Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nadia Ummi Fariha

MAKNA MOTIF MIRONG BANGSAL WITANA DAN


BANGSAL MANGUNTUR TANGKIL KERATON YOGYAKARTA

a. Pengembangan Narasi

Dalam pembangunannya motif mirong ini sudah ada bersamaan sejak didirikannya
bangunan Keraton. Didalamnya terdapat bangsal-bangsal yang digunakan untuk penobatan
raja Keraton. Dalam proses pembuatannya, motif ini dibantu oleh seorang arsitektur namun
sayangnya peneliti belum mengetahui secara pasti arsitektur yang menghias motif mirong ini.
Banyak terdapat motif-motif yang ada pada Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur Rangkil
antara lain, Motif saton: saton berasal dari kata satu, yaitu kue (sejenis makanan) yang dibuat
dengan teknik dicetak, berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan hiasan
motif daun-daunan atau bunga-bungaan (Ismunandar, 1993). Motif saton berada pada sisi
tegak tiang bagian bawah. Kata satu bermakna per-satu-an, merupakan simbol persatuan atau
harus selalu bersatu.

Motif praba: Kata praba berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar
(Ismunandar 1993). Praba berarti cahaya atau sinar, bermakna sebagai cahaya pada setiap
tiang (Wibowo, 1986-1987). Bentuknya mirip dengan praba pada bagian belakang atas atau
latar belakang patung-patung dewa-dewa dalam agama praba dengan ba-dhong pakaian
wayang kulit atau wa-yang orang pada bagian belakang. Praba merupakan perwujudan
bentuk cahaya atau sinar kebesaran dari tokoh yang di-patungkan. Praba sering disebut
sebagai perwujudan ekor burung merak karena wujudnya memang mirip ekor burung merak
alami. Motif sorot; sorot adalah perwujudan sinar yang memancar jauh dan fokus. Bentuk
fisik motifnya bercabang tiga mirip senjata trisula, bagian tengah lebih panjang dibanding
dua bagian tepi. Dan yang terakhir adalah motif tumpal yang sering juga disebut motif
pinggiran karena biasa ditempatkan di bagian pinggir. Dalam proses pembuatannya, tidak ada
proses atau ritual tertentu yang harus dilakukan oleh para pengukir maupun sultan pada masa
itu. Penulis menemukan beberapa literatur yang menjelaskan mengenai makna-makna motif
ragam hias mirong.

OBJEK MAKNA
Gambaran putri mungkur
Gambaran seorang putri yang menghadap ke belakang
Sebutan lainnya adalah putri mirong
Sosok putri bersembunyi di balik tiang
Motif Mirong Sosok putri bersanggul Jawa
Hiasan khusus diperuntukkan bagi Sultan
Kanjeng Ratu Kidul (Retnaning Dyah Angin-angin)
Ornamen tiang bangsal
Kaligrafi Alif-lam-mim atau Alif-lam-mim-ra
Khalifatullah fil ardi

TRADISI MENGANTAR MAYIT “BROBOSAN”


Tradisi brobosan sendiri sepertinya sudah cukup lama berlangsung di Desa ini,
dalam prakteknya ada beberapa rangkaian yang dilakukan oleh keluarga yang
ditinggal meninggal antara lain ialah membersihkan jalan yang akan dipakai
jenazan dan rombongan pengantar ke kuburan kemudian ditaburi bunga sehingga
meninggalkan bekas jejak taburan bunga dari rumah menuju kuburan. Dalam
pelaksanaannya tidak terdapat perbedaan antara jenazah laki laki, perempuan,
maupun anak-anak.
Hal pertama yang dilakukan dalam ritual brobosan adalah keranda atau peti
mati dibawa keluar menuju halaman rumah dan dijunjung tinggi oleh empat orang
ke atas. Selanjutnya, para ahli waris yang ditinggalkan mulai anak laki-laki tertua,
anak perempuan, cucu laki-laki, dan cucu perempuan berjalan melewati bawah
keranda dengan cara merundukan kepala kemudian mbrobos sebanyak 3 atau 7
kali searah dengan jarum jam. Dimulai dari sebelah kanan jenazah, lalu berbelok
ke kiri menuju kepala dan terakhir masuk lagi dari sebelah kanan jenazah. Proses
tersebut dilakukan berulang hingga tiga atau tujuh kali. Setelah semua keluarga
selesai melakukan brobosan, kemudia jenazah akan diberangkatkan menuju
pemakaman. Sebelum pemberangkatan menuju makam, di baris paling depan
terdapat perwakilan pihak keluarga yang berduka membawa sapu lidi dan lampu
pelita yang dimaksudkan untuk menyapu halaman atau jalan sebayak 7 langkah
dari awal tempat pemberangkatan jenazah. Hal tersebut dilakukan sebagai simbol
harapan agar almarhum atau almarhumah mendapatkan jalan yang bersih dan
terang atau jalan yang benar menuju alam akhirat. Selain itu, pihak keluarga juga
membuat sawur yang berisi bunga tujuh rupa, beras putih dan beras kuning, serta
uang. Sawur ini ditaburkan ke atas keranda hingga meninggalkan jejak harum
menuju pemakaman. Sawur yang berisi bunga tujuh rupa dimaksudkan agar para
malaikat turut mengiringi kepergian almarhum atau almarhumah. Sementara itu,
uang dan beras dimaksudkan sebagai bekal dalam perjalanannya yang masih
sangat panjang. Sawur terus dilakukan hingga sampai di pemakaman. Sawur yang
tersisa akan ditaburkan ke atas kuburan setelah jenazah tersebut dimakamkan.
Selain itu, taburan dari bunga-bunga membentuk keharuman dan taburan uang
menjadi wujud bahwa terdapat begitu banyak kemurahan yang menyertai setiap
jengkal perjalanan.
Kemudian untuk perabotan atau alat alat yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Keranda atau peti mati untuk menggotong jenazah,
2. Bunga dan rangkaian bunga yang umumnya terdiri dari lima jenis bunga atau
seadanya. Bunga tersebut dirangkai dengan panjang 1,5 m dan diletakkan di
atas keranda atau peti mati secara berurutan mulai dari yang pertama kali
selesai dirangkai diletakkan pada bagian kepala dan seterusnya. Rangkaian
bunga yang sama juga nantinya akan diletakkan di atas makam setelah upacara
penguburan selesai,
3. Sapu lidi yang digunakan untuk menyapu jalan di depan keranda atau peti mati
yang telah diangkat dan siap di bawa untuk dimakamkan,
4. Sawur yang berisi campuran beras kuning dan beras putih, bunga, serta uang.
Bisanya, sawur diletakkan di dalam sebuah wadah,
5. Lampu pelita sebagai simbol cahaya penerang bagi jenazah menuju alam
akhirat.
6. Payung yang digunakan untuk menaungi bagian keranda dimana bagian kepala
jenazah berada.

b. Pengembangan Narasi
MAKNA MOTIF MIRONG BANGSAL WITANA DAN
BANGSAL MANGUNTUR TANGKIL KERATON YOGYAKARTA

Dalam pembangunannya motif mirong ini sudah ada bersamaan sejak didirikannya
bangunan Keraton. Didalamnya terdapat bangsal-bangsal yang digunakan untuk penobatan
raja Keraton. Dalam proses pembuatannya, motif ini dibantu oleh seorang arsitektur namun
sayangnya peneliti belum mengetahui secara pasti arsitektur yang menghias motif mirong ini.
Banyak terdapat motif-motif yang ada pada Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur Rangkil
antara lain, Motif saton: saton berasal dari kata satu, yaitu kue (sejenis makanan) yang dibuat
dengan teknik dicetak, berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan hiasan
motif daun-daunan atau bunga-bungaan (Ismunandar, 1993). Motif saton berada pada sisi
tegak tiang bagian bawah. Kata satu bermakna per-satu-an, merupakan simbol persatuan atau
harus selalu bersatu.

Motif praba: Kata praba berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar
(Ismunandar 1993). Praba berarti cahaya atau sinar, bermakna sebagai cahaya pada setiap
tiang (Wibowo, 1986-1987). Bentuknya mirip dengan praba pada bagian belakang atas atau
latar belakang patung-patung dewa-dewa dalam agama praba dengan ba-dhong pakaian
wayang kulit atau wa-yang orang pada bagian belakang. Praba merupakan perwujudan
bentuk cahaya atau sinar kebesaran dari tokoh yang di-patungkan. Praba sering disebut
sebagai perwujudan ekor burung merak karena wujudnya memang mirip ekor burung merak
alami. Motif sorot; sorot adalah perwujudan sinar yang memancar jauh dan fokus. Bentuk
fisik motifnya bercabang tiga mirip senjata trisula, bagian tengah lebih panjang dibanding
dua bagian tepi. Dan yang terakhir adalah motif tumpal yang sering juga disebut motif
pinggiran karena biasa ditempatkan di bagian pinggir. Dalam proses pembuatannya, tidak ada
proses atau ritual tertentu yang harus dilakukan oleh para pengukir maupun sultan pada masa
itu. Penulis menemukan beberapa literatur yang menjelaskan mengenai makna-makna motif
ragam hias mirong.

OBJEK MAKNA
Gambaran putri mungkur
Gambaran seorang putri yang menghadap ke belakang
Sebutan lainnya adalah putri mirong
Sosok putri bersembunyi di balik tiang
Motif Mirong Sosok putri bersanggul Jawa
Hiasan khusus diperuntukkan bagi Sultan
Kanjeng Ratu Kidul (Retnaning Dyah Angin-angin)
Ornamen tiang bangsal
Kaligrafi Alif-lam-mim atau Alif-lam-mim-ra
Khalifatullah fil ardi

TRADISI MENGANTAR MAYIT “BROBOSAN”


Tradisi brobosan sendiri sepertinya sudah cukup lama berlangsung di Desa ini,
dalam prakteknya ada beberapa rangkaian yang dilakukan oleh keluarga yang
ditinggal meninggal antara lain ialah membersihkan jalan yang akan dipakai
jenazan dan rombongan pengantar ke kuburan kemudian ditaburi bunga sehingga
meninggalkan bekas jejak taburan bunga dari rumah menuju kuburan. Dalam
pelaksanaannya tidak terdapat perbedaan antara jenazah laki laki, perempuan,
maupun anak-anak.
Hal pertama yang dilakukan dalam ritual brobosan adalah keranda atau peti
mati dibawa keluar menuju halaman rumah dan dijunjung tinggi oleh empat orang
ke atas. Selanjutnya, para ahli waris yang ditinggalkan mulai anak laki-laki tertua,
anak perempuan, cucu laki-laki, dan cucu perempuan berjalan melewati bawah
keranda dengan cara merundukan kepala kemudian mbrobos sebanyak 3 atau 7
kali searah dengan jarum jam. Dimulai dari sebelah kanan jenazah, lalu berbelok
ke kiri menuju kepala dan terakhir masuk lagi dari sebelah kanan jenazah. Proses
tersebut dilakukan berulang hingga tiga atau tujuh kali. Setelah semua keluarga
selesai melakukan brobosan, kemudia jenazah akan diberangkatkan menuju
pemakaman. Sebelum pemberangkatan menuju makam, di baris paling depan
terdapat perwakilan pihak keluarga yang berduka membawa sapu lidi dan lampu
pelita yang dimaksudkan untuk menyapu halaman atau jalan sebayak 7 langkah
dari awal tempat pemberangkatan jenazah. Hal tersebut dilakukan sebagai simbol
harapan agar almarhum atau almarhumah mendapatkan jalan yang bersih dan
terang atau jalan yang benar menuju alam akhirat. Selain itu, pihak keluarga juga
membuat sawur yang berisi bunga tujuh rupa, beras putih dan beras kuning, serta
uang. Sawur ini ditaburkan ke atas keranda hingga meninggalkan jejak harum
menuju pemakaman. Sawur yang berisi bunga tujuh rupa dimaksudkan agar para
malaikat turut mengiringi kepergian almarhum atau almarhumah. Sementara itu,
uang dan beras dimaksudkan sebagai bekal dalam perjalanannya yang masih
sangat panjang. Sawur terus dilakukan hingga sampai di pemakaman. Sawur yang
tersisa akan ditaburkan ke atas kuburan setelah jenazah tersebut dimakamkan.
Selain itu, taburan dari bunga-bunga membentuk keharuman dan taburan uang
menjadi wujud bahwa terdapat begitu banyak kemurahan yang menyertai setiap
jengkal perjalanan.
Kemudian untuk perabotan atau alat alat yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Keranda atau peti mati untuk menggotong jenazah,
2. Bunga dan rangkaian bunga yang umumnya terdiri dari lima jenis bunga atau
seadanya. Bunga tersebut dirangkai dengan panjang 1,5 m dan diletakkan di
atas keranda atau peti mati secara berurutan mulai dari yang pertama kali
selesai dirangkai diletakkan pada bagian kepala dan seterusnya. Rangkaian
bunga yang sama juga nantinya akan diletakkan di atas makam setelah upacara
penguburan selesai,
3. Sapu lidi yang digunakan untuk menyapu jalan di depan keranda atau peti mati
yang telah diangkat dan siap di bawa untuk dimakamkan,
4. Sawur yang berisi campuran beras kuning dan beras putih, bunga, serta uang.
Bisanya, sawur diletakkan di dalam sebuah wadah,
5. Lampu pelita sebagai simbol cahaya penerang bagi jenazah menuju alam
akhirat.
6. Payung yang digunakan untuk menaungi bagian keranda dimana bagian kepala
jenazah berada.

Anda mungkin juga menyukai