Darwind Sepriyansyah (Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Lahat)
PERAMPOKAN DAN PEMERKOSAAN TIDAK DAPAT ASIMILASI
#Asimilasi Rumah Diperketat PEMERINTAH akhirnya memperpanjang program asimilasi di rumah bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), dengan terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No 32 Tahun 2020. Tidak terasa sudah hampir tiga bulan peraturan ini diberlakukan sejak 1 Januari lalu dan hingga saat ini berlangsung lancar, aman dan terkendali. Hal ini karena memang ada beberapa perubahan dalam aturan tersebut dan yang paling mencolok adalah Narapidana/ Anak yang melakukan tindak pidana perampokan dan asusila tidak akan lagi mendapatkan program asimilasi sebagaimana aturan terdahulu. Sebenarnya masih banyak lagi jenis-jenis tindak pidana lain yang tidak bisa mendapatkan asimilasi, tapi penulis akan membahasnya lebih lanjut dalam tulisan ini. Kenapa kasus perampokan dan asusila dijadikan headline atau judul dalam tulisan ini? Alasannya karena kedua kasus inilah yang kerap menghiasi pemberitaan media masa di tanah air. Sebab, pasca diterapkannya kebijakan asimilasi rumah sejak tahun lalu sesuai Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020, tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19, ternyata ada segelintir oknum narapidana yang menjalani asimilasi rumah, melakukan pengulangan tindak pidana perampokan ataupun pemerkosaan. Hal ini tentu sangat meresahkan masyarakat dan tidak heran jika ada pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana program asimilasi rumah, maka hasilnya kabar tersebut akan cepat viral dan menjadi perhatian masyarakat luas. Kita ambil contoh di Palembang, seorang napi asimilasi kembali melakukan pencurian dan ditangkap kembali oleh aparat kepolisian setelah kakinya ditembak. Bahkan lebih miris lagi, kejadian di Kota Kediri, Jawa Timur, seorang ibu hamil harus meninggal dunia karena menjadi korban jambret yang pelakunya lagi-lagi napi asimilasi. Tentu saja ujung-ujungnya pemerintah dalam hal ini selaku pembuat kebijakan akan kembali disalahkan, meskipun jika berbica soal fakta, dilansir dari Kompas.com (29/06/2020), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengungkapkan, dari 40.026 narapidana yang mendapatkan asimilasi dan integrasi terkait wabah virus corona (Covid-19), terdapat 236 narapidana yang mengulangi perbuatan pidana. Yasonna menyebut, persentase narapidana asimilasi yang mengulangi perbuatan pidananya berada di angka 0,6 persen atau lebih rendah dari persentase residivis di masa normal. Minimnya angka ini sudah barang tentu bukanlah sebagai pembenaran atas tindakan napi residivis, tapi paling tidak bisa dijadikan landasan berpikir jika masih banyak atau lebih banyak napi yang tidak berulah. Kriminolog Leopold Sudaryono pun menyebut fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Leopold memaparkan data selama tahun 2020 menunjukkan bahwa angka kejahatan residivis sebesar 0.05%, di mana angka ini justru turun dari tahun sebelumnya. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan (residivis) itu tinggi dan kondisinya di Indonesia masih sesuai dengan kondisi global. Begitupun Sosiolog, Abdul Kholek M.A yang juga merupakan Dosen FISIP Unsri mengatakan kekhawatiran terhadap eks napi tersebut terbantahkan oleh data bahwa kemunculan kasus pengulangan tindak pidana tersebut tidak signifikan. #Asimilasi Rumah Diperketat Terlepas dari itu semua, berdasarkan hasil evaluasi dari pelaksanaan program asimilasi di rumah tahun 2020 lalu, kini pada awal tahun 2021 pemerintah mengeluarkan aturan yang lebih ketat perihal Syarat Pemberian Asimilasi dan Integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 sebagaimana tercantum pada Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020. Kebijakan ini diambil karena masa pandemi Covid-19 belum berakhir sehingga perlu dikeluarkan permen pengganti. Jika Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 masa berlakunya hingga 31 Desember 2020, maka Permekumham Nomor 32 Tahun 2020 ini akan berlaku sampai dengan berakhirnya masa kedaruratan terhadap penanggulangan Covid-19 yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena jangka waktu yang ‘tak terbatas’ itulah menjadikan pemerintah lebih selektif dalam memberikan program asimilasi rumah bagi narapidana. Selain kedua kasus yang telah dibahas di atas, yakni perampokan (Pasal 365 KUHP) dan pemerkosaan (Pasal 285 sampai dengan Pasal 290 KUHP), masih ada beberapa jenis tindak pidana lain yang tidak bisa mendapatkan asimilasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Permenkumham No 32 Tahun 2020. Yakni kasus narkotika, prekursor narkotika, dan psikotropika; terorisme; korupsi; kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan hak asasi manusia yang berat; kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Terkhusus narapidana yang melakukan tindak pidana narkotika, prekursor narkotika, dan psikotropika, hanya berlaku pada Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Kemudian kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat dan berdampak luas, yakni kasus Pembunuhan (Pasal 339 dan Pasal 340 KUHP); kesusilaan terhadap Anak sebagai korban (Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Selain itu jenis-jenis tindak pidana yang telah disebutkan di atas, Asimilasi tidak diberikan kepada Narapidana/ Anak yang melakukan pengulangan suatu tindak pidana, yang mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap. Artinya narapidana yang sudah pernah dipenjara sebelumnya atau yang memiliki kasus lebih dari dua pasal, tidak akan bisa mendapatkan program asimilasi. Kemudian, penulis yang juga sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merasa sangat bersyukur dengan Permenkumham terbaru ini, sebab dalam aturan tersebut dicantumkan bahwa syarat pemberian asimilasi dan integrasi setelah melalui proses penelitian kemasyarakatan (litmas) dari PK. Selain itu ada pula proses asesmen untuk melihat resiko residivis dari setiap narapidana. Hal inilah yang turut menjadi filter atau penyaring untuk menentukan rekomendasi apakah narapidana bersangkutan berhak atau tidak mendapatkan program asimilasi ataupun integrasi. Sebagai penutup, langkah-langkah antisipatif dan korektif tersebut tentu saja sebagai jawaban atas kekhawatiran pengulangan tindak pidana dari para napi. Namun jika berbicara kedepan, tentu langkah paling ideal yakni dengan menata kembali Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Caranya pemerintah mesti fokus membuat kebijakan untuk menanggulangi over kapasitas napi, bisa dengan cara restoratif justice seperti yang dicantum dalam Rancangan KUHP baru dan RUU Pemasyarakatan. (*)