Anda di halaman 1dari 4

Kisah Heroik Sahabat Abu Darda (2)

Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang mampir di rumah Abu
Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka makanan yang hangat, namun tidak
memberi mereka selimut. Begitu mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut.
Salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!” Namun, orang
tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan pintu kamar Abu Darda dan ia lihat
Abu Darda tengah berbaring. Istrinya duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak
menggunakan apa-apa selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas
atau hawa dingin.
Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku meihatmu tidur, tidak seperti yang
biasa kami lakukan!! Kemana barangbarangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki
rumah di sana yang kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan barang-
barang tersebut di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada kalian.”
Kemudian dalam jalan yang kami susuri menuju rumah tersebut ada sebuah rintangan
yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih baik daripada yang membawa beban berat
dalam melewatinya. Oleh karenanya, kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat
melintasinya. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah engkau sudah
paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga kebaikanmu dibalas.”
Pada masa kekhalifahan Umar Al-Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu Darda untuk
menjabat sebagai wali di Syam. Namun, Abu Darda menolaknya. Abu Darda berkata: “Jika kau
mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan kepada mereka kitab Allah dan sunnah
Nabi dan menjadi imam shalat mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan
usulnya.
Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia dapati bahwa
penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal itu membuatnya terkejut, dan ia
mengajak manusia ke mesjid dan orangorang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri
dihadapan mereka dan berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian adalah saudara seagama, tetangga negeri dan
penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk Damaskus, apa yang membuat kalian
tidak dapat mencintaiku dan menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan
aku telah diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah tiada, dan
kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian mengejar-ngejar apa yang telah Allah
jamin bagi kalian, dan kalian meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa
aku dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!! Membangun gedung yang
kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum
dan bangsa yang mengumpulkan harta dan berhayal.”
Tidak lama berselang, semua yang mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan
mereka menjadi buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum Ad, wahai penduduk
Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan keturunan mereka. Lalu siapa
yang mau membeli seluruh peninggalan kaum Ad dariku dengan harga dua dirham?.
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka terdengar dari luar
masjid. Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di Damaskus. Ia berkeliling
di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang. Mengajarkan orang yang tidak mengerti.
Memperingatkan orang yang lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang berkumpul dan
memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang
terjadi?” Mereka menjawab: “Dia adalah orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu Darda
bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam sumur, apakah kalian akan
mengeluarkannya?” Mereka menjawab: “Tentu.”
Abu Darda meneruskan lagi: “Kalau demikian, janganlah kalian cela dan pukul dia,
akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah
yang telah menyelamatkan kalian untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka
bertanya: “Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya membenci
perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia adalah saudaraku.” Lalu orang
itu mulai menangis dan menyatakan diri bahwa dirinya bertaubat.
Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata: “Berilah wasiat
kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah
saat lapang, maka Ia akan mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang
yang berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu. Janganlah menjadi
orang yang keempat karena engkau akan celaka. Wahai anakku, jadikanlah mesjid sebagai
rumahmu. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah
bagi setiap orang yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan
masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat menuju keridhaan
Allah.”
Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil berbincang-
bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu menghampiri mereka sambil
berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa orang muslim adalah rumahnya dimana ia bisa
menahan diri dan pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu dapat
memperdayakan.”
Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim seorang
utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda buat anak Muawiyah yang bernama
Yazid. Abu Darda menolak untuk menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda
menikahkan putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin Muawiyah
meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah ia menikahinya dengan seorang
pria muslim biasa. Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu Darda? Ia
menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.”
Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa yang kau
bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat banyak para dayang yang
melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam istana di mana setiap mata merasa ingin
mendapatkan kenikmatannya. Lalu kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”
Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab
datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi sahabatnya, Abu Darda di
rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong pintu rumahnya dan rupanya pintu tersebut tidak
terkunci. Umar lalu masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda
mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu mempersilahkan ia duduk.
Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan menghalangi mereka
untuk melihat bola mata sahabatnya. Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia
adalah pelana hewan. Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir. Ia meraba
selimutnya dan ternyata adalah sebuah kain tipis yang tidak dapat menghalau rasa dingin daerah
Damaskus. Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku sudah
memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan (nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat (ya Umar) sebuah hadits yang
pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar bertanya: “Apa itu?” Abu Darda
menjawab: “Bukankah Beliau pernah bersabda: Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal
yang dibawa oleh seorang pengelana?” Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu
apa yang telah kita lakukan setelah Beliau meninggal, wahai Umar?” Maka menangislah Umar
dan Abu Darda pun turut menangis. Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.
Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada penduduk serta
mengingatkan dan mengajarkan mereka akan al-Qur’an dan hikmah sehingga ia wafat. Saat ajal
menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata: “Apa yang engkau takutkan?” Ia
menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab:
“Ampunan Tuhanku.” Kemudian ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin aku
kalimat Laa ilaha illallahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus mengucapkan kalimat tersebut
sehingga ruhnya berpisah dari badan.
Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al-Asyja’i
bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan dedaunan yang hijau dan di
tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-
domba yang sedang berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya.
Auf bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!” Kemudian
dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata: “Wahai, Ibnu Malik, inilah yang
diberikan Allah Swt dari al-Qur’an. Jika engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau
akan mendapati apa yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang belum pernah terbersit
dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?” Ia menjawab:
“Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, karena ia mampu menolak dunia dengan kedua
telapak tangan dan dadanya.” Wallahu a’lam bisshawab.

*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang


Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Anda mungkin juga menyukai