Pendidikan
Pancasila
Makna Pancasila dalam Sistem
Filsafat dan Dasar Ilmu
05
Tehnik Teknik Sipil U001700006 Drs. Syamsu Ridhuan, M. Pd
Abstract Kompetensi
Penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai Kemampuan akhir yang diharapkan
filsfat dan dasar ilmu memberikan adalah mahasiswa dapat memahami
makna bahwa Pancasila juga dapat Pancasila sebagai filsfat dan dasar ilmu
dikaji secara ilmiah dan mendalam dari memberikan makna bahwa Pancasila
berbagai sudut padang. Kajian tentang juga dapat dikaji secara ilmiah dan
filsfata Pancasila, sistem nilai-nilai pada mendalam dari berbagai sudut padang.
Pancasila, hakikat serta philosphische Kajian tentang filsfata Pancasila, sistem
grondslag dan waltenschauung dari nilai-nilai pada Pancasila, hakikat serta
Pancasila makna dari philosphische grondslag dan
waltenschauung dari Pancasila
Pembahasan
Pendahuluan
Penggalian nilai-nilai Pancasila sebagai filsfat dan dasar ilmu memberikan makna bahwa
Pancasila juga dapat dikaji secara ilmiah dan mendalam dari berbagai sudut padang. Hal ini
penting agar tidak menilai Pancasila dari kamamata subjektif sebagai dasar dan falsafah
negara. Tetapi juga secara objektif dari sudut pandang ilmu, dan hasil-hasil riset yang digali
sejak zaman historsi, hingga zaman millenal yang ditandai dengan revolusi 4.0.
Diawali dengan Soekarno, sebagai “penggali” dari Pancasila Dasar Negara (Pancasila,
Filsafat Negara) mengutamakan untuk menggunakan “Weltanschauung” daripada
“Filosofische Grondslag” atau prinsip filsafat untuk menjelaskan makna dari “Foundation of
the state” (Dasar Negara). Weltanschauung merupakan suatu konsepsi yang komprehensif
untuk memahami dunia, terutama dari suatu titik tolak yang khusus.
Untuk memahami Pancasila sebagai ideologi negara, kita perlu membaca pidato Soekarno,
pada tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Dalam
naskah pidatonya, Soekarno menjelaskan gagasannya mengenai bentuk dari bangsa
Indonesia setelah Kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kebangsaan : suatu negara
yang demokratis, suatu negara kesejahteraan, suatu negara yang manusiawi, dan suatu
negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, ini kemudian disimpulkan
sebagai Pancasila.
Pancasila merupakan norma dari segala norma hukum (norma pertama adalah
Nasionalisme atau Kebangsaan). Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) norma dari
segala norma menjadi “Ketuhanan”, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Setelah diperdebatkan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, rumusan akhir dari Pancasila menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan
yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijakasanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Kadang nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila yang merupakan penjelmaan dari seluruh
bangsa Indonesia tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi diabaikan sehingga
akibat dari itu nilai-nilai leluhur tersebut sendirinya akan hilang. Menyadari bahwa untuk
kelestarian nilai-nilai Pancasila itu perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus
penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu
setiap warga negara Indonesia, penyelenggara Negara, serta lambang kenegaraan, dan
lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah harus sama-sama mengamalkan
nila-nilai Pancasila demi kelestariannya. Oleh karena itu, sebagai upaya nyata demi
kelestarian nilai-nilai luhur Pancasila, perlu ditanamkan atau perlu ada pemahaman kepada
generasi penerus bangsa, salah satunya lewat pendidikan Pancasila.
Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani (Philosophia), tersusun dari kata philos yang berarti
cinta atau philia yang berarti persahabatan, serta kata sophos yang berarti kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan inteligensi. Dengan demikian
philosophia secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan juga dikenal
dalam bahasa Inggris, Wisdom. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat
berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa
menjadi konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Filsafat memiliki banyak arti,
tergantung pada bagaimana filsuf-filsuf menggunakannya.
Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu
untuk memperoleh kebenaran. Berdasarkan pengertian umum ini, ciri-ciri filsafat dapat
disebut sebagai usaha berpikir radikal, menyeluruh, dan integral, atau dapat dikatakan
Perkembangan masyarakat dunia semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan perubahaan besar pada berbagai bangsa di dunia. Gelombang besar
kekuatan Internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengacam bahkan
menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termaksud Indonesia. Akibat yang
langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan
karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme dan internasionalisme.
Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan
rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul
masalah internal,yaitu maraknya tuntunan rakyat yang secara objektif mengalami suatu
kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah konflik internal
seperti gambaran diatas mengakibatkan suatu tarik menarik kepentingan yang secara
langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk baik secara subjektif
maupun objektif serta terjadinya pergeseran nilai dimasyarakat pada akhirnya mengancam
prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia.
Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding fathers) negara
Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara
itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikian maka Pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia saat ini mendapat ancaman dari kemunculan nilai-nilai baru dari luar dan
pergeseran nilai-nilai yang terjadi. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu
masyarakat,suatu bangsa, senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain didunia.
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka,
mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental di atas
Ke lima dasar atau perinsip yang terdapat dalam sila–sila Pancasila tersebut merupakan
satu kesatuan bagian bagian sehingga saling berhubungan dan saling berkerja sama untuk
satu tujuan tertentu, sehinga dapat disebut sebagai suatu sistem sebagaimana dikutip oleh
Kaelan (2000:66) dari shrode dan don voich memiliki ciri ciri sebagai berikut:
Berdasarkan pengertian tersebut Pancasila yang berisi 5 sila yaitu : Sila ketuhanan yang
maha esa; sila kemanusiaan yang adil dan beradab; sila persatuan Indonesia; sila
kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, saling berhubungan membentuk satu
kesatuan sistem yang dalam proses berkerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan.
Meskipun setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memilki fungsi sendiri-
sendiri, namun memilki tujuan tertentu yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan
pokok-pokok pengertiannya yang mendasarkan dan menyeluruh. Pancasila dikatakan
sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang
dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul
Gani, 1998).
Pengertian filsafat secara umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan,
norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana dan paling sesuai dengan kehidupan
dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam
Pancasila adalah asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi
lebih rinci ke dalam butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis, sehingga filsafat Pancasila
tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan
mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life weltanschauung) agar hidup bangsa
Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat
(Salam, 1988 : 23-24). Sebagai filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis, epistemologis
dan aksiologis, seperti diuraikan di bawah ini.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan
menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan
utuh, hierarkis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan
suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna
sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna
bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus
berdasarkan nilai-nilai keTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Pemikiran fisafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan
Karakteristik Pancasila
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda
dengan filsafat lainnya, yaitu :
(1) Karakteristik filsafat Pancasila yang pertama yaitu sila-sila dalam Pancasila merupakan
satu kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dalam hal ini, apabila
tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan
merupakan Pancasila.
(2) Karakteristik filsafat Pancasila yang kedua ialah dalam susunan Pancasila dengan suatu
sistem yang bulat dan utuh sebagai berikut.
– Sila 1 mendasari, meliputi dan menjiwai sila 2, 3, 4 dan 5.
– Sila 2 didasari, diliputi, dijiwai sila 1 dan mendasari serta menjiwai sila 3, 4 dan 5.
– Sila 3 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari serta menjiwai sila 4 dan 5.
– Sila 4 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3, serta mendasari dan menjiwai sila 5.
– Sila 5 didasari, diliputi, dijiwai sila 1, 2, 3 dan 4.
(3) Karakteristik filsafat Pancasila yang berikutnya, Pancasila sebagai suatu substansi
artinya unsur asli atau permanen atau primer Pancasila sebagai suatu yang mandiri, dimana
unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
(4) Karakteriktik filsafat Pancasila yang terakhir yaitu Pancasila sebagai suatu realita artinya
ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya sebagai suatu kenyataan hidup
bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang di dalam kehidupan sehari-hari.
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak,
oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pokok
pendukung sila-sila Pancasila adalam manusia
Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Kalau manusia
merupakan basis ontologi Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap
bangunan epistemologis dari Pancasila. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistemologis, yaitu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori
kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta
bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Menurut Notonegoro, nilai-nilai
tersebut dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
Kata „hakikat‟ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang
terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah
dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan oleh Notonagoro (1975: 58), hakikat
segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau
membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua unsur mutlak, yaitu hidrogen dan
oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan
kata lain, kedua unsur tersebut secara bersama-sama menyusun air, sehingga terpisah dari
benda yang lainnya, misalnya dengan batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata „hakikat‟ dapat dipahami dalam
tiga kategori, yaitu: 1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat
umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak
sila-sila Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,kerakyatan,
dan keadilan. Menurut bentuknya, Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia,
satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV, dan
V), sedangkan yang satu berupa per dan an (sila III). Kedua macam awalan dan akhiran itu
mempunyai kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat abstrak atau mujarad,
tidak maujud atau lebih tidak maujud arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada barang
sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang
ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat
dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada
pada bangsa Indonesia. Hakikat pribadi inilah yang realisasinya sering disebut sebagai
kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat kongkrit
Pancasila terletak padafungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalamrealisasinya,
Pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan
negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan seharihari, tempat,
keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat kongkrit itu, pelaksanaan Pancasila dalam
kehidupan negara setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan
waktu, keadaan, serta perubahan zaman (Notonagoro, 1975: 58-61).
1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk
piramida Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila
memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang
ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila
ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima.
Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan
hirarkis sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal
sifat-sifatnya (kualitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-
urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada dimukanya.
Dalam susunan hirarkis dan piramida, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang
membangun, memelihara dan mengembangkan persatuanIndonesia, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila
di dalamnya mengandungsila-sila lainnya. Secara ontologis, kesatuan sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh
Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada
karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu
yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai
akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek
pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara
adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila
kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang
bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang
disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah
dan pemerintah.Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu
(sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama
atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup
bersama yang disebut negara.
2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam
hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis
piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila
Menurut Bung Karno Philosophische Grondslag adalah Fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan “gedung
Indonesia Merdeka”. Jadi frasa “untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka”
Di samping itu, Bung Karno menyatakan bahwa untuk Dasar Negara dapat dipakai istilah
yang muluk, yaitu weltanschauung. Beliau tidak mengemukakan definisi weltanschauung,
tetapi hanya memberi contoh sebagai berikut:
1. Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische weltanschauung.
2. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas Marxistische, Historisch Materialis-tische
Weltanschauung.
3. Nippon mendirikan negara di atas Tenno Koodo Seisin.
4. Saudi Arabia, Ibn Saud mendirikan negara di atas satu Weltanschauung, bahkan di
atas dasar agama, yaitu Islam.
5. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka di atas Weltanschauung San Min
Chu I, yaitu Minsu, Minchuan, Minshen; Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme.
Dari pidato 1 Juni 1945 dapat pula disimpulkan bahwa menurut Bung Karno weltanschauung
dekat dengan istilah agama dan ideologi. Bedanya agama kedudukannya dianggap lebih
tinggi weltanschauung dan ideologi.
• Prof.Dr. Ngadino Surip, M.S., Dr. Syahrial Syarbaini, M.A., Dr. (c) A. Rahman HI,
M.Si. 2015. “Pancasila dalam Makna dan Aktualisasi”. Andi. Yogyakarta