Anda di halaman 1dari 14

Makalah

“Filsafat seni & Entetika”


Tentang
SOCRATES

Disusun oleh:
Nama : Shola Istighvaedoba Grei
Prodi : DKV B Semester 1
NIM : 1901030063
Kover
Daftar Isi i
BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang masalah 1


B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAAN 3

A. Biografi Socrates 3
B. Pemikiran Filsafat Socrates 5
C. Metode Socrates 9
D. Etika Socrates 9
E. Murid Murid Socrates 10
BAB III PENUTUP 11

Kesimpulan 12

Penutup 12

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan berfikir dewasa dalam segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Pekembangan filsafat
dimulai dari jaman filsafat kuno sampai dengan filsafat moderen. Berbagai pemikiran-pemikiran
baru bermunculan dan bersama-sama mencari kebenaran untuk mencapai suatu kebenaran yang
sejati.

Dengan adanya filsafat lahirlah tokoh-tokoh yang membuat perubahan dengan berbagai
pemikiran-pemikirannya. Pemikiran-pemikiran itu menjadikan orang menggunakan akalnya
untuk berfikir lebih dalam dan menggali ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat hingga kini.
Berbagai penemuan baru telah diperoleh sehingga menjadikan seseorang lebih bijaksana dalam
menghadapi suatu permasalahan yang ada.

Pada makalah ini, penulis akan membahas tokoh filsuf Athena yang banyak berpengaruh dalam
sejarah filsafat Yunani Kuno. Dia adalah Socrates, di dalam makalah ini penulis akan mencoba
menguraikan berbagai pemikiran-pemikiran Socrates yang sangat kontroversial di jamannya
serta melirik tentang perjalanan hidup seorang Socrates yang terkenal dengan pribadinya yang
baik dan sederhana.

1
B.     Rumusan Masalah
1. Siapakah Itu Socrates?
2. Dampak Pemikiran Socrates ?

C.    Tujuan Masalah


1. Menjelaskan Aristoteles
2. Mendeskripsikan Pengaruh Pemikiran Aristoteles .

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Socrates
Socrates (470 SM – 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu
figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, tanggal 4 Juni 470
SM, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar di Yunani, yaitu Socrates, Plato
dan Aristoteles. Plato dan Aristoteles merupakan murid Socrates. Ayah Socrates berprofesi
sebagai pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniscos. Ibunya adalah seorang
bidan yang bernama Phainarete, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan
metode kebidanan. Socrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga
orang anak yaitu Ramprocles, Sophroniscos dan Menexene. Socrates adalah sosok tokoh filosuf
yang penuh teka-teki dalam sejarah perkembangan filsafat. Ia tidak pernah menulis sebaris
kalimatpun dalam sebuah tulisan.
Masa hidup Socrates sezaman dengan kaum sofis. Ia terkenal sebagai orang yang berbudi baik,
jujur, dan adil. Cara menyampaikan pemikirannya kepada para pemuda ia menggunakan metode
tanya jawab. Sebab itu ia memperoleh banyak simpati dari para pemuda di negerinya. Namun ia
juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan menuduhnya sebagai orang yang merusak
moral para pemuda negerinya. Selain itu ia juga dituduh menolak dewa-dewa atau tuhan-tuhan
yang telah diakui negara.

Kelanjutan dari tuduhan terhadap dirinya menjadikan ia diadili oleh pengadilan Athena.
Dalam proses pengadilan ia mengatakan pembelaanya yang kemudian ditulis oleh Plato dalam
naskahnya yang berjudul Apologi. Plato mngisahkan adanya tuduhan itu. Tuduhan mengatakan
bahwa Sokrates tidak hanya menentang agama yang diakui oleh Negara, akan tetapi juga
mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Salah seorang yang mendakwanya yaitu Melithus,
mengatakan bahwa dia adalah seorang tak-berTuhan dan menambahkan: Socrates berkata
matahari adalah batu dan bulan adalah tanah. Socrates tentu saja mengatakan bahwa tuduhan
baru yang mengatakan dia atheis ini bertentangan dengan dakwaan sebelumnya, dan selanjutnya
ia memaparkan berbagai pendangan yang lebih luas.
Buku Apologi memberi gambaran jelas tentang sosok manusia tertentu: seorang manusia yang
sangat percaya diri, berjiwa besar, tak peduli pada kesukaan duniawi, yakni bahwa ia dibimbing

3
oleh suara illahi, dan yakin bahwa penalaran yang jernih adalah syarat terpenting untuk hidup
secara benar. Dalam Apologi, Socrates membela dirinya bukanlah demi kepentingannya sendiri,
melainkan demi kepentingan para hakim. Menurutnya, para hakim adalah nyamuk masyarakat,
dikirim dewa ke negeri itu, dan tak mudah menemukan orang lain semacam dia (Socrates).
Sokrates menjawab (menyangkal) tuduhan itu, dan menanyakan kepadanya , siapakah orang
yang memperbaiki pemuda. Melithus menjawab mula-mula para hakim, kemudian terdesak
sedikit mengatakan bahwa semua orang Athena kecuali Sokrates memperbaiki pemuda. Sokrates
mengucapkan selamat bahwa Athena memiliki nasib baik untuk memiliki begitu banyak orang
yang berusaha memperbaiki pemuda, dan orang-orang baik tentu lebih pantas untuk dipergauli
dari pada orang jelek, maka dari itu ia tidak akan dapat menjadi begitu bodoh untuk dapat
merusak mereka dengan sengaja. Setelah keputusan dibacakan, ia ditolak hukuman alternatif
sebesar tiga puluh minae (yang untuk ini Socrates menyebut nama Plato sebagai salah seorang
yang sanggup membayarnya, dan hadir dalam sidang itu), dan Sokrates menyampaikan pidato
terakhiranya tentang kematian. Ia mengatakan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya,
kematian merupakan terpisahnya jasad dari ruh untuk melanjutkan ke dunia selanjutnya. Dalam
proses pengadilan Socrates dinyatakan bersalah dengan suara 280 melawan 220 (Bertens,
1975:82). Ia dituntut hukuman mati. Sokrates dihukum mati dengan meminum racun, ada yang
menyebutkan racun dari tumbuhan cemara, yang jelas racun itu yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan.

Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filosof setia kepada ajarannya dan
tetap menggenggam teguh keyakinanya meskipun nyawa menjadi taruhannya. Sokrates telah
meninggal dunia, tetapi nama dan pemikiran-pemikirannya tetap hidup untuk selama-lamanya.
Socrates merupakan orang yang biasa-biasa saja, semua orang sepakat bahwa raut muka Socrates
amat buruk, hidungnya papak dan perutnya begitu gendut; ia “lebih jelek ketimbang para Silenus
dalam drama Satiris” (Xenopon, Symposium). Ia selalu mengenakan pakaian kumal dan tua,
kemanapun ia pergi selalu bertelanjang kaki. Sikapnya yang tak peduli pada panas dan dingin,
lapar dan haus mengherankan semua orang. Dalam Symposium, Alkibiades yang mengisahkan
Socrates ketika menjalani tugas militer bahwa dia lebih tanggung dibandingkan teman-teman
lainnya. Ketika dalam keadaan terputus dalam perbekalan dan terpaksa berangkat tanpa
makanan, dia tetap perkasa dibandingkan yang lain. Pada saat itu cuaca sedang beku, tanpa

4
menghiraukan rasa dingin dia tetap melangkah dengan pasti diatas tumpukan es yang membatu
dengan berpakaian seperti biasanya, kumal dan bertelanjang kaki. Kemampuan mengendalikan
semua nafsu jasmani terus-menerus ditonjolkan. Dia jarang minum anggur, namun selagi dia
mau, dia lebih kuat minum dibanding semua orang.

B. Pemikiran filsafat Socrates


Kaum sofis hidup sejaman dengan Socrates, dan memang ada kesamaan pendapat
diantara keduanya itu. Menurut Cicero, Socrates memindahkan filsafat dari langit ke bumi,
artinya sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Akan tetapi bukan
hanya Socrates yang membuat demikian, kaum sofis juga. Mereka juga menjadikan manusia
sasaran pemikiran mereka. Itulah sebabnya Aristophanes menyebut Socrates seorang sofis.
Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara Socrates dan kaum sofis. Filsafat Socrates
adalah suatu reaksi dan suatu kritik terhadap kaum sofis. Sebutan “sofis” mengalami
perkembangan sendiri. Sebelum abad ke-5 istilah itu berarti: sarjana, cendekiawan. Pada abad
ke-4 para sarjana atau cendekiawan bukan lagi disebut “sofis”, tetapi “filosofis”, filsuf, sedang
sebutan “sofis” dikenakan untuk para guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar.
Akhirnya sebutan “sofis” tidak harum lagi, karena seorang sofis adalah orang yang menipu orang
lain dengan memakai alasan-alasan yang tidak sah. Para guru berkeliling itu dituduh sebagai
orang-orang yang minta uang bagi ajaran mereka.

Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyangkan teori-teori sains yang telah
mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan
dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa
tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang.
Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya, Socrates tidak
meninggalkan tulisan. Kaum sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif
kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat
membuktikan kepada kaum sofis bahwa pengetahuan yang umum itu ada, yaitu definisi itu
sendiri. Jadi, kaum sofis tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat
umum dan sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya relatif.
Seperti contoh berikut: apakah kursi itu? Orang bisa periksa seluruh kursi, kalau bisa seluruh

5
kursi yang ada dunia ini. Misalnya kursi hakim terdiri dari tempat duduk dan sandaran, berkaki
empat, dari bahan kayu jati. Kedua, kursi malas, terdiri dari tempat duduk, sandara dan berkaki
empat, terbuat dari besi anti karat begitulah seterusnya. Jadi dapat diambil kesimpulah bahwa
setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi.
Sedangkan ciri yang lain tidak dimiliki semua kursi. Maka, semua orang akan sepakat bahwa
kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Contoh tersebut merupakan kebenaran obyektif –
umum, tidak subyektif – relatif. Tentang jumlah kaki, bahan, ukuran, dsb. Merupakan kebenaran
yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan umum, itulah definisi.

Ajarannya dapat diperolah dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Bartens menjelaskan
ajaran Socrates itu ditujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan
sains dan agama. Cara sokrates memberikan ajarannya adalah ia mendatangi orang dengan
bermacam-macam latar belakang mereka, seperti: ahli politik, pejabat, tukang dan lain-lain.
Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis
pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, adil dan
tidak adil, berani dan pengecut, dsb. Socrates selalu menanggapi jawaban pertama sebagai
hipotesis dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik konsekuensi-konsekuensi yang
dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat
dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti
dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitu
seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia (kebingunan). Akan tetapi, tidak
jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa
digunakan Socrates biasanya disebut dialektika. Menurut Plato, dialektika dalam pengertian
sebagai metode untuk menggali pengetahuan dengan cara tanya jawab, bukan ditemukan oleh
Socrates. Agaknya metode ini pertama kali dipraktikkan secara sistematis oleh Zeno, murid
Parmenindes; dalam dialog Plato berjudul Parmenindes, Zeno mengungguli Socrates lewat cara
yang sama dengan yang terjadi dalam dialog-dialog Plato lainnya di mana Socrates mengungguli
orang-orang lain. Namun ada cukup alasan untuk menduga bahwa Socrates mempraktikkan
sekaligus mengembangkan merode ini. Metode Socrates dinamakan dialektika karena dialog
mempunyai peranan penting didalamnya. Sebutan yang lain ialah maieutika, seni kebidanan,

6
karena cara ini Socrates bertindak seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bayi
“pengertian yang benar”.

Dengan cara bekerja yang demikian itu Socrates menemukan suatu cara berfikir yang disebut
induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak
pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya: banyak orang yang menganggap keahliannya (tukang
besi, tukang sepatu, pemahat, dll) sebagai keutamaannya. Seorang tukang besi berpendapat,
bahwa keutamaannya adalah jikalau ia membuat alat-alat dari besi yang baik. Seorang tukang
sepatu menganggap sebagai keutamaanya, jikalau ia membuat sepatu yang baik. Demikian
seterusnya. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus
keutamaan-keutamaan yang bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan
yang sifatnya umum. Demikianlah dengan induksi itu sekaligus ditemukan apa yang disebut
definisi umum. Definisi umum ini pada waktu itu belum dikenal. Socrateslah yang
menemukannya, yang ternyata penting sekali bagi ilmu pengetahuan. Bagi Socrates definisi
umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan ilmu pengetahuan, melainkan bagi etika.
Yang diperlukan adalah pengertian-pengertian etis, seperti umpamanya: keadilan, kebenaran,
persahabatan dan lain-lainya.

Socrates juga mengatakan bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas
hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat
manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa adalah intisari manusia,
maka manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimon atau
jiwa yang baik), lebih dari pada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, seperti
umpamanya: kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang
sebaik mungkin. Jikalau hanya hidup saja, hal tersebut belum ada artinya. Pendirian Socrates
yang terkenal adalah “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu
menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang
hidup baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan
manusia.

7
Pada bagian kisah terakhir dalam hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan tentang
apa yang terjadi sesudah mati, ia benar-benar yakin pada imortalitas. Seperti dalam cuplikan
pidato penutup Socrates setelah dia dijatuhi hukuman mati:

“Dan sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib kalian;
sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia dianugerahi kemampuan
meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama sesudah kepergianku
maka hukuman yang jauh lebih berat daripada yang kalian timpakan kepadaku pasti akan
menantimu… jika kalian menyangka bahwa dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal
orang itu sehingga tak mengecam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan
keluar terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan
memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri. Kematian mungkin
sama dengan tidur tanpa mimpi –yang jelas baik- atau mungkin pula berpindahnya jiwa ke dunia
lain. Dan adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan untuk berbincang dengan
Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dab Homerus? Maka, sekiranya hal ini benar, biarlah aku mati
berulang kali. Di dunia lain itu mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya karena suka
bertanya: tentu tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita saat ini, mereka yang di
dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu benar… “

Dari uraian pidato penutup diatas, Socrates telah percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, dan
mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya
meninggalkan jasad. Socrates berpendapat bahwa ruh itu telah ada sebelum manusia, dalam
keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah bertali dengan tubuh manussia, tetapi
diwaktu manusia itu mati, ruh itu kembali kepada asalnya semua. Diwaktu orang berkata kepada
Socrates, bahwa raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab: “Socrates adalah di dalam
kendi, raja hanya bisa memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut”.
Maksudnya, yang hancur luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal (abadi).

8
C. METODE SOCRATES
Socrates tidak pernah menulis. Ia tidak pernah mengajarkan filosofi, melainkan hidup
berfilosofi. Bagi dia, filosofi bukan misi, bukan hasil, bukan ajaran yang bersandarkan dogma,
melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran, ia bukan ahli pengetahuan
melainkan pemikir.

Ajarannya itu hanya di kenal dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Untuk
mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesulitannya adalah
dalam tulisannya, Plato banyak menuangkan pendapatnya sendiri kedalam ajaran Socrates.

Tujuan Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Socrates
berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari. Dalam mencari kebenaran itu ia tidak
berpikir sendiri melainkan tanya jawab. Kebenaran harus lahir dari jiwa. Metodenya disebut
maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai bidan.

Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap. Sebab itu ia selalu bertanya : apa itu ? apa
yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil ?. Tanya jawab, yang
dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.

Oleh karena itu Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya jawab, maka jalan yang
ditempuhnya ialah metode induksidan definisi. Kedua-duanya yaitu bersangkutan. Induksi
menjadi dasar definisi.

Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Dengan melalui
induksi sampai kepada definisi.Definisi yaitu pembentukan pengertian yang umum. Induksi dan
definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.

D. ETIKA SOCRATES

Budi ialah tahu, kata Socrates. Orang yang berpengetahuan dengan  sendirinya berbudi baik.
Siapa yang mengetahui hukum pasti bertindak dengan pengetahuannya. Oleh karena budi
berdasar atas pengetahuan maka budi itu dapat dipelajari. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa
ajaran etik Socrates bersifat intelektual dan juga rasional. Apabila budi adalah tahu maka tak ada

9
orang yang sengaja berbuat jahat.Kedua-duanya, budi dan tahu bersangkut-paut. “Jahat” hanya
datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau
penglihatan yang benar.

Oleh karna budi adalah tahu, maka siapa yang mengetahui kebaikan pastilah dia berbuat baik.
Menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup. Apa itu
‘kesenangan hidup’ ? hal ini tidak pernah dipersoalkan oleh Socrates sehingga murid-muridnya
kemudian memberikan pendapatnya sendiri-sendiri yang bertentangan satu sama lain.

Menurut Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan
sifatnya dan kebaikan budinya. Dari pandangan etik yang rasional itu Socrates sampai pada sikap
hidup yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya didzalimi lebih baik dari pada
mendzalimi. Socrates adalah orang yang mempercayai tuhan.

E. MURID-MURID SOCRATES

Diantara murid-murid Socrates ada tiga orang yang mengaku meneruskan pelajarannya, yaitu
Euklides, Antisthenes dan Aristippos.

EUKLIDES mengajarkan filosofinya di kota Megara. Sebelum ia belajar pada Socrates, ia telah
mempelajari filosofi Elea, terutama ajaran Permenindes yang mengatakan bahwa yang ada itu
ada, satu, tidak berubah-ubah. Pendapat ini disatukan dengan etika Socrates. Lalu diajarkannya:
Yang satu itu baik. Hanya orang sering menyebut yang satu itu dengan berbagai anggapan:
Tuhan, akal, dan lainnya. Lawan satu itu tiada.Yang baik selalu ada, tidak berubah.

ANTISTHENES mula-mula murid guru sofis Gorgias. Kemudian ia menjadi pengikut Socrates.
Setelah Socrates meninggal, ia membuka sekolah filosofi di Atena dan diberi nama Gymnasium
Kynosarges. Menurut ajaran Antisthenes, budi adalah satu-satunya yang baik. Budi adalah segala
rasa cukup. Di luar itu tidak perlu mencari kesenangan hidup.

Dalam dua halia menyimpang dari Socrates. Pertama, ia memungut biaya sekolah. Bagi Socrates,
ia pantang menerima bayaran. Kedua, tentang pengertian. Bagi Antisthenes, pengertian itu tidak

10
ada. Yang adahanya kata-kata, masing-masing mempunyai arti sendiri. Kata yang satu tak dapat
menentukan kata yang lain.

ARISTIPPOS magajarkan filosofinya di Kyrena.Mula-mula ia belajar pada guru sofis dan


kemudian menjadi murid Socrates. Dalam ajarannya ia jauh menyimpang dari Socrates. Menurut
pendapatnya, kesenangan hidup harus menjadi tujuan. Sebab itulah, ajarannya disebut
hedonisme. Hanya kesenangan hidup harus dicapai dengan pertimbangan yang tepat, tidak
serampangan.

Euklides, Antisthenes dan Aristippos, masing-masing mendirikan sekolah Socrates sebagai tanda
cinta kepada gurunya. Namun mereka bukanlah murid Socrates yang sepenuhnya.Murid Socrates
yang sesungguhnya adalah Plato.

Dibandingkan dengan gurunya, Socrates, Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya.
Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu
realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu
bukan “yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada
secara kongkret, yaitu ide. Dunia ide inilah yang hanya dapat dipikirkandan diketahui oleh akal.

11
BAB III

KESIMPULAN

Ajaran Socrates merupakan tulisan yang ditulis oleh Plato. Perjuangannya telah menumbuhkan
seorang filosof-filosof yang mampu berpikir kritis dan melanjutkan perjalanan Socrates.

Dan karna fikiran kritis itulah, tumbuh pemikiran yang benar dan rasional.Socrates dengan
pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai
nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah, di mana keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan
keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.

PENUTUP

Demikian makalah dari kami yang dapat kami uraikan, kurang lebihnya kami mohon maaf. Bila
ada kritik dan saran mari kita diskusikan bersama.

12

Anda mungkin juga menyukai