Anda di halaman 1dari 209

TUGAS AKHIR-PS1380

PERENCANAAN JEMBATAN MALO-KALITIDU


DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN
MENGGUNAKAN BOX GIRDER PRESTRESSED
SEGMENTAL

DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 091

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA

JURUSAN TEKNIK SIPIL


Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2008
TUGAS AKHIR-PS1380

PERENCANAAN JEMBATAN MALO-KALITIDU


DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN
MENGGUNAKAN BOX GIRDER PRESTRESSED
SEGMENTAL

DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 091

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA

JURUSAN TEKNIK SIPIL


Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2008
FINAL PROJECT-PS1380

REDESIGN OF MALO-KALITIDU BRIDGE IN


BOJONEGORO DISTRIC WITH PRESTRESSED
SEGMENTAL BOX GIRDER

DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 081

Lecturer :
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA

DEPARTMENT OF CIVIL ENGINEERING


Faculty of Civil Engineering and Planning
Sepuluh Nopember Institute of Technology
Surabaya 2008
PERENCANAAN ULANG JEMBATAN MALO –
KALITIDU DI KABUPATEN BOJONEGORO
DENGAN MENGGUNAKAN BOX GIRDER
PRESTRESSED SEGMENTAL

TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Pada
Bidang Studi Struktur
Program Studi S-1 Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya

Oleh :
Dedy Kurniawan 3103.100.091

Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir :

Prof. Dr. Ir. IGP Raka, DEA

SURABAYA
Februari 2008

1
PERENCANAAN ULANG JEMBATAN MALO-KALITIDU
DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN
MENGGUNAKAN BOX GIRDER PRESTRESSED
SEGMENTAL

Nama Mahasiswa : Dedy Kurniawan


NRP : 3103.100.091
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. IGP Raka, DEA
NIP : 130.532.002
Jurusan : Teknik Sipil FTSP-ITS

Abstrak

Dalam Tugas Akhir ini dilakukan perencanaan ulang


jembatan Malo-Kalitidu di kabupaten Bojonegoro dengan
menggunakan beton prategang box girder. Dimana jembatan ini
yang sebelumnya didesain dengan menggunakan rangka busur
baja. Tipe konstruksi yang digunakan adalah single box girder.
Sedangkan untuk sistem prategang bentuk kantilever didasarkan
pada pertimbangan panjang jembatan yang cukup panjang yaitu
190 m, dengan dibagi menjadi 3 bentang yaitu : 47,5 m + 95 m +
47,5 m.
Perencanaan jembatan ini dimulai dengan penjelasan
mengenai latar belakang pemilihan tipe jembatan, perumusan
tujuan perencanaan hingga lingkup pembahasan, dan diikuti
dengan dasar – dasar perencanaan dimana analisa didasarkan
pada peraturan BMS 1992. Dari data-data perencanaan
kemudian dilakukan preliminary design dengan menentukan
dimensi-dimensi utama jembatan. Pada tahap awal perencanaan
adalah perencanaan struktur sekunder jembatan yaitu pagar dan
trotoar yang kemudian digunakan untuk analisa beban yang
terjadi. Analisa beban yang terjadi yaitu analisa berat sendiri,
analisa beban mati tambahan, analisa beban lalu lintas dan
anlisa pengaruh waktu yaitu pengaruh creep dan kehilangan
prategang. Dari hasil analisa tersebut lalu dilakukan kontrol
tegangan. Selanjutnya dilakukan perhitungan penulangan box,
kontrol lendutan, perhitungan geser, perhitungan kekuatan dan
stabilitas yaitu kontrol momen retak, momen batas, gaya
membelah, dan torsi. Memasuki tahap akhir perencanaan
dilakukan perencanaan perletakan
Akhir dari perencanaan ini dihasilkan bentuk dan
dimensi penampang. Dimana yang sebelumnya dilakukan
perhitungan dan kontrol sesuai dengan persyaratan dan
peraturan yang diterapkan

Kata kunci : jembatan Malo-Kalitidu, Box girder, Prategang


REDESIGN OF MALO-KALITIDU BRIDGE IN
BOJONEGORO DISTRIC BY USING PRESTRESSED
SEGMENTAL BOX GIRDER

Student Name : Dedy Kurniawan


NRP : 3103.100.091
Academic Superviser : Prof. Dr. Ir. IGP Raka, DEA
NIP : 130.532.002
Departement : Civil Engineering FTSP-ITS

Abstrak

This final project consists of redesign of Malo-Kalitidu


Bridge in Bojonegoro District by using Prestressed Segmental
Box Girder.The original design for this bridge is arch steel frame.
The construction method that is used in this project is single box
girder. And for the prestressed system, the type of cantilever is
based on the consideration of the length of this bridge which has
190 meters length, and is devided into 3 quarters, which are :
47,5 m + 95 m + 47,5 m.
The design of this bridge begins with the explaination of
the background for the choice of the bridge type, the purpose for
this study is followed with the fundamental of design, which is
analyzed is based on the BMS ’92. from the original data, the
preliminary design is done by determining the main dimension of
the bridge. In the initial phase, the design of the secondary
structure for the bridge, which are railings and curbs, are used to
calculate existing load. Load analyze are self weight, dead load,
additional weight, traffic load, and time analyze because of creep,
and loss of prestressed. From the analyze, than did the allowable
stress control. After, did the box reinforcement calculation,
allowable deflection, shear calculation, strength and stability
calculation which are crack moment control, limit moment,
divided force, and torque. At the end of design stage is did the
support design.
From this designs, form and properties of box girder are
found.

Keyword : Malo-Kalitidu Bridge, Box Girder, Prestressed


KATA PENGANTAR

Segala Puji Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah banyak memberikan rahmat dan hidayah-
Nya serta kekuatan dan keteguhan iman, sehingga saya dapat
menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini dengan judul“
Perencanaan Ulang jembatan Malo-Kalitidu di Kabupaten
Bojonegoro dengan menggunakan Box Girder Prestressed
Segmental “
Dengan sendirinya penyusunan Laporan Tugas Akhir ini
akan tidak lepas dari kesalahan-kesalahan maupun kekurangan-
kekurangannya, mengingat keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman saya sebagai mahasiswa. Untuk itu kami menantikan
saran dan usul ke arah perbaikan dengan tangan terbuka dan
senang hati.
Demikian hasil laporan Tugas Akhir yang kami sajikan
ini, dan semoga bermanfaat bagi semua pembaca, dan khususnya
para mahasiswa yang akan mengambil Tugas Akhir bidang studi
struktur jembatan.

Surabaya, Februari 2008

Dedy Kurniawan
3103.100.091
Halaman ini sengaja dikosongkan
UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini saya tidak lupa mengucapkan


terima ksih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu saya dalam proses penyusunan laporan tugas akhir ini
sampai selesai, antara lain :
1. Kepada Allah SWT. Yang selalu memberikan petunjuk-Nya
untuk selalu berada di jalan-Nya agar tidak tersesat dalam
menjalani hidup (meskipun hambamu ini selalu saja lupa dan
ingkar akan jnji diri sendiri)
2. Keluargaku : Bapak, Ibu ku tercinta ( maaf kalo kuliahnya
terlambat satu semester ) yang selalu memberi semangat dan
do’a untuk segera menyelesaikan kuliah dan lanjut S-2, mbak
susi, mbak yani dan mbak desi ( maaf kalo sering merepotkan
selama menyusun tugas akhir ini )
3. Adekku Lusy terima kasih atas dukungannya selama ini yang
selalu setia menemaniku dalam penyusunan tugas akhir ini
( maaf kalo sering buat jengkel dan suruh ketikin daftar isi ).
4. Bapak Dr. Ir. Hidajat Sugiharjo, MT. selaku Ketua Jurusan
Teknik Sipil ITS.
5. Prof. Dr. Ir. I.G.P. Raka, DEA selaku dosen pembimbing
yang selalu memberikan ide dan masukan dan sabar dalam
menghadapi mahasiswa yang males seperti saya ini
6. Bapak Ir. Wasis Wardoyo MSc selaku dosen wali yang selalu
memberi dukungan dan sering bercanda (maaf kalo salama ini
merepotkan dan maaf kalo ternyata saya terlambat satu
semester )
7. Bapak Ir. Heppy Kristijanto, MS. yang pada awalnya
memberikan ide judul tugas akhir tentang box girder yang
sebelumnya saya bingung untuk mengambil judul Tugas
akhir mengenai apa (maaf saya belum sempat ke rumah
bapak untuk mengambil buku yang akan saya pinjam)
8. Para dosen di FTSP – ITS yang telah banyak memberikan
ilmunya, terima kasih atas semua ilmu dan budi baiknya.
9. seluruh dosen pembimbing tugas besar selama saya kuliah di
Teknik Sipil, pak Chris (menggambar teknik), Pak Sutoyo
(hidrolika), pak Udman (ilmu bahan bangunan 2), Pak Heppy
(struktur baja 2), Pak Mudji (struktur beton 2), Pak Raka
(struktur jembatan bangunan atas), Bu Ria (struktur jembatan
bangunan bawah), Pak raka (kerja praktek), Pak raka
(Bahassa Indonesia) terima kasih banyak dan maaf kalo
sering merepotkan, malas dan jarang asistensi
10. Seluruh keluarga besar Laboratorium Mekanika Tanah yang
sudah banya membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini,
Pak Warno, Pak Gani, Pak Musta’in yang sudah mengajarkan
saya banyak sekali ilmu baik secara teori maupun praktek.
11. Seluruh Keluarga Besar angkatan 2003 alias SATAN dimulai
dari NRP 3103.100.001 dengan nama Laode Rajab alias ketek
dan arek2 futsalan 2003 kembar (satrya dan wira), bando,
Doni, komeng, mbambleh, mbreng, mambu, frengky,kucil,
topan, ya salam alias yunus bomb alias kenas, pesemes, topek
arek2 cangkrukan wit keres (sak iki wit e wis ditebang) Jui
alias Ju’, Margaretha (eta’), Puput (puti), uci, mami, aulia
alias bebek, santy,ratri, laili, pus, iis, maya, arek2 futsalan,
pandu, bagus,andri, ge, ali, cuprit, oloan, oklek, panji, cepek,
yadi, fla, petis, iok alias inspektur dan teman-teman SATAN
lainya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, serta rekan-
rekan Sipil ITS lainya dengan berbagai macam karakter
uniknya yang telah meluangkan waktu, tempat, tenaga dan
biaya untuk membantu dan menemani penulis selama kuliah
di jurusan Teknik Sipil ITS sehingga menjadi bagian yang
mengesalkan, menyedihkan, menyenangkan, membahagiakan
dan mengesankan dalam kehidupan penulis.
12. Mbah Mo, bakso ngisor wit keres
13. Pak Yok, Pak So, mas jun, pak damiri, mbak endang, mbak
santi, mbak rumini dan pegawai jurusan lainya yang telah
saya repotkan selama kuliah.
14. Orang2 pingpong di laboratorium workshop terima kasih atas
semua waktu yang diberikan untuk mengisi waktu
menganggurku selama ini (pek pak, pak bin, cecep, jui dkk)
15. rekan-rekan alumni SMUXVI (warno, bokep, bibi, pepng,
otong, uqi dll)
16. Semua yang kenal ataupun tidak mengenalku ataupun hanya
sekedar tahu baik yang di sipil ataupun di luar sipil, baik yang
di ITS ataupun di luar ITS, sepurane rek yo

Masih banyak pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu


per satu. Namun walau tidak disebutkan, penulis akan selalu
mengingat peranan masing-masing pihak selamanya. Selain itu,
banyak juga pihak yang mungkin merasa dirugikan baik sengaja
maupun tidak selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Tugas Akhir ini tentu tidak lepas dari kesalahan dan
kekurangan. Namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, penulis meminta
maaf jika terdapat hal yang tidak sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh pembaca. Bila ada yang kurang berkenan di
hati, penulis meminta maaf. Penulis mengharapkan segala kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
Tugas Akhir ini di masa yang akan datang.

Surabaya, Februari 2008

Dedy Kurniawan
3103.100.091
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI

Abstrak
Daftar Isi .................................................................................. i
Daftar Tabel ............................................................................. v
Daftar Gambar.......................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN................................................ 1
1.1 Latar Balakang............................................... 1
1.2 Perumusan masalah........................................ 3
1.3 Batasan masalah............................................. 3
1.4 Tujuan............................................................. 4
1.5 Metodologi 4
9
BAB II DASAR TEORI ................................................... 9
2.1 Umum ............................................................ 9
2.2 Sifat dan karakteristik baja ............................ 11
2.3 Filosofi desain ............................................... 12
2.4 Pembebanan pada struktur utama jembatan .. 14
2.4.1 Aksi dan beban tetap .......................... 16
2.4.2 Beban lalu lintas ................................. 18
2.4.3 Aksi lingkungan ................................. 23
2.4.4 Aksi-aksi lainnya ................................ 25
2.5 Kombinasi beban ........................................... 25
2.6 Penentuan type jembatan ............................... 28
2.7 Desain dimensi box girder ............................. 29

BAB III KRITERIA DESAIN ........................................... 33


3.1 Data-data perencanaan .................................. 33
3.2 Data-data teknis ............................................. 33
3.3 Data-data bahan ............................................. 33
3.4 Tegangan ijin bahan ...................................... 34
3.5 Peraturan-peraturan yg digunakan ................ 35
3.6 Persyaratan desain ......................................... 36
BAB IV PERENCANAAN STRUKTUR SEKUNDER ... 37
4.1 Perhitungan tiang sandaran ........................... 37
4.2 Perhitungan trotoar ........................................ 39
4.3 Perhitungan kerb (balok trotoar) ................... 40
4.4 Kontrol terhadap geser ponds ........................ 41

BAB V PERENCANAAN STRUKTUR ATAS .............. 43


5.1 Preliminary desain ......................................... 43
5.1.1 Perencanaan dimensi profil box ......... 43
5.1.2 Desain tendon dan urutan erection ..... 49
5.1.3 Desain post tensioning ........................ 50
5.1.4 Perhitungan gaya pratekan awal ......... 50
5.2 Analisa Pembebanan ..................................... 51
5.2.1 Analisa beban mati ............................. 51
5.2.2 Analisa beban hidup ........................... 52
5.2.3 Analisa gaya angin ............................. 54
5.2.4 Analisa pengaruh rangkak .................. 55
5.2.5 Analisa beban pelaksanaan ................. 55
5.2.6 Analisa pengaruh prategang ............... 56
5.3 Analisa tegangan yang terjadi ....................... 60
5.3.1 Perhitungan tegangan akibat tendon
kantilever (tahap 1) ............................ 60
5.3.2 Perhitungan tegangan akibat tendon
tengah (tahap 2) ................................. 67
5.3.3 Perhitungan tegangan saat service ...... 72
5.4 Perencanaan kabel ......................................... 81
5.4.1 Perencanaan kabel pada saat transfer . 81
5.4.2 Perencanaan kabel pada saat service .. 83
5.5 Analisa kehilangan gaya prategang ………... 91
5.5.1 Perhitungan kehilangan gaya
prategang langsung ............................ 91
5.5.2 Perhitungan kehilangan gaya
prategang berdasarkan fungsi waktu . 99
5.5.3 Perhitungan kehilangan gaya
prategang total ................................... 106
5.5.4 Kontrol tegangan setelah terjadi
kehilangan gaya prategangn (loss
prestressed) ........................................ 108
5.6 Perhitungan penulangan box ......................... 109
5.6.1 Pengaruh penyebaran beban ’T’
terhadap plat lantai kendaraan dengan
perletakan asumsi sendi ..................... 111
5.6.2 Pengaruh penyebaran beban ’T’
terhadap plat lantai kendaraan dengan
perletakan asumsi spring ................... 114
5.6.3 Pengaruh penyebaran beban ’T’
terhadap plat lantai kendaraan dengan
permodelan 3d menggunakan shell ... 117
5.6.4 Perhitungan penulangan ..................... 119
5.7 Perencanaan perhitungan geser ..................... 128
5.7.1 Perhitungan gaya geser ....................... 133
5.7.2 Perhitungan retak geser pada badan
(Vcw) pada joint 25 ............................. 138
5.7.3 Perhitungan retak lentur geser miring
(Vci) pada joint 25 ………………….. 139
5.8 Perhitungan Kekuatan dan stabilitas 140
5.8.1 Kontrol momen retak .......................... 140
5.8.2 Kontrol momen batas ......................... 143
5.8.3 Kontrol gaya membelah ..................... 145
5.8.4 Kontrol Torsi ...................................... 147
5.8.5 Kontrol joint antar segmen ................. 152
5.8.6 Kontrol lendutan ................................. 157
5.9 Desain Perletakan .......................................... 158
5.9.1 Perencanaan prestressing rods ……… 159
5.9.2 Perencanaan perletakan pada pilar …. 160

BAB VI METODE PELAKSANAAN .............................. 165


6.1 Struktur Jembatan .......................................... 165
6.2 Prinsip tahap konstruksi ................................ 165
6.3 Prinsip tahap stressing tendon ....................... 168
6.4 Tahap Pelaksanaan post tensioning girder .... 168
6.4.1 Pemasangan selubung kabel ............... 168
6.4.2 Pemasangan kabel prategang .............. 169
6.4.3 Penarikan kabel .................................. 169
6.5 Pekerjaan grouting ......................................... 169
6.6 Tahap stressing continuity tendon ................. 170
6.6.1 Segmen closure ……………………... 170
6.6.2 Metode stressing continuity tendon … 170

BAB VII PENUTUP ……………………………………... 173


7.1 Kesimpulan ………………………………… 173
7.2 Saran ……………………………………….. 174

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ringkasan aksi-aksi rencana .............................. 15


Tabel 2.2 Pembebanan untuk pejalan kaki ........................ 23
Tabel 2.3 Kecepatan angin rencana (Vw) .......................... 24
Tabel 2.4 Koefisien seret (Cw) .......................................... 24
Tabel 2.5 Kombinasi beban ............................................... 27
Tabel 2.6 Penentuan tipe jembatan .................................... 28
Tabel 4.1 Beban nominal pejalan kaki pada trotoar .......... 39
Tabel 5.1 Perhitungan dimensi & efisiensi pada segmen 7 44
Tabel 5.2 Dimensi penampang box girder ………………. 45
Tabel 5.3 Efisiensi profil box girder …………………….. 48
Tabel 5.4 Berat sendiri profil box ……………………….. 52
Tabel 5.5 Perhitungan pada tahap 1 (tahap kantilever) ..... 66
Tabel 5.6 Perhitungan pada tahap 2 (tendon tengah) ......... 71
Tabel 5.7 Perencanaan tendon pada tahap kantilever …… 82
Tabel 5.8 Perencanaan tendon segmen tengah ………….. 82
Tabel 5.9 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
perpendekan elastis tahap kantilever .................
93
Tabel 5.10 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
perpendekan elastis segmen tengah ................... 93
Tabel 5.11 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
perpendekan elastis saat service ........................ 93
Tabel 5.12 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
wobble effect tahap kantilever ........................... 95
Tabel 5.13 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
wobble effect tahap segmen tengah.................... 95
Tabel 5.14 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
wobble effect saat service .................................. 95
Tabel 5.15 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat 98
Slip angker tahap kantilever ..............................
Tabel 5.16 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
slip angker tahap segmen tengah ....................... 98
Tabel 5.17 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
slip angker saat service ...................................... 98
Tabel 5.18 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
rangkak tahap kantilever .................................... 101
Tabel 5.19 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
rangkak tahap segmen tengah ............................ 101
Tabel 5.20 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
rangkak saat service ........................................... 101
Tabel 5.21 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
susut tahap kantilever ........................................ 103
Tabel 5.22 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
susut segmen tengah .......................................... 103
Tabel 5.23 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
susut sat service ................................................. 103
Tabel 5.24 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
relaksasi baja tahap kantilever ........................... 105
Tabel 5.25 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
relaksasi baja segmen tengah ............................. 105
Tabel 5.26 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
relaksasi baja saat service .................................. 105
Tabel 5.27 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total
tahap kantilever .................................................. 107
Tabel 5.28 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total
segmen tengah ................................................... 107
Tabel 5.29 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total saat
service ................................................................ 107
Tabel 5.30 Hasil analisa momen penulangan box ............... 118
Tabel 5.31 Gaya geser akibat tendon kantilever .................. 135
Tabel 5.32 Gaya geser akibat tendon tengah bentang ......... 135
Tabel 5.33 Gaya geser akibat tendon menerus .................... 136
Tabel 5.34 Perhitungan Vu superposisi ............................... 137
Tabel 5.35 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw) ....... 138
Tabel 5.36 Perhitungan retak geser miring (Vci) ................ 140
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Potongan memanjang jembatan ............... 7


Gambar 1.2 Typikal penampang box girder ................ 7
Gambar 2.1 Pembebanan ’D’ pada arah melintang ..... 19
Gambar 2.2 Intensitas pentebaran beban ’D’ arah
melintang .................................................. 19
Gambar 2.3 Susunan pembebanan ’D’ arah
memanjang ............................................... 21
Gambar 2.4 Susunan pembebanan truk ’T’ .................. 22
Gambar 2.5 Dimensi box girder ................................... 31
Gambar 4.1 Tiang sandaran ......................................... 37
Gambar 4.2 Trotoar ...................................................... 39
Gambar 4.3 Kerb (balok trotoar) .................................. 40
Gambar 4.4 Penyebaran beban pada plat lantai
kendaraan ................................................. 41
Gambar 5.1 Typikal penampang box girder ................ 44
Gambar 5.2 Permodelan Gaya Angin ……………….. 54
Gambar 5.3 Peletakan segmen pada pilar .................... 60
Gambar 5.4 Launching gantry berpindah ke box diatas 61
pilar ……………………………...............
Gambar 5.5 Pemasangan segmen kantilever ……….... 61
Gambar 5.6 Tendon kantilever ..................................... 61
Gambar 5.7 Pembebanan pada saat pemasangan
segmen kantilever akibat berat sendiri ..... 61
Gambar 5.8 Pembebanan pada saat pemasangan
segmen kantilever akibat Launching
Gantry ...................................................... 61
Gambar 5.9 Pembebanan pada saat pemasangan
segmen kantilever akibat berat 62
pelaksanaan ..............................................
Gambar 5.10 Bidang momen akibat beban kombinasi .. 63
Gambar 5.11 Diagram tegangan joint 7 akibat
pelaksanaan segmen kantilever ................ 65
Gambar 5.12 Pengecoran segmen tengah …………….. 67
Gambar 5.13 Tendon tengah .......................................... 67
Gambar 5.14 Pembebanan pada saat pemasangan
segmen tengah akibat berat sendiri …….. 67
Gambar 5.15 Pembebanan pada saat pemasangan
segmen tengah akibat berat pelaksanaan .. 68
Gambar 5.16 Bidang momen akibat beban mati +
beban pelaksanaan ................................... 68
Gambar 5.17 Diagram tegangan joint 20 akibat tendon
tengah ....................................................... 70
Gambar 5.18 Pembebanan pada saat service akibat
berat sendiri ……...................................... 72
Gambar 5.19 Alternatif 1 pembebanan UDL dan KEL . 73
Gambar 5.20 Bidang momen Alternatif 1 pembebanan
UDL+KEL ................................................ 73
Gambar 5.21 Alternatif 2 pembebanan UDL dan KEL . 74
Gambar 5.22 Bidang momen Alternatif 2 pembebanan
UDL+KEL ................................................ 74
Gambar 5.23 Alternatif 3 pembebanan UDL dan KEL . 75
Gambar 5.24 Bidang momen Alternatif 3 pembebanan
UDL+KEL ................................................ 75
Gambar 5.25 Alternatif 4 pembebanan UDL dan KEL . 76
Gambar 5.26 Bidang momen Alternatif 4 pembebanan
UDL+KEL ................................................ 76
Gambar 5.27 Diagram tegangan joint 14 saat service
(menerus diatas tumpuan) …………….... 78
Gambar 5.28 Diagram tegangan joint 27 saat service
(menerus tengah bentang) ........................ 80
Gambar 5.29 Potongan memanjang dan tampak atas
layout tendon …………………………… 85
Gambar 5.30 Detail penempatan tendon box joint
1,2,3,4 ……………………………..... 86
Gambar 5.31 Detail penempatan tendon box joint 5,6,7
……………………………….... 87
Gambar 5.32 Detail penempatan tendon box joint
8,9,10 ……………………………...... 88
Gambar 5.33 Detail penempatan tendon box joint 11,12 89
…………………………….......
Gambar 5.34 Detail penempatan tendon box joint 13,14
………………………………... 90
Gambar 5.35 Diagram tegangan saat service ( setelah
kehilangan gaya pratekan ) ....................... 108
Gambar 5.36 Alternatif pembebanan box girder 110
......
Gambar 5.37 Bidang momen Alternatif 1 ...................... 111
Gambar 5.38 Bidang momen Alternatif 2 ...................... 111
Gambar 5.39 Bidang momen Alternatif 3 ...................... 112
Gambar 5.40 Bidang momen Alternatif 4 ...................... 112
Gambar 5.41 Bidang momen Alternatif 5 ...................... 113
Gambar 5.42 Bidang momen Alternatif 6 ...................... 113
Gambar 5.43 Bidang momen Alternatif 1 ...................... 114
Gambar 5.44 Bidang momen Alternatif 2 ...................... 114
Gambar 5.45 Bidang momen Alternatif 3 ...................... 115
Gambar 5.46 Bidang momen Alternatif 4 ...................... 115
Gambar 5.47 Bidang momen Alternatif 5 ...................... 116
Gambar 5.48 Bidang momen Alternatif 6 ...................... 116
Gambar 5.49 permodelan dengan shell .......................... 117
Gambar 5.50 lendutan yang terjadi pada pemodelan …. 117
Gambar 5.51 momen yang terjadi pada shell ................. 118
Gambar 5.52 Penulangan lentur pelat atas box .............. 120
Gambar 5.53 Penulangan lentur pelat tegak box ........... 121
Gambar 5.54 Penulangan lentur pelat bawah box .......... 122
Gambar 5.55 Detail penulangan box joint 1,2,3,4 … 123
Gambar 5.56 Detail penulangan box joint 5,6,7 …... 124
Gambar 5.57 Detail penulangan box joint 8,9,10 …. 125
Gambar 5.58 Detail penulangan box joint 11,12 ...... 126
Gambar 5.59 Detail penulangan box joint 13,14 ...... 127
Gambar 5.60 Analisa ACI untuk kekuatan geser-
distribusi gaya geser sepanjang bentang .. 128
Gambar 5.61 Tegangan-tegangan tarik utama pada
sebuah batang prategang .......................... 129
Gambar 5.62 Retak akibat tegangan geser ..................... 130
Gambar 5.63 Retak rambut akibat melebihi momen
retak .......................................................... 140
Gambar 5.64 Tegangan pada daerah angker ………….. 145
Gambar 5.65 Penampang Tendon Group 1 pada joint 4 146
Gambar 5.66 Skema beban hidup merata yang
menyebabkan torsi .................................... 148
Gambar 5.67 Skema beban hidup garis yang
menyebabkan torsi .................................... 148
Gambar 5.68 Sketsa joint antar segmen pada joint 14 ... 153
Gambar 5.69 Penulangan sambungan ……………….... 156
Gambar 5.70 Potongan Box Girder Tampak Depan ...... 159
Gambar 5.71 Susunan elastomer …………………….... 160
Gambar 5.72 Pengaruh beban vertikal terhadap
elastomer .................................................. 161
Gambar 5.73 Pengaruh beban horizontal terhadap
elastomer ……………………………….. 161
Gambar 5.74 Pengaruh rotasi terhadap elastomer .......... 163
Gambar 5.75 Potongan box dengan elastomer ............... 164
Gambar 5.76 Tampak samping box dengan elastomer .. 164
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Transportasi merupakan salah satu kebutuhan yang penting
dalam kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Selain untuk
memperpendek waktu dan untuk memindahkan suatu obyek,
transportasi juga berfungsi untuk melancarkan hubungan antara
satu wilayah ke wilayah yang lain. Salah satu moda transportasi
adalah Kendaraan Umum, yang merupakan salah satu jenis
transportasi massal. Kendaraan Umum mampu memindahkan
penumpang dan barang dengan skala besar, sehingga merupakan
salah satu alternatif yang layak dikembangkan. Selain murah,
Kendaraan umum juga berfungsi memindahkan sebagian arus
penumpang dan barang dari jalan raya yang padat, sehingga
menurunkan biaya pemeliharaan jalan dan mengurangi tingkat
kecelakaan. Untuk itu diperlukan sarana dan prasarana jalan yang
menunjang, salah satunya adalah jembatan
Jembatan merupakan suatu bagian dari jalan yang berfungsi
untuk menghubungkan jalan yang terputus karena adanya
rintangan seperti sungai, lembah, laut dan lain sebagainya.
Jembatan menjadi pengontrol volume dan berat lalulintas yang
dapat dilayani oleh sistem transportasi. Jembatan Malo-Kalitidu
menghubungkan Desa Malo Kecamatan Malo dengan Desa
Mlaten Kecamatan Kalitidu. Jembatan tersebut nantinya berfungsi
sebagai jalur perlintasan berbagai jenis kendaraan bermotor
sampai kendaraan beroda empat dengan 2 lajur 2 arah. Dan lebar
jembatan ini direncanakan sebesar 9,6 meter.
Suatu hal yang penting dalam membangun jembatan adalah
menentukan jenis jembatan yang tepat untuk dibangun. Sehingga
dibutuhkan kemampuan perencana yang didasarkan pada disiplin
bidang rekayasa. Hal tersebut juga penting sebagai bahan
masukan dalam penentuan material yang akan digunakan dalam
pembangunan jembatan sebelum proses perencanaan. Beton telah
banyak dikenal dalam dunia konstruksi. Dewasa ini, dengan
kemajuan teknologi beton dimungkinkan untuk memperoleh
bentuk penampang beton yang beragam. Bahkan sekarang
jembatan tidak hanya dibuat dengan beton bertulang biasa tapi
sudah dikembangkan dengan menggunakan beton pratekan. Beton
pratekan sebagai perkembangan dari beton bertulang merupakan
kombinasi aktif antara beton berkekuatan tinggi dan baja mutu
tinggi. Prinsip dasar daripada beton pratekan adalah memberikan
tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa
sehingga dapat mengimbangi tegangan yang terjadi akibat beban
external sampai batas tertentu (T. Y Lin dan Ned H. Burn, 1981).
Dengan menggunakan beton pratekan maka volume bahan
dapat dikurangi, sehingga berat propil dapat lebih ringan dan
pondasi yang yang lebih ringan dapat digunakan akibat berat
komulatif struktur atas yang lebih kecil. Selain itu, penghematan
jangka panjang secara tidak langsung cukup besar, karena
dibutuhkan perawatan (maintenance) yang lebih sedikit, yang
berarti daya guna lebih lama sebagai akibat dari kontrol kualitas
yang lebih baik pada betonnya.
Sebagai alternatif lain untuk jembatan H.M. Santoso adalah
dengan menggunakan struktur Box Girder Pratekan. Struktur
beton pratekan ini lebih ekonomis karena dapat memikul beban
yang lebih besar, dengan beban dan bentang yang sama, terlepas
dari lama waktu pengerjaannya. Pemilihan propil Box Girder
sebagai alternatif, karena dianggap lebih efisien dengan
penampang yang tipis dibanding tingginya, sehingga didapat
berat propil yang efisien, selain itu propil Box Girder juga lebih
mudah dalam proses pembuatan dan pelaksanaan di lapangan.
Dalam Tugas Akhir ini dilakukan modifikasi jembatan Malo-
Kalitidu yang semula menggunakan profil baja dengan bentuk
busur dimodifikasi dengan Box Girder Prestresses. Dalam Studi
perencanaan ini hanya ditinjau dari segi teknis dan metode
pelaksanaan tanpa mempertimbangkan segi estetika dan waktu.
Penggunaan Box Girder Prestreseed yang dewasa ini sudah cukup
banyak digunakan karena banyak sekali keunggulan yang
dimilikinya. Perencanaan yang digunakan disesuaikan dengan
peraturan – peraturan yang berlaku yang menjadi pedoman umum
para teknisi pada bidang ini.

1.2 PERUMUSAN MASALAH


Dari uraian latar belakang tersebut maka untuk Alternatif
jembatan H.M. Santoso di kabupaten Bojonegoro dengan
menggunakan Box Girder Prestressed permasalahan yang ditinjau
adalah:
1. Bagaimana merencanakan dan menganalisa 1 pier cantilever
bangunan atas struktur jembatan dengan panjang 190 m yang
terdiri dari 3 bentang yaitu ( 47.5 + 950 + 47.5 )m
2. Bagaimana menentukan jenis pembebanan terhadap struktur
jembatan ?
3. Bagaimana analisa perhitungan kekuatan profil untuk
menahan gaya-gaya yang bekerja ?
4. Bagaimana mengontrol design Box Girder Prestressed
terhadap kekuatan dan kestabilan struktur?
5. Bagaimana menganalisa kehilangan gaya prategang yang
terjadi pada Box Girder Prestressed Precast ?
6. Bagaimana dengan Metode Pelaksanaan dari Box Girder
Prestressed Precast ?
7. Bagaimana menuangkan hasil desain & analisa ke dalam
bentuk gambar teknik ?

1.3 BATASAN MASALAH


Batasan masalah dalam Tugas Akhir ini adalah:
1. Hanya merencanakan 1 pier kantilever bangunan atas struktur
jembatan dengan panjang 190 m yang terdiri dari 3 bentang
yaitu ( 47.5 + 95 + 47.5 )m
2. Mutu beton pratekan = 65 Mpa.
3. Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven wires
stress relieved (7 kawat untaian), grade 270, A Strand =
98,71 mm2
4. Pada perencanaan ini tidak dilakukan analisa dari segi waktu.
5. Tidak meninjau pada bangunan bawah dan kelayakan struktur
dari segi estetika, tetapi lebih mengutamakan kepada fungsi
dan keamanannya.

1.4 TUJUAN
Maksud penulisan tugas akhir ini adalah sebagai syarat untuk
menyelesaikan program studi di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai
berikut:
1. Merencanakan (mendesign) Box Girder Prestressed untuk
struktur jembatan Malo-Kalitidu
2. Menentukan jenis pembebanan yang digunakan untuk
struktur jembatan Malo-Kalitidu
3. Menganalisa perhitungan kekuatan propil untuk menahan
gaya-gaya yang bekerja.
4. Mengontrol desain propil terhadap kekuatan dan kestabilan
struktur.
5. Menganalisa kehilangan gaya Prategang yang terjadi
6. Mengetahui Metode Pelaksanaan dari Box Girder Prestressed
Precast
7. Menuangkan hasil desain dan analisa ke dalam bentuk
gambar teknik.

1.5 METODOLOGI
Sebelum mendesain jembatan terlebih dahulu harus
dipertimbangkan beberapa permasalahan yang meliputi langkah-
langkah perencanaan, pembebanan dan hasil perhitungan.
Metodologi yang dipakai dalam penyusunan tugas akhir ini
adalah:
1. Studi dan pencarian data-data yang diperlukan untuk
perencanaan
 Denah dan gambar jembatan
 Profil Sungai
2. Studi kepustakaan
 Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge
Management System), Dirjen Bina Marga, 1992.
 Peraturan Pembebanan Jembatan Jalan Raya, Dirjen Bina
Marga, 1986.
 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan
dan Gedung, SNI-03-2847-2002
 Desain Struktur Beton Pratekan, T.Y. Lin Ned-H. Burns.
 Data-data lain.
3. Penentuan rencana desain (Preliminari Desain)
 Penentuan tinggi penampang type Box Girder
 Penentuan lebar melintang type Box Girder
 Penentuan efisien penampang type Box Girder
 Penentuan panjang segmen type Box Girder
 Penentuan layout kabel tendon dan jumlah kabel
prestressing
 Penentuan unsur sekunder balok type Box Girder (pagar
+ trotoar)
4. Pembebanan pada struktur utama jembatan
Pembebanan yang diterapkan mengacu kepada muatan atau
aksi lain (beban perpindahan dan pengaruh lainnya) yang
timbul pada suatu jembatan berdasarkan peraturan yang ada
dalam Bridge Management System (BMS, 1992).
5. Perhitungan dan analisa struktur jembatan
 Analisa tegangan terhadap berat sendiri kantilever beban
mati tambahan, beban hidup dan adanya creep
 Perhitungan besarnya gaya jacking awal dan tegangan
awal tiap bagian pelaksanaan
 Perencanaan balok type box girder
 Pemodelan struktur dan analisa hasil struktur dilakukan
dengan program bantu SAP 2000
 Perhitungan kehilangan gaya prategang yang meliputi
kehilangan gaya pratekan langsung dan akibat fungsi
waktu, perhitungan total kehilangan gaya pratekan dan
analisa tegangan akibat kehilangan pratekan.
 Kontrol analisa tegangan akhir dengan batasan gaya
membelah, kontrol retak, kontrl torsi dan kontrol geser
 Perencanaan perletakan
6. Penyusunan tugas akhir
7. Gambar teknik hasil perencanaan
Gambar 1.1 potongan memanjang jembatan

Gambar 1.2 typikal penampang box girder


Diagram alir metode perencanaan
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Umum
Prinsip dasar sistem prategang mungkin telah dipakai pada
kontruksi berabad-abad yang lalu dimana pada waktu tali atau
pita logam diikatkan mengelilingi papan kayu yang melengkung
yang membentuk sebuah tong. Pada waktu pita dikencangkan
pelat akan tertarik yang kemudian akan menekan kayu-kayu ke
dalam sehingga mampu menahan tarikan akibat tekananm cairan
dari dalam. Dengan perkataan lain pita dan kayu dalam keadaan
tertegang sebelum dibebani. Akan tetapi prinsip yang sama
tersebut tidak dipakai sampai tahun 1888 ketika C.E.W. Doehring
dari Jerman secara perorangan mendapatkan hak paten untuk
beton yang diperkuat dengan logam yang telah ditarik sebelum
dibebani. Pemakaian ini berdasarkan konsep bahwa beton lemah
terhadap tarik dan kuat terhadap tekan, dan dengan menarik baja
serta menahannya ke beton akan membuat beton tertekan yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengimbangi tegangan tarik
yang dihasilkan oleh beban mati ataupun beban hidup namun
metode ini tidak berhasil dengan sukses karena gaya tarik
prategang yang rendah didalam baja, kemudian hilang akibat
susut dan rangkak pada beton
E.Freyssinet, seorang Perancis yang berjasa dalam
perkembangan beton prategang modern, di tahun 1928 mulai
menggunakan baja mutu tinggi sebagai kabel parategang.
Walaupun Freyssinet juga mencoba metode pra tarik dimana baja
direkatkan ke beton tanpa pengangkuran ujung, pemakian praktis
ini pertama kali dikerjakan oleh E.Hoyer dari Jerman. Sistem E.
Hoyer terdiri dari penarikan kabel antara dua buah dinding
penahan yang terpisah beberapa ratus kaki, peletakan pungunci
antara unit-unit, kemudian penuangan beton dan pemotongan
kabel tersebut setelah beton mengeras. Pada tahun 1940, Profesor
G.Magnel dari Belgia mengembangkan sistem Magnel, dimana
dua buah kabel ditarik pada saat yang bersamaan dan diangkurkan
dengan memakai pasak baja yang sederhana pada ujung-
ujungnya. Pada saat itu beton prategang mulai menjadi penting.
Sejak tahun 1960-an dan tahun 1970-an di seluruh dunia sebagian
besar jembatan dengan bentang menengah dari 30m – 90m dan
banyak jembatan bentang besar sampai 305m dibangun dengan
beton prategang. Tujuan desain struktur prategang pada dasarnya
adalah membuat struktur yang aman agar terpenuhi fungsi
bangunan tersebut. Di sini tampak sederhana jika yang digunakan
sebagai patokan hanya aman dan berfungsi sesuai dengan yang
diharapkan, tetapi akan menjadi komplek apabila kata aman dan
memenuhi fungsinya ini dijabarkan lebih lanjut. Aman
merupakan masalah derajad, seberapa amankah bangunan yang
akan dibangun, dan setiap desain pasti mengandung kemungkinan
gagal. Jadi desain yang baik harus dapat memperhitungkan
seberapa besar kegagalan yang dapat ditoleransi dan bagaimana
penerapannya di lapangan. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
suatu desain struktur yang baik harus dapat memenuhi dan
mengembangkan antara syarat fungsi, aman (safety), kemampuan
layan (serviceability), dan ekonomis.
Desain struktur dapat didefinisikan sebagai campuran dari seni
dan ilmu pengetahuan yang digabung dengan pengalaman intuitif
perekayasa mengenai perilaku struktur dengan pengetahuan yang
mendalam tentang pirnsip-prinsip statika, dinamika, mekanika
bahan, dan analisa struktur untuk menghasilkan suatu struktuur
yang aman dan ekonomis sesuai dengan fungsi yang diharapkan.
Desain merupakan suatu proses untuk mendapatkan penyelesaian
optimum, dengan prioritas utama adalah keamanan. Desain
bertujuan untuk menghasilkan suatu struktur yang stabil, kuat,
mampu-layan, awet, dan memenuhi kriteria ekonomis, dan
kemudahan pelaksanaan. Suatu struktur disebut stabil bila ia tidak
mudah terguling, miring, atau bergeser, selama umur bangunan
yang direncanakan Suatu struktur disebut cukup kuat dan mampu-
layan bila kemungkinan terjadinya kegagalan struktur dan
kehilangan kemampu layan selama masa hidup yang
direncanakan adalah kecil dan dalam batas yang dapat diterima.
Suatu struktur disebut awet bila struktur tersebut dapat menerima
keausan dan kerusakan yang diharapkan terjadi selama umur
bangunan yang direncanakan tanpa pemeliharaan yang
berlebihan. Kriteria umum untuk struktur dikatakan ekonomis
jika :
 Biaya minimum
 Berat konstruksi minimum
 Waktu pelaksanaan konstruksi minimum
 Kebutuhan tenaga kerja minimum
 Biaya produksi minimum
 Efisiensi minimum dalam pelaksanaannya
Kriteria – kriteria tersebut saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, sehingga di dalam perencanaan harus dibandingkan satu
dengan yang lainnya agar tercapai hasil yang optimum tanpa
merubah nilai fungsi dan kemampuan layanannya.

2.2. Sifat dan Karakteristik Baja


Di dalam perencanaan (konstruksi), kita perlu mengetahui
sifat – sifat material yang akan digunakan (baja), sehingga dapat
dihasilkan perencanaan yang optimum. Baja mutu tinggi
merupakan bahan yang umum untuk menghasilkan gaya
prategang dan mensuplai gaya tarik pada beton prategang.
Pendekatan yang jelas tentang produksi baja mutu tinggi adalah
dengan pencampuran (alloying), yang memungkinkan pembuatan
baja semacam itu pada kondisi normal dan cara yang paling
umum untuk menambah kekuatan tarik baja prategang adalah
dengan cold-drawing, baja mutu tinggi melalui serangkaian
pencelupan. Jadi makin kecil diameter kawat makin tinggi
kekuatan batasnya.
Untuk sistem pasca-tarik, banyak dipakai kawat yang
digabungkan secara pararel menjadi kabel. Strand dibuat di pabrik
dengan memuntir beberapa kawat secara bersama-sama.. Untaian
kawat (strand) untuk sistem prategang umumnya disesuaikan
dengan spesifikasi ASTM A-416 untuk ‘Uncoated Seven-wire
Stress-relieved for Prestress Concrete” yang digunakan adalah
dua derajat, 1724 MPa dan 1862 MPa, dimana kata derajat
menunjukkan tegangan putus minimum yang dijamin. Spesifikasi
ini ditujukan untuk kontruksi beton prategang praterik yang
terekat. Juga dapat dipakai untuk kontruksi pasca tarik baik jenis
terekat maupun tidak terekat.

2.3. Filosofi Desain


Pada dasarnya perencanaan struktur konstruksi harus mampu
menyediakan cadangan kekuatan terhadap dua kemungkinan,
yaitu :
 Kelebihan beban (overload) yang dapat terjadi sewaktu –
waktu karena perubahan nilai fungsi dari konstruksi tersebut.
 Kekurangan kekuatan (under strength), biasanya hal ini
disebabkan oleh penyimpangan – penyimpangan dimensi
maupun mutu dari material yang digunakan dalam asumsi
perencanaan struktur. Sehingga di dalam merencanakan suatu
struktur konstruksi harus dipertimbangkan adanya toleransi
terhadap material yang digunakan.
Secara umum perencanaan jembatan ini menggunakan B.M.S
1992 yang lebih memenuhi sebagai bahan rujukan yang lengkap
tentang desain jembatan, sedangkan filosofi perencanaan
memakai rencana keadaan batas dan rencana tegangan kerja.
Penggunaannya masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Rencana Keadaan Batas
Rencana keadaan batas adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pendekatan atau perencanaan pada mana semua
fungsi bentuk struktur telah diperhitungkan.
a. Tingkat pembebanan dan bentuk keruntuhan
Kejadian keruntuhan umumnya dikelompokan dalam dua
kategori utama (keadaan batas) yaitu :
 kedaan batas ultimate atau runtuh
Keadaan batas ultimate dilampaui bila keamanan
jembatan terancam oleh
- Deformasi tidak dibatasi
- Perputaran guling
- Kurang stabilitas
 keadaan batas kelayanan
Keadaan batas kelayanan adalah kondisi kurang
parah yang berkaitan dengan lendutan, retakan dan
terkelupa, keawetan dan getara. Tingkat perencanaan
aksi tersebut dipilih demikian sehingga :
- Tidak membuat jembatan kurang baik untuk
penggunaan
- Tidak menimbulkan kekhawatiran
masyarakat
- Tidak banyak mengurangi umur kelayanan
jembatan
b. Faktor keamanan merata
Pada rencana keadaan batas margin keamanan digunakan
lebih merata pada seluruh struktur melalui penggunaan
faktor keamanan parsial. Tidak seperti cara tegangan
kerja pada mana faktor keamanan digunakan hanya untuk
bahan, dalam rencana keadaan batas faktor keamanan
terbagi antara beban dan bahan yang mengijinkan
ketidakpastian pada masing-masing diperhitungkan,
yaitu:

Faktor reduksi kekuatan kapasitas nominal faktor beban beban nominal


R’ S’

2. Rencana Tegangan Kerja


Filosofi kriteria desain perencanaan tegangan kerja adalah
pendekatan elastis yang digunakan untuk memperkirakan
kekuatan atau stabilitas dengan membatasi tegangan dalam
struktur sampai tegangan ijin sebesar kurang lebih setengah dari
kekuatan struktur aktual pada beban kerja. Tegangan ijin tersebut
diperoleh dengan membuat beberapa toleransi untuk stabilitas
tidak linier dan pengaruh bahan pada kekuatan unsur terisolasi
dan adalah sebenarnya besaran kekuatan ultimate yang dibagi
oleh faktor keamanan (SF).
Tegangan kerja Tegangan ijin =
Keadaan batas daya layan adalah kurang efisien dalam mencapai
tingkat keamanan yang konsisten bila faktor keamanan digunakan
pada bahan saja

2.4. Pembebanan Pada Struktur Utama Jembatan


Pembebanan yang diterapkan mengacu kepada muatan atau
aksi lain (beban perpindahan dan pengaruh lainnya) yang timbul
pada suatu jembatan berdasarkan peraturan yang ada dalam
B.M.S. 1992. Aksi-aksi yang timbul dikelompokan menurut
sumbernya kedalam beberapa kelompok, yaitu:
 Aksi tetap
 Beban lalu lintas
 Aksi lingkungan
 Aksi-aksi lainnya
Berdasarkan lamanya aksi itu bekerja maka aksi diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu:
 Aksi tetap : Aksinya bekerja sepanjang waktu atau
dalam jangka waktu lama
 Aksi transient : Aksi yang bekerja dalam jangka
waktu pendek
Pengklasifikasian aksi seperti di atas mengandung arti bahwa
beban-beban yang bekerja dapat diperkirakan umur terjadinya dan
apabila terjadi aksi yang tidak umum dalam peraturan maka harus
dievaluasi dengan memperhitungkan besarnya faktor beban dan
lamanya aksi itu bekerja. Perhitungan aksi nominal diubah
menjadi aksi rencana dikalikan dengan faktor beban yang
digunakan yang digunakan dalam peraturan. Klasifikasi ini
digunakan apabila aksi-aksi rencana digabung satu sama lainya
untuk mendapatkan kombinasi pembebanan yang akan digunakan
dalam perencanaan jembatan. Kombinasi beban rencana
dikelompokan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
 Kombinasi dalam batas daya layan
 Kombinasi dalam batas daya ultimate
 Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan
kerja.
Berdasarkan aksi-aksi yang timbul dalam perencanaan jembatan
sesuai peraturan yang ada berikut ini disajikan aksi rencana dan
faktor beban yang bekerja.

Tabel 2.1 Ringkasan aksi-aksi rencana


Aksi Lamanya Faktor beban pada keadaan batas
waktu Daya
Symbol Ultimate Kuxx
Nama (3) layan
(1)
Ksxx Normal Terkurangi
Berat sendiri PMS Tetap 1.0  ( 3 ) ( 3 ) 

Beban mati tambahan PMA Tetap 1.0 / 1.3 2.0 / 1.4  0.7 / 0.8
Susut dan rangkak PSR Tetap 1.0 1.0 N/A
Prategang PPR Tetap 1.0 1.0 N/A
Tekanan tanah PTA Tetap 1.0  ( 3 ) (3)
Beban tetap pelaksanaan PPL Tetap 1.0 1.25  N/A
Beban lajur "D" TTD Transient 1.0 2.0 N/A
Beban truk "T" TTT Transient 1.0 2.0 N/A
Gaya rem TTS Transient 1.0 2.0 N/A
Gaya sentrifugal TTR Transient 1.0 2.0 N/A
Beban trotoar TTP Transient 1.0 2.0 N/A
Beban-beban tumbukan TTC Transient  ( 3 )  ( 3 ) N/A
Penurunan PES Tetap 1.0 N/A N/A
Temperatur TET Transient 1.0 1.2 0.8
Aliran/benda hanyut TEF Transient 1.0  ( 3 ) N/A
Hidro/daya apung TEU Transient 1.0 1.0 1.0
Angin TEW Transient 1.0 1.2 N/A
Gempa TEQ Transient N/A 1.0 N/A
Gesekan TGF Transient 1.0 1.3 0.8
Getaran TVI Transient 1.0 N/A N/A
Pelaksanaan TCL Transient  ( 3 )  ( 3 ) N/A

 Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol


untuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk P MS
= berat sendiri nominal ; P*MS = berat sendiri rencana
 Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai
 N/A menandakan tidak dapat dipaka, dalam hal ini dimana
pengaruh beban transient adalah meningkatkan keamanan dan
faktor beban yang cocok adalah 0

2.4.1. Aksi dan Beban Tetap


Beban mati jembatan terdiri dari berat masing-masing
bagian struktural dan elemen non struktural dimana masing-
masing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang tidak
dipisahkan dan tidak boleh menjadi bagian-bagian pada waktu
menerapkan faktor beban biasa dan yang terkurangi.
a. Berat Sendiri dan Beban Mati Tambahan
Untuk jembatan beton pratekan beban mati yang bekerja
adalah berat sendiri dan beban mati tambahan dimana berat
sendiri yaitu berat dari berat dari bagian bangunan tersebut
dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya sedangkan
bebean mati tambahan adalah beban yang dapat bervariasi
selama umur jembatan seperti sandaran, trotoar, kerb, pagar,
pengaman perlengkapan umum (pipa air dan penyaluran) dan
lain-lain. Kerapatan massa yang digunkan dalam perencanaan
sesuai dengan peraturan B.M.S 1992 adaalah:

Box girder (beton prategang) : 2500 kg/m3

Beton bertulang : 2400
kg/m 3


Aspal : 2200 kg/m3
b. Pengaruh Penyusutan dan Rangkak
Pengaruh rangkak dan penyusutan harus diperhitungkan
dalam perencanaan jembatan-jembatan beton. Pengaruh ini
harus dihitung dengan menggunakan beban mati dari
jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi
pengaruh muatan lainnya maka harga dari rangkak dan
penyusutan tersebut harus diambil minimum (misalnya pada
waktu transfer dan beton prategang)
c. Pengaruh Prategang
Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada
komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis
tidak tertentu. Pengaruh sekunder tersebut harus
diperhitungkan baik pada batas daya layan maupun batas
ultimate. Prategang harus diperhitungkan sebelum (selama
pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam
kombinasi dengan beban-beban lainnya. Pengaruh utama dari
prategang harus diperhitungkan sebagai berikut:
 Pada keadaan batas daya layan,
gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu
sistem beban pada unsur nailai rencana dari prategang
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan faktor
beban daya layan sebesar 1
Pada keadaan batas ultimate, pengaruh utama dari
prategang tidak dianggap sebagai beban yang bekerja,
melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan
unsur sesuai dengan bagian 6
d. Pengaruh tetap pelaksanaan
Pengaruh tetap pelaksanaan adalah disebabkan oleh metode
pelaksanaan jembatan, biasanya mempunyai kaitan dengan
aksi aksi lainnya seperti pra penegangan dan berat sendiri dan
dalam hal ini pengaruh tetap harus dikombinasikan dengan
aksi-aksi tersebut dengan faktor beban yang lain. Bila
pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan reaksi
aksi lainnya maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan
dalam batas layan dan batas ultimate dengan menggunakan
faktor beban yang tercantum dalam pasal ini.
2.4.2. Beban Lalu Lintas
a. Beban kendaraan rencana
Aksi kendaraan mempunyai tiga komponen:
 Komponen vertikal
 Komponen rem
 Komponen sentrifugal (untuk jembatan
melengkung)
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan jalan raya
terdiri dari beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur
“D” ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalan
kendaraan dan menghasilkan pengaruh pada jembatan yang
ekivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang
sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri Pembebanan
truk “T” adalah kendaraan berat tunggal dengan tiga gandar
yang ditempatkan dalam kedudukan sembarang pada lajur
lalu lintas rencana. Tiap gandar terdiri dari dua pembebanan
bidang kontak yang dimaksudkan agar mewakili pengaruh
roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” yang boleh
ditempatkan per lajur lalu lintas rencana. Umumnya
pembebanan “D” akan menentukan untuk bentang sedang
sampai panjang dan pembebanan “T” akan menentukan untuk
beban pendek dan sistem lantai.
b. Beban lajur “D”
Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata (UDL)
yang digabung dengan beban garis (KEL)
 Beban terbagi rata (UDL) dengan intensitas q
Kpa dengan q tergantung pada panjang yang
dibebanitotal (L) sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 8 KPa
L ≥ 30 m ; q = 8 (0.5 + ) kPa
 Beban garis (KEL) sebesar P kN/m ditempatkan
dalam kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan
tegak lurus pada arah lalu lintas (P = 44 kN/m). Pada
bentang menerus, KEL ditempatkan dalam kedudukan
lateral sama yaitu tegak lurus arah lalu lintas pada dua
bentang agar momen lentur negatif menjadi maksimum.

Gambar 2.1 pembebanan “D” pada arah melintang

 Apabila lebar jalur kendaraan jembatan kurang


atau sama dengan 5.5 m maka beban “D” harus
ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas beban
100% sedangkan apabila lebar jalur lebih besar dari 5.5
m, beban “D” harus ditempatkan pada dua lajur lalu lintas
rencanayang berdekatan dengan intensitas 100% seperti
pada sketsa berikut ini
Gambar 2.2 Intensitas penyebaran beban “D” arah melintang
c. Faktor Beban Dinamik
Faktor beban dinamis (DLA: dynamic load allowed)
merupakan interaksi antara kendaraan yang berjalan dengan
jembatan. Besarnya DLA tergantung pada frekuensi dasar
dari suspensi kendaraan.dan frekuensi dari getaran lentur
jembatan. Untuk perencanaan DLA dinyatakan sebagai beban
statik ekivalen. Faktor beban dinamik berlaku pada KEL,
lajur “D” dan beban truk “T” untuk simulasi kejut dari
kendaraan bergerak pada struktur jembatan.
 Untuk pembebanan truk “T” DLA diambil 0.3
 Untuk pembentukan lajur “D” dan beban garis
KEL tergantung dari panjang bentang sebagai
berikut:
LE ≤ 50 m : DLA = 0.4
50 ≤ LE ≤ 90m : DLA = 0.525 – 0.0025L
LE ≥ 90m : DLA = 0.3
Untuk bentang tunggal panjang bentang ekivalen diambil
sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang
menerus panjang bentang ekivalen LE diberikan dengan
rumus LE =
dimana:
LAV : Panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang
yang d isambung secara menerus
LMAX : Panjang bentang maximum dalam kelompok
yang disambung secara menerus
Penyebaran beban “D” pada arah melintang harus disusun
sedemikian sehingga mendapatkan momen maximum.
Penyusunan komponen-komponen UDL dan KEL dari beban
“D” arah memanjang dapat dilihat pada gambar sebagai
berikut:
Gambar 2.3 Susunan pembebanan “D” arah memanjang
d. Beban Truk “T”
Beban truk adalah suatu kendaraan berat dengan 3As yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas
rencana. Tiap As terdiri dari 2 bidang kontak pembebanan
yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan
berat. Pembebanan truk terdiri dari kendaraan truk semitrailer
yang mempunyai susunan dan berat As seperti pada gambar
berikut:
Gambar 2.4 Susunan pembebanan truk “T”
Berat dari masing-masing As disebarkan menjadi 2 beban
merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara
roda dengan permukaan lantai, jarak antara 2 As tersebut bisa
diubah ubah antara 4 s/d 9m untuk mendapatkan pengaruh
tersebar pada arah melintang jembatan. Untuk menyebarkan
pembebana truk “T” dalam arah melintang terlepas dari
panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu
kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu jalur lalu
lintas rencana kendaraan. Truk “T” ini harus ditempatkan
ditengah-tengah lajur lal lintas rencana.

e. Beban pejalan kaki


Intensitas beban pejalan kaki untuk jembatan jalan raya
tergantung pada luas beban yang dipikul oleh unsur yang
direncana. Bagaimanapun, lantai dan gelagar yang langsung
memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk 5 kPa.
Intensitas beban untuk elemen lain diberikan dalam tabel
dibawah ini:
Tabel 2.2 Pembebanan untuk pejalan kaki
Luas terpikul oleh unsur - m2 Intensitas pejalan kaki nominal kPa
A < 10 m2 0.5
10 m2 < A < 100 m2 5.33 - A/30
A > 100 m2 2
bila kendaraan tidak dicegah naik ke kerb oleh penghalang rencana,
trotoar juga harus direncanakan agar menahan beban 20 kN

2.4.3. Aksi Lingkungan


Besarnya beban rencana yang diberikan berdasarkan analisa
ststik dari kejadian-kejadian umum yang tercatat tanpa
memperhatikan hal khusus yang mungkin akan memperbesar
pengaruh setempat
a. Penurunan
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan terjadinya
penurunan yang diperkirakan, termasuk perbedaan
penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh penurunan
mungkin bisa dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi
pada struktur tanah.
b. Beban Angin
Gaya nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat angin
tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut:

Tew = 0.0006 Cw Vw2 Ab ………..kN

Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Ab = Luas koef bagian samping jembatan (m2)
Tabel 2.3 Kecepatan angin rencana (Vw)
Keadaan Lokasi
batas Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimate 35 m/s 30 m/s

Luas ekivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian


yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan.
Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh
bangunan atas, apabila suatu kendaraan sedang berada diatas
jembatan maka beban garis merata tambahan arah horizontal
harus diterapkan pada permukaan lantai besarnya diberikan oleh
rumus berikut:

Tew-2 = 0.00012 Cw Vw2 ………..kN/m

dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total (b) jembatan
dengan tinggi bangunan atas (d) termasuk tinggi
bagian sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4

Tabel 2.4. Koefisien seret (Cw)


Tipe Jembatan Cw
Bangunan atas masif (1), (2)

b/d = 1.0 2.10 (3)


b/d = 2.0 1.50 (3)
b/d = 6.0 1.25 (3)
Bangunan atas rangka 1.20

2.4.4. Aksi-aksi lainnya


1. Gesekan pada perletakan
Gesekan pada perletakan termasuk pengaruh kekakuan
geser dari perletakan elastomer. Gaya akibat gesekan
pada perletakan dihitung hanya dengan menggunakan
beban tetap.dan harga rata-rata dari koef gesekan atau
kekakuan geser apabila menggunakan perletakan
elastomer (bearing pad)
2. Pengaruh getaran
Getaran yang diakibatkan oleh adanya kendaraan yang
lewat diatas jembatan dan akibat pejalan kaki pada
jembatan penyeberangan merupakan keadaan batas daya
layan apabila tingkat getaran menimbulkan bahaya dan
ketidaknyamanan seperti halnya keamanan bangunan.
3. Beban pelaksanaan
Beban pelaksanaan terdiri dari :
 Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu
sendiri
 Aksi lingkungan yang mungkin timbul selama waktu
pelaksanaan
Apabila rencana adalah tergantung pada metoda
pelaksanaan, struktur harus mampu menahan semua
beban pelaksanaan secara aman. Selama waktu
pelaksanaan jembatan, tiap aksi lingkungan dapat terjadi
secara bersamaan dengan beban pelaksanaan. Adalah
tidak perlu untuk mempertimbangkan pengaruh gempa
selama pelaksanaan kontruksi.

2.5. Kombinasi beban


Aksi rencana digolongkan kedalam aksi tetap dan
transient. Kombinasi beban umumnya didasarkan kepada
bebarapa kemungkinan, tipe yang berbeda dari aksi yang
bekerja bersamaan. Aksi rencana ditentukan dari aksi nominal
yaitu mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang
memadai. Faktor beban untuk keadaan batas ultimate
didasarkan kepada umur rencana jembatan 50 tahun.
Ada dua pengelompokan kombinasi beban antara lain :
a. Kombinasi pada keadaan batas daya layan
Kombinasi pada keadaan batas daya layan primer terdiri
dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu aksi
transient.
Pada keadaan batas daya layan, lebih dari satu aksi
transient bisa terjadi secara bersamaan. Faktor beban
yang sudah dikurangi diterapkan dalam hal ini untuk
mengurangi kemungkinan dari peristiwa ini.
b. Kombinasi pada keadaan batas ultimate
Kombinasi pada keadaan batas ultimate terdiri dari
jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu pengaruh
transient.
Pada keadaan batas ultimate, tidak diadakan aksi transient
lain untuk kombinasi dengan aksi gempa.

Tabel 2.5 Kombinasi beban


KOMBINASI BEBAN
AKSI BATAS DAYA LAYAN BATAS ULTIMATE
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Aksi Tetap : X X X X X X X X X X X X
Berat sendiri
Beban mati tambahan
Susut dan rangkak
Prategang
Tekanan Tanah
Beban tetap
pelaksanaan
Aksi Transient:
Beban Lajur "D" X O O O O X O O O
Beban Truk "T"
Gaya rem X O O O O X O O O
Gaya sentrifugal
Beban pejalan kaki X X
Gesekan pada perletakan O O X O O O O O O O O
Aliran atau benda hanyutan O O X O O O X O O
Hidro atau daya apung O O
Beban angin O X O O O X O
Aksi lain
Beban tumbukan
Getaran X X
Pelaksanaan X X

Catatan:
(X) dalam keadaan batas daya layan pada bagian tabel ini
tanda (X) untuk kombinasi tertentu adalah memasukan faktor
beban daya layan penuh, dalam keadaan batas ultimate tanda (X)
untuk kombinasi tertentu adalah memasukan faktor beban
ultimate penuh
(O) dalam keadaan batas daya layan pada bagian tabel ini
tanda (O) adalah dengan memasukan faktor beban daya layan
yang sudah diturunkan harganya. Dalam keadaan batas ultimate
tanda (O) adalah dengan memasukan faktor beban ultimate yang
sudah diturunkan besarnya.

2.6 Penentuan Tipe Jembatan


Dalam pemilihan panjang jembatan untuk jembatan segmen
pracetak harus mempertimbangkan metode pelaksanaan yang
akan diterapkan. Dalam pemakaian jenis konstruksi kantilever
segmen dipasang pada kesetimbangan kantilever mulai dari pilar
dengan penempatan segmen masing-masing sisi dengan operasi
simetris. Metode pemasangan ini menghasilkan super struktur
yang typikal dengan panjang kantilever setengah panjang
bentang pokok dari pilar dan jika panjang bentang akhir
ditentukan (60 – 75)% dari bentang dalam maka sebagian kecil
super struktur didekat abutment dicetak ditempat atau dengan
cara pemasangan yang lain. Pemakian tipe jembatan biasanya
didasrkan pada panjang bentang yang dipakai. Di bawah ini
disajikan tabel bentang jembatan yang mungkin dipakai meskipun
tidak mutlak harus seperti tersebut namun akan membantu dalam
pemilihan tipe jembatan yang akan dibangun.
Tabel 2.6 Penentuan tipe jembatan
Bentang (m) Tipe Jembatan
5 – 15 Flat Slab
10 – 25 Gelagar
15 – 40 Gelagar Prestressed I
30 – 60 Gelagar Box Prismatic Section
60 – 200 Box Free Cantilever
50 – 250 Pelengkung
40 – 400 Rangka
250 – 100 Cable – Stayed
100 – 2000 Gantung
1500 – 3500 Hybrid (Gantung plus Cable - Stayed)
2.7 Desain Dimensi Box Girder
Tipe potongan melintang yang paling baik dan sesuai untuk
kuntruksi ini adalah berbentuk box, pertimbangan-pertimbangan
pemilihan tersebut adalah sebagai berikut:
 Memiliki torsi yang tinggi sehingga dapat menjamin
dengan baik stabilitas elastisitas dari strukturnya baik selama
kontruksi berlangsung maupun dibawah kondisi beban kerja
 Karena menggunakan sistem kontruksi kantilever maka
momen beban mati yang dihasilkan akan mengakibatkan
tegangan tekan pada serat bawah sepanjang bentang jembatan
dan mencapai momen maksimum terjadi di dekat pilar, untuk
itu bentuk sayap yang besar dekat pilar sangat diperlukan,
Profil yang tepat adalah model yang memiliki effisiensi baik.
 Dengan membuat sayap bawah besar luasan beton yang
tersedia cukup besar pada keadaan ultimate untuk
mengimbangi kapasitas penuh dari tendon pratekan tanpa
kehilangan besarnya lengan momen.
Dimensi box girder pada jembatan ini didesain setelah
melalui perhitungan terlebih dahulu dengan cara trial and error.
Dalam dimensi box girder ini akan mengalami perubahan
berulang sampai dicapai bagian-bagian utama yaitu lebar (W),
ketinggian kontruksi (D), lebar pelat bawah (B), jarak antar antar
badan (S), dan panjang segmen (L) dapat dijelaskan sebagai
berikut:
 Lebar segmen box girder (W)
Lebar segmen disesuaikan dengan lebar jembatan, jika
lebar jembatan melebihi 12m atau ketika ingin meminimkan berat
atau ukuran segmen maka lebar struktur dapat dibagi menjadi dua
atau lebih. Lebar box girder (W) = 9.6 m lebar jembatan
 Ketinggian kontruksi (D)
Penentuan tinggi box girder bervariasi berdasarkan
momen dan panjang bentang jembatan dapat dengan ketinggian
konstan atau variabel. Untuk bentang 40 sampai dengan 65m
rasio perbandingan D/L diatas nilai 1/40 berguna meminimalkan
efek dari berat sendiri. Dalam desain ini tinggi box girder dekat
pier adalah 95 m = 5.28 m s/d 95 m = 5.9375 m

diambil 5.5 m, tinggi box girder pengunci adalah 95m =


2.375 m
 Tebal plat atas (ta)
Sesuai dengan syarat pada peraturan perencanaan pada
buku Construction and Design of Prestressed Concrete Segmental
Bridges, tebal minimum sayap bagian atas terhadap panjang
bentang antar badan adalah
 bentang kurang dari 3m tebal min sayap atas adalah
175 mm
 bentang antara (3 – 4.5)m tebal min sayap atas
adalah 200 mm
 bentang antara (4.5 – 7.5)m tebal min sayap atas
adalah 250 mm
Sedangkan untuk sayap bagian bawah tebal minimum
adalah 250 mm tergantung dari ukuran pipa tendon yang
digunakan.
 Tebal plat bawah (tb)
Sedangkan untuk sayap bagian bawah tebal minimum
adalah 250 mm tergantung dari ukuran pipa tendon yang
digunakan.
Fungsinya untuk mereduksi daerah momen positif
sekaligus meminimumkan persyaratan saat menahan beban mati
plat dan persyaratan jarak tulangan/selimut beton
 Jarak antar badan (B)
Biasanya ditentukan dari kriteria strukturnya saja.
Umumnya dipilih antara 4.5 – 7.5 m untuk mereduksi berat badan
menjadi minimum dengan menjaga besarnya momen lentur
melintang pada sayap atas dan bawah dengan batasan yang
diijinkan, disini digunakan jarak 5m
 Panjang antar segmen (L)
Dibuat agar berat segmen mudah dalam pelaksanaan.
Tiap segmen panjangnya bervariasi antara 4m, 3m dan 2m

Gambar 2.5 Desain penampang box girder


Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB III
KRITERIA DESAIN

3.1. Data-data Perencanaan


Dalam Tugas Akhir ini akan direncanakan Jembatan
Malo_kalitidu dengan konstruksi box girder pratekan statis tak
tentu. Sebagai hasil akhir nantinya dimensi penampang jembatan
akan dijabarkan dalam bentuk gambar

1.1.1.1. 3.2. Data-Data Teknis


Konstruksi jembatan yang direncanakan adalah konstruksi
jembatan beton pratekan :
Nama Jembatan : Jembatan Malo-Kalitidu
Lokasi : Kecamatan Malo dan Kecamatan
Kalitidu, Bojonegoro
Tipe Jembatan : Cast in situ segmental box girder
dengan sistem Balance cantilever.
Fungsi : Menghubungkan Desa Malo dengan
Desa Mlaten
Panjang total : 190 m, terdiri dari 3 bentang.
2 47.5 m dan 95 m menggunakan
beton pratekan tipe Box.
Lebar total : 9.6 m
Lbr lntai kndrn : 7.6 m
Lebar trotoar :2 1m
Jumlah lajur : dua
Lebar lajur : 3.80 m
Kelas jembatan :I

3.3. Data-data Bahan


Dari data bahan dapat diketahui mutu beton dan baja
yang digunakan.
1. Beton
 Kuat tekan beton pratekan (fc’) = 65 Mpa
 Kuat tekan beton untuk konstruksi sekunder (fc’)
= 30 Mpa
2. Baja

Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand
seven wires stress relieved (7 kawat untaian),
grade 270, A Strand = 98,71 mm2

Mutu baja yang digunakan untuk penulangan
pelat lantai kendaraan dan penulangan praktis
lainnya adalah baja mutu fy = 320

Untuk penulangan bangunan sekunder dan
bangunan bawah dipakai baja tulangan dengan
mutu fy = 240

3.4. Tegangan Ijin Bahan


Tegangan yang terjadi pada bagian-bagian jembatan tidak
boleh melebihi dari tegangan ijin bahannya.
a. Beton pratekan (fc’) = 65 MPa
 Pada saat transfer (tegangan beton sesaat sesudah
pemindahan gaya pratekan, sebelum kehilangan
tegangan yang merupakan fungsi waktu), dimana
penarikan pada umur 28 hari.
fci = 100% fc’ = 65 MPa
Sehingga tegangan serat terluar :
* Untuk tekan : fct = 0.6 fci
fct = 0.6 65 MPa
fct = 39 MPa
* Untuk tarik : fct = 0.25
fct = 0.25 MPa
fct = 2.015 MPa
 Pada saat service (tegangan beton pada tingkat
beban kerja, sesuadah memperhitungkan semua
kehilangan pratekan yang mungkin terjadi)
Sehingga tegangan serat terluar :
* Untuk tekan : fct = 0.45 fci
fct = 0.45 65 MPa
fct = 29.25 MPa
* Untuk tarik : fct = 0.5
fct = 0.5 MPa
fct = 4.031 Mpa
* Mdls Elststs (E) : E = 4700
E = 4700 MPa
E = 37892.61 MPa
* Tgngn Retak (fr): fr = 0.7
fr = 0.7 MPa
fr = 5.64 MPa
b. Baja pratekan
Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah sebagai
berikut :
 Modulus Elastisitas (Es) = 200 000 MPa
 Tegangan putus kabel (fpu) = 1860 MPa
 Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 fpu
= 0.9 1860
= 1674 MPa
 Tegangan tarik ijin kabel (jacking)
= 0.94 fpy
= 0.94 1674
= 1.573.56 MPa
 Tegangan tarik ijin kabel (setelah pengangkuran)
= 0.7 fpu
= 0.7 1860
= 1302 Mpa

3.5. Peraturan-peraturan yang Digunakan


Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perencanaan
ulang yang dilakukan, antara lain :
 Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge
Management System), Dirjen Bina Marga, 1992
 Peraturan Pembebanan Jembatan Jalan Raya, Dirjen
Bina Marga, 1986
 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk
Bangunan Gedung ( SNI 03-2847-2002 )

3.6. Persyaratan Desain


Untuk memperoleh hasil desain yang menjamin
keamanan, beberapa pendekatan perancangan dapat
diterapkan. Adapun beberapa pendekatan ini antara lain :
perancangan tegangan kerja (working stress design), kekuatan
batas (ultimate strength design), perancangan plastis (limit or
plastic design), keadaan batas (limit state design),
perancangan non linier (non linier design), dan perancangan
probabilistik (probabilistic design). Untuk perancangan
prategang biasanya merupakan kombinasi perancangan
tegangan kerja dan kekuatan batas (Antoine E. Naaman,
1982).
Beberapa kriteria penting mengenai beton prategang
untuk keadaan batas ultimate :
1. Keruntuhan pada satu atau lebih penampang kritis akibat
lentur, geser, puntir, atau akibat kombinasinya
2. Pecahnya blok ujung beton prategang
3. Keruntuhan bantalan pada tumpuan, angkur, akibat beban
terpasang yang terpusat
4. Keruntuhan tulangan akibat rekatan dan angkur
5. Keruntuhan sambungan antar elemen dan yang dicor di
tempat (cast in situ)
6. Keruntuhan akibat ketidakstabilan elastis batang

BAB IV
PERENCANAAN STRUKTUR SEKUNDER

4.1 Perhitungan Tiang Sandaran


Berdasarkan pada Peraturan Perencanaan Teknik
Jembatan (Bridge Management System) 1992, beban yang
bekerja pada sandaran adalah berupa gaya horisontal sebesar
0,75 KN/m yang bekerja pada ketinggian 90 cm dari lantai
trotoar, selain itu juga menerima beban angin sebesar
Hw = 0.0006 Cw (Vw)2 Ab
Dimana : Hw = Kecepatan angin rencana (m/dt)
Cw = Koefisien seret (lihat B.M.S II tabel 2.9)
Vw = Kecp angin rencana (m/dt2) untuk keadaan
batas yg ditinjau
Ab = Luas koefisien bagian samping jembatan.
Gambar 4.1 Tiang Sandaran
Panjang total jembatan = 190 m
Jarak tiang sandaran = 2 m
Bahan yang digunakan :
1. Mutu Beton fc’ = 30 Mpa
2. Mutu Baja fy = 240 Mpa
3. Pipa sandaran
- Diameter luar (D) = 60 mm
- Tebal pipa = 3 mm
- Diameter dalam (d) = = 54
mm
4. Beban angin yang diterima tiang sandaran
= = 2.21 Cw = 1.5
Hw = 0.0006 Cw (Vw)2 Ab
Hw = 0.0006 1.5 302 (1 2) = 1.62 kN
Bbn hrzntl yg dtrima tiang sandaran (P = 0.75 kN/m)
Pu = Hu tinggi tiang sandaran (P = 0.75 kN/m)
Mu = (1.62 +0.75) 1 = 2.37 kNm

Mn = = = 2.9625 106 Nmm


Penulangan
Dimensi sandaran 15 20 cm
Beton decking = 20 mm
Mu = 2.9625 106 Nmm

Rn =

m=

= 0,065
= 0,75 x 0,065 =0,049

karena ρperlu < ρmin maka dipakai ρmin


As = = 0,0058 x 150 x 174 = 152 mm2
Dipakai tulangan 4 Ø 10 ( As = 314 mm2 )
Sengkang praktis Ø6 – 200 ( 141 mm2 )

4.2.Perhitungan Trotoar
Trotoar direncanakan dengan lebar 80 cm dan tebal 25
cm dan ditempatkan di atas lantai kendaraan pada gelagar tepi
yang dibatasi dengan balok beton bertulang pada kedua
tepinya dan diisi pasir padat di tengahnya serta dilapisi tegel
di atasnya. Sehingga sifatnya hanya membebani
gelagar/balok utama.
Gambar 4.2 Trotoar
Luas areal yang dibebani pejalan kaki
A=
= 0.8 190 = 152 m2 (A ≥ 100 m2)

Tabel 4.1 Beban nominal pejalan kaki pada trotoar


Luas Beban nominal ( Kpa )
A < 10 m2 5
10 m2 < A < 100 m2 5,33 – A/30
A ≥ 100 m2 2

Berdasarkan tabel tersebut, maka beban nominal (q) pejalan kaki


adalah 2 Kpa

4.3.Perhitungan Kerb (Balok Trotoar)


Gaya yang bekerja pada kerb ini adalah gaya horisontal
melintang jembatan sebesar 500 kg di puncak kerb atau
setinggi 25 cm dari permukaan lantai kendaraan, dimensi
kerb direncanakan 20 cm 25 cm.
Gambar 4.3 Kerb (balok trotoar)

Mu = = 12500 kg.cm = 1,25.106 Nmm


Beton decking = 20 mm

= 0,065
= 0,75 x 0,065 =0,049

karena ρperlu < ρmin maka dipakai ρmin,


As =  x b x d = 0.0058 x 1.000 x 175 = 1015 mm2
Dipakai tulangan Ø12-100 ( As = 1131 cm2 )
Tulangan memanjang 4Ø12

4.4. Kontrol terhadap Geser Ponds


Sesuai dengan Pedoman Perencanaan Pembebanan
Jembatan Jalan Raya 1986, untuk menghitung besarnya geser
ponds yang terjadi adalah sebagai berikut :
Gambar 4.4 Penyebaran beban pada plat lantai
kendaraan

Gaya Geser (V) = KUTT 100 (1+0.3)


= 2 100 (1+0.3)
= 201.3

Luas Bidang Kritis (AK) = 2 (b0+d0) d4


= 2 (75+45) 25
= 265
Kemampuan Geser (VU) = AK Teg Geser Beton
= 265
= 265 = 483.82
Gaya Geser harus < VU
201.3 < 483.82

BAB V
PERENCANAAN STRUKTUR ATAS

Perencanaan struktur atas jembatan dibagi dalam dua


bagian perencanaan, yaitu :
1. Perencanaan struktur sekunder jembatan, meliputi sandaran
jembatan.
2. Perencanaan struktur utama jembatan yang meliputi struktur
box girder yang berupa pracetak pratekan beserta komponen
yang berada didalamnya.

5.1 PRELIMINARY DESIGN


5.1.1 Perencanaan Dimensi Profil Box
Struktur jembatan tersusun dari single box dengan lebar
9,6 m, bentang total jembatan sepanjang 190 m terbagi menjadi 3
bentang yaitu 47,5 m + 95 m + 47,5 m dengan disangga oleh dua
pilar dan dua abutment. Perencanaan dimensi profil box girder
yang digunakan didapat dari cara trial and error, dan berdasarkan
ketentuan peraturan yang ada. Rencana dari profil box girder
adalah sebagai berikut :
 Untuk tiap sisi bentang kantilever dengan ketinggian antara
2.40 m sampai dengan 5.75 m, profil box yang digunakan
adalah dengan panjang 3,75 m sebanyak 46 buah, panjang
2.75 m sebanyak 2 buah dan panjang 2,50 m sebanyak 4 buah
 Pada bagian diatas pilar, profil box yang digunakan adalah
setinggi 5.75 m 2 buah.
 Untuk segmen penutup pada tengah bentang digunakan profil
box dengan ketinggian 2.40 m dan panjang 2.00 m sebanyak
1 buah cor ditempat
 Jumlah total box yang digunakan untuk kontruksi jembatan
ini adalah 52 buah.
Gambar 5.1 Typikal penampang box girder

Tabel 5.1 Perhitungan Dimensi dan Efisiensi pada segmen 7

yt = 159,34 cm
yb = 195,66 cm
 = 0,544
Wt = 9.791.516,59 cm3
Wb = 7.974.317,29 cm3
Kt = 86,68 cm
Kb = 106,43 cm
Tabel 5.2 dimensi penampang box girder
Dimana :
b = lebar pias
h = tinggi pias
A = luas pias = b × h
y = jarak titik berat pias ke serat atas

yt = jarak c.g.c terhadap serat atas =

yb = jarak c.g.c terhadap serat bawah = h - yt


I = momen inersia
= untuk bentuk segitiga

= untuk bentuk segiempat

i = Sehingga : =

Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 5.3 Efisiensi Profil Box Girder
5.1.2 Desain Tendon dan Urutan Erection
Dalam perencanaan ini ada beberapa macam tendon yang
dipakai. Secara umum dibagi menjadi 3 :
1. Menurut pemakaian
2. Menurut tempatnya
3. Menurut bentuknya

1. Pembagian tendon menurut waktu pemakaian dibagi menjadi


2, yaitu :
- Tendon sementara
Tendon ini dijack saat pemasangan segmen pada pilar.
Berfungsi untuk mengimbangi momen yang terjadi pada
waktu pelaksanaan pemasangan segmen. Hal ini terjadi
karena sistem pemasangan yang dipakai adalah sistem
kantilever. Sehingga dibutuhkan gaya yang menahan
segmen pada saat dipasang sampai sistem statika
berubah. Disamping itu alat yang dipakai dalam
pemasangan juga mempengaruhi gaya pratekan yang
dipakai.
- Tendon tetap
Tendon ini berfungsi untuk memikul berat sendiri
jembatan dan beban kerja yang direncanakan.

2. Pembagian tendon menurut letaknya dibagi menjadi 3, yaitu :


- Tendon kantilever
Tendon ini dipasang pada saat kantilever. Berfungsi
untuk menahan momen akibat berat sendiri segmen dan
alat pemasangan, dan selalu bertambah sesuai
bertambahnya segmen. Biasanya diangkerkan dibagian
badan.
- Tendon tengah
Tendon ini akan bekerja pada saat struktur telah menjadi
statis tak tentu. Dan akan menahan momen akibat segmen
tengah bentang cor setempat
- Tendon menerus
Tendon ini diletakkan di plat bawah tengah bentang dan
diangker di plat atas. Dan akan menahan momen akibat
beban mati tambahan dan beban lalu lintas

3. Menurut bentuknya tendon ada yang dipasang lurus dan ada


yang melengkung. Keuntungan tendon dipasang lurus,
kehilangn gaya pratekan akibat gesekan hampir tidak ada.
Tendon yang dipasang melengakung dipakai pada arah
memanjang jembatan untuk mengikuti besarnya momen yang
terjadi

Penyusunan profil/segmen box girder dalam struktur atas dibagi


dalam 3 langkah pelaksanaan :
- Langkah 1 : segmen kantilever dipasang di pilar
- Langkah 2 : segmen tengah setelah segmen kantilever selesai

5.1.3 Detail Post Tensioning


Penarikan direncanakan sebesar 70 % dari gaya ultimate.
Sedangkan gaya efektif pada waktu penarikan dengan
mengikutsertakan kehilangan gaya pratekan akibat slip angker
dan geser tidak kurang dari 60 % dari gaya ultimate. Pada
perencanaan jembatan pratekan dengan metode pemasangan
tendon post tension dibagi dalam beberapa group :
- Group 1 : post tension kantilever
- Group 2 : post tension bentang tengah
- Group 3 : post tension menerus

5.1.4 Perhitungan Gaya Pratekan Awal


Keseluruhan langkah perhitungan dan proses pelaksanaan
dalam perancanaan jembatan ini mengunakan pedoman Precast
Segmantal Box Girder Bridge Manual. Dan prosedur desain unuk
jembatan segmental box girder dengan metode pelaksanaan
balanced kantilever dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut :
1. Kantilever bebas dan gaya post tension awal group 1,
kemudian kontrol tegangan yang terjadi pada semua fase
erection.
2. Penempatan segmen tengah bentang dan penentuan gaya
pratekan post tension group 2 dan kontrol tegangan yang
terjadi.
3. Perhitungan penambahan beban mati tambahan. Kontrol
tegangan yang terjadi.
4. Perhitungan penambahan beban hidup.
Akibat pengaruh waktu momen struktur akan tereduksi akibat
adanya creep, baik pada beban mati maupun pada beban post
tension dan akibat creep dan loss prestress dari tendon
sendiri.
5. Kontrol tegangan akhir.
Perhitungan gaya prategang awal secara berurutan dari
pelaksanaan metode kantilever, pemasangan segmen tengah cor
setempat, sampai beban bekerja dan terakhir nantinya dilakukan
kontrol tegangan akhir

5.2 ANALISA PEMBEBANAN


5.2.1 Analisa Beban Mati
Beban mati yang terjadi pada struktur ada 2 macam, yaitu
berat sendiri dan beban mati tambahan.
a. Analisa Berat Sendiri
Perhitungan besarnya momen akibat berat sendiri struktur
langsung dihitung dengan sendirinya oleh program bantu
SAP 2000 dengan mutu beton dan material sesuai dengan
peraturan, berat sendiri balok akan berbeda-beda karena
dimensi balok berbeda secara parabolik.
Tabel 5.4. Berat sendiri profil box

b, Analisa Beban Mati Tambahan


Berat lapisan aspal = 0.05 x 2.200
x 7,6 = 836 kg/m
Berat trotoar = 0.8 x 0.25 x 2.400 x 2 = 960 kg/m
Berat kerb = 0.2 x 0.25 x 2.400 x 2 = 240 kg/m
Berat sandaran + penerangan ( asumsi ) = 250 kg/m
Berat air hujan (5 cm) = 0.05 x 9.6 x
1.000 = 480 kg/m+
Total Beban Mati Tambahan = 2.766 kg/m
= 2,766 ton/m

5.2.2 Analisa Beban Hidup


a. Faktor beban dinamis
Faktor beban dinamis (DLA) berlaku untuk
“KEL” lajur “D” dan truk “T” untuk simulasi kejut dari
kendaraan bergerak pada struktur jembatan. Untuk
“KEL” nilai DLA diberikan sesuai peraturan BMS 1992
untuk LE 90 m, maka DLA = 0.3

b. Beban rencana “UDL” atau merata


Beban UDL tergantung pada panjang bentang L
yang dibebani:
L 30, q = 8 KN/m2

Untuk penyebaran gaya arah melintang L = 47,5 m ,


maka:
Sepanjang 5.5 m ;
q UDL 47,50 = 8 5.5 1 = 35,9
KN/m
Sepanjang 2.1m ;
q UDL 47,50 = 8 2.1 0.5 =
13,7KN/m
Jadi UDL = 35,9 + 13,7 = 49,6 KN/m yang
bekerja merata sepanjang 47,50 m

Beban UDL tergantung pada panjang bentang L


yang dibebani:
L 30, q = 8 KN/m2
Untuk penyebaran gaya arah melintang L = 95 m , maka:
Sepanjang 5.5 m ;
q UDL 95 = 8 5.5 1 = 28,95 KN/m
Sepanjang (9.6-2)-5.5=2.1m ;
q UDL 95 =8 2.1 0.5 = 11,05 KN/m

Jadi UDL = 28,95 + 11,05 = 40 KN/m yang


bekerja merata sepanjang 95 m

c. Beban rencana “KEL” atau garis terpusat


Besarnya beban “KEL” P = 44 KN/m yang
penyebarannya tergantung pada arah gaya melintang,
yaitu:
L : 2,1 m P1 = 44 load faktor (1+DLA)
= 2,1 44 0,5 (1+0,3)
= 47,5 KN
L : 5,5 m P1 = 44 load faktor (1+DLA)
= 5,5 44 1 (1+0,3)
= 314,6 KN
Jadi KEL = 47,5 + 314,6 = 362,1 KN yang
bekerja merata sepanjang 95 m

d. Beban rencana akibat beban truk “T”


Beban truk “T” adalah sebesar 100 KN dengan
faktor kejut DLA 0,3 untuk bentang 9,6 m
TU’ = 100 (1+DLA) Load factor(KUTT )
TU’ = 100 (1+0.3) 2
= 260 KN = 260.000.000 Nmm

5.2.3 Analisa Gaya Angin


Gaya angin pada jembatan, dianggap sebagai beban
terbagi rata pada bidang vertikal jembatan, bekerja dalam arah
horizontal dan tegak lurus sumbu memanjang jembatan.

Gambar 5.2 Permodelan Gaya Angin

Tew = 0.0006 Cw Vw2 Ab ………..kN


Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Ab = Luas koef bagian samping jembatan (m2)

Tew-2 = 0.00012 Cw Vw2 ………..kN/m

Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4

Beban angin pada gelagar utama


Tew-2 = 0,0012 x Cw x Vw2
B/d = 9.600/6.750 = 1,4 → Cw = 1,74
Tew-2 = 0,0012 x 1,74 x 352 = 2,56 kN/m

5.2.4 Analisa Pengaruh Rangkak


Analisa perhitungan pengaruh rangkak ini merupakan
perubahan oleh rangkak yang bukan disebabkan oleh susut, tetapi
oleh waktu pelaksanaan ketika proses pelaksanaan kantilever
hingga seluruh bentang terbentuk terjadi perubahan distribusi
momen oleh rangkak.

5.2.5 Analisa Beban Pelaksanaan


Analisa pengaruh pelaksanaan menyangkut metode
pelaksanaan yang digunakan. Dalam tugas akhir ini, metode
pelaksanaan digunakan sistem kantilever dengan menggunakan
alat launching gantry.
Penggunaan alat launching gantry dengan berat yang
diasumsikan yaitu berat alat 130 ton akan berpengaruh pada
perhitungan terutama pada posisi yang mengakibatkan kondisi
struktur kritis, yaitu pada saat pemasangan segmen kantilever
telah selesai dan dilanjutkan dengan pemasangan segmen pilar
pada bentang selanjutnya. Dengan demikian kondisi yang kritis
tersebut akan dihitung momen dan gaya yang terjadi akibat
pelaksanaan tersebut.
Selain berat launching gantry, ada beban pelaksanaan
merata sepanjang box sebesar 0,285 ton/m.

5.2.6 Analisa pengaruh prategang


Pengaruh prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum
kehilangan pratekan dan sesudah kehilangan pratekan. Kondisi
sebelum/sesudah kehilangan prateka dapat terjadi ketika
pelaksanaan konstruksi kantilever dan ketika konstruksi jembatan
menjadi bentang menerus.
Kehilangan gaya prategang (loss prestressed) dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu :
1. Kehilangan gaya pratekan langsung, yaitu kehilangan gaya
pratekan yang terjadi segera setelah peralihan gaya pratekan
yang meliputi : akibat slip angker, perpendekan elastis dan
gesekan kabel.
2. Kehilangan pratekan berdasarkan fungsi waktu, yaitu
kehilangan gaya pratekan yang bergantung pada waktu yang
meliputi : akibat rangkak beton, susut beton dan relaksasi
baja.
a. Perpendekan Elastis Beton ( ES )
Pada beton pratekan dengan sistem pratarik, proses
kehilangan pratekan akan terjadi setelah gaya pratekan
dialihkan ke beton. Dengan memendeknya komponen
struktur, baja juga ikut memendek.
Rumus umum yang dapat dipakai umtuk mendapatkan
jumlah kehilangan gaya pratekan adalah :

Dimana
ES = kehilangan gaya prategang akibat perpendekan
elastis beton.
Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca-tarik dan 1,0
untuk komponen struktur pratarik
Es = modulus elastisitas baja prategang.
Eci = modulus elastisitas beton pada saat pengangkuran
(initial).
fcir = tegangan beton pada garis berat baja (cgs) akibat
gaya prategang yang efektif segera setelah gaya
prategang telah dikerjakan pada beton.

b. Gesekan dan Wobble effect


Kehilangan gaya pratekan akibat pengaruh kelengkungan
dihasilkan dari kelengkungan tendon yang diinginkan
sebagai tambahan pada penyimpangan turun naiknya
selubung. Kehilangan gaya prategang ini tergantung pula
pada koefisien gesekan antara bahan yang bersentuhan
dan tekanan yang disebabkan oleh tendon pada beton.
Koefisien gesekan akan bergantung dari kelicinan dan
sifat permukaan bidang kontak. Tekanan diantara tendon
dan beton tergantung dari tekanan pada tendon dan
perubahan sudut total. Kehilangan gaya prategang akibat
gesekan dapat dipertimbangkan pada dua pengaruh yaitu
panjang dan pengaruh kelengkungan. Pengaruh panjang
adalah jumlah gesekan yang akan dijumpai jika tendon
lurus, tidak dirancang bengkon atau melengkung. Namun
selubung tendon tidak dapat sepenuhnya lurus.
Rumus umum untuk kehilangan gaya pratekan akibat
gesekan dan wobble effect :
Dimana :
Fx = gaya prategang akhir sesudah loss akibat efek
wobble dan gesekan
F0 = gaya pratekan awal
μ = koefisieen friksi
α = perubahan sudut dari titik jack ke titik X.

c. Slip angker ( ANC )


Pada kebanyakan sistem post tension, pada saat tendon
ditarik sampai nilai penuh kemudian dongkrak dilepas
dan gaya prategang dialihkan ke angkur, tegangan yang
terjadi didalam angkur cenderung untuk berdeformasi,
jadi tendon dapat tergelincir sedikit. Baji gesekan yang
dipakai untuk menahan kabel akan tergelincir sebelum
kabel dijepit dengan kokoh. Besar gelincir tergantung
dari jenis baji dan tegangan pada kawat, nilai rata-rata
sekitar 2.5 mm.
Rumus umum untuk menghitung kehilangan gaya
prategang akibat deformasi pengangkuran adalah :

 = 2 x 0 x xX

X =

d. Rangkak beton ( CR )
Banyak yang mempengaruhi rangkak yaitu perbandingan
volume terhadap permukaan, umur beton pada saat
prategang, kelembaban relatif dan jenis beton. Balok
memberikan respon yang elastik terhadap gaya prategang
pada saat peralihan, tetapi rangkak pada beton akan
terjadi untuk jangka waktu yang lama akibat beban yang
terus menerus bekerja. Rangkak dianggap terjadi dengan
beban mati permanen yang ditambahkan pada komponen
struktur setelah beton diberi gaya prategang. Bagian
regangan tekan awal disebabkan pada beton segera
setelah peralihan gaya prategang dikurangi oleh regangan
tarik yang dihasilkan dari beban mati permanen.
Kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk
komponen struktur dengan tendon terekat dapat
dirumuskan sebagai berikut :

CR =

Dimana
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon akibat
sseluruh beban mati yang bekerja pada komponen
struktur setelah diberi gaya prategang.
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari yang
bersesuaian dengan fc’.

e. Susut (SH)
Susut beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
rangkak yaitu perbandingan antara volume dan
permukaan, kelembaban relatif dan waktu dari curing
sampai dengan bekerjanya gaya prategang.
Rumus umum yang dipakai untuk menghitung kehilangan
gaya pratekan akibat susut beton yaitu :
SH =

Dimana
Ksh = koefisien faktor susut
RH = kelembaban relatif.
/S
V
= perbandingan volume terhadap permukaan
(dalam inchi)

f. Relaksasi baja ( RE )
Akibat perpendekan elastik (kehilangan gaya prategang
seketika setelah peralihan) dan gaya prategang yang
tergantung pada waktu, CR dan SH, ada pengurangan
kontinu pada tegangan tendon, jadi kehilangan gaya
prategang akibat relaksasi berkurang. Sebenarnya balok
prategang mengalami perubahan regangan baja yang
konstan di dalam tendon bila terjadi rangkak yang
tergantung pada waktu, untuk ini ACI memberikan
perumusan untuk menghitung kehilangan gaya pratekan
yaitu :
RE =
Nilai Kre, J dan C bergantung jenis dan tipe tendon. Maka
untuk strand atau kawat stress relieved 1860 MPa yaitu :
Kre = 138 MPa
J = 0,15
C = 1

5.3 ANALISA TEGANGAN YANG TERJADI


Tegangan Pada beton yang diijinkan
a. Saat transfer / jacking
Tekan = ci = 0.6 x fc’ = 0.6 x 65 = 39 Mpa
Tarik = ti = 0,25 x = 0,25 x = -2,016
Mpa
b. Saat service
Tekan = ci = 0,45 x fc’ = 0,45 x 65 = 29,25 Mpa
Tarik = ti = 0,5 x = 0,5 x = -4,03 Mpa
5.3.1 Perhitungan Tegangan Akibat Tendon Kantilever
(Tahap 1)
Tendon kantilever dihitung berdasarkan berat sendiri
kantilever terlebih dahulu. Ada beberapa proses yang terjadi pada
kondisi kantilever, yaitu :

1. Peletakan box girder pada pilar

Gambar 5.3. Peletakan segmen pada pilar


2. Launching gantry berpindah ke box diatas pilar

Gambar 5.4. Launching gantry berpindah ke box diatas pilar

3. Dilakukan pengangkatan segmen box, kemudian di jacking

Gambar 5.5. Pemasangan segmen kantilever

Dengan tujuan untuk mengantisipasi momen yang terjadi,


tendon kantilever terletak pada sisi atas dari c.g.c.

Gambar 5.6. Tendon kantilever


Sehingga langkah-langkah perhitungan adalah sebagai
berikut :
1. Hitung semua momen akibat berat sendiri (beban mati
kantilever) yaitu akibat beban yang bekerja :
a. Berat sendiri box (tergantung jenis material)
Pola pembebanan :

Gambar 5.7. Pembebanan pada saat pemasangan segmen


kantilever akibat berat sendiri

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -22.449,3781 tm

b. Akibat Launching Gantry


Berat Launching Gantry = 130 ton
Panjang Truss = 134 m
Jarak antar kaki = 65 x 2 = 130 m
Pola pembebanan :

Gambar 5.8. Pembebanan pada saat pemasangan segmen


kantilever akibat Launching Gantry

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat beban merata pelaksanaan menggunakan SAP
2000, didapatkan momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -6.045 tm

c. Berat pelaksanaan diasumsikan = 0,285 t/m


Pola pembebanan :
Gambar 5.9. Pembebanan pada saat pemasangan segmen
kantilever akibat berat pelaksanaan

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat beban merata pelaksanaan menggunakan SAP
2000, didapatkan momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -321,51563 tm

Contoh perhitungan pada Tahap 1 adalah :


1. Akibat beban Mati, Launching gantry dan beban pelaksanaan

Gambar 5.10. Bidang momen akibat beban kombinasi

Diambil joint 7
A = 9.200.000 mm2
yt = 1.593,44 mm
yb = 1.956,56 mm
I = 15.602.214.057.971 mm4
Mg = 47.004.609.400 Nmm
e = 1.060,35 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = 12.834.709 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = -1.363.785.361 N

Kontrol tegangan pada serat box


 Serat Atas
-2,02 Mpa < 0,00 Mpa……………. ok

 Serat Bawah

39 Mpa > 5,357 Mpa ……………. ok

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.11. Diagram tegangan joint 7 akibat pelaksanaan


segmen kantilever
Tabel 5.5 perhitungan pada tahap 1 ( tahap kantilever )
5.3.2 Perhitungan Tegangan akibat Tendon Tengah
(tahap 2)
Pada tahap ini tendon tengah dipasang dan dijacking
setelah box bentang kelengkapan tengah dicor setempat.

Gambar 5.12. Pengecoran segmen tengah

Letak dari tendon segmen tengah berada pada sisi bawah


dari c.g.c., seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 5.13. Tendon tengah

Prosedur perhitungan gaya tendon adalah sebagai berikut :


1. Hitung momen yang dihasilakan akibat penambahan segmen
tengah, dan beban yang bekerja adalah :
a. Berat sendiri box (tergantung jenis material)
Pola pembebanan :

Gambar 5.14. Pembebanan pada saat pemasangan


segmen tengah akibat berat sendiri

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -1.174,55705 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 1.831,38748 tm
b. Berat pelaksanaan diasumsikan = 0,285 t/m
Pola pembebanan :

Gambar 5.15. Pembebanan pada saat pemasangan


segmen tengah akibat berat pelaksanaan

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -18,99654 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 29,62268 tm

Contoh perhitungan pada tahap 2


1. Akibat beban Mati dan beban pelaksanaan

Gambar 5.16. Bidang momen akibat beban mati + beban


pelaksanaan
Diambil joint 20
A = 9.200.000 mm2
yt = 1.593,44 mm
yb = 1.956,56 mm
I = 15.602.214.057.971 mm4
Mg = 2.333.839.100 Nmm
e = 1.706,56 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -590.934.697 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = 5.338.959 N


Kontrol tegangan pada serat box
 Serat Atas

39 Mpa > 0,000 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-2,02 Mpa < 0,880 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.17. Diagram tegangan joint 20 akibat tendon tengah


Tabel 5.6 perhitungan pada tahap 2 ( tendon tengah )
5.3.3 Perhitungan Tegangan saat service
Pada langkah ini, jembatan mendapat tambahan pengaruh
beban mati tambahan yang terdiri dari beban aspal, trotoar, kerb,
sandaran dan pagar, dan beban air hujan.
Kemudian didapatkan tegangan akibat penambahan
beban mati tambahan :
1. Hitung momen yang disebabkan oleh beban mati tambahan
pada struktur.
Beban yang bekerja adalah beban mati tambahan = 2,766 t/m
Pola pembebanan :

Gambar 5.18. Pembebanan pada saat service akibat berat sendiri

Analisa perhitungan momen saat service akibat beban mati


tambahan menggunakan SAP 2000, didapatkan momen
maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -1.755.12749 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 1.363,88326 tm

2. Hitung momen yang disebabkan akibat beban rencana lalu


lintas
UDL 47,5 m = 49,6 kN/m =
4,96 t/m
UDL 90 m = 40 kN/m =
4 t/m
KEL = 362,1 kN = 36,21 t
Jadi untuk momen, akibat beban hidup dipakai beban
UDL dan KEL (ML3) karena lebih besar dari beban “Truk”
Setelah dilakukan input pada SAP 2000 dengan alternatif
alternatif yang ada dimana fungsinya nantinya untuk
mendapatkan momen yang paling maksimum maka akan
didapatkan momen-momen sebagai berikut:
 Alternatif 1

Gambar 5.19. Alternatif 1 pembebanan UDL dan KEL


Gambar 5.20. Bidang momen Alternatif 1 pembebanan
UDL+KEL

 Alternatif 2

Gambar 5.21. Alternatif 2 pembebanan UDL dan KEL


Gambar 5.22. Bidang momen Alternatif 2 pembebanan
UDL+KEL

 Alternatif 3

Gambar 5.23. Alternatif 3 pembebanan UDL dan KEL


Gambar 5.24. Bidang momen Alternatif 3 pembebanan
UDL+KEL

 Alternatif 4

Gambar 5.25. Alternatif 4 pembebanan UDL dan KEL


Gambar 5.26. Bidang momen Alternatif 4 pembebanan
UDL+KEL

Dari hasil input SAP 2000 didapatkanlah momen-momen


seperti yang tertera diatas dimana momen yang maksimum
dipakai dalam mendesain tendon yang akan dipergunakan.
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -3.224,01738 tm (alternatif 1)
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 2.773,77528 tm (alternatif 3)

Tegangan saat service di atas tumpuan (Momen Negatif)


Diambil pada joint 14
A = 12.250.000 mm2
yt = 2.871,69 mm
yb = 2.878,31 mm
I = 54.993.589.018.708 mm4
Mg = 49.791.448.700 Nmm
e = 2.721,69 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -440.563.064 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = -6.359.678 N


Kontrol tegangan pada serat box
 Serat Atas

29,95 Mpa > 1,897 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-4,03 Mpa < 0,000 Mpa……………. Ok

F F.e.y M.y
A I I
Gambar 5.27. Diagram tegangan joint 14 saat service (menerus
diatas tumpuan)
Tegangan saat service pada tengah bentang (Momen Positif)
Diambil pada joint 27
A = 6.990.000 mm2
yt = 906,93 mm
yb = 1.493,07 mm
I = 41.376.585.400 mm4
Mg = 176.923.257.640 Nmm
E = 1.343,07 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -190.126.458 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = 15.837.582 N


Kontrol tegangan pada serat box
 Serat Atas

29,95 Mpa > 5,287 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-4,03 Mpa < 0 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I
Gambar 5.28. Diagram tegangan joint 27 saat service (menerus
tengah bentang)
5.4 PERENCANAAN KABEL
5.4.1 Perhitungan Tegangan saat transfer
1. Tahap Pemasangan Kantilever
Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 7
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 2 duct = = 13,144 strand


19 strand tiap duct
Maka dipakai 2 VSL 19 Sc

2. Tahap Pemasangan Segmen Tengah


Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 20
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 1 duct = 17,671 strand


19 strand tiap duct
Maka dipakai 1 VSL 19 Sc

Tabel 5.7 perencanaan tendon pada tahap kantilever

Tabel 5.8 perencanaan tendon segmen tengah


5.4.2 Perhitungan Tegangan saat service
1. Perencanaan kabel diatas tumpuan
Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 14
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (f pu ) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (f py ) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 4 duct = = 14,139


strand
19 strand tiap duct
Maka dipakai 4 VSL 19 Sc

2. Perencanaan kabel pada tengah bentang


Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 27
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 4 duct = = 27,949


strand
31 strand tiap duct
Maka dipakai 4 VSL 31 Sc
Gambar 5.29 Potongan memanjang dan tamapk Atas layout tendon
Gambar 5.30 Detail penempatan tendon box joint 1,2,3,4
Gambar 5.31 Detail penempatan tendon box joint 5,6,7
Gambar 5.32 Detail penempatan tendon box joint 8,9,10
Gambar 5.33 Detail penempatan tendon box joint 11,12
Gambar 5.34 Detail penempatan tendon box joint 13,14
5.5 ANALISA KEHILANGAN GAYA PRATEGANG
Pengaruh prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum
kehilangan pratekan dan sesudah kehilangan pratekan.
Kehilangan gaya prategang (loss prestressed) dapat
dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kehilangan gaya pratekan langsung yaitu kehilangan
gaya pratekan yang terjadi segera setelah peralihan gaya
pratekan (waktu jangka pendek) yang meliputi: akibat
slip angker, perpendekan elastis dan gesekan kabel
2. Kehilangan pratekan berdasarkan fungsi waktu yaitu
kehilangan gaya pratekan yang tergantung pada waktu
(waktu jangka tertentu) yang meliputi: akibat rangkak
beton (creep), susut beton (shrinkage) dan relaksasi baja
(relaxation)
5.5.1 Perhitungan kehilangan gaya prategang langsung
1. Kehilangan prategang akibat perpendekan elsastis
(ES)
Untuk sistem pasca tarik, jika tendon yang dimiliki
lebih dari satu dan tendon-tendon tersebut ditarik secara
berurutan, maka gaya prategang akan bekerja secara
bertahap pada beton, perpendekan beton bertambah
apabila setiap kabel diikatkan padanya dan kehilangan
gaya prategang akibat perpendekan elastis berbeda-beda
pada tendon. Untuk kehilangan elastis memperhitungkan
pengaruh penarikan yang berturut-turut pada kehilangan
elastis dapat digunakan persamaan:

ES = Kes x Es x

dimana:
fcir = tegangan beton pada garis yang melalui titik
berat baja (c.g.s) akibat gaya prategang yang
efektif segera setelah gaya prategang telah
dikerjakan pada beton
Fo = 0.9 Fi untuk komponen struktur pratarik
Fo = Fi untuk komponen struktur pasca tarik
Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca tarik

fcir i =

Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)

fcir = 2,326 + 3,548 – 1,064 = 4,810 Mpa

Eci = modulus elastisitas beton


= 4700 = 4700
= 37.892,611 MPa
Es = 2 106 kg/cm2
= 200 000 Mpa
Tabel 5.9 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat
Perpendekan elastis tahap kantilever

Tabel 5.10 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat


Perpendekan elastis pada segmen tengah

Tabel 5.11 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat


Perpendekan elastis pada saat service
2. Kehilangan prategang akibat gesekan kabel dan
wooble effect
Kehilangan gaya pratekan akibat pengaruh
kelengkungan dihasilkan dari kelengkungan tendon yang
diinginkan sebagai tambahan pada penyimpangan turun
naiknya selubung (duct). Kehilangan gaya prategang ini
tergantung pula pada koefisien gesekan diantara bahan
yang bersentuhan dan tekanan yang disebabkan oleh
tendon beton. Koefisien gesekan pada gilirannya akan
tergantung dari kelicinan dan sifat permukaan bidang
kontak, Tekanan diantara tendon dan beton tergantung
dari tekanan pada tendon dan perubahan sudut total.
Kehilangan gaya prategang akibat gesekan ini dapat
dipertimbangkan pada 2 bagian pengaruh panjang adalah
jumlah gesekan yang akan dijumpai jika tendon lurus,
tidak dirancang bengkong atau melengkung namun
selubung tendon tidak dapat sepenuhnya lurus hal ini
dijelaskan sebagai pengaruh naik turunnya selubung
(wobble effect). Adapun rumus umum kehilangan gaya
pratekan akibat gesekan dan wobble effect adalah:
Fx = Fo x e –( +KL)

dimana:
Fx = gaya prategang akhir sesudah loss akibat wobble
effect dan gesekan
Fo = gaya prategang awal
= Koefisien friksi / gesekan (0.15 0.25)
= 0.2 (selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = koefisien wobble = 0.0026 (tabel T.Y Lin)
= Perubahan sudut akibat pengaruh kelengkungan
Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)
Fx = F0 x e –( +KL)

= F0 x 1,31 –(0,2 x 0,11 + 0,0026 x 17,5) = 0,916 F0


%loss = x
100%
= 8,372 %
Tabel 5.12 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble
effect tahap kantilever

Tabel 5.13 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble


effect pada segmen tengah

Tabel 5.14 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble


effect saat service
3. Kehilangan prategang akibat slip angker
Pada sistem post tension, pada saat tendon ditarik
sampai nilai penuh kemudian dongkrak dilepas dan gaya
prategang dialihkan ke angkur. Perlengkapan di dalam
angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan
cenderung untuk berdeformasi. Jadi tendon dapat
tergelincir sedikit. Baji gesekan yang dipakai untuk
menahan kabel akan sedikit tergelincir sebelum kabel
dijepit dengan kokoh. Besarnya gelincir ini tergantung
dari jenis baji dan tegangan pada kawat, nilai rata-rata
sekitar 2.5 mm (menurut T.Y. Lin, hal 91). Rumus umum
untuk menghitung kehilangan gaya prategang akibat
deformasi pengangkuran adalah

 = 2 x 0 x xX

X =

Dimana :
 = Kehilangan pratekan pada baja
X = Jarak pengaruh slip angker
0 = Gaya prategang awal = 0,7 x fpu = 1.302
 = Koefisien friksi / gesekan ( 0,15 <  < 0,25 )
= 0,2 ( selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = Koefisien Wobble = 0,0026 ( tabel T.Y. Lin )
 = Perubahan sudut
Es = 2.106 kg/cm2 = 2.105 Mpa
d = defleksi = 1 mm
L = Panjang total kebel
Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)
X =

= 8,008 m

 = 2 x 0 x xX

= 2 x 1.302 x x 8,008

= 49,952 Mpa

%loss = 100%
= 3,837 %
Tabel 5.15 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip
angker slip angker tahap kantilever

Tabel 5.16 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip


angker tahap segmen tengah

Tabel 5.17 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip


angker saat service
5.5.2 Perhitungan kehilangan gaya prategang berdasarkan
fungsi waktu
1. Kehilangan prategang akibat rangkak beton (CR)
Faktor yang mempengaruhi rangkak diantaranya
adalah perbandingan volume terhadap permukaan umur
beton pada saat prategang, kelembaban relatif dan jenis
beton. Rangkak pada beton akan terjadi untuk jangka
waktu yang lama akibat beban yang terus menerus
bekerja. Rangkak dianggap terjadi akibat beban mati
permanen yang ditambahkan pada komponen struktur
setelah beton diberi gaya prategang. Bagian regangan
tekan awal terjadi pada beton segera setelah peralihan
gaya prategang dikurangi oleh regangan tarik yang
dihasilkan dari beban mati permanen. Kehilangan gaya
prategang akibat rangkak untuk komponen struktur
dengan tendon terekat dapat dirumuskan sebagai berikut:

CR =

Dimana
CR = kehilangan pratekan akibat rangkak beton
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon
akibat sseluruh beban mati yang bekerja
pada komponen struktur setelah diberi gaya
prategang. =
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
= 200.000 Mpa
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari
yang bersesuaian dengan fc’.
= 4700 = 4700
= 37.892,61 MPa
Contoh perhitungan pada tendon tahap 2 (Joint 22)
Tabel 5.18 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak
tahap kantilever

Tabel 5.19 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak


tahap segmen tengah

Tabel 5.20 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak


saat service
2. Kehilangan prategang akibat susut beton
Pada saat kabel ditegangkan dan dijangkarkan,
sebenarnya telah terjadi suatu perpanjangan tertentu. Pada
waktu balok menyusut panjang balok total diperkecil,
kabel kehilangan sebagian dari perpanjangan semula.
Gaya prategang berkurang setelah berlalunya waktu
akibat susut beton. Diasumsikan bahwa saluran kabel
digrouting sehingga kabel dan beton monolit dengan
demikian deformasi dalam arah memanjang akan sama.
Penyusutan beton tergantung pada beberapa faktor seperti
mutu semen, banyaknya semen dalam 1m 3 beton,
banyaknya air dan kelembaban udara. Adapun persamaan
yang akan dipakai adalah:
SH = 8,2 10-6 Ksh Es (1 – 0,06 ) (100 –
RH)
dimana :
Ksh = 0,73 (tabel 4.4 T.Y Lin, hal 88)
V = Luas balok
S = Keliling balok
RH = Kelembaban udara, diambil rata-rata = 75%

Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)


Tabel 5.21 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut
tahap kantilever

Tabel 5.22 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut


segmen tengah

Tabel 5.23 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut


saat service
3. Kehilangan prategang akibat relaksasi baja
Akibat perpendekan elastis (kehilangan gaya prategang
seketika setelah peralihan) dan gaya prategang yang
tergantung waktu, CR dan SH ada pengurangan berkelanjutan
pada tegangan beton, jadi kehilangan gaya prategang akibat
relaksasi berkurang. Sebenarnya balok prategang mengalami
perubahan regangan baja yang konstan di dalam tendon bila
terjadi rangkak yang tergantung pada nilai waktu. Oleh
karena itu, ACI memberikan perumusan untuk menghitung
kehilangan gaya pratekan dimana nilai dari Kre, J dan C
tergantung dari jenis dan tipe tendon, dimana untuk strand
atau kawat stress yang dipakai adalah relieved derajat 1860
MPa. Adapun perumusan tersebut yaitu:
RE = ( Kre – J ( SH + CR + ES )) C
dimana :
Kre = 138 MPa (T.Y Lin tabel 4.5 hal : 90)
J = 0,15 (T.Y Lin tabel 4.5 hal : 90)
C = 1 (T.Y Lin tabel 4.6 hal : 90)
Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)
RE = (Kre – J(SH+CR+ES))C
= (138 – 0.15 x ((15,093 + 31,627 + 12,693))) x1
= 129,09 MPa
%loss = 100% = 9,915 %
Tabel 5.24 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi
baja tahap kantilever

Tabel 5.25 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi


baja segmen tengah

Tabel 5.26 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi


baja saat service
5.5.3 Perhitungan kehilangan gaya prategang total
Gaya prategang awal pada baja dikurangi dengan
semua kehilangan gaya - gaya prategang disebut sebagai
gaya prategang efektif atau gaya prategang rencana.
Menurut peraturan ACI tahun 1963 ditetapkan bahwa
kehilangan gaya prategang total dari perpendekan elastis,
rangkak, susut, dan relaksasi baja (tetapi tidak termasuk
gesekan dan pergesekan angkur) pada beton normal
besarnya 240 Mpa (25%) untuk balok – balok pratarik
dan 170 Mpa (20%) untuk balok pasca tarik.
Pada perencanaan jembatan pratekan ini didapatkan
total kehilangan pratekan akibat perpendekan elastis,
rangkak beton, susut beton, dan relaksasi baja adalah :
TL = ES + CR + SH + RE
Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)
TL = ES + CR + SH + RE
= 12,693 + 31,627 + 15,093 + 129,09
= 188,501 Mpa
%loss = x 100% = 14,478 %
Tabel 5.27 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total tahap
kantilever

Tabel 5.28 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total segmen


tengah

Tabel 5.29 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total saat


service
5.5.4 Kontrol tegangan setelah terjadi kehilangan gaya
prategang (Loss Prestressed)

Contoh perhitungan tendon kantilever (Joint 7)


Feff = 0,8737 F0
= 0,8737 x 22.123.531 N
= 19.329.298 N
 Serat Atas

-4,03 Mpa < -0,606 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

29,25 Mpa > 5,425 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.35. Diagram tegangan saat service ( setelah kehilangan


gaya pratekan )
5.6 PERHITUNGAN PENULANGAN BOX
Analisa perhitungan penulangan box girder dilakukan dengan
menggunakan program bantu SAP 2000 dengan
memperhitungakan beban-beban yang bekerja pada struktur box
yang nantinya akan diketahui gaya-gaya dalam yang terjadi.
Perhitungan struktur memperhitungkan beban-beban yaitu beban
terpusat truk pada 2 lajur dan beban mati tambahan serta beban
trotoar.

 Beban trotoar
Pejalan kaki = 200 kg/m
Kendaraan ringan = 2.000 kg/m
Berat trotoar = 960 kg/m
Berat kerb = 240 kg/m
Berat sandaran + penerangan (asumsi) = 250 kg/m
qtotal = 3.650 kg/m
 Beban mati tambahan
Berat lapisan aspal = 836 kg/m
Berat air hujan = 480 kg/m
qtotal = 1.316 kg/m
 Beban Truk
TU’ = 100 (1+DLA) Load factor(KUTT )
TU’ = 100 (1+0.3) 2
= 260 KN = 26.000 kg
Dalam analisa perhitungan tulangan box
digunakan 3 perbandingan
1. frame-frame dengan asumsi setiap box diberi
perletakan sendi
2. frame-frame dengan asumsi setiap perubahan
panjang terdapat lendutan, lendutan tersebut
digunakan untuk asumsi perletakan box dengan
spring
3. bentuk 3d seutuhnya jembatan dengan pemodelan
menggunakan shell

Gambar 5.36 Alternatif pembebanan box girder


5.6.1 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat
lantai kendaraan dengn perletakan asumsi adalah
sendi dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.37 Bidang momen Alternatif 1

Gambar 5.38 Bidang momen Alternatif 2


Gambar 5.39 Bidang momen Alternatif 3

Gambar 5.40 Bidang momen Alternatif 4


Gambar 5.41 Bidang momen Alternatif 5

Gambar 5.42 Bidang momen Alternatif 6


5.6.2 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat
lantai kendaraan dengn perletakan asumsi adalah
spring dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.43 Bidang momen Alternatif 1

Gambar 5.44 Bidang momen Alternatif 2


Gambar 5.45 Bidang momen Alternatif 3

Gambar 5.46 Bidang momen Alternatif 4


Gambar 5.47 Bidang momen Alternatif 5

Gambar 5.48 Bidang momen Alternatif 6


5.6.3 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat
lantai kendaraan dengan pemodelan 3d menggunakan
shell dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.49 permodelan dengan shell

Gambar 5.50 lendutan yang terjadi pada pemodelan


Gambar 5.51 momen yang terjadi pada shell

Momen maksimum yang terjadi pada pemodelan


Tabel 5.30 Hasil analisa momen penulangan box

Dari analisa diatas diambil momen terbesar untuk mendesain


tulangan box girder, dari 3 analisa tersebut yang paling mendekati
dengan model yang jembatan yang sebenarnya adalah pada
pemodelan no. 3 yaitu pemodelan 3d dengan shell
5.6.4 Perhitungan Tulangan
a. Perhitungan tulangan struktur flens atas
MU = 15,02 tm = 150.200.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 250 – 40 – 22/2 = 199 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8

karena  min <  perlu <  maks maka digunakan  perlu


Asperlu =  x b x d = 0,0185 x 1000 x 199 = 3.681,5 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :

Jadi tualgan yang digunakan adalah D22 – 100


Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–150
Gambar 5.52. Penulangan lentur pelat atas box

b. Perhitungan tulangan struktur flens tegak


MU lapangan = 9,31 tm = 93.100.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 400 – 40 – 22/2 = 349 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8

karena  min >  perlu maka digunakan  min


Asperlu =  x b x d = 0,004375 x 1000 x 349 = 1.526,875 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :
Jadi tualgan yang digunakan adalah D22–200
Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–250

Gambar 5.53. Penulangan lentur pelat tegak box

c. Perhitungan tulangan struktur flens bawah


MU lapangan = 20,24 tm = 202.400.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 400 – 40 – 22/2 = 349 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8
karena  min <  perlu <  maks maka digunakan  perlu
Asperlu =  x b x d = 0,00662 x 1000 x 349 = 2.310,38 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :

Jadi tualgan yang digunakan adalah D22 – 150


Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–200

Gambar 5.54. Penulangan lentur pelat bawah box


Gambar 5.55 Detail penulangan box joint 1,2,3,4
Gambar 5.56 Detail penulangan box joint 5,6,7
Gambar 5.57 Detail penulangan box joint 8,9,10
Gambar 5.58 Detail penulangan box joint 11,12
Gambar 5.59 Detail penulangan box joint 13,14
5.7 PERENCANAAN PERHITUNGAN GESER
Desain kekuatan geser dilakukan setelah desain lentur dari
komponen struktur dilengkapi. Prosedurnya perencanaan geser
adalah sebuah analisis untuk menentukan kekuatan geser beto Vc
yang dibandingkan terhadap tegangan geser batas pada
penampang yang diketahui Vu.

Gambar 5.60. Analisa ACI untuk kekuatan geser-distribusi gaya


geser sepanjang bentang

Pengaruh tegangan geser ini ialah untuk menimbulkan


tegangan-tegangan tarik utama pada bidang-bidang diagonal.
Kekuatan beton terhadap geser murni adalah hampir dua kali lipat
dari pada terhadap tarik.
Keruntuhan lokal pertama-tama tampak dalam bentuk retak-
retak akibat tarikan diagonal di bagian-bagian yang tegangan
gesernya tinggi.
Gambar 5.61. Tegangan-tegangan tarik utama pada sebuah batang
prategang

Gambar 5.62. Retak akibat tegangan geser


Perhitungan gaya geser pada beton pratekan berdasarkan SNI
03-2847-2002 pasal 13.4.2) adalah sebagai berikut :
1. Retak geser pada badan didekat tumpuan (Vcw)
Vcw =
Dimana :
Vcw = kuat geser beton yang disumbangkan oleh
beton pada saat terjadinya keretakan diagonal
akibat tegangan tarik utama yang berlebihan
pada penampang
fc’ = Mutu beton prategang = 65 Mpa
fpc = tegangan tekan pada beton (setelah
memperhitungkan semua kehilangan
prategang) pada titik berat penampang yang
menahan beban luar atau pada pertemuan
antara badan dan flens jika titik berat
penampang terletak dalam flens
bw = lebar badan
Vp = tekanan tendon keatas
d = jarak dari CGS ke serat penampang

2. Retak lentur geser miring (Vci)

Vci =

Dimana :
Vci = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh
beton pada saat terjadinya keretakan diagonal
akibat kombinasi momen dan geser
fc’ = Mutu beton prategang = 65 Mpa
bw = lebar badan
d = jarak dari CGS ke serat penampang
Vd = gaya geser pada penampang akibat beban mati
tidak terfaktor
VL = gaya geser pada penampang akibat beban luar
tidak terfaktor
Mcr = Momen yang menyebabkan terjadinya retak
lentur pada penampang akibat beban luar

Perhitungan gaya geser Ultimate dan ketentuan tulangan


sengkang digunakan perumusan sebagai berikut :
 Penulangan geser
Penulangan sengkang diperlukan bila :
Vn =
Dimana :
Vn = beban nominal
Vc = kekuatan nominal
Vn = Vs + Vc
Kekuatan Pikul Sengkang
1. Sengkang tegak lurus

2. Sengkang miring

Dimana :
Av = luas tulangan geser dalam daerah sejarak s atau
luas tulangan geser yang tegak lurus terhadap
tulangan lentur tarik dalam suatu daerah sejarak s
(luas tulangan vertikal = 4 As untuk lebar badan 2
bw)
 = sudut antara sengkang miring dan sumbu
longitudinal dari komponen struktur
Vs = kelebihan gaya geser nominal pada keadaan batas
Vn lebih besar daripada yang dapat dipikul beton
Vc , disini Vc adalah nilai terkecil antara V cw atau
Vci
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam
mendesain tulangan sengkang geser, diantaranya adalah sebagai
berikut :
 fy < 400 Mpa
 Jarak tulangan geser

maka

maka

 Tulangan sengkang minimum dipasang didaerah :


½ Vc < < Vc

Av min = mm

 Kemampuan tulangan geser maximum


Av max = 2/3 ∙

Kontrol tulangan geser dilakukan pada bentang yang terbesar


yaitu pada bentang tengah dengan asumsi bentang ini mengalami
gaya gesekan terbesar karena memiliki bentang terbesar.
Perhitungan Gaya Geser pada bentang tengah didasarkan
pada adanya gaya post tension yaitu Group 1 tendon kantilever
dan Group 3 tendon menerus tengah bentang. Dalam perhitungan
gaya geser nantinya akibat gaya post tension, hasil dari gaya geser
kedua Group post tension yang sesuai dengan letak jackingnya
akan dijumlahkan dan selanjutnya di Superposisikan dengan gaya
geser akibat beban mati dan beban hidup yang ada di bentang
tengah.
5.7.1 Perhitungan gaya geser
Kontrol tulangan geser dilakukan pada bentang yang
terbesar yaitu pada bentang tengah ( 95 m ) karena bentang
ini mengalami gaya gesekan terbesar akibat bentang lebih
besar bila dibandingkan bentang 47,50 m. Perhitungan gaya
geser pada bentang tengah didasarkan pada gaya post tension
tendon kantilever dan tendon menerus tengah bentang
kemudian gaya geser kedua group post tensioning yang sesuai
dengan letak jackingnya masing – masing akan dijumlahkan
dan selanjutnya disuperposisikan dengan gaya geser akibat
beban mati dan beban hidup yang bekerja pada tengah
bentang.
a. Perhitungan gaya geser akibat tendon kantilever
Contoh perhitungan diambil joint 22
F(22) = 27.015.261 N
L(22) = 47,50 m
e(22) = 0,931 m
P(22) =

= 89,213 N/m
Vp(22) = p x L = 89,213 x 28,75
= 2.564.861 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 3.309.938 ) + ( 1,6 x 1.350.588 )
= 6.132.866 N
VU(22) = Vu’ – Vp
= 6.132.866 N –2.564.861 N
= 3.568.005 N

b. Perhitungan gaya geser akibat tendon tengah bentang


Contoh perhitungan diambil joint 22
F(22) = 18.748.558 N
L(22) = 95 m
e(22) = 1,31 m
P(22) =
= 21.775 N/m
Vp(22) = p x L = 21.775 x 26,25
= 408.286 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 660.813 ) + ( 1,6 x 10.688 )
= 810.076 N
VU(22) = Vu’ – Vp
= 810.076 N – 408.286 N
= 401.790 N

c. Perhitungan gaya geser akibat tendon menerus


Contoh perhitungan diambil joint 22
F(28) = 22.988.777 N
L(28) = 95 m
e(28) = 2,72 m
P(28) =
= 55.462 N/m
Vp(28) = p x L = 55.462 x 47,5
= 2.634.460 N
Vp(22) =

= 970.590 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 4.056.750 ) + ( 1,6 x 931.050 )
= 6.357.780 N
VU(25) = Vu’ – Vp
= 6.357.780 N – 970.590 N
= 5.387.190 N
Tabel 5.31 Gaya geser akibat tendon kantilever

Tabel 5.32 Gaya geser akibat tendon tengah bentang


Tabel 5.33 Gaya geser akibat tendon menerus
Perhitungan gaya geser superposisi akibat tendon kantilever,
tendon tengah bentang dan tendon menerus :
VU(22) Spp = VU(22) tendon kantilever + VU(22) tendon tengah
bentang + VU(22) tendon menerus
= 3.568.005 + 401.790 + 5.387.190
= 9.356.985 N

Tabel 5.34 Perhitungan VU Superposisi

1
Dari hasil perhitungan superposisi gaya geser pada kantilever
maupun segmen tengah digunakan untuk perencanaan dan
perhitungan tulangan geser yang diperlukan.
Berikut contoh perhitungan geser sebagai berikut :
5.7.2 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw) pada joint 22
Vu = 9.356.985 N
d = e + yb
= 931,35 + 1.841,57
= 2.772,92 mm
fpc = = 1,937 Mpa

Vcw =
=

= 50.948.423 N

Tabel 5.35 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw)


5.7.3 Perhitungan retak lentur geser miring (Vci) pada joint 22

Vci =

Dimana :
Vd = 8.027.501 N
VL = 2.382.905 N
Mmax = 32.199.609.400 N
F = 16.717.737 N

fpe =

= 3,75

fd =
Mcr =

= 34.605.036.424 Nmm

Vci =

= 5.589.160 + 8.027.501 + 2.560.916


= 16.177.422 N

15.968.583 N
16.177.422 N > 15.968.583 N

Tabel 5.36 Perhitungan retak geser miring (Vci)


5.8 PERHITUNGAN KEKUATAN DAN STABILITAS
5.8.1 Kontrol Momen Retak
Momen retak tercapai ketika box menghasilkan retak-
retak rambut pertama, yaitu pada saat tegangan tarik serat terluar
mencapai modulus keruntuhannya.

Gambar 5.63. Retak rambut akibat melebihi momen retak

Dengan menggunakan analisa elastik balok prategang,


perumusan tegangan pada saat jacking untuk daerah tarik serat
bawah adalah :
Dengan mentraposekan suku-suku pada perumusan diatas,
maka nilai momen retak tahana balok adalah :

Atau
Dimana :
M1 = momen akibat eksentrisitas gaya prategang = F0 ∙ (e + Kt)
M2 = momen tahanan dari beton sendiri = Fr ∙ Wb
F0 = Gaya prategang
e = eksentrisitas gaya prategang
Wb = tahanan serat bawah
Fr = Modulus retak = 0,7 √fc’

Suatu balok dapat dikatakan memenuhi syarat retak jika


momen yang bekerja padanya tidak melampaui momen retak
tahanan balok. Perhitungan Kontrol Momen retak tahanan balok
dilakukan pada saat Pelaksanaan dan pada saat bentang jembatan
sudah tersusun keseluruhan yang dikontrol pada daerah tumpuan
dan lapangan.
1. Kontrol momen retak akibat post tensionong group 1, yaitu
pada saat pelaksanaan/pemasangan segmen kantilever.
F0 = 54.634.276 N
Mu = 187.016.133.000 Nmm
e = 1.876,17 mm
wb = 17.938.575.548 mm3
kt = 1.504,91 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 54.634.276 x (1.876 + 1.504) + (5,64 x 17.938.575.548)
= 285.960.951.779 Nmm
Mcr = 285.960.951.779 Nmm > Mu = 187.016.133.000 Nmm (Ok)
2. Kontrol momen retak pada bentang tengah / pemasangan
segmen tengah.
F0 = 53.087.145 N
Mu = 17.442.589.100 Nmm
e = 1.080,57 mm
wb = 3.192.939.702 mm3
kt = 456,79 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 53.087.145 x (1.080 + 456) + (5,64 x 3.192.939.702)
= 99.636.676.916 Nmm
Mcr = 99.636.676.916 Nmm > Mu = 17.442.589.100 Nmm (Ok)

3. Kontrol momen retak pada saat balok sudah menerus (semua


segmen telah terpasang)
Pada tumpuan di pilar.
F0 = 9.303.799 N
Mu = 49.791.448.700 Nmm
e = 2.721,69 mm
wb = 19.106.233.555 mm3
kt = 1.559,69 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 9.303.799 x (2.721+ 1.559) + (5,64 x 19.106.233.555)
= 147.660.724.625 Nmm
Mcr = 147.660.724.625 Nmm > Mu = 49.791.448.700 Nmm (Ok)

4. Kontrol momen retak pada saat balok sudah menerus (semua


segmen telah terpasang)
Pada tengah bentang
F0 = 22.988.777 N
Mu = 41.376.585.400 Nmm
e = 1.343,07 mm
wb = 3.192.939.702 mm3
kt = 456,79 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 22.988.777 x (1.343 + 456) + (5,64 x 3.192.939.702)
= 59.396.197.394 Nmm
Mcr = 59.396.197.394 Nmm > Mu = 41.376.585.400 Nmm (Ok)

5.8.2 Kontrol Momen Batas


Kondisi keruntuhan batas balok akan terjadi lebih awal
pada tengah bentang pada saat service. Momen batas tahanan box
ini akan merupakan kontrol dimana momen ultimate box tidak
boleh kurang dari Mcr, serta momen tahanan batas φMn tidak
boleh lebih kecil dari momen terfaktor Mu yang bekerja pada box.
Dengan menggunakan kesetimbangan statis aksial dan
momen pada box yang akan dianalisa, maka dapat dicari momen
tahanan batas balok bedasarkan perumusan di bawah ini :
 Kesetimbangan aksial
T = C
Aps ∙ fps = b ∙ a ∙ 0,85 ∙ fc’

a =

 Kesetimbangan statis momen


Mn =

φMn = =
 Indek penulangan

ωp = ≤ 0,3 ,

dimana : ρp =
fps =

fpu = 1860 MPa

Dari perumusan diatas, maka kita menghitung momen


tahanan batas balok sebagai berikut :
1. Momen batas untuk bentang tengah pada lapangan
Momen akibat berat sendiri :
Aps = jumlah strand satu sisi box girder x 2 x 98,71
= 4 x 31 x 2 x 98,71
= 24.480,08 mm2

p = = 0,00204
fps =

= 1.805,71 Mpa
Ttot = Aps x fps
= 24.480,08 x 1.805,71
= 44.203.943 N

Kesetimbangan statis aksial :


C =T

a = = = 160,01 mm

Mn =
= =

= 102.552.831.748 N mm
φMn = 0,9 × 102.552.831.748
= 92.297.548.574 N mm > Mcr = 59.396.197.394 Nmm (ok)
5.8.3 Kontrol Gaya Membelah
Didalam balok beton pratekan, tegangan pratekan dikenal
sebagai beban terpusat yang bekerja pada pada bagian yang relatif
sangat kecil dari keseluruhan tinggi bentang. Dalam daerah
angker dari suatu beton pratekan post tensioning, keadaan
distribusi tegangan rumit serta bersifat tiga dimensi.
Gambar 5.64. Tegangan pada daerah angker
Di dalam kebanyakan pasca tarik ini kawat-kawat pratekan
dipasang di dalam lubang atau saluran kabel, yang dibentuk leleh
dulu di dalam batang kemudian ditegangkan serta diangker pada
permukaan ujung. Sebagai akibatnya, maka gaya-gaya besar yang
terpusat dalam daerah yang relatif sempit tersebut, gaya-gaya
yang tidak tetap ini berubah secara progresif ke distribusi linier
yang tetap, menimbulkan tegangan-tegangan geser dan
transversal. Rumus yang digunakan :

σijin = 0,5 √fc’


σ0 = ,
Dengan menggunakan tabel lyengara, didapat σy max
σy max < σijin , tidak perlu tulangan membelah (menggunakan
tulangan minimum)
σy max > σijin , perlu tulangan membelah

Perhitungan tulangan gaya membelah ini dihitung


berdasarkan group-group tendon, yaitu :
1. Penulangan gaya membelah akibat tendon group 1
(kantilever)
Sebagai contoh dihitung gaya membelah pada joint 4 dimana
dipasang 1 tendon VSL 19Sc.

Gambar 5.65. Penampang Tendon Group 1 pada joint 4


Ftendon kantilever = 4.800.000 N
b = lebar penampang = 400 mm
a1 = tinggi angker = 265 mm
d1 = 2.750 mm
Dari tabel Iyengara diperoleh σy max = koefisien yang
tergantung (a/d) × σ0
a1/d1 = 265 / 2.750 = 0,097 didapat koefisien dari grafik
lyengara = 0,36
σ01 = = 4,3 MPa
σu = 0,5 √fc’ = 4,031 MPa
maka :
σmax = 4,3 × 0,36 = 1,58 Mpa < σu = 0,5 √fc’ = 4,031 MPa
Maka dipakai tulangan membelah minimum
Sehingga :
T =

= = 1.084.363 N
Dari grafik Iyengara didapat bahwa daerah penyebaran gaya
dimulai pada jarak 0,195 × h = 0,195 × 2.750 = 535 mm
Kebutuhan tulangan untuk tiap web
As = = 3.388 mm2
Digunakan tulangan D19
Jumlah tulangan = = 13 buah, dipasang
dengan jarak 100 mm

5.8.4 Kontrol Torsi


Kontrol torsi digunakan untuk menganalisa keandalan box
girder bila menerima beban aksentrisitas. Kehancuran girder
beton akibat torsi jarang disebabkan oleh tulangan geser,
melainkan lebih disebabkan oleh tegangan tarik utama yang
diakibatkan tegangan geser. Di bawah ini diberikan ilustrasi
beban-beban yang menyebabkan torsi.

1. Perhitungan momen penyebab torsi


Gambar 5.66. Skema beban hidup merata yang menyebabkan
torsi

Gambar 5.67. Skema beban hidup garis yang menyebabkan torsi

Dari gambar diatas dapat dijumlahkan momen-momen


yang menyebabkan torsi yaitu momen akibat beban hidup merata
UDL, akibat beban hidup garis dan beban angin T ew sebagai
berikut:

a. Momen akibat beban hidup merata UDL


UDL =

= 5,26 kN/m2
MUDL =

= 1.803,9 kNm

b. Momen akibat beban hidup KEL


KEL = 44 + ( 1 + DLA ) = 44 + ( 1 + 0,3 )
= 57,2 kN
MKEL = KEL x s = 57,2 x 2,5
= 143 kNm

c. Momen akibat beban angin oleh kendaraan setinggi 2m diatas


lantai kendaraan. Ada 2 beban angin yang bekerja pada
sruktur jrmbatan:
 Beban angin tersebut bekerja pada truk setinggi 2m yang
berada diatas jembatan sebesar T ew-2 sepanjang 9m
sehingga menimbulkan momen. Adapun persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:
MTew-2 = PTew-2 x (jarak antara ujung ketinggian truk
terhadap cgc box girder)
dimana:
Vw = kecepatan angin = 30m/dtk
Cw = Koefisien seret tergantung dari harga b/d
(BMS1992 tabel 2.9)
Tew-2 = 0,0012 x Cw x Vw2
B/d = 9.600/6.750 = 1,4 → Cw = 1,74
Tew-2 = 0,0012 x 1,74 x 352 = 2,56 kN/m

PTew-2 = Tew-2 Ltruk = 2,56 9


= 23 KN
MPTew-2 = PTew-2 (2 + Yt) = 23 (2 + 2,872)
= 112 KNm
 Beban angin yang bekerja pada sisi box girder sebesar T ew
akan menimbulkan momen. Adapun persamaan tersebut
adalah sebagai berikut:
M Tew = Tew {cgc- ½ Hbox}
Ab = Luas samping box girder yang terkena
angin = 15,125
Tew = 0.0006 Cw Vw2 Ab
= 0.0006 2.1 302 15,125
= 17,15 KN
MTew = Tew (cgc – ½ Hbox)
= 17,15 (2,872 – ½ 5,75)
= 0,05 kNm

Jadi momen total yang menimbulkan torsi adalah sebagai


berikut:
Tu = 1.6 (MUDL + MKEL) + MTEW + MTEW-2
= 1.6 (1.803,9 + 143) + 0,05 + 112
= 3.227,25 kNm
= 3.227.250.000 Nmm

2. Perhitungan Torsi Ijin


a. Perhitungan konstanta torsi

 Pelat atas

dimana :
x1 = tebal flens atas = 250 mm
y1 = lebar flens atas = 9.600 mm
 Pelat badan

dimana :
x1 = tebal badan = 400 mm
y1 = lebar badan = 5.750 mm

 Pelat bawah

dimana :
x1 = tebal flens bawah = 950 mm
y1 = lebar flens bawah = 4.200 mm

Jadi konstanta torsi :


Σ η ∙ x2 ∙ y = (0,45 x 2502 x 9.600)+(2 x 0,43 x 4002 x 5.750)
+ (0,36 ∙ 9502 ∙ 4.200)
= 270.000.000 + 791.200.000 + 1.364.580.000
= 2.425.780.000
Tcr = =

= 51

b. Torsi ijin
TU ijin = 0,25 ∙ φ ∙ Tcr ∙ Σ η ∙ x2 ∙ y
= 0,25 x 0,85 x 51 x 2.425.780.000
= 26.289.390.750 N mm

TU ijin > TU
26.289.390.750 Nmm > 3.227.250.000 Nmm

Jadi efek torsi diabaikan (tidak memerlukan tulangan torsi)

5.8.5 Kontrol Joint Antar Segmen


Tegangan yang terjadi pada joint antar segmen jembatan
segmental tidak boleh melebihi dari tegangan geser yang diijikan
pada beton yang disyaratkan. Adapun perencanaan joint pada
balok segmental diambil sebagai contoh adalah joint 14 yang
menghubungkan elemen 13 dan 14. data-data penampang dan
perhitungan kontrol joint (tegangan di titik A dan B pada joint 14
yang menerima geser terbesar) adalah sebagai berikut :
Bila ada gaya normal atau momen lentur bekerja dengan
gaya geser, maka sejumlah elemen akan mendapatkan dua macam
tegangan yaitu tegangan normal dan geser. Tegangan dalam
bidang ini sangat penting dalam memperkirakan sifat bahan yang
diberikan.
H = 5,75 m
yt = 2,8717 m
yb = 2,8783 m
A = 12,25 m2
Hbottom = 0,95 m
I = 54,99 m4

H = 20 x 5 + 5 x 2 + 10 x 11 + 32,5 x 8 + 95 = 575 cm
Gambar 5.68. Sketsa joint antar segmen pada joint 14

Luasan beton yang memikul geser Ac sambungan


= bw x d
= 2 x 40 x (20 x 3 + 32,5 x 4)
= 2 x 40 x 190
= 15.200 cm2

Gaya geser yang bekerja pada joint 14 akibat beban luar


= Vu = 1.825 ton

Momen yang bekerja pada joint 14 akibat beban luar


= Mu = 28.802 – 22.858
= 5.944 ton.m = 6.000 ton.m

Mn = Mu / 0,8 = 7.500 ton.m

Gaya yang bekerja pada joint :


Ftendon = 2.160 ton
α= = 10,28°

Gaya yang bekerja pada joint akibat Ftendon :


Fv = F × sin α = 2.160x sin 10,28° = 385 ton
Fh = F × cos α = 2.160 x cos 10,28° = 2.125 ton

Akibat beban luar :


Vu = 1.825 ton
Mn = 7.500 ton m

Tegangan geser dan tegangan normal penampang joint 14 :


V = Vn – Fv = ( 1.825/ 0,6) – 385 = 2.656 ton
τA = = = 175 kg/cm2

Letak titik A dan B terhadap cgs :


ya = letak titik A terhadap cgs = 287,17 – 20 = 267,17 cm
yb = letak titik B terhadap cgs = 287,83 – 95 = 192,83 cm
σijin tarik = 0,5 √fc’ = 0,5 √65 = 4,031 Mpa = 403,1 t/m2
σijin tekan = 0,45 × fc’ = 0,45 × 65 = 29,25 Mpa = 29.250 t/m2
Tegangan di titik A dan B :

σA =

= = -173 + 365
= 192 t/m2 (tarik)

σB =

= = -173 - 263
= -436 t/m2 (tekan)
Tegangan A :
σ13 =

σA1 =
=
= 295 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
σA3 =
=
= -103 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)

Tegangan B :
σ13 =

σB1 =
=
= 62 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
σB3 =
=
= - 498 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)

Maka pakai tulangan praktis pada pertemuan 2 segmen tersebut


sebesar tulangan susut :
Untuk 1 badan selebar bw = 40 cm diperlukan tulangan
As = 0,002 ∙ bw ∙ d
= 0,002 ∙ 40 ∙ 190 = 15,2 cm2

Dipasang 5 buah tulangan, jadi untuk 1 buah tulangan = 15,2 / 5


= 3,04 cm2

Dipakai 3 tulangan D13 untuk lebar bw, maka tulangan terpasang


As tepasang = 3 × (0,25 × 3,14 × d2) = 3 × (0,25 × 3,14 × 1,22)
= 3,39 cm2
Jadi untuk 1 badan (lebar bw = 40 cm) dipakai 5 buah 3 D12.
dipakai panjang penyaluran untuk tulangan praktis pada
sambungan antar segmen adalah 300 mm.

Gambar 5.69. Penulangan sambungan

3D13
5.8.6 Kontrol Lendutan
Lendutan pada komponen jembatan tidak boleh lebih dari
y = , dimana L adalah panjang jembatan yang ditinjau
(B.M.S). Kontrol lendutan dilakukan pada saat transfer dimana
beban luar belum bekerja dan juga pada saat service setelah beban
luar bekerja dan juga pada saat service setelah beban luar bekerja,
lendutan yang terjadi pada struktur jembatan diakibatkan oleh:
 Beban mati
 Beban hidup UDL dan KEL
 Gaya pratekan tendon
Pada saat transfer dimana baru berat sendiri yang bekerja terjadi
lendutan keatas yang disebabkan oleh tekanan tendon keatas pada
waktu penarikan kabel pratekan. Lendutan yang terjadi diimbangi
oleh beban service sehingga menimbulkan lendutan pada balok
dan diharapkan lendutan yang terjadi tidak melebihi lendutan
maksimum yang diijinkan.
1. Lendutan saat transfer
a. Lendutan akibat beban mati

136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
F tendon = 28.735.971 N
=
34,2

= 200,75 mm ()
Total lendutan yang terjadi saat transfer
 = 136,95 mm – 200,75 mm = 63,8 mm ()
2. Lendutan saat service
a. Lendutan akibat beban mati

136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
Setelah gaya pratekan berkurang akibat overstressing,
maka :
F tendon = 0,8 F0 = 0,8 x 28.735.971 = 22.988.777 N
=
27,4

= 160,85 mm ()
c. Lendutan akibat beban hidup

= 23,50 + 3,55= 27,05 mm ()

Total lendutan yang terjadi saat service


 = 136,95 – 160,85 + 27,05 = 3,15 mm ()

Syarat
5.9 DESAIN PERLETAKAN
Perletakan disesain dengan menggunakan perletakan yang
terdiri dari susunan lapisan karet dan diperkuat dengan pelat baja
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rubber bearing pad.
Untuk perencanaan bearing pad pada pilar dihitung sebagai
berikut :

5.9.1 Perencanaan Prestressing Rods


Gaya jacking yang digunakan adalah F jacking.
Δ Momen pelaksanaan = MBS joint 13 – MBS joint 12
= 22.858,41 ton.m – 18.701,61 ton.m
= 4.156,8 ton.m
Jarak antar prestrassing Rods e = 5 m
Fjacking = [4.156,8 / 5] = 831,36 ton
Ftendon = [Fjacking / 0,8] = 1.039,2 ton

Direncanakan prestressing Rods dipakai 4 buah (2 pasang)


Jika momen bekerja kekiri ditahan oleh 2 buah prestressing rods
kanan sedangkan 2 yang lainnya tidak bekerja (berfungsi sebagai
tumpuan) dan sebaliknya.

Jumlah strand = = = 40,4

Maka, pada sgmn pilar dijacking dngn 4 buah angkur VSL 42 Sc.
Gambar 5.70. Potongan Box Girder Tampak Depan
5.9.2 Perencanaan Perletakan pada Pilar
Dalam menetukan dimensi dari elastomer didasarkan
pada beban vertikal dan horizontal yang terjadi pada tumpuan
adalah :
1. Pembebanan Vertikal
V = reaksi beban mati + beban lalu lintas
= 2.466 ton + 420 ton = 2.886 ton
2. Pembebanan horisontal
a. akibat gaya rem dan traksi 28 ton
b. akibat gaya gesek
Gaya gesek pada tumpuan yang ditinjau dari bahan antara
karet dan besi sebesar 0.16 dari beban mati.
FA = 0.16 x 2.886 ton
= 462 ton
Beban Horizontal total = 28 ton + 432 ton = 490 ton
Pada pilar direncanakan memakai 2 bearing pad yang
masing-masing akan menerima gaya vertikal sebesar = 2.886/ 2 =
1.443 ton = 1.443.000 kg dan gaya horizontal = 490 / 2 = 245 ton
= 245.000 kg
Untuk desain dipakai elastomer dengan dimensi 700 mm
× 1400 mm, dengan data-data sebagai berikut
- Lebar elastomer (a) = 700 mm
- Panjang elastomer (b) = 1.400 mm
- Tebal tiap lapisan karet (t) = 12 mm
- Tebal tiap pelat baja (ts) = 3 mm
- Jumlah lapisan karet maksimum (n) = 11 lapisan dipakai
5 lapis
- Rotasi maksimum = 0,9 ∙ 10-3 radian
Adapun susunan dari elastomer tersebut adalaha sebagai berikut :

Gambar 5.71. Susunan elastomer


Susunan elastomer tersebut terdiri dari
- 4 lapisan pelat baja tebal = 3 mm × 4 = 12 mm
- 5 lapisan karet tebal = 12 mm × 5 = 60 mm
Total tebal dari elastomer adalah = 12 + 60 = 72 mm

1. Kontrol Pembebanan
Kontrol pembebanan dilakukan untuk mengetahui apakah
perletakan yang dipilih telah mampu menerima beban yang
dipikulnya
Kontrol tersebut meliputi :
- Kontrol akibat beban vertikal
- Kontrol akibat beban horizontal
- Kontrol akibat rotasi
Kontrol akibat beban vertikal
Gambar 5.72 Pengaruh beban vertikal terhadap elastomer

τN = , dimana : σm = = 147 kg/cm2

Shape factor = β = = = 19,4

Maka : τN = = = 11,4 kg/cm2


Memenuhi syarat : τN ≤ 3G
11,4 ≤ 20,7

Kontrol akibat beban horizontal

Gambar 5.73. Pengaruh beban horizontal terhadap elastomer


Agar perletakan tetap pada kedudukannya, maka beban horizontal
harus dikontrol terhadap beban vertikal, yaitu sebagai berikut :
H≤f∙N
Dimana :
H = gaya horizontal yang mengakibatkan pergerakan
tersebut (dibandingkan antara pengaruh gaya rem,
pengaruh gempa dan pengaruh angin)
σm = tegangan tekan yang terjadi dibawah elastomer
(MPa) = 147 kg/cm2
= 14,7 MPa
N = V = reaksi akibat beban vertikal
f= = = 0,5
maka, H ≤ f ∙ N = 0,5 ∙ 1.443.000
245.000 kg < 721.500 kg (ok)

2. Kontrol terhadap pergeseran


 Syarat untuk slow deformation :
H=
Dimana : G = modulus geser = 6,9 kg/cm2
U = pergeseran maksimum pada permukaan
tumpuan
slow / fast deformation :
τH = > 0,7 G = 4,83 kg/cm2
U = ε ∙ L = 0,0003 × 9.500 cm = 2,85 cm
τH = = 15,2 kg/cm2 > 4,83 kg/cm2
(ok)

Kontrol akibat rotasi

Gambar 5.74. Pengaruh rotasi terhadap elastomer


τα =

dimana : α0 = rotasi pada pelat baja = 0,003 rad


αt = rotasi maksimum pada lapisan karet,
untuk t = 12 mm : 0,0009 rad

maka, τα = = 6,1 kg/cm2

 Kontrol τN + τα ≤ 4,5 G
11,4 + 6,1 ≤ 4,5 ∙ 6,9
17,5 ≤ 31,05 kg/cm2 (ok)
 Kontrol total τN + τH + τα ≤ 5 G <40
11,4+ 15,2 + 6,1 ≤ 5 ∙ 6,9 < 40
32,7 ≤ 34,5 < 40 kg/cm2 (ok)
 Kontrol terhadap tekukan (buckling)
T≤ dan T≥

72 ≤ 72 ≥
72 ≤ 140 mm 72 ≥ 70 mm
Jadi dipakai perletakan elastomer dengan ukuran 1400 mm ×
700 mm × 72 mm.
Gambar 5.75. Potongan box dengan elastomer

Gambar 5.76. Tampak samping box dengan elastomer


BAB VI
METODE PELAKSANAAN

6.1 STURKTUR JEMBATAN


Struktur jembatan jembatan malo - kalitidu Bojonegoro
ini tersusun dari single box girder dengan lebar 9,6 meter.
Sedangkan tinggi box girder bervariasi dengan ketinggian
maksimum 5,75 meter di dekat pilar dan ketinggian minimum 2,4
meter didekat abutment. Bentang total jembatan sepanjang 190 m
dibagi menjadi 3 bentang yaitu 47,5 m + 95 m + 47,5 m, ditopang
oleh dua pilar dan dua abutment. Profil box girder yang
direncanakan adalah sebagai berikut :
 Untuk tiap sisi bentang kantilever dengan ketinggian antara
2.40 m sampai dengan 5.75 m, profil box yang digunakan
adalah dengan panjang 3,75 m sebanyak 46 buah, panjang
2.75 m sebanyak 2 buah dan panjang 2,50 m sebanyak 4 buah
 Pada bagian diatas pilar, profil box yang digunakan adalah
setinggi 5.75 m 2 buah.
 Untuk segmen penutup pada tengah bentang digunakan profil
box dengan ketinggian 2.40 m dan panjang 2.00 m sebanyak
1 buah cor ditempat
 Jumlah total box yang digunakan untuk kontruksi jembatan
ini adalah 52 buah.

6.2 PRINSIP TAHAP KONSTRUKSI


Sistem pelaksanaan yang akan diterapkan pada jembatan ini
menggunakan alat Lunching Gantry dengan prinsip Balanced
Cantilever secara segmental. Dimana dengan sistem ini tiap
segmen balok akan diangkat dan dipasang secara bertahap sampai
tercapai bentang jembatan keseluruhan. Pelaksanaan ini akan
dimulai dari pilar yang berada ditengah secara betahap, dengan
memakai sistem balance cantilever (dengan menjaga
keseimbangan statika). Pemasangan pilar di tengah menggunakan
crane. Yang perlu diperhatikan adalah stabilitas struktur akibat
diterapkan sistem ini. Karena dimensi pilar yang terbatas untuk
bisa menahan momen lentur yang dihasilkan oleh konstruksi
kantilever, maka pada sistem ini di pilarnya (tumpuan) akan
dipasang penyambung sementara (temporrary connection) yang
berupa prestressing rods yang distressing secara vertikal antara
deck dengan pilar, dimana diantara deck dengan pilar diletakkan
spacer blok untuk menahan tumbukan. Sedangkan sistem
penarikan tendon (jacking) juga dilakukan sesuai dengan sistem
kantilever. Yaitu dengan melakukan stressing berturut-turut.
Kemudian diikuti stressing untuk tendon penyambung segmen
tepi dan stressing untuk tendon penyambung segmen tengah.
Pada dasarnya alat launching gantry terdiri dari :
1. Truss pokok yang bagian bawahnya terdapat tali yang bekerja
untuk mengankut segmen dan diatas tali terdapat rolling track
(rel penggelincin) yang berfungsi selain mengangkut segmen
juga dapat digunakan untuk menggeser kaki frame
penyangga.
2. Frame yang mempunyai dua kaki sebagai penyangga truss
pokok. Pada penyangga dapat diubah/digeser berdasarkan
panjang yang diinginkan dengan bawahnya terdapat rel unutk
berjalan.
3. Trolly yang dapat mengangkut segmen sepanjang girder dan
dapat bergerak bebas baik longitudinal, trasversal dan vertikal
4. Temporary support frame, berfungsi juga sebagai kaki
penyangga untuk kondisi penempatan kaki tengah launching
gantry berada di ujung kantilever (saat launching gantry akan
digerakkan menuju pilar kedua)

Adapun keuntungan memakai alat launching gantry adalah :


1. Gantry memberi kestabilan pada konstruksi saat beban
kantilever tidak simetris
2. Waktu konstruksi bisa dipercepat dengan memakai 2 trolly
penempatan
Alat yang digunaakan adalah jenis launching gantry dengan
beban merata dalam pelaksanaan = 0,285 t/m’.
Urutan pelaksanaan pemasangan box girder jembatan
balanced cantilever dengan menggunakan launching gantry :
1. Dimulai dengan menempatkan kaki tengah launching gantry
di atas abutment pertama dan kaki depan berada pada corbel
sementara yang berada di pilar pertama. Trolly pembawa
segmen dipakai sebagai ayunan. (alat siap dipindahkan ke
pilar pertama)
2. Alat launching, sampai kaki tengah launching gantry berada
di atas pilar pertama dan kaki belakang berada di abutment
pertama (sesuai dengan panajng truss). Launching gantry
dengan bantuan tower akan membantu penempatan segmen
pilar (segmen 13/14) di atas pilar pertama. Kemudian
penempatan segmen kantilever dilakukan dengan
menggerakkan segmen 14 sepanjang bentang dari abutment
pertama dan dipasang disebelah kanan segmen 13/14 (segmen
yang berada di atas pilar pertama), kemudian segmen 12
dipasang disebelah kiri segmen 13/14 dari kanan dan kiri
dijacking secara bersamaan. Setelah itu segmen 15
ditempatkan disebelah kanan segmen 14 dan seterusnya
sampai mencapai bagian akhir dari kantilever. Terakhir untuk
bentang pertama ini dipasang segmen tepi (segmen 1) yang
berada di kanan abutment pertama. Kemudian dilakukan
stressing untuk segmen tepi.
3. Kemudian launching gantry berpindah (bergerak) dengan
memakai rel penggerak di sepanjang deck yang telah selesai
menuju pilar kedua sehingga kaki tengah mencapai akhir
kantilever, kaki depan berada pada corbel sementara yang
terletak di pilar kedua.
4. Translasi launching gantry menuju pilar kedua sampai kaki
tengah di pilar berikutnya dan kaki belakang berada di
kantilever sebelumnya. Sedangkan kaki depan berada di atas
abutment kedua. Kemudian diadakan pemasangan segmen
35/36 di atas pilar kedua. Setelah itu diadakan pemasangan
segmen kantilever sampai selesai seperti cara yang telah
disebutkan. Kemudian dilakukan pengecoran setempat untuk
segmen tengah (segmen 24) kemudian distressing.

6.3 PRINSIP TAHAP STRESSING TENDON


Stressing tendon menggunakan internal prestressing
dilakukan dengan tiga tahap utama, yaitu :
 Tahap 1
Pada tahap ini pemasangan tendon dilakukan tiap
pemasangan segmen box girder selesai dilakukan.
Pemasangan diawali dari atas tiap pilar kemudian
berjalan ke samping kiri dan kanannya secara konstan
dan seimbang. Tendon ini disebut sebagai tendon
kantilever (tendon post tensioning group 1).
 Tahap 2
Pada tahap ini pemasangan tendon dilakukan setelah
segmen tengah / closer selesai dicor di tempat (cast in
place), kemudian distressing. Tendon ini disebut sebagai
tendon tengah (tendon post tensioning group 2).
 Tahap 3
Pada tahap ini pemasangan tendon dilakukan setelah
seluruh segmen terpasang sehingga menjadi balok
menerus dan setelah beban luar bekerja. Tendon ini
disebut sebagai tendon menerus (tendon post tensioning
group 3).

6.4 TAHAP PELAKSANAAN POST TENSIONING


GIRDER
6.4.1 Pemasangan selubung kabel
 Mula-mula tulangan penyangga (suport rebar) diikat
dengan kawat/dipasang pada tulangan sengkang
dengan ketinggian menurut profil kabel pada gambar
kerja (shop drawing). Jarak antara tulangan
penyangga dibuat maksimum 1 meter
 Setelah pemasangan tulangan penyangga selesai
dikerjakan dan diperiksa, selubung kabel (duct)
dipasang diatas tulangan penyangga tersebut dan
diikat dengan kawat pengikat pada tulangan
penyangga tersebut.
 Pada sambungan antara selubung kabel (duct)
digunakan coupler (yaitu selubung kabel dengan
diameter lebih besar) dan dilengkapi dengan pita
perekat untuk menghindari masuknya air atau adukan
beton ke dalam duct. Demikian juga digunakan pita
perekat pada sambangan antara selubung kabel (duct)
dengan terompet anggkur (anchorage guide).
6.4.2 Pemasangan kabel prategang
 Strand akan dimasukan kedalam duct secara manual
6.4.3 Penarikan kabel
 Stressing baru dilaksanakan apabila mutu beton
mencapai kuat tekan 65 MPa.
 Stressing (penarikan) dilakukan sesuai dengan
perhitungan
 Untuk mengontrol tegangan dan perpanjangan kabel
dilakukan pencatatan pada setiap kenaikan tegangan
1000 – 2000 psi dan hasilnya dibandingkan dengan
perhitungan teoritis yang dilakukan sebelum
penarikan. Perbedaan yang dapat diterima adalah ± 5
persen

6.5 PEKERJAAN GROUTING


 Setelah hasil stressing mendapat perstujuan dari pihak
konsultan maka pekerjaan grouting baru dapat
dilaksanakan
 Awal dari pekerjaan groting adalah pemotongan kabel
baja prategang (strand) yang berada pada angkur. Strand
dipotong minimum 2 cm dari tepi terluar baji (jaws)
 Jika pemotongan telah selesai dilaksanakan maka angkur
ditutup dengan adukan semen dan pasir (patching) untuk
mencegah keluarnya bahan grouting dari sela-sela strand
atau baji
 24 jam setelah pekerjaan patching maka pekerjaan
gruoting dapat dilaksanakan
 Sebelum pekerjaan grouting dilaksanakan duct yang
berisi strand dibersihkan dengan mengalirkan air bersih
kedalamnya kemudian dengan menggunakan kompresor
yang disediakan oleh kontraktor duct tersebut
dikeringkan.
 Adukan gruoting terdiri dari perbandingan campuran
semen 1 zak (50 kg), air bersih 22 liter (w/c : 0.45) dan
grout admixture sebanyak 227 gram
 Pada pelaksanaan pekerjaan grouting, semen, air dan
additive diaduk dengan menggunakan electrical mixer
sebelum dipompokan kedalam duct dengan electrical
grouting pump. Bahan grouting dipompakan dengan
tekanan sekitar 0.5 N/mm 2 dan setelah keluar pada grout
vent dan grout inlet maka grout outlet dan grout inlet
ditutup dan pekerjaan grouting selesai.

6.6 TAHAP STRESSING CONTINUITY TENDON


6.6.1 Segmen closure
Pekerjaan segmen closure adalah pekerjaan pengecoran
segmen penutup atau penyambung untuk
menghubungkan kantilever-kantilever girder yang berdiri
sendiri-sendiri pada saat pembangunannya karena
dibangun menggunakan metode balance kantilever.
6.6.2 Metode stressing continuity tendon
Pekerjaan continuity adalah pekerjaan penarikan /
stressing tendon longitudinal pada bottom box girder.
Pekerjaan ini dilaksanakan setelah seluruh segmen girder
tersambung dan seluruh tendon pada top slab telah selesai
di stressing
Stressing continuity tendon clusure side span dilakukan
secara simultan dengan sebagian continuity tendon
closure mid span dengan tujuan meminimalisasi
kemungkinan retak-retak (crack) tendon closure yang
belum distressing bila tak dilakukan secara simultan.
Adapun metode pelaksanaannya adalah sebagai berikut
 Instalasi strand untuk continuity tendon yang telah
bisa di instalasi.
 Stressing secara simultan tendon side span dan
tendon mid span
 Bila pekerjaan stressing selesai dilanjutkan dengan
pekerjaan potong strand, patching dan grouting.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB VII
PENUTUP

7.1 KESIMPULAN
1. Metode pelaksanaan konstruksi dilapangan sangat berperan
dalam hal ini untuk perhitungan analisa beban yang terjadi,
penggunaan metode pelaksanaan dengan alat Launching
Gantry dengan berat ± 130 ton cukup berpengaruh pada
analisa tegangan yang terjadi. Penggunaan launching gantry
cukup menguntungkan karena dipakai dua buah launching
pada masing-masing lantai kendaraan sehingga akan
mempercepat pelaksanaan dilapangan.
2. Tegangan yang terjadi dikontrol sesuai urutan erection yaitu
kontrol tegangan akibat tendon kantilever, akibat tendon
tengah yang semuanya sesuai dengan syarat tegangan saat
transfer yaitu ft  39 MPa dan fb > -2,016 MPa, kemudian
dilakukan kontrol tegangan akibat beban mati tambahan,
beban lalu lintas dan akibat pengaruh waktu yaitu redistribusi
berat sendiri akibat creep, momen post tension akibat creep,
akibat kehilangan pratekan, kemudian kontrol tegangan akhir
yang semuanya sesuai dengan syarat tegangan saat service
yaitu ft < 29,25 MPa dan fb > - 4,031 MPa.
3. Perhitungan kekuatan dan stabilitas yaitu kontrol momen
retak, kontrol momen batas telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, kontrol gaya membelah pada desain ini tidak
diperlukan tulangan membelah, dan untuk kontrol torsi juga
tidak diperlukan tulangan torsi.
4. Lendutan yang terjadi dikontrol sesuai dengan urutan
pelaksanaan, yaitu akibat beban mati, beban sekunder, beban
hidup, gaya pratekan tendon, kesemuanya disuperposisi
sampai kontrol tegangan akhir dengan menghasilkan lendutan
maksimum.
5. Perhitungan geser didasarkan pada retak geser badan (Vcw)
dan retak lentur geser miring (Vci). Hasil perhitungan geser
antara Vcw dan Vci dibandingkan mana yang berpengaruh dan
digunakan untuk penentuan tulangan geser.
6. Perencanaan perletakan dilakukan dengan menghasilkan
bearing pad ukuran 700 mm × 14000 mm x 72 mm

7.2 SARAN
Untuk lebih mendapatkan analisa yang lebih tepat dan teliti hal
yang perlu dilakukan adalah :
1. Penentuan alat pelaksanaan yang digunakan dalam metode
perencanaan dalam hal ini alat launching gantry sebaiknya
dihitung berat dari alat secara pasti.
2. Kontrol tegangan dengan analisa yang didapatkan harus
dilakukan dengan perhitungan yang sesuai dengan kenyataan
dalam perhitungan.
3. Lendutan yang terjadi sebaiknya dikontrol juga terhadap
pengaruh waktu.
4. Perhitungan geser sebaiknya dilakukan dengan retak badan
dan retak lentur miring dengan sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ir. Winarni Hadi Pratomo, Struktur Beton Prategang (teori dan


prinsip desain)

Lin Ned, TY and Burn, NH, “Desain Struktur Beton Pratekan” ,


Jilid 1 dan Jilid 2, edisi ketiga, Erlangga, Jakarta

Nawy, Edward G. 1996. Prestressed Concrete, A Fundamental


Approach, New Jersey. Prentice-Hall Inc.

Chu Kia Wang and Charles G Salmon, “Desain Beton Bertulang”,


Edisi Keempat, Erlangga, Jakarta 1993

Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum,


“Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge
Management System 1992)

Standar Nasional Indonesia, “Tata Cara Perhitungan Struktur


Beton Untuk Bangunan Gedung”, SNI 03 – 2847 – 2002

Podolny JR, Walter and Muller, Jean M, “Construction and


Design of Prestressed Concrete Segmental
Bridges” ,Paris - France 1982
Halaman ini sengaja dikosongkan
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Surabaya


pada tanggal 26 Desember 1984,
merupakan anak keempat dari 4
bersaudara. Dengan nama lengkap
Dedy Kurniawan dan entah dari
mana kawan-kawan memberi
julukan ”mbot” dan ”becak” pada
semasa SMA dan memberi nama
”nyambek” semasa kursus bahasa
inggris dan ”cumi” semasa duduk
di bangku kuliah Penulis telah
menempuh pendidikan formal
yaitu SD Siwalankerto IV
Surabaya, SMP Negeri 13
Surabaya dan SMUN 16 Surabaya. Setelah lulus dari SMUN
tahun 2003, Penulis mengikuti SPMB 2003 dan diterima di
Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya yang terdaftar dengan
NRP 3103.100.091.
Di Jurusan Teknik Sipil ini Penulis mengambil Bidang Studi
Struktur. Penulis sempat aktif sebagai Wakil Ketua 2 Himpunan
Mahasiswa Teknik Sipil Periode 2005-2006, pernah mengikuti
dan mengadakan beberapa kegiatan seminar serta pelatihan yang
diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Sipil

Anda mungkin juga menyukai