Anda di halaman 1dari 73

Modul Mata Kuliah 

PANCASILA
Modul Mata Kuliah PANCASILA
Prolog
 

TINJAUAN MATA KULIAH

Mata kuliah Pendidikan Pancasila memberikan penjelasan tentang perlunya diberikan


perkuliahan Pancasila dari berbagai sudut pandang, beberapa teori asal mula, fungsi dan
kedudukan, hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945, pemikiran dan pelaksanaan serta
reformasi pemikiran dan pelaksanaan Pancasila. Selain hal tersebut di atas, pada matakuliah
Pendidikan Pancasila ini juga dibahas permasalahan aktual dewasa ini khususnya tentang SARA,
HAM, krisis ekonomi, dan berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai Pancasila.

Modul-modul matakuliah Pendidikan Pancasila ini disusun berdasarkan Garis Besar


Program Pembelajaran yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nomor: 265/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi di Indonesia.

Tujuan umum yang ingin dicapai oleh matakuliah Pendidikan Pancasila tertuang dalam
Tujuan Instruksional Umum, yaitu mahasiswa diharapkan dapat:

1. Memahami landasan diberikannya perkuliahan Pancasila.


2. Memahami pengertian Pancasila.
3. Memahami pengetahuan ilmiah secara umum dan Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah.
4. Memahami Pancasila sebagai obyek studi ilmiah.
5. Memahami pengertian teori asal mula.
6. Memahami teori asal mula Pancasila secara budaya, asal mula Pancasila formal, dan
dinamika Pancasila sebagai dasar negara.
7. Memahami dan menjelaskan fungsi serta kedudukan Pancasila, baik secara formal yaitu
Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia maupun secara material yakni Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa.
8. Memahami dan menjelaskan tentang hubungan Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 maupun kedudukan hakiki Pembukaan UUD 1945.
9. Memahami dan menjelaskan pemikiran dan pelaksanaan Pancasila serta Reformasi
pemikiran dan pelaksanaan Pancasila.
10. Memahami dan menjelaskan berbagai permasalahan aktual dewasa ini, khususnya
permasalahan SARA, HAM, dan krisis ekonomi serta berbagai pemikiran yang digali dari
nilai-nilai Pancasila untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Beban kredit matakuliah Pendidikan Pancasila adalah 2 sks. Setiap sks mempunyai 3 modul
sehingga matakuliah ini mempunyai 6 modul. Keenam judul modul mencerminkan tujuan
instruksional umum yang dibahas pada modul tersebut. Adapun judul modul tersebut adalah:

Modul 1 : Pengertian Pancasila dan Ruang Lingkupnya

Modul 2 : Pancasila dalam Konteks Sejarah Bangsa

Modul 3 : Pancasila Sebagai System Filsafat

Modul 4 : Pancasila sebagai Ideologi Negara

1|Page
Modul 5 : Etika Politik Berdasar Pancasila

Modul 6 : Nilai-Nilai Pancasila dan HAM

Modul 7 : Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan RI

Modul 8 : Hakikat Pancasila

Modul 9 : Pancasila sebagai dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Modul 10 : Demokrasi dalam Ketatanegaraan RI

Modul 11 : Pancasila sebagai Paradigma kehidupan dalam bermasyarakat berbagsa dan bernegara

Modul 12 : Aktualisasi Pancasila dalam kehidupan Kampus

Tujuan instruksional umum tersebut di atas kemudian dipecah/dirinci lagi dalam satu atau
lebih tujuan instruksional khusus. Esensi tujuan instruksional khusus tersebut mencerminkan
jenis-jenis perilaku akhir yang seyogianya dapat ditunjukkan oleh para mahasiswa setelah
mempelajari modul ini.

Keseluruhan pembahasan bahan-bahan kuliah yang terdapat di dalam modul ini


penyajiannya diusahakan sesederhana mungkin, terutama untuk hal tertentu yang materinya
banyak, akan tetapi tentu saja ada bahan-bahan yang memang belum tertampung dalam modul
seluruhnya, untuk pengembangan dan penyajiannya dapat dilihat dari sumber Pustaka lain.
Demikin gambaran tentang matakuliah Pendidikan Pancasila. Dengan adanya gambaran ini
diharapkan para mahasiswa dapat menyiapkan diri untuk lebih baik.

2|Page
Modul 1
PANCASILA DAN RUANG LINGKUPNYA

Kegiatan Belajar 1

LANDASAN PENDIDIKAN PANCASILA

Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari,


mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tingkatan-
tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat
pengetahuan ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan
kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab
pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan kausal
memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai sebab akibat
(kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis (asal mula bahan dari Pancasila),
kausa formalis (asal mula bentuk), kausa efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula
tujuan).

Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah kemana.


Adapun pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa
sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui hakikat.
Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti sari
atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya.
Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan
pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah.

Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu
sesungguhnya terkait dengan kebebasan yang dimilikinya.

TUJUAN PENDIDKAN PANCASILA

Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk
memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Tujuan
perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI, juga menguasai
pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945.

Kegiatan Belajar 2

PANCASILA SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH


Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek,
bermetode, bersistem, dan bersifat universal. Berobjek terbagi dua yakni objek material dan objek
formal. Objek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga pokok soal (subject
matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek
formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest, point of view) merupakan titik pusat
perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Bermetode atau

3|Page
mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang
logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem atau bersifat
sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu
kesatuan yang yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan
keseluruhan. Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa
penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju atau
tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila memiliki dan
memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat dipelajari secara ilmiah.

Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga memiliki


susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan hierarkhis dan berbentuk
piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.

Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi ilmiah, yakni pendekatan yang
dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu penguraian yang
menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian yang
selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat dari
studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang diuraikan memiliki kegunaan atau
manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap Pancasila antara lain: pendekatan
historis, pendekatan yuridis konstitutional, dan pendekatan filosofis.

BEBERAPA PENGERTIAN PANCASILA

Istilah “Pancasila” telah dikenal di Indonesia sejak zaman majapahit abad XIV, yaitu terdapat
pada buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca dan dalam buku Sutasoma karangan
Empu Tantular. Tetapi baru dikenal oleh bangsa Indonesia sejak tanggal 1 Juni 1945, yaitu
pada waktu Ir. Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang Badan
Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pancasila merupakan landasan dari segala keputusan bangsa dan menjadi ideologi tetap pada
bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa. Pancasila adalahn ideologi bagi Republik
Indonesia, Pancasila dipergunakan sebagai dasar yang mengatur pemerintahan negara.

1. Dari Segi Etimologi


Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta (bahasa Brahmana India) yang artinya
a. Panca = Lima
b. Sila / syila = batu sendi, ulas atau dasar
Jadi, pancasila adalah lima batu sendi

Atau

Panca = lima
Sila / syila = tingkah laku yang baik
Jadi, pancasila adalah lima tingkah laku yang baik.

2. Dari segi Terminologi


Istilah “Pancasila” di dalam “Falsafah Negara Indonesia” mempunyai pengertian sebagai
nama dari 5 dasar negara RI, yang pernah diusulkan oleh Bung Karno atas petunjuk Mr. Moh.
Yamin pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu pada saat bangsa Indonesia sedang menggali apa yang

4|Page
akan dijadikan dasar negara yang akan didirikan pada waktu itu. Lima dasar negara yang
diberikan nama Pancasila oleh Bung Karno, ialah :

1. Kebangsaan
2. Prikemanusiaan
3. Mufakat
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan YME

Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli


Berikut Ini Merupakan Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli.

 Ir. Soekarno
Pancasila adalah isi dalam jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun lamanya terpendam
bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi
lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.

 Muhammad Yamin
Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti “lima” serta Sila berarti “sendi, atas, dasar atau
peraturan tingkah laku yang penting serta baik”.

 Notonegoro
Pancasila adalah dasar falsafah dari negara indonesia, sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwasanya Pancasila adalah dasar falsafah serta ideologi negara yang dapat diharapkan
menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar kesatuan.

Makna Pancasila
Makna yang terkandung pada Pancasila (ke-5 sila) adalah :

Pada bagian dada burung garuda terdapat perisai yang dalam kebudayaan serta peradaban
bangsa Indonesia merupakan senjata untuk berjuang, bertahan, serta berlindung untuk meraih
tujuan. Perisai Garuda bergambar lima simbol yang memiliki arti masing-masing iyalah.

Bintang : Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa

“Memercayai adanya Tuhan yang satu, Tuhan yang maha Esa”.

Rantai Baja : Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

“Mengandung pengertian : Hak hidup, Hak Kebebasan, Persamaan Hak serta Hak untuk
memiliki.

Pohon beringin : Sila Ketiga : Persatuan Indonesia

“Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku serta adat istiadat harus bersatu untuk
Negara Indonesia , Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa
serta negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan”.

5|Page
Kepala banteng :Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan

1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.


2. Tidak memaksakan kehendak orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil sebuah keputusan untuk
kepentingan bersama.
4. Dengan itikad yang baik , rasa tanggung jawab menerima serta melaksanakan
hasil musyawarah”.

Padi dan kapas : Sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia :

1. “Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap


serta suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
2. Bersikap adil pada semua golongan.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak-hak orang lain.
5. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan yang
berkeadilan sosial”.

Burung Garuda Pancasila dalam cerita kuno iyalah kendaraan Dewa Vishnu yang besar dan
kuat. Burung Garuda bewarna iyalah kuning emas yang menggambarkan sifat agung dan
jaya. Burung Garuda iyalah seekor burung yang gagah dengan paruh, sayap, ekor,serta cakar
yang menggambarkan kekuatan serta tenaga pembangunan.

 Jumlah bulu burung garuda pancasila iyalah melambangkan hari kemerdekaan


Indonesia , 17 Agustus 1945
 Bulu masing-masing sayah berjumlah 17 helai
 Bulu Ekor yang berjumlah 8 helai
 Bulu Leher berjumlah 45 helai

Garis hitam tebal di tengah perisai melambangkan garis katulistiwa yang melukiskan lokasi
Indonesia berada pada garis katulistiwa. Warna dasar perisai adalah merah putih
melambangkan warna bendera Indonesia.

Teks pancasila
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945,
disusunlah suatu UUD pada 18 Agustus 1945 yang di dalam pembukaannya tercantum lima
dasar Negara R.I. Ia, Pancasila adalah lima dasar negara yang tercantum dalam pembukaan
UUD ’45, yaitu dasar:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia

6|Page
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Fungsi Pancasila
 Tujuan mencantumkan pancasila dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk
dipergunakan sebagai dasar negara RI, yaitu landasan dalam mengatur jalannya
pemerintahan di Indonesia.
 Pancasila merupakan jiwa dan kepribadian bangsa, karena unsur-unsurnya telah
berabad-abad lamanya terdapat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pancasila adalah pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang sekaligus
merupakan tujuan hidup bangsa Indonesia.
 Ketetapan MPR No. 11/MPR/1978 tertanggal 22 Maret 1978 tentang pedoman
penghayatan dan pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) antara lain :
“Sesungguhnya sejarah telah mengungkapkan bahwa pancasila adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam kehidupan lahir batin yang makin baik, dalam masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur.
 Bahwasanya pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti
yang telah diuji kebenerannya, keampuhan dan kesaktiannya sehingga tidak ada suatu
kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia”.

Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara


Pancasila dalam kehidupannya ini sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah
Negara dari negara, ideologi negara. Dalam pengertian ini pancasila merupakan suatu dasar
nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan Negara atau dengan kata lain pancasila
merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara.

Konsep jensinya seluruh pelaksana dan penyelenggara Negara terutama segala peraturan
perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini, di jabarkan
dari nilai-nilai Pancasila.

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa


Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkadung di dalamnya konsepsi dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan
mengenai wujud kehidupan yang di anggap baik.

Oleh karena itu pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup dijunjung tinggi
oleh warganya karena pandangan hidup bangsa Pancasila berakar pada budaya dan
pandangan hidup masyarakat.

Sebagai intisari dari nilai budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita
moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk
berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

7|Page
Pengertian Pancasila Dengan Berbagai Penyebutan
1.) Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia adanya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa
Indonesia, yaitu jaman Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan jauh sebelum itu jiwa Pancasila
telah ada sejak dulu kala.

2.) Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia


Sikap, mental, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia yang mempunyai ciri khas
berbeda dengan bangsa lain. Ciri khas inilah yang kita maksud dengan kepribadian bangsa
Indonesia (pancasila).

3.) Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Hukum atau Tertib Hukum RI
Semua peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia haruslah sesuai atau tidak
boleh bertentangan dengan nilai – nilai Pancasila.

4.) Pancasila Sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia Pada Saat Mendirikan Negara.
Pancasila merupakan perjanjian luhur oleh seluruh rakyat Indonesia oleh pendiri Negara kita
maka harus kita bela selamanya.

5.) Pancasila Sebagai Cita-Cita dan Tujuan Bangsa Indonesia


Bahwa cita – cita luhur Negara kita ditegaskan dalam pembukaan UUD 1946 merupakan
penuangan jiwa proklamasi, yaitu jiwa pancasila, sehingga pancasila merupakan cita – cita
dan tujuan bangsa  Indonesia.

6.) Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia


Sebagai suatu ideologi bangsa dan Negara Indonesia maka pancasila pada hakikatnya bukan
hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang
sebagai mana ideologi – ideologi lain di dunia, namun pancasila diangkat dari nilai nilai adat
istiadat.

nilai – nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia sebelum membentuk Negara, dengan lain perkataan unsur – unsur yang merupakan
materi (bahan) pancasila tidak lain  diangkat dari pandangan hidup masyarakat sesndiri,
sehingga bangsa ini merupakan kausamaterialis (asal bahan) pancasila.

7.) Pancasila Sebagai Filsafat Hidup Bangsa Indonesia


Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuatan, dalam kehidupan sehari-hari, dan kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Sebelum pancasila menjadi dasar filsafat hidup bangsa, yaitu sebelum 18 Agustus 1945
Pancasila menjadi nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang kita kenal sebagai sifat – sifat,
teposeliro  (suka bekerja keras) tepotulodo (tolong menolong atau gotong royong) dan
tepopalupi (peduli kasih).

8|Page
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh
dan berkembangnya bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan filsafat hidup bangsa
Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

Nilai dasar yang di maksud adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan sosial, yang urutannya termuat dalam alinea IV pembukaan
UUD 1945.

8.) Pancasila Sebagai Sistem Moral Dan Etika


Moral dan etika sangat berkaitan dengan nilai tatanan ataupun nilai norma yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat, yang menjadi ukuran nilai manusia untuk berbuat dan
bertingkah laku. Menurut Prof. Drs. Notonagoro, SH dalam bukunya (1974) filsafat dasar
Negara menyebutkan nilai di bagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Nilai material, yaitu segala yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2. Nilai fital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melakukan
kegiatan atau aktifitas.
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Lebih lanjut dapat di kemukakan bahwa nilai moral dan etika dalam arti sistem pancasila
adalah nilai-nilai yang bersumber kepada kehendak atau kemauan manusia untuk berbuat
sesuatu, tetapi berlandaskan kepada unsur kemauan yang baik dan positif, disamping adanya
unsur pembenar perbuatan yang bersumber kepada rasio atau akal manusia berdasarkan nilai-
nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Liberty
2. Bertens (1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
3. Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Indonesia.
4. Jacob (1999). Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan IPTEK. Yogyakarta:
Interskip dosen-dosen Pancasila se Indonesia
5. Kaelan (1986). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
6. Kaelan (1996). Filsafat Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
7. Kaelan (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit
Paradigma
8. Kaelan (1999). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit
Paradigma
9. Kattsoff, Louis O. (1986). Element of Philosophy (Terjemahan Soejono Soemargono:
Filsafat). Yogyakarta: Tiara Wancana
10. Liang Gie, The (1998). Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB
11. Notonegoro (1975). Pancasila Secara Utuh Populer. Jakarta: Pancoran Tujuh
12. Pangeran, Alhaj (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika
13. Soemargono, Soejono (1986). Filsafat Umum Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya
14. Soeprapto, Sri (1997). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LP-3-
UGM
15. Sutardjo (1999). Dasar Esensial Calon Sarjana Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka
16. Syafitri, Muarif Achmad (1985). Islam dan Masalah Kengeraan. Penerbit
17. Wibisono, Koento (1999). Refleksi Kritis Terhadap Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat
dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni 1999. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM

9|Page
18. Yamin, Muhammad). Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Jakarta:
Prapanca
19. Zubair A., Charris (1995). Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL Pustaka Primer

1. Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen Tahap Pertama


2. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Istimewa tahun 1998
3. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Umum tahun 1998

MODUL II:
PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH BANGSA INDONESIA

TUJUAN PERTEMUAN:

Mahasiswa mampu memahami kesejarahan Pancasila yang meliputi; (1) kajian sejarah Pancasila pada
beberapa fase secara komprehensif. (2) analisis objektif tentang kebenaran sejarah Pancasila yang
utuh. (3) bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dari pengambilan kajian Pancasila yang
dipandang benar berdasarkan hasil kajian yang dilakukan secara kolektif-etis.

INDIKATOR:

1)Mempunyai pemahaman komprehensif atau utuh mengenai sejarah Pancasila dalam 4 era
beserta problem-problem yang mengitarinya

2)Mempunyai kemampuan memilah sejarah Pancasila yang obyektif, terutama terkait dengan tafsir
pancasila dalam setiap periode kekuasaan.

3)Bertangungjawab secara akademik-moral atas kajian sejarah Pancasila yang bersifat komprehensif.

4)Mampu mengimplementasikan pemahaman sejarah pancasila tersebut untuk terciptanya pemikiran


kritis, konstruktif, dan inklusif atas makna Pancasila untuk kemajuan bangsa indonesia
menghadapi tantangan-tantangan zaman kini.

SKENARIO (PELAKSANAAN PEMBELAJARAN):

a)Pada pertemuan ini Dosen memberikan pegantar kepada mahasiswa.

b)Setelah ceramah, dosen membagi mahasiwa menjadi tujuh kelompok.

c)Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

d) Dosen menyampaikan klarifikasi dan analisa atas hasil diskusi berdasarkan materi pembelajaran
dan menguraikan dasar negara Pancasila yang menjadi kesepakatan bersama seluruh bangsa
Indonesia.

BAHAN BACAAN:

1.Latif, Yudi, 2002, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta,
Gramedia Pustaka.

2.__________, 2013, “Soekarno Sebagai Penggali Pancasila”, dalam Prisma Edisi Khusus Soekarno,
Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 & No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

10 | P a g e
3.Soekarno, 1984, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan
Soekarno.

4.Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

5.Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

6.Darmodihardjo, D, 1978, Orientasi Singkat Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta.

7.Darmodihardjo, D dkk., 1991, Santiaji Pancasila Edisi Revisi, Usaha Nasional, Surabaya.

8.Fauzi, Achmad,1983, Pancasila Ditinjau Dari Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis,
Malang, Lembaga Penerbitan UB.

9.Siswanto, Joko. 2015. Pancasila (Refleksi Komperehensif Hal-Ikhwal Pancaila). Yogyakarta:


Ladang Kata.

10.Suhadi, 2001, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Yayasan Pembinaan


Fakultas Filsafat UGM.

11.Bahar, Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus
1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.

12.Wilson, 2013, “Soekarno, Staatspartij, dan Demokrasi Terpimpin”, dalam Prisma Edisi


Khusus Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 & No.3, 2013,
Jakarta, LP3ES.

13.Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila, Universitas


Diponegoro, Semarang.

14.Lay, Cornelis, 2013, “Pancasila, Soekarno, dan Orde Baru”, dalam Prisma Edisi Khusus Soekarno,
Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar, Volume 32, No.2 & No.3, 2013, Jakarta, LP3ES.

15.Nurdin, Dr. Encep Syarief M.Pd.,M.Si, 2012, “Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”,
dalam E-Materi Pendidikan Pancasila, Dikti dan UGM.

16.Ali, As’ad Said, 2009, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Pustaka LP3ES, Jakart

MEDIA/BAHAN PEMBELAJARAN

a.Power point

b.Buku bacaan penunjang

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH BANGSA INDONESIA (SEBELUM


KEMERDEKAAN)
A. PENDAHULUAN

11 | P a g e
Dalam perkuliahan ini Anda akan mempelajari sejarah, dinamika, dan perkembangan
pancasila pada lintasan kesejarahan bangsa Indonesia. Anda akan melihat bahwa pancasila
merupakan buah karya para pendiri bangsa mewujudkan dasar dan pandangan hidup
masyarakat Indonesia merdeka. Selain itu, akan terlihat pula bagaimana pancasila
dikonstruksi di dalam sejarah perkembangan bangsa, mulai dari proses merumuskan
pancasila, penggalian, hingga dikristalkan dan kemudian diinterpretasikan kembali guna
mewadahi kebutuhan dan kepentingan setiap elemen bangsa Indonesia untuk menentukan
identitas dirinya secara terus-menerus. Tujuan akhir perkuliahan ini adalah memberi
pengetahuan kepada Mahasiswa ketika mempelajari sejarah terbentuknya pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa beserta kompleksitisitas dan tantangan yang mengirinya, dan
dengan itu, diharapkan mampu memberikan pemahaman mendalam dan terbuka atas ideologi
dan identitas bangsa Indonesia, serta dapat menghasilkan pemikiran serta sumbangan kritis-
konstruktif bagi kemajuan bangsa yang terus- menerus dalam proses “menjadi manusia
indonesia” ini.
Ir. Soekarno, presiden pertama sekaligus pendiri bangsa Indonesia, menyemboyankan
“jas merah”; yakni “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Maksudnya, baik sebagai
individu maupun kelompok sosial masyarakat tertentu, harus memahami sejarah sebagai
pengalaman untuk menentukan cara bagaimana melangkah dan menyambut masa depan.
Ringkasnya masa lalu (baca: sejarah) adalah guru terbaik bagi masa depan bangsa.
Arus sejarah juga telah memperlihatkan dengan sangat nyata bahwa semua bangsa
memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi
dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno,
1989: 64). Pernyataan Bung Karno tersebut memperjelas bahwa suatu konsepsi dan cita-
cita sebuah bangsa merupakan suatu hal yang tak bisa ditawar lagi, jika kita sebagai sebagai
bangsa tidak mau tersuruk dalam dalam lubang kehancuran.
Pancasila, yang secara luas telah diketahui, merupakan buah konsepsi dan cita-
cita para perumus awal berdirinya negeri Indonesia. Pancasila merupakan manifestasi dan
usaha para pendiri bangsa untuk memberi arah dan tujuan berdirinya negara republik
Indonesia. Sebagai bangsa yang berdaulat, rakyat Indonesia berusaha sekuat tenaga
memerdekakan dirinya dari penjajahan asing. Pancasila menjadi dasar instrumen dari
kristalisasi cita-cita dan jawaban kongkrit seluruh pejuang kemerdekaan, bahwa seluruh
rakyat Indonesia benar-benar menginginkan kedaulatan negara yang utuh, dengan tujuan,
arah, dan fondasi filsafati serta pandangan hidup bangsa untuk menyelenggarakan negara
Indonesia secara meyakinkan.
Seperti dinyatakan oleh Soekarno, Pancasila tidak diciptakan dan tidak dirumuskan
sama sekali baru oleh para pendiri bangsa, melainkan wujud kristalisasi nilai dan pandangan
hidup bangsa yang telah lama ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sendiri
selama beratus-ratus tahun. Para pendiri negara ini hanya membantu mengeksplisitkan
khasanah kebijaksanaan bangsa itu menjadi pedoman bangsa untuk memandu arah dan tujuan
bangsa serta melangsungkan kemerdekaan guna memajukan bangsa Indonesia. Oleh
karenanya, perlu dilacak kembali periodesasi sejarah terbentuknya Pancasila sebagai ideologi
bangsa pertama kali muncul hingga dijadikan dasar dari berdiri bangsa ini hingga hari ini
dengan tujuan mengilhami spirit dan semangat yang dapat ditangkap pada proses sejarah itu
untuk menangkap pesan para founding fathers kepada generasi penerus berikutnya.

B. POKOK BAHASAN

12 | P a g e
1. Pancasila Sebagai Kristalisasi Nilai-Nilai Bangsa (Era Pra Kemerdekaan)
John Gardner (1992) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran
jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi moral guna menopang peradaban. Artinya, untuk mencapai derajat sebuah
bangsa besar dibutuhkan bangunan nilai, paradigma, dan cara berpikir bangsa dalam
usahanya membentuk sebuah negara. Inilah yang disebut sebagai pandangan dunia.
Pandangan dunia sebuah bangsa — yang didalamnya terdapat nilai-nilai, cara hidup, tata
sosial, dll—adalah cara menafsir dunia dan lingkungannya. Dengan cara inilah dia berjuang
mempertahankan hidup dan membentuk masyarakat sosialnya menuju tata sosial masyarakat
yang diinginkan.
Pendapat Gardner tentang perlunya bangsa memiliki pandangan dunia, atau disebut sebagai
ideologi dapat dikatakan tepat untuk melihat perspektif para pendiri bangsa Indonesia yang
sadar bahwa mendirikan sebuah bangsa perlu pedoman hidup. Mereka sangat sadar
bahwa negara-bangsa yang akan mereka bentuk memerlukan sebuah cita-cita, arah-
tujuan, dan filosofi dasar pembentukannnya.
Pada Sidang Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)—yakni sebuah badan
bentukan penjajah Jepang yang berjanji akan memberikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia—yang pertama (tanggal 29 mei 1945), selaku ketua lembaga tersebut, Dr.
Rajiman Wedyodiningrat meminta kepada para anggota sidang untuk mengemukakan dasar
(negara) Indonesia merdeka. Permintaan itu sungguh sangat menantang dan sekaligus
menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke
belakang. Hal ini juga mendorong para anggota sidang untuk menggali kekayaan kerohanian,
kepribadian, wawasan kebangsaan yang terpendam lama dalam sejarah bangsa ini (Latif,
2002; 4).
Tantangan ini tentu disambut hangat oleh para anggota sidang. Banyak dari para anggota
sidang telah mencurahkan usahanya untuk menjawab respon ini, yakni dengan
merumuskan cita-cita, dan arah dan tujuan dari terbentuknya negara baru
Di antara tokoh-tokoh tersebut yang menonjol adalah Ir. Soekarno, Dr. Soepomo, dan
Muhammad Yamin.
Dari sekian respon yang diberikan, Ir Soekarno adalah tokoh yang menonjol dalam
menyampaikan pendapatnya terkait bentuk dasar negara yang harus dimiliki “calon bangsa
dan negara Indonesia”. Bung Karno, begitu ia biasa disapa oleh masyarakat, telah memahami
bahwa bangsa yang besar harus ditopang oleh norma- norma, nilai-nilai, ataupun pandangan
dunia yang telah membentuk bangsanya, selaras dengan ungkapan John Garder. Karena dasar
dari sebuah pandangan hidup bangsa adalah falsafah hidup bangsa itu sendiri, maka mereka
harus bisa menyelami alam pikir masyarakatnya dalam rentetan sejarah kehidupan mereka
sebelumnya. Sebuah fondasi sebuah bangsa tidak boleh diambil dari “luar dirinya” melainkan
harus dicari “di dalam” kehidupan bangsa itu sendiri, meski tetap ada pengaruh nilai-nilai lain
yang berada di luar dirinya. Maka dengan perenungan yang sungguh-sungguh, mendalam,
dan atas berkat ilham Tuhan, Sokarno telah menemukan mutiara nusantara yang sekarang
kita kenal dengan nama Pancasila.
Sebagai bangsa yang mempunyai akar sejarah dan kebudayaan yang sangat panjang, bangsa
Indonesia selalu kaya dengan dengan warisan-warisan kultural maupun bangun pemikiran
masyarakatnya. Pada karakteristik geografis, bangsa Indonesia merupakan gugus-
gugus wilayah yang mewah dengan keanekaragaman hayati dan non-hayati, berbhinneka

13 | P a g e
suku dengan bahasanya, agama, adat-istiadat, kebudayaan, hingga nilai-nilai luhur sebagai
manifestasi cara pandang dunianya.
Yudi Latif (2002: 2-3) berpendapat bahwa wilayah Nusantara/Indonesia adalah wilayah
lautan yang luas sekaligus wilayah daratan subur. Dua aspek inilah yang melekat pada
seluruh wilayah yang didiami bangsa Indonesia. Sebagai “negeri lautan yang ditaburi
oleh pulau-pulau” (archiphilego)—ini merupakan istilah yang lebih disukai oleh Soekarno—
wilayah Nusantara/Indonesia mempunyai karakter- karakter tertentu: yakni Nusantara
merefleksikan sifat laut. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa
mengotori lingkungannya. Sedangkan sebagai wilayah daratan (titik tekannnya adalah pulau-
pulau bukan
lautnya), karakter wilayah nusantara bersifat seperti tanah: yakni kesanggupannya untuk
menerima dan menumbuhkan.
Dari kedua jenis karakter ini, tentu kita bisa sangat mafhum bahwa bangsa Indonesia selalu
ramah saat bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang sewaktu-waktu datang
melalui seluruh pejuru negeri. Bangsa-bangsa asing seperti kaum Hindi, Arab, dan Tionghoa
telah lama hilir-mudikuntuk berniaga dengan bangsa Indonesia. Dengan kenyataan tersebut,
bangsa Indonesia telah paiwai menjadi bangsa kosmopolitan dan terbuka dengan kebudayaan
lain bahkan sebelum kedatangan para penjajah kolonial. Selain menyerap kebudayaan-
kebudayaan asing, bangsa Indonesia juga mampu menyaring dan membersihkan unsur-
unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan maupun adab masyarakat.
Selain itu dengan wawasan kelautannya, cakrawala bangsa indonesia menatap jauh ke depan,
menaklukkan dan mengarungi lautan tanpa gentar dan menjadikannya pelaut-pelaut handal.
Dari pertemuannya dengan dengan bangsa-bangsa asing, watak dan karakter bangsa
Indonesia menjadi terasah dan menjadikannya sebagai bangsa peramah yang siap
menerima perubahan-perubahanm dan berondongan nilai dan budaya bangsa asing.
Ringkasnya wilayah Nusantara seperti dikatakan oleh Dennys Lombards (1987) adalah
merupakan wilayah terjadinya “silang-budaya” dari berbagai penjuru dunia.
Di sisi lain, karena terdiri dari berbagai daratan (pulau-pulau), wilayah nusantara memiliki
kemapuan dan kesanggupan untuk menerima dan menumbuhkan. Di wilayah ini apapun
budaya dan ideologi masuk, sejauh dapat dicerna dan disesuaikan oleh tata sosial dan tata
nilai masyarakatnya, dapat berkembang secara berkelanjutan. Dalam sebuah etos pertanian
yang dipunyai oleh masyarakat pedalaman nilai-nilai gotong royong, religiusitas (ketuhanan)
tumbuh subur dan menguntungkan mereka dalam rangka menggarap lahan garapan
pertaniannya. Sensivitas kebersamaan dan nilai-nilai ketuhanan ini telah mendorong dan
menjadikan wilayah nusantara sebagai tempat penyemaian dan penyerbukan berbagai
berbagai corak kebudayaan yang lebih beragam dibanding dengan kawasan asia manapun
(Oppenheimer 2010, dalam Latif 2002: 3).
Dengan corak karakteristik pulau maupun lautan yang dipunyainya, bangsa Indonesia telah
mewariskan nilai-nilai, pandangan-pandangan, dan filsafat hidup, yang dikemudian hari akan
digali oleh para pendiri bangsa ini, dan kemudian dirumuskan menjadi asas-asas serta dasar-
dasar berdirinya negara ini.
Berangkat dari konsepsi di atas, Pancasila adalah sistem nilai dan pandangan dunia yang
terpendam dan hadir di dalam sanubari bangsa Indonesia. Pancasila dalam pengertian
definitifnya merupakan saripati nilai-nilai bangsa Indonesia yang telah dihayati dan
terkristalisasi dalam perikehidupan seluruh bangsa Indonesia. Para Founding Father hanya

14 | P a g e
menggali dan secara eksplisit merumuskan dalam lima dasar dan dituangkan ke dalam sila-
sila Pancasila tersebut.

2.Periodesasi Sejarah Pancasila


Istilah periodesasi dapat diartikan sebagai rentetan atau urutan waktu kesejarahan yang
membentuk sebuah peristiwa dan alasan mengapa peristiwa itu terjadi. Pemikiran tentang
pancasila juga mengalami lintasan waktu yang terbagi menjadi beberapa fase dan masih
menggejala hingga saat ini. Ada dua konsep pokok periodesasi pemikiran pancasila yang
akan digunakan sebagai pendekatan. Pertama, pendapat Yudi Latif (2002: 5-9) yang
menteoritisasi fase pemikiran Pancasila menjadi tiga yaitu fase “pembuahan”, fase
perumusan dan fase pengesahan. Kemudian yang kedua adalah pendapat Joko Siswanto
(2015: 12), yang menyempurnakan konsep Pranarka, menyebut bahwa periodesasi pemikiran
pancasila berlangsung menjadi lima fase pokok, yaitu fase penemuan dan perumusan, fase
ideologis, fase reflektif, fase kritik, fase revitalisasi dan refungsionalisasi.
Melalui pendekatan dua tokoh tersebut, kita akan mencoba menjelaskan periodesasi
pemikiran pancasila secara runtun. Akan tetapi, kedua pendekatan tokoh tersebut hanya
secara khusus membatasi tentang pemikiran pancasila yang dimulai dari masa pergerakan.
Padahal ciri khas bangsa Indonesia yang menjadi nilai ultima telah ada sebelum itu, yaitu
sikap religius. Berkaitan dengan hal tersebut, kita akan membagi menjadi dua fase besar
periodesasi pemikiran tentang pancasila. Pertama, fase pemikiran pancasila sebelum
kemerdekaan (zaman purbakala –pra sejarah,
hingga kolonialisme) dan kedua, fase pemikiran pancasila menjelang dan sesudah
kemerdekaan. Dengan membagi dua periodesasi pemikiran pancasila tersebut diharapkan
mampu mempermudah kita untuk menangkap spirit yang bisa ditangkap dari kesejarahan
pancasila.

3.Zaman Purbakala dan Kerajaan-Kerajaan Nusantara


Sebagai kristalisasi nilai-nilai dan pandangan hidup, tentu benih-benih pancasila telah ada
dan hidup dalam alam pikiran dan tindakan bangsa ini beratus- ratus tahun lamanya sebelum
bangsa ini mendeklarasikan kemerdekannnya.
a.Pada zaman Purbakala misalnya, menurut Yudi Latif (2002: 57), sejak zaman purbakala
hingga puntu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyakarat Nusantara telah melewati
ribuan tahun pengaruh agama- agama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan
Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen.
Sebelum pengaruh agama-agama datang, masyarakat Indonesia telah bersikap religius-
spiritual yang kita kenal dengan penganut animisme dan dinamisme. Animisme dan
dinamisme merupakan budaya religius pertama bangsa Indonesia. Pada lintasan sejarah ini,
Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Agama (dapat kita artikan konsep
religiusitas) memiliki peran sentral dalam pendefinisian insititusi-institusi sosial. Penguasa
menghormati otoritas kegamaan sebagai bagian dari ketundukannya kepada Tuhan (Latif,
2002: 58-59).
Berdasarkan kesejarahan purba tadi, nyata bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki nilai
spiritualitas yang tinggi dan itulah alasan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari hal-
hal religius dan hal inilah yang menjiwai perilaku humanity hingga pembentukan masyarakat.

15 | P a g e
b.Pada zaman Kerajan Kutai Kartanegara misalnya, kita telah mengenal dan
menemukan nilai-nilai,seperti nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan,
kenduri dan sedekah kepada para Brahmana. Hal ini terkait dengan nilai-nilai integrasi
sosial, kebersamaan, serta nilai ketuhanan (Kaelan, 2000: 29).
c.Perkembangan sosial dalam Kerajaan Sriwijaya juga telah mengenalkan nilai-
nilai maupun pandangan-pandangan tentang dasar kedatuan, yakni kerajaan. Nilai-nilai ini
mengeksplisitkan serta memberi bahan-bahan material terhadap nilai-nilai Pancasila, seperti
nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan. Dalam nilai ini, raja
dianggap merupakan pusat kekuasaan dan kekuatan religius yang berusaha
mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu (raja-raja kecil). Selain itu selama
kekuasaan Sriwijaya, nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi juga telah mengemuka dan
terjalin satu sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang
terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan kerajaan dan
Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi bagian dari birokrasi
pemerintahan Sriwijaya. (Suwarno, 1993: 20-21).
d.Pada masa Kerajaan Majapahit, kita mengenal sumpah palapa patih Gajah Mada: Tidak
akan berhenti bekerja, sebelum nusantara bersatu. Di bawah pemerintahan
raja Prabhu Hayam Wuruk, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara.
Semboyan dan Istilah-istilah seperti Bhinneka Tunggal Ika, Nusantara, Pancasila sudah ada
pada periode ini. Tiga istilah ini konon telah terdapat dan termuat dalam kakawin
Nagarakertagama karangan empu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular,
meski dengan pengertian dan pemaknaan sedikit berbeda. Sebagai contoh, dalam buku
tersebut istilah Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam
bahasa Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila
Krama), yaitu:
•Tidak boleh melakukan kekerasan
•Tidak boleh mencuri
•Tidak boleh berjiwa dengki
•Tidak boleh berbohong
• Tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).
Atau Semboyan Bangsa kita Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya juga telah ada di kitab Negara
Kartagama yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua yang berarti
“meskipun agama-agama itu kelihatan berbeda bentuk namun pada hakekatnya satu jua”
(Fauzi, 1983: Dari zaman Majapahit ini kita telah bisa memetik nilai-nilai seperti persatuan
dalam keberbedaan. Dengan wilayah yang sangat luas, yakni seluruh wilayah nusantara,
Majapahit telah memberi ilham persatuan nusantara menjadi persatuan Indoesia. Ia juga telah
memberi contoh bagaimana indonesia mengusahakan keadilan sosial bagi masyarakat, yakni
menuju keadaan negara berdaulat, bersatu dan berwilayah Nusantara, mencapai kehidupan
yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja”. (Darmodihardjo dkk, 1991: 21)
a.Pada Masa Kerajaan Kerajaan Islam, Islam sebagai agama baru, telah mulai dipeluk oleh
banyak Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tentu agama baru ini telah banyak memberi
sumbangsih bagi terbentuknya pandangan dunia baru bagi masyarakat Nusantara. Dengan
karakter egaliter, yakni menampik stratifikasi kasta di masa lalu, Islam telah memberi
daya dorong terbentuknya masyarakat religius baru dengan penekanan pada nilai-

16 | P a g e
nilai kesamaan yang merupakan hak yang melekat pada diri manusia. Konsep
kesatuan ummah, juga telah menyorongkan konsep baru bernama persatuan. Dengan
kesamaan identitas agama mereka, kerajaan-kerajaan di nusantara—seperti Kerajaan
Samudera Pasai di Sumatera, Kesultanan Islam Aceh, Kerjaaan Demak, Kerajaan Pajang,
Kesultanan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Kerajaan
Jailolo, dan Kerajaan Goa Makasar, serta lainnya—semakin intensif untuk menjalin
kerjasama mereka dalam mengusir penjajah Belanda yang telah merebut hak kekuasaan
sosial, teritori, ekonomi, maupun politik di wilayah masing-masing.
Selain telah mengajarkan dan memperkaya paham keyakinan dan kepercayaan akan adanya
Tuhan yang maha esa, yakni sebuah identitas sebagai bangsa yang religius (Fauzi 1983: 22),
Islam seperti dipeluk oleh berbagai kerajaan-kerajaan tersebut telah menjadi bibit persemaian
persatuan Indonesia di nusantara ini dan juga menjadi daya dorong perlawanan yang gigih
dari bangsa Indonesia melawan penjajah Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.

4. Zaman Pergerakan Nasional


Sejak kolonialisme menjangkarkan kuasanya di bumi Nusantara, Khususnya pada
masa VOC dan Pemerintah Hindia Belanda, bangsa Indonesia mulai sedikit- demi sedikit
menyemai kesadaran nasionalnya: yakni bersatu secara bersama-sama untuk mengusir
penjajahan yang menguasai mereka berabad-abad lamanya. Pada masa-masa kerajaan-
kerajaan masih berkuasa, penjajah Belanda (VOC) berusaha menggerogoti otoritas kekuasaan
politik, dominasi ekonomi, maupun teritori wilayah politiknya. Sehingga sangat wajar jika
perlawanan kerajaan-kerajaaan ini terhadap kolonialisme bersifat parsial, yakni untuk
mempertahankan dan mengembalikan dominasi, kontrol, dan kekuasaan sesuai
wilayahnya masing-masing. Perlawanan raja-raja maupun pejuang-pejuang lokal ini bersifat
parsial dan terpecah-pecah berdasar wilayah mereka masing-masing.
Namun begitu sejak VOC dan Pemerintah Hindia Belanda mulai
melakukan kebijakan-kebijakan mengurangi perlawanan pemerintah Belanda secara frontal,
maka belanda mulai memikirkan Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi, budaya, dan pendidikan, melaui pendirian sekolah-sekolah, kebijakan politik etis,
pembentukan dewan rakyat (volkraad), dll. Namun semangat menjinakkan bangsa terjajah ini
justru nanti akan menjadi senjata ampuh untuk penyebaran gagasan anti-
imperialisme, nasionalisme, persatuan, dan gelora mengusir tuannya sendiri (penjajah
Belanda). Persemaian ide-ide modern inilah yang dimanfaatkan baik oleh para pendiri bangsa
untuk menciptakan sebuah negara baru bernama: Indonesia.
Pemuda-pemuda paling terpelajar bangsa Indonesia yang bersekolah di Belanda,
misalnya, sudah sejak tahun 1924 telah menyemai semangat nasionalisme mereka dengan
membentuk Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka memberanikan diri untuk secara
tegas mencita-citakan Indonesia Meredeka. Tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan
pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (self-
help). Mereka yang datang dari latar suku, bahasa, daerah-daerah yang berbeda telah berani
untuk bertekad bulat bersama untuk cita- cita indonesia merdeka, dengan mengenyampingkan
semangat kedaerahan mereka. Prinsip-prinsip tidak dimulai dari hal yang kosong, tanpa ada
pijakan sejarahnya.
Sejatinya, prinsip-prinsip ini adalah kristalisasi dan buah sintesis ideologi yang telah dirintis
oleh kaum-kaum maupun organisasi pergerakan yang telah berdiri sebelumnya. Indische
Partij misalnyamenyuarakan tema persatuan nasional, kalangan komunis menyuarakan
platform non-kooperasi, organisasi Sarekat Islam (SI) menyuarakan kemandirian, dan masih

17 | P a g e
banyak lagi. Efek persebaran ide-ide kebangsaan ini merupakan buah dari pendidikan-
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda yang justru berbalik menyerangnya.
Di tahun itu juga pejuang lain Tan Malaka mulai menyuarakan tulisan Naar de Republik
Indonesia (menuju republik Indonesia merdeka). Meski terlibat dengan Komunisme
Internasional, Tan Malaka sungguh mempunyai kepekaan nasionalisme bangsa Indonesia
untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Selain itu, Tjokroaminoto, sebagai
pemeimpin Sarikat Islam (SI)—sebuah organisasi masa terbesar pada zaman itu—juga telah
mengkonsepsikan sintesis antara Islam, sosialisme, dan demokrasi. (Latif, 2002: 5-6).
Seperti para sahabatnya di negeri Belanda, Ir. Soekarno bersama para kaum pergerakan
Hindia Belanda juga mempunyai keprihatinan dan prinsip-prinsip ideal yang sama. Dalam
Majalah Indonesia Moeda, sejak dini soekarno telah menulis esai berjudul: “Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme” yang memimpikan persatuan dan sintesis ideologi-ideologi besar
tersebut demi persatuan dan persenyawaan antar- ideologi untuk menopang konstruksi
kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.
Pergulatan ide-ide kebangsaan Indonesia tersebut selanjutnya telah menciptakan monumen
kebangsaan bernama: Sumpah pemuda (28 Oktober 1928). Mereka para pemuda-
pemudi Indonesia menyatakan:
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia;
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra
dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Visi Sumpah Pemuda adalah menyatukan berbagai elemen kebangsaan dengan berbagai latar
perbedaan menuju kesatuan tanah air dan bangsa dengan menjujung tinggi bahasa persatuan:
bahasa Indonesia. Mereka berusaha untuk menyingkirkan sekat-sekat etnis-keagamaan yang
memungkinkan mereka bertekad untuk bersatu dalam bingkai kesamaan penderitaan, tumpah
darah, bangsa, dan bahasa persatuan (Latif, 2002; 7).
Nilai-nilai, gagasan-gagasan, ide-ide, serta ideologi-ideologi kebangsaan yang terkulminasi
dalam “sumpah Pemuda” tentu merupakan hasil dari pertemuan gagasan dan nilai-
nilai modern yang berasal dari dunia lain, dan sekaligus merupakan rangkaian kontinum dan
persambungan nilai-nilai lama yang telah meresap dan mengendap dalam sanubari para
pejuang kemerdekaan kita. Dari persenyawaan inilah selanjutnya pancasila sebagai dasar
negara dan pemersatu bangsa menemukan pijakan material dari khasanah pandangan dunia
bangsa Indonesia.
C.EVALUATIF
1.Kejelasan dalam mengurai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan apa saja yang telah ada
semenjak zaman purbakala dan menjadi embrio atau cikal bakal terbentuknya pancasila!
2.Pemahaman secara detail periode-periode perkembangan Pancasila dalam rentang
kehidupan bangsa Indonesia!
3.Hasil pencarian artikel tentang kearifan lokal yang merupakan cerminan nilai-
nilai Pancasila!
D.PENUTUP

18 | P a g e
Modul I ini membahas mengenai kesejarahan Pancasila yang hanya melingkupi ruang sejarah
purbakala hingga zaman pergerakan. Adapun alasan utama membatasi periodesasi sejarah
pada zaman tersebut adalah memberikan insight kepada mahasiswa bahwa nilai-nilai luhur
yang terangkum dalam sila-sila pancasila merupakan manifestasi kemulyaan leluhur yang
sudah mendarah daging. Sehingga, kita mengambil spirit utama yang tersirat dalam pancasila
dan semakin memahami bahwa kebudayaan bangsa Indonesia sudah cukup mapan untuk
dijadikan pandangan hidup.
Pembahasan mengenai sejarah Pancasila dimaknai sebagai pengantar awal untuk memahami
proses pembentukan Pancasila beserta varian pemikiran dan gagasan yang mengitarinya.
Modul I ini sangat penting sebagai pijakan dasar dalam memahami posisi Pancasila
berikutnya sebagai dasar negara dalam sejarah .

19 | P a g e
Modul III
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

TEORI ASAL MULA PANCASILA


Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:

1. Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat
dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
2. Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu
dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
3. Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari calon
dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula karya dalam hal
ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian mengesahkan dan menjadikan
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah melalui pembahasan dalam sidang-
sidangnya.
4. Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan Pancasila
yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada kausan finalis tersebut
diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila
baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh
sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan
melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang
dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan
kebudayaan pada umumnya misalnya:

1. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya:


bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari besar agama, pendidikan agama,
rumah-rumah ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama.
Hal ini menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama
manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan aja
dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan
sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela,
Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir
miskin, membantu orang sakit, dan sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan,
perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang
adil dan beradab.

20 | P a g e
3. Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan,
sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya,
tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha dan Jenggala, Negara
nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu teguh bercerai runtuh,
crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk
sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit,
pembangunan rumah-rumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru
menunjukkan adanya sifat persatuan.
4. Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai
Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau
dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali,
Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan
musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
5. Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap sesama,
bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur bersama,
lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja Erlangga, Sunan Kalijaga,
Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah,
selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali
dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila
dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang
lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan diskontinuitas
antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.

ASAL MULA PANCASILA SECARA FORMAL

BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini memungkinkan bangsa
Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat
apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala
Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa).

Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai
dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang
pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo
mengenai paham negara integralistik. Tindak lanjut untuk membahas mengenai dasar negara
dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan
Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin
dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil
kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam anggota
baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia
sembilan yang disebut dengan piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia
sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai
oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua
Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua
Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.

21 | P a g e
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil Perancang Hukum
Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli
1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi
Linkai), yang sering disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama
PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli
1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan Piagam
Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima
seluruh Rancangan

Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta
sebagai mukaddimah.

Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas badan tersebut.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang
pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan menetapkan:

1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl
14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945
setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan
Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi, termasuk
pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20, membicarakan agenda
badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini
membicarakan pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang
keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-pimpinan
rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.

Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok.

1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha


Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara
Republik Indonesia.
2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi
Kemerdekaan.
3. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku
kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:

22 | P a g e
1. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato
“Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
2. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul
tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
3. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka,
dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
4. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan
yang pertama (Rumusan IV).
5. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan
pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
6. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17
Agustus 1950 (Rumusan VI).
7. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya
berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).

Kegiatan Belajar 2

Pengertian Sistem dan Filsafat


Sistem dapat didefinisikan sebagai satu keseluruhan yang terdiri dari aneka bagian
yang bersama-sama mebentuk satu kesatuan yang utuh. Tiap-tiap bagian merupakan tata rakit
yang teratur, dan tata rakit itu sesuai selaras dengan tata rakit keseluruhan. Tiap-tiap bagian
mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda dengan bagian yang lain, namun demikian tugas
dan fungsi itu demi kemajuan, memperkuat keseluruhan tersebut. Suatu sistem harus
memenuhi lima persyaratan seperti berikut ini :
a. Merupakan satu kesatuan utuh dari unsur-unsurnya.
b. Bersifat konsisten dan koheren, tidak mengandung kontradiktif.
c. Ada hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain.
d. Semuanya mengabdi pada tujuan yang satu yaitu tjuan bersama.
Sedangkan filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philen berarti cinta,
sedangkan Sophia  berarti kebijaksanaan. Dengan demikian secara etimologis filsafat berarti
cinta akan kebijaksanaan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat dari
segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka mencakup
banyak bidang bahasan antara lain tentanng manusia, alam, pengetahuan, etika, logika dsb.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul filsafat yang berkaitan dengan
bidang-bidang ilmu tertentu, antara lain filsafat politik, sosial, hukum, bahasa, ilmu
pengetahuan, agama dll.
Adapun cabang-cabang filsafat yang pokok adalah sbb :
1. Metafisika, yang membahas tentang hal-hal yang bereksitensi dibalik fisis, yang meliputi
bidang-bidang, ontology, kosmologi dan antropologi.
2. Epistemology, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3. Metodologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu pengetahuan.

23 | P a g e
4. Logika, yang berkaitan dengan persoalan filsafat berfikir, yaitu rumus-rumus dan dalil-
dalil berfikir yang benar.
5. Etika, yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
6. Estetika, yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan
Filsafat secara umum dapat diberi pengertian sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran hakiki, karena filsafat telah
mengalami perkembangan yang cukup lama tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya
ruang, waktu, keadaan dan orangnya. Itulah sebabnya maka timbul berbagai
pendapatmengenai pengertian filsafat yang mempunyai kekhususannya masing-masing,
antara lain :
a.       Berfilsafat Rationalisme mengagungkan akal.
b.      Berfilsafat Materialisme mengagungkan materi.
c.       Berfilsafat Individualisme mengagungkan individualitas.
d.      Berfilsafat Hedonisme mengagungkan kesenangan.

Arti pancasila sebagai filsafat


Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman majapahit dalam kesatuan. Namun denga
datangnya bangsa barat persatuan dan kesatuan itu dipecah mereka dalam rangka menguasai
daerah Indonesia yang kaya raya ini. Arti pancasila sebagai dasar filsafat Negara adalah sama
dan mutlak bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
            Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai fungsi filsafat panacasila perl;u ilmu-ilmu
yang erat kaitannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi filsafat sebagai
berikut :
a.       Memberi jawaban atas pertanyaan yang bersifat fundamental atau mendasar di
kehidupan bernegara. Segala aspek yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat bangsa
tersebut yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dari Negara .
b.      Filsafat pancasila mampu memberikan kebenaran yang substansi termasuk hakikat
Negara, ide Negara, dan tujuan Negara,  tujuan Negara dapat kita temukan setiap konstitusi
Negara yang bersangkutan. Karenanya tidak selalu sama dan bahkan ada kecenderungan
perbedaan yang jauh sekali antara tujuan suatu Negara dengan Negara lain.
c.       Pancasila sebagai filsafat bangsa harus mampu menjadi perangkat dan pemersatuan
berbagai ilmu yang dikembangkan di Indonesia. Fungsi filsafat akan terlihat jelas kalau
Negara itu sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara.
3.      Bukti Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sisem filsafat.
Pengertian system adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling
bekerjasama untuk suatu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
yang utuh. System lazimnya memiliki ciri-ciri sbb :

24 | P a g e
1.    Suatu kesatuan bagian-bagian
2.    Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3.    Saling berhubungan dan salaing ketergantungan
4.    Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu
5.    Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap sila pada hakikatnya
merupakan suatu asas sendiri. Fungsi sendiri-sendiri namun secara keseluruhan merupakan
suatu kesatuan yang sistematis.
1.       Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang bersifat Organis.
2.       Susunan Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan berbentuk Piramidal.
3.       Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi.
4.       Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai suatu system filsafat.
Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila Bersifat Organis.  
Secara filosofis inti dan isi sila-sila Pancasila bersumber pada hakikat dasar ontologis
manusia yaitu sebagai monopluralis yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat yaitu jasmani
dan rohani, sifat kodrat sebagai mahluk individu sosial serta memiliki kedudukan kodrat
sebagai pribadi yang berdiri sendiri dan sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME. Hal ini terjadi
karena manusia (Rakyat Indonesia) sebagai pendukung utama inti dari isi pancasila.Unsur
hakikat manusia merupakan kesatuan yang bersifat organis dan harmonis. Sila-sila Pancasila
merupakan  penjelasan dari hakikat manusia monopluralis yang merupakan kesatuan organis
maka memiliki kesatuan yang organis pula.
Susunan sila-sila Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan  berbentuk Piramidal.
Pengertian matematis piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkis sila-
sila Pancasila merupakan rangkaian tingkat dalam urutan luas (kuantitas) dan juga dalam isi
sifatnya (kualitas). Sedangkan makna hierarkhis adalah susunan pancasila sudah dikemas
sedemikian rupa sehingga urutannya tidak akan berubah.Pancasila merupakan suatu
keseluruhan yang bulat dan memenuhi sebagian sistem filsafat.
Kesatuan sila-sila pancasila memiliki susunan hierarkhis piramidal maka sila Ketuhanan yang
Maha Esa adalah ketuhan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan serta
berkeadilan sosial sehingga di dalam setiap sila senantiasa terkandung sila-sila
lainnya. Rumusan Pancasila yang Bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidal :
a. Sila pertama : meliputi dan menjiwai sila-sila kedua, ketiga, keempat dan kelima.
b. Sila kedua : diliputi dan dijiwai sila pertama, meliputi dan menjiwai sila ketiga, keempat
dan kelima. 
c. Sila ketiga : diliputi dan dijiwai sila pertama dan kedua, meliputi dan menjiwai sila
keempat dan kelima. 
d. Sila  keempat : diliputi dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, meliputi dan menjiwai
sila kelima.

25 | P a g e
e. Sila kelima : diliputi dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Susunan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi

Hakikatnya sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri, akan tetapi pada setiap sila
terkandung keempat sila lainya. Dengan kata lain setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh
keempat sila lainnya.Rumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan
mengkualifikasi :
a.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berperisatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.  Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah ber-Ketuhanan yang Maha
Esa,berperisatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c.  Sila Persatuan Indonesia, adalah  ber-Ketuhanan yang Maha Esa,berkemanusiaan yang
adil dan beradab,berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.  Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang adil dan beradab, berperisatuan Indonesia dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
e.   Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berperisatuan Indonesia dan berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai suatu Sistem Filsafat
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar
ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis.
1.      Dasar Antropologis sila-sila Pancasila
Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri
sendiri-seindiri, melaikan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Subjek pendukung sila-sila
Pancasila adalah manusia itu sendiri. Pancasila bahwa hakikat dasar “Antropologis” sila-sila
Pancasila adalah manusia.
2.      Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancaila
Dasar Epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
Ontologisnya. Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam Epistemologi yaitu, pertama
tentang sumber pengetahuan manusi, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia,
ketiga tentang watak pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham Epistemologi maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak
bebas nilai karena harus diletakan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas
religius dalam upaya untuk mandapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam
hidup manusia.
3.      Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila

26 | P a g e
Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya
sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik
tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tetang menentukan tentang
pengertian nilai dan hierarkhinya. Pada hakikatnya sagala sesuatu itu bernilai, hanya nilai apa
saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.

Modul IV
PANCASILA SEBAGAI EDIOLOGI NEGARA

Kegiatan Belajar 1

Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Pengertian Ideologi - Ideologi berasal dari kata yunani yaitu iden yang berarti
melihat, atau idea yang berarti raut muka, perawakan, gagasan buah pikiran dan kata logi
yang berarti ajaran. Dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan
buah pikiran atau science des ideas (AL-Marsudi, 2001:57).
Puspowardoyo (1992 menyebutkan bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai
komplek pengetahuan dan nilai secara keseluruhan menjadi landasan seseorang atau
masyarakat untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar
untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya seseorang dapat menangkap
apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.
Menurut pendapat Harol H. Titus. Definisi dari ideologi adalah: Aterm used for any
group of ideas concerning various political and aconomic issues and social philosophies often
applied to a systematic scheme of ideas held by groups or classes, artinya suatu istilah yang
digunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai bebagai macam masalah politik ekonomi
filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang suatu cita-
cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat.
Bila kita terapkan rumusan ini pada Pancasila dengan definisi-definisi filsafat dapat
kita simpulkan, maka Pancasila itu ialah usaha pemikiran manusia Indonesia untuk mencari
kebenaran, kemudian sampai mendekati atau menanggap sebagai suatu kesanggupan yang
digenggamnya seirama dengan ruang dan waktu.
Hasil pemikiran manusia yang sungguh-sungguh secara sistematis radikal itu
kemuduian dituangkan dalam suatu rumusan rangkaian kalimat yang mengandung suatu
pemikiran yang bermakna bulat dan utuh untuk dijadikan dasar, asas, pedoman atau norma
hidup dan kehidupan bersama dalam rangka perumusan satu negara Indonesia merdeka, yang
diberi nama Pancasila.
Kemudian isi rumusan filsafat yang dinami Pancasila itu kemudian diberi status atau
kedudukan yang tegas dan jelas serta sistematis dan memenuhi persyaratan sebagai suatu
sistem filsafat. Termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke empat
maka filsafat Pancasila itu berfungsi sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang diterima
dan didukung oleh seluruh bangsa atau warga Negara Indonesia.

27 | P a g e
Demikian isi rumusan sila-sila dari Pancasila sebagai satu rangkaian kesatuan yang
bulat dan utuh merupakan dasar hukum, dasar moral, kaidah fundamental bagi peri kehidupan
bernegara dan masyarakat Indonesia dari pusat sampai ke daerah-daerah
Pancasila sebagai dasar Negara,
maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai sifat
imperatif dan memaksa, artinya setiap warga Negara Indonesia harus tunduk dan taat
kepadanya. Siapa saja yang melangggar Pancasila sebagai dasar Negara, harus ditindak
menurut hukum yakni hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain pengamalan
Pancasila sebagai dasar Negara disertai sanksi-sanksi hukum. Sedangkan pengamalan
Pancasila sebagai weltanschuung, yaitu pelaksanaan Pancasila dalam hidup sehari-hari tidak
disertai sanksi-sanksi hukum tetapi mempunyai sifat mengikat, artinya setiap manusia
Indonesia terikat dengan cita-cita yang terkandung di dalamnya untuk mewujudkan dalam
hidup dan kehidupanya, sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang
barlaku di Indonesia.
Jadi, jelaslah bagi kita bahwa mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai dasar
Negara Republik Indonesia mempunyai sifat imperatif memaksa. Sedangkan pengamalan
atau pelaksanaan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam hidup sehari-hari tidak disertai
sanksi-sanksi hukum tetapi mempunyai sifat mengikat.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan Negara dihubungkan fungsinya sebagai dasar
Negara, yang merupakan landasan idiil bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia
dapatlah disebut pula sebagai ideologi nasional atau ideologi Negara. Artinya pancasila
merupakan satu ideologi yang dianut oleh Negara atau pemerintah dan rakyat Indonesia
secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang ataupun sesuatu golongan tertentu.
Sebagai filsafat atau dasar kerohanian Negara, yang meruapakn cita-cita bangsa, Pancasila
harus dilaksanakan atau diamalkan, yang mewujudkan kenyataan dalam penyelenggaraan
hidup kenegaraan kebangsaan dan kemasyarakatan kita.
Bila terjadi kesenjangan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, kita harus
kembali kepada filsafat Negara Republik Indonesia untuk mencari jalan keluarnya atau untuk
meluruskan kembali.
Pancasila Sebagai Ideologi Negara 

I. Pengertian dan Fungsi Ideologi

Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan,konsep,
sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide,
gagasan, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan.

Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :

1. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan
hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan

28 | P a g e
kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan
berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :

1. Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara


individual. (Cahyono, 1986)
2. Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers)
dengan generasi muda. (Setiardja, 2001)
3. Sebagai kekuatan yang mampu member semangat dan motivasi individu, masyarakat,
dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)

II. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita
yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.

Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR tentang
P4, ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

III. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka.

Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :

Ideologi Terbuka

1. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.


2. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
3. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
4. Bersifat dinamis dan reformis.

Ideologi Tetutup

1. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.


2. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
3. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
4. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.

Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah sebagai berikut

1. Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.


2. Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaanya.

29 | P a g e
3. Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi
pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.

PERTANYAAN :

1. Mengapa Indonesia menggunakan ideologi terbuka?


2. Bagaimana cara menumbuhkan kadar dan idealism yang terkandung Pancasila
sehingga mampu memberikan harapan optimisme dan motivasi untuk mewujudkan
cita-cita?

JAWABAN :

1. Karena Indonesia adalah sebuah negara dan sebuah negara memerlukan


sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada pada negara
tersebut, dan masing-masing negara berhak menentukan ideologi apa yang paling
tepat untuk digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah digunakan adalah
ideologi terbuka karena di Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis yang
di dalamnya membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan
sesuatu sesuai dengan keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila
sebagai ideologi terbuka adalah yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
2. Kita harus menempatkan Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan
kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia
keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia. Selain
itu,Pancasila juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Artinya, jiwa
bangsa Indonesia mempunyai arti statis dan dinamis. Jiwa ini keluar diwujudkan
dalam sikap mental, tingkah laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada
akhirnya mempunyai cirri khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan
optimisme dan motivasi yang sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia.

30 | P a g e
Modul V

ETIKA POLITIK BERDASARKAN PANCASILA

Kegiatan Belajar 1

1       Pengertian etika politik


Etika Politik merupakan cabang etika dan termasuk ke dalam lingkungan filsafat serta
mempertanyakan praksis manusia. Etika berkaitan dengan norma moral. Norma Moral yaitu
yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut pandang, baik atau
buruk, sopan atau tidak sopan, dan susila atau tidak susila sebagai seorang manusia.

Etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan dan menegaskan mana yang
benar dan mana yang buruk. Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti norma-
norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik
serta yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini:

Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika termasuk kelompok
filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok (etika umum dan etika khusus).

Setiap kali kita menyusun strategi atau siasat untuk mendapatkan sesuatu, itulah yang
dinamakan berpolitik. Secara etimologis istilah politik sendiri pertama kali muncul di
Yunani, yaitu dari kata “polis”, yang artinya “kota”.

Sedangkan dari segi pemerintahan, kata Politik berarti cara bertindak (dalam menghadapi
atau menangani suatu masalah) yang berkaitan dengan segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (KBBI).

Pengertian politik berasal dari kosakata ‘politics’ yang memiliki makna bermacam-macam
yaitu kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan
tujuan-tujuan dari sisten itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Pokok politik yang
berkaitan dengan negara (state), kekuatan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), secara alokasi (allocation).

REPORT THIS AD

31 | P a g e
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik yang lebih banyak berkaitan dengan
para pelaksana pemerintahan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis
politikserta para birokrat dan para pejabat dalam pelaksanaan dan menyelanggaraan negara.

Pengertian politik lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang menyangkut suatu
persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Jadi etika politik ialah etika yang berkait
erat dengan bidang pembahasan moral yang tidak dapat dipisahkan dengan pelaku etika yaitu
manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika
politik Tetap menetapkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini
meneguhkan agar etika politik senantiasa didasarkan pada hakikat manusia sebagai manusia
yang beradab dan berbudaya.

Dengan kata lain, etika politik mempersoalkan kebaikan dan tanggung jawab manusia
sebagai manusia serta manusia sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang berlaku
serta tatanan publik lainnya. Kebaikan manusia sebagai manusia tidak selalu identik dengan
kebaikan manusia sebagai warga negara. Keidentikan antara manusia yang baik dengan
warga negara yang baik bisa berlangsung dalam suatu negara yang baik (Aristoleles). Negara
yang baik membawa kebajikan manusia sebagai manusia serta manusia sebagai warga
negara.

Untuk menciptakan negara yang baik, penyelenggara negara dan warga negara perlu
memahami dan menjalankan etika politik sesuai dengan nilai-nilai dasar yang disepakati
sebagai titik temu dan panduan bangsa yang bersangkutan.

2       Ciri-ciri sistem politik pancasila


Pancasila sebagai sistem politik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. a) Bersifat kekeluargaan dan gotong royong yang bernafas Ketuhanan YME.


2. b) Menghargai hak-hak asasi manusia serta menjamin hak-hak minoritas.
3. c) Pengambilan keputusan sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk hasil yang
mufakat Bersendi atas hukum.
Ciri-ciri sistem politik liberalisme, diantaranya:

1. Sangat menekankan kebebasan/kemerdekaan individu.


2. Sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia yang utama seperti hak hidup, hak
kemerdekaan, hak mengejar kebahagiaan, dan sebagainya.
3. Melahirkan sekularisme (memisahkan antara negara dengan agama)
4. Adanya budaya yang tinggi Paradigma Sistem Politik Pancasila Sebagai Sistem Politik
Indonesia.
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea terakhir atau keempat telah
jelas disebutkan bahwa sistem politik Indonesia berlandaskan pada lima bunyi Pancasila.
Oleh karena itu sistem politik Indonesia sering disebut dengan sistem politik Pancasila.
Sistem tersebut berdasarkan pada semua peraturan yang ada di dalam Undang Undang Dasar
1945.

Semua kedudukan, tugas, hubungan antar Institusi didalam suatu Negara secara rinci
diatur didalam UUD 1945. Disitu tertera pula tentang segala bentuk kewajiban sekaligus hak
negara yang harus dijalankan. UUD 1945 telah mengalami Banyak perubahan atau dikenal

32 | P a g e
dengan amandemen, oleh karena itu sistem politik yang ada di Indonesia pada masa itu juga
mengalami perubahan.

Tujuan politik, antara lain :

1. a) Membentuk suatu masyarakat yang baik dan teratur /good society (Aristoteles)
2. b) Mengembangkan kehidupan orang lain (Paul Wellstone)

Misi etika politik dan pemerintahan

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit
politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan
kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.

Etika politik ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak
melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji
lainnya.

3       Fungsi dan tugas etika politik


Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik (dukungan masyarakat terhadap sistem
politik dan pemerintah) secara bertanggung jawab dan didasarkan pada aspek yang rasional,
objektif dan argumentatif. Tugas etika politik adalah membantu agar pembahasan masalah-
masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif dan sebagai pegangan normatif bagi
mereka yang ingin menilai kualitas tatanan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat
manusia dan legitimasi moral.

Etika politik dapat membantu usaha aparatur negara untuk membumikan falsafah dan
ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Etika politik memberikan
landasan normatif bagaimana sebuah negara dikelola demi kebaikan hidup bersama seluruh
masyarakat. Dalam menjalankan kehidupan politik dan kenegaraan berbasis etika, para
pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami landasan-landasan normatif yang
bersifat umum dan khusus.

Pokok pembahasan etika politik adalah hukum dan kekuasaan negara. Hukum sebagai
lembaga penata masyarakat yang normatif dan kekuasaan sebagai lembaga penata masyarakat
yang berkuasa. Hukum tanpa kekuasaan negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya
normatif belaka artinya hukum tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Sedangkan
kekuasaan negara tanpa hukum adalah buta, kekuasaan negara yang memakai kekuasaannya
tanpa hukum merupakan negara penindas.

Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi kekuasaan yang dirumuskan


dengan pertanyaan dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan
menggunakan kekuasaan yang mereka miliki? Betapapun besarnya kekuasaan seseorang, dia

33 | P a g e
harus berhadapan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Secara etika politik,
seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.

Legitimasi kekuasaan meliputi :

1. Legitimasi etis yaitu pembenaran wewenang negara (kekuasaan negara berdasarkan prinsip-
prinsip moral) legitimasi etis kekuasaan mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi
norma- norma moral dengan tujuan agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian
kebijakan dan cara-cara yang sesuai dengan tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Legitimasi legalitas yaitu keabsahan kekuasaan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan negara dan menuntut fungsi-fungsi kekuasaan negara itu dilakukan sesuai dengan
hukum yang berlaku
REPORT THIS AD

4       Prinsip Sistem Politik Pancasila


Sebagai etika politik, Pancasila mempunyai prinsip :

1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas.

2. Hak Asasi Manusia


Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Mutlak
karena merupakan anugrah dari Sang Pencipta.

3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi
orang lain.

4. Partisipasi demokratis masyarakat


Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada yang berhak untuk menentukan
dan memaksakan orang lain.

5. Adanya cita-cita the rule of law


6. Struktur sosial budaya masyarakat
7. Keadilan social

5       Dimensi Politis Manusia


Dimensi politis adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat
politis apabila diambil dengan memperhatikan masyarakat secara keseluruhan. Pengertian
dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak
untuk bertindak (inilah yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia).
Manusia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat dari kejadian tertentu, akan
tetapi hal itu dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap
orang lain. Namun sebaliknya jika manusia tidak bermoral maka ia tidak akan peduli dengan
orang lain.

1. Manusia sebagai makhluk individu-sosial


Manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial. Berbagai paham Antropologi filsafat
memandang hakikat sifat kodrat manusia dari kacamata yang berbeda. Paham individualisme
yang merupakan cikal bakal paham liberalisme memandang manusia sebagai makhluk

34 | P a g e
individu yang bebas. Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun
negara. Dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Sedangkan paham
kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang manusia
sebagai makhluk sosial saja.

2. Dimensi Kehidupan Politis Manusia


Dalam kehidupan manusia jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai makhluk individu
maupun sosial sulit untuk dilaksanakan, karena terjadinya benturan kepentingan diantara
mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam
hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-
haknya, dan masyarakat itulah yang disebut sebagai Negara.

6       Landasan umum politik


Landasan umum dalam pengelolaan politik kenegaraan meliputi:

1)        Setiap pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami hakikat politik
sebagai seni mengelola kebaikan dan kemaslahatan  hidup bersama lewat jalan-jalan
deliberatif (permusyawaratan) yang damai, bukan seni memperjuangkan kepentingan pribadi
lewat jalan-jalan kekerasan dan pemaksaan.

2)        Pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki ‘Modal Moral’ (Moral
Capital). Moral di sini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam
memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini
bukan hanya potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual
menggerakkan roda politik. Alahasil, bukan sekedar kualitas moral individual, namun juga
kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam
mekanisme politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat (Kane, 2001).

Ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan
memobilisasi ”moral capital” secara politik.

1. Basis moralitas yang menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi
komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.
2. Tindakan politik yang menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai
moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.
3. Keteladanan yang menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang
menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.
4. Komunikasi politik yang menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk
mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif,
yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
3)  Pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki komitmen pelayanan. Komitmen
pelayanan ini berjejak pada basis legitimasi negara pelayan yang bersumber pada empat
jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan-perdamaian.
Para pendiri bangsa secara visioner menempatkan keempat basis legitimasi negara pelayan
itu pada tujuan negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4)  Pembuatan kebijakan publik harus memenuhi setidaknya empat prinsip utama:


Kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Kebijakan publik harus

35 | P a g e
mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan;
adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan
dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat pada pemerintah.

5)  Kebijakan publik harus berpihak pada tiga pokok kemaslahatan publik (public goods):
legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa


institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara
imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip
terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation),  yang bersifat:  bebas,
imparsial, setara, rasional dan berwawasan jauh ke depan.

Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti


itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat
semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu
(strong).

Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi.
Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus
bermuara pada ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara kesejahteraan menjadi
pertaruhan dari kesaktian Pancasila.

Kebijakan publik harus memperkuat dan menyandarkan diri pada nilai-nilai identitas
kolektif, sebagai landasan normatif yang bersifat khusus yang berlaku di suatu negara. Dalam
konteks Indonesia, identitas kolektif ini bernama Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Negara Republik Indonesia.

7       Etika Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara


Pembangunan etika politik sangatlah urgent, perlu adanya pemikiran dalam rangka
menata kembali kultur politik bangsa Indonesia. Sebagai warga negara, kita telah memiliki
hak-hak politik dan hak-hak politik tersebut bersosialisasi dan berkomunikasi dengan sesama
warga negara dalam wadah infra struktur dan supra struktur. Wadah infra struktur meliputi
mimbar bebas, unjuk rasa,bicara lisan dan tulisan, aktivitas organisasi politik, kampanye
pemilihan umum, penghitungan suaradalam memilih anggota legislatif dan eksekutif. Wadah
supra struktur mencakup semua lembaga legislatif di semua tingkat, eksekutif dari presiden
sampai RT/RW, dan jajaran kekuasaan kehakiman (pusat sampai daerah).

Etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap akan tetapi melalui
moralitas yang bersumber pada hati nurani, rasa malu kepada masyarakat dan rasa takut
kepada Tuhan yang Maha Esa. Dalam kehidupan politik bangsa Indonesia banyak suara
masyarakat yang menuntut dibentuknya dewan kehormatan pada institusi kenegaraan dan
kemasyarakatan dengan harapan etika politik dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Terwujudnya etika politik dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sangat ditentukan oleh kejujuran dan keikhlasan hati nurani dari masing-masing warga negara
yang telah memiliki hak politiknya untuk melaksanakan ajaran moral dan norma-norma
aturan berpolitik dalam negara.

36 | P a g e
8       Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik

Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan
perundang-undangan melainkan juga sumber moralitas utama dalan hubungannya dengan
legitiminasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan. Ketuhanan Yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan yang adil dan
beradab, adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.

Negara Indonesia yang berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah
negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan dan penyelenggaraan negara pada ligitiminasi
religius. Kekuasaan kepala negara tidak mendasarkan pada legitiminasi religius melainkan
mendasarkan pada legitiminasi hukum dan demokrasi. Oleh karena itu asas sila pertama lebih
berkaitan dengan legitiminasi moral. Inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan
yang Maha Esa dengan teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada
legitiminasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-
nilai yang berasal dari Tuhan, terutama hukum serta moral dalam kehidupan bernegara

Sistem politik bhineka tunggal ika atau Pancasila ini sangatlah berpijak pada sila-sila
di dalam Pancasila. Pada sila pertamanya yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” tersirat
bahwa Indonesia menghargai keberagaman agama dan keyakinan. Pada sila keduanya yang
berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, kita diajarkan untuk tidak boleh
memperlakukan orang lain berbeda-beda entah itu berdasarkan harkat ataupun martabatnya.
Sila ketiganya mengajarkan kita untuk selalu berdamai apapun keadaannya. Sila keempatnya
mengatakan bahwa kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat penuh. Di sila terakhirnya
yang berbunyi “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, telah terkandung tujuan dari
sistem politik Pancasila. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan,
keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam
masyarakat.

Namun realita yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa penerapan pancasila sebagai etika
politik sudah mulai terkikis. Salah satu contoh kecilnya adalah curi start dalam berkampanye.
Sampai ke tindakan korupsi yang sudah menjadi tontonan kita sehari-hari di tv.

37 | P a g e
Modul VI

NILAI PANCASILA HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA

Kegiatan Belajar 1

PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA


Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si
kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan
sebagainya. Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama,
antarsuku, atarras, antargolongan dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi
munculnya konflik.

Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas
berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan.
Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik
yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau
pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila
tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.

Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit
disebutkan “Persatuan Indonesia”. Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran
dalam Pembukaan terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang
Warga Negara, terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap
keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti
yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui
kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah
dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36
tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara
normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di
dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain.

Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa.

Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka
menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang
mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-
indonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak
boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk
hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau
perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber

38 | P a g e
bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan
kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini
pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai
agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat

Kegiatan Belajar 2

PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM

Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada
kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya manusia.
Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given,
dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).

Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah
utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM
merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah
satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang
memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu
HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya
Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah
HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan
penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan
politis.

Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan
partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal
diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap
bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis
kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.

Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat
HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan
yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak
kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3)
tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi
yang sifatnya insidental.

Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak
dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang.
Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci
dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26
ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam
hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas
kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan
masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum
dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948,
sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah
hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak

39 | P a g e
pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk
Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.

Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak
Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.

Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari
pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak asasi manusia
bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan
batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal

Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:

1. Hak untuk hidup


2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak keadilan
5. Hak kemerdekaan
6. Hak atas kebebasan informasi
7. Hak keamanan
8. Hak kesejahteraan
9. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini merupakan upaya
penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945 dengan
mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kegiatan Belajar 3

PANCASILA DAN KRISIS EKONOMI


Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba ternyata tidak berkelanjutan
karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik antargolongan, antara daerah,
dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan
kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis
kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.

Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip
ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain. yang juga dipicu dengan
maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara negara

Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta konstitusi
UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik
dan moral agama, tidak semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang
memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi
mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung tinggi
kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan
menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran individu.

Sistem ekonomi Pancasila dibangun di atas landasan konstitusional UUD 1945, pasal 33
yang mengandung ajaran bahwa (1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan-

40 | P a g e
rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; (2) Seluruh warga masyarakat bertekad untuk
mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan adanya ketimpangan ekonomi dan
kesenjangan sosial; (3) Seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah selalu
bersemangat nasionalistik, yaitu dalam setiap putusan-putusan ekonominya menomorsatukan
tujuan terwujud-nya perekonomian nasional yang kuat dan tangguh; (4) Koperasi dan bekerja
secara kooperatif selalu menjiwai pelaku ekonomi warga masyarakat. Demokrasi ekonomi atau
ekonomi kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
(5) Perekonomian nasional yang amat luas terus-menerus diupayakan adanya keseimbangan
antara perencanaan nasional dengan peningkatan desentralisasi serta otonomi daerah. hanya
melalui partisipasi daerah secara aktif aturan main keadilan ekonomi dapat berjalan selanjutnya
menghasilkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pustaka Sekunder
1. Nopirin, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pancoran Tujuh, Jakarta, Cet
9.
2. Nopirin,1999, Nilai-nilai Pancasila sebagi Strategi Pengembangan Ekonomi Indonesia,
Internship Dosen-Desen Pancasila Se-Indonesia, Yogyakarta.
3. Pranarka, A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
4. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi di Indonesia dalam Perspektif
Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM,
Yogyakarta.
5. Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Reformasi Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis),
dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
6. Syaidus Syakar, 1975, Pancasila pohon Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia,
Alumni, Bandung.

41 | P a g e
Modul VII
PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN RI

Kegiatan belajar

PENDAHULUAN

Warga negara diartikan sebagai orang-orang yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang
menjadi unsur negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagaiorang
merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota, atau warga dari suatu negara, yakni peserta darisuatu
persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara
mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak,
privasi, dan tanggung jawab .

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat
pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain
sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat,
wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.

Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang dalam ilmu
kenegaraan disebut sebagai dasar filsafat Negara (Philosofische Sronslag). Dalam kedudukan
ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan
Negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di Negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya seluruh peraturan peraturan perundang-undangan serta pernjabarannya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Dalam konteks inilah maka Pancasila merupakan suatu asas kerohanian Negara, sehingga
merupakan suatu sumber nilai, norma dan kaidah baik moral maupun hukum dalam Negara
Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila yang demikian ini justru mewujudkan fungsinya
yang pokok sebagai dasar Negara Republik Indonesia , yang manifestasinya dijabar dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu Pancasila merupakan sumber hukum
dasar Negara baik yang tertulis yaitu Undang-Undang Dasar Negara maupun hukum dasar
tidak tertulis convensi.

Negara Indonesia adalah Negara demokrasi yang berdasarkan asas hukum, oleh karena itu
segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan  Negara diatur dalam suatu system
peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka Negara dilaksanakan
berdasarkan pada suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara. Pembagian
kekuasaan, lembaga-lembaga tinggi Negara, hak dan kewajiban warga Negara, keadilan
sosial dan lainnya diatur dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara. Hal inilah yang
dimaksud dengan pengertian Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dalam pembahasan ini tidak dapat dilepaskan dengan eksistensi Pembukaan UUD 1945,

42 | P a g e
yang merupakan deklarasi bangsa dan negar Indonesia, yang memuat Pancasila sebagai dasar
Negara, tujuan Negara serta bentuk Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang
sangat penting karena merupakan suatu staasfundamentalnorm, dan berada pada hierarkhi
tertib hukum tertinggi Negara Indonesia.

A.    Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bersama-sama dengan pasal-pasal Undang-Undang


Dasar 1945, disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diundangkan dalam
Berita Republik Indonesia Tahun II No.7. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
ilmu hukum mempunyai kedudukan diatas pasal-pasal UUD 1945. Konsekuensi keduanya
memiliki kedudukan hukum yang berlainan, namun keduanya terjalin dalam suatu hubungan
kesatuan yang kausal dan organis.

Pembukaan UUD 1945 terdiri atas 4 alinea, dan setiap alinea memiliki spesifikasi jikalau
ditinjau berdasarkan isinya. Alinea pertama, kedua dan ketiga memuat segolongan pernyataan
yang tidak  memiliki hubungan klausal organis dengan pasal-pasalnya. Bagian tersebut
memuat serangkaian pernyataan yang menjelaskan peristiwa yang mendahului terbentuknya
Negara Indonesia, adapun bagian keempat (alinea IV) memuat dasar-dasar fundamental
Negara yaitu : tujuan Negara, ketentuan UUD Negara, bentuk Negara dan dasar filsafat
Negara Pancasila. Oleh karena itu alinea IV ini memiliki hubungan “kausal organis” dengan
pasal-pasal UUD 1945, sehingga erat hubungannya dengan isi pasal-pasal UUD 1945
tersebut.

1.      Pembukaan UUD 1945 Sebagai Tertib Hukum Tertinggi

Kedudukan Pembukaan UUD 1945 dalam kaitannya dengan tertib hukum Indonesia memiliki
dua aspek yang sangat fundamental yaitu : Pertama. Memberi factor-faktor mutlak bagi
terwujudnya tertib hukum Indonesia, dan Kedua.  Memasukkan diri dalam tertib hukum
Indonesia sebagai tertib hukum tertingi. Maka kedudukan Pancasila sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Sumber dari segala sumber hukum Indonesia.

Berdasarkan penjelasan tentang isi Pembukaan UUD 1945 yang termuat dalam Berita
Republik Indonesia tahun II No.7, dijelaskan bahwa “… Pembukaan UUD 1945 yang
didalamnya terkandung pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD
Negara Indonesia. Serta mewujudkan suatu Cita-cita Hukum, yang menguasai hukum dasar
tertulis (UUD) maupun hukum dasar yang tidak tertulis (convensi). Adapun Pokok-pokok
pikiran tersebut dijelmakan (dikongkritisasikan) dalam pasal-pasal UUD 1945”. Dalam
Pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD 1945  adalah sebagai
sumber hukum positif Indonesia.

Sebagaimana isi yang terkandung dalam penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945 maka
konsekuensinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 selanjutnya harus
dikongkritisasikan kedalam pasal-pasal UUD 1945 dan selanjutnya dalam realisasinya
kemudian di jabarkan dalam peraturan-peraturan hukum positif di bawahnya, seperti
Ketetapan MPR Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan perundang-undangan lainnya.

43 | P a g e
Dengan demikian seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia  harus bersumber pada
Pembukaan UUD 1945 yang didalammnya terkandung asas kerohanian Negara atau Dasar
Filsafat Negara Republik Indonesia

Hubungan antara Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945

Pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, merupakan suasana kebatinan Undang-Undang


Dasar Negara Indonesia serta mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar Negara, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis, dan pokok-pokok pikiran tersebut dijelmakan dalam pasal UUD
1945. Oleh karena itu, dipahami bahwa suasana kebatinan UUD 1945 serta cita hukum UUD 1945
bersumber atau dijiwai oleh dasar falsafat Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan arti dan fungsi
Pancasila sebagai Dasar Negara.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Pembukaan UUD 1945 mempunyai fungsi atau hubungan
langsung dengan Batang Tubuh UUD 1945, karena Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-
pokok pikiran yang dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal di Batang Tubuh UUD 1945 tersebut.
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan hal ini
menjadi rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu.

Batang Tubuh UUD 1945 terdiri dari rangkaian pasal-pasal merupakan perwujudan pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang tidak lain adalah pokok pikiran :
Persatuan Indonesia, Keadilan social, Kedaulatan Rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan/ perwakilan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil
dan beradab.

Pokok-pokok pikiran tersebut tidak lain adalah pancaran dari Pancasila yang telah manpu
nenberikan semangat dan terpancang dengan khidmat dalam perangkat UUD 1945. Semangat
(Pembukaan) pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian lesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Kesatuan serta semangat yang demikian itulah yang harus diketahui, dipahami, dan dihayati oleh
setiap insan warga Negara Indonesia.

3. Hubungan Pancasila dengan UUD 1945

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa


Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara
formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara
(Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam
empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama
hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain sebagainya. Jadi selain tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 alinea 4, Pancasila terangkum dalam empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945.
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-
cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-
Undang Dasar.

44 | P a g e
Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah
hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan
penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu
gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa
untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia
menyatakan kemerdekaannya.
Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan
kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan
keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam
wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan
dasar negara.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan
hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana
telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische
grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai
ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945
tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Pidato Presiden RI, Bung Karno, pada tanggal 17-8-1963 RESOPIM


Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), hal. 51.

Pokok-pokok pikiran terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Pokok-pokok pikiran


tersebut merupakan suasana kebatinan dari hukum dasar. Maka Pembukaan UUD 1945
mempunyai hubungan langsung dengan UUD 1945 karena pokok-pokok pikiran di
dalamnya dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945. Untuk menyelidiki hukum dasar
suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD saja, tetapi harus
menyelidiki juga praktiknya dan bagaimana suasana kebatinan UUD itu. Bagaimana
terjadinya, bagaimana keterangan-keterangannya dan dalam suasana bagaimana
dibuatnya. (Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7).

Dalam alinea pertama, kedua dan ketiga Pembukaan UUD 1945 terkandung:

a. Rangkaian peristiwa/keadaan yang mendahului terbentuknya negara.


b. Rumusan dasar-dasar pemikiran yang mendorong tersusunnya kemerdekaan bangsa
atau terbentuknya negara Indonesia.

Dalam alinea keempat tercermin ekspresi peristiwa dan keadaan setelah negara Indonesia
terwujud. Hal ini mengandung beberapa segi yaitu:

a. Akan ditentukannya suatu UUD.


b. UUD tersebut akan mengatur persyaratan pembentukan pemerintah negara.

45 | P a g e
c. Negara Indonesia berbentuk republik yang berkedaulatn rakyat.
d. Ditetapkannya dasar kerohanian (filsafat negara Pancasila)

Butir c dan d harus teruang dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar karena telah
merupakan ketentuan pembukaan.

Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental (staats
fundamentale norm), yang menjadi dasar-dasar pokok undangundang dasar. Oleh karena
itu, pembukaan memiliki kedudukan lebih tinggi dari undang-undang dasar. Pembukaan
tersebut, khususnya alinea keempat memuat unsur-unsur tertib hukum (rechtsorde, legal
orde), yaitu kebulatan dari keseluruhan peraturan hukum, yakni:

a. Kesatuan subjek (penguasa, atau Pemerintah RI) yang mengadakan peraturan-peraturan


hukum.
b. Kesatuan asas kerohanian (Pancasila).
c. Kesatuan daerah (seluruh tumpah darah Indonesia).
d. Kesatuan waktu (disusunlah Kemerdekan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
undang-undang dasar negara Indonesia, yang menyangkut saat timbulnya negara sampai
seterusnya).

4. Hubungan Pembukaan UUD1945 dan Proklamasi 17 Agustus 1945

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa


Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara
formal yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar Negara
(Suhadi, 1998). Cita-cita hukum tersebut terangkum didalam empat pokok pikiran yang
terkandung dalam Undang Undang Dasar 1945 yang sama hakikatnya dengan
Pancasila, yaitu :

1. Negara Persatuan  “ Melindungi segenap bangsa Indonesia  dan seluruh tumpah darah
Indonesia “
2. Keadilan sosial “Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia “
3. Kedaulaatan Rakyat “ Neara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas
kerakyatan /perwakilan.”
4. Ketuhanan dan kemanusiaan “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradap.”

Pembukaan UUD 1945 adalah sumber motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa
Indonesia yang merupakan sumber cita-cita luhur dan cita cita mahal, sehingga pembukaan
UUD 19445 merupakan tertib jukum yang tertinggi dan memberikan kemutlakan agi tertib
hukum Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 bersama dengan UUD 1945 diundnagkan dalam berita
Republik Indonesia tahun 11 No 7, ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada
hakekatnya semua aspek penyelenggaraan pemerintah Negara yang berdasarkan Pancasila
terdapat dalam alenia IV pembukaan UUD 1945.

46 | P a g e
Dengan demikian Pancasila secara yuridis formal ditetapkan sebagai dasar filsafat
Negara Republik Indonesia bersamaan dengan ditetapkan Pembukaan UUD 1945 dan UUD
1945. Maka Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 mempunyai hubungan timbal balik sebagai
berikut :

Hubungan Secara Formal


Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD 1945,
maka Pancasila memporelehi kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan
demikian tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas-asas social, ekonomi,
politik, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religigius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya
terdapat dalam Pancasila.
Jadi berdasarkan tempat terdapatnya Pancasila secarta formal dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a.)    Bahwa rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia IV.
b.)    Bahwa Pembukaan UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah, merupakan pokok
kaedah Negara yang Fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua
macam kedudukan yaitu :

1. Sebagai dasarnya, karena Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberi factor-faktor
mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.
2. Memasukkkan dirinya di dalam tertib hukum sebagai tertib hukum tertinggi.

c.)    Bahwa dengan demikian Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi, selain
sebgai Mukaddimah dan UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga
berkedudukan sebagai suatu yang bereksistensi sendiri, yang hakikat kedudukan hukumnya
berbeda dengan pasal-Pasalnya. Karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya adlah Pancasila
tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945, bahkan sebagai sumbernya.
d.)  Bahwa Pancasila dengan demikian dapat disimpulkan mempunyai
hakikat,sifat,kedudukan dan fungsi sebagai pokokkaedah negara yang fundamental, yang
menjelmakan dirinya sebagai dasar kelangsungan hidup negara Republik Indonesia yang di
proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945.
e.)  Bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945, dengan demikian mempunyai
kedudukan yang kuat, tetap dan tidak dapat di ubah dan terletak pada kelangsungan hidup
Negara Republik Indonesia.
Hubungan secara material
Hubungan pembukaan UUD 1945 dengan Pncasila selain hubungan yang bersifat formal,
sebagaimana di jelaskan di atas juga hubungan secara material sebagai berikut:
Bilamana kita tinjau kembali proses perumusan Pancasila dan pembukaan UUD 1945, maka
secara kronologis, materi yang di bahas oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar
filsafat Pncasila baru kemudian Pembukaan UUD 1945. Setelah pada sidang pertama
pembukaan UUD 1945 BPUPKI membicarakan dasar filsafat negara Pancasila berikutnya

47 | P a g e
tersusunlah piagam jakarata yang di susun oleh panitia 9, sebagai wujud bentuk pertama
pembukaan UUD 1945.
Jadi berdasar urut-urutan tertib hukum Indonesia Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai tertib
hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumber pada Pancasila, atau dengan
kata lain sebagai sumber tertib hukum Indonesia. Hal ini berarti secara material tertib hukum
Indonesia dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pancasila sebagai
sumber tertib hukum indonesia meliputi sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan
sifat.
Selain itu dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan pembukaan UUD 1945 sebagai
pokok kaidah negara yang fubdamental, maka sebenarnya secara material yang merupakan
esensi atau inti sari dari pokok kaidah negara fundamental tersebut tidak lain adalah
pancasila.

Modul IX

Hakikat Pancasila

Kegiatan Belajar

Sebagai aspek kehidupan bangsa Indonesia selalu mencerminkan ,menjunjung tinggi dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai pancasila.pengamalan pancasila itu tidak
memiliki sifat imperative (memaksa).

Hakikat pengertian pancasila yang bersifat melengkapi dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum ,mengandung pengertian


dijadikan pancasila sebagai dasar aturan bagi seluruh peraturan hukum di Indonesia
bahwa segala peraturan hokum berlaku harus selalu bersumber berdasar kepada
pancasila berjunjung dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri tidak boleh
bertentangan.
2. Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa di artikan sebagai dasar atau landasan yang
mengatur kehidupan berbangsan beraneka ragam (majemuk/prural) baik suku
bangsayang berbeda maupun latar belakang adat istiadat dan daerah bahkan juga
perbedaan agama,ole karena itu kedudukan konsepsi kenegaraan yang dapat majemuk
mengelola keaneka ragama itu yang menjamin utuhnya kesatuan dan persatuan
bangsa.

Maka hakikat pengertian pokok pancasila itu meliputi :

1. Pancasila sebagai dasar Negara dan


2. Pancasila sebagai filsafah hidup bangsa

48 | P a g e
Akan halnya pengertian pancasila yang bersifat melengkapi adalah hakikat pengertian
pancasila yang bersumber kepda hakikat pengertian pokok pancasila, termasuk kedalam
hakikat pengertian pancasila yang bersifat melengkapi ini antara lain :

1. Pancasila sebagia sumber dari sumber hokum


2. Pancasila sebagia alat pemersatu bangsa
3. Pancasila sebagia kepribadian bangsa Indonesia

Dimaksudkan dengan hakikat pancasila sebagai dasar Negara adalah dijakikannya pancasila
sebagai dasar aturan dalam penyenlenggaraan pemerintah Negara dan kehidupan kenegaraan
harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan pancasila pelaksana pancasila sebagai dasar
Negara memiliki sifat memaksa serta disetrai sangsi hukum.

Dengan bersatunya bangsa Indonesia tentang perlunya pancasila tidak tergantung dari telah
bersatunya bangsa Indonesia :

1. Kesatuan dan persatuan bangsa tidak bersifat setatis melainkan dinamis mengikuti
gerakan dinamika kehidupan masyarakat.

Pancasila tetap diperlukan sekalian bangsa Indonesia bersatu melihat kedudukan dan
fungsinya yang utama sebagai dasar Negara dan falsafa hidup bangsa yang erat kaitannya
dengan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara

49 | P a g e
Modul X

Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmnu

Kegiatan Belajar

A.    Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu


Andaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya
ditemukan ilmu, yaitu untuk mencerdaskan manusia, memartabatkan manusia dan
mensejahterakan manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaedah-
kaedah keilmuannya sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu
(teknologi) dan masyarakat.
Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang
sentral dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang
dikembangkannya dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris
tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan
perkembangan peradaban manusia. Ironisnya tidak diimbangi kesiapan mentalitas
sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia.
Teknologi telah merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif
dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah
pola pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia
sendiri (Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang
serba teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakekat kodrat
sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka
tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia

50 | P a g e
individualis.Masih terdapat banyak persoalan akibat teknologi yang dapat disaksikan,
meskipun secara nyata manfaat teknologi tidak dapat dipungkiri. Problematika keilmuan
dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pada masa-
masa sebelumnya. Karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu
dikaji aspek kesejarahan dan aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari
sini,
Problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka
dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan
suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah
mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai
Pancasila.[2]
Adapun penjelasan mengenai nilai dapat yaitu, nilai atau “value” (bahasa
Inggris) termasuk bidang kajian filsat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan
dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (axiologi, theory of value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam ilmu filsafat
dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau
kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam
menilai atau melakukan penilaian.[3]

B.     Ilmu dalam Perspektif Historis


Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu
dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, AbadPertengahan, Abad
Modern, sampai Abad Kontemporer.
Masa Yunani Kuno (abad ke 6 SM – 6 M) saat ilmu pengetahuan lahir,
kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam
dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa
yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimanapun corak mitologis
ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk
mengetahui adanya sesuatu yang esa, tetap, dan abadi, di balik yang bhinneka, berubah
dan sementara.
Memasuki Abad Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani
Kuno menjadi ajaran praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa,
Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan
Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).
Selanjutnya Abad Modern (abad ke 18-19 M) dengan dipelopori oleh gerakan.
Renaissance di abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18,
melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau modern.
Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan
Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant,
telah memberikan implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta
segala kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak
manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan
pembebasan dari kedudukannya yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan
gereja. Agama yang semula menguasai dan manunggal dengan filsafat segera
ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar
dan arah pemikiran sendiri (Koento Wibisono, 1985)

51 | P a g e
Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-sekarang)
berkat teori relativitas Einsteinyang telah  merombak filsafat Newton (semula sudah
mapan) di samping teori kuantumnya yang
telah  mengubah  persepsi  dunia  ilmu  tentang  sifat-sifat dasar dan perilaku materi
sedemikian rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan
berhasil mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi
molekuler, hasilnya seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini
(Sutardjo,1982).
Ilmu  pengetahuan dalam  perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak
kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek
kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri (prestige)
dan  mitos,  yang  akan  menjamin  survival suatu   bangsa,   prasyarat   (prerequisite)
untuk   mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan  (power) yang dibutuhkan dalam
hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek
telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya
mengubah budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin
dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:
1.      Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan
budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh
logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap
sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya
yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan.
Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaedah-kaedah
normatif  yang  semula  menjadi  panutan,  bergeser mencari format baru yang dibutuhkan
untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri.
Filsafat“sesama bus kota tidak boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang
yang dituntut adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-
inovatif-kreatif.
2.      Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional  kebangsaan.  Puncak-
puncak  kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju  satu kesatuan pranata
kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang
berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur  pemerintahan, sistem
pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif merupakan upaya serius
untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.
3.      Masa   transisi    budaya   nasional - kebangsaan    menuju budaya global - mondial.
Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak asasi, demokrasi,
keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial
kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran
mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkrit dalam tataran operasional.
4.      Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya
pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.
 Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi yang
sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan
di  manapun,  terlepas  dari  sistem  ideologi  atau  sistem
sosial   yang   dimilikinya.   Dipertanyakan   apakah   hak-hak asasi dihormati, apakah
demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya,
bagaimana lingkungan hidup dikelola.

52 | P a g e
Nyatalah  bahwa  implikasi  globalisasi  menjadi semakin kompleks,
karena   masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin
mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani
perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub-
culture), sedang  di  lain  pihak  muncul  tindakan-tindakan
yang   bersifat   melawan   terhadap   perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai
penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan
tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya
tandingan (counter-culture).[4]

C.    Beberapa Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan


Melalui kajian historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman tentang
sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu
pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud /
memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat,
ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang
dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaedah-kaedah ilmiah yang menurut
paradigma Merton disebutuniversalisme, komunalisme, dan  skepsisme yang  teratur  dan
terarah.  Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau
kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan
ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, kongres. Sedangkan sebagai
produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi
berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui
karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia.
Aspek struktural  menunjukkan bahwa ilmupengetahuan di dalamnya terdapat
unsur- unsur sebagai berikut:
1.      Sasaran yang  dijadikan  obyek  untuk  diketahui (Gegenstand);
2.      Obyek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu
tanpa mengenal titik henti. Suatu  paradoks  bahwa  ilmu  pengetahuan  yang  akan terus
berkembang justru muncul permasalahan - permasalahan baru yang mendorong untuk
terus menerus mempertanyakannya.
3.      Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus dipertanyakan.
4.      Jawaban-jawaban   yang  diperoleh   kemudian  disusun dalam suatu kesatuan sistem
(Koento Wibisono, 1985).
Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai
akan kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat
diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang
untuk melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif.[5]
Sedangkan di dalam Islam, ada 6 aspek penting dalam pendidikan yaitu:
1.      Aspek pendidikan ketuhanan, menjadi aspek pertama dan aspek dasar pendidikan dalam
Islam. Dengan mengenal Allah Swt. sebagai Tuhan dan Pencipta, pribadi manusia dapat
menyadari bahwa segala yang dipelajari adalah ciptaan-Nya. Dengan bekal itu pula,
dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan dan menguak fenoma alam, bukan
kesombongan yang muncul dalam diri, melainkan kesadaran akan kebesaran-Nya serta
kedekatan kita dengan-Nya.

53 | P a g e
2.      Aspek pendidikan akhlak, termasuk dalam aspek penting pendidikan dalam Islam.
Kasus korupsi ataupun tindak kejahatan sosial yang terjadi sekarang, Akhlak yang baik
akan mencerminkan pribadi akan selalu melakukan segala sesuatu dengan batas-batas
yang sesuai ajaran Islam dan jauh dari perbuatan yang merugikan orang lain. Hal ini
sesuai dengan tujuan pendidikan yang salah satunya membentuk hubungan yang
harmonis antara sesama. Tanpa akhlak, ilmu pengetahuan dan potensi diri dapat
digunakan untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat.
3.      Aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan, menjadi aspek yang tidak terpisahkan
dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar mengajar, pendidik maupun anak didik
berkutat dalam diskusi untuk memahami ilmu pengetahuan. Aspek ini berhubungan
dengan kesuksesan di dunia profesi. Dengan akal dan ilmu pengetahuan, potensi diri
untuk berkembang dan berprestasi dalam dunia profesi tertentu dapat dicapai.
4.      Aspek pendidikan fisik, berhubungan dengan potensi jasmani. Dengan fisik yang sehat,
potensi diri untuk melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan belajar mengajar dapat
berjalan lancar. Adanya mata ajar olahraga, bahkan kompetisi dalam bidang olahraga,
menjadi salah satu media pemenuhan aspek ini.
5.      Aspek Pendidikan Kejiwaan, menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam
pendidikan. Terdapat kata-kata bijak yang sangat familiar dan menunjukkan pentingnya
aspek pendidikan kejiwaan, yaitu, “Di dalam tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa pikiran positif dan semangat muncul dari jiwa sehat yang
dapat dipentuk dalam proses belajar mengajar.
6.      Aspek pendidikan keindahan, tidak hanya terbatas pada sesuatu yang enak untuk dilihat,
tetapi aspek ini juga menjadi salah satu aspek dalam pendidikan. Jika sahabat Abi Ummi
lihat dalam Alquran yang merupakan sumber berbagai ilmu bagi umat manusia,
keindahan dalam penyampaiannya dapat kita temukan dalam rima ayat-ayat dalam
berbagai surat, seperti Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq. Keindahan dalam berbahasa dan
bertutur kata menjadi aspek yang selalu ditunjukkan dalam penyampaian ilmu dari zaman
Nabi Muhammad saw. hingga saat ini.[6]
D.    Pilar-Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan
Kekuatan   bangunan   ilmu   terletak   pada   sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite
/ saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
1.      Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a.       Aspek  kuantitas  :  Apakah  yang  ada  itu  tunggal,  dual atau plural (monisme,
dualisme, pluralisme)
b.      Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme,
teleologisme, vitalisme dan organisme).

Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi,


dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misalnya masalah krisis moneter, tidak dapat hanya
ditangani oleh ilmu ekonomi saja.Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lainyang

54 | P a g e
tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, makaperlu bantuan ilmu lain seperti politik,
sosiologi.

2.      Pilar epistemologi (epistemology)


Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber
kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur, danstrategi.
Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita:
a.       sarana  legitimasi  bagi  ilmu / menentukan  keabsahan disiplin ilmu tertentu;
b.      memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu;
c.       mengembangkan ketrampilan proses;
d.      mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3.      Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius)
dalam setiap penemuan, penerapan  atau  pengembangan  ilmu.  Pengalaman aksiologis
dapat memberikan  dasar  dan  arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan
seorang  profesional  dan  ilmuwan.

E.     Prinsip-Prinsip Berfikir Ilmiah


1.      Obyektif :  Cara  memandang  masalah  apa  adanya,terlepas dari faktor-faktor subyektif
(misalnya : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita)..
2.      Rasional : Menggunakan  akal  sehat yang dapatdipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3.      Logis : Berpikir dengan    menggunakan    asas logika
/runtut /  konsisten,  implikatif.  Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif.
Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4.      Metodologis : Selalu menggunakan cara dan metode
keilmuan  yang  khas  dalam  setiap  berpikir  dan bertindak (misalnya: induktif, dekutif,
sintesis, hermeneutik, intuitif).
5.      Sistematis : Setiap cara berpikir dan bertindakmenggunakan tahapan langkah prioritas
yang jelas dansaling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.[8]

55 | P a g e
Modul XI

Demokrasi dalam Ketatanegaraan RI

Kegiatan Belajar

Sebagai sebuah ideologi, demokrasi kerap dihadapkan pada dua realita. Di satu pihak,
demokrasi biasanya dijadikan ideologi yang menjadi basis bagi terciptanya pemerintahan
yang aspiratif. Sedangkan di sisi yang lain, demokrasi kerap ditolak, karena klaim
kebenaran yang dipegang demokrasi bersandar pada kebenaran mayoritas. Bagi para
pengkritik demokrasi, kebenaran mayoritas tidak selamanya menghadirkan kebenaran
yang sesungguhnya. Ujung dari kritik terhadap demokrasi ini biasanya ditunjukkan
melalui pelbagai realita penyimpangan demokrasi di berbagai negara belakangan ini.
Realita yang memperlihatkan ketidaksingkronan antara nilai-nilai demokrasi dengan
terciptanya keteraturan di masyarakat.

Penolakan terhadap demokrasi sesungguhnya berlangsung sejak ribuan tahun silam,


bahkan di masa-masa awal ideologi ini muncul. Arestoteles, seorang filusuf yang amat
masyhur, adalah salah seorang penentangnya. Arestoteles beranggapan bahwa,
demokrasi adalah bentuk pemerosotan sistem pemerintahan.[1]
Oleh Arestoteles, demokrasi disebut sebagai mobocracy atau the rule of mob, yaitu
pemerintahan yang dilakukan oleh massa, yang pada ujungnya hanya akan melahirkan

56 | P a g e
anarkhisme. Arestoteles nampaknya lebih setuju dengan sistem pemerintahan yang
dikendalikan oleh sekelompok orang terpelajar.[2] Oleh Aristoteles ini disebut sebagai
sistem pemerintahan oligharkhi dalam bentuk yang positif. Ketika pemerintahan
dikendalikan oleh ataupun atas nama rakyat mayoritas, maka pemrintahan tersebut sukar
dikendalikan, demikian argumen penolakan Arestoteles atas demokrasi.
REPORT THIS AD
Meskipun demikian, belakangan hari hampir seluruh negara mengklaim menjadi negara
demokrasi, termasuk Indonesia. Klausula Konstitusi kita yang menyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat” merupakan penerimaan terhadap ide demokrasi
secara tersirat.
Tulisan ini mencoba melihat relasi antara ide demokrasi dengan system ketatanegaraan
yang dibangun di tempat kita, yang secara sederhana dapat ditelusuri dari pelbagai
pengaturannya dalam UUD 1945.
Tafsir Demokrasi
Sebagaimana substansinya, demokrasi secara makro ditafsirkan sebagai pemeritahan
yang berasal dari rakyat sebagaimana asal kata dari demokrasi, yaitu  demos yang berarti
rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan.[3] Abraham Lincon dalam pidato
inagurasi Presiden-nya menyatakan demokrasi sebagai pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berdasarkan tafsir itu, beberapa ilmuwan
memberikan kreteria demokrasi, diantaranya Bringhamm, Arend Liyphard dan Afan
Gaffar.
Bringhamm memberikan lima kriteria untuk melihat apakah demokrasi betul-betul
terwujud dalam suatu negara, kelima kriteria tersebut adalah:
1.        The legitimacy of government rest on a claim to represent the desire of its citizen.
that is, the claim of the government to obedience to its laws is based on the
government’s assertion to be doing what they want its to do.
2.        The organized arrangement that regulated this bargain of legitimacy is the
competitive political election. Leaders are elected at regular interval, and voters can
choose among the alternative candidates.
3.        Most adult can participate in the electoral process, both as voters and as
candidates for important political office.
4.        Citizen voters are secret and not coerced
5.        Citizen and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and
organization
 
Afan Gaffar memberikan kriteria terhadap demokrasi dalam pemahaman empirik, ada
empat kriteria yang diberikannya, yaitu:
1. Akuntabilitas; yakni setiap pejabat publik harus dapat mempertanggung jawabkan
kinerjanya kepada publik (rakyat), termasuk apa saja yang pernah, sedang dan akan 
dilakukannya.
2. Adanya rotasi kekuasaan; dalam demokrasi rakyat harus diberikan kesempatan yang
sama dalam memangku suatau amanah rakyat secara keseluruhan, dengan jalan
terjadinya rotasi kekuasaan yang diatur jelas proses dan temponya.
3. Adanya rekrutmen politik terbuka; yakni jabatan-jabatan yang terdapat dalam institusi
politik, semacam partai politik diperuntukkan untuk semua orang, tanpa memandang
kolutivisme dan nepotisme. Rekrutmen politik terbuka pada akhirnya akan mengikis
oligarkhi politik dalam suatu negara.

57 | P a g e
4. Adanya penghargaan terhadap hak-hak dasar, seperti hak untuk berbicara, hak untuk
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk menyuarakan pendapat lewat media massa
dan lain-lain.
REPORT THIS AD
Menurut Arend Liyphard ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi suatu negara yang
menganut paham demokrasi, kriteria tersebut adalah:
1. Adanya kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan
2. Adanya kebebasan menyatakan pendapat
3. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara
4. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintahan negara
5. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh dukungan atau
suara
6. Terdapat berbagai sumber informasi
7. Ada pemilihan yang bebas dan jujur
8. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah, harus tergantung
keinginan rakyat[6].
Menurut Sri Soemantri, jika melihat demokrasi dari pengertian harfiah diatas, maka hal
tersebut tidaklah mungkin diwujudkan, oleh karena adalah mustahil orang yang
berjumlah lebih banyak memerintah orang yang lebih sedikit[7]. Sehingga menurutnya,
Aristoteles dalam membicarakan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada dan yang
seharusnya berlaku, beranggapan bahwa demokrasi itu termasuk salah satu bentuk
pemerosotan.
Oleh Arestoteles sebagaimana disinggung di pendahuluan tulisan ini, demokrasi biasa
disebut sebagai mobocracy atau the rule of the mob yaitu pemerintahan yang dilakukan
oleh massa, sehingga pada akhirnya akan mendatangkan anarki. Argumentasi yang
dibangun Aristoteles tersebut ada hubungannya dengan teori siklus pemerintahan yang
dikemukakan oleh Polybios.
Ia mengatakan bahwa mula-mula pemerintahan itu berbentuk monarki, tetapi kemudian
karena manusia itu tidak sama sifatnya, maka apabila keturunan raja-raja tersebut yang
merintah itu kemudian menggantikan dan memerintah dengan sewenang-wenang, maka
timbullah suatu tirani, dimana raja-raja itu hanay memperhatikan kepentingannya
sendiri-sendiri.
Kemudian diantara kaum bangsawan timbul perasaan tidak puas dan menggulingkan
raja-raja tersebut hingga terjadilah aristokrasi yang sama serta tidak abadi, maka
muncullah oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang demi kepentingan
mereka sendiri.dan pemerintahan yang demikian ini akan ditentang kembali oleh rakyat
yang melahirkan demokrasi.[8]
Sehingga apa yang disebutkan Sri Soemantri diatas dapat dipahami dalam kontek
demokrasi secara formil, atau dalam makna harfiah, Sehingga adalah menarik untuk
melihat demokrasi dari sisi substansinya/isinya. Untuk itu penulis mencoba mengutip
pendapat Robert K. Carr sebagai berikut[9] ;
A further difficulty about divining democracy is that the term is used to describe both an
ideology and an actual governmental mechanism.
REPORT THIS AD
people refer to the former when they talk about democratic way of life, and the letter
when the talk about democracy in action. In other words, democracy is both theory and
practice

58 | P a g e
( Terjemahan bebas ; Suatu hal yang cukup sulit untuk mendifinisikan demokrasi adalah
terjadinya pendiskipsian ganda antara demokrasi sebagai suatu ideologi dengan
demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang dilakukan secara aktual.
Masyarakat selalu mengacu pada masa lalu ketika mereka membicarakan demokrasi,
baik sebagai pandangan hidup (ideologi), maupun sebagai aksi. Atau dalam bahasa lain,
demokrasi akan dimaknai (oleh masyarakat) sebagai teori dan praktek).
Dalam pandangannya, Carr menyatakan bahwa dalam aras praktiknya, demokrasi bukan
hanya dimaknai sebagai sebuah ideologi, melainkan juga sebagai sebuah praktek yang
terjadi dalam masyarakat, terutama mengenai mekanisme pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya.
Dalam kerangka berpikir demikian, relevan untuk melihat demokrasi dari perspektif
ilmu politik, dimana demokrasi dibagi dalam dua pemahaman, yakni; demokrasi dalam
arti normatif dan demokrasi dalam arti empirik[10]. Demokrasi dalam pemahaman
normatif merupakan sesuatu yang ideal untuk diselenggarakan oleh suatu negara, nilai
ideal terhadap demokrasi ini, biasa dapat ditelusuri lewat konstitusi suatu negara, di
Indonesia, demokrasi dalam ranah normatif dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) ,
maupun Pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan;
Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang-undang Dasar
(Pasal 1 ayat (2) ).
Kemerdekaan bertserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).
Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dilihat sebagai perwujudan kehidupan
politik praktis suatu negara sebagaimana parameter-parameter demokrasi yang disusun
oleh beberapa pakar diatas[11].
Paham demokrasi berdasarkan kreteria-kreteria diatas berdasarkan subjek yang berdaulat
atasnya, dapat dibagi menjadi :
1. demokrasi liberal dan;
2. demokrasi yang berketuhanan.
Membagi demokrasi pada dua pemahaman, liberal dan berketuhanan, sesungguhnya
mengulang kembali diskursus antara teori kedaulatan rakyat (people sovereignty) dan
teori kedaulatan Tuhan (God sovereignty).
Menurut C.S.T Kansil, kedaulatan memiliki tiga karakter, yaitu asli, tertinggi dan tak
dapat dibagi-bagi. Kedaulatan memiliki sifat asli, karena  ia bukan berasal dari
kekuasaan lain. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan yang tertinggi dan karenanya ia
tidak dapat dibagi-bagi dengan kekuasaan yang lain.[12] Jika sumber kedaulatan itu
adalah rakyat, maka rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Karena rakyat
dianggap supreme, maka pemerintahan yang terbentuk-pun mesti berdasarkan cara-cara
tertentu yang meletakkan rakyat sebagai pembentuknya.
REPORT THIS AD
Demokrasi dalam arti liberal biasanya dimaknai mirip dengan logika ini. Demokrasi
semata-mata diletakkan sebagai suatu ideologi yang meletakkan rakyat di tempat
tertinggi piramida kekuasaan. Dengan logika ini pula, segala bentuk pemerintahan yang
terbentuk tanpa mengikutsertakan rakyat dianggap tidak demokratis. Tidak hanya pada
titik itu saja, demokrasi liberal juga menempatkan rakyat sebagai sumber pembuatan
hukum. Hukum yang demokratis adalah hukum yang dibentuk atas kehendak rakyat,
baik secara langsung maupun melalui perwakilan.
Hampir seluruh penganjur demokrasi mengikuti faham demokrasi liberal ini. Robert
A.Dahl misalnya, ketika membahas tentang keuntungan-keuntungan demokrasi, ia
menyebutkan pelbagai keuntungan yang semuanya menempatkan rakyat sebagai subjek

59 | P a g e
sekaligus objeknya. Beberapa keuntungan demokrasi yang dikemukakan Dahl, antara
lain ;
a)      Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang
kejam dan licik;
b)      Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah hak asasi yang tidak
diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem yang lain;
c)      Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya;
d)     Pemerintahan demokratis dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk
menjalankan tanggung jawab moral;
e)      Pemerintahan yang demokratis dapat membantu lahirnya persamaan tingkat politik
yang relatif sama.
Henry B.Mayo dalam memberikan tafsir demokrasi juga menekankan pembentukan
pemerintahan oleh rakyat. Ia menyatakan : “ A democratic political system is one in
which public policies are made on a majority basis…”. Pertemuan para pakar hukum
yang tergabung dalam Commission of Jurist di Bangkok juga membuat rumusan yang
tidak jauh berbeda tentang demokrasi, yaitu “ a form of government where the citizens
exercise the same right”.

Sebaliknya, dalam teori kedaulatan Tuhan, yang diangap memiliki kekuasaan tertinggi
adalah Tuhan. Rakyat atau manusia tetap diberikan otoritas, namun otoritas yang
dimiliki rakyat bukanlah otoritas asli, melainkan pemberian dari Tuhan berdasarkan
wahyu-wahyu-Nya. Dalam ideologi demokrasi, pengaruh teori kedaulatan Tuhan ini
merubah cara berpikir sebagian ahli tentang demokrasi sebagai implementasi dari
kedaulatan rakyat an sich. Disinilah titik awal lahirnya demokrasi berketuhanan.
Abu A’la Al-Maududi misalnya, dalam bukunya Al-Khilafah Wa Al-
Mulk mengemukanan tesis tentang perkawinan teori kedaulatan Tuhan dan kedaulatan
rakyat yeng menurutnya melahirkan satu sistem teo-demokrasi. Oleh Maududi, sistem
pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat adalah sistem terbaik, sebab selama
pemerintahan dipegang oleh kelompok tertentu dan sifatnya tertutup hanya akan
melahirkan ketidak baikan. Maududi bahkan secara tegas mengkritik praktek di masa-
masa kekhalifahan Islam, termasuk kekhilafahan pasca Rasulullah yang dianggap tidak
melibatkan peran masyarakat secara luas.
Kendati demikian, oleh Maududi, pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat itu harus
tunduk pada hukum Allah sebagai sesuatu yang tertinggi. Tuhan menurut Maududi,
adalah sesuatu yang tunggal, termasuk dalam penciptaan hukum. Dalam titik inilah,
manusia tak punya otoritas untuk menciptakan hukum, kecuali memberi tafsir atas
ketidakjelasan atau kekosongan hukum berdasarkan kondisi tertentu melalui ijtihad.
Inilah yang dimaksud dengan demokrasi berketuhanan.
REPORT THIS AD
PEMBAHASAN
Munculnya gagasan mengenai negara hukum (law state), yaitu negara yang dijalankan
berdasarkan hukum yang berlaku, membuat ideologi demokrasi harus bersentuhan
dengan gagasan ini. Sekarang ini, tak ada satu negara-pun yang tak mengakomodir
gagasan negara hukum.
Tak ada negara yang diperintah, tanpa hukum yang dijunjung tinggi di negara tersebut.
Di lain pihak, gagasan negara hukum hanya akan dapat terbentuk jika adanya
pemerintahan yang demokratis, sebab hanya pemerintahan yang demokratis yang mau
tunduk pada hukum yang dibuat secara aspiratif. Dari relasi itu, lahirlah ciri-ciri dari
negara hukum dewasa ini, seperti berikut ;
a)      Adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam Konstitusi;

60 | P a g e
b)      Terdapatnya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c)      Pemilihan Umum yang bebas;
d)     Kebebasan untuk menyatakn pendapat;
e)      Kebebasan untuk berorganisasi/berserikat dan berkumpul; dan
f)       Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Teori mengenai negara hukum ini, menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi
dalam suatu negara. Hans Kelsen yang dilanjutkan oleh muridnya Hans Nawiasky
dalam Stafenbau theory menyatakan, konstitusi sebagai gerund norm atau norma dasar
dalam suatu negara. Norma dasar itu sangat bersifat asasi dan menjadi ruh bagi
terbentuknya peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sebagai gerund norm,
konstitusi dapat bersifat tertulis dan tak tertulis.
Dalam negara hukum, pelbagai karakter dan sifat demokrasi sebagaimana dijabarkan di
atas dijamin dan diatur dalam konstitusi suatu negara. Pengaturan nilai-nilai demokrasi
dalam konstitusi memberikan petunjuk bahwa demokrasi dijadikan ruh bagi tata kelola
negara tersebut. Dalam konteks inilah lahir negara yang demokratis berdasarkan
konstitusi.
Dalam ranah ke Indonesiaan, pembahasan terkait negara hukum dapat ditelusuri dari
rumusan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : Negara Indonesia adalah negara
hukum. Di lain pihak, Indonesia juga meletakkan rakyat sebagai sesuatu yang paling
berdaulat. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan :
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Kedua rumusan di atas sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum
yang demokratis berdasarkan konstitusi (UUD 1945) atau dengan kata lain, negara yang
berfaham demokrasi konstitusional.
Di dalam UUD 1945 pasca amandemen terdapat karakter demokrasi yang amat
menonjol dalam sistem ketatanegaraan kita. Karakter-karakter tersebut dapat ditelusuri
dari batang tubuh UUD 1945, yaitu :
REPORT THIS AD
1)      Adanya mekanisme pembentukan pemerintahan yang aspiratif melalui Pemilihan
Umum. Hal ini terlihat dalam pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 6A), pemilihan umum anggota DPR dan DPD (pasal 19 ayat (1) jo pasal 22C ayat
(1)), serta pengaturan tentang pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 22E).
2)      Adanya kemungkinan terjadinya rotasi kekuasaan yang terbuka melalui
mekanisme pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat
(1)), dan pembatasan masa jabatan, seperti pembatasan masa jabatan Presiden dan/atau
Wakil Presiden (Pasal 7).
3)      Adanya pembagian kekuasaan yang tegas antara lembaga-lembaga negara sesuai
dengan tugas dan wewenangnya. Penyelenggaraan fungsi eksekutif dilaksanakan oleh
Presiden dan Wakil Presiden, serta dibantu oleh para menteri(Pasal
4,5,10,11,12,13,14,15,16 dan 17). Pelaksanaan kekuasaan legislatif dilakukan oleh DPR
dan DPD (Pasal 19,20,21,22,22A,22B dan 22C) . Pelaksanaan kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan-peradilan di bawahnya dan
Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). Pelaksanaan kekuasaan pengawasan/auditif dilakukan
oleh BPK (Pasal 23E).
4)      Hadirnya lembaga-lembaga negara penunjang (the supporting organ), seperti
komisi pemilihan umum (Pasal 22E), Bank Sentral (pasal 23 D) dan Komisi Yudisial
(Pasal 24B) dalam menjalankan tugas ketatanegaraan tertentu.

61 | P a g e
5)      Adanya jaminan kesetaraan hak-hak warga negara dan perlindungan hak asasi
manusia, seperti kesamaan hak dalam pemerintahan, hak untuk menyatakan pendapat,
hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk memeluk agama dan
kepercayaan serta hak-hak lainnya (Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34).
Berdasarkan karakter-karakter demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, maka
negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut ideologi demokrasi
dengan mengedepankan kedaulatan rakyat sebagai panglimanya. Ide demokrasi-liberal
demikian dianut Indonesia, dikarenakan beberapa alasan :
1)      Alasan Sosiologis
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari ribuan suku, serta ratusan agama,
mulai dari agama-agama resmi yang diakui negara hingga agama-agama lokal yang
dianut oleh komunitas stink tertentu di berbagai wilayah Indonesia.
Keanekaragaman itu, membuat Indonesia tidak mungkin memiliki satu ideologi tunggal,
termasuk dalam merumuskan Konstitusinya. Demokrasi berketuhanan misalnya, akan
sangat sukar diterapkan di Indonesia, sebab tafsir “Tuhan” akan diterjemahkan beragam
oleh beragam komunitas yang ada. Dalam tataran perumusan sumber hukum, akan
ditemukan kesulitan, sebab sumber hukum “Tuhan” mana yang dapat dipergunakan.
2)      Alasan Politis
Multikultural dan multi-ideologi masyarakat Indonesia membaginya kepada setidaknya
tiga kelompok ideologi, yaitu : Islam, nasionalis dan sekuler. Ketiga Ideologi itu
belakangan mengerucut pada dua kelompok ideologi, Islam dan Nasionalis.
REPORT THIS AD
Kedua kelompok ini semakin mengkristal dalam arena politik Indonesia. Kalangan
nasionalis yang mendapat ikutan dari kalangan sekuler dan kelompok non-Islam lebih
nyaman dengan penggunaan demokrasi-liberal sebagaimana ruh UUD 1945 di atas. Dan
tidak pada tempatnya, kalangan Islam untuk memaksakan ideologi Islamnya demi
tegaknya teo-demokrasi, sementara kesatuan bangsa adalah jaminannya.

3)      Alasan Historis


Secara historis, digunakan ideologi demokrasi dalam Konstitusi kita terkait dengan
sejarah terbentuknya republik ini di masa lalu. Dalam teori pembentukan negara,
terdapat dua alasan terbentuknya suatu negara.
Pertama : terbentuknya negara berdasarkan kesamaan etnik atau suku. Munculnya
negara atas alasan ini memungkinkan keberlangsungan negara dalam jangka yang
panjang, bahkan dalam beberapa kajian, negara-negara yang telah terpecah dapat bersatu
kembali atas alasan kesamaan etnik ini Hal ini dapat dilihat dari bersatunya kembali
Jerman Barat dan Timur menjadi Konfederasi Jerman, China dan Hongkong, kedepan
mungkin antara Korea Selatan dan Utara.
Kedua : negara terbentuk atas alasan persamaan nasib. Nasib dalam konteks ini bias
dikarenakan adanya persamaan nasib atas keterjajahan oleh bangsa lain, kemiskinan,
keterbelakangan dan lain sebagainya. Indonesia yang sebelum kemerdekann terdii dari
daerah-daerah memiliki kesamaan atas penjajahn yang berlangsung ratusan tahun.
Kesamaan nasib terjajah inilah yang menghimpun daerah-daerah tersebut menjadi satu
kesatuan bernama Indonesia.
Secara teoritis, negara yang terbentuk oleh persamaan nasib rawan dengan
disintegrasi. Salah satu cara agar disintegrasi itu terhindari adalah dengan membuat
banyak konsensus dalam pelbagai perumusan ketatanegaraan. Indonesia memilih

62 | P a g e
demokrasi –liberal dalam konstitusinya sebagai konsensus ketatanegaraan untuk
menjaga diri dari disintegrasi.
Pilihan para pendiri negara untuk membentuk negara kesatuan di Indonesia juga
dilatar belakangi oleh kekhawatiran akan “retaknya” bangsa ini, jika menggunakan
bentuk federal yang konsekwensinya memberikan ruang amat besar bagi setiap daerah
yang nyata-nyata berbeda dan berpotensi meretas jalannya masing-masing.
Pilihan membentuk negara menjadi kesatuan dengan tidak begitu banyak memberi ruang
aspirasi kepada daerah belakang dikoreksi pula dengan melahirkan kebijakan otonomi
daerah. Secara filosofis, otonomi daerah adalah bentuk demokratisasi terhadap daerah
dalam pembuatan kebijakannya.
Secara yuridis, terminologi otonomi daerah diatur dalam pasal 1 ayat (5)
UU  No.32 Tahun 2004, yaitu :
“otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki kekuasaan
dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat. Kekuasaan
pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2004,
yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang :
REPORT THIS AD
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. peradilan
e. moneter dan fiskal, dan;
f. agama
Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang sangat
besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di Indonesia
dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk federal[19]. Hal ini
dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual power di suatu negara. Di
negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada di pemerintahan federal (pusat),
sementara kekuasaan yang proporsinya lebih banyak justru berada di negara-negara
bagian
Jika konsekwen menerapkan asas dan pembagian kewenangan otonomi sebagaimana
diatur dalam Konstitusi dan pelbagai peraturan perundang-undangan, termasuk
UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana disebutkan di atas, maka banyak sekali urusan
pemerintahan yang berada di daerah. Sekali lagi ini adalah bagian dari bentuk
demokratisasi secara konstitusional dalam pembagian kekuasaan pusat dan daerah di
Inonesia
Sayangnya, selain enam urusan pemerintahan yang masih menjadi hak pemerintah
pusat, berbagai urusan yang semetinya diserahkan kepada daerah juga masih diurusi oleh
pusat, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyanderaan itu dilakukan dengan membuat
regulasi turunan dibawah UU dalam bentuk PP. PP yang dimaksudkan melakukan
penyanderaan itu ialah PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Dalam PP tersebut, urusan pemerintahan dibagi atas dua jenis, yaitu : urusan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah, serta urusan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) PP No.38 Tahun 2007

63 | P a g e
tersebut dinyatakan terdapat 31 urusan yang menadi urusan pemerintahan (pusat).
Sedangkan urusan yang dibagi bersama dengan pemerintahan daerah terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan.
Beberapa contoh, otonomi yang semestinya menjadi domain urusan daerah, namun
masih tersandera di tangan pusat adalah, Tersanderanya otonomi politik melalui sistem
kepartaian yang bersifat nasional, otonomi pendidikan melalui standarisasi dan
pengaturan kurikulum nasional, otonomi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam
melalui perizinan dan pembagian royalti yang tidak proporsional dan pelbagai ranah
otonomi lainnya yang nyatanya masih dikuasai pusat adalah potret pelaksanaan otonomi
daerah setengah hati sekarang ini.

Demokrasi sebagai sebuah ideologi nyatanya mendasari kehidupan ketatanegaraan


Indonesia, sebagaimana termaktub dalam klausula Konstitusi republik Indonesia.
Sebagai sebuah ideologi, demokrasi memiliki nilai-nilai yang selalu dapat disesuaikan
dengan pelbagai sistem ketatanegaraan yang tersedia. Demokrasi sesungguhnya dapat
tumbuh dalam sistem pemerintahan presidensial, parlementer, bahkan khilafah dalam
pengertian tertentu. Ia juga dapat menembus batas bentuk negara, seperti kesatuan,
federal, maupun konfederal.

Bahan Bacaan
 Abu A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, terjemahan, Penerbit Mizan, Jakarta,
1993.
 Afan Gaffar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
 Arend Liyphard, Democracies, Yale University, USA, 1984.
 Finer, S.E.et.al,. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.1995.
 Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press,
New York, 1960.
 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006.
 Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar Kelompok  Kerja
Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Sekretariat Negara,
1999.
 M.Rifqinizamy Karsayuda, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan Lokal,
Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk “IDENTITAS LOKAL
DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi Kasus Manajemen Ilahiyah di
Kabupaten Tanah Bumbu)” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan (LK3) bekerjasama dengan The Wahid Institute di Hotel Arum
Banjarmasin, 20 Juni 2009.
 M.Rifqinizamy Karsayuda, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Total Media,
Yogyakarta, 2006.
 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Mandiri, Jakarta,
1983.
 S.F.Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, 2002.
 Robert A. Dahl, On Democracy , edisi terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2001.

64 | P a g e
 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni,
Bandung, 1973.

Modul XII

Pancasila sebagai Paradigma kehidupan dalam bermasyarakat berbagsa


dan bernegara

A. Pengertian Paradigma
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai
titik talak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang - mengenai
realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.

Arti paradigma ditinjau dari asal usul beberapa bahasa diantaranya :


- Menurut bahasa Inggris : paradigma berarti keadaan lingkungan
- Menurut bahasa Yunani : paradigma yakni para yang berarti disamping, di sebelah dan
dikenal sedangkan diegma suatu model, teladan, arketif dan diam
- Menurut kamus psikologi : paradigma diartikan sebagai berikut :
1. Satu model atau pola untuk mendemonstrasikan semua fungsi yang memungkinkan
dari apa yang tersajikan
2. Rencana riset berdasarkan konsep-konsep khusus, dan
3. Satu bentuk eksperimental

B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan


1. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Politik
Warga Indonesia sebagai warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar sebagai objek politik. Karena pancasila bertolak dari
kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai

65 | P a g e
subyek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan yang
dimaksud adalah kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik
Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi
bukan otoriter.
Berdasarkan hal terebut, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas
asas kerakyatan yaitu terletak pada sila ke IV Pancasila. Pengembangan selanjutnya
adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral
kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik baik dari warga negara maupun
penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.

2. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Hukum


Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja tetapi juga
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut sistem dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan
keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata)
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan
sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik
tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan
dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD I945 NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1) adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dai UUD 1945 atau
merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia
mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat
dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat
diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945.

66 | P a g e
Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya harus mengacu peda dasar negara (sila – sila Pancasila dasar
negara).

Dalam kaitannya dengan “Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum”, hukum (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum
merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan
perwujudan aspirasi rakyat).

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia


sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi
cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang
majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama
namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.

Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada
beberapa kasus kekerasan yang bernuansa Agama Ketika bicara peristiwa yang terjadi di
Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat Muslim, hal ini karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat Muslim di Indonesia memang terdapat
beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam
merurut sebagian umat non Muslim mereka seakan-seakan merefresefttasikan umat Muslim.

Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama
perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah)
2. Hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan
komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip :
a. Bertetangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka Yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:


1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang
didasarkan atas suku dan agama;
2) Pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan
masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam
"Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama (Ronald Robertson, ed.) misalnya

67 | P a g e
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah:, hanya pada
bangsa bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.

Hal ini didasarkan pada pastulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kestabilan
politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi
(ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh
dari kompromi.

Dalam beberapa tahap kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerukunan
antar masyarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti "Pela" di
Maluku, "Mapalus" di Sulawesi utara, "Rumah Bentang" di Kalimantan tengah dan “Marga"
di Tapanuli, Sumatera Utara merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam
masyarakat.

Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat
ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog
horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling
pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminists dan interdependen.

Identitas indeterminism adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia
berada pada kemanusiannya. Artinya posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik,
melainkan sebagai manusia yang berakal budi, yang kreatif yang berbudaya.

3. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem
ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan yaitu pada sila ke I Pancasila
dan kemanusiaan yaitu pada sila ke II Pancasila. Pancasila bertolak dari manusia sebagai
totalitas dan manusia sebagai subjek. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem
ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan.
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan humanistis akan menghasilkan
sistem ekonomi yang berperi kemanusiaan. Sistem ekonomi yang baik adalah sistem ekonomi
yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi
maupun sebagai makhluk Tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan
sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada
manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda degan sistem ekonomi dalam sistem
sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Kebijakan ekonomi memiliki tujuan untuk men sejahterakan rakyat dan harus mampu
mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat
(tidak seperti selama orde baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik
ekonomi kerakyatan lebih memberikan kesempatan, dukungan dan pengembangan ekonomi
rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ekonomi kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program konkret
pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan demikian ekonomi kerakyatan akan

68 | P a g e
mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi sehingga lebih adil, demokratis,
transparan, dan inspiratif. Dalam ekonomi kerakyatan pemerintah pusat ( negara ) yang
demokratis berperan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi
warga atau meningkatkan kepastian hukum.
Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem
ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan
bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan
ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Ekonomi pancasila juga
memiliki arti bahwa pihak swasta yang bisa mandiri dilindungi hak-haknya untuk
mengembangkan usahanya, sedangkan untuk pihak-pihak yang masih belum bisa
mengembangkan usahanya akan dibantu oleh pemerintah dalam mengembangkan usahanya.

4. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Sosial Budaya


Dalam pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus
mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai
Pancasila itu sendiri. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistis, artinya
nilai-nilai Pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam rangka pengembangan sosial budaya,
Pancasila sebagai kerangka kesadaran yang dapat mendorong untuk universalitas melepaskan
simbol-simbol dari keterikatan struktur, dan transedentalisasi meningkatkan derajat
kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistis karena memang pancasila]a bertolak
dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus
mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu mnenjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab,
kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil
dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan
derajat kemanusiaan nya Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya
dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam
di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai
kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga
bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan,
kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma baru dalam pembangunan
nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti
yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi
individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak
negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada
otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal daerah dengan
pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan

69 | P a g e
dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah
NKRI (Sila Ketiga).
Pembangunan nasional bidang kebudayaan, harus dilandasi dengan berpikir tentang
masalah persatuan dan kesatuan bangsa. Negara harus menjalankan pemerintahan yang serba
efektif harus menghilangkan mental birokrasi serta mau membangun sistem budaya dalam
hal norma maupun pengembangan iptek dengan melalukan pemberdayaan kebudayaan lokal
guna memfungsikan etos budaya bangsa yang majemuk. Kehidupan setiap insan harus
dipertahankan dengan baik dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan serta dapat
membangun dirinya sendiri menjadi masyarakat yang berkeadilan, demokrasi, inovatif, dan
mencapai kemajuan kehidupan yang beradab.
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan-kebudayaan
di daerah:
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun suku bangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warga negara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun
golongannya;
(3) Sila Ketiga mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang
berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang tuas di kalangan masyarakat majemuk
Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan
untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan.

5. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang Hubungan Antar Umat Beragama

Pada reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara Indonesia terjadi konflik sosial
yang bersumber pada masalah SARA, terutama bersumber pada masalah agama. Hal ini
menunjukan kemunduran bangsa Indonesia ke arah kehidupan beragama yang tidak
berkemanusiaan. Oleh karena itu merupakan salah satu tugas berat bangsa Indonesia untuk
mengembalikan suasana kehidupan beraga yang penuh perdamaian, saling menghargai,
saling menghormati dan saling mencintai sebagai sesame umat manusia yang beradab.
Pancasila telah
memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi bangsa Indonesia untuk hidup secara
damai dalam kehidupan beragama di negara Idonesia, Dalam pengertian ini maka negara
menegaskan dalam pokok pikiran ke IV bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa", atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Ini berarti bahwa kehidupan dalam
negara mendasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan. Negara memberikan kebebasan kepada
warganya untuk memeluk agamanya dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Hal ini menunjukan bahwa dalam Negara Indonesia
memberikan kebebasan atas kehidupan beragama atau dengan lain perkataan menjamin atas
demokrasi dibidang agama Oleh karena itu kehidupan beragama dalam Negara Indonesia
dewasa ini harus dikembangkan ke arah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi,
saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

6. Pancasila Sebagai Paradigma di Bidang IPTEK

70 | P a g e
Kini ilmu pengetahuan bersama anaknya IPTEK, dengan temuan-temuannya melaju
pesat, mendasar, spektakuler. Iptek tidak lagi hanya sbg sarana kehidupan tetapi sekaligus
sebagai kebutuhan kehidupan manusia. Bersamaan dengan itu iptek telah menyentuh seluruh
segi dan sendi kehidupan, dan akan merombak budaya manusia secara intensif, yg berakibat
Terjadinya perbenturan tata nilai dlm aspek kehidupan.
Fenomena perombakan tersebut, misalnya :
a. Dari budaya agraris-tradisional dan budaya industri modern, peran mitos digeser oleh
peran logos / akal.
b. Yang dituntut adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi, produktif dan
kreatif, melupakan kaidah-kaidah normatif.

Dari budaya nasional-kebangsaan budaya global-mondial. Visi, misi, nilai-nilai


universal lepas dari ikatan-ikatan primordial kebangsaan, keagamaan akibatnya luntur
nasionalisme dan kepribadian bangsa.

Tiga Aspek Iptek:


1. ASPEK ONTOLOGIS, Secara langsung keberadaan ilmu merupakan. Aktivitas manusia
yg tidak pernah berhenti dalam menentukan dan mencari kebenaran dari kenyataan.
Aktivitas tersebut akan melibatkan masyarakat, memiliki proses dan akan menghasilkan
suatu produk. Secara tidak langsung keberadaan ilmu disebabkan oleh adanya Tuhan,
sehingga kebenaran yang diusahakan oleh iptek seharusnya tidak kontradiksi dengan nilai
ketuhanan dan kemanusiaan.
2. ASPEK EPISTEMCLOGI, Nilai-nilai Pancasila dijadikan sbg metode berfikir, sbg dasar
dan arah dlm mengembangkan iptek.
3. ASPEK AKSIOLOGI, Kemanfaatan dan pengembangan iptek tidak boleh bertentangan
dengan ideal Pancasila dan mendukung, mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.

C. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi


Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila - Sila
Pancasila yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan sesuai dengan agama dan kepercayaan nya.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Contoh nya mengikuti kegiatan - kegiatan kemanusiaan, serta berani membela kebenaran
dan keadilan.
3. Sila Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
diatas kepentingan pribadi.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan
Dalam melaksanakan Permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil- wakil yang
dipercaya. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat di per tanggung jawabkan
serta, semua pihak dapat menerimanya dan melaksanakannya dengan baik dengan penuh
rasa tanggung jawab. Kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan
pribadi.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

71 | P a g e
Keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia yaitu mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.

Untuk itu perlu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan
antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain serta perbuatannya yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
a. Paradigma
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma mempunyai arti. Kerangka berpikir
atau model dalam teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat disimpulkan
paradigma merupakan anggapan, jalan pikiran, atau sudut pandang yaitu bagaimana cara
seseorang dalam melihat dan menanggapi suatu hal.
b. Reformasi
Definisi reformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan secara drastis
untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.
Jadi dapat dikatakan reformasi adalah menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk
dikembalikan pada bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan
rakyat.
c. Pancasila Sebagai paradigma Reformasi
Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia
oleh karena itu Pancasila merupakan acuan dasar dalam perubahan yang akan dilakukan.
Gerakan reformasi itu sendiri dilakukan menuju keadaan yang lebih baik, perubahan yang
dilakukan harus mengarah pada kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspek.
Antara lain bidang ekonomi, sosial, budaya kehidupan keagamaan serta politik.
Reformasi pada prinsipnya suatu perbaikan yang berlandaskan kepada dasar nilai-
nilai ideal yang sebagaimana dicita-citakan rakyat. Dalam hal ini Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Untuk itu reformasi dilaksanakan sesuai dengan Pancasila yang
sebagaimana mestinya di cita- citakan oleh bangsa Indonesia. Jika reformasi tidak sejalan
atau tidak sesuai dengan pancasila maka gerakan reformasi tersebut tidak akan berjalan
dengan baik karena tidak mempunyai landasan hukum dan tidak akan sesuai dengan cita-
cita bangsa dan mungkin saja akan bertentangan dengan ideologi bangsa ini. Maka rakyat
Indonesia sebaiknya menjadikan Pancasila sebagai aspek utama dalam kehidupan
bermasyarakat dan kehidupan bernegara oleh karena itu pengalamannya harus dimulai
dari setiap warga negara Indonesia dan dilakukan dalam berbagai hal termasuk dalam
gerakan reformasi.

D. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Kampus


Pembangunan di Bidang Pendidikan yang dilaksanakan atas falsafah Negara
Pancasila diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berjiwa
Pancasila, membentuk manusia-manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi
disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsa dan negara dan mencintai sesama manusia.
Peranan perguruan tinggi dalam usaha pembangunan mempunyai tugas pokok
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di atas perguruan tingkat menengah
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dengan cara ilmiah yang meliputi: pendidikan dan
pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang disebut Tri Darma
Perguruan Tinggi.
Peningkatan peranan Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam usaha pembangunan selain diarahkan untuk
menjadikan Perguruan tinggi sebagai pusat pemeliharaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni, juga mendidik mahasiswa untuk berjiwa penuh

72 | P a g e
pengabdian serta memiliki tanggung jawab yang besar pada masa depan bangsa dan Negara,
serta menggiatkan mahasiswa, sehingga bermanfaat bagi usaha pembangunan nasional dan
pengembangan daerah.
Perlu diketahui, bahwa pendidikan tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukan
lah merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat, melainkan senantiasa
mengembangkan dan mengabdi kepada masyarakat. Maka menurut PP. No. 60 Th. 1999,
bahwa
Perguruan Tinggi mempunyai 3 tugas pokok, yaitu:
1. Pendidikan tinggi
2. Penelitian
3. Pengabdian terhadap masyarakat

Jadi, di Perguruan Tinggi atau yang biasa disebut dengan kampus, tidak hanya
mengajar akan tetapi mendidik. Dimana dengan didikan tersebut mahasiswa akan lebih
didampingi baik secara intelektual dan emosional. Contoh umumnya adalah bagaimana cara
mahasiswa bergaul
dalam sehari-hari mereka dengan berpedoman pada pancasila.

73 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai