Tidung Tarakan, sebagaimana suku di daerah lain nusantara, memiliki beragam permainan
tradisional, yakni jenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak, serta merupakan suatu
tradisi yang diwarisi secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Beberapa permainan berikut ini mungkin prinsipnya sama, namun dengan nama yang berbeda
di daerah lain.
a. Asinan
Dan jika ada salah satu dari tim lawan yang tersentuh oleh tim penjaga, maka permainan
berakhir dan tim lawan akan bertugas sebagai tim penjaga, dan tim penjaga bertugas menjadi
tim lawan yang akan melati garis-garis hingga finish. Jika terkena sentuhan kembali, maka
akan bertukar posisi kembali dan begitulah seterusnya hingga menyerah atau sudah ada yang
memenangkan pertandingannya.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota
Catatan:
Di daerah lain dinamakan permainan Sodoran, Benteng Sodor atau Gobak Sodor yaitu suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara berlari digaris untuk menyentuh tubuh
sang lawan.
b. Bejambi (petak umpet)
ilustrasi : google foto
Petak umpet merupakan permainan yang dilakukan secara berkelompok, dan hanya satu
orang saja yang bertugas untuk menjaga sedangkan yang lain sembunyi dengan radius yang
telah disepakati. Aturan permainan harus disepakati sebelum bermain.
Permainan ini diawali dengan cara mengundi (biasanya dengan hompimpa), dan siapa yang
kalah maka ia harus berjaga di suatu tempat sambil menutup mata dan berhitung dari 1
sampai 10, untuk memberikan tempo teman yang lain sembunyi.
Setelah hitungan selesai, tugas dari orang yang kalah tersebut mencari keberadaan teman-
temannya. Dan jika ia menemukan temannya, maka ia harus segera berlari ke “markas” dan
mengatakan “PAW”. Paw disini dimaksudkan sebagai tanda bahwa ada salah seorang yang
telah diketahui keberadaannya, sehingga ia tidak dapat mengikuti permainan lagi dan
menunggu hingga semua pemain yang bersembunyi diketahui posisinya.
Jika semua pemain berhasil didapatkan, selanjutnya mereka akan berbaris dibelakang pemain
yang bertugas menjaga pohon tersebut. Kemudian di ucapkanlah nomor sesuai dengan urutan
pemain, dan jika disebutkan sebuah nomor maka anak yang pada urutan tersebut akan
bertugas menjadi penjaga pohon dan mencari teman-temannya yang bersembunyi. Untuk itu
ketika berbaris dilakukan perebutan demi menghindari angka yang akan disebutkan, dan
keberuntungan sangat diharapkan pada permainan ini.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota
c. Beguli (kelereng)
Permainan kelereng ditemukan Tahun 3000 SM, kelereng terbuat dari batu atau tanah liat.
Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM.
Sebagaimana permainan anak di daerah lain, suku Tidung juga mengenal beguli (kelereng).
Kelereng dengan berbagai sinonim gundu (betawi), keneker (jawa), kaléci (sunda). Baguli
(Bug) adalah bola kecil dibuat dari tanah liat, marmer atau kaca untuk permainan anak-anak.
Ukuran kelereng sangat bermacam-macam. Umumnya ½ inci (1,25 cm) dari ujung ke ujung.
Kelereng kadang-kadang dikoleksi, untuk tujuan nostalgia dan warnanya yang estetik.
Teknologi pembuatan kelereng kaca ditemukan pertama kali pada tahun 1864 di Jerman.
Kelereng yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni mirip permen. Teknologi ini
segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Kelereng populer di Inggris dan negara
Eropa lain sejak abad ke-16 hingga 19
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota
Catatan:
Ada beberapa aturan permainan yang mengarah pada “taruhan” yang dikemas adu
ketangkasan, baik individu maupun tim
d. Bitur
e. Bebantung (lepokan)
Sejenis permainan kelereng, terbuat dari tanah liat rumah kepiting yang
dikeringkan agar keras.
f. Raga (takraw)
Sumber: kayantara.com
Ini merupakan permainan yang menggunakan sebuah bola yang terbuat dari rotan atau yang
kita kenal dengan nama bola takraw. permainan dapat dilakukan oleh 3 hingga 6 orang atau
bahkan lebih.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
Kerja sama tim, saling percaya, menghargai sesama anggota
g.
h. Lugu (logo)
i.
j. Tegasing (gasing)
k. Ketikan (katapel)
l. Marak (kelayangan)
Marak (kelayangan), merupakan salah satu jenis permainan suku Tidung, yang sering
dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa. Di daerah lain, biasanya disebut dengan
“layang-layang”.
Catatan pertama yang menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari Tiongkok
sekitar 2500 Sebelum Masehi. Sedangkan penggambaran layang-layang tertua adalah dari
lukisan gua periode mesolitik di pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang telah ada sejak 9500-
9000 tahun SM. Lukisan tersebut menggambarkan layang-layang yang disebut kaghati, yang
masih digunakan oleh orang-orang Muna modern. Layang-layang terbuat dari daun kolope
(umbi hutan) untuk layar induk, kulit bambu sebagai bingkai, dan serat nanas hutan yang
dililitkan sebagai tali, meskipun layang-layang modern menggunakan senar sebagai tali.
Diduga terjadi perkembangan yang saling bebas antara tradisi di Tiongkok dan di Nusantara
karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat
dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang
adalah dari Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) (abad ke-17) yang menceritakan suatu festival
layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
m. Pansa (panco)
Panco adalah sebuah olahraga antara dua orang dengan saling mendorong atau menolak
tangan lawan hingga salah satu tangan lawan roboh ke alas permainan. Pemenang panco
adalah orang yang tangannya berhasil merobohkan tangan lawannya.
Adapun dikalangan anak-anak Tidung, sebagaimana permainan yang lain, aturan permainan
dibuat dan disepakati terlebih dahulu sebelum melakukan permainan.
Nilai yang terkandung dalam permainan ini:
Sportifitas, ketangkasan fisik
n. Bebinti (bente)
o. Sapuk
q. Yuyuan (yoyo)
Yuyuan (yoyo) merupakan permainan tradisional suku Tidung, hasil asimilasi budaya luar.
Pada mulanya yoyo terbuat dari kayu atau tanah liat.
Yoyo adalah permainan tertua kedua setelah boneka dan bertransformasi menjadi permainan
dengan unsur seni yang membutuhkan ketangkasan tingkat tinggi. Para peneliti berpendapat,
permainan yoyo diduga dari bangsa yunani, india dan china.
Sebagaimana beberapa jurnal, Yoyo telah dimainkan oleh bangsa Yunani sejak tahun 500 SM.
Dalam sejarah kemunculan yoyo, China menjadi negara yang lebih dipercaya menjadi tempat
munculnya permainan yoyo.
Sekitar tahun 1700 anak anak dan orang dewasa di Prancis menjadikan yoyo sebagai mainan
favoritnya, sampai pangeran louis XVII juga kepincut dengan permainan yang disebut "jou-
jou". Hal itu dapat kita lihat dalam lukisan yang terpampang di museum Prancis. sayangnya,
hobi itu tak bertahan lama dan ditinggalkan ketika masa revolusi.
Sekitar tahun 1820, para keluarga di lingkukan Kerajaan Inggris sangat mencintai permainan
yoyo. Raja George IV semasa kecilnya sudah pandai bermain yoyo. Trennya menyebar
menjadi mainan wajib para raja dan orang orang kaya disana. Mereka menyebutnya
"bandalore". Setelah itu orang orang eropa mengenalkan yoyo ke penjuru dunia termasuk
Amerika.
pada tahun 1860 dua orang asal Ohio mencoba untuk mengajukan hak paten "bandalore" agar
bisa memiliki izin melakukan eksperimen dengan variasi lain, seperti karet dan kaca. Sampai
tahun 1866 Amerika terus mengembangkan "bandalore", tapi mainan ini tidak mendapat
sambutan baik.
Timbek Juluk
Timbek Juluk adalah permainan senjata atau tembakan yang terbuat dari bambu kecil,
umumnya dimainkan oleh anak laki-laki berusia antara 7 sampai 15 tahun. Timbek Juluk
digunakan sebagai senjata dalam aksi perang-perangan melawan musuh. Disebut sebagai
permainan tembakan, karena dalam permainan ini terdengar bunyi letusan seperti bunyi
letusan senjata. Sangatlah mengasyikkan memainkan permainan ini sepulang sekolah atau
dikala sedang berlibur.
Tidak ada batasan jumlah peserta dalam permainan ini, artinya semua orang bisa bermain
bersama. Permainan ini dilakukan secara berkelompok dan minimal dua anak. Meski anak
perempuan tidak dilarang untuk mengikuti permainan Timbek Juluk, nyatanya banyak
peminatnya adalah anak laki-laki. Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak berusia
sekolah dasar, jadi 7-15 tahun.
Jalannya permainan
Persiapan
o Sebelum memulai permainan perang, senjata harus dibuat dari bambu kecil. Anak-
anak harus menyepakati senjata bambu apa yang akan dibuat dan peluru apa yang
akan digunakan. Anak-anak berkolaborasi dalam membuat senjata dan peluru.
Ada yang bertugas mencari bambu kecil, ada juga yang khusus mencari peluru.
o Saat peralatan bermain sudah siap digunakan, anak-anak harus dibagi menjadi
beberapa kelompok dan kemudian mulai dengan senjata baru yang sudah jadi.
o Di ujung senjata ini diisi dengan peluru. Umumnya peluru yang digunakan adalah
kertas koran yang sudah dibasahi, ada juga dengan menggunakan biji jambu yang
masih kecil. Pada ujung mainan diisi agar udara di dalam bambu dapat
dipadatkan sehingga pada saat ditusuk terjadi ledakan dan sumbatnya terlepas.
Aturan Permainan
o Tetapkan beberapa aturan yang disepakati bersama di awal permainan. Aturan-
aturan ini harus diikuti dan tidak boleh dilanggar. Jika ada peraturan yang
dilanggar, maka dianggap mati dan tidak dapat dilanjutkan permainan
o Pemain harus memiliki alat (senjata) sendiri. Jika terkena tembakan maka
dianggap mati. Para pemain harus bersembunyi.
o Teman kelompok sendiri tidak bisa ditembak.
o Tidak bisa melukai lawan
o Saat melakukan tembakan harus mengatakan "dor"
o Siapa pun yang menembak lawan terlebih dahulu dan mengenai target dianggap
mati.
o Permainan dianggap selesai jika semua lawan mati terkena tembakan dan
kelompok yang paling banyak pemainnya tersisa atau hidup dianggap menang.
Cara Bermain
o Setelah semua persiapan selesai, semua anak harus membawa senjata bambu
masing-masing, Kemudian mereka harus membentuk kelompok secara acak.
Permainan ini tidak membutuhkan kondisi fisik yang seimbang. Namun
permainan ini membutuhkan keterampilan dari para pemainnya. Anak-anak yang
secara fisik besar atau gemuk seringkali menjadi sasaran karena kesulitan
bersembunyi.
o Ketika pembagian kelompok selesai, mereka bersembunyi satu sama lain dan
setiap kali harus menghadapi lawan mereka. Terkadang rekan satu tim perlu
berganti baju atau pakaian untuk lebih dekat dengan musuh agar lebih mudah
menembak.
o Jika tembakan mengenai sasaran, misalnya saat menembak sambil meneriakkan
nama yang diakhiri/diawali dengan "dor (nama musuh)", maka lawan dianggap
mati. Saat semua orang tertembak, permainan berakhir.
Daftar Pustaka
Masih ingat baju adat Tidung di uang Rp 75.000 yang tahun lalu beredar, lalu ramai karena
dianggap mirip China? Jangan salah, baju adat itu milik suku Tidung yang berasal dari
Kalimantan Utara.
Penduduk suku Tidung berasal dari bagian utara Pulau Kalimantan. Suku ini merupakan suku
asli Kalimantan, yang mana dulu pernah memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung.
Namun, Kerajaan Tidung punah akibat politik adu domba dari pihak Belanda.
Suku Tidung juga merupakan suku anak Negeri di Sabah. Jadi, Suku ini merupakan suku
bangsa yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia (Negeri Sabah).
Suku Tidung adalah salah satu suku asli Nunukan yang menganut agama Islam dan mengakui
bahwa dirinya merupakan orang Dayak. Hal ini berbeda dengan suku-suku lainnya yang telah
memeluk islam, biasanya tidak menganggap diri mereka sebagai orang Dayak.
Namun, ternyata tak semua masyarakat Tidung menyebut diri mereka sebagai keturunan
Dayak. Ada juga yang disebut dengan Tidung Ulun Pagun, kelompok di daerah pesisir.
Asal Usul Suku Tidung
Mengutip jurnal penelitian "Orang Tidung di Pulau Sebatik: Identitas Etnik, Budaya dan
Kehidupan Keagamaan" karya Muhammad Yamin Sani dan Rismawati Ibon, ada 3 versi asal
mula suku Tidung.
Menurut penjelasan Amir Hamzah, ketiga versi itu adalah versi masyarakat Tidung sendiri,
versi pemerintahan Hindia Belanda, dan versi pemerintah Republik Indonesia.
Pertama, versi masyarakat Tidung meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari
daratan Asia yang bermigrasi sekitar abad ke 5 - I SM. Saat itu, terjadi eksodus manusia dari
daratan Asia menuju pulau-pulau di sebelah Timur dan Selatan.
Mereka diduga mendarat di pantai Timur Provinsi Kalimantan Utara, yaitu sekitar daerah
Labuk dan Kinabatangan. Lalu, mereka menyebar ke daerah-daerah pesisir pantai dan pulau-
pulau di sebelah Timur. Seperti wilayah Tarakan, Bulungan Nunukan, dan Pulau Sebatik.
Kedua, versi Hindia Belanda yang mengatakan bahwa suku Tidung berasal dari Dayak
Kayan. Versi ini diduga dilatarbelakangi kepentingan politik tertentu, yang mana beberapa
pemukiman penduduk Tidung lainnya diabaikan.
Terakhir, versi pemerintah Indonesia menyatakan suku Tidung adalah Dayak Pantai yang
berasal dari daerah pegunungan di Menjelutung. Sementara suku Tidung yang mendiami
Pulau Sebatik sebagai bagian dari Nunukan, disebut sebagai Ulun Pagun atau orang
kampung.
Saat ini, orang-orang Tidung tersebar di sepanjang wilayah timur laut pulau Kalimantan dan
pulau-pulau kecil sekitarnya. Di antaranya yaitu di Kecamatan Nunukan dan Kecamatan
Sebatik Barat.
Orang Tidung memiliki bahasa daerah yang mirip dengan Melayu, karena wilayahnya yang
dekat dari Malaysia. Kelompok bahasa Tidung terdiri dari bahasa Tidung, Bulungan,
Kalabakan, Murut Sembakung, dan Murut Serudung.
Ada beberapa kebudayaan suku Tidung, seperti salah satunya seni yang diunggulkan dan
dibanggakan.
Contohnya yaitu seni pahatan yang ada pada unsur alat musik atau berbagai instrumen
bangunan. Bangunan ini berupa rumah adat, perkantoran, dan lembaga pemerintahan yang
mencirikan karakteristik penduduk asli.
Suku tidung juga memiliki aneka jenis alat tangkap, permainan, dan makanan khas.
Datu Norbeck, budayawan Tarakan, menjelaskan beberapa ragam alat tangkap dan alat
permainan di dalam masyarakat Tidung.
Alat tangkap masyarakat Tidung diantaranya yaitu Tamba (Kelong), Bintul (Ambau), Ubu
(Keramba), Jala, Pukat, Apon (Pancing), Sesiyut (Tangguk), dan Isit-isit.
Sedangkan alat permainan Masyarakat Tidung seperti begegala (asinan), beguli (kelereng),
bitur, bebantung (lepokan), raga (takraw), tegasing (gasing), ketikan (ketapel), marak
(kelayangan), yuyuan (yoyo), gumbak ula, dan masih banyak lagi.
Nah, menarik bukan mempelajari asal usul dan kebudayaan suku Tidung dari Kalimantan
Utara?
Baca artikel detikedu, "Asal Usul dan Kebudayaan Suku Tidung Dari Kalimantan Utara"
selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5559299/asal-usul-dan-kebudayaan-
suku-tidung-dari-kalimantan-utara.
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?tentang&active=pengertian%20dan%20domain
%20warisan%20budaya%20takbenda
B. DOMAIN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA
Mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of intangible cultural
heritage, Warisan Budaya Takbenda dibagi atas lima domain: a) Tradisi Lisan dan Ekspresi;
b) seni pertunjukan; c) adat istiadat masyarakat, ritual, dan perayaan-perayaan; d)
pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau e) keterampilan
dan kemahiran kerajinan tradisional.
1.Tradisi Lisan dan Ekspresi
Budaya Takbenda yang termasuk ke dalam Tradisi Lisan dan Ekspresi adalah :
2. Seni pertunjukan:
Seni pertunjukan terdiri atas :