Anda di halaman 1dari 2

The Great Socrates

Tesla Kusuma/7C/17 480 kata

Sokrates adalah seorang filsuf yang lahir di Athena pada sekitar 469/470 SM. Ayah
dari Sokrates adalah seorang pemahat dan ibunya adalah bidan. Sokrates juga memiliki istri
bernama Xantippe. Dikarenakan ibu Sokrates adalah seorang bidan, Sokrates menganggap
berfilsafat sebagai “seni untuk melahirkan pengetahuan” (maieutika petne). Sebelum Sokrates
menjadi seorang filsuf, ia bekerja sebagai tentara berkuda. Karena pada zaman itu kuda tidak
disediakan pemerintah dan harus disiapkan sendiri, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
Sokrates dapat dibilang lumayan kaya.

Pada situasi kondisi Yunani Kuno saat itu (Pra-Sokratik), orang Yunani sangat
percaya akan Fatalisme. Fatalisme adalah kepercayaan bahwa apapun yang terjadi
telah/sudah ditentukan (takdir). Banyak sekali peramal pada zaman itu yang berusaha
memproyekkan masa depan yang belum terjadi dengan abstrak (dapat kabur makna; sulit
untuk disangkal).

Sokrates gemar berdiskusi dengan warga polis Athena yang biasanya di Agora.
Sokrates berusaha membantu orang-orang untuk melahirkan/mendapatkan pemahaman yang
benar yang berasal dari dalam dirinya (akal budi). Sokrates melakukan hal tersebut dengan
berpura-pura bodoh (Ironi Sokrates). Karena aktifitas dari Sokrates ini, dia dibenci hingga
dihukum mati, karena seringkali dia menunjuk kelemahan dari lawan bicaranya yang
menganggap dirinya bijaksana padahal tidak. Kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah
kesadaran bahwa semakin kita belajar, maka semakin kita tidak mengetahui apa-apa.
Sokrates bahkan dituduh sebagai ateis dan mengajarkan ajaran baru hingga merusak generasi
muda. Pada akhirnya, Sokrates mati karena minum racun cemara, kematiannya dianggap
patriotic karena mati memperjuangkan kebenaran. Kematian Sokrates memperjuangkan
askese. Dengan berfilsafat, askese adalah memberi jarak antara tubuh dan jiwa. Karena itu,
ketika kematian mendatang, mengapa kita harus kabur dari kematian?

Pemikiran Sokrates berlawanan dengan Kaum Sofis. Kedua dari mereka


menggunakan orang sebagai objek kajian. Tetapi konsep kebenaran mereka bertolak
belakang. Kaum Sofis mempercayai bahwa kebenaran itu bersifat relatif dan berbeda pada
setiap orang. Tetapi Sokrates menganggap kebenaran sebagai absolut, bersifat mutlak dan
pasti.
Sokrates memiliki dua ajaran, yaitu etika dan politik. Etika mempelajari tingkah laku
manusia untuk menjadi yang lebih baik. Terdapat sebuah prinsip disebut Eudaimonia yaitu
kebahagiaan, dan kesejahteraan. Seorang yang memiliki daimon/jiwa yang baik maka akan
memiliki tingkah laku yang baik. Dibutuhkan tingkah laku yang baik untuk mencapai
Eudaimonia. Arete (kebajikan) merupakan sebuah keutamaan yang dimiliki oleh seseorang,
contoh: Seorang tukang sepatu adalah seorang tukang sepatu yang baik karena memiliki
arete. Pada politik, Sokrates menolak demokrasi karena ketika terpilih pemimpin yang buruk
maka akan mencegah orang untuk mencapai Eudaimonia.

Berdasarkan CWV (Christian World View), pemikiran Sokrates tidak sepenuhnya


salah. Karena, CWV dan Sokrates bersama tidak setuju akan konsep Fatalisme, karena
keduanya percaya bahwa takdir kita itu dapat berubah. Tetapi CWV percaya bahwa takdir
kita masing-masing dikendali oleh Kristus. Serta, kerja keras dan usaha masing-masing untuk
mendapatkan masa depan yang diinginkan. CWV juga tidak percaya akan Eudaimonia, tetapi
percaya bahwa segala hal yang baik hanya dapat diperoleh dengan percaya kepada Tuhan.

Dari Sokrates, kita dapat mempelajari apa itu kebijaksanaan sesungguhnya.


Kebijaksanaan sesungguhnya itu kesadaran bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Prinsip ini
mendorong kita untuk menggunakan kapasitas rasio kita (rasionalisme).

Anda mungkin juga menyukai