Anda di halaman 1dari 3

Rekomendasi Mekanisme Kerja dan Penyaluran Dana Comdev PT Vale Indonesia

dalam Crash Program 2012

Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan para Officer Eksternal Vale pada tanggal 13
hingga 17 November 2012, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Terkait Organisasi Vale. Para staf Eksternal Vale perlu bekerja sebagai satu tim dalam
memutuskan apakah suatu usulan dari desa akan diterima atau ditolak. Saat diskusi di
Makassar terungkap bahwa Officer Eksternal Penanggung Jawab Kecamatan akan langsung
menandatangai berita acara serah terima usulan program dari kecamatan. Usulan yang
disampaikan oleh kecamatan dianggap telah melalui verifikasi dokumen dan verifikasi
faktual, sehingga tidak memerlukan verifikasi lebih lanjut oleh para Officer Eksternal.
Setelah ditandatangani, usulan tersebut akan disampaikan kepada manajemen untuk
kemudian dibiayai.

Dari sudut pandang manajerial, hal ini menunjukkan ketiadaan sistem dan organisasi yang
baik. Resiko bagi para officer secara individual juga menjadi terlalu tinggi, karena dengan
cara demikian tiap officer akan dibebani tanggung jawab yang melebihi kapasitasnya.
Usulan program terlalu banyak dan dalam waktu yang sempit tidak memungkinkan untuk
dilakukan proses verifikasi secara wajar. Lebih jauh lagi, peluang terjadinya fraud atau para
officer dituduh melakukan fraud juga cukup besar. Yang paling sulit diterima adalah bahwa
sesungguhnya usulan program yang disampaikan oleh para officer kepada manajemen
merupakan hasil dari proses kerja yang penuh resiko sehingga sangat memungkinkan bagi
Vale untuk membiayai program yang tidak ideal atau bahkan tidak sesuai aturan.

Untuk mengatasi beban resiko ini, maka tiap usulan program yang masuk harus disikapi
sebagai usulan terhadap manajemen, bukan terhadap Officer Penanggung Jawab
Kecamatan. Sehingga diperlukan satu tahap penapisan lagi dengan cara semua Officer
Eksternal (Andi Zul, Miftah, Ichman dan Bagas) berkumpul sebagai suatu komite untuk
membahas tiap usulan desa yang disampaikan semua kecamatan dan menandatangi
memorandum persetujuan/penolakan usulan program secara bersama-sama.
Memorandum itu kemudian ditandatangani oleh Manager/General Manager (yang
memimpin meeting komite) dan disampaikan kepada Pak Basrie Kamba untuk memperoleh
persetujuan. Dengan demikian resiko fraud dan program tidak sesuai aturan seharusnya
sudah diminimalkan.
2. Terkait proses verifikasi di tingkat desa dan kecamatan. Berbagai pihak telah
menyampaikan pendapatnya bahwa proses verifikasi di tingkat desa dan kecamatan tidak
ideal. Verifikasi dokumen dapat dengan mudah dilaksanakan, tetapi verifikasi faktualnya
diragukan keakuratannya. Selain karena waktu yang terlalu pendek, ketiadaan juknis
tentang media dan cara verifikasi yang rinci dan seragam di semua desa membuat proses
tersebut dipertanyakan keabsahannya. Namun demikian, hal ini menunjukkan adanya
perubahan yang relatif lebih baik daripada periode sebelumnya.

Untuk hal-hal yang secara nyata melanggar “aturan”, seperti kepantasan beneficiaries
(karyawan Vale dan keluarganya, PNS, dan para pihak yang sedang menerima pembiayaan
dari PNPM), Vale perlu secara tegas menolak. Agar penolakan ini dapat dilakukan secara
elegan, maka Tim Eksternal Vale perlu menyampaikan secara tertulis tentang hal-hal yang
melanggar aturan yang berkonsekuensi terjadinya penolakan usulan sejak dini. Untuk
menjaga akuntabilitas proses verifikasi, maka Tim Eksternal Vale perlu meminta Komite
Comdev Desa dan Kecamatan untuk menandatangani surat yang menyatakan bahwa proses
verifikasi yang dilakukan di desa telah melalui proses verifikasi dokumen dan verifikasi
faktual serta tidak ada unsur penipuan/manipulasi data di dalamnya.

3. Terkait jenis usulan program. Sosialisasi aturan comdev yang dilakukan pada tanggal 13 –
14 November 2012 di Luwu Timur dan pendalamannya bagi Tim Eksternal Vale di Makassar
telah memberikan petunjuk yang jelas dan tegas tentang mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh dibiayai oleh Vale dalam comdev. Namun demikian, sosialisasi tersebut baru di
lakukan di saat-saat akhir proses crash program. Akibatnya ditemukan cukup banyak usulan
yang bila berdasarkan RKL/RPL saja tidak dapat dibiayai dan bila berdasarkan Undang-
Undang Fakir Miskin hanya dapat dibiayai bila yang mengajukan usulan tergolong fakir
miskin. Usulan yang “bermasalah” tersebut kebanyakan berasal dari Kecamatan Malili yang
tergolong perkotaan, sehingga usulan programnya tidak terkait kegiatan ekonomi desa
seperti pertanian dalam arti luas dan sebagainya. Para beneficiaries-nya pun diragukan
tergolong kelompok miskin.

Selain itu banyak usulan yang diajukan oleh kelompok wanita (yang tidak secara jelas
didetilkan dalam RKL/RPL). Para Officer Eksternal Vale juga mempertanyakan bagaimana
dengan para pengangguran, dan kelompok rentan lainnya. Apakah tidak dapat dibiayai
dalam crash program?

Dari hasil pemantauan, diskusi dan dokumentasi terlihat bahwa pada dasarnya usulan
program yang ada dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) pembiayaan untuk
sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lainnya, (2) bantuan modal.
Untuk kelompok yang pertama, infrastruktur, tidak ada masalah karena sudah diakomodir
dalam RKL/RPL. Tetapi untuk bantuan modal, bahkan ada pihak yang menyatakan sebagai
BLT yang dilengkapi proposal. Selain itu, untuk kelompok yang kedua ini dalam prosesnya
rawan penyimpangan dan akuntabilitasnya rendah.

Untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah ini, maka disarankan agar untuk bantuan
modal dilakukan dua hal sebagai berikut:

a. Untuk usulan yang terbukti melalui proses yang bertentangan dengan hukum atau yang
beneficiaries-nya bukan kelompok rentan (fakir miskin, anak-anak keluarga
berpenghasilan rendah, kelompok wanita berpengahasilan rendah, pengangguran, dan
penderita cacat), maka Tim Eksternal Vale harus secara tegas menolak.
b. Bantuan modal yang ditujukan untuk kelompok rentan perlu disalurkan melalui lembaga
di desa yang memiliki mandat dan kapasitas dalam meningkatkan kesejahteraan melalui
kegiatan ekonomi.

Salah satu lembaga yang dimaksud adalah BUMDes (ada perda yang mengatur tentang ini,
yaitu Perda Kab. Luwu Timur No. 7 Tahun 2008). Alasan pemilihan Bumdes adalah sebagai
berikut:

a. Penyerahan dana bantuan modal crash program untuk dikelola oleh BUMDes tidak
menyalahi aturan.
b. BUMDes adalah milik desa, sehingga penyerahan dana comdev untuk dikelola oleh
BUMDes otomatis akan meningkatkan asset desa.
c. Vale dapat mengatasi masalah kekurangan personil dengan bekerja sama dengan
BUMDes.
d. Penggunaan dana bantuan usaha menjadi dapat didampingi dan diawasi secara lebih
efektif dan efisien.

Tim Eksternal Vale perlu melakukan assessment secara cepat apakah di 34 desa terdampak
terdapat 34 BUMDes yang siap bekerja sama. Jika ada, maka Vale perlu segera menyiapkan
MoU pengelolaan dana comdev dengan BUMDes. Bila tidak ada, maka Vale perlu segera
berkonsultasi dengan Dinas Pemberdayaan untuk mengatasi masalah ketiadaan BUMDes di
desa. Untuk pembiayaan infrastruktur, Vale perlu segera menyiapkan MoU pengelolaan
infrastruktur dengan Desa dan Kecamatan.

Anda mungkin juga menyukai