Anda di halaman 1dari 4

Kisah Heroik Sahabat Abu Darda (1)

Suatu waktu Uwaimar bin Malik Al-Khajrajy (Al-Khajrajy adalah nisbat kepada suku
Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman, Mereka datang ke Madinah dan menetap
di sana. Kabilah ini dan Aus adalah dua kabilah terbesar kaum Anshar) yang disebut dengan Abu
Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali.
Ia menuju berhalanya yang ia pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya.
Ia lalu memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum terbaik berasal dari
tokonya. Kemudian ia memakaikan pakaian pada berhala tersebut yang terbuat dari sutra terbaik
yang dihadiahkan oleh salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.
Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya untuk pergi ke toko.
Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad. Mereka semua baru saja
kembali dari perang Badr, dan di depan mereka terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu
Darda menjauh dari mereka. Namun, ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang
berasal dari suku Khajraj, dan ia bertanya kepada pemuda tersebut tentang kabar Abdullah bin
Rawahah.
Kita tahu, Abdullah bin Rawahah Al-Anshary Al-Khajrajy adalah seorang penyair
terkenal. Dia juga salah seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan
tewas dalam perang Mu’tah pada tahun 8 H. Dia adalah salah seorang dari ketiga panglima
dalam perang tersebut
Akhirnya, pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab: “Dia telah berjuang dengan amat
dahsyat dalam perang dan ia sudah kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta
ghanimah.” Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.
Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar Abdullah bin
Rawahah, karena ia tahu bahwa semua manusia terkait dengan tali persaudaraan yang barangkali
ada di antara mereka berdua. Hal itu dikarenakan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya
bersaudara pada zaman jahiliah.
Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling
darinya. Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka berdua. Karena
Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu Darda dan mengajaknya untuk
memeluk Islam. Ia senantiasa memberi semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia
turut prihatin atas setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang
musyrik.
Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai melakukan
perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya. Namun ia tidak tahu apa yang
tengah berlangsung di rumahnya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah sahabatnya Abu Darda
karena ia menginginkan suatu hal. Begitu Abdullah sampai di rumah tersebut, ia melihat pintu
rumah terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan rumah. Abdullah
berkata: “Assalamualaiki, wahai hamba Allah!” Ia menjawab: “Waalaikasalam, wahai saudara
Abu Darda!” Abdullah bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya,
sebentar lagi ia pulang.”
Lalu Abdullah bertanya lagi: “Apakah engkau mengizinkan aku masuk?” Ia menjawab:
“Dengan senang hati.” Ummu Darda mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam
kamarnya. Ummu Darda kemudian membiarkan Abdullah sendirian karena ia sibuk dengan
pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda menaruh
berhalanya. Kemudian ia keluar dengan membawa berhala tadi. Ia menghampiri berhala tersebut
dan mulai memotong-motongnya sambil berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah
adalah batil? Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil?” Begitu ia selesai
memotong-motong berhala tersebut, ia pun meninggalkan rumah itu.
Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia tersentak kaget begitu
melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati bagian tubuh berhala tersebut sudah terburai di
tanah. Ia lalu memukulmukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu
Ruwahah, Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”
Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia mendapati istrinya
sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu berada. Istrinya menangis dengan suara
yang keras. Ada rona ketakutan yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?”
Istrinya menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah datang, lalu
melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”
Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala tersebut telah hancur. Ia naik
pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak berselang lama, emosinya kembali
stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata:
“Kalau ada kebaikan dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi
pada dirinya.”
Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah sehingga
keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda menyatakan masuk Islam, dan ia
adalah orang terakhir dari kampungnya yang masuk Islam. Abu Darda, sejak pertama kali,
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas
badannya.
Ia amat menyesal karena telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia mulai mempelajari
ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah,
beribadah dan bertaqwa yang dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah. Ia bertekad untuk
mengejar ketertinggalannya dengan sungguhsungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang
siang dan malam demi menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.
Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia dan mencari
Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu bersama Kitabullah dan selalu
mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia mendalami pemahamannya akan al-Qur’an. Begitu ia
menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan ibadahnya dan membuat ia
ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.
Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku adalah seorang
pedagang sebelum masa Rasulullah Saw.” Saat aku masuk Islam, aku hendak menggabungkan
antara perdagangan dan ibadah akan tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka
aku tinggalkan perdagangan dan aku memilih ibadah.
Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku tidak menyukai
bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid sehingga aku tidak pernah ketinggalan
shalat berjama’ah. Aku dapat berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.
Kemudian ia menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan bahwa
Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih menyukai bila kau termasuk
mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”
Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga meninggalkan
dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap
gandum kasar yang dapat membuat dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup
auratnya.

Anda mungkin juga menyukai