Anda di halaman 1dari 20

Draf buku teks mulok kelas VII

1. Selayang Pandang Kota Tarakan


2. Sejarah Suku Tidung
3. Bahasa Tidung Sehari – hari (
4. Cerita Tradisional (Benayuk, Aki Balak, Aki Pingka, Perapat Silau)
5. Kearifan Lokal (Bepakot, Tenguyun)
6. Permainan Tradisional (Tegasing, Belego, Simbon, Bepincor, Lepokan, Sapuk)

1. Selayang Pandang Kota Tarakan


2. Sejarah Suku Tidung
3. Bahasa Tidung Sehari – hari (
4. Cerita Tradisional (Benayuk, Aki Balak, Aki Pingka, Perapat Silau)
5. Kearifan Lokal (Bepakot, Tenguyun)
6. Permainan Tradisional

Tidung Tarakan, sebagaimana suku di daerah lain nusantara, memiliki beragam permainan
tradisional, yakni jenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak, serta merupakan suatu
tradisi yang diwarisi secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Beberapa permainan berikut ini mungkin prinsipnya sama, namun dengan nama yang berbeda
di daerah lain.
a. Asinan

Lomba permainan tradisional, radar tarakan


Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki berbagai keragaman, mulai dari keragaman
suku, budaya, bahasa, maupun tradisi. Karena kaya akan keberagaman bahasanya, mungkin
begitulah cara kami anak-anak yang lahir tahun 90 an menyebut nama permainan tradisional
tersebut, dengan sebutan asinan. Di daerah lain mungkin beda penamaannya.
Asinan merupakan sebuah permainan yang mengandalkan kekompakan sebuah tim. Menang
dan kalahnya dalam melakukan permainan ini tergantung oleh tim dan strategi kita dalam
memainkannya. Permainan ini biasa dilakukan di tanah lapang dan juga ditanah yang
berumput agar saat melakukan sodoran tidak mengalami lecet atau luka-luka.
Cara memainkan permainan tradisional ini adalah sebagai berikut:
Pertama, membuat garis lurus ditanah, dan digaris inilah nantinya penjaga akan menjaga
lawannya supaya tidak dapat melewatinya. Kiri dan kanan dibuat garis horizontal sebagai
tanda batas garis pertahan, dan pemain tidak boleh melewati garis batas tersebut kecuali tim
lawan yang sedang melakukan penjagaan yang boleh berjalan di antara garis tersebut dengan
melakukan sodoran.
Kedua, tim biasanya terdiri dari 3 - 4 orang. Tim yang menang adalah tim yang salah satu
anggotanya berhasil berlari meleati penjagaan dan tidak terkena sentuhan tim lawan hingga
garis finish. Jika ada 4 orang yang memainkannya, maka garis terdapat 4 buah, dan ditengah-
tengah akan diberikan garis untuk melakukan sodoran kepada tim lawan.
Ketiga, sebelum memulai pertandingan para pemain akan melakukan pengundian (biasanya
dengan cara hompimpa), dan dari sini diketahui tim mana yang akan berjaga dan tim mana
yang akan berlari menghindari penjaga. Oleh sebab itu kekuatan untuk berlari sangat
diperlukan saat melakukan permainan ini.
Bagi tim yang kalah undian, maka ia bertugas untuk menjaga tim lawan digaris yang telah
diolah tersebut. Dan tim lawan bersiap-siap untuk meleati tim penjaga. Jika ada satu orang
saja yang berhasil melewati seluruh garis penjaga maka timnya lah yang sebagai
pemenangnya. Untuk itu sebelum memulai permainan diaturlah terlebih dahulu siapa-siapa
yang akan menjaga digaris terdepan hingga digaris terakhir, dan untuk tim lawan maka
strategi yang tepat sangat diperlukan guna dapat melawati garis penjaga.

Dan jika ada salah satu dari tim lawan yang tersentuh oleh tim penjaga, maka permainan
berakhir dan tim lawan akan bertugas sebagai tim penjaga, dan tim penjaga bertugas menjadi
tim lawan yang akan melati garis-garis hingga finish. Jika terkena sentuhan kembali, maka
akan bertukar posisi kembali dan begitulah seterusnya hingga menyerah atau sudah ada yang
memenangkan pertandingannya.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik
 Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota

Catatan:
Di daerah lain dinamakan permainan Sodoran, Benteng Sodor atau Gobak Sodor yaitu suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara berlari digaris untuk menyentuh tubuh
sang lawan.
b. Bejambi (petak umpet)
ilustrasi : google foto
Petak umpet merupakan permainan yang dilakukan secara berkelompok, dan hanya satu
orang saja yang bertugas untuk menjaga sedangkan yang lain sembunyi dengan radius yang
telah disepakati. Aturan permainan harus disepakati sebelum bermain.
Permainan ini diawali dengan cara mengundi (biasanya dengan hompimpa), dan siapa yang
kalah maka ia harus berjaga di suatu tempat sambil menutup mata dan berhitung dari 1
sampai 10, untuk memberikan tempo teman yang lain sembunyi.
Setelah hitungan selesai, tugas dari orang yang kalah tersebut mencari keberadaan teman-
temannya. Dan jika ia menemukan temannya, maka ia harus segera berlari ke “markas” dan
mengatakan “PAW”. Paw disini dimaksudkan sebagai tanda bahwa ada salah seorang yang
telah diketahui keberadaannya, sehingga ia tidak dapat mengikuti permainan lagi dan
menunggu hingga semua pemain yang bersembunyi diketahui posisinya.
Jika semua pemain berhasil didapatkan, selanjutnya mereka akan berbaris dibelakang pemain
yang bertugas menjaga pohon tersebut. Kemudian di ucapkanlah nomor sesuai dengan urutan
pemain, dan jika disebutkan sebuah nomor maka anak yang pada urutan tersebut akan
bertugas menjadi penjaga pohon dan mencari teman-temannya yang bersembunyi. Untuk itu
ketika berbaris dilakukan perebutan demi menghindari angka yang akan disebutkan, dan
keberuntungan sangat diharapkan pada permainan ini.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik
 Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota

c. Beguli (kelereng)
Permainan kelereng ditemukan Tahun 3000 SM, kelereng terbuat dari batu atau tanah liat.
Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM.
Sebagaimana permainan anak di daerah lain, suku Tidung juga mengenal beguli (kelereng).
Kelereng dengan berbagai sinonim gundu (betawi), keneker (jawa), kaléci (sunda). Baguli
(Bug) adalah bola kecil dibuat dari tanah liat, marmer atau kaca untuk permainan anak-anak.
Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1,25 cm) dari ujung ke ujung.
Kelereng kadang-kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.
Teknologi pembuatan kelereng kaca ditemukan pertama kali pada tahun 1864 di Jerman.
Kelereng yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni mirip permen. Teknologi ini
segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Kelereng populer di Inggris dan negara
Eropa lain sejak abad ke-16 hingga 19
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik
 Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota
Catatan:
Ada beberapa aturan permainan yang mengarah pada “taruhan” yang dikemas adu
ketangkasan, baik individu maupun tim

d. Bitur

e. Bebantung (lepokan)
Sejenis permainan kelereng, terbuat dari tanah liat rumah kepiting yang
dikeringkan agar keras.

f. Raga (takraw)

Sumber: kayantara.com
Ini merupakan permainan yang menggunakan sebuah bola yang terbuat dari rotan atau yang
kita kenal dengan nama bola takraw. permainan dapat dilakukan oleh 3 hingga 6 orang atau
bahkan lebih.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik
 Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota

g.
h. Lugu (logo)
i.
j. Tegasing (gasing)

Sumber: google foto


Tegasing (gasing, Gangsing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan
berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di
berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan
orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.
Sejumlah daerah memiliki istilah berbeda untuk menyebut gasing. Masyarakat Jawa Barat
dan DKI Jakarta menyebutnya gangsing atau panggal. Masyarakat Lampung menamainya
pukang, warga Kalimantan Timur menyebutnya begasing, sedangkan di Maluku disebut
Apiong dan di Nusa Tenggara Barat dinamai Maggasing. Hanya masyarakat Jambi,
Bengkulu, Sumatra Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut gasing. Nama
maggasing atau aggasing juga dikenal masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Di daerah
Lombok disebut gansing. Sedangkan masyarakat Bolaang Mongondow di daerah Sulawesi
Utara mengenal gasing dengan nama Paki. Orang Jawa Timur menyebut gasing sebagai
kekehan. Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat
dari bambu disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon.
Seiring dengan perkembangan jaman, sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun
sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi
bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing
tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada
panjang lengan orang yang memainkan.
Gerakan gasing berdasarkan efek giroskopik. Gasing biasanya berputar terhuyung-huyung
untuk beberapa saat hingga interaksi bagian kaki (paksi) dengan permukaan tanah
membuatnya tegak. Setelah gasing berputar tegak untuk sementara waktu, momentum sudut
dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya bagian badan terjatuh
secara kasar ke permukaan tanah.
Cara memainkan gasing:
 Gasing dipegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang tali.
 Lilitkan tali pada gasing, mulai dari bagian paksi sampai bagian badan gasin, lilit kuat
sambil berputar.
 Lempar gasing ke tanah.
 Gasing yang dilempar akan berputar untuk beberapa saat hingga interaksi kakinya dengan
permukaan tanah membuatnya tegak lalu berputar untuk beberapa waktu. Lama-lama
putaran semakin memelan dan momentum sudut dan efek giroskopik berkurang, hingga
akhirnya badan gasing jatuh ke permukaan tanah.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik

k. Ketikan (katapel)

Sumber: google foto


Katapel di Indonesia sering disebut dengan pelinteng atau blandring. Dalam dunia anak
Tidung lebih dikenal dengan nama “ketikan”.
Katapel banyak digunakan untuk berburu hewan kecil seperti burung kecil atau capung, atau
sekadar untuk bermain perang-perangan dengan teman sebaya di waktu masih anak-anak.
Katapel di Indonesia terdiri dari bahan kayu dan karet, karet yang digunakan biasanya berasal
dari ban kendaraan bekas. Sedangkan peluru yang digunakan biasanya batu kecil atau karet
gelang yang dibentuk bulat-bulat sehingga tidak melukai orang lain.

l. Marak (kelayangan)
Marak (kelayangan), merupakan salah satu jenis permainan suku Tidung, yang sering
dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa. Di daerah lain, biasanya disebut dengan
“layang-layang”.
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari Tiongkok
sekitar 2500 Sebelum Masehi. Sedangkan penggambaran layang-layang tertua adalah dari
lukisan gua periode mesolitik di pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang telah ada sejak 9500-
9000 tahun SM. Lukisan tersebut menggambarkan layang-layang yang disebut kaghati, yang
masih digunakan oleh orang-orang Muna modern. Layang-layang terbuat dari daun kolope
(umbi hutan) untuk layar induk, kulit bambu sebagai bingkai, dan serat nanas hutan yang
dililitkan sebagai tali, meskipun layang-layang modern menggunakan senar sebagai tali.
Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di Tiongkok dan di Nusantara
karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat
dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang
adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival
layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik

m. Pansa (panco)

Sumber: google foto

Panco adalah sebuah olahraga antara dua orang dengan saling mendorong atau menolak
tangan lawan hingga salah satu tangan lawan roboh ke alas permainan. Pemenang panco
adalah orang yang tangannya berhasil merobohkan tangan lawannya.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik
n. Bebinti (bente)

Sumber: google foto


Bebinti merupakan permainan kaki, sebagaimana panco menggunakan tangan.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
 Sportifitas, ketangkasan fisik

o. Sapuk

p. Leduman (meriam bambu)

Sumber: google foto


Leduman (Meriam bambu) merupakan salah satu permainan tradisional Melayu khas
yang cukup populer serta dikenal di berbagai daerah–daerah Melayu, bahkan hampir
di seluruh wilayah nusantara pada umumnya. Selain disebut dengan istilah meriam
bambu, di berbagai daerah permainan ini dikenal juga dengan berbagai nama, seperti:
bedil bambu, mercon bumbung, long bumbung, dan sebagainya. Permainan bedil
bambu ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki dalam rangka memeriahkan bulan
puasa menjelang hari raya, dan peringatan hari besar agama maupun adat.
Permainan meriam bambu diperkirakan terinspirasi dari senjata yang dipakai oleh
bangsa portugis saat mereka berupaya menduduki wilayah nusantara pada abad ke–
16. Meriam adalah senjata modern yang dimiliki oleh bangsa Portugis. Pada masa itu,
kehadiran meriam bagi orang-orang pribumi menjadi perhatian mereka. Mereka heran
melihat ada benda yang dapat mengeluarkan bola panas yang mengakibatkan
kerusakan besar. Merujuk pada kisah asal-usulnya tersebut, permainan Meriam bambu
atau bedil bambu diwujudkan dalam bentuk "meriam" yang dibuat dari bahan bambu.
Cara memainkannya pun nyaris sama dengan penggunaan meriam sungguhan, yakni
dengan menyulut lubang yang ada di bagian pangkal bambu dengan api. Permainan
Meriam bambu ini sangat digemari oleh anak-anak dan kaum remaja laki-laki di
banyak daerah di Indonesia. Tidak jarang sekumpulan anak laki-laki berlomba–lomba
membunyikan meriam bambu. Barang siapa yang berhasil menghasilkan suara
ledakan paling keras, itulah yang diakui sebagai jagonya meriam bambu. Tidak
jarang, lantaran terlalu kerasnya suara dentuman yang ditimbulkan, Meriam bambu
bisa pecah dan terbelah menjadi dua bagian.

Pada prinsipnya, permainan meriam bambu sebenarnya bukan tergolong dalam


permainan yang bersifat kompetisi, melainkan hanya hiburan semata. Tidak hanya itu,
permainan Meriam bambu sudah menjadi tradisi yang secara turun – temurun
dimainkan secara rutin,
Sebagaimana daerah nusantara dan daerah melayu seperti, Malaysia dan Brunei
Darussalam, dan lainnya yang mengenal tradisi permainan Meriam bamboo,
permainan ini masih bertahan dikarena telah menjadi tradisi turun - temurun dan
selalu ada setiap tahunnya dalam perayaan hari hari besar agama.

Nilai -nilai Budaya yang terkandung dalam permainan leduman


Beberapa nilai luhur yang terkandung dalam permainan leduman antara lain:

 Memaknai perayaan hari besar. Permainan Meriam bambu dilakukan sebagai


salah satu cara untuk menyambut datangnya hari-hari besar, semisal bulan
Ramadan, hari raya, hari besar keagamaan, ataupun hari besar adat.
 Wujud syukur dan kegembiraan. Sebagai wujud syukur dan ungkapan
kegembiraan atas perjuangan dan keberhasilan yang diperoleh, misalnya sebagai
ungkapan syukur telah berhasil menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
 Melestarikan tradisi. Permainan Meriam bambu adalah salah satu dari sekian
banyak kekayaan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat melayu sehingga sangat
perlu untuk dilestarikan agar tidak punah terkikis oleh perkembangan zaman.
 Melatih kreativitas. Meriam bambu bukanlah permainan yang bisa dibeli dengan
mudah seperti kebanyakan permainan modern yang ada saat ini. Untuk bisa
memainkan Meriam bambu seorang harus membuat sendiri. Proses pembuatan
Meriam bambu inilah yang menjadi proses kreatif seseorang.
 Melatih keberanian. Memainkan Meriam bambu memang mengandung risiko
bahaya, namun jika tetap berhati-hati dan selalu waspada dalam memainkannya,
justru dapat melatih keberanian seseorang.
Catatan:
Meriam bambu merupakan salah satu permainan tradisional yang dimiliki oleh bangsa
bangsa melayu serumpun. Permainan harus terus dijaga kelestariannya supaya tidak
punah meskipun di zaman sekarang, terutama di kota-kota besar, tradisi permainan
Meriam bambu sudah mulai sulit ditemukan, selain Karena tergeser oleh berbagai
macam jenis permainan modern juga Karena sulit didapatnya bahan-bahan untuk
membuat Meriam bambu ini yang berasal dari bahan – bahan yang disediakan oleh
alam.

q. Yuyuan (yoyo)
Yuyuan (yoyo) merupakan permainan tradisional suku Tidung, hasil asimilasi budaya luar.
Pada mulanya yoyo terbuat dari kayu atau tanah liat.
Yoyo adalah permainan tertua kedua setelah boneka dan bertransformasi menjadi permainan
dengan unsur seni yang membutuhkan ketangkasan tingkat tinggi. Para peneliti berpendapat,
permainan yoyo diduga dari bangsa yunani, india dan china.
Sebagaimana beberapa jurnal, Yoyo telah dimainkan oleh bangsa Yunani sejak tahun 500 SM.
Dalam sejarah kemunculan yoyo, China menjadi negara yang lebih dipercaya menjadi tempat
munculnya permainan yoyo.
Sekitar tahun 1700 anak anak dan orang dewasa di Prancis menjadikan yoyo sebagai mainan
favoritnya, sampai pangeran louis XVII juga kepincut dengan permainan yang disebut "jou-
jou". Hal itu dapat kita lihat dalam lukisan yang terpampang di museum Prancis. sayangnya,
hobi itu tak bertahan lama dan ditinggalkan ketika masa revolusi.
Sekitar tahun 1820, para keluarga di lingkukan Kerajaan Inggris sangat mencintai permainan
yoyo. Raja George IV semasa kecilnya sudah pandai bermain yoyo. Trennya menyebar
menjadi mainan wajib para raja dan orang orang kaya disana. Mereka menyebutnya
"bandalore". Setelah itu orang orang eropa mengenalkan yoyo ke penjuru dunia termasuk
Amerika.
pada tahun 1860 dua orang asal Ohio mencoba untuk mengajukan hak paten "bandalore" agar
bisa memiliki izin melakukan eksperimen dengan variasi lain, seperti karet dan kaca. Sampai
tahun 1866 Amerika terus mengembangkan "bandalore", tapi mainan ini tidak mendapat
sambutan baik.

Timbek Juluk
Timbek Juluk adalah permainan senjata atau tembakan yang terbuat dari bambu kecil,
umumnya dimainkan oleh anak laki-laki berusia antara 7 sampai 15 tahun. Timbek Juluk
digunakan sebagai senjata dalam aksi perang-perangan melawan musuh. Disebut sebagai
permainan tembakan, karena dalam permainan ini terdengar bunyi letusan seperti bunyi
letusan senjata. Sangatlah mengasyikkan memainkan permainan ini sepulang sekolah atau
dikala sedang berlibur.
Tidak ada batasan jumlah peserta dalam permainan ini, artinya semua orang bisa bermain
bersama. Permainan ini dilakukan secara berkelompok dan minimal dua anak. Meski anak
perempuan tidak dilarang untuk mengikuti permainan Timbek Juluk, nyatanya banyak
peminatnya adalah anak laki-laki. Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak berusia
sekolah dasar, jadi 7-15 tahun.
Jalannya permainan
 Persiapan
o Sebelum memulai permainan perang, senjata harus dibuat dari bambu kecil. Anak-
anak harus menyepakati senjata bambu apa yang akan dibuat dan peluru apa yang
akan digunakan. Anak-anak berkolaborasi dalam membuat senjata dan peluru.
Ada yang bertugas mencari bambu kecil, ada juga yang khusus mencari peluru.
o Saat peralatan bermain sudah siap digunakan, anak-anak harus dibagi menjadi
beberapa kelompok dan kemudian mulai dengan senjata baru yang sudah jadi.
o Di ujung senjata ini diisi dengan peluru. Umumnya peluru yang digunakan adalah
kertas koran yang sudah dibasahi, ada juga dengan menggunakan biji jambu yang
masih kecil. Pada ujung mainan diisi agar udara di dalam bambu dapat
dipadatkan sehingga pada saat ditusuk terjadi ledakan dan sumbatnya terlepas.

 Aturan Permainan
o Tetapkan beberapa aturan yang disepakati bersama di awal permainan. Aturan-
aturan ini harus diikuti dan tidak boleh dilanggar. Jika ada peraturan yang
dilanggar, maka dianggap mati dan tidak dapat dilanjutkan permainan
o Pemain harus memiliki alat (senjata) sendiri. Jika terkena tembakan maka
dianggap mati. Para pemain harus bersembunyi.
o Teman kelompok sendiri tidak bisa ditembak.
o Tidak bisa melukai lawan
o Saat melakukan tembakan harus mengatakan "dor"
o Siapa pun yang menembak lawan terlebih dahulu dan mengenai target dianggap
mati.
o Permainan dianggap selesai jika semua lawan mati terkena tembakan dan
kelompok yang paling banyak pemainnya tersisa atau hidup dianggap menang.
 Cara Bermain
o Setelah semua persiapan selesai, semua anak harus membawa senjata bambu
masing-masing, Kemudian mereka harus membentuk kelompok secara acak.
Permainan ini tidak membutuhkan kondisi fisik yang seimbang. Namun
permainan ini membutuhkan keterampilan dari para pemainnya. Anak-anak yang
secara fisik besar atau gemuk seringkali menjadi sasaran karena kesulitan
bersembunyi.
o Ketika pembagian kelompok selesai, mereka bersembunyi satu sama lain dan
setiap kali harus menghadapi lawan mereka. Terkadang rekan satu tim perlu
berganti baju atau pakaian untuk lebih dekat dengan musuh agar lebih mudah
menembak.
o Jika tembakan mengenai sasaran, misalnya saat menembak sambil meneriakkan
nama yang diakhiri/diawali dengan "dor (nama musuh)", maka lawan dianggap
mati. Saat semua orang tertembak, permainan berakhir.

Nilai -nilai Budaya yang terkandung dalam permainan ini


Beberapa nilai luhur yang terkandung dalam permainan Timbek Juluk antara lain:
o Permainan ini tentunya akan sangat mengasyikan bagi para pemainnya karena
menimbulkan rasa gembira di hati anak-anak. Permainan ini memungkinkan anak-
anak untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai pejuang pemberani (patriotisme)
di medan perang.

o Permainan ini melatih anak mengembangkan strategi atau taktik untuk


mengalahkan lawannya. Permainan ini sebenarnya menyampaikan semangat
kepahlawanan untuk bertahan melawan musuh serta dapat juga mendorong dan
menumbuhkan nilai-nilai integritas seperti kejujuran, keberanian, kesederhanaan
dan kerjasama tim.

Daftar Pustaka
Masih ingat baju adat Tidung di uang Rp 75.000 yang tahun lalu beredar, lalu ramai karena
dianggap mirip China? Jangan salah, baju adat itu milik suku Tidung yang berasal dari
Kalimantan Utara.
Penduduk suku Tidung berasal dari bagian utara Pulau Kalimantan. Suku ini merupakan suku
asli Kalimantan, yang mana dulu pernah memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung.

Namun, Kerajaan Tidung punah akibat politik adu domba dari pihak Belanda.

Suku Tidung juga merupakan suku anak Negeri di Sabah. Jadi, Suku ini merupakan suku
bangsa yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia (Negeri Sabah).

Suku Tidung adalah salah satu suku asli Nunukan yang menganut agama Islam dan mengakui
bahwa dirinya merupakan orang Dayak. Hal ini berbeda dengan suku-suku lainnya yang telah
memeluk islam, biasanya tidak menganggap diri mereka sebagai orang Dayak.

Namun, ternyata tak semua masyarakat Tidung menyebut diri mereka sebagai keturunan
Dayak. Ada juga yang disebut dengan Tidung Ulun Pagun, kelompok di daerah pesisir.
Asal Usul Suku Tidung
Mengutip jurnal penelitian "Orang Tidung di Pulau Sebatik: Identitas Etnik, Budaya dan
Kehidupan Keagamaan" karya Muhammad Yamin Sani dan Rismawati Ibon, ada 3 versi asal
mula suku Tidung.

Menurut penjelasan Amir Hamzah, ketiga versi itu adalah versi masyarakat Tidung sendiri,
versi pemerintahan Hindia Belanda, dan versi pemerintah Republik Indonesia.

Pertama, versi masyarakat Tidung meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari
daratan Asia yang bermigrasi sekitar abad ke 5 - I SM. Saat itu, terjadi eksodus manusia dari
daratan Asia menuju pulau-pulau di sebelah Timur dan Selatan.

Mereka diduga mendarat di pantai Timur Provinsi Kalimantan Utara, yaitu sekitar daerah
Labuk dan Kinabatangan. Lalu, mereka menyebar ke daerah-daerah pesisir pantai dan pulau-
pulau di sebelah Timur. Seperti wilayah Tarakan, Bulungan Nunukan, dan Pulau Sebatik.

Kedua, versi Hindia Belanda yang mengatakan bahwa suku Tidung berasal dari Dayak
Kayan. Versi ini diduga dilatarbelakangi kepentingan politik tertentu, yang mana beberapa
pemukiman penduduk Tidung lainnya diabaikan.

Terakhir, versi pemerintah Indonesia menyatakan suku Tidung adalah Dayak Pantai yang
berasal dari daerah pegunungan di Menjelutung. Sementara suku Tidung yang mendiami
Pulau Sebatik sebagai bagian dari Nunukan, disebut sebagai Ulun Pagun atau orang
kampung.

Bahkan permukimannya pernah berpindah-pindah dari satu pinggiran sungai ke pinggiran


sungai lainnya.

Saat ini, orang-orang Tidung tersebar di sepanjang wilayah timur laut pulau Kalimantan dan
pulau-pulau kecil sekitarnya. Di antaranya yaitu di Kecamatan Nunukan dan Kecamatan
Sebatik Barat.

Orang Tidung memiliki bahasa daerah yang mirip dengan Melayu, karena wilayahnya yang
dekat dari Malaysia. Kelompok bahasa Tidung terdiri dari bahasa Tidung, Bulungan,
Kalabakan, Murut Sembakung, dan Murut Serudung.
Ada beberapa kebudayaan suku Tidung, seperti salah satunya seni yang diunggulkan dan
dibanggakan.
Contohnya yaitu seni pahatan yang ada pada unsur alat musik atau berbagai instrumen
bangunan. Bangunan ini berupa rumah adat, perkantoran, dan lembaga pemerintahan yang
mencirikan karakteristik penduduk asli.
Suku tidung juga memiliki aneka jenis alat tangkap, permainan, dan makanan khas.
Datu Norbeck, budayawan Tarakan, menjelaskan beberapa ragam alat tangkap dan alat
permainan di dalam masyarakat Tidung.
Alat tangkap masyarakat Tidung diantaranya yaitu Tamba (Kelong), Bintul (Ambau), Ubu
(Keramba), Jala, Pukat, Apon (Pancing), Sesiyut (Tangguk), dan Isit-isit.

Sedangkan alat permainan Masyarakat Tidung seperti begegala (asinan), beguli (kelereng),
bitur, bebantung (lepokan), raga (takraw), tegasing (gasing), ketikan (ketapel), marak
(kelayangan), yuyuan (yoyo), gumbak ula, dan masih banyak lagi.

Nah, menarik bukan mempelajari asal usul dan kebudayaan suku Tidung dari Kalimantan
Utara?

Baca artikel detikedu, "Asal Usul dan Kebudayaan Suku Tidung Dari Kalimantan Utara"
selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5559299/asal-usul-dan-kebudayaan-
suku-tidung-dari-kalimantan-utara.

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?tentang&active=pengertian%20dan%20domain
%20warisan%20budaya%20takbenda

Pengertian Dan Domain Warisan Budaya Takbenda


A. PENGERTIAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA

1. Warisan Budaya Takbenda atau intangible cultural heritage bersifat tak


dapat dipegang (intangible/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan
sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman
seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku
terstruktur lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya
Takbenda, 2002) 

2. Warisan Budaya Takbenda berdasarkan Konvensi 2003 UNESCO Pasal 2


ayat 2:
The “intangible cultural heritage” means the practices, representations, expressions,
knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artifacts and cultural spaces
associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as
part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation
to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their
environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense
of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity.
For the purposes of this Convention, consideration will be given solely to such intangible
cultural heritage as is compatible with existing international human rights instruments, as
well as with the requirements of mutual respect among communities, groups and individuals,
and of sustainable development. (Warisan Budaya Takbenda adalah berbagai praktik,
representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan – serta instrumen, obyek, artefak dan
ruang-ruang budaya terkait dengannya- bahwa masyarakat, kelompok dan, dalam beberapa
kasus, perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut. Warisan Budaya
Takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus diciptakan
kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi lingkungan sekitarnya, interaksi
mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberikan rasa identitas yang berkelanjutan,
untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini,
pertimbangan akan diberikan hanya kepada Warisan Budaya Takbenda yang kompatibel
dengan instrumen hak asasi manusia internasional yang ada, serta dengan persyaratan saling
menghormati antar berbagai komunitas, kelompok dan individu, dalam upaya pembangunan
berkelanjutan).

3. Pencatatan adalah kegiatan perekaman data secara tertulis untuk tujuan


pelindungan Budaya Takbenda.
4. Penetapan adalah pemberian status Budaya Takbenda menjadi Warisan
Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri yang membidangi kebudayaan.
5. Pengusulan adalah Pengajuan Warisan Budaya Takbenda Indonesia untuk
masuk ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage UNESCO.

 
B. DOMAIN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA
Mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of intangible cultural
heritage, Warisan Budaya Takbenda dibagi atas lima domain: a) Tradisi Lisan dan Ekspresi;
b) seni pertunjukan; c) adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan; d)
pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau e) keterampilan
dan kemahiran kerajinan tradisional.
1.Tradisi Lisan dan Ekspresi
Budaya Takbenda yang termasuk ke dalam Tradisi Lisan dan Ekspresi adalah :

a. Bahasa: dialek, tindak tutur, dan tingkatan berbahasa;


b. Puisi: isi syair, rima syair, tata bahasa yang diucapkan, kapan dibacakan,
aturan membacanya, lokasi, siapa yang membacakan, tujuan dibacakan,
berbentuk gurindam, syair, tembang, sajak, pantun,  pojian  (puji-pujian
religius), syi’ir (nyanyian religius), kidung, dll;
c. Cerita Rakyat: isi cerita, tata bahasa, dan moral serta makna cerita yang
terkandung di dalamnya, berbentuk dongeng, mite, legenda, epos, dll;
d. Mantra (pengaruh dari budaya lokal): bahasa yang diucapkan, kapan
dibacakan, aturan membacanya, lokasi, siapa yang membacakan, pantangan
dan anjuran, tujuan;
e. Doa (pengaruh dari agama): bahasa yang diucapkan, kapan dibacakan, aturan
membacanya, lokasi, siapa yang membacakan, pantangan dan anjuran, tujuan
f. Nyanyian Rakyat: bermain, kapan, siapa (jenis kelamin usia, stata), lokasi,
syair lagu, musik pengiring dan akapela, urutan penyajian.
g. Peribahasa:
h. Teka-teki rakyat:
i. Pertunjukan dramatik: seni teater yang bersifat spontan seperti Dul Muluk,
Lenong, dll
j. dll

2. Seni pertunjukan:
Seni pertunjukan terdiri atas :

a. Seni Tari: pola gerakan (konsentris, menyebar); penari (jenis kelamin),


lokasi (istana, bangunan sakral, lapangan, dll.); musik pengiring
(gamelan/gambelan, gendrang, akapela, dll.); kostum (warna pakaian, motif
baju, asesoris, dll.); pencahayaan (blencong,  obor, oncor, dll.); komposisi
(perorangan, berpasangan, berkelompok, dll.); tujuan (sakral, profan); jenis
dan bentuk tari,
b. Seni Suara: penyanyi, syair, lirik lagu, instrument, lokasi, waktu, pakaian,
genre (jenis).
c. Seni Musik: alat musik, jenis musik, teknik musik, tujuan, pemain, aturan
memainkan alat musik, dll
d. Seni Teater: pemain, lakon, kostum, panggung, waktu, lokasi, alat musik,
pencahayaan, dll
e. Seni Gerak: seni akrobat, seni bela diri, dll

3. Adat Istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan:


Adat Istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan, terdiri atas:

a. Upacara Tradisional: daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan,


kematian) dan daur hidup kolektif (bersih desa,  nyadran, kesuburan, dll.);
tujuan (sakral, tolak bala, dll.); lokasi (gunung, pantai/pesisir, sungai, mata
air, dll.); peserta (perorangan, keluarga, masyarakat); waktu (kalender
agama, waktu panen, waktu melaut, dll.); aturan (pantangan dan anjuran),
urutan upacara (tahapan pelaksanaan kegiatan upacara); kelengkapan (sesaji,
asesoris, peralatan, dll.);
b. Hukum adat: Isi (siapa yang diatur, apa yang diatur, bentuk aturannya, dan
sanksi adat)
c. Sistem Organisasi Sosial: kepemimpinan (adat, desa, agama, pemerintahan);
struktur (hierarki, dll.); aturan-aturan adat (pantangan dan anjuran); wilayah
organisasi sosial (subak, banjar, wanua, banua, dll.)
d. Sistem Kekerabatan Tradisional: Jenis kekerabatan, hirarki, hubungan antar
hirarki, aturan kekerabatan,
e. Sistem Ekonomi Tradisional: pasar berdasarkan pasaran (pon, kliwon, legi,
wage); pasar berdasarkan hari (minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jumat,
sabtu); barter (tukar-menukar hasil tangkapan dan hasil panen, sewa rumah
dengan hasil bumi), tawar-menawar, cara pembayaran (tunai, angsuran,
lelang, ijon, tebas, dll.);
f. Perayaan Tradisional : tujuan (sakral, tolak bala, dll.); lokasi (gunung,
pantai/pesisir, sungai, mata air, dll.); peserta (perorangan, keluarga,
masyarakat); waktu (kalender agama, waktu panen, waktu melaut, dll.);
aturan (pantangan dan anjuran), urutan perayaan (tahapan pelaksanaan
kegiatan Perayaan); kelengkapan (sesaji, asesoris, peralatan, dll.)

4. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta:


Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, terdiri atas:

a. Pengetahuan mengenai alam (mikrokosmos, makrokosmos, adaptasi,


pengolahan alam);
b. Kosmologi (Perbintangan; Pertanggalan; Navigasi;
c. Kearifan Lokal: mitigasi bencana (pengurangan resiko bencana berbasis
budaya), konservasi ekologi, harmoni kehidupan/toleransi
d. Pengobatan Tradisional: pilihan penyembuhan, teknik pengobatan, bahan
pengobatan, penyembuh (sanro,  dukun, sekerei, suwanggi,
belian, paranormal, “orang pintar”, tabib, sinshe, dll.); etiologi penyakit
(faktor-faktor penyebab terjadinya penyakit)

5. Keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional


Keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional, terdiri atas
 

a. Teknologi Tradisional (proses pembuatan, rancang bangun, cara kerja alat,


tujuan, pentingnya teknologi bagi masyarakat sekitar);
b. Arsitektur Tradisional (proses panduan rancang bangun, antropometrik –
ukuran bangunan berdasarkan tubuh manusia - depa,  jengkal, nyengking,
langka, dll.); antropomorfik (bentuk bangunan berdasarkan tubuh manusia);
bangunan berdasarkan motif ragam hias; pembuat ( pandrita lopi, pande,  );
arah hadap bangunan; bangunan ditentukan oleh status;
c. Pakaian Tradisional: (filosofi bentuk, ragam hias, warna); status pemakai;
waktu dan tata cara pemakaian; fungsi (sakral, profan); jenis kelamin
pemakai; aksesoris;
d. Kerajinan Tradisional: bahan (tanah liat, besi, kayu, batu, rotan, dll);
perkakas; pengrajin; hasil karya (gerabah, ukir kayu, kriya, sulam, kain,
dll.); teknik pengerjaan (rajut, tempa, anyam, ukir, tenun, dll.)
e. Kuliner Tradisional: bahan makanan (hewani, tumbuhan), proses ( barapen –
bakar batu - , pindang, pengasapan, fermentasi, memasak dengan pasir,
disangrai, dibakar, dikukus, ditim, pembakaran dengan media lumpur, dll.);
juru masak, waktu penyajian (pagi, siang, sore, upacara peralihan, upacara
keagamaan, upacara kenegaraan, dll.), lokasi penyajian (bangunan
keagamaan, istana, daerah sakral, bangunan pemerintahan, gunung, laut,
dll.), tata cara penyajian (makanan pembuka, makanan inti, makanan
penutup), tujuan (sakral, profan), media penyajian (takir, tempurung, ongke,
gerabah, dedaunan, dll.); makna dari makanan (mengembalikan semangat,
kesuksesan, kesucian, dll.), peralatan masak (kukusan, wajan, tungku, anglo,
sutil, dll.)
f. Transportasi Tradisional: media transportasi (binatang, manusia, alat),
pengetahuan tentang membuat mode transportasi (dokar, pedati,  kole-kole,
pinisi, sope-sope, padewakang,)
g. Senjata Tradisional : bahan (logam, kayu, bambu, dll), filosofi pembuatan
senjata  (legitimasi asal-usul); fungsi dan peran (keamanan, dakwah,
kewibawaan, kesaktian, substitusi identitas maskulin, simbol – pernyataan
perang, menyerah, penghinaan, dll.); pembuat (empu, undagi, pande, dll.),
tata cara penggunaan (pantangan/larangan penggunaan senjata dan anjuran),
waktu (hari besar, perayaan keagamaan, waktu ada bencana –  jamasan -,
dll.), proses pembuatan (ditempa, pemberian  pamor dan warangan,
pemberian warangka, pembuatan hulu/pegangan senjata, dll.)

Anda mungkin juga menyukai