DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 091
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA
DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 091
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA
DEDY KURNIAWAN
NRP 3103 100 081
Lecturer :
Prof. Dr. Ir. IGP RAKA, DEA
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Pada
Bidang Studi Struktur
Program Studi S-1 Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
Oleh :
Dedy Kurniawan 3103.100.091
SURABAYA
Februari 2008
1
PERENCANAAN ULANG JEMBATAN MALO-KALITIDU
DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN
MENGGUNAKAN BOX GIRDER PRESTRESSED
SEGMENTAL
Abstrak
Abstrak
Dedy Kurniawan
3103.100.091
Halaman ini sengaja dikosongkan
UCAPAN TERIMA KASIH
Dedy Kurniawan
3103.100.091
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI
Abstrak
Daftar Isi .................................................................................. i
Daftar Tabel ............................................................................. v
Daftar Gambar.......................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN................................................ 1
1.1 Latar Balakang............................................... 1
1.2 Perumusan masalah........................................ 3
1.3 Batasan masalah............................................. 3
1.4 Tujuan............................................................. 4
1.5 Metodologi 4
9
BAB II DASAR TEORI ................................................... 9
2.1 Umum ............................................................ 9
2.2 Sifat dan karakteristik baja ............................ 11
2.3 Filosofi desain ............................................... 12
2.4 Pembebanan pada struktur utama jembatan .. 14
2.4.1 Aksi dan beban tetap .......................... 16
2.4.2 Beban lalu lintas ................................. 18
2.4.3 Aksi lingkungan ................................. 23
2.4.4 Aksi-aksi lainnya ................................ 25
2.5 Kombinasi beban ........................................... 25
2.6 Penentuan type jembatan ............................... 28
2.7 Desain dimensi box girder ............................. 29
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1.4 TUJUAN
Maksud penulisan tugas akhir ini adalah sebagai syarat untuk
menyelesaikan program studi di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya.
Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai
berikut:
1. Merencanakan (mendesign) Box Girder Prestressed untuk
struktur jembatan Malo-Kalitidu
2. Menentukan jenis pembebanan yang digunakan untuk
struktur jembatan Malo-Kalitidu
3. Menganalisa perhitungan kekuatan propil untuk menahan
gaya-gaya yang bekerja.
4. Mengontrol desain propil terhadap kekuatan dan kestabilan
struktur.
5. Menganalisa kehilangan gaya Prategang yang terjadi
6. Mengetahui Metode Pelaksanaan dari Box Girder Prestressed
Precast
7. Menuangkan hasil desain dan analisa ke dalam bentuk
gambar teknik.
1.5 METODOLOGI
Sebelum mendesain jembatan terlebih dahulu harus
dipertimbangkan beberapa permasalahan yang meliputi langkah-
langkah perencanaan, pembebanan dan hasil perhitungan.
Metodologi yang dipakai dalam penyusunan tugas akhir ini
adalah:
1. Studi dan pencarian data-data yang diperlukan untuk
perencanaan
Denah dan gambar jembatan
Profil Sungai
2. Studi kepustakaan
Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan (Bridge
Management System), Dirjen Bina Marga, 1992.
Peraturan Pembebanan Jembatan Jalan Raya, Dirjen Bina
Marga, 1986.
Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan
dan Gedung, SNI-03-2847-2002
Desain Struktur Beton Pratekan, T.Y. Lin Ned-H. Burns.
Data-data lain.
3. Penentuan rencana desain (Preliminari Desain)
Penentuan tinggi penampang type Box Girder
Penentuan lebar melintang type Box Girder
Penentuan efisien penampang type Box Girder
Penentuan panjang segmen type Box Girder
Penentuan layout kabel tendon dan jumlah kabel
prestressing
Penentuan unsur sekunder balok type Box Girder (pagar
+ trotoar)
4. Pembebanan pada struktur utama jembatan
Pembebanan yang diterapkan mengacu kepada muatan atau
aksi lain (beban perpindahan dan pengaruh lainnya) yang
timbul pada suatu jembatan berdasarkan peraturan yang ada
dalam Bridge Management System (BMS, 1992).
5. Perhitungan dan analisa struktur jembatan
Analisa tegangan terhadap berat sendiri kantilever beban
mati tambahan, beban hidup dan adanya creep
Perhitungan besarnya gaya jacking awal dan tegangan
awal tiap bagian pelaksanaan
Perencanaan balok type box girder
Pemodelan struktur dan analisa hasil struktur dilakukan
dengan program bantu SAP 2000
Perhitungan kehilangan gaya prategang yang meliputi
kehilangan gaya pratekan langsung dan akibat fungsi
waktu, perhitungan total kehilangan gaya pratekan dan
analisa tegangan akibat kehilangan pratekan.
Kontrol analisa tegangan akhir dengan batasan gaya
membelah, kontrol retak, kontrl torsi dan kontrol geser
Perencanaan perletakan
6. Penyusunan tugas akhir
7. Gambar teknik hasil perencanaan
Gambar 1.1 potongan memanjang jembatan
2.1. Umum
Prinsip dasar sistem prategang mungkin telah dipakai pada
kontruksi berabad-abad yang lalu dimana pada waktu tali atau
pita logam diikatkan mengelilingi papan kayu yang melengkung
yang membentuk sebuah tong. Pada waktu pita dikencangkan
pelat akan tertarik yang kemudian akan menekan kayu-kayu ke
dalam sehingga mampu menahan tarikan akibat tekananm cairan
dari dalam. Dengan perkataan lain pita dan kayu dalam keadaan
tertegang sebelum dibebani. Akan tetapi prinsip yang sama
tersebut tidak dipakai sampai tahun 1888 ketika C.E.W. Doehring
dari Jerman secara perorangan mendapatkan hak paten untuk
beton yang diperkuat dengan logam yang telah ditarik sebelum
dibebani. Pemakaian ini berdasarkan konsep bahwa beton lemah
terhadap tarik dan kuat terhadap tekan, dan dengan menarik baja
serta menahannya ke beton akan membuat beton tertekan yang
kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengimbangi tegangan tarik
yang dihasilkan oleh beban mati ataupun beban hidup namun
metode ini tidak berhasil dengan sukses karena gaya tarik
prategang yang rendah didalam baja, kemudian hilang akibat
susut dan rangkak pada beton
E.Freyssinet, seorang Perancis yang berjasa dalam
perkembangan beton prategang modern, di tahun 1928 mulai
menggunakan baja mutu tinggi sebagai kabel parategang.
Walaupun Freyssinet juga mencoba metode pra tarik dimana baja
direkatkan ke beton tanpa pengangkuran ujung, pemakian praktis
ini pertama kali dikerjakan oleh E.Hoyer dari Jerman. Sistem E.
Hoyer terdiri dari penarikan kabel antara dua buah dinding
penahan yang terpisah beberapa ratus kaki, peletakan pungunci
antara unit-unit, kemudian penuangan beton dan pemotongan
kabel tersebut setelah beton mengeras. Pada tahun 1940, Profesor
G.Magnel dari Belgia mengembangkan sistem Magnel, dimana
dua buah kabel ditarik pada saat yang bersamaan dan diangkurkan
dengan memakai pasak baja yang sederhana pada ujung-
ujungnya. Pada saat itu beton prategang mulai menjadi penting.
Sejak tahun 1960-an dan tahun 1970-an di seluruh dunia sebagian
besar jembatan dengan bentang menengah dari 30m – 90m dan
banyak jembatan bentang besar sampai 305m dibangun dengan
beton prategang. Tujuan desain struktur prategang pada dasarnya
adalah membuat struktur yang aman agar terpenuhi fungsi
bangunan tersebut. Di sini tampak sederhana jika yang digunakan
sebagai patokan hanya aman dan berfungsi sesuai dengan yang
diharapkan, tetapi akan menjadi komplek apabila kata aman dan
memenuhi fungsinya ini dijabarkan lebih lanjut. Aman
merupakan masalah derajad, seberapa amankah bangunan yang
akan dibangun, dan setiap desain pasti mengandung kemungkinan
gagal. Jadi desain yang baik harus dapat memperhitungkan
seberapa besar kegagalan yang dapat ditoleransi dan bagaimana
penerapannya di lapangan. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
suatu desain struktur yang baik harus dapat memenuhi dan
mengembangkan antara syarat fungsi, aman (safety), kemampuan
layan (serviceability), dan ekonomis.
Desain struktur dapat didefinisikan sebagai campuran dari seni
dan ilmu pengetahuan yang digabung dengan pengalaman intuitif
perekayasa mengenai perilaku struktur dengan pengetahuan yang
mendalam tentang pirnsip-prinsip statika, dinamika, mekanika
bahan, dan analisa struktur untuk menghasilkan suatu struktuur
yang aman dan ekonomis sesuai dengan fungsi yang diharapkan.
Desain merupakan suatu proses untuk mendapatkan penyelesaian
optimum, dengan prioritas utama adalah keamanan. Desain
bertujuan untuk menghasilkan suatu struktur yang stabil, kuat,
mampu-layan, awet, dan memenuhi kriteria ekonomis, dan
kemudahan pelaksanaan. Suatu struktur disebut stabil bila ia tidak
mudah terguling, miring, atau bergeser, selama umur bangunan
yang direncanakan Suatu struktur disebut cukup kuat dan mampu-
layan bila kemungkinan terjadinya kegagalan struktur dan
kehilangan kemampu layan selama masa hidup yang
direncanakan adalah kecil dan dalam batas yang dapat diterima.
Suatu struktur disebut awet bila struktur tersebut dapat menerima
keausan dan kerusakan yang diharapkan terjadi selama umur
bangunan yang direncanakan tanpa pemeliharaan yang
berlebihan. Kriteria umum untuk struktur dikatakan ekonomis
jika :
Biaya minimum
Berat konstruksi minimum
Waktu pelaksanaan konstruksi minimum
Kebutuhan tenaga kerja minimum
Biaya produksi minimum
Efisiensi minimum dalam pelaksanaannya
Kriteria – kriteria tersebut saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, sehingga di dalam perencanaan harus dibandingkan satu
dengan yang lainnya agar tercapai hasil yang optimum tanpa
merubah nilai fungsi dan kemampuan layanannya.
Beban mati tambahan PMA Tetap 1.0 / 1.3 2.0 / 1.4 0.7 / 0.8
Susut dan rangkak PSR Tetap 1.0 1.0 N/A
Prategang PPR Tetap 1.0 1.0 N/A
Tekanan tanah PTA Tetap 1.0 ( 3 ) (3)
Beban tetap pelaksanaan PPL Tetap 1.0 1.25 N/A
Beban lajur "D" TTD Transient 1.0 2.0 N/A
Beban truk "T" TTT Transient 1.0 2.0 N/A
Gaya rem TTS Transient 1.0 2.0 N/A
Gaya sentrifugal TTR Transient 1.0 2.0 N/A
Beban trotoar TTP Transient 1.0 2.0 N/A
Beban-beban tumbukan TTC Transient ( 3 ) ( 3 ) N/A
Penurunan PES Tetap 1.0 N/A N/A
Temperatur TET Transient 1.0 1.2 0.8
Aliran/benda hanyut TEF Transient 1.0 ( 3 ) N/A
Hidro/daya apung TEU Transient 1.0 1.0 1.0
Angin TEW Transient 1.0 1.2 N/A
Gempa TEQ Transient N/A 1.0 N/A
Gesekan TGF Transient 1.0 1.3 0.8
Getaran TVI Transient 1.0 N/A N/A
Pelaksanaan TCL Transient ( 3 ) ( 3 ) N/A
Aspal : 2200 kg/m3
b. Pengaruh Penyusutan dan Rangkak
Pengaruh rangkak dan penyusutan harus diperhitungkan
dalam perencanaan jembatan-jembatan beton. Pengaruh ini
harus dihitung dengan menggunakan beban mati dari
jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi
pengaruh muatan lainnya maka harga dari rangkak dan
penyusutan tersebut harus diambil minimum (misalnya pada
waktu transfer dan beton prategang)
c. Pengaruh Prategang
Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada
komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis
tidak tertentu. Pengaruh sekunder tersebut harus
diperhitungkan baik pada batas daya layan maupun batas
ultimate. Prategang harus diperhitungkan sebelum (selama
pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam
kombinasi dengan beban-beban lainnya. Pengaruh utama dari
prategang harus diperhitungkan sebagai berikut:
Pada keadaan batas daya layan,
gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu
sistem beban pada unsur nailai rencana dari prategang
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan faktor
beban daya layan sebesar 1
Pada keadaan batas ultimate, pengaruh utama dari
prategang tidak dianggap sebagai beban yang bekerja,
melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan
unsur sesuai dengan bagian 6
d. Pengaruh tetap pelaksanaan
Pengaruh tetap pelaksanaan adalah disebabkan oleh metode
pelaksanaan jembatan, biasanya mempunyai kaitan dengan
aksi aksi lainnya seperti pra penegangan dan berat sendiri dan
dalam hal ini pengaruh tetap harus dikombinasikan dengan
aksi-aksi tersebut dengan faktor beban yang lain. Bila
pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan reaksi
aksi lainnya maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan
dalam batas layan dan batas ultimate dengan menggunakan
faktor beban yang tercantum dalam pasal ini.
2.4.2. Beban Lalu Lintas
a. Beban kendaraan rencana
Aksi kendaraan mempunyai tiga komponen:
Komponen vertikal
Komponen rem
Komponen sentrifugal (untuk jembatan
melengkung)
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan jalan raya
terdiri dari beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur
“D” ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalan
kendaraan dan menghasilkan pengaruh pada jembatan yang
ekivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang
sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri Pembebanan
truk “T” adalah kendaraan berat tunggal dengan tiga gandar
yang ditempatkan dalam kedudukan sembarang pada lajur
lalu lintas rencana. Tiap gandar terdiri dari dua pembebanan
bidang kontak yang dimaksudkan agar mewakili pengaruh
roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” yang boleh
ditempatkan per lajur lalu lintas rencana. Umumnya
pembebanan “D” akan menentukan untuk bentang sedang
sampai panjang dan pembebanan “T” akan menentukan untuk
beban pendek dan sistem lantai.
b. Beban lajur “D”
Beban lajur “D” terdiri dari beban tersebar merata (UDL)
yang digabung dengan beban garis (KEL)
Beban terbagi rata (UDL) dengan intensitas q
Kpa dengan q tergantung pada panjang yang
dibebanitotal (L) sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 8 KPa
L ≥ 30 m ; q = 8 (0.5 + ) kPa
Beban garis (KEL) sebesar P kN/m ditempatkan
dalam kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan
tegak lurus pada arah lalu lintas (P = 44 kN/m). Pada
bentang menerus, KEL ditempatkan dalam kedudukan
lateral sama yaitu tegak lurus arah lalu lintas pada dua
bentang agar momen lentur negatif menjadi maksimum.
Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Ab = Luas koef bagian samping jembatan (m2)
Tabel 2.3 Kecepatan angin rencana (Vw)
Keadaan Lokasi
batas Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimate 35 m/s 30 m/s
dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total (b) jembatan
dengan tinggi bangunan atas (d) termasuk tinggi
bagian sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Catatan:
(X) dalam keadaan batas daya layan pada bagian tabel ini
tanda (X) untuk kombinasi tertentu adalah memasukan faktor
beban daya layan penuh, dalam keadaan batas ultimate tanda (X)
untuk kombinasi tertentu adalah memasukan faktor beban
ultimate penuh
(O) dalam keadaan batas daya layan pada bagian tabel ini
tanda (O) adalah dengan memasukan faktor beban daya layan
yang sudah diturunkan harganya. Dalam keadaan batas ultimate
tanda (O) adalah dengan memasukan faktor beban ultimate yang
sudah diturunkan besarnya.
BAB IV
PERENCANAAN STRUKTUR SEKUNDER
Rn =
m=
= 0,065
= 0,75 x 0,065 =0,049
4.2.Perhitungan Trotoar
Trotoar direncanakan dengan lebar 80 cm dan tebal 25
cm dan ditempatkan di atas lantai kendaraan pada gelagar tepi
yang dibatasi dengan balok beton bertulang pada kedua
tepinya dan diisi pasir padat di tengahnya serta dilapisi tegel
di atasnya. Sehingga sifatnya hanya membebani
gelagar/balok utama.
Gambar 4.2 Trotoar
Luas areal yang dibebani pejalan kaki
A=
= 0.8 190 = 152 m2 (A ≥ 100 m2)
= 0,065
= 0,75 x 0,065 =0,049
BAB V
PERENCANAAN STRUKTUR ATAS
yt = 159,34 cm
yb = 195,66 cm
= 0,544
Wt = 9.791.516,59 cm3
Wb = 7.974.317,29 cm3
Kt = 86,68 cm
Kb = 106,43 cm
Tabel 5.2 dimensi penampang box girder
Dimana :
b = lebar pias
h = tinggi pias
A = luas pias = b × h
y = jarak titik berat pias ke serat atas
i = Sehingga : =
Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Dimana
ES = kehilangan gaya prategang akibat perpendekan
elastis beton.
Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca-tarik dan 1,0
untuk komponen struktur pratarik
Es = modulus elastisitas baja prategang.
Eci = modulus elastisitas beton pada saat pengangkuran
(initial).
fcir = tegangan beton pada garis berat baja (cgs) akibat
gaya prategang yang efektif segera setelah gaya
prategang telah dikerjakan pada beton.
= 2 x 0 x xX
X =
d. Rangkak beton ( CR )
Banyak yang mempengaruhi rangkak yaitu perbandingan
volume terhadap permukaan, umur beton pada saat
prategang, kelembaban relatif dan jenis beton. Balok
memberikan respon yang elastik terhadap gaya prategang
pada saat peralihan, tetapi rangkak pada beton akan
terjadi untuk jangka waktu yang lama akibat beban yang
terus menerus bekerja. Rangkak dianggap terjadi dengan
beban mati permanen yang ditambahkan pada komponen
struktur setelah beton diberi gaya prategang. Bagian
regangan tekan awal disebabkan pada beton segera
setelah peralihan gaya prategang dikurangi oleh regangan
tarik yang dihasilkan dari beban mati permanen.
Kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk
komponen struktur dengan tendon terekat dapat
dirumuskan sebagai berikut :
CR =
Dimana
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon akibat
sseluruh beban mati yang bekerja pada komponen
struktur setelah diberi gaya prategang.
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari yang
bersesuaian dengan fc’.
e. Susut (SH)
Susut beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
rangkak yaitu perbandingan antara volume dan
permukaan, kelembaban relatif dan waktu dari curing
sampai dengan bekerjanya gaya prategang.
Rumus umum yang dipakai untuk menghitung kehilangan
gaya pratekan akibat susut beton yaitu :
SH =
Dimana
Ksh = koefisien faktor susut
RH = kelembaban relatif.
/S
V
= perbandingan volume terhadap permukaan
(dalam inchi)
f. Relaksasi baja ( RE )
Akibat perpendekan elastik (kehilangan gaya prategang
seketika setelah peralihan) dan gaya prategang yang
tergantung pada waktu, CR dan SH, ada pengurangan
kontinu pada tegangan tendon, jadi kehilangan gaya
prategang akibat relaksasi berkurang. Sebenarnya balok
prategang mengalami perubahan regangan baja yang
konstan di dalam tendon bila terjadi rangkak yang
tergantung pada waktu, untuk ini ACI memberikan
perumusan untuk menghitung kehilangan gaya pratekan
yaitu :
RE =
Nilai Kre, J dan C bergantung jenis dan tipe tendon. Maka
untuk strand atau kawat stress relieved 1860 MPa yaitu :
Kre = 138 MPa
J = 0,15
C = 1
Diambil joint 7
A = 9.200.000 mm2
yt = 1.593,44 mm
yb = 1.956,56 mm
I = 15.602.214.057.971 mm4
Mg = 47.004.609.400 Nmm
e = 1.060,35 mm
Serat Atas
Serat Bawah
Serat Bawah
F F.e.y M.y
A I I
Serat Atas
Serat Bawah
Serat Bawah
F F.e.y M.y
A I I
Alternatif 2
Alternatif 3
Alternatif 4
Serat Atas
Serat Bawah
Serat Bawah
F F.e.y M.y
A I I
Gambar 5.27. Diagram tegangan joint 14 saat service (menerus
diatas tumpuan)
Tegangan saat service pada tengah bentang (Momen Positif)
Diambil pada joint 27
A = 6.990.000 mm2
yt = 906,93 mm
yb = 1.493,07 mm
I = 41.376.585.400 mm4
Mg = 176.923.257.640 Nmm
E = 1.343,07 mm
Serat Atas
Serat Bawah
Serat Bawah
F F.e.y M.y
A I I
Gambar 5.28. Diagram tegangan joint 27 saat service (menerus
tengah bentang)
5.4 PERENCANAAN KABEL
5.4.1 Perhitungan Tegangan saat transfer
1. Tahap Pemasangan Kantilever
Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 7
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa
ES = Kes x Es x
dimana:
fcir = tegangan beton pada garis yang melalui titik
berat baja (c.g.s) akibat gaya prategang yang
efektif segera setelah gaya prategang telah
dikerjakan pada beton
Fo = 0.9 Fi untuk komponen struktur pratarik
Fo = Fi untuk komponen struktur pasca tarik
Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca tarik
fcir i =
dimana:
Fx = gaya prategang akhir sesudah loss akibat wobble
effect dan gesekan
Fo = gaya prategang awal
= Koefisien friksi / gesekan (0.15 0.25)
= 0.2 (selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = koefisien wobble = 0.0026 (tabel T.Y Lin)
= Perubahan sudut akibat pengaruh kelengkungan
Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)
Fx = F0 x e –( +KL)
= 2 x 0 x xX
X =
Dimana :
= Kehilangan pratekan pada baja
X = Jarak pengaruh slip angker
0 = Gaya prategang awal = 0,7 x fpu = 1.302
= Koefisien friksi / gesekan ( 0,15 < < 0,25 )
= 0,2 ( selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = Koefisien Wobble = 0,0026 ( tabel T.Y. Lin )
= Perubahan sudut
Es = 2.106 kg/cm2 = 2.105 Mpa
d = defleksi = 1 mm
L = Panjang total kebel
Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)
X =
= 8,008 m
= 2 x 0 x xX
= 2 x 1.302 x x 8,008
= 49,952 Mpa
%loss = 100%
= 3,837 %
Tabel 5.15 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip
angker slip angker tahap kantilever
CR =
Dimana
CR = kehilangan pratekan akibat rangkak beton
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon
akibat sseluruh beban mati yang bekerja
pada komponen struktur setelah diberi gaya
prategang. =
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
= 200.000 Mpa
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari
yang bersesuaian dengan fc’.
= 4700 = 4700
= 37.892,61 MPa
Contoh perhitungan pada tendon tahap 2 (Joint 22)
Tabel 5.18 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak
tahap kantilever
Serat Bawah
F F.e.y M.y
A I I
Beban trotoar
Pejalan kaki = 200 kg/m
Kendaraan ringan = 2.000 kg/m
Berat trotoar = 960 kg/m
Berat kerb = 240 kg/m
Berat sandaran + penerangan (asumsi) = 250 kg/m
qtotal = 3.650 kg/m
Beban mati tambahan
Berat lapisan aspal = 836 kg/m
Berat air hujan = 480 kg/m
qtotal = 1.316 kg/m
Beban Truk
TU’ = 100 (1+DLA) Load factor(KUTT )
TU’ = 100 (1+0.3) 2
= 260 KN = 26.000 kg
Dalam analisa perhitungan tulangan box
digunakan 3 perbandingan
1. frame-frame dengan asumsi setiap box diberi
perletakan sendi
2. frame-frame dengan asumsi setiap perubahan
panjang terdapat lendutan, lendutan tersebut
digunakan untuk asumsi perletakan box dengan
spring
3. bentuk 3d seutuhnya jembatan dengan pemodelan
menggunakan shell
Vci =
Dimana :
Vci = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh
beton pada saat terjadinya keretakan diagonal
akibat kombinasi momen dan geser
fc’ = Mutu beton prategang = 65 Mpa
bw = lebar badan
d = jarak dari CGS ke serat penampang
Vd = gaya geser pada penampang akibat beban mati
tidak terfaktor
VL = gaya geser pada penampang akibat beban luar
tidak terfaktor
Mcr = Momen yang menyebabkan terjadinya retak
lentur pada penampang akibat beban luar
2. Sengkang miring
Dimana :
Av = luas tulangan geser dalam daerah sejarak s atau
luas tulangan geser yang tegak lurus terhadap
tulangan lentur tarik dalam suatu daerah sejarak s
(luas tulangan vertikal = 4 As untuk lebar badan 2
bw)
= sudut antara sengkang miring dan sumbu
longitudinal dari komponen struktur
Vs = kelebihan gaya geser nominal pada keadaan batas
Vn lebih besar daripada yang dapat dipikul beton
Vc , disini Vc adalah nilai terkecil antara V cw atau
Vci
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam
mendesain tulangan sengkang geser, diantaranya adalah sebagai
berikut :
fy < 400 Mpa
Jarak tulangan geser
maka
maka
Av min = mm
= 89,213 N/m
Vp(22) = p x L = 89,213 x 28,75
= 2.564.861 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 3.309.938 ) + ( 1,6 x 1.350.588 )
= 6.132.866 N
VU(22) = Vu’ – Vp
= 6.132.866 N –2.564.861 N
= 3.568.005 N
= 970.590 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 4.056.750 ) + ( 1,6 x 931.050 )
= 6.357.780 N
VU(25) = Vu’ – Vp
= 6.357.780 N – 970.590 N
= 5.387.190 N
Tabel 5.31 Gaya geser akibat tendon kantilever
1
Dari hasil perhitungan superposisi gaya geser pada kantilever
maupun segmen tengah digunakan untuk perencanaan dan
perhitungan tulangan geser yang diperlukan.
Berikut contoh perhitungan geser sebagai berikut :
5.7.2 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw) pada joint 22
Vu = 9.356.985 N
d = e + yb
= 931,35 + 1.841,57
= 2.772,92 mm
fpc = = 1,937 Mpa
Vcw =
=
= 50.948.423 N
Vci =
Dimana :
Vd = 8.027.501 N
VL = 2.382.905 N
Mmax = 32.199.609.400 N
F = 16.717.737 N
fpe =
= 3,75
fd =
Mcr =
= 34.605.036.424 Nmm
Vci =
15.968.583 N
16.177.422 N > 15.968.583 N
Atau
Dimana :
M1 = momen akibat eksentrisitas gaya prategang = F0 ∙ (e + Kt)
M2 = momen tahanan dari beton sendiri = Fr ∙ Wb
F0 = Gaya prategang
e = eksentrisitas gaya prategang
Wb = tahanan serat bawah
Fr = Modulus retak = 0,7 √fc’
a =
φMn = =
Indek penulangan
ωp = ≤ 0,3 ,
dimana : ρp =
fps =
p = = 0,00204
fps =
= 1.805,71 Mpa
Ttot = Aps x fps
= 24.480,08 x 1.805,71
= 44.203.943 N
a = = = 160,01 mm
Mn =
= =
= 102.552.831.748 N mm
φMn = 0,9 × 102.552.831.748
= 92.297.548.574 N mm > Mcr = 59.396.197.394 Nmm (ok)
5.8.3 Kontrol Gaya Membelah
Didalam balok beton pratekan, tegangan pratekan dikenal
sebagai beban terpusat yang bekerja pada pada bagian yang relatif
sangat kecil dari keseluruhan tinggi bentang. Dalam daerah
angker dari suatu beton pratekan post tensioning, keadaan
distribusi tegangan rumit serta bersifat tiga dimensi.
Gambar 5.64. Tegangan pada daerah angker
Di dalam kebanyakan pasca tarik ini kawat-kawat pratekan
dipasang di dalam lubang atau saluran kabel, yang dibentuk leleh
dulu di dalam batang kemudian ditegangkan serta diangker pada
permukaan ujung. Sebagai akibatnya, maka gaya-gaya besar yang
terpusat dalam daerah yang relatif sempit tersebut, gaya-gaya
yang tidak tetap ini berubah secara progresif ke distribusi linier
yang tetap, menimbulkan tegangan-tegangan geser dan
transversal. Rumus yang digunakan :
= = 1.084.363 N
Dari grafik Iyengara didapat bahwa daerah penyebaran gaya
dimulai pada jarak 0,195 × h = 0,195 × 2.750 = 535 mm
Kebutuhan tulangan untuk tiap web
As = = 3.388 mm2
Digunakan tulangan D19
Jumlah tulangan = = 13 buah, dipasang
dengan jarak 100 mm
= 5,26 kN/m2
MUDL =
= 1.803,9 kNm
Pelat atas
dimana :
x1 = tebal flens atas = 250 mm
y1 = lebar flens atas = 9.600 mm
Pelat badan
dimana :
x1 = tebal badan = 400 mm
y1 = lebar badan = 5.750 mm
Pelat bawah
dimana :
x1 = tebal flens bawah = 950 mm
y1 = lebar flens bawah = 4.200 mm
= 51
b. Torsi ijin
TU ijin = 0,25 ∙ φ ∙ Tcr ∙ Σ η ∙ x2 ∙ y
= 0,25 x 0,85 x 51 x 2.425.780.000
= 26.289.390.750 N mm
TU ijin > TU
26.289.390.750 Nmm > 3.227.250.000 Nmm
H = 20 x 5 + 5 x 2 + 10 x 11 + 32,5 x 8 + 95 = 575 cm
Gambar 5.68. Sketsa joint antar segmen pada joint 14
σA =
= = -173 + 365
= 192 t/m2 (tarik)
σB =
= = -173 - 263
= -436 t/m2 (tekan)
Tegangan A :
σ13 =
σA1 =
=
= 295 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
σA3 =
=
= -103 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)
Tegangan B :
σ13 =
σB1 =
=
= 62 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
σB3 =
=
= - 498 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)
3D13
5.8.6 Kontrol Lendutan
Lendutan pada komponen jembatan tidak boleh lebih dari
y = , dimana L adalah panjang jembatan yang ditinjau
(B.M.S). Kontrol lendutan dilakukan pada saat transfer dimana
beban luar belum bekerja dan juga pada saat service setelah beban
luar bekerja dan juga pada saat service setelah beban luar bekerja,
lendutan yang terjadi pada struktur jembatan diakibatkan oleh:
Beban mati
Beban hidup UDL dan KEL
Gaya pratekan tendon
Pada saat transfer dimana baru berat sendiri yang bekerja terjadi
lendutan keatas yang disebabkan oleh tekanan tendon keatas pada
waktu penarikan kabel pratekan. Lendutan yang terjadi diimbangi
oleh beban service sehingga menimbulkan lendutan pada balok
dan diharapkan lendutan yang terjadi tidak melebihi lendutan
maksimum yang diijinkan.
1. Lendutan saat transfer
a. Lendutan akibat beban mati
136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
F tendon = 28.735.971 N
=
34,2
= 200,75 mm ()
Total lendutan yang terjadi saat transfer
= 136,95 mm – 200,75 mm = 63,8 mm ()
2. Lendutan saat service
a. Lendutan akibat beban mati
136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
Setelah gaya pratekan berkurang akibat overstressing,
maka :
F tendon = 0,8 F0 = 0,8 x 28.735.971 = 22.988.777 N
=
27,4
= 160,85 mm ()
c. Lendutan akibat beban hidup
Syarat
5.9 DESAIN PERLETAKAN
Perletakan disesain dengan menggunakan perletakan yang
terdiri dari susunan lapisan karet dan diperkuat dengan pelat baja
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rubber bearing pad.
Untuk perencanaan bearing pad pada pilar dihitung sebagai
berikut :
Maka, pada sgmn pilar dijacking dngn 4 buah angkur VSL 42 Sc.
Gambar 5.70. Potongan Box Girder Tampak Depan
5.9.2 Perencanaan Perletakan pada Pilar
Dalam menetukan dimensi dari elastomer didasarkan
pada beban vertikal dan horizontal yang terjadi pada tumpuan
adalah :
1. Pembebanan Vertikal
V = reaksi beban mati + beban lalu lintas
= 2.466 ton + 420 ton = 2.886 ton
2. Pembebanan horisontal
a. akibat gaya rem dan traksi 28 ton
b. akibat gaya gesek
Gaya gesek pada tumpuan yang ditinjau dari bahan antara
karet dan besi sebesar 0.16 dari beban mati.
FA = 0.16 x 2.886 ton
= 462 ton
Beban Horizontal total = 28 ton + 432 ton = 490 ton
Pada pilar direncanakan memakai 2 bearing pad yang
masing-masing akan menerima gaya vertikal sebesar = 2.886/ 2 =
1.443 ton = 1.443.000 kg dan gaya horizontal = 490 / 2 = 245 ton
= 245.000 kg
Untuk desain dipakai elastomer dengan dimensi 700 mm
× 1400 mm, dengan data-data sebagai berikut
- Lebar elastomer (a) = 700 mm
- Panjang elastomer (b) = 1.400 mm
- Tebal tiap lapisan karet (t) = 12 mm
- Tebal tiap pelat baja (ts) = 3 mm
- Jumlah lapisan karet maksimum (n) = 11 lapisan dipakai
5 lapis
- Rotasi maksimum = 0,9 ∙ 10-3 radian
Adapun susunan dari elastomer tersebut adalaha sebagai berikut :
1. Kontrol Pembebanan
Kontrol pembebanan dilakukan untuk mengetahui apakah
perletakan yang dipilih telah mampu menerima beban yang
dipikulnya
Kontrol tersebut meliputi :
- Kontrol akibat beban vertikal
- Kontrol akibat beban horizontal
- Kontrol akibat rotasi
Kontrol akibat beban vertikal
Gambar 5.72 Pengaruh beban vertikal terhadap elastomer
Kontrol τN + τα ≤ 4,5 G
11,4 + 6,1 ≤ 4,5 ∙ 6,9
17,5 ≤ 31,05 kg/cm2 (ok)
Kontrol total τN + τH + τα ≤ 5 G <40
11,4+ 15,2 + 6,1 ≤ 5 ∙ 6,9 < 40
32,7 ≤ 34,5 < 40 kg/cm2 (ok)
Kontrol terhadap tekukan (buckling)
T≤ dan T≥
72 ≤ 72 ≥
72 ≤ 140 mm 72 ≥ 70 mm
Jadi dipakai perletakan elastomer dengan ukuran 1400 mm ×
700 mm × 72 mm.
Gambar 5.75. Potongan box dengan elastomer
7.1 KESIMPULAN
1. Metode pelaksanaan konstruksi dilapangan sangat berperan
dalam hal ini untuk perhitungan analisa beban yang terjadi,
penggunaan metode pelaksanaan dengan alat Launching
Gantry dengan berat ± 130 ton cukup berpengaruh pada
analisa tegangan yang terjadi. Penggunaan launching gantry
cukup menguntungkan karena dipakai dua buah launching
pada masing-masing lantai kendaraan sehingga akan
mempercepat pelaksanaan dilapangan.
2. Tegangan yang terjadi dikontrol sesuai urutan erection yaitu
kontrol tegangan akibat tendon kantilever, akibat tendon
tengah yang semuanya sesuai dengan syarat tegangan saat
transfer yaitu ft 39 MPa dan fb > -2,016 MPa, kemudian
dilakukan kontrol tegangan akibat beban mati tambahan,
beban lalu lintas dan akibat pengaruh waktu yaitu redistribusi
berat sendiri akibat creep, momen post tension akibat creep,
akibat kehilangan pratekan, kemudian kontrol tegangan akhir
yang semuanya sesuai dengan syarat tegangan saat service
yaitu ft < 29,25 MPa dan fb > - 4,031 MPa.
3. Perhitungan kekuatan dan stabilitas yaitu kontrol momen
retak, kontrol momen batas telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, kontrol gaya membelah pada desain ini tidak
diperlukan tulangan membelah, dan untuk kontrol torsi juga
tidak diperlukan tulangan torsi.
4. Lendutan yang terjadi dikontrol sesuai dengan urutan
pelaksanaan, yaitu akibat beban mati, beban sekunder, beban
hidup, gaya pratekan tendon, kesemuanya disuperposisi
sampai kontrol tegangan akhir dengan menghasilkan lendutan
maksimum.
5. Perhitungan geser didasarkan pada retak geser badan (Vcw)
dan retak lentur geser miring (Vci). Hasil perhitungan geser
antara Vcw dan Vci dibandingkan mana yang berpengaruh dan
digunakan untuk penentuan tulangan geser.
6. Perencanaan perletakan dilakukan dengan menghasilkan
bearing pad ukuran 700 mm × 14000 mm x 72 mm
7.2 SARAN
Untuk lebih mendapatkan analisa yang lebih tepat dan teliti hal
yang perlu dilakukan adalah :
1. Penentuan alat pelaksanaan yang digunakan dalam metode
perencanaan dalam hal ini alat launching gantry sebaiknya
dihitung berat dari alat secara pasti.
2. Kontrol tegangan dengan analisa yang didapatkan harus
dilakukan dengan perhitungan yang sesuai dengan kenyataan
dalam perhitungan.
3. Lendutan yang terjadi sebaiknya dikontrol juga terhadap
pengaruh waktu.
4. Perhitungan geser sebaiknya dilakukan dengan retak badan
dan retak lentur miring dengan sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA