Masa Depan Pancasila
Masa Depan Pancasila
Depan
Pancasila
Oleh:
Muchamad
Ali
Safa’at
(Dosen
Fakultas
Hukum
Universitas
Brawijaya)
Setelah
beberapa
waktu
sangat
jarang
menjadi
tema
diskursus
publik,
Pancasila
akhir-‐akhir
ini
mendapat
perhatian.
Setidak-‐tidaknya
Pancasila
banyak
disebut
sebagai
dasar
atau
legitimasi
suatu
pendapat
atau
tindakan.
Frekuensi
perbincangan
tentang
Pancasila
meningkat
tajam
pada
1
Juni
yang
telah
ditetapkan
sebagai
hari
kelahiran
Pancasila.
Berbagai
forum
kajian,
bahkan
kongres
diselenggarakan
untuk
membahas
berbagai
hal
seputar
Pancasila.
Pancasila
memang
telah
menempati
posisi
penting
dalam
sejarah
kehidupan
bangsa
Indonesia.
Walaupun
masih
terdapat
perbedaan
pandangan,
namun
beberapa
posisi
penting
yang
dilekatkan
pada
Pancasila
antara
lain
adalah
sebagai
dasar
filsafat
bangsa,
pandangan
hidup,
dasar
negara,
bahkan
sebagai
ideologi
negara.
Namun
posisi
penting
Pancasila
tidak
beriringan
dengan
realitas
sosial.
Dalam
berbagai
forum
ilmiah
maupun
tulisan
yang
selalu
mengemuka
adalah
kekecewaan
dan
kekhawatiran.
Kekecewaan
karena
banyak
realitas,
baik
berupa
kebijakan
maupun
praktik
kehidupan
sosial,
yang
dinilai
tidak
sesuai
dengan
Pancasila.
Kekhawatiran
karena
melihat
perkembangan
masyarakat,
utamanya
generasi
muda,
dinilai
tidak
memahami
Pancasila.
Khawatir
karena
banyak
yang
tidak
hafal
sila-‐sila
Pancasila,
walaupun
hal
ini
tentu
merupakan
kekhawatiran
yang
dangkal.
Kekecewaan
dan
kekhawatiran
ini
melahirkan
pemikiran
dan
sikap
berupa
penghakiman
dan
berbagai
pelarangan
yang
justru
semakin
menjauhkan
Pancasila
dari
masyarakat,
utamanya
dari
generasi
muda.
Kekecewaan
dan
kekhawatiran
yang
dilandasi
oleh
alam
pikir
masa
lalu
yang
jauh
relevansinya
dengan
realitas
sehingga
sulit
diterima
oleh
alam
pikir
generasi
kekinian.
Pancasila
sebagai
Sistem
Nilai
Apapun
label
atau
kedudukan
yang
diberikan
pada
Pancasila,
inti
dari
Pancasila
adalah
suatu
sistem
nilai.
Kelima
sila
Pancasila
adalah
sistem
nilai
yang
diyakini
kebenaran
dan
kebermanfaatannya
bagi
bangsa
Indonesia.
Sebagaimana
sistem
nilai
yang
lain,
baik
berupa
pandangan
hidup,
filsafat,
bahkan
agama
sekalipun,
dapat
saja
dianggap
telah
aus
atau
ketinggalan
jaman.
Sistem
nilai
yang
mampu
bertahan
sebagai
rujukan
bersama
adalah
sistem
nilai
yang
tetap
memiliki
relevansi
dengan
realitas
individu
dan
masyarakat.
Pancasila
tidak
akan
ditinggalkan
tatkala
masih
mampu
menjadi
rujukan
menyelesaikan
problem
individu
dan
masyarakat
Indonesia.
Sebaliknya,
ketika
Pancasila,
atau
sebenarnya
adalah
pemikiran
elaboratif
tentang
Pancasila,
tidak
dapat
lagi
menjadi
pedoman
menyelesaikan
masalah
warga
dan
bangsa
Indonesia,
diakui
atau
tidak
Pancasila
akan
ditinggalkan.
Oleh
karena
itu
sistem
nilai
Pancasila
harus
terus
berkembang
dari
lima
sila
yang
ada
dalam
Pembukaan
UUD
1945.
Perkembangan
sistem
nilai
itu
dibentuk
oleh
pemahaman
yang
didasarkan
pada
realitas
yang
sedang
dialami.
Pemahaman
yang
sesuai
dengan
perkembangan
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara
dari
semua
aspek
pasti
berbeda
antara
satu
masa
dengan
masa
yang
lain.
Hal
ini
pasti
melahirkan
perbedaan
pemahaman
antar
generasi,
dan
sudah
seharusnya
perbedaan
pemahaman
itu
melahirkan
perbedaan
elaborasi
atas
nilai-‐nilai
Pancasila.
Karena
itulah
sungguh
tepat
saat
Pancasila
ditempatkan
sebagai
ideologi
terbuka,
bukan
ideologi
tertutup.
Konsekuensi
dari
ideologi
terbuka
adalah
Pancasila
berada
pada
level
abstrak
yaitu
nilai-‐nilai
universal
yang
diterima
oleh
segenap
komponen
bangsa.
Pancasila
memberikan
ruang
dinamika
yang
luas
bagi
manifestasi
nilai-‐nilai
itu
dalam
bentuk
dan
pilihan-‐pilihan
kebijakan
sesuai
dengan
realitas
dan
alam
pikir
tiap
generasi.
Dengan
sendirinya
setiap
generasi
memiliki
hak
sepenuhnya
menentukan
pemahaman
yang
memengaruhi
perkembangan
sistem
nilai
Pancasila.
Masa
Depan
Pancasila
Untuk
merawat
masa
depan
Pancasila
yang
harus
dijaga
adalah
membuat
Pancasila
tetap
relevan
dengan
kehidupan
bangsa.
Menjaga
Pancasila
tidak
lagi
dapat
dilakukan
dengan
mitos
“Pancasila
Sakti”
karena
telah
mampu
melewati
upaya
penggantian
dengan
ideologi
lain.
Merawat
Pancasila
juga
tidak
dapat
dilakukan
dengan
menghakimi
pemikiran-‐pemikiran
baru
yang
pasti
berbeda
dengan
pemikiran
yang
disampaikan
oleh
para
pendiri
bangsa,
oleh
angkatan
66,
maupun
oleh
angkatan
Orde
Baru.
Setiap
generasi
hidup
di
jaman
dan
alam
pikir
yang
berbeda.
Apalagi
jika
penghakiman
itu
diikuti
dengan
pelarangan
buku
dan
aktivitas
karena
dicap
bertentangan
dengan
Pancasila.
Ironisnya
lagi
tindakan
itu
dilakukan
kelompok
masyarakat
tertentu
dengan
kepentingan
tertentu.
Jika
hal
itu
dilakukan,
akan
terjadi
monopoli
kebenaran
atas
Pancasila
yang
sering
dipaksakan
dengan
kekerasan.
Pancasila
turun
derajat
sebagai
label
pembenar
atas
pemikiran
dan
tindakan
yang
tidak
sesuai
dengan
semangat
jaman.
Pancasila
pun
akan
lebih
dipersepsi
secara
negatif
sebagai
pikiran
masa
lalu,
atau
setidak-‐tidaknya
sebagai
pikiran
orang
masa
lalu
yang
tidak
mampu
beradaptasi
dengan
masa
kini.
Lebih
khawatir
lagi
ketika
Pancasila
dipersepsi
sebagai
cara-‐cara
paksaan
dan
kekerasan
seperti
yang
dipraktikkan
oleh
kelompok
yang
mengklaim
sebagai
penjaga
Pancasila.
Masa
depan
Pancasila
tetap
akan
cerah
dan
terjaga
ketika
dielaborasi
melalui
pemikiran
yang
terbuka.
Untuk
menemukan
keunggulan
dan
relevansi
Pancasila
tentu
harus
membandingkan
dengan
sistem
nilai
lain,
atau
bahkan
menemukan
pemahaman
dan
pemaknaan
baru
dari
dialog
antar
sistem
nilai.
Upaya
mensosialisasikan
dan
membumikan
Pancasila
tidak
dapat
lagi
dilakukan
dengan
doktrinasi,
pidato
berapi-‐api,
ataupun
orasi
dengan
penuh
kemarahan,
sembari
menciptakan
halusinasi
ancaman-‐ancaman
terhadap
Pancasila,
padahal
sumber
masalah
ada
pada
diri
sendiri.
Sosialisasi
dan
pembumian
Pancasila
harus
dilakukan
secara
dialogis
dan
kontekstual
sehingga
nyaman
dan
relevan
dengan
persoalan
yang
dihadapi
oleh
masyarakat
dan
bangsa
Indonesia.
Sebagaimana
hasil
beberapa
survey,
kita
tentu
masih
percaya
dan
berharap
tetap
menjadi
falsafah
dasar
bernegara
dan
memiliki
relevansi
dalam
kehidupan
berbangsa.
Namun
kepercayaan
dan
harapan
itu
tidak
dapat
tumbuh
dan
terjaga
karena
ketakutan,
baik
ketakutan
dicap
tidak
Pancasilais
maupun
ketakutan
akan
kekerasan.
Kepercayaan
dan
harapan
itu
hanya
dapat
tumbuh
dan
terjaga
tatkala
generasi
bangsa
meyakini
dengan
kesadaran
sendiri
akan
kebenaran
serta
merasakan
kebermanfaatan
Pancasila
dalam
berkehidupan.
Hal
ini
terjadi
ketika
diberi
ruang
mengembangkan
pemahaman
Pancasila
sesuai
kondisi
jaman
dan
alam
pikirnya.