses regulasi dan persetujuan yang
ketat sebelum dapat dipasarkan dan dijual untuk keperluan medis. Dasar hukum yang
mengatur obat meliputi registrasi, uji klinis, produksi, dan distribusi yang diatur oleh otoritas
farmasi atau badan pengawas obat di setiap negara.

Sehubungan dengan Stimuno, sebagai produk spesifik, penting untuk merujuk pada
regulasi dan persyaratan yang berlaku di negara tertentu untuk menentukan statusnya
sebagai pangan fungsional, suplemen makanan, atau obat. Dasar hukum yang mengatur
penggunaan Stimuno bersamaan dengan pangan fungsional, suplemen makanan, atau obat
juga dapat bervariasi tergantung pada regulasi negara tersebut. Oleh karena itu, disarankan
untuk mengacu pada otoritas terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
atau lembaga farmasi setempat, untuk memperoleh informasi yang akurat dan terkini
mengenai status dan penggunaan Stimuno serta dasar hukumnya.

B. Pangan produk rekayasa genetika, jagung manis dan pepaya California merupakan
produk pangan rekayasa genetika
 Benar/tidak :
Benar, jagung manis dan pepaya California merupakan contoh produk pangan
rekayasa genetika. Jagung manis rekayasa genetika sering disebut jagung Bt
(Bacillus thuringiensis) yang telah dimodifikasi genetiknya untuk menghasilkan
protein yang efektif dalam melawan serangga pengganggu seperti ulat jagung.
Pepaya California juga telah mengalami rekayasa genetika dengan memasukkan
gen virus ringan pepaya untuk melawan penyakit yang disebabkan oleh virus
tersebut. Dalam kedua kasus ini, perubahan genetik dilakukan untuk memperoleh
sifat-sifat yang diinginkan, seperti ketahanan terhadap serangga atau penyakit,
yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman tersebut.
 Dasar hukumnya :

Dasar hukum terkait dengan produk pangan rekayasa genetika dapat bervariasi di
setiap negara. Namun, dalam konteks Indonesia, dasar hukum yang mengatur produk
pangan rekayasa genetika termasuk:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan: Undang-


undang ini mencakup aspek keselamatan pangan, termasuk produk pangan rekayasa
genetika. Undang-undang ini menyebutkan bahwa produk pangan rekayasa genetika harus
melewati penilaian keselamatan sebelum dapat dipasarkan dan dikonsumsi.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pangan Olahan
Rumah Tangga: Peraturan ini mengatur tentang pengawasan dan pengendalian produksi
pangan, termasuk pangan rekayasa genetika. Peraturan ini dapat memberikan pedoman dan
persyaratan khusus terkait penggunaan, produksi, dan label produk pangan rekayasa
genetika.
3. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 9/Permentan/OT.140/2/2011
tentang Penggunaan Organisme Rekayasa Genetika pada Tanaman: Peraturan ini khusus
mengatur penggunaan organisme rekayasa genetika pada tanaman, termasuk tanaman
pangan seperti jagung dan pepaya. Peraturan ini menetapkan persyaratan, prosedur, dan
tata cara penggunaan serta pengujian tanaman rekayasa genetika.

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia juga memiliki peran
dalam mengawasi dan mengatur produk pangan rekayasa genetika sesuai dengan peraturan
dan ketentuan yang berlaku.

Penting untuk dicatat bahwa regulasi terkait pangan rekayasa genetika dapat mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penting untuk selalu mengacu pada
peraturan dan ketentuan hukum yang terkini serta berkoordinasi dengan otoritas terkait,
seperti BPOM, untuk informasi yang akurat dan terbaru mengenai dasar hukum yang berlaku
untuk produk pangan rekayasa genetika di Indonesia.

3. Pada dasarnya penanggulangan keracunan pangan / KLB (Kejadian Luar Biasa) terjadi
masalah kercunan pangan, pemeriksan zat racun, uji nyala, uji kertas kunyit/tumerik,
reaksi warna dan filtrasi ubi ungu dan spektrometri infra merah, FTIR-ATR.
a. Dasar hukumnya :

Dasar hukum penanggulangan keracunan pangan atau KLB (Kejadian Luar Biasa)
dapat berbeda-beda di setiap negara. Namun, di Indonesia, penanggulangan keracunan
pangan didasarkan pada beberapa peraturan hukum yang relevan. Berikut adalah
beberapa dasar hukum yang terkait:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan: Undang-


undang ini mengatur tentang pangan, termasuk pengawasan dan keamanan pangan.
Penanggulangan keracunan pangan termasuk dalam wewenang Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) dan instansi terkait lainnya.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan
Pangan: Peraturan ini memberikan landasan bagi penanggulangan keracunan pangan,
termasuk pengendalian bahan berbahaya, pengawasan kualitas pangan, dan sistem
pemantauan keamanan pangan.
3. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2015 tentang Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Bidang Pangan: Peraturan
ini memberikan pedoman teknis dan prosedur penanggulangan kejadian luar biasa yang
terkait dengan pangan, termasuk keracunan pangan.

Selain itu, terdapat juga regulasi-regulasi lain yang berhubungan dengan keamanan pangan dan
penanggulangan keracunan pangan, seperti peraturan-peraturan terkait dengan pengawasan
laboratorium, standar mutu pangan, dan tindakan pengawasan serta sanksi terhadap pelanggaran
terkait keracunan pangan.

Penting untuk menyadari bahwa dasar hukum dapat berubah dari waktu ke waktu, jadi selalu
disarankan untuk merujuk pada peraturan hukum terkini yang berlaku di negara masing-masing.

b. Zat apa yang diuji :

Dalam penanggulangan keracunan pangan atau KLB, terdapat berbagai jenis zat yang
dapat diuji untuk mengidentifikasi penyebab keracunan. Berikut adalah beberapa zat yang
umumnya diuji:

1. Zat racun: Dalam kasus keracunan pangan, pemeriksaan zat racun spesifik dilakukan
untuk mengidentifikasi adanya kontaminan atau zat beracun yang dapat menyebabkan
keracunan. Contohnya, dalam kasus keracunan makanan laut, zat seperti histamin dan
ciguatoxin dapat diuji.
2. Uji nyala: Uji nyala digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa kimia tertentu
berdasarkan warna api yang dihasilkan saat senyawa tersebut terbakar. Uji nyala dapat
membantu mengidentifikasi adanya logam berat seperti timbal atau arsenik.
3. Uji kertas kunyit/turmeric: Uji kertas kunyit atau turmeric dilakukan dengan
menempatkan zat atau makanan yang dicurigai di atas kertas kunyit yang telah direndam.
Jika zat atau makanan mengandung senyawa asam, kertas kunyit akan berubah warna
menjadi merah.
4. Reaksi warna: Metode ini melibatkan penggunaan reagen kimia yang dapat menghasilkan
perubahan warna khusus ketika bereaksi dengan senyawa tertentu. Contohnya, uji dengan
menggunakan reagen Dinitrofenilhidrazin (DNPH) dapat mengidentifikasi keberadaan
aldehida atau keton dalam makanan.
5. Filtrasi ubi ungu: Metode ini melibatkan penggunaan air ekstraksi dari ubi ungu yang
mengandung senyawa antosianin sebagai indikator. Jika senyawa racun atau zat
berbahaya hadir dalam sampel, warna air ekstraksi dapat berubah.
6. Spektrometri inframerah, FTIR-ATR: Metode ini menggunakan instrumen spektrometri
inframerah untuk menganalisis pola getaran molekul dalam sampel. Dengan menganalisis
pola spektrum inframerah, dapat diidentifikasi senyawa kimia dalam sampel.

Penting untuk dicatat bahwa metode di atas hanyalah beberapa contoh metode yang
digunakan dalam penanggulangan keracunan pangan. Pemeriksaan dan uji lainnya juga dapat
dilakukan tergantung pada jenis keracunan dan kebutuhan spesifik dalam situasi yang terjadi.

4. Zat/obat berasal dari tumbuhan/bukan tumbuhan sintesis/semi sintesis, menyebabkan


penurunan kesadaran sampai menghilangkan rasa nyeri, menimbulkan ketergantungan,
zat/bahan kimia dapat digunakan dalam pembuatan narkotika.
a. Dasar hukumnya :

Dasar hukum terkait dengan zat/obat yang berasal dari tumbuhan atau tidak dari
tumbuhan sintesis/semi sintesis, yang memiliki efek penurunan kesadaran, penghilangan
rasa nyeri, potensi ketergantungan, dan digunakan dalam pembuatan narkotika dapat
bervariasi di setiap negara. Namun, dalam banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, dasar
hukum yang relevan termasuk:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Undang-


undang ini merupakan dasar hukum utama yang mengatur narkotika di Indonesia.
Undang-undang ini mencakup pengendalian, penyalahgunaan, produksi, distribusi, dan
penggunaan narkotika, termasuk zat/obat yang memiliki efek penurunan kesadaran,
penghilangan rasa nyeri, dan potensi ketergantungan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2015 tentang Pengamanan
Bahan Baku, Prekursor, dan Bahan Kimia yang Digunakan dalam Produksi Narkotika
dan Prekursor Narkotika: Peraturan ini mengatur tentang pengamanan bahan baku,
prekursor, dan bahan kimia yang digunakan dalam produksi narkotika. Peraturan ini
bertujuan untuk mengendalikan distribusi dan penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan narkotika.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Daftar
Narkotika: Peraturan ini merupakan peraturan teknis yang menyusun daftar narkotika
yang dilarang, dikendalikan, atau diperbolehkan dalam penggunaan medis tertentu.
Peraturan ini memuat klasifikasi narkotika berdasarkan potensi penyalahgunaan, risiko
kesehatan, dan kegunaan medisnya.

Selain itu, banyak negara memiliki peraturan dan konvensi internasional yang diadopsi
untuk mengendalikan penyalahgunaan narkotika, seperti Konvensi Tunggal tentang
Narkotika tahun 1961 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Zat
Psikotropika tahun 1971.

Penting untuk memperhatikan bahwa regulasi terkait narkotika dan bahan kimia terkait
dapat bervariasi dari negara ke negara. Oleh karena itu, disarankan untuk selalu mengacu
pada peraturan hukum yang berlaku di negara yang relevan dan berkoordinasi dengan
otoritas terkait, seperti Badan Narkotika Nasional atau Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), untuk informasi yang akurat dan terbaru mengenai dasar hukum yang
berlaku.

b. Bagaimana menurut etika kefarmasian (dasar hukumnya) tugas dan tanggung


jawab dalam pelayanan kefarmasian :
Dalam praktik kefarmasian, tugas dan tanggung jawab berdasarkan etika kefarmasian
diatur oleh prinsip-prinsip dan kode etik yang diakui secara internasional. Meskipun
etika kefarmasian bukanlah bagian dari hukum yang mengikat, mereka memberikan
pedoman dan panduan moral untuk para profesional kefarmasian dalam menjalankan
tugas mereka. Beberapa prinsip etika kefarmasian yang relevan termasuk:

1. Kepentingan Pasien: Profesional kefarmasian memiliki tanggung jawab utama untuk


memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan pasien. Mereka harus memberikan
pelayanan yang berkualitas, aman, dan efektif serta menjaga kerahasiaan informasi
pasien.
2. Integritas Profesional: Profesional kefarmasian diharapkan untuk menjaga integritas
dan kejujuran dalam menjalankan tugas mereka. Mereka harus menghindari konflik
kepentingan, praktik yang merugikan, serta melaksanakan pekerjaan mereka dengan
integritas tinggi.
3. Kompetensi Profesional: Profesional kefarmasian harus menjaga dan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mereka secara berkelanjutan untuk memberikan
pelayanan yang optimal kepada pasien. Mereka harus terus belajar tentang
perkembangan terkini dalam farmakologi, etika, dan ilmu kefarmasian lainnya.
4. Kerjasama Tim: Profesional kefarmasian harus berkolaborasi dengan profesional
kesehatan lainnya dan anggota tim perawatan kesehatan untuk memastikan pelayanan
yang koordinatif dan komprehensif bagi pasien.
5. Keselamatan Pasien: Profesional kefarmasian memiliki tanggung jawab untuk
memastikan keselamatan pasien dalam hal penggunaan obat, termasuk pemantauan
interaksi obat, efek samping, dan penyesuaian dosis yang sesuai.
6. Standar Profesional: Profesional kefarmasian harus mematuhi standar dan regulasi
yang berlaku dalam praktek kefarmasian, termasuk persyaratan hukum dan peraturan
yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat dan obat.

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, profesional kefarmasian diharapkan untuk


menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dengan integritas, profesionalisme,
dan mengutamakan kepentingan pasien. Meskipun dasar hukum yang mengatur etika
kefarmasian bukanlah peraturan yang mengikat, mereka menjadi landasan moral yang
penting dalam pelayanan kefarmasian yang bertanggung jawab.

5. Zat/baik obat alamiah maupun sintesis bukan narkotika, berkhasiat psiko aktif melalui
pengaruh selektif pada SSP yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
prilaku.
a. Dasar hukumnya :

Dasar hukum terkait dengan zat atau obat, baik alami maupun sintetis, yang
memiliki efek psikoaktif namun bukan narkotika dapat bervariasi di setiap negara. Dalam
konteks Indonesia, dasar hukum yang relevan termasuk:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: Undang-


undang ini mencakup berbagai aspek kesehatan, termasuk pengendalian obat-obatan dan
zat-zat psikoaktif. Undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk mengatur
penggunaan, distribusi, dan pengendalian zat atau obat yang memiliki efek psikoaktif
namun bukan narkotika.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengendalian
Bahan Baku Farmasi dan Obat-obatan: Peraturan ini mengatur tentang pengendalian
bahan baku farmasi dan obat-obatan di Indonesia. Peraturan ini juga mencakup
pengendalian zat atau obat yang memiliki efek psikoaktif namun bukan narkotika,
termasuk persyaratan produksi, distribusi, dan penggunaannya.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011
tentang Bahan Psikotropika dan Obat-Obatan Berbahaya Lainnya: Peraturan ini mengatur
pengendalian bahan psikotropika dan obat-obatan berbahaya lainnya di Indonesia.
Peraturan ini mencakup pengendalian zat atau obat dengan efek psikoaktif namun bukan
narkotika, termasuk persyaratan produksi, distribusi, dan penggunaannya.
Selain itu, negara-negara biasanya memiliki undang-undang dan peraturan lain
yang mengatur pengendalian zat atau obat dengan efek psikoaktif. Penting untuk dicatat
bahwa regulasi terkait dapat berbeda di setiap negara. Oleh karena itu, penting untuk
selalu mengacu pada peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di negara yang relevan
dan berkoordinasi dengan otoritas terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) atau Kementerian Kesehatan, untuk informasi yang akurat dan terbaru mengenai
dasar hukum yang berlaku.

b. Sediaan obatnya (contoh 2) :

Beberapa contoh sediaan obat yang mengandung zat atau bahan, baik alamiah
maupun sintetis, yang memiliki efek psikoaktif namun bukan narkotika dan dapat
menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku adalah sebagai berikut:

1. Antidepresan: Antidepresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi


gangguan depresi dan gangguan kecemasan. Contoh antidepresan termasuk selektif
serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti fluoxetine, sertraline, dan escitalopram, serta
tricyclic antidepressants (TCA) seperti amitriptyline dan imipramine.
2. Antipsikotik: Antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi seperti skizofrenia dan
gangguan bipolar. Contoh antipsikotik termasuk risperidone, haloperidol, olanzapine, dan
quetiapine.
3. Stimulan: Stimulan digunakan untuk mengatasi gangguan tidur, kelelahan kronis, dan
gangguan defisit perhatian hiperaktivitas (ADHD). Contoh stimulan termasuk
metilfenidat (Ritalin) dan amfetamin (Adderall).
4. Benzodiazepin: Benzodiazepin digunakan untuk mengatasi gangguan kecemasan,
insomnia, dan kejang. Contoh benzodiazepin termasuk diazepam, lorazepam, dan
alprazolam.
5. Zolpidem: Zolpidem adalah obat tidur yang digunakan untuk mengatasi insomnia. Obat
ini bekerja dengan mempengaruhi reseptor GABA di sistem saraf pusat.

Penting untuk diingat bahwa penggunaan obat-obatan ini harus dilakukan di


bawah pengawasan dan resep dokter. Selalu konsultasikan dengan tenaga medis yang
berkualifikasi sebelum mengonsumsi obat apa pun, serta mengikuti petunjuk penggunaan
yang tepat yang tercantum pada kemasan obat.

c. Sediaan obatnya prekusor (contoh 2) :

obat yang merupakan prekursor atau prekursor farmakologis, yang berarti obat
tersebut diubah menjadi senyawa aktif dalam tubuh, berikut adalah contoh-
contohnya:

1. Prodrug: Prodrug adalah bentuk obat yang tidak aktif secara farmakologis dan harus
diubah menjadi bentuk aktif oleh metabolisme dalam tubuh. Contoh prodrug termasuk
codeine, yang diubah menjadi morfin oleh enzim dalam tubuh, dan enalapril, yang diubah
menjadi enalaprilat untuk pengobatan hipertensi.
2. Prekursor neurotransmitter: Beberapa obat dapat bertindak sebagai prekursor
neurotransmitter dalam tubuh, yang berarti mereka diubah menjadi neurotransmitter
dalam sistem saraf pusat. Contoh termasuk L-dopa, yang merupakan prekursor dopamin
dan digunakan dalam pengobatan penyakit Parkinson.
3. Prekursor metabolit aktif: Beberapa obat diubah menjadi metabolit aktif dalam tubuh
yang memiliki efek farmakologis. Contoh termasuk clopidogrel, yang diubah menjadi
metabolit aktif yang menghambat agregasi trombosit dan digunakan dalam pengobatan
penyakit kardiovaskular.

Penting untuk dicatat bahwa dalam penggunaan sehari-hari, istilah "prekursor"


seringkali lebih sering dikaitkan dengan bahan kimia yang digunakan dalam sintesis
narkotika, dan bukan dalam konteks obat yang diubah menjadi bentuk aktif dalam tubuh.
Jika Anda ingin informasi lebih lanjut tentang obat-obatan tertentu sebagai prekursor atau
prekursor farmakologis, direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan profesional
kesehatan atau apoteker yang berkualifikasi.

Anda mungkin juga menyukai