Anda di halaman 1dari 108

SKRIPSI

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BADUTA DI DESA BONDE UTARA

KECAMATAN PAMBOANG KABUPATEN MAJENE

Lilis Puspitasari

C 15008

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA BANGSA MAJENE

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

2019
SKRIPSI

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BADUTA DI DESA BONDE UTARA

KECAMATAN PAMBOANG KABUPATEN MAJENE

Lilis Puspitasari

C 15008

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA BANGSA MAJENE

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

2019

i
MOTTO

Selama kita punya niat ataupun rencana yang baik insya Allah rezeki akan selalu

ada (Pesan Terbaik Dari Ayahanda)

Harta sejati adalah kesehatan bukan emas atau perak

(Mahatma Gandhi)

Kecerdasanmu tanpa kehormatan adalah sia-sia.

Jadilah secerdas yang kau bisa, tapi ingat menjadi bijak dan tawadhu itu lebih baik

dari pada cerdas. Semakin arogan seseorang semakin rendah kecerdasannya.

(Letjen TNI Edy Rahmadi,Purnawirawan Kostrad)


ABSTRAK

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA


BADUTA DI DESA BONDE UTARA KECAMATAN PAMBOANG KABUPATEN MAJENE.
Oleh Lilis Puspitasari. Dibimbing oleh Asmuni dan Sitti Nur Aliah (xv + 62 hal isi + 9
tabel + 2 gambar + 12 lampiran).

Indonesia masuk lima besar Negara dengan kasus stunting dimana posisi Indonesia menjadi
urutan keempat sebesar 8,8 juta(36%).Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada baduta di Desa Bonde Utara.Penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional, populasi dalam penelitian ini Ibu baduta yang ada
di Desa Bonde Utara dengan jumlah 49 sampel menggunakan cluster random sampling.Hasil
uji statistik chi square didapat analisis univariat dan bivariat menunjukkan untuk kondisi
rumah dengan kejadian stunting diperoleh nilai P= 0,456 dengan taraf signifikan α= 0,05
yang berarti P ≥ α, atau H0 diterima ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kondisi rumah dengan kejadian stunting di Desa Bonde Utara sementara untuk penggunaan
jamban dan ketersediaan air bersih dirumah dengan kejadian stunting diperoleh nilai P= 0,00
dengan taraf signifikan α= 0,05 yang berarti P < α atau H0 ditolak menunjukkan bahwa ada
hubungan antara penggunaan jamban dan ketersediaan air bersih dengan kejadian stunting di
Desa Bonde Utara. Simpulan terdapat korelasi yang berarti berdasarkan dari hasil penelitian
menggunakan uji statistik chi square diperoleh nila p>0,05 untuk penggunaan jamban dan
ketersediaan air bersih menyatakan bahwa ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian stunting di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kab. Majene tahun 2019.
Saran masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait stunting dengan variabel lain yang
diluar dari yang diteliti oleh peneliti.

Kata Kunci : Stunting, Kondisi Rumah, Penggunaan Jamban dan Ketersediaan Air.

iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Lilis Puspitasari

NIM : C15008

Program Studi : S1 Kesehatan Masyarakat

Judul Skripsi : Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan kejadian

Stunting pada Baduta Di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kabupaten

Majene Tahun 2019.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini yang saya tulis benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan

atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya

sendiri.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan,

maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Majene, Agustus 2019

Yang membuat pernyataan,

Lilis Puspitasari

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita

banyak nikmat di dunia ini, termasuk nikmat kesehatan dan kesempatan yang telah

diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada baduta di Desa Bonde

Uatara tahun 2019”. Salam dan shalawat tak lupa pula kita kirimkan kepada

Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah membawa kita ke

masa yang penuh berkah ini.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih memiliki banyak

keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis harapkan

kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis hasil penelitian ini juga dapat

terselesaikan berkat kerja sama, bantuan moril maupun materil, motivasi dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada seluruh pihak atas semua bantuannya. Terkhusus penulis mengucapkan

terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Bapak Joko Junarno dan

Ibu Mujirah serta saudara/saudari kandungku Bambang Panji Adi Mukti, Lestari

Putri Trisnani dan Guspar Putra Arif Pambagia atas dukungan dan bantuannya

baik moril maupun materil kepada penulis selama ini. Juga kepada orang tua serta

mentor terbaik Bapak Lettu Ckm Muhammad Arifin, SKM., yang selalu

memberikan motivasi kepada penulis.

Dan segenap keluarga besar yang selama ini telah memberikan dukungan baik

secara moril maupun materil dari kecil hingga dapat menyelesaikan perkuliahan.

vi
Terlepas dari itu, penulis juga memiliki keterbatasan serta kekurangan dalam

menulis hasil penelitian ini. Untuk itu, penulis juga mengucapkan banyak terima

kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi ini.

2. Bapak H. Sikir Sewai selaku pendiri Yayasaan Hikmat Makassar

3. Bapak H. Abd. Salam Sewai selaku Ketua Yayasan Hikmat Makassar.

4. Bapak Zulkifli, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku Ketua Stikes Bina Bangsa Majene

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis hingga mampu

menyelesaikan pendidikan di Stikes Bina Bangsa Majene.

5. Bapak Ahmad Rifai, SKM., M.Kes selaku Ketua Program Studi S1 Kesehatan

Masyarakat.

6. Ibu Asmuni., S.KM., M.Kes. dan Ibu Sitti Nur Aliah ST, M.Sc selaku

pembimbing I dan II yang senantiasa meluangkan segenap waktu, tenaga, ilmu

dan pikiran disela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan

penulis sehingga hasil penelitian ini dapat terselesaikan.

7. Bapak Junaedi S.Pd, M.Pd selaku Penguji I, dan ibu Wardawati, SKM., M.Kes

selaku penguji II serta yang terakhir dr.Hj Yupi Handayani M.kes, selaku Penguji

III yang memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan penulisan Skripsi ini.

8. Para dosen pengajar dan staff pegawai baik administrasi maupun perpustakaan

khususnya yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama mengikuti

pendidikan di STIKES Bina Bangsa Majene.

9. Kepala Badan Kesbang Kabupaten Majene yang telah memberikan izin

penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian.

vii
10. Kepala Desa Bonde Utara beserta jajarannya yang telah menerima dan

memberikan perhatian serta dukungan yang sangat baik selama penulis

melakukan penelitian.

11. Terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Bapak Ashar S.pd, M.kes dan

kakak Alumni STIKes Ahmad Ihsan Ilham HR. yang memberikan masukan-

masukan positif dalam penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman seperjuangan mahasiswa kesehatan masyarakat Angkatan 2015

Jurusan kesehatan lingkungan atas kebersamaan dan kesetia kawanannya kepada

penulis selama menempuh pendidikan.

13. Terkhusus buat para Kader Posyandu Desa Bonde Utara yang tidak pernah letih

mendampingi penulis selama penelitian.

14. Tidak terlupakan kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sampaikan yang

telah mendukung dan membantu dalam penulisan hasil penelitian ini.

Penulis berharap Allah Subhanahu Wata’ala berkenan membalas segala kebaikan


seluruh pihak yang telah membantu. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya, Amiin.
Wonomulyo,5 Agustus 2019

LILIS PUSPITASARI

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iii

ABSTRAK .............................................................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................ v

KATA PENGANTAR ............................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................ ix

DAFTAR TABEL ................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xii

DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1


B. Rumusan Masalah......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 6

A. Tinjauan tentang Stunting.............................................................. 6


B. Tinjauan tentang Sanitasi Lingkungan........................................... 13
C. Tinjauan tentang Kondisi Rumah ................................................. 17
D. Tinjauan tentang Penggunaan Jamban .......................................... 24
E. Tinjauan tentang Ketersediaan Air ............................................... 26

ix
BAB III KERANGKA KONSEP..... ......................................................... 31

A. Dasar Pemikiran Variabel ............................................................ 31


B. Pola Pikir Variabel ...................................................................... 37
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ................................... 37
D. Hipotesis ...................................................................................... 39

BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 41

A. Jenis dan Variabel Penelitian ........................................................ 41


B. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 41
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 43
D. Instrumen Penelitian ..................................................................... 43
E. Teknik pengumpulan Data ........................................................... 43
F. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data ........................................ 43
G. Teknik Analisis Data ................................................................... 44

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 45

A. Hasil Penelitian ............................................................................. 45


B. Pembahasan ................................................................................ 51
C. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 58

BAB VI PENUTUP ................................................................................. 59

A. Simpulan ...................................................................................... 59
B. Saran ........................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

LAMPIRAN ............................................................................................

BIODATA PENULIS ..............................................................................

x
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

5.1 Distribusi responden Berdasarkan Pendidikan 43

5.2 Distribusi responden Berdasarkan Alamat 44

5.3 Distribusi responden Berdasarkan Kondisi Rumah 44

5.4 Distribusi responden Berdasarkan Penggunaan Jamban 45

5.5 Distribusi responden Berdasarkan Ketersediaan Air 45

Bersih

5.6 Distribusi responden Berdasarkan Hubungan Kondisi 46

Rumah dengan Kejadian stunting

5.7 Distribusi responden Berdasarkan Hubungan 47

Penggunaan Jamban di rumah dengan Kejadian stunting

5.8 Distribusi responden Berdasarkan Hubungan Kersediaan 47

Air Bersih di rumah dengan Kejadian stunting

xii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1 Gambar 1000 Hari Pertama Kehidupan 7

3.1 Skema Kerangka Konsep 36

xiii
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti

TB/U Tinggi Badan Menurut Umur

PB/U Panjang Badan Menurut Umur

SD Standar Deviasi

ASI Air Susu Ibu

PMT Pemberian Makanan Tambahan

MPASI Makanan Pendamping ASI

HPK Hari Pertama Kehidupan

WHO World Health Organization

UNICEF United Nation Emergency Children’s

IPM Indeks Pembangunan Manusia

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

World Health Organisation (WHO) menetapkan batas toleransi stunting

maksimal 20% atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Indonesia tercatat

7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6%.

Sebanyak 18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% dalam kategori pendek. Ini

juga yang mengakibatkan World Health Organisation (WHO) menetapkan

Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk. (Republika.co.id,2018)

Negara kita masuk lima besar negara dengan angka kasus stunting. Posisi

pertama India dengan kasus stunting mencapai 48,2 juta (39%), di urutan kedua

Pakistan 10 juta (45%), di urutan ketiga ada Nigeria dengan jumlah 10,0 juta

(33%), disusul Indonesia menjadi urutan keempat sebesar 8,8 juta (36%), dan

setelah itu di urutan kelima ada Cina dengan 7,4 juta (9%), dari hasil data

tersebut sangat amat disayangkan melihat Indonesia menempati urutan

keempat(Data UNICEF/WHO/World Bank, 2017 dalam Tim Nasional

Percepatan Penanganan Kemiskinan,2018). Peningkatan yang amat signifikan

diluar dari harapan Pemerintah dalam mengurangi angka stunting di Indonesia.

Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status

kesehatan dan gizi masyarakat, pada proporsi status gizi balita dengan gizi

sangat pendek dan pendek dari tahun 2013 hingga 2018 di Indonesia mengalami

peningkatan yaitu data untuk proporsi status gizi balita pendek ditahun 2013

sebesar 19,2% untuk kategori pendek, naik satu persen menjadi 19,3%

1
2

sedangkan untuk proporsi status gizi balita sangat pendek itu sedikit mengalami

penurunan yaitu 18,0% ditahun 2013 dan 11,5% ditahun 2018. Dengan

perbandingan nilai 37,2% (2013) dan 30,8% (2018) jauh dari harapan target

RPJMN 2019 yaitu 29% (Data Riskesdas,2018).

Data menyebutkan bahwa Provinsi Sulawesi Barat (40,1%) menempati

urutan kedua setelah Nusa Tenggara Timur (40,3%), kemudian urutan ketiga

Kalimantan Tengah (38,9%), urutan keempat Nusa Tenggara Barat (37,2%) ,

disusul urutan kelima Kalimantan Barat (36,5%) didata tahun 2017 (Riskesdas,

2017).

Prevalensi stunting selama 10 tahun terakhir menunjukkan tidak adanya

perubahan yang signifikan dan ini menunjukkan bahwa masalah stunting perlu

ditangani segera. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan

30,8 % atau sekitar 7 juta balita menderita stunting masalah gizi lain terkait

dengan stunting yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah

anemia pada ibu hamil (48,9 %), Berat Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2 %),

balita kurus atau wasting (10,2 %) dan anemia pada balita (Bappenas,2018).

Data baru di bulan Desember 2018-Januari 2019 ada enam tempat yang

menjadi daerah Desa stunting berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) di

Kecamatan Pamboang, di urutan pertama Desa Bonde Utara sebanyak 64 anak

kategori sangat pendek dan 62 anak pendek, urutan kedua Desa Banua Adolang

sebanyak 18 anak kategori sangat pendek dan 29 anak pendek, urutan ketiga

Desa Betteng sebanyak 12 anak kategori sangat pendek dan 28 anak pendek,

urutan keempat Desa Adolang Dua dengan kategori sangat pendek 11 anak dan
3

pendek 11 anak, diurutan kelima Desa Pesuolang kategori sangat pendek 2 anak

dan pendek 12 anak, dan urutan terakhir ditempati Desa Lalampanua kategori

sangat pendek 7 anak dan pendek 6 anak. (Data Puskesmas Pamboang, 2018)

Hasil penelitian Maya Adiyanti (2010) dengan judul Pola Asuh, sanitasi

lingkungan, dan pemanfaatan Posyandu dengan kejadian stunting pada baduta di

Indonesia model regresi logistik ganda memperlihatkan bahwa setelah dikontrol

oleh umur baduta anak yang berasal dari keluarga dengan sumber air yang tidak

terlindungi dan jenis jamban yang tidak layak mempunyai resiko untuk menderita

stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga

dengan sumber air terlindung dan jenis jamban yang layak (Adiyanti, 2010).

Hasil penelitian Tjetjep Syarif Hidayat dan Noviati Fuada (2011) dengan

judul Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas, dan Status Gizi Balita di

Indonesia 43,3 persen sampel anak balita berusia 37-59 bulan. Tujuh puluh tiga

persen orang tua balita berusia 26-45 tahun. Orang tua berpendidikan di bawah

SMA(72,1%). Berdasarkan indikator antropometri, 18,4 persen anak balita

mengalami gizi kurang, 36,8 persen pendek (stunting) dan 14,1% kurus. Ada

hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan yang sehat dengan status

gizi anak balita dengan berat badan menurut umur. Hasil kesimpulan: Status gizi

anak balita paling umum yang berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan

morbiditas adalah indikator status gizi berdasarkan berat badan menurut umur

(Hidayat dan Fuada,2011).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian di Desa Bonde Utara dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan


4

dengan Kejadian Stunting pada Baduta di Desa Bonde Utara Kecamatan

Pamboang Kabupaten Majene Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah ada hubungan kondisi rumah dengan kejadian stunting pada baduta di

Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang?

2. Apakah ada hubungan penggunaan jamban dengan kejadian stunting pada

baduta di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang?

3. Apakah ada hubungan ketersediaan air dengan kejadian stunting pada baduta di

Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting

pada baduta di Desa Bonde Utara kecamatan Pamboang kabupaten Majene

Tahun 2019.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui gambaran sanitasi lingkungan di Desa Bonde Utara

Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene Tahun 2019.


5

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan dan

sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pencegahan dan penanganan

kejadian stunting.

2. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan

bagi praktisi kesehatan dan para peneliti yang ingin meneliti.

3. Manfaat Bagi Institusi

Dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya terutama

yang berkaitan dengan hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting

pada baduta.

4. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan pengalaman yang sangat berharga, untuk

meningkatkan pengetahuan dan wawasan sekaligus sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Stunting

1. Definisi Stunting

Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh kembang pada bayi

(0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis

terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek dari

usia sebenarnya. Hal ini terjadi yaitu sejak bayi dalam kandungan hingga pada

masa awal dan setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah

anak berusia 2 tahun (Ramayulis,dkk 2018).

Balita dikatakan pendek jika nilai z-score-nya panjang badan menurut umur

(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2SD/standar deviasi

(stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted). Balita stunted akan memiliki

tingkat kecerdasan yang kurang optimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit,

dan dimasa depan dapat beresiko menurunnya tingkat produktivitas serta

kecerdasan otak. Pada akhirnya secara luas, stunting akan dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya tingkat kemiskinan dimasyarakat.

(Ramayulis,dkk 2018).

Stunting adalah status gizi yang ditentukan berdasarkan indeks tinggi badan

menurut umur (TB/U) dengan ambang batas <-2 standar deviasi (SD) pada baku

rujukan WHO 2005 (Kemenkes, 2011). Stunting dapat juga didefinisikan sebagai

kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan yang ideal dikarenakan nutrisi

yang kurang memadai atau kesehatan buruk pada masa kehamilan awal ibu.

6
7

Biasanya stunting merupakan suatu indikator yang baik dari kekurangan gizi

jangka panjang baik dikalangan anak. (World Bank, 2006)

Gambar 2.1 Seribu Hari Pertama Kehidupan ( 1000 HPK)

Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) adalah masa selama 270 hari

(sembilan bulan) didalam kandungan ditambah 730 hari (dua tahun) kehidupan

awal seorang anak. Mengapa 1000 HPK disebut juga dengan Golden Period

(periode emas/kritis) dalam mengoptimalkan tumbuh kembang dan menentukan

kualitas kehidupan dikemudian hari. Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)

sangatlah penting karena diwaktu delapan minggu pertama sejak pembuahan

ditahap inilah terjadi pembentukan organ tubuh vital seperti jantung, otak, dan

ginjal. Perkembangan organ vital yang penting akan terjadi di trisemester awal

sampai akhir kehamilan, berlanjut hingga anak berusia sekitar dua tahun. Hal

yang perlu diwaspadai selama 1000 HPK adalah periode ketika kebutuhan nutrisi

anak meningkat cepat untuk mendukung pertumbuhan fisik dan perkembangan


8

mental. Pada periode ini ibu dan anak sangat beresiko terkena malnutrisi dan

infeksi dari luar tubuh.

Nutrisi pada 1000 HPK penting karena masa depan anak (bahkan bangsa ini)

ditentukan oleh kualitas nutrisi pada 1000 HPK. Dimasa ini tubuh anak (termasuk

otak) berkembang sangat cepat dan dengan nutrisi yang baik dan tepat akan

menjadi pondasi yang sangat penting. Kegunaan nutrisi di 1000 HPK memiliki

kegunaan dalam jangka pendek: membantu perkembangan otak anak,

mengoptimalkan pertumbuhan tubuh anak, mengatur metabolisme pada tubuh

anak. Dalam jangka panjang: mengoptimalkan kemampuan kognitif dan prestasi,

mengoptimalkan kekebalan tubuh, dan kapasitas kerja, menurunkan risiko

berbagai penyakit diantaranya diabetes, stroke, penyakit jantung, obesitas, dan

kanker.

Jika nutrisi di 1000 HPK tidak cukup bisa memiliki efek jangka panjang

yang sulit diperbaiki setelah anak berusia dua tahun. Perkembangan otak manusia

terjadi hanya sampai usia dua tahun. Itulah mengapa hal Ini sangat menentukan

kualitas hidup anak seumur hidupnya, dampak malnutrisi di 1000 HPK bersifat

permanen dan akan sulit diperbaiki. (Priyatna dan Asnol, 2014)

2. Penyebab stunting

Stunting disebabkan oleh beberapa faktor multidimensi diantaranya praktik

pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu

mengenai kesehatan dan gizi pra masa kehamilan serta pasca ibu melahirkan.

Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting

perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dari anak. Peluang
9

intervensi kunci yang terbukti efektif diantaranya adalah intervensi yang terkait

praktik-praktik pemberian makanan pada anak dan pemenuhan gizi ibu baduta

(Ramayulis,dkk 2018).

Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa hanya 22,8%

dari anak usia 0-6 bulan yang menyusui secara eksklusif dan hanya 36,6% anak

usia 7-23 bulan yang menerima makanan pendamping ASI (MPASI) yang sesuai

dengan praktik-praktik yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu,

frekuensi, dan kualitas. (Ramayulis,dkk 2018)

MPASI diberikan atau mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6

bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,

MPASI juga berfungsi untuk dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi yang tidak

dapat lagi disokong oleh ASI serta membentuk daya tahan tubuh dan

perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan dan minuman. Oleh

karena itu masyarakat dan petugas kesehatan perlu memahami pentingnya ASI

eksklusif dan praktik-praktik pemberian makan bayi dan anak yang tepat serta

memberikan dukungan kepada para ibu (Ramayulis,dkk 2018).

Menurut UNICEF penyebab masalah gizi pada anak terbagi menjadi

penyebab langsung dan penyebab tak langsung yaitu: konsumsi makanan, dan

status infeksi (penyebab langsung) dan ketersediaan serta pola konsumsi rumah

tangga, pola asuh pemberian ASI/MPASI, pola asuh psikososial penyediaan

MPASI, kebersihan sanitasi, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan

(penyebab tak langsung). Penyebab atau akar masalahnya yaitu daya beli, akses

pangan, akses informasi, akses pelayanan, kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi
10

serta pendidikan, pembangunan ekonomi, serta politik sosial budaya

(UNICEF,1990).

Stunting disebabkan oleh faktor lainnya seperti multidimensi ( Kemenkes,

Bank Dunia 2017 dan susenas diberbagai tahun dalam Penanganan Stunting

Terpadu, 2018) yang diantaranya:

a. Praktek pengasuhan ibu yang kurang baik. Kurangnya pengetahuan

tentang gizi sebelum pada masa kehamilan, 60% dari anak 0-6 bulan tidak

mendapatkan ASI eksklusif, 2 dari 3 anak 0-24 bulan tidak menerima

MPASI.

b. Terbatasnya pelayanan kesehatan dimasyarakat termasuk layanan ANC-

ante natal care, Post Nata dan pembelajaran dini yang berkualitas. 1 dari 3

anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD, 2 dari 3 ibu hamil belum

mengkonsumsi suplemen zat besi yang cukup, menurunnya tingkat

kehadiran anak di posyandu (dari 79% ditahun 2007 menjadi 64% ditahun

2013).

c. Kurangnya akses makan yang bergizi, 1 dari 3 ibu hamil anemia, pada

makanan bergizi mahal.

d. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi, 1 dari 5 rumah tangga masih BAB

diruang terbuka atau tempat umum lainnya, 1 dari 3 rumah tangga belum

memiliki akses ke air minum bersih

3. Pencegahan stunting

a. Intervensi Spesifik
11

Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik yang

ditujukan dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Intervensi gizi

spesifik untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0-

6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 7-23

bulan. Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka memahami masalah

dan mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing.

Pemberian konseling gizi seperti penyuluhan kepada individu dan keluarga

dapat membantu untuk mengenali masalah kesehatan gizi, memahami

penyebab terjadinya masalah gizi, dan membantu individu serta keluarga

memecahkan masalah sehingga terjadi perubahan perilaku untuk dapat

menerapkan perubahan perilaku makan yang telah disepakati bersama

(Ramayulis,dkk 2018).

Penyebab langsung dari stunting sebesar 30% yang ikut berkontribusi

dalam kejadian stunting yaitu status gizi yang meliputi asupan pangan/gizi

seperti bagaimana asupan nutrisi dari ibu saat 1000 HPK. Kesehatan ibu dan

bayi dalam masa kehamilan untuk kesehatan ibu dan bayi serta pemberian

tablet tambah darah agar ibu tidak mengalami anemia atau penyakit yang

dapat mengganggu tumbuh kembang bayi saat dalam kandungan (Tim

Nasional Percepatan Penanganan Kemiskinan,2018).

Intervensi spesifik yang bisa diberikan berupa, memberikan penanganan

khusus pada balita gizi buruk, memberikan suplementasi, mikronutrient,dan

fortifikasi. Serta upaya-upaya pencegahan dan untuk mengurangi gangguan

secara langsung, kegiatan ini lebih menitikberatkan pada sektor kesehatan


12

secara umum, kegiatan yang dapat diberikan antara lain: PMT ibu hamil dan

balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu.Sasarannya ialah khusus

kelompok 1000 HPK (Ibu hamil, ibu menyusui, dan anak 0-23 bulan) (Tim

Nasional Percepatan Penanganan Kemiskinan,2018).

b. Intervensi Sensitif

Aksebilitas pangan/gizi, pola asuh dan pengelolaan air/sanitasi yankes

menjadi penyebab tak langsung dari stunting yang menjadi penyumbang

terbesar dalam hal kejadian stunting di Indonesia yaitu sebanyak 70%.

Dalam hal ini swasembada pangan, pengetahuan atau cara pola asuh ibu pada

balita, ketersediaan serta pengelolaan air bersih dalam mencukupi

terpenuhnya kebutuhan air bersih untuk masak, mandi, dan kakus (Tim

Nasional Percepatan Penanganan Kemiskinan,2018).

Pelayanan kesehatan dan kesiapsiagaan para tenaga kesehatan dalam

memberikan pelayanan terpadu di lingkungan rumah warga, seperti peran

posyandu, Polindes dan pustu ikut berperan aktif dalam hal ini. Intervensi

sensitif yang dapat diberikan ialah menjaga ketahanan pangan agar stabil,

perbaikan sistem kesehatan, ketersediaan jaminan sosial untuk masyarakat

kurang mampu, pengelolaan air bersih dan sanitasi, gender dan pembangunan,

pendidikan bagi remaja putri khususnya pendidikan kesehatan, terakhir

kesiapan dalam menghadapi perubahan iklim (Tim Nasional Percepatan

Penanganan Kemiskinan,2018).

Upaya –upaya lain yang dapat dilakukan dalam mencegah dan mengurangi

angka stunting secara tidak langsung, melakukan berbagai kegiatan


13

pembangunan pada umumnya yang menyangkut non-kesehatan. Kegiatan

dapat berupa: penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan dan

kesetaraan gender, sasarannya masyarakat umum, tidak harus untuk 1000 HPK

(World Bank 2011, di adaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008 dalam (Tim

Nasional Percepatan Penanganan Kemiskinan,2018).

B. Tinjauan Tentang Sanitasi Lingkungan

Sanitasi ialah upaya pencegahan kesehatan dengan cara memelihara dan

melindungi kebersihan lingkungan dari subjek berbahaya lainnya, misalnya

menyediakan air bersih untuk keperluan cuci tangan, menyediakan tempat

sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Menurut World

Health Organisation adalah pengawasan terhadap penyediaan air minum

masyarakat, pembuangan tinja dan air limbah, pembuangan sampah,

pengendalian vektor penyakit, kondisi perumahan, penyediaan dan keselamatan

lingkungan kerja.

Cabang ilmu sanitasi lingkungan sendiri ialah bagian dari ilmu kesehatan

masyarakat yang meliputi upaya individu atau masyarakat untuk mengontrol dan

mengendalikan lingkungan hidup sekitar dari agent penyakit berbahaya baik bagi

kesehatan individu,lingkungan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup

manusia (Sumantri,2010).

Sanitasi lingkungan sendiri pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap

terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan

lingkungan tersebut antara lain: perumahan, pembuangan kotoran manusia


14

(tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air

limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. (Notoatmodjo,2005

dalam Puspitawati dan Sulistyarini, 2011)

Sanitasi lingkungan juga merupakan faktor yang menentukan status gizi anak.

Sanitasi lingkungan yang buruk juga dapat memicu terjadinya penyakit infeksi

yang akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat

sanitasi yang tidak memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi

yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan (dalam Ichwanuddin,2016).

Lingkungan hidup pada manusia maupun makhluk hidup lainnya dapat

dibedakan menjadi dua (Sumantri, 2010) yaitu :

1. Lingkungan Hidup Internal

Lingkungan hidup internal adalah proses fisiologis dan biokimia yang

berlangsung dalam tubuh manusia pada saat tertentu yang juga mampu

menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan yang terjadi diluar tubuh untuk

kelangsungan hidupnya atau disebut juga bersifat homeostatis.

2. Lingkungan Hidup Eksternal

Lingkungan hidup eksternal adalah segala sesuatu yang berupa benda

hidup atau mati, ruang energi, keadaan sosial, ekonomi, maupun budaya

yang dapat membawa pengaruh terhadap perikehidupan manusia

dipermukaan bumi.

Secara rinci Lingkungan Hidup Eksternal merupakan lingkungan diluar

tubuh manusia yang terdiri tiga komponen, diantaranya: Lingkungan Fisik :


15

lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda air seperti air, udara, tanah,

cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik

berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta

memgang peranan yang penting dalam proses terjadinya penyakit pada

masyarakat. Contoh: kekurangan persediaan air bersih terutama dapat

menimbulkan penyakit diare dilingkungan masyarakat(Sumantri, 2010).

Lingkungan Biologis : lingkungan biologis bersifat biotik atau benda

hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit,

serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir,

infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediate. Hubungan manusia dengan

lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan keadaan tertentu saat terjadi

ketidakseimbangan diantara hubungan tersebut, manusia rentan terhadap

penyakit (Sumantri, 2010).

Lingkungan Sosial : lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat,

kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, dan gaya hidup, pekerjaan,

kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik. Banyak faktor yang

dapat mempengaruhi lingkungan sosial diantaranya dapat melalui berbagai

media seperti radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila

manusia tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, akan

menimbulkan konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala psikomatik seperti

stres, insomnia, depresi, dan lain-lain (Sumantri, 2010).

Hal- hal yang menyangkut sanitasi (Puspitawati dan Sulistyarini, 2011):

1. Ventilasi
16

Situasi perumahan penduduk dapat diamati melalui perumahan yang

berada didaerah pedesaan dan perkotaan. Perumahan berpenghuni banyak

dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat

mempermudah adanya transisi penyakit serta mempengaruhi kesehatan

penghuninya.

2. Pencahayaan.

Pencahayaan yang cukup untuk penerangan ruangan didalam rumah

merupakan kebutuhan kesehatan manusia, pencahayaan dapat diperoleh

dari pencahyaan sinar matahari yang masuk kedalam melalui jendela.

Lubang terbukadan bagian rumah yang terkena sinar matahari hendaknya

tidak terhalang oleh benda lain. Cahaya matahari inipun berguna untuk

penerangan, juga dapat mengurangi kelembapan udara, memberantas

nyamuk, membunuh kuman penyebab penyakit, pencahayaan dari lampu

atau yang lain berguna untuk penerangan suatu ruangan (Suyono,2005

dalam Puspitawati dan Sulistyarini, 2011)

3. Lantai

Pada rumah yang berlantai tanah kelembapan lainnya akan lebih tinggi

dibandingdingkan dengan yang diplester semen. Dinding rumah harus

bersih, kering, dan kuat. Dinding selain untuk penyangga, juga untuk

melindungi dari panas, hujan, dan sebaiknya untuk dinding rumah dibuat

dari batu bata

4. Kepadatan penghuni
17

Resiko yang ditimbulkan oleh kepadatan penghuni rumah terhadap

terjadinya suatu penyakit (Puspitawati dan Sulistyarini, 2011)

5. Penyediaan Air Bersih

Air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, yang kualitasnya

memenuhi persyaratan kesehatan yang dapat diminum apabila telah

dimasak. Air untuk konsumsi rumah tangga yang didapatkan dari

sumbernya harus diolah terlebih dahulu sehingga memenuhi syarat

kesehatan.

6. Pembuangan Kotoran

Tempat pembuangan kotoran manusia (jamban) merupakan hal yang

penting dan harus selalu bersih, mudah dibersihkan, cukup cahaya, cukup

ventilasi, harus rapat sehingga terjamin rasa aman bagi pemakaianya, dan

jaraknya cukup jauh dari sumber air.

7. Pembuangan Air Limbah

Pembungan air limbah atau sampah, air limbah merupakan hasil dari

kegiatan manusia, air kotor dari dapur, kamar mandi/WC, perusahaan,

termasuk pula air kotor permukaan tanah. Pembuangan air limbah yang

kurang memadai dapat menjadi sarang penularan penyakit dan dapat

memberikan situasi rumah yang menjadi lembab.

C. Tinjauan tentang Kondisi Rumah

Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.

Rumah atau tempat tinggal manusia, seiring perkembangan zaman banyak

mengalami perkembangan bentuk. Pada zaman purba manusia masih tinggal di


18

gua-gua kemudian seiring berkembangnya zaman, mereka lalu mendirikan rumah

tempat tinggal di hutan dan dibawah pohon. Sampai pada abad modern seperti

sekarang ini manusia sudah bisa membangun rumah (tempat tinggalnya)

bertingkat dan dilengkapi dengan peralatan yang serba modern. Sebelum

perkembangan zaman manusia yang modern ini masing-masing individu telah

membangun sendiri rumahnya, dengan kretifitas serta ide mereka masing-masing

berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah mereka

dengan bahan yang ada (local material). (Notoatmodjo, 2007)

Rumah atau tempat tinggal yang kumuh/buruk dapat mendukung terjadinya

penularan penyakit dan gangguan kesehatan, (Chandra, 2007) seperti:

1. Infeksi saluran pernapasan contoh: common cold, TBC, Influenza,

campak, batuk rejan (pertusis), dan sebagainya.

2. Infeksi pada kulit contoh: skabies, ring worm, impetigo dan lepra.

3. Infeksi akibat infestasi Tikus contoh: pes, dan leptosirosis contoh lainnya:

infeksi saluran pencernaan (vektor lalat), relapsing fever (kutu busuk),

dan dengue, malaria serta kaki gajah (vektor nyamuk).

4. Kecelakaan contoh: bangunan yang runtuh, terpeleset, patah tulang, dan

gegar otak.

5. Mental contoh: neurosis, gangguan kepribadian, psikosomatis, dan ulkus

peptikum.

Adapun kriteria rumah sehat yang tercantum dalam Residential

Environment dari WHO dalam Chandra,2007 antara lain :


19

1. Harus dapat melindungi dari cuaca ekstrim seperti hujan, panas, dingin

dan juga berfungsi sebagai tempat untuk istirahat.

2. Mempunyai tempat-tempat untuk tidur atau kamar tidur, masak, mandi,

mencuci, kakus, dan kamar mandi.

3. Dapat mencegah dari bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran.

4. Bebas dari bahan bangunan berbahaya.

5. Terbuat dari bahan bangunan yang kuat/permanen dan dapat melindungi

penghuninya dari gempa, keruntuhan, dan penyakit menular.

6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi.

Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA harus memenuhi

persyaratan (Kasjono,2011) antara lain:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

2. Memenuhi kebutuhan psychologis

3. Mencegah terjadinya kecelakaan

4. Mencegah penularan penyakit

Perumahan harus menjamin kesehatan penghuninya dalam arti luas. Oleh

sebab itu diperlukan syarat perumahan (Mukono, 2006) sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan Fisiologis

Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu dalam rumah

yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan kebisingan, ventilasi

memenuhi syarat, dan tersedianya ruang yang optimal untuk bermain anak.

Suhu ruangan dalam rumah yang ideal yaitu berkisar 18-20 ºC dan suhu

tersebut dipengaruhi oleh : suhu udara luar, pergerakan udara, dan


20

kelembapan udara ruangan. Pencahayaan harus cukup baik waktu siang

maupun malam hari, insentitas cahaya pada suatu ruangan pada jarak 85 cm

di atas lantai maka insentitas penerangan minimal tidak boleh kurang dari 5

food-candle. Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan udara segar

dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup.

Berdasarkan peraturan bangunan Nasional, luas bersih dari jendela/lubang

hawa ±1/10 dari luas lantai ruangan, tinggi minimal 1,95 m dari permukaan

lantai. Lubang hawa yang berlokasi dibawah langit-langit ±35 % luas lantai

ruang yang bersangkutan. Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam

rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut,

berdasarkan Dir. Higiene dan Sanitasi Depkes RI, 1993 maka kepadatan

penghuni dikategorikan memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan

tinggi (lebih 2 orang per 8 m² dengan ketentuan anak <1 tahun tidak

diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah)

2. Memenuhi kebutuhan psikologis

Faktor kebutuhan psikologis berfungsi untuk menjamin “privacy”atau ruang

pribadi bagi penghuni rumah. Adanya ruangan tersendiri bagi remaja dan

ruangan untuk berkumpul keluarga anggota keluarga serta ruang tamu.

3. Perlindungan terhadap kecelakaan atau kebakaran

Agar terhindar dari kecelakaan maka konstruksi rumah harus kuat dan

memenuhi syarat bangunan, didesain sesuai pencegahan terjadinya kebakaran

dan kecelakaan mekanis lainnya .

4. Perlindungan terhadap penularan penyakit


21

Untuk mencegah penularan penyakit diperlukan sarana air bersih, fasilitas

pembuangan air kotor, fasilitas penyimpanan makanan, menghindari adanya

intervensi dari serangga dan hama atau hewan lain yang dapat menularkan agent

penyakit.

Syarat-syarat rumah yang sehat (Notoatmodjo,2007) :

1. Bahan bangunan

Jenis lantai dari ubin atau semen sangat baik namun tidak cocok untuk

kondisi ekonomi dipedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah orang

yang mampu di pedesaan, dan inipun mahal. Maka dari itu, untuk lantai rumah

daerah pedesaan cukup tanah biasa yang dipadatkan. Yang penting adalah lantai

tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak lembab pada musim hujan. Agar

memperoleh struktur lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh

dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda yang berat, dan

dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu menimbulkan sarang

penyakit.

c. Dinding: tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya

kurang cocok untuk daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding

atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup maka lubang pada dinding atau

papan tersebut dapat menjadi ventilasi serta penerangan alamiah.

d. Atap genteng umum digunakan di daerah perkotaan, maupun di pedesaan.

Atap genteng mungkin cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh

masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuat sendiri. Namun demikian

banyak masyarakat pedesaaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun
22

rumbai atau dau kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng atau asbes tidak

cocok untuk rumah pedesaan, di samping mahal juga menimbulkan suhu panas

di dalam rumah.

e. Lain-lain (tiang,kaso,reng) kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng

adalah umum di pedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama.

Tetapi perlu diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus

yang baik. Untuk menghindari ini maka cara memotongnya harus menurut ruas-

ruas bambu tersebut, apabila tidak pada ruasnya, maka lubang pada ujung-ujung

bambu yang digunakan untuk kaso tersebut di tutup dengan kayu.

2. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan O² yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

Apabila lubang ventilasi rumah kurang dapat menyebabkan kelembaban udara

dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Apabila lembab maka dapat menjadi media yang baik untuk

aktivitas penularan bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).

Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena dsitu selalu terjadi aliran udara

terus menerus. Fungsi lain ialah agar menjaga suhu ruangan rumah selalu tetap

dalam kelembaban yang optimum.

Ada dua macam ventilasi, yakni:


23

a. Ventilasi alami,tempat keluar masuknya aliran udara dalam ruangan tersebut

dan terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang

pada dinding, dan sebagainya.

b. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk

mengalirkan udara tesebut, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap udara.

3. Cahaya

Rumah yang sehat harus memerlukan cahaya yang cukup. Kurangnya

cahaya yang masuk kedalam rumah, terutama cahaya matahari, disamping

kurang nyaman pada penglihatan, juga merupakan media atau tempat yang baik

untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Cahaya dapat dibedakan

menjadi 2, yakni:

a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari sangat penting karena

dapat membunuh bakteri-bakteri dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh

karena itu rumah yang sehat harus mempunyai pencahayaan yang cukup..

Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang kurangnya 15%

sampai 20% dari luas lantai yang terdapat didalam ruangan. Perlu diperhatikan

dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk

kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela tidak hanya

sebagai ventilasi,akan tetapi juga sebagai jalan masuk cahaya.Cahaya buatan

yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak

tanah, listrik, dan sebagainya.


24

4. Luas bangunan rumah

Luas lantai rumah sehat harus cukup untuk penghuninya, artinya luas lantai

tersebut harus sesuai dengan jumlah penghuni rumah . Luas bangunan yang

tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan meneyebabkan perjubelan

(Overcrowded). Hal ini dapat menyebabakan kurangnya konsumsi Oksigen, dan

apabila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, maka akan mudah

menular kepada angggota keluarga lainnya. Luas bangunan yang optimum

adalah apabila dapat menyediakan 2,5 m²- 3 m² untuk setiap orang (tiap anggota

keluarga).

5. Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut:

a. Penyediaan air bersih cukup

b. Pembuangan tinja

c. Pembuangan air limbah

d. Pembuangan sampah

e. Fasilitas dapur

f. Ruang berkumpul keluarga

Untuk rumah di sekitar pedesaan lebih cocok adanya serambi ( serambi muka

atau belakang). Disamping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu

diadakan tersendiri untuk rumah pedesaan, yakni:

a. Gudang merupakan tempat penyimpanan hasil panen. Gudang dapat berupa

bagian dari rumah tempat tinggal atau bangunan tersendiri


25

b. Kandang ternak, oleh karena ternak adalah bagian hidup para petani, maka

kadang-kadang ternak tersebut ditaruh didalam rumah.

D. Tinjauan tentang Penggunaan Jamban Keluarga

Jamban merupakan suatu tempat ataupun ruangan yang dilengkapi

pembuangan kotoran manusia yang terdiri dari tempat jongkok, tempat duduk

dengan leher seperti angsa (cemplung) dilengkapi unit penampungan kotoran

dan air bersih untuk membersihkan kotoran (Proverawati dan Rahmawati, 2012).

Jamban yang sehat dan efektif yaitu untuk memutus mata rantai penularan

penyakit, jamban sehat harus dibangun, dimiliki dan digunakan oleh keluarga

dengan penempatan (di dalam atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh

penghuni rumah, serta memenuhi syarat kesehatan yang telah ditentunkan.

(Anonim,2014)

Setiap rumah hendaknya memiliki jamban sendiri yang merupakan salah satu

hal penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan lingkungan. Jamban keluarga

ialah suatu tampat atau bangunan yang biasa digunakan oleh anggota keluarga

untuk membuang dan mengumpulkan kotoran/najis yang tersimpan dalam suatu

tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit serta tidak

mengotori lingkungan pemukiman. (Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan

PLP, 1986 dalam Masjuniarty,2010)

Macam-macam Jamban pedesaan di Indonesia dapat digolongkan menjadi

dua macam yaitu jamban tanpa leher angsa dan jamban dengan leher angsa.

(Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan PLP, 1986 dalam Masjuniarty,2010)


26

1. Jamban tanpa leher angsa

Jamban jenis ini mempunyai cara pembuangan kotoran: bila kotoran dibuang

ke tanah, jamban ini sering disebut jamban cemplung/cubluk. Bila kotoran

dibuang ke empang, jamban ini disebut jamban empang. Bila kotoran dibuang

ke sungai jamban ini disebut jamban sungai. Bila kotoran dibuang ke laut, maka

jamban ini disebut jamban laut.

2. Jamban dengan leher angsa

Jamban ini mempunyai dua cara yaitu: tempat jongkok leher angsa berada

langsung diatas galian kotoran, tempat jongkok leher angsa yang tidak berada

langsung diatas galian penampung kotoran. (Ditjen Pengendalian Penyakit

Menular dan PLP, 1986 dalam Masjuniarty,2010).

Syarat jamban sehat (Proverawati dan Rahmawati, 2012) adalah:

1. Jauh dari sumber air minum sehingga tidak mencemari sumber air

( jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan

minimal 10 meter )

2. Tidak memiliki bau yang tidak biasa/ berbau

3. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh vektor serangga dan tikus

4. Tidak mencemari tanah sekitar

5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7. Penerangan dan ventilasi yang cukup

8. Lantai kedap air dan luas ruanagan memadai

9. Tersedia air,sabun dan alat pembersih


27

E. Tinjauan Ketersediaan Air Bersih

Air sanitasi dan higiene berperan penting dalam mencegah sedikitnya

9,1% jumlah penderita penyakit dan menyelamatkan 6,3% jumlah kematian

penduduk bumi. Sekitar 1,1 miliar penduduk bumi tidak mendapatkan pasokan

air bersih, sedangkan lebih dari 35% penduduk bumi ( sekitar 2,4 miliar orang )

belum mendapatkan fasilitas sanitasi yang baik. Setiap tahunnya 2 juta orang

meninggal dunia akibat penyakit-penyakit diare, sebagaian besar anak-anak

berumur dibawah lima tahun. Sebagian terbesar korban diare adalah penduduk

negara –negara berkembang yang hidup dalam keadaan sangat miskin di

tempat-tempat pemukiman di pinggiran kota atau penduduk yang hidup di

daerah pedesaan (Soedarto, 2013).

Untuk mengurangi peningkatan penyakit akibat berbagai faktor yang

beresiko ini, penyediaan air bersih yang cukup, meningkatkan fasilitas

pembuangan limbah kotoran manusia yang baik, dan pendidikan kesehatan

untuk menjalankan kebiasaan hidup yang higienis merupakan modal penting

yang selalu diupayakan (Soedarto, 2013).

Kebutuhan manusia pada akses air bersih sangat beragam diantaranya

untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam-macam cucian), dan

sebagainya. WHO mengemukankan di negara-negara maju setiap individu

memerlukan air antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di negara-negara

berkembang, seperti Indonesia setiap individu memerlukan air antara 30-60

liter per hari (Notoatmodjo, 2007).


28

Diantara fungsi dan kegunaan air bagi individu adalah kebutuhan untuk

minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum air harus mempunyai

persyaratan khusus yang sesuai standarisasi. Agar air tersebut tidak menjadi

sumber penyakit bagi manusia. Menjaga kebersihan sumber air bersih

merupakan hal penting. Jarak letak sumber air dengan jamban dan tempat

pembuangan sampah ±10 meter. Sumber mata air harus dilindungi dari sumber

yang dapat mencemari air, sumur gali, sumur pompa, atau kran umum dan mata

air harus dijaga bangunannya agar tidak rusak seperti lantai sumur tidak boleh

retak, bibir sumur harus diplester/disemen, dan sumur sebaiknya diberi

penutup. Dam dijaga kebersihannya seperti tidak ada bercak-bercak kotoran,

tidak berlumut pada lantai/lantai dinding sumur. Ember/gayung pengambil air

harus tetap bersih dan diletakkan dilantai (ember/gayung digantung ditiang

sumur). Meski terlihat bersih, air belum tentu bebas kuman penyakit, kuman

penyakit dalam air mati pada suhu 100 derajat C (saat mendidih), (Proverawati

dan Rahmawati, 2012).

Air yang di peruntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari

sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber air yang bersih dan

aman tersebut (Sumantri, 2010) , antara lain:

a. Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit

b. Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun

c. Tidak berasa dan tidak berbau

d. Dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah

tangga
29

e. Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau

Departemen Kesehatan RI.

Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal artinya

perorangan dan hygeiene berarti sehat. Kebersihan seseorang adalah suatu

tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan sesorang untuk

kesejahteraan fisik dan psikis.Personal Hygiene adalah suatu tindakan atau

usaha dalam memelihara kebersihan dan kesehatan perorangan untuk

kesejahteraan fisik dan psikis. Bila seseorang sakit biasanya yang harus

diperhatikan ialah masalah kebersihan perorangannya kurang diperhatikan, hal

ini terjadi karena mengganggap masalah kebersihan diri ini adalah masalah

sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan dapat mempengaruhi kesehatan

secara umum. (Rakhmawati,2014 dalam kompasiana)

Pengendalian vektor adalah metoda untuk mengurangi jumlah atau

memberantas mamalia, unggas, serangga dan artropoda lainnya yang dapat

menularkan patogen penyebab penyakit (Soedarto,2013). Indonesia sendiri

penyakityang disebabkan melalui gigitan serangga merupakan penyakit

endemis pada daerah tertentu, diantaranya demam berdarah dengue (DBD),

malaria, dan kaki gajah. Belakangan ini muncul penyakit baru yaitu virus

chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Selain itu

terdapat penyakit saluran pencernaan, seperti disentri, kolera, yang ditularkan

secara mekanis oleh lalat rumah, dan yang rentan terkena penyakit ini ialah

anak-anak (Chandra,2007)
30

Pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan pengaruh negatif

bagi kesehatan, lingkungan, maupun bagi sosial ekonomi dan budaya

masyarakat, (Chandra,2007) seperti berikut:

1. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan menjadikan sampah sebagai

tempat perkembangbiakan vektor penyakit, seperti lalat, atau tikus.

2. Insidensi penyakit demam berdarah dengue akan meningkat kerena vektor

penyakit hidup dan berkembang biak dalam sampah kaleng ataupun ban

bekas yang berisi air hujan.

3. Terjadinya kecelakaan akibat benda tajam seperti besi, kaca, dan sebagainya.

4. Gangguan psikosomatis misalnya sesak napas, insomnia, stres dan alin

sebagainya.Suatu pengolahan sampah belum bisa dikatakan berhasil

keseluruhannya dengan baik, tanpa menyelesaikan persoalannya/ mengatasi

permasalahan hingga sampai disposalnya dengan baik, ada 2 metode

pembuangan sampah yaitu:

1. Metode yang tidak memuaskan diantaranya: pembuangan sampah

yang terbuka (open dumping), pembuangan sampah dalam air

(dmping in water), pembakaran sampah dirumah-rumah (burning on

premises).

2. Metode yang memuaskan diantaranya: pembuangan sampah dengan

sistem kompos (composting), pembakaran sampah melalui

incenerator, pembuangan sampah dengan maskud menutup tanah

secara sanitair (sanitary landfill) (Mukono, 2006).


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel

1. Stunting

Hasil data dari Puskesmas Pamboang menurut Nama dan Alamat dari Ibu

Baduta yang akan dijadikan sampel penelitian, hasil pengukuran baduta diukur

dengan perhitungan (WHO 2005) dilihat dari tinggi badan menurut umur

(TB/U) dimana data balita yang diambil dari bulan Desember 2018 sampai

Januari 2019.

2. Sanitasi Lingkungan

Cabang Ilmu sanitasi lingkungan sendiri ialah bagian dari ilmu

kesehatan masyarakat yang meliputi upaya individu atau masyarakat untuk

mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup sekitar dari agent penyakit

berbahaya baik bagi kesehatan individu,lingkungan serta yang dapat

mengancam kelangsungan hidup manusia (Sumantri,2010).

Sanitasi lingkungan sendiri pada hakekatnya adalah suatau kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap

terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan

lingkungan tersebut antara lain: perumahan, pembuangan kotoran manusia

(tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air

limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. (Notoatmodjo,2005

dalam Puspitawati dan Sulistyarini, 2011)

31
32

3. Kondisi Rumah

Hal- hal yang menyangkut sanitasi (Puspitawati dan Sulistyarini, 2011):

1. Ventilasi

Situasi perumahan penduduk dapat diamati melalui perumahan yang

berada didaerah pedesaan dan perkotaan. Perumahan berpenghuni banyak

dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dapat

mempermudah dan memumgkinkan adanya transisi penyakit dan

mempengaruhi kesehatan penghuninya (Puspitawati dan Sulistyarini, 2011),

Ada dua macam ventilasi, (Notoatmodjo, 2007) yakni:

a. Ventilasi alami, tempat keluar masuknya udara dalam ruangan

tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin,

lubang-lubang pada dinding, dan sebagainya.

b. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk

mengalirkan udara tesebut, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap

udara.

2. Pencahayaan

Pencahayaan yang cukup untuk penerangan ruangan didalam rumah

merupakan kebutuhan kesehatan manusia, pencahayaan dapat diperoleh dari

pencahyaan dari sinar matahari, pemcahyaan dari sinar matahari masuk

kedalam melalui jendela. Celah-celah dan bagian rumah yang terkena sinar

matahari hendaknya tidak terhalang oleh benda lain. Cahaya matahari inipun

berguna untuk penerangan, juga dapat mengurangi kelembapan udara,


33

memberantas nyamuk, membunuh kuman penyebab penyakit, pencahayaan

dari lampu, atau yang lain berguna untuk penerangan suatu ruangan

(Suyono,2005 dalam Puspitawati dan Sulistyarini, 2011)

Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, (Notoatmodjo,2007) yakni:

a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya

baksil TBC. Oleh karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan

masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela)

luasnya sekurang kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang

terdapat didalam ruangan. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela

diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk kedalam

ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini,

disamping sebagai ventilasi,juga sebagai jalan masuk cahaya.

Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,

seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.

3. Lantai

Pada rumah yang berlantai tanah kelembapan lainnya akan lebih

tinggi dibandingdingkan dengan yang diplester (Puspitawati dan Sulistyarini,

2011). Hal ini sama halnya menurut Notoatmodjo,2007 lantai ubin atau

semen adalah baik namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan.

Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di

pedesaan, dan inipun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan

cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting di sini adalah
34

tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan.

Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh

dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan dengan benda-benda

yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu

menimbulkan sarang penyakit.

4. Dinding

Dinding rumah harus bersih, kering, dan kuat. Dinding selain untuk

penyangga, juga untuk melindungi dari panas, hujan, dan sebaiknya untuk

dinding rumah dibuatkandari batu bata (Puspitawati dan Sulistyarini,

2011).

5. Kepadatan penghuni

Resiko yang ditimbulkan oleh kepadatan penghuni rumah terhadap

terjadinya penyakit (Puspitawati dan Sulistyarini, 2011) .

6. Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan, maupun di

pedesaan. Di samping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga

dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuat

sendiri. Namun demikian banyak masyarakat pedesaaan yang tidak mampu

untuk itu, maka atap daun rumbai/rumbia atau daun kelapa pun dapat

dipertahankan. Atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di

samping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.

7. Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat

Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut:

a. Penyediaan air bersih cukup


35

b. Pembuangan tinja

c. Pembuangan air limbah

d. Pembuangan sampah

e. Fasilitas dapur

f. Ruang berkumpul keluarga

Untuk rumah di pedesaan lebih cocok adanya serambi ( serambi muka

atau belakang). Disamping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain

yang perlu diadakan tersendiri untuk rumah pedesaan, yakni:

a. Gudang merupakan tempat penyimpanan hasil panen. Gudang dapat

berupa bagian dari rumah tempat tinggal atau bangunan tersendiri

b. Kandang ternak, oleh karena ternak adalah bagian hidup para petani,

maka kadang-kadang ternak tersebut ditaruh didalam rumah.

8. Penggunaan Jamban

Setiap rumah hendaknya memiliki jamban sendiri yang merupakan

salah satu hal penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan lingkungan.

Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang

dan mengumpulkan kotoran/najis tersebut tersimpan dalam suatu tempat

tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori

lingkungan pemukiman.(Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan PLP,

1986 dalam Masjuniarty,2010)

Jamban yang sehat efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit,

jamban sehat harus dibangun, dimiliki dan digunakan oleh keluarga dengan

penempatan (di dalam atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh
36

penghuni rumah, serta memenuhi syarat kesehatan yang telah ditentunkan.

(Anonim,2014)

Syarat jamban sehat (Proverawati dan Rahmawati, 2012) adalah:

1. Tidak mencemari sumber air minum ( jarak antara sumber air minum

dengan lubang penampungan minimal 10 meter )

2. Tidak berbau

3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus

4. Tidak mencemari tanah sekitar

5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7. Penerangan dan ventilasi yang cukup

8. Lantai kedap air dan luas ruanagan memadai

9. Tersedia air,sabun dan alat pembersih

3. Ketersediaan Air Bersih

Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah

kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum air harus

mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit

bagi manusia. Menjaga kebersihan sumber air bersih merupakan hal yang

penting. Jarak letak sumber air dengan jamban dan tempat pembuangan sampah

paling sedikit 10 meter. Sumber mata air harus dilindungi dari pencemaran,

sumur gali, sumur pompa, atau kran umum dan mata air harus dijaga

bangunannya tidak rusak seperti lantai sumur tidak boleh retak, bibir sumur harus

diplester, dan sumur sebaiknya diberi penutup. Harus dijaga kebersihannya


37

seperti tidak ada bercak-bercak kotoran, tidak berlumut pada lantai/lantai dinding

sumur. Ember/gayung pengambil air harus tetap bersih dan diletakkan dilantai

(ember/gayung digantung ditiang sumur). Meski terlihat bersih, air belum tentu

bebas kuman penyakit, kuman penyakit dalam air mati pada suhu 100 derajat C

(saat mendidih), (Proverawati dan Rahmawati, 2012).


38

B. Pola Pikir Variabel

Sanitasi Lingkungan

- Kondisi Rumah
- Penggunaan Jamban
- Ketersediaan Air
bersih
Kejadian
Stunting pada
- Pembuangan Sampah Baduta
- Pembuangan Air
kotor/limbah
Keterangan :
- Rumah Hewan Ternak
- Hygene Personal

: Variabel bebas (independent) yang diteliti

: Variabel terikat (dependent)

: Variabel bebas yang tidak diteliti

: Alur Peneliti

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kejadian stunting

a. Definisi Operasional

Yang dimaksud dengan kejadian stunting dalam penelitian ini adalah

Baduta dikatakan pendek jika nilai z-score-nya panjang badan menurut

umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -

2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted)

berdasarkan hasil data Puskesmas Pamboang.


39

b. Kriteria Objektif

Positif :Hasil data dari Puskesmas dinyatakan dari baduta pendek

dan sangat pendek.

Negatif :Hasil data dari Puskesmas dinyatakan dari baduta yang

tidak pendek dan sangat pendek.

2. Kondisi Rumah

a. Definisi Operasional

Dalam hal ini kondisi rumah dikatakan baik apabila memiliki lantai,

dinding, atap, ventilasi, cahaya, serta kondisi fasilitas-fasilitas penunjang

lainnya berdasarkan penentuan penilaian dan skoring menggunakan skala

Guttman : dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap

suatu permasalahan yang ditanyakan. (Sugiyono, 2016).

b. Kriteria Objektif

Cukup : apabila hasil yang diperoleh ≥ 60

Kurang : apabila hasil yang diperoleh < 60

3. Penggunaan Jamban di rumah

a. Definisi Operasional

Penggunaan jamban dalam penelitian ini dikatakan cukup apabila

masing-masing anggota keluarga diharapkan dapat menggunakan dan

memanfaatkan jamban yang ada di rumah atau tidak membuang hajat di

luar dari jamban yang ada di rumah, kondisi jamban yang cukup layak

dan jarak septik tank yang ada di rumah tersebut cukup jauh dari sumber
40

air bersih, berdasarkan penentuan penilaian dan skoring menggunakan

skala Guttman : dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas

terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. (Sugiyono, 2016).

b. Kriteria Objektif

Cukup : apabila hasil yang diperoleh ≥ 60 .

Kurang : apabila hasil yang diperoleh < 60.

4. Ketersediaan air bersih

a. Definisi Operasional

Dalam hal ini ketersediaan air bersih di rumah seperti kebutuhan

untuk minum, mandi, masak, mencuci (bermacam-macam cucian) dan

membuang hajat. Serta akses mendapatkan air bersih juga mudah

dijangkau. berdasarkan penentuan penilaian dan skoring menggunakan

skala Guttman : dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas

terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. (Sugiyono, 2016).

b. Kriteria Objektif

Cukup : apabila hasil yang diperoleh ≥ 60 .

Kurang : apabila hasil yang diperoleh < 60.

D. Hipotesis

1. Hipotesis nol (H0)

a. Tidak ada hubungan sanitasi lingkunga dengan kejadian stunting pada

baduta didesa Bonde Utara kecamatan Pamboang Kabupaten Majene.


41

2. Hipotesis alternatif (Ha)

a. Ada hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada baduta

didesa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Variabel Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan menggunakan

pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan

dengan kejadian stunting pada baduta di Desa Bonde Utara Kecamatan

Pamboang Kabupaten Majene.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang

Kab. Majene pada tanggal 28 Mei 2019 sampai bulan 10 Juni 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh baduta yang tercatat dalam

rekapitulasi data di Puskesmas Pamboang periode Desember 2018-Januari

2019 yang berjumlah 96 baduta. Dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Populasi Penelitian


No Dusun Populasi
1 Butungan 27 baduta
2 Rea-rea 47 baduta
3 Bonde-bonde 10 baduta
4 Kampung Baru 12 baduta
Jumlah 96 baduta
Sumber : Puskesmas Pamboang 2018-2019.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik Cluster

Random Sampling yaitu teknik sampling berkelompok/daerah digunakan

42
43

untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau sumber data

sangat luas (Wahab,2012).

Adapun penentuan besar sampel menggunakan rumus untuk populasi

yang kurang dari 10.000 yang dikutip dari Wahab (2012) sebagai berikut:

keterangan:
N : besar populasi
n : besar sampel
d : tingkat kemaknaan digunakan 10% = 0,1

Jadi besar sampel adalah 49.

3. Sampel

Yang dimaksud sampel adalah sebagian baduta yang berumur 6-23 bulan

yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi sebanyak 49 baduta dengan menggunakan rumus yang

dikutip dari Wahab (2013). Adapun rumusnya sebagai berikut:


44

Adapun hasil dari perhitungan dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Sampel Penelitian


No Dusun Sampel Populasi
1 Butungan 14 baduta 27 baduta
2 Rea-rea 24 baduta 47 baduta
3 Bonde-bonde 5 baduta 10 baduta
4 Kampung Baru 6 baduta 12 baduta
Jumlah 49 baduta 96 baduta
Sumber : Puskesmas Pamboang 2018-2019.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah:

1. Kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang memuat identitas responden

dan beberapa pertanyaan tentang variabel yang diteliti.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada ibu yang

memiliki baduta. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bagian gizi kesehatan

masyarakat yaitu data status baduta stunting yang ada di Puskesmas Pamboang

periode bulan Desember tahun 2018-Januari 2019.

F. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data

Suyanto dan Salamah disitasi oleh Wahab (2013) adapun tahapan sebelum

melaksanakan analisa data yaitu sebagai berikut:

1. Cleaning

Tahapan ini dilakukan pada saat mengumpulkan data kuesioner dari

responden pada saat di lapangan. Memeriksa kembali kuesioner yang telah

diisi apakah ada yang belum dijawab atau tidak.


45

2. Coding

Memberi kode pada kuesioner responden untuk memudahkan dalam

pengolahan dan pengelompokan data responden.

3. Entering

Memasukkan data responden yang telah dikode ke dalam komputer

seperti ke dalam spread sheet program excel. Kemudian diolah dengan

menggunakan SPSS 20.

Penyajian data dalam penelitian ini yaitu bentuk tabel, serta penjelasan dalam

bentuk narasi.

G. Teknik Analisis Data

1. Analisis univariat

Analisis digunakan untuk menggambarkan persentase dari variabel yang

diteliti yaitu kondisi rumah, penggunaan jamban dan Ketersediaan air bersih.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan variabel kondisi

rumah, penggunaan jamban dan Ketersediaan air bersih terhadap kejadian

stunting dengan analisis data menggunakan uji Chi Square pada tingkat

kemaknaan α = 0,05. Kemudian melakukan perbandingan dengan

menggunakan Odd Rasio (OR).


BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih satu bulan tentang

hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada baduta di Desa

Bonde Utara kecamatan Pamboang Kabupaten Majene, peneliti mengumpulkan

keseluruhan sampel yang diteliti sebanyak 49 sampel yang tersebar di masing-

masing dusun yang terdapat di Desa Bonde Utara. Adapun hasil penelitian yang

didapatkan sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat menggambarkan persentase dari karakteristik

responden dan distribusi tiap variabel. Adapun data yang dikumpulkan

sebagai berikut:

a. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
di Desa Bonde Utara
No Pendidikan n %
1 Tidak tamat SD 2 4,1
2 SD 28 57,1
3 SMP 11 22,4
4 SMA 8 16,3
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa distribusi responden

berdasarkan pendidikan yang tertinggi ada pada tingkat SD yaitu

46
47

sebanyak 28 responden (57,1%) dan yang tidak tamat SD terendah yaitu 2

responden saja (4,1%).

b. Distribusi Baduta Berdasarkan status gizi baduta menurut TB/U

Tabel 5.2
Distribusi Baduta Berdasarkan status gizi TB/U
di Desa Bonde Utara Kec.Pamboang
No Status Gizi n %
1 Positif Stunting 24 49
2 Normal 25 51
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat diketahui bahwa distribusi baduta

berdasarkan status gizi berdasarkan TB/U baduta yang normal sebanyak

adalah 25 baduta yaitu 51% dan untuk yang positif stunting 24 baduta

yaitu 49%.

c. Distribusi Baduta Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.3
Distribusi Baduta Berdasarkan Jenis Kelamin
di Desa Bonde Utara Kec.Pamboang
No Jenis Kelamin n %
1 Laki-laki 24 49
2 Perempuan 25 51
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa distribusi baduta

berdasarkan jenis kelamin pada badut yang terbanyak adalah 25 (51%)

baduta yang berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 24 (49%) baduta

yang berjenis kelamin Laki-laki.


48

d. Distribusi Baduta Berdasarkan Kondisi Rumah Responden

Tabel 5.4
Distribusi Baduta Berdasarkan Kondisi Rumah
di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
Kondisi
No n %
Rumah
1 Cukup 12 24,5
2 Kurang 37 75,5
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa distribusi baduta

berdasarkan kondisi rumah yang kurang sebanyak 37 rumah atau (75,5%)

sedangkan yang kondisi rumah cukup sebanyak 12 rumah (24,5%) dari 49

responden.

e. Distribusi Baduta Berdasarkan Penggunaan Jamban

Tabel 5.5

Distribusi Baduta Berdasarkan Penggunaan Jamban


di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
Penggunaan
No n %
Jamban
1 Cukup 35 71,4
2 Kurang 14 28,6
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa distribusi baduta

berdasarkan penggunaan jamban yang cukup terdapat 35 (71,4%) rumah

sedangkan sebanyak 14 (28,6%) rumah yang penggunaan jamban kurang

dari 49 responden.
49

f. Distribusi Baduta Berdasarkan Ketersediaan air bersih

Tabel 5.6
Distribusi Baduta Berdasarkan Ketersediaan air bersih
di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
No Ketersediaan Air Bersih n %
1 Cukup 31 63,3
2 Kurang 18 36,7
Total 49 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa distribusi baduta

berdasarkan ketersediaan air bersih yang cukup sebanyak 31 (36,7%),

sedangkan ketersediaan air bersih yang kurang sebanyak 18 (63,3%) dari

49 responden.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat menggambarkan persentase dari variabel yang diteliti

untuk mengetahui pengaruh antara variabel dependen dengan variabel

independen. Adapun data yang dikumpulkan sebagai berikut:

a. Hubungan kondisi rumah terhadap kejadian stunting

Tabel 5.7
Hubungan Kondisi Rumah terhadap kejadian Stunting
di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
Status Gizi
Kondisi Total
No Stunting Normal p OR
Rumah
n % n % n %
1 Cukup 5 6,1 7 5,9 12 100
0,456 1,647
2 Kurang 20 18,9 17 18,1 37 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa baduta dengan status

stunting memiliki kondisi rumah yang cukup sebanyak 6,1% dan yang
50

berstatus normal memiliki kondisi rumah yang cukup sebanyak 5,9%.

Sedangkan kondisi rumah yang kurang pada baduta dengan status

stunting ada 18,9% dan 18,1% yang berstatus normal dari 49 responden.

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square dengan

continuity correction diperoleh nilai p = 0,456 dengan taraf signifikan α =

0,05, yang berarti p > α atau H0 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian stunting pada

baduta.

Berdasarkan Odd Rasio, baduta yang memiliki kondisi rumah yang

kurang lebih berisiko 1 kali lebih rendah untuk menderita stunting

dibandingkan baduta yang memiliki kondisi tubuh dengan status normal.

b. Hubungan penggunaan jamban terhadap kejadian stunting

Tabel 5.8
Hubungan Penggunaan jamban terhadap kejadian Stunting
di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
Status Gizi
Penggunaan Total
No Stunting Normal p OR
Jamban
n % n % n %
1 Cukup 11 17,9 24 17,1 35 100
0,000 3,182
2 Kurang 14 7,1 0 6,9 14 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa baduta dengan status

stunting dalam penggunaan jamban yang cukup sebanyak 17,9% dan yang

berstatus normal memiliki kondisi rumah yang cukup sebanyak 17,1%.

Sedangkan kondisi rumah yang kurang pada baduta dengan status

stunting ada 7,1% dan 6,9% yang berstatus normal dari 49 responden.
51

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square dengan

continuity correction diperoleh nilai p = 0,000 dengan taraf signifikan α =

0,05, yang berarti p < α atau H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada

hubungan antara penggunaan jamban yang cukup dengan kejadian

stunting pada baduta.

Berdasarkan Odd Rasio 3,182 , berarti bahwa penggunaan jamban

yang kurang dapat memberikan resiko 3 kali lebih besar dibandingkan

dengan penggunaan jamban yang cukup.

Tabel 5.9
Hubungan Ketersediaan Air terhadap kejadian Stunting
di Desa Bonde Utara Kec. Pamboang
Status Gizi
Penggunaan Total
No Stunting Normal p OR
Jamban
n % n % n %
1 Cukup 9 15,8 22 15,2 31 100
0,000 19,556
2 Kurang 16 9,2 2 8,8 18 100
Sumber : Hasil Analisis 2019

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa baduta dengan status

stunting dalam penggunaan jamban yang cukup sebanyak 15,8% dan yang

berstatus normal memiliki kondisi rumah yang cukup sebanyak 15,2%.

Sedangkan kondisi rumah yang kurang pada baduta dengan status

stunting ada 9,2% dan 8,8% yang berstatus normal dari 49 responden.

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square dengan

continuity correction diperoleh nilai p = 0,000 dengan taraf signifikan α =

0,05, yang berarti p < α atau H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada

hubungan antara ketersediaan air yang cukup dengan kejadian stunting

pada baduta.
52

Berdasarkan Odd Rasio 19,556 , berarti bahwa ketersediaan air bersih

yang kurang dapat memberikan resiko 19 kali lebih besar dibandingkan

dengan baduta yang memiliki ketersediaan air bersih yang cukup.

B. Pembahasan

1. Hubungan Kondisi Rumah terhadap Kejadian stunting pada baduta

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.7 bahwa tidak terdapat

hubungan antara kondisi rumah dengan kejadian stunting pada baduta atau

H0 diterima. Hal ini tidak sejalan dengan teori Hastuti et al. (2010) yang

mengatakan bahwa keadaan lingkungan fisik dan sanitasi di sekitar rumah

sangat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah tersebut. Dikatakan pula

bahwa keadaan rumah berpengaruh signifikan terhadap status gizi balita

dengan nilai p=< 0,05. (putri dan sukandar 2012).

Sanitasi lingkungan merupakan usaha-usaha pengawasan terhadap semua

faktor yang ada dalam lingkungan fisik yang memberi pengaruh atau

memberi pengaruh buruk terhadap kesehatan, fisik, kesejahteraan sosial.

Pengaruh lingkungan dalam rumah terhadap kegiatan sehari-hari tidaklah

secara langsung. Lingkungan yang tidak memiliki potensi bahaya ternyata

dapat menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya.(Puspitawati dan

sulistyawati,2011)

Keadaan ini mengindikasikan bahwa faktor lingkungan fisik sebagai

faktor penentu stunting tidak berdiri sendiri ada faktor lain yang secara

bersama-sama mempengaruhi stunting misalnya infeksi dan pola asuh. Anak


53

yang sering sakit akan mempengaruhi asupan makan yang kurang sehingga

pertumbuhan anak akan terganggu.( Cahyono, dkk.2016)

2. Hubungan Penggunaan jamban terhadap kejadian stunting pada baduta

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.8 bahwa terdapat hubungan

antara penggunaan jamban dengan kejadian stunting pada baduta atau H0

ditolak. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa masyarakat yang berada di

Desa Bonde Utara Kecamatan pamboang yang belum memiliki jamban

sendiri dirumah khususnya yang berada di pesisir pantai, dan masih ada juga

masyarakat yang biasa membuang hajat di sekitar pantai. Dikarenakan

masyarakat masih berharap bantuan dana untuk pembuatan jamban karena

beberapa masyarakat ada yang berpenghasilan rendah. Tapi alangkah baiknya

bila masyarakat setempat dapat hidup mandiri dengan tidak mengharapkan

bantuan dari pemerintah setempat karena kuota untuk pembagiann jamban

bantuan dari Desa juga sangat terbatas atau dibatasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Maya Adiyanti (2010)

yang mengemukakan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada

analisis bivariate antara fasilitas buang air besar, dan jenis jamban yang

digunakan dengan kejdian stunting pada baduta. Dari nilai OR dapat

disimpulkan bahwa keluarga yang menggunakan fasilitas buang air besar

yang tidak layak badutanya mempunyai resiko untuk menderita stunting 1,2

kali lebih tinggi dibandingkan dengan baduta dari keluarga yang

menggunakan fasilitas buang air besar yang baik. Jenis jamban yang tidak

layak digunakan meningkatkan resiko baduta untuk menderita stunting 1,3


54

kali lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan jamban

yang layak. (Adiyanti,2010)

Penelitian Spears et al. (2013) di India yang menyatakan bahwa perilaku

sanitasi lingkungan yang buruk dalam hal kebiasaan buang air besar

sembarangan (BABS) menjadi faktor penentu kejadian stunting. Stunting

dapat dicegah dengan meningkatkan akses terhadap akses terhadap air bersih

dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. Anak dengan

sanitasi lingkungan yang kurang akan memiliki peluang terjadinya stunting

lebih besar dibandingkan anak dengan sanitasi lingkungan yang cukup dan

baik di zona ekosistem daratan sedang dan pegunungan.( cahyono, dkk.2016)

3. Hubungan Ketersediaan air bersih terhadap kejadian stunting pada

baduta

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.9 bahwa terdapat hubungan

antara ketersediaan air bersih dengan kejadian stunting pada baduta atau H0

ditolak. Saat peneliti berada di lokasi dan mengamati sekitar pemukiman

masyarakat. Masih banyak dari masyarakat di Desa BondeUtara yang belum

bisa memiliki sumur sendiri dikarenakan lahan yang sempit dan beberapa

warga lainnya tidak memiliki ekonomi yang cukup untuk membuat sumur

sendiri. Jadi beberapa warga masyarakat di Desa Bonde Utara masih banyak

yang memanfaatkan sumur umum ataupun sumur tetangga. Selain itu banyak

juga dari warga yang memanfaatkan air gunung untuk minum tanpa di masak

terlebih dahulu, dan jenis sumur masih ada beberapa yang terbuka atau tidak

tertutup.
55

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh

Chekly et al (2004) yang menyebutkan bahwa baduta yang tidak punya akses

sanitasi yang baik mengalami defecit tinggi badan sebesar 0,9 cm dan tinggi

badan baduta dengan kondisi sumber air yang buruk 1,0 cm lebih pendek

dibandingkan dengan baduta yang sumber airnya baik (adiyanti,2010).

Penelitian yang dilakukan oleh oleh Milman A, Frongillo EA, de Onis M,

dan Ji-Yun Hwang (2005) menyatakan hal serupa bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara keluarga yang memiliki akses terhadap sumber air

terlindung dengan kejadian stunting pada anak.(Adiyanti,2010)

Penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak-anak pada umumnya

adalah penyakit yang timbulnya berkaitan erat dengan masalah lingkungan

dan pola pemberian makan (Moejhi S,1988 dalam Adiyanti 2010). Dan

penyakit yang berkaitan erat dengan lingkungan tersebut diantara lain ialah

Diare.

Penyakit infeksi yang parah dan terjadi berulang pada jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan stunting. Penelitian secara konsisten menunjukkan

bahwa diare adalah penyakit infeksi yang sangat mempengaruhi pertumbuhan

linier pada usia 24 bulan. Analisis yang dilakukan di sembilan studi berbasis

masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah dengan rumah tangga

yang sering terkena diare dan diukur antropometrinya secara longitudinal

mendapatkan bahwa resiko stunting meningkat.(Chekly et al,2008 dalam

Adiyanti 2010)
56

Kekurangan gizi sering diasumsikan sebagai akibat dari ketahanan pangan

semata, data dari banyak negara menyatakan bahwa pangan atau makanan

bukanlah satu-satunya atau bahkan penyebab utama kekurangan gizi, kecuali

memang dibawah kondisi kelaparan. Berdasarkan berbagai penelitian

terdapat faktor-faktor lain seperti pengetahuan ibu, pola asuh,akses pelayanan

kesehatan, air dan sanitasi memiliki peranan penting.(Nadiyah, dkk 2014)

Penelitian ini pula sejalan dengan hasil penelitian Nadiyah,dkk 2014

mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi

lingkungan kurang baik dengan stunting (p<0,05). Sanitasi lingkungan yang

kurang baik menjadi faktor risiko stunting(OR=1,46;p<0,05). Chekly et al

(2004) menemukan bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran

yang cukup berhubungan dengan defisitnya tinggi badan 0,9 cm (95%CI=0,2-

1,7 cm) saat usia 24 bulan. Disamping itu dalam penelitian yang sama

ditemukan bahwa anak dengan kondisi air dan sanitasi kurang baik 54% lebih

sering mengalami diare darpada anak yang kondisi air dan sanitasinya paling

baik.(Nadiyah, dkk 2014)

Sanitasi lingkungan yang baik dapat melindungi anak terhadap kejadian

stunting (Monteiro et al, 2010; Fink et al. 2011). Rendahnya sanitasi dan

kebersihan lingkungan memicu sanitasi gangguan pencernaan yang membuat

energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh terhadap

infeksi (Schmidt,2014). Kesehatan lingkungan yang kurang baik berpotensi

menimbulkan penyakit infeksi yang pada akhirnya akan berdampak pada

gangguan masalah gizi (Damanik et al. 2010; Solomon 2007; Archer 2007).
57

Infeksi klinis menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan

(Dewey & Mayers 2011), sedangkan anak yang memiliki riwayat penyakit

infeksi memiliki peluang mengalami stunting ( Picauly & Toy 2013).(dalam

Cahyono, dkk 2016).

Faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk

kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak, karena anak dibawah dua

tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit. Infeksi tersebut

disebabkan oleh praktik sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat

gizi sulit diserap oleh tubuh. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan

pun memicu gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk

pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh terhadap infeksi.(merlinda

Niga & Purnomo,2016)

Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih,

pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh anak yang

tidak memadai. Menurut Schaible & Kauffman hubungan antara kurang gizi

dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan

oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Beberapa contoh

bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang gizi seperti infeksi

pencernaan dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS, tuberkulosis, dan beberapa

penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan anemia dan parasit pada

usus dapat menyebabkan anemia (Soekirman disitasi oleh Ghazali, 2014).


58

C. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak semua variabel dari sanitasi

lingkungan yang diteliti hanya tiga variabel saja, padahal masih banyak variabel

yang berhubungan dengan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting yang

masih bisa untuk diteliti akan tetapi mengingat persoalan tenaga dan waktu jadi

penulis hanya mengambil tiga variabel saja. Keterbatasan lainnya ialah isi

kuesioner pada kondisi rumah tidak spesifik mencantumkan poin-poin dari

kondisi rumah responden hanya poin secara umum saja, hal lainnya ada beberapa

data dari Puskesmas yang tidak sesuai dengan data dilapangan seperti nama dan

umur jadi peneliti agak sulit mencari alamat baduta dan harus memilih sesuai

dengan umur yang ditetapkan untuk diteliti.


BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamboang Kec. Pamboang Kab. Majene dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak ada hubungan kondisi rumah dengan kejadian stunting pada baduta di

Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kab. Majene 2019.

2. Ada hubungan antara penggunaan jamban dengan kejadian stunting pada

baduta di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kab. Majene Tahun 2019.

3. Ada hubungan antara penggunaan jamban dengan kejadian stunting pada

baduta di Desa Bonde Utara Kecamatan Pamboang Kab. Majene Tahun 2019.

4. Terdapat korelasi yang berarti berdasarkan dari hasil penelitian menggunakan

uji statistik chi square diperoleh nila p>0,05 untuk penggunaan jamban dan

ketersediaan air bersih menyatakan bahwa ada hubungan antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian stunting di Desa Bonde Utara Kecamatan

Pamboang Kab. Majene tahun 2019

B. Saran

1. Bagi Dinas Kesehatan atau instansi terkait agar lebih meningkatkan

penyuluhan baik itu tentang stunting maupun terkait sanitasi lingkungan di

wilayah kerja Kecamatan Pamboang khususnya di Desa Bonde Utara dimana

masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana pencegahan

stunting itu sendiri.

59
60

2. Bagi masyarakat setempat untuk lebih memperhatikan kebersihan lingkungan

khususnya yang terkait dengan sanitasi lingkungan.

3. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait stunting dengan variabel lain

yang diluar dari yang diteliti oleh peneliti.

4. Pemerintah daerah dalam hal ini Camat, Lurah, dan kepala Lingkungan

setempat untuk tetap berperan aktif dalam memberikan pelayanan di bidang

kesehatan masyarakat dengan lebih rutin melakukan pertemuan terkait

penyuluhan untuk masyarakat yang bersinergi dengan pihak Puskesmas

setempat. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian

tentang variabel lain yang terkait dengan status gizi (BB/U) untuk mengetahui

faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi dengan sanitasi lingkungan

secara lebih jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun


2014. Tentang sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta:Kementerian
Kesehatan RI, (online), (https://peraturan.bkpm.go.id, diakses 9 Agustus
2019).
Atikah Proverawati, EniRahmawati. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Yogyakarta: Nuha Medika.
Cahyono, Firmanu.dkk. 2016. Faktor Penentu StuntingAnak Balita pada Berbagai
Zona Ekosistem di Kabupaten Kupang.11(1):9-18. Jurnal Gizi Pangan.
(Online), (http:///journal.ipb.ac.id diakses 9 Agustus 2019).

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar kesehatan lingkungan.cetakan I. Jakarta:


Buku kedokteran EGC
Gerakan Nasional Pencegahan Stunting dan Kerjasama Kemitraan Multi Sektor.
2018. Jakarta: Sekertariat Wakil Presiden Republik Indonesia/ Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Ghazali, M. A. 2014. USU Institutional Repository. (Online), (http://repository.
usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 42098/ 4/ Chapter% 20II. pdf diakses 9
Agustus 2019).
Hidayat, Tjejep Syarif. & Fuada, Novianti. 2011. Hubungan Sanitasi
Lingkungan, Morbiditas dan Status Gizi Balita di Indonesia. 34 (2): 104-
113. (Online),
(http//ejournaL.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/view/3100
diakses 8 Mei 2019).
Ichwanuddin. 2016. Kajian Dampak Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Terhadap Akses Sanitasi di Kabupaten Wonogiri. 15 (2): 46-49. (Online),
(http//ejournal.undip.ac.id diakses 8 Mei 2019).
Masjuniarty. 2010. Perilaku Masyarakat tentang Pemanfaatan Jamban
Keluaraga Di wilayah Kerja Puskesmas Cangadi Kecamatan Liliraja
Soppeng tahun 2010. Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin
Makassar 2010 (online) diunduh 16 Februari 2019
Materi Sanitasi Lingkungan. 2017. Environmenmental Enginering Materi Sanitasi
Lingkungan. (online), (http://kidenvironment.blogspot.com diakses 16
Februari2019)
Maya Adiyanti, Besral. 2010. Pola asuh,sanitasi lingkungan dan pemanfaatan
posyandu dengan kejadian stunting pada baduta di Indonesia(analisis
Riskesdas tahun2010). Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2010
(Online),(http//lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S55589-
Maya%20Adiyanti diunduh 16 Februari 2019).
Merlinda niga, Desiansi. Purnomo, Windhu. 2016. Hubungan Antara Praktik
Pemberian Makan, Perawatan Kesehatan, Dan Kebersihan Anak Dengan
Kejadian Stunting pada Anak Usia 1-2 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas Oebobo Kota Kupang. Jurnal Wiyata Vol 3 No 2.
(Online),(http//ojs.iik.ac.id di akses 9 Agustus 2019).
Mukono, H.J. 2005. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Edisi Kedua.
Surabaya: Airlangga University Press
Nadiyah, dkk. 2014. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0-23 Bulan Di
Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi Pangan
9(2): 125-132. (Online),(http///journal.ipb.ac.id diakses 9 Agustus 2019).
Notoatdmodjo, Soekidjo.2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat (ilmu dan seni). Edisi
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Panduan Skripsi. Program Studi S1. Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Bina Bangsa Majene Tahun 2016
Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi Di
Kabupaten/Kota. 2018. Jakarta: Kementerian Perencanaan dan
Pembangunan Nasional
Penanganan Stunting Terpadu. 2018. Jakarta: Kementerian Keuangan Direktur
Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Priyatna, Andri. Dan Asnol, Uray B. 2014. 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Puskesmas Pamboang Majene, 2019. Daerah Stunting di Kecamatan Pamboang
Tahun 2019.
Puspitawati, Natalia. Sulistyarini, Tri. 2013. Sanitasi lingkungan Yang Tidak Baik
Mempengaruhi Status Gizi Pada Balita. Jurnal Stikes Volume 6,
No1.(Online),(http//puslit2.petra.ac.id diakses 9 Agustus 2019).
Putri DS, Sukandar D. 2012. Keadaan Rumah, Kebiasaan makan, status gizi, dan
status kesehatan balita di kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Jurnal Gizi
Pangan 7(3):163-168. (Online),(http//www.researchgate.net >fulltext diakses 9
Agustus2019).

Ramayulis, Rita dkk. 2018. Stop stunting dengan konseling. Cetakan pertama.
Jakarta: Penebar plus.
Riset Kesehatan Dasar . 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Riset Kesehatan Dasar . 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Soedarto. 2013. Lingkungan dan Kesehatan. Cetakan ke 1. Jakarta: Sagung seto
Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan. Edisi keempat.Jakarta: Kencana.
Susilawaty, Desy.2018.WHO: 7,8 juta balita di Indonesia Penderita Stunting.
(online),(http://www.replubika.co.id/berita/nasional/umum/18/01/24/p30s8
53696-who-78-juta-balita-di-indonesia-penderita-stunting (diakses 16
Februari 2019 pukul 21:00)
Sugiyono. 2016. Metode Kuantitatif, kualitatif dan R&D. Cetakan ke dua puluh
tiga. Bandung: Alfabeta.
Syafruddin. 2015. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan pertama.Jakarta: Trans
Info Media.
Wahab, Abdul.2012. Pengantar Statistik. Cetakan pertama. Yogyakarta: Kutub.
Wahab, A. 2013. Pengantar Riset Bidang Kesehatan, Kebidanan dan
Keperawatan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara
LAMPIRAN

vi
SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah mendapatkan penjelasan dan

bersedia untuk berpartisipasi sebagai responden dengan memberikan informasi yang

jujur dan sebenar-benarnya serta tanpa paksaan dalam penelitian dengan judul

“Hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada baduta di Desa Bonde

Utara Kec. Pamboang Kab. Majene”.

Nama :

Umur :

Alamat :

Saya mengetahui bahwa keterangan yang saya berikan akan bermanfaat bagi

peneliti ini.

Bonde Utara, 2019


Responden

( )
KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING

PADA BADUTA DI DESA BONDE UTARA KECAMATAN PAMBOANG

Kode Responden :

Tanggal :

A. Identitas Responden

1. Nama Anak :

2. Jenis Kelamin :

3. Tanggal Lahir :

4. Nama Ibu :

5. Umur :

6. Pendidikan :

7. Pekerjaan :

8. Alamat :

B. Status Baduta

Coret yang tidak perlu : Stunting/tidak stunting


Pertanyaan kuesioner kondisi rumah

1. Apakah jenis rumah ibu tembok/permanen? (observasi)


a. Ya
b. Tidak
2. Apakah bahan utama lantai terbuat dari bahan tembok/permanen? (observasi)
a. Ya
b. tidak
3. Apakah jenis dinding rumah ibu terbuat dari tembok/permanen? (observasi)
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah jenis atap rumah ibu ? (observasi)
a. Genteng
b. Seng
5. Berapa luas ventilasi ruang tamu?(pengukuran)
a. > 20 %
b. < 20 %
6. Apakah ibu memiliki kamar ?
a. Ya
b. Tidak/tidak memiliki
7. Apakah luas ventilasi kamar 20% dari luas lantai ? (pengukuran)
a. Ya
b. Tidak /tidak memiliki
8. Apakah jumlah orang dalam kamar ibu 2 org?
a. Ya
b. Tidak/tidak memiliki
9. Apakah rumah ibu memiliki dapur?
a. Ya
b. Tidak memiliki
10. Apakah ibu biasa membuang sampah di pantai?
a. Ya
b. Tidak

JUMLAH YA :
JUMLAH TIDAK :
KETERANGAN :
Pertanyaan kuesioner penggunaan jamban di rumah

1. Apakah ibu memiliki jamban sendiri dirumah?


a. Ya
b. Tidak memiliki
2. apakah anggota keluarga biasa membuang hajat di jamban milik
sendiri/menumpang?
a. Ya
b. Tidak memiliki
3. Berapa lama ibu memiliki jamban > 1 thn ?
a. Ya
b. Tidak memiliki
4. Apakah jarak septik tank jauh dari rumah (>10 meter)?
a. Ya
b. Tidak memiliki
5. apakah kondisi jamban permanen/tembok(observasi)?
a. Ya
b. Tidak memiliki
6. Apakah jenis jamban jongkok atau duduk? (observasi)
a. Ya
b. Tidak memiliki
7. apakah dalam jamban memiliki bak air? (observasi)
a. Ya
b. Tidak memiliki
8. Apakah jamban memiliki pintu? (observasi)
a. Ya
b. Tidak memiliki
9. Apakah dalam jamban memiliki sabun? (observasi)
a. Ya
b. Tidak memiliki
10. Apakah dalam jamban memiliki penerangan? (observasi)
A. Ya
B. tidak memiliki

JUMLAH YA :
JUMLAH TIDAK :
KETERANGAN :
Pertanyaan kuesioner Ketersediaan Air Bersih di rumah

1. Apakah ibu memiliki sumur sendiri dirumah?


a. Ya
b. Tidak
2. Dimana sumber air bersih yang ibu gunakan untuk MCK berasal dari sumur?
a. Ya
b. tidak
3. Apakah sumber air bersih yang ibu gunakan untuk minum berasal dari sumur?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah sumber air bersih yang ibu gunakan untuk masak berasal dari sumur?
a. Ya
b. tidak
5. Apakah akses sumber air minum jauh dari rumah (>10 m)?
a. Ya
b. Tidak
6. Apakah ibu biasa menggunakan air galon?
a. ya
b. tidak
7. Apakah ibu biasa menggunakan air dari gunung?
a. ya
b. tidak
8. Apakah akses sumber air jauh dari septik tank?
a. Ya
b. tidak
9. Apakah sumber air tertutup? (observasi)
a. Ya
b. Tidak
10. Apakah sumber air biasa dimasak?
a. Ya
b. Tidak

JUMLAH YA :
JUMLAH TIDAK :
KETERANGAN :
MASTER DATA
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA BADUTA
DI DESA BONDE UTARA KEC. PAMBOANG KAB. MAJENE
VARIABEL
NAMA NAMA
NO UMUR ALAMAT JK STATUS KONDISI PENGGUNAAN KETERSEDIAAN
IBU BADUTA
RUMAH JAMBAN AIR BERSIH
20 SANGAT KURANG CUKUP KURANG
1 Ny. 1 Butungan M. S L
PENDEK
29 SANGAT KURANG KURANG KURANG
2 Ny. 2 Butungan HH P
PENDEK
29 SANGAT CUKUP KURANG KURANG
3 Ny. 3 Butungan F L
PENDEK
24 SANGAT KURANG KURANG KURANG
4 Ny. 4 Butungan NA P
PENDEK
27 SANGAT KURANG CUKUP KURANG
5 Ny. 5 Butungan IN L
PENDEK
25 SANGAT CUKUP CUKUP CUKUP
6 Ny. 6 Butungan Y P
PENDEK
17 SANGAT KURANG CUKUP KURANG
7 Ny. 7 Butungan AF L
PENDEK
27 KURANG CUKUP CUKUP
8 Ny. 8 Butungan A L NORMAL
25 KURANG CUKUP CUKUP
9 Ny. 9 Butungan AA P NORMAL
31 KURANG CUKUP CUKUP
10 Ny. 10 Butungan PS P NORMAL
30 KURANG CUKUP CUKUP
11 Ny. 11 Butungan R P NORMAL
25 KURANG CUKUP CUKUP
12 Ny. 12 Butungan MI L NORMAL
23 KURANG CUKUP KURANG
13 Ny. 13 Butungan PKA P NORMAL
23 CUKUP CUKUP KURANG
14 Ny. 14 Butungan NA P NORMAL
25 SANGAT KURANG CUKUP CUKUP
15 Ny. 15 Rea-rea M P
PENDEK
29 KURANG CUKUP KURANG
16 Ny. 16 Rea-rea G L PENDEK
32 SANGAT KURANG CUKUP KURANG
17 Ny. 17 Rea-rea SAF L
PENDEK
30 KURANG KURANG KURANG
18 Ny. 18 Rea-rea S P PENDEK
25 SANGAT CUKUP CUKUP CUKUP
19 Ny. 19 Rea-rea P P
PENDEK
31 SANGAT CUKUP CUKUP CUKUP
20 Ny. 20 Rea-rea A L
PENDEK
23 KURANG CUKUP KURANG
21 Ny. 21 Rea-rea MH L PENDEK
29 KURANG KURANG KURANG
22 Ny. 22 Rea-rea Z L PENDEK
27 KURANG CUKUP CUKUP
23 Ny. 23 Rea-rea A P PENDEK
28 KURANG KURANG KURANG
24 Ny. 24 Rea-rea NZ P PENDEK
30 SANGAT KURANG KURANG CUKUP
25 Ny. 25 Rea-rea AR P
PENDEK
29 KURANG KURANG CUKUP
26 Ny. 26 Rea-rea H L PENDEK
25 CUKUP CUKUP CUKUP
27 Ny. 27 Rea-rea S P NORMAL
27 CUKUP CUKUP CUKUP
28 Ny. 28 Rea-rea M P NORMAL
29 KURANG CUKUP CUKUP
29 Ny. 29 Rea-rea M P NORMAL
28 KURANG CUKUP CUKUP
30 Ny. 30 Rea-rea MI L NORMAL
32 KURANG CUKUP CUKUP
31 Ny. 31 Rea-rea MAA L NORMAL
29 KURANG CUKUP CUKUP
32 Ny. 32 Rea-rea AD L NORMAL
32 KURANG CUKUP CUKUP
33 Ny. 33 Rea-rea MF L NORMAL
30 CUKUP CUKUP CUKUP
34 Ny. 34 Rea-rea F L NORMAL
27 KURANG CUKUP CUKUP
35 Ny. 35 Rea-rea AY P NORMAL
28 KURANG CUKUP CUKUP
36 Ny. 36 Rea-rea S P NORMAL
29 KURANG CUKUP CUKUP
37 Ny. 37 Rea-rea N P NORMAL
25 CUKUP CUKUP CUKUP
38 Ny. 38 Rea-rea MT L NORMAL
24 KURANG KURANG KURANG
39 Ny. 39 Bonde-bonde AA L PENDEK
35 SANGAT KURANG KURANG CUKUP
40 Ny. 40 Bonde-bonde AM L
PENDEK
30 SANGAT KURANG KURANG KURANG
41 Ny. 41 Bonde-bonde NA P
PENDEK
28 KURANG CUKUP CUKUP
42 Ny. 42 Bonde-bonde MS L NORMAL
41 KURANG CUKUP CUKUP
43 Ny. 43 Bonde-bonde MA L NORMAL
32 KURANG KURANG CUKUP
44 Ny. 44 Kampung baru SN P PENDEK
35 SANGAT CUKUP KURANG KURANG
45 Ny. 45 Kampung baru AA P
PENDEK
29 KURANG KURANG KURANG
46 Ny. 46 Kampung baru II L PENDEK
28 CUKUP CUKUP CUKUP
47 Ny. 47 Kampung baru RA P NORMAL
30 KURANG CUKUP CUKUP
48 Ny. 48 Kampung baru MA L NORMAL
29 CUKUP CUKUP CUKUP
49 Ny. 49 Kampung baru H P NORMAL
Frequency Table

nama

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Ny. 1 1 2,0 2,0 2,0

Ny. 10 1 2,0 2,0 4,1

Ny. 11 1 2,0 2,0 6,1

Ny. 12 1 2,0 2,0 8,2

Ny. 13 1 2,0 2,0 10,2

Ny. 14 1 2,0 2,0 12,2

Ny. 15 1 2,0 2,0 14,3

Ny. 16 1 2,0 2,0 16,3

Ny. 17 1 2,0 2,0 18,4

Ny. 18 1 2,0 2,0 20,4

Ny. 19 1 2,0 2,0 22,4

Ny. 2 1 2,0 2,0 24,5

Ny. 20 1 2,0 2,0 26,5

Ny. 21 1 2,0 2,0 28,6

Ny. 22 1 2,0 2,0 30,6


Valid
Ny. 23 1 2,0 2,0 32,7

Ny. 24 1 2,0 2,0 34,7

Ny. 25 1 2,0 2,0 36,7

Ny. 26 1 2,0 2,0 38,8

Ny. 27 1 2,0 2,0 40,8

Ny. 28 1 2,0 2,0 42,9

Ny. 29 1 2,0 2,0 44,9

Ny. 3 1 2,0 2,0 46,9

Ny. 30 1 2,0 2,0 49,0

Ny. 31 1 2,0 2,0 51,0

Ny. 32 1 2,0 2,0 53,1

Ny. 33 1 2,0 2,0 55,1

Ny. 34 1 2,0 2,0 57,1

Ny. 35 1 2,0 2,0 59,2

Ny. 36 1 2,0 2,0 61,2


Ny. 37 1 2,0 2,0 63,3

Ny. 38 1 2,0 2,0 65,3

Ny. 39 1 2,0 2,0 67,3

Ny. 4 1 2,0 2,0 69,4

Ny. 40 1 2,0 2,0 71,4

Ny. 41 1 2,0 2,0 73,5

Ny. 42 1 2,0 2,0 75,5

Ny. 43 1 2,0 2,0 77,6

Ny. 44 1 2,0 2,0 79,6

Ny. 45 1 2,0 2,0 81,6

Ny. 46 1 2,0 2,0 83,7

Ny. 47 1 2,0 2,0 85,7

Ny. 48 1 2,0 2,0 87,8

Ny. 49 1 2,0 2,0 89,8

Ny. 5 1 2,0 2,0 91,8

Ny. 6 1 2,0 2,0 93,9

Ny. 7 1 2,0 2,0 95,9

Ny. 8 1 2,0 2,0 98,0

Ny. 9 1 2,0 2,0 100,0

Total 49 100,0 100,0

PENDIDIKAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

TDK TAMAT SD 2 4,1 4,1 4,1

SD 28 57,1 57,1 61,2

Valid SMP 11 22,4 22,4 83,7

SMA 8 16,3 16,3 100,0

Total 49 100,0 100,0


Jenis kelamin anak

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

laki laki 24 49,0 49,0 49,0

Valid perempuan 25 51,0 51,0 100,0

Total 49 100,0 100,0

kondisi rumah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

kurang 37 75,5 75,5 75,5

Valid cukup 12 24,5 24,5 100,0

Total 49 100,0 100,0

penggunaan jamban

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

kurang 14 28,6 28,6 28,6

Valid cukup 35 71,4 71,4 100,0

Total 49 100,0 100,0

ketersediaan Air bersih

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

kurang 18 36,7 36,7 36,7

Valid cukup 31 63,3 63,3 100,0

Total 49 100,0 100,0


KONDISI RUMAH * Stunting

Crosstab

status gizi Total

stunting normal

Count 20 17 37

kurang Expected Count 18,9 18,1 37,0

% of Total 40,8% 34,7% 75,5%


kondisi rumah
Count 5 7 12

cukup Expected Count 6,1 5,9 12,0

% of Total 10,2% 14,3% 24,5%


Count 25 24 49
Total Expected Count 25,0 24,0 49,0

% of Total 51,0% 49,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,556 1 ,456
b
Continuity Correction ,171 1 ,679
Likelihood Ratio ,558 1 ,455
Fisher's Exact Test ,520 ,340
Linear-by-Linear
,545 1 ,460
Association
N of Valid Cases 49

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,88.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for kondisi


1,647 ,441 6,149
rumah (kurang / cukup)
For cohort status gizi =
1,297 ,624 2,698
stunting
For cohort status gizi =
,788 ,436 1,424
normal
N of Valid Cases 49

PENGGUNAAN JAMBAN * Stunting

Crosstab

status gizi Total

stunting normal

Count 14 0 14

kurang Expected Count 7,1 6,9 14,0

% of Total 28,6% 0,0% 28,6%


penggunaan jamban
Count 11 24 35

cukup Expected Count 17,9 17,1 35,0

% of Total 22,4% 49,0% 71,4%


Count 25 24 49

Total Expected Count 25,0 24,0 49,0

% of Total 51,0% 49,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 18,816 1 ,000
b
Continuity Correction 16,172 1 ,000
Likelihood Ratio 24,334 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear
18,432 1 ,000
Association
N of Valid Cases 49
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,86.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort status gizi =


3,182 1,951 5,190
stunting
N of Valid Cases 49

KETERSEDIAAN AIR * Stunting

Crosstab

status gizi Total

stunting normal

Count 16 2 18

kurang Expected Count 9,2 8,8 18,0

% of Total 32,7% 4,1% 36,7%


ketersediaan Air bersih
Count 9 22 31

cukup Expected Count 15,8 15,2 31,0

% of Total 18,4% 44,9% 63,3%


Count 25 24 49

Total Expected Count 25,0 24,0 49,0

% of Total 51,0% 49,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 16,327 1 ,000
b
Continuity Correction 14,019 1 ,000
Likelihood Ratio 17,999 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear
15,994 1 ,000
Association
N of Valid Cases 49
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,82.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for ketersediaan


19,556 3,711 103,055
Air bersih (kurang / cukup)
For cohort status gizi =
3,062 1,724 5,436
stunting
For cohort status gizi =
,157 ,042 ,590
normal
N of Valid Cases 49
1. Pengkodean pada Master Tabel

2. Proses Analisis Data menggunakan SPSSS 20


DOKUMENTASI

1. Dokumentasi di dusun Bonde-bonde

Gambar sumur umum yang ada didusun bonde-bonde

Gambar wawancara bersama Ibu Balita dan Baduta Stunting didusun Bonde-bonde

Gambar wawancara bersama Ibu Balita dan Baduta didusun Bonde-bonde


2. Dokumentasi di dusun Butungan

Gambar Sumur umum yang ada di dusun Butungan

Gambar wawancara bersama Ibu Balita dan Baduta Stunting didusun Butungan
3. Dokumentasi didusun Rea-rea

Gambar wawancara bersama Ibu Balita dan Baduta Stunting didusun Rea-rea
4. Dokumentasi didusun kampung baru
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama lengkap penulis, yaitu Lilis Puspitasari Lahir

Di Puskesmas Kebunsari Kecamatan Wonomulyo

Kabupaten Polewali Mandar, Pada Tanggal 30 Mei

1990, merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara dari

pasangan Bapak Joko Junarno dan Ibu Mujirah.

Adapun riwayat pendidikan penulis, yaitu mulai

menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak

Sulawesi pada tahun 1995 lalu melanjutkan sekolah dasar di SD Negri Labuang Baji

II Kecamatan Mamajang kota Makassar pada tahun 1997 sampai 2003. Kemudian

melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Kartika Chandra Kirana VII-I

pada tahun 2004 sampai 2007 kemudian melanjutkan sekolah non formal kesetaraan

setingkat SMP di PKBM Al-Furqon 2008. Setelah itu melanjutkan pendidikan non

formal menengah atas di PKBM Bina Bangsa Kecamatan Wonomulyo pada tahun

2010 sampai 2013. Dan setelah itu penulis menempuh perguruan tinggi pada tahun

2015 di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Bangsa Majene (STIKES BBM)

hingga sekarang dengan memilih Fakultas S1 Kesehatan Masyarakat jurusan

Kesehatan Lingkungan.

Pada Semester akhir tahun 2019 dengan ketekunan, motivasi tinggi untuk terus

belajar dan berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan pengerjaan tugas akhir

skripsi ini. Semoga dengan penulisan tugas akhir skripsi ini mampu memberikan

kontribusi positif bagi dunia pendidikan khususnya dibidang kesehatan.


Akhir kata penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya atas

terselesaikannya skripsi yang Berjudul“Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan

kejadian Stunting pada baduta di Desa Bonde Utara Tahun 2019 ’’.

Anda mungkin juga menyukai