130-Article Text-538-2-10-20190806
130-Article Text-538-2-10-20190806
Fitra Utama
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung
E-mail: fitraootama@gmail.com
Abstrak: Perubahan struktur masyarakat pedesaan dan kekerasan struktural yang terjadi by design melalui
kebijakan pemerintah, melatar belakangi kekerasan dalam masyarakat Lampung. Masyarakat adat Lampung
mempunyai institusi yang menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari yang dinamakan piil pesenggiri. Dalam
penelitian ini, penulis ingin melihat relasi antara institusi lokal tersebut dengan kekerasan di masyarakat Lampung.
Karya ilmiah ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif yang bersifat deskriptif analitis pada kekerasan
struktural yang terjadi di dalam masyarakat yang multi etnis dengan menitik beratkan pada data primer melalui
wawancara dengan masyarakat setempat dan pengambil kebijakan serta dokumen yang mendukung. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan efektifitas institusi piil pesenggiri dalam upaya bina damai yang
ditandai dengan mengendurnya ikatan kekerabatan dan penafsiran yang menyempit terhadap institusi tersebut.
Kondisi tersebut memicu eskalasi kekerasan dalam masyarakat.
Abstract: Structural change in rural communities and structural violence that occured by design through
government policies have generated violence in Lampung society. Traditional Lampung society has an institution
called piil pesenggiri that becomes the reference of its member daily live. In this study, the author wants to observe
the relation between local institutions and violence in Lampung society. This scientific paper is a descriptive and
qualitative analytical research on structural violence that occurs in the multi-ethnic society based on the primary
data collected through series of interviews with local communities and policy makers and other supporting
documents. The result shows the effectivity decrease of the independent institution to establish peace which is
characterized by the slackened kinship ties and the narrow interpretation of the institution. These conditions
trigger the escalation of violence in the society.
yang menjadi landasan norma dan nilai Minangkabau, Kampung dalam bahasa
dalam bermasyarakat. Hadikusuma Melayu, Deso di Jawa dan lain-lain. Tiap
(1990:119) menulis penafsiran Ulun wilayah setingkat desa tersebut memliki
Lampung terhadap Piil Pesenggiri : aturan dan sistem pemerintahan yang
berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat
serta nilai budaya yang berlaku. Pada era
”Tando nou ulun Lappung, wat pi’il kolonial, pemerintah Hindia Belanda
pesinggiri, yaou balak pi’il ngemik malou membebaskan masyarakat desa mengelola
ngigau diri. Ulah nou bejuluk you be-adek, sendiri pemerintahannya sesuai dengan asal
Iling Mewari ngejuk ngakuk nemui nyimah usul desa dan kearifan lokal yang berlaku di
ulah nou pandai you nengah you nyappur, desa tersebut. Hal tersebut berlaku sampai
nyubali jejamou, begawiy balak, sakai dengan pemerintahan Sukarno dan berakhir
sembayan”. (Tandanya orang lampung, pada era Orde Baru ketika terbit Undang-
memiliki piil pesinggiri, Ia berjiwa besar, Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
mempunyai malu, menghargai diri. Karena Pemerintahan Desa. Undang-undang
Dia mempunyai panggilan dan bergelar. tersebut mengatur tentang penyeragaman
Suka bersaudara, beri-memberi terbuka pengelolaan desa, mulai dari struktur
tangan. Karena pandai, ia ramah suka pemerintahan, tugas, wewenang dan
bergaul. Mengolah bersama pekerjaan pertanggung-jawaban pemerintah desa
besar dengan tolong menolong). (kepala desa dan perangkatnya) sampai
pengelolaan keuangan desa. Aturan ini
yang kemudian mereduksi peran kearifan
Piil pesenggiri menjadi filosofi dan nilai lokal yang telah menjadi rujukan kehidupan
yang dirujuk ulun Lampung dalam masyarakat desa secara struktur dan
berkehidupan sehari-hari. Dari perspektif budaya.
perdamaian, nilai-nilai yang terkandung
dalam piil pesenggiri secara jelas Desa-desa pribumi Lampung, terutama
membimbing masyarakat untuk saling dalam masyarakat adat Pepadun, juga
menghargai, tolong-menolong, memiliki kekhasan dalam pembentukan
bermasyarakat, berjiwa besar dan bergaul instutusi adat yang merupakan
dengan baik. Tindakan ideal bagi pengejawantahan Piil Pesenggiri. Dalam
masyarakat Lampung adalah mengacu masyarakat Lampung, terdapat dua unsur
kepada nilai-nilai yang ada dalam kearifan penting yang membentuk institusi adat,
lokal tersebut. Bagi ulun Lampung, Semua yaitu Penyimbang atau Punyimbang dan
tindakan dan aktifitas masyarakat dimulai Perwatin. Penyimbang atau dalam bentuk
dari desa, dimana dalam sejarah institusi dinamakan kepenyimbangan
pembentukan desa-desa di Lampung, tiyuh merupakan suatu kepemimpinan
(desa dalam dialek Marga Sungkai Bunga genealogis patriarki (dari garis keturunan
Mayang dan Way Kanan), anek (dalam laki-laki tertua) yang berasal dari keluarga
dialek Marga Abung Siwo Migo dan batih-inti (Nuwo-Nuwa-Lamban-necluer-
Megow Pak Tulang Bawang) atau pekon family) sebagai institusi kepemimpinan di
(dalam dialek pesisir), merupakan satuan- level bawah. (Irham, 2013)
satuan adat yang spesifik dan menjadi Dalam konteks masyarakat pedesaan di
identitas warganya dalam bergaul dalam Lampung, Undang-Undang Nomor 5
lingkup masyarakat Lampung yang lebih Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
luas. juga mempunyai pengaruh dalam proses
Masyarakat desa di Indonesia sejak deinstitusionalisasi piil pesenggiri dalam
zaman dahulu memiliki kekhasan dan pengelolaan pemerintahan dan masyarakat
karakter yang berbeda-beda. Mulai dari desa. Dalam prosesnya, peran Perwatin dan
Gampong di Aceh, Nagari di penyimbang yang merupakan representasi
piil pesenggiri dalam institusi masyarakat politik praktis alih-alih melakukan edukasi
hanya menjadi simbol belaka, tidak dan pembumian kearifan lokal.
mempunyai power dalam struktur
masyarakat desa yang merujuk pada
undang-undang diatas. Hal ini kemudian B. Rumusan Masalah
juga mereduksi filosofi piil pesenggiri a. Faktor apa yang melatar belakangi
dalam perilaku dan taran praktis melemahnya piil pesenggiri sebagai
masyarakat Lampung, dimana saat ini institusi lokal dalam masyarakat
kearifan lokal seolah berada dalam tataran Lampung?
konsep semata. b. Bagaimana melemahnya institusi piil
Gerakan reformasi pada tahun 1998, pesenggiri berdampak pada
turut membawa semangat otonomi daerah meningkatnya kekerasan?
dimana salah satu poin pentingnya adalah
revitalisasi kebudayaan masyarakat dan C. Tujuan Penelitian
adat istiadat. Kearifan lokal kembali pada Tulisan ini merupakan sebuah upaya
posisi yang terhormat dalam pengelolaan untuk menjelaskan relasi antara nilai dan
desa. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor institusi masyarakat desa yang terbentuk
43 Tahun 2014 tentang Peraturan oleh kearifan lokal dengan kekerasan yang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 cenderung meningkat. Secara spesifik,
Tahun 2014 tentang Desa, desa tidak penulis ingin melihat pengaruh
semata satuan wilayah administrasi terkecil melemahnya institusi Piil Pesenggiri yang
di Indonesia dan diseragamkan oleh di dalamnya terkandung prinsip-prinsip
pemerintah pusat, akan tetapi juga diberi bina damai dengan meningkatnya
hak untuk mengatur dan mengurus urusan kekerasan dalam masyarakat Lampung.
pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang METODOLOGI
diakui dan dihormati. (Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Karya ilmiah ini merupakan penelitian
Peraturan Pelaksanaan Undang-undang yang kualitatif yang bersifat deskriptif
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tentang analitis. Metode tersebut dipilih karena
pengertian desa.) bertujuan meneliti topik baru maupun
Aturan ini tidak serta merta merubah memahami isu-isu komplek, menjelaskan
pola birokrasi dan pola pikir masyarakat tentang kepercayaan seseorang dan tingkah
pedesaan, terlebih karena aturan birorasi laku, serta untuk mengidentifikasi norma
pemerintahan desa juga tidak banyak sosial dan budaya dari kebudayaan dan
berubah dibanding dengan Undang-undang masyarakat. Metode tersebut dilakukan
Nomor 5 Tahun 1979. Posisi kepala desa melalui studi kasus deskriptif yang
secara formal masih kuat, lembaga adat berfokus pada perubahan sosial yang
masih berkontribusi minimal dalam berpengaruh terhadap pemahaman
pengelolaan desa dan generasi muda yang masyarakat adat pepadun dan memicu
terlanjur awam atas kearifan lokalnya. munculnya kekerasan struktural.
Memang dalam masyarakat muncul
organisasi berlatar belakang etnis Lampung
seperti Lampung Sai dan Majelis
Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang
diharapkan dapat mendorong revitalisasi
Piil Pesenggiri. Namun lembaga-lembaga
tersebut cenderung bermain di tataran
harus dijaga dengan baik melalui sifat murah hati atau dermawan (simah).
perilaku, etika, cara bergaul dalam Ada sebuah ajaran kuno dalam selalu
masyarakat yang sesuai tata titi yang ditanamkan oleh orang tua kepada
berlaku. Hal ini dimungkinkan karena generasi muda lampung, terkait adab
menjaga adok, sama dengan menjaga dalam menghargai tamu, yaitu :
harga diri atau piil itu sendiri. Bagi
masyarakat pepadun, menjunjung tinggi
adok yang telah diperolehnya sama “Sapapun sai sai khatong didepan
dengan menjaga piil atau harga dirinya ranguk nuwamu, walau kebelah hulun
sebagai ulun lampung. kebelah asu, kayin ya kukhuk. Undahko
Bejuluk beadok merupakan nginum, juk ya mengan.”
prasyarat yang harus dilakukan oleh ”Siapapun yang datang ke pintu
ulun Lampung, baik dalam adat atau
rumahmu, walaupun badannya sebelah
dalam kehidupan sehari-hari, sebelum
dapat melaksanakan prinsip-prinsip manusia sebelah anjing, terima dan
yang selanjuutnya dalam piil pesenggiri. persilakan dia masuk. Layani dengan
Tanpa juluk, apalagi adok, seseorang baik, beri dia minum dan makan.”
tidak dianggap bagian dari pepadun dan
tidak melekat piil pesenggiri baginya.
Selain juluk dan adok, ada satu lagi Frase diatas menunjukkan
sistem panggilan yang berlaku dalam bagaimana besarnya penghargaan ulun
masyarakat Lampung, yaitu tutokh. Lampung terhadap orang yang datang
Tutokh merupakan wujud tata krama
bertamu kerumahnya. Cara seseorang
berhubungan dengan kaum kerabat
maupun dengan anggota masyarakat memperlakukan tamu, memperlihatkan
lainnya yang diungkapkan dengan sikap bagimana dia memahami perannya
santun dengan menyebut nama dalam masyarakat, direpresentasikan
panggilan yang khas pada seseorang. dalam juluk dan adok. Makin tinggi
Tutokh ini tidak hanya berlaku bagi strata sosial ulun Lampung, yang dapat
kerabat dekat saja, tapi juga siapa saja dilihat secara tekstual dalam juluk dan
yang untuk menghormati dan
menghargai seseorang karena faktor adok, dapat pula dilihat secara konteks
usia, hubungan perkawinan dan status dalam bentuk penghargaannya kepada
dalam adat. Oleh karena itu, berbeda tamu. Selain itu, konsep ini juga
dengan juluk, yang biasanya diberi oleh menekankan pada sikap yang dermawan
orang yang lebih tua, tutokh ini dan murah hati. Sudah menjadi
digunakan oleh orang yang lebih muda. kebiasaan bagi ulun lampung untuk
Penggunaan tutokh dalam
saling mengunjungi dan memberi
berkomunikasi bagi ulun Lampung akan
membangun suasana yang lebih akrab hadiah, membantu kerabat yang sedang
alih-alih menggunakan nama asli yang kesusahan bahkan hal yang umum
cenderung lebih resmi. terjadi jika ada seseorang dalam sebuah
b. Nemuy nyimah kekerabatan atau kebuayan yang sudah
Seseorang yang telah memiliki adok sukses menampung keluarga besarnya
dianggap bermartabat dan mampu yang masih kesusahan untuk sekedar
menjunjung piil dengan baik jika dia berbagi kebahagiaan.
dapat memperlakukan tamu dengan baik
atau mempunyai peradaban yang baik Konsep ini kemudian
ketika bertamu (nemuy) dan mempunyai diejawantahkan dalam pengelolaan
warisan. Harta keluarga sepenuhnya kerabat dan sahabat jauh sebelum acara
diturunkan orang tua kepada anak dimulai. Setiap yang datang ingin
tertuanya. Bukan mutlak dikuasai untuk menunjukkan eksistensinya dan
kepentingannya semata, namun praktek menunjukkan bahwa dia mampu
itu adalah wujud peran dan tanggung membaur dengan baik dalam momen
jawab seorang kakak tertua yang ramik-ragom.
menjadi penopang bagi keluarga Konsep nemuy nyimah dan nengah
besarnya. Adalah sebuah aib dan nyappur ini yang membuat proses
kegagalan menjaga piil jika seorang kolonisasi pada era Hindia Belanda dan
penyimbang dalam keluarga besar tidak trasnmigrasi pada era kemerdekaan,
mampu mengangkat seluruh keluarga di tidak menghadapi banyak tantangan dan
dalam nuwa-nya untuk meraih resistensi dari ulun Lampung. Semua
keberhasilan. Semua harus maju berlangsung mulus dan para transmigran
bersama, tidak ada pembedaan. Oleh yang sebagian besar datang dari Jawa
karenaitu, warisan keluarga diserahkan dan Bali diterima dengan baik menjadi
kepada anak tertua agar dikelola untuk warga Lampung dan memperkaya
kebaikan seluruh keluarga. keragaman yang ada.
kontribusinya sesuai dengan fungsi yang pesenggiri sebagai falsafah hidup, menjadi
dimilikinya. tercela dalam masyarakat akan
menumbuhkan rasa malu, kehilangan
maratabat dan tidak percaya diri untuk
B. Piil Pesenggiri Ketika Menjadi hidup nengah-nyappur. Lebih baik dia
Pedoman Utama Ulun Lampung pergi dari kampung, daripada menanggung
Institusi lokal memiliki fungsi sebagai malu karena tercela.
self governing comunity (Hudayana, 2019). Yang kedua, penulis tidak menemukan
Dalam konteks masyarakat yang masih aturan secara eksplisit bagaimana sebuah
berpegang pada adat, institusi lokal tiyuh atau buay mengelola perselisihan
berperan sebagai rujukan dalam tata kelola antar warganya. Namun setelah dicermati
birokrasi dan pola interaksi masyarakat. pasal per pasal, tampak bahwa aturan-
Semua didasarkan kepada kearifan lokal aturan yang ada di dalamnya membawa
dan dilembagakan demi kepentingan semangat bina damai dan mencegah
bersama. Dalam kehidupan masyarakat terjadinya perselisihan dalam masyarakat.
Lampung, terdapat sebuah institusi lokal dibawah penulis mengutip salah satu pasal
yang mempunyai peran penting, yaitu yang ada dalam kitab Kuntara Raja Niti
kekerabatan (Djausal, 2018). ikatan sebagai contoh :
kekerabatan yang kuat terdorong oleh
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam “Mak busesat, artinya didalam negeri
piil pesenggiri. Bejuluk-beadok akan tercela apabila tidak memiiki balai
menciptakan kedekatan emosional antara adat tempat bermusyawarah sehingga
yang memberi juluk dan adok kepada permasalahan tidak pernah
pemberinya. Nemuy nyimah dan nengah dimusyawarahkan bersama.” (Pasal 1 ayat
nyappur menjaga kedekatan tersebut dan 3)
peluang untuk membangun relasi baru. Dan
sakai sambayan mengikat kuat kekerabatan
tersebut menjadi sebuah komunitas yang Masyarakat adat pepadun adalah sebuah
saling menghargai, membutuhkan dan komunitas yang egaliter dan
tolong menolong.kekerabatan yang kuat mengutamakan musyawarah dan mufakat.
inilah yang menjadi fondasi dari eksisnya Semua permasalahan pada masa piil
piil pesenggiri selama berabad-abad. pesenggiri masih berlaku sebagai rujukan
utama, diselesaikan di sesat, yaitu rumah
Selain mendapat wadah melalui sistem adat tempat para perwatin tuha raja dan
kekerabatan yang kuat, piil pesenggiri juga masyarakat berkumpul membahas segala
diejawantahkan dalam aturan tertulis yang hal. Sesat menjadi perlambang suara
bernama Kitab Kuntara Rajai Niti. Ada masyarakat sebagai saluran aspirasi dan
beberapa hal yang menjadi perhatian forum penyelesaian masalah masyarakat
penulis mengenai isi dari Kitab Kuntara sehingga keberadaannya tidak dapat
raja Niti. Pertama, tidak adanya punishment dinafikan. Setiap desa atau kampung di
dalam bentuk denda atau hukuman fisik Lampung dituntut memiliki sesat.
bagi orang yang melakukan pelanggaran Ketiadaan sesat, akan merusak tatanan yang
terhadapnya. Semua dikembalikan kepada ada di masyarakat dan tentu berpotensi
rasa liyom atau malu. Hal ini menunjukkan merusak keharmonisan.
bahwa filosifi piil termuat kuat di dalam
penyusuan kitab tersebut. Ditekankan kata Penulis melihat bahwa pembuat kitab
tercela bagi individu atau masyarakat yang Kutara Raja Niti memahami bahwa upaya
tidak dapat melaksanakan aturan atau pre-emptive akan lebih efektif menciptakan
perintah yang ada dalam kitab tersebut. keharmonisan. Energi yang diperlukan
Bagi ulun Lampung, yang menjadikan piil tentu akan lebih besar untuk memadamkan
konflik yang terlanjur terjadi. Oleh karena
itu diciptakan dengan aturan jelas yang menikah mendapat adok sesuai posisinya
mengikat seluruh lapisan masyarakat, dari dalam masyarakat dan keluarga.
punyimbang sampai masyarakat biasa. Begitupun dalam pergaulan masyarakat,
Semua harus berkomitmen atas aturan yang semua didasarkan pada konsep nemuy
dibuat sebagai sebuah upaya bina damai. nyimah, nengah nyappur dan sakai
sambayan yang aturannya dirinci dalam
Kitab Kuntara Raja Niti dan Cepalo Dua
C. Melemahnya Institusi Piil Pesenggiri
Belas. Namun sebagai sebuah produk
dalam Masyarakat Lampung
kebudayaan yang mengalami pasang surut
Institusi lokal memiliki fungsi sebagai sejalan dengan bergeraknya peradaban,
self governing comunity (Hudayana, 2019). institusi piil pesenggiri juga mengalami
Dalam konteks masyarakat yang masih masa-masa dimana adopsi dan penafisran
berpegang pada adat, institusi lokal atasnya mengalami pelemahan.
berperan sebagai rujukan dalam tata kelola Melemahnya piil pesenggiri terlihat dari
birokrasi dan pola interaksi masyarakat. hubungan kekerabatan antar keluarga dan
Semua didasarkan kepada kearifan lokal komunitas dalam masyarakat Lampung
dan dilembagakan demi kepentingan yang merenggang; pola birokrasi dan aturan
bersama. Dalam kehidupan masyarakat dalam masyarakat, terutama desa, yang
Lampung, terdapat sebuah institusi lokal mengecilkan sistem birokrasi tradisional
yang mempunyai peran penting, yaitu dan bergesernya pemahaman masyarakat
kekerabatan (Djausal, 2018). ikatan atas piil pesenggiri itu sendiri.
kekerabatan yang kuat terdorong oleh
prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Kebijakan pemerintah merupakan salah
piil pesenggiri. Bejuluk-beadok satu variabel yang mempunyai pengaruh
menciptakan kedekatan emosional antara kuat dalam proses melemahnya piil
yang memberi juluk dan adok kepada pesenggiri. Kebijakan pertama yang
pemberinya. Nemuy nyimah dan nengah mempunyai pengaruh besar adalah
nyappur menjaga kedekatan tersebut dan kolonisasi atau pada masa kemerdekaan
peluang untuk membangun relasi baru. Dan disebut dengan transmigrasi. Kolonisasi
sakai sambayan mengikat kuat kekerabatan adalah kebijakan memindahkan sejumlah
tersebut menjadi sebuah komunitas yang penduduk, utamanya dari pulau Jawa, dari
saling menghargai, membutuhkan dan daerah yang padat penduduknya ke wilayah
tolong menolong.kekerabatan yang kuat yang masih luas dalam skala yang cukup
inilah yang menjadi fondasi dari eksisnya besar. Latar belakang kebijakan ini adalah
piil pesenggiri selama berabad-abad. kebijakan ethische politiek (politik etis)
yang diambil oleh pemerintah kolonial di
Piil pesenggiri adalah sebuah nilai yang awal abad ke-20. Politik etis muncul akibat
jika diamalkan dengan baik dalam kritikan sejumlah masyarakat Belanda dan
kehidupan masyarakat, akan menciptakan Eropa atas eksploitasi besar-besaran
sebuah harmoni. secara konsep, piil pemerintah Kolonial terhadap petani
pesenggiri juga dapat menjadi alat bantu Hindia Belanda medio kebijakan culture
untuk membina kedamaian. Hal ini terlihat stelsel (tanam paksa) pada abad ke-19.
dalam kehidupan masyarakat Lampung Kritikus menganggap, sudah seharusnya
sejak dahulu sampai dengan era pemerintah Pemerintah Hindia Belanda
kolonial. Secara struktur, terdapat mensejahterakan para petani yang
Punyimbang yang memimpin masyarakat, berkontribusi atas “membengkaknya”
dibantu oleh para perwatin tuha raja, yang rekening Kerajaan Belanda.
kesemuanya memiliki adok dan gelar sesuai
strata dalam masyarakat. Begitu juga Selain menambah akses pendidikan bagi
dengan masyarakat, yang muda atau belum pribumi, membuka kanal politik dan
menikah memiliki juluk serta yang telah aspirasi, pemerintah kolonial juga
persen, Minangkabau 3,57 persen, Batak membuat budaya ulun Lampung tidak dapat
2,13 persen, Bali 1,73 persen dan etnis mewarnai budaya para pendatang. Hal ini
lainnya 2,15 persen. (Biro Tata memunculkan rasa inferior bagi masyarakat
Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Lampung. Contoh paling konkret yaitu di
Provinsi Lampung, 2016). kantung-kantung kolonis, mereka tetap
mempraktekkan budya dan bahasa Jawa,
Sukses program kolonisasi dan
bukan budaya Lampung. Bahkan tidak
transmigrasi membawa sejumlah pengaruh
sedikit ulun Lampung sebagai tuan rumah
bagi ulun Lampung sebagai native. Tidak
ikut terpengaruh dalam penggunaan budaya
hanya pengaruh positif, namun juga
dan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-
mempunyai imbas negatif bagi peradaban
hari.
ulun Lampung. Masuknya orang-orang
jawa yang mempunyai skill bertani yang Selain kebijakan kolonisasi, politik
lebih baik Sukses program kolonisasi ini administrasi pemerintah dengan
membawa sejumlah pengaruh bagi ulun mengeluarkan kebijakan yang mengatur
Lampung sebagai native. tidak hanya birokrasi pemerintahan, terutama desa
pengaruh positif, namun juga mempunyai tradisional, melalui sejumlah peraturan
imbas negatif bagi peradaban ulun perundangan, turut melemahkan institusi
Lampung. Masuknya orang-orang jawa piil pesenggiri. Pada awal era
yang mempunyai skill bertani yang lebih kemerdekaan, pemerintahan tiyuh, anek,
baik membuat pengetahuan dan pekon dan sejumlah nomenklatur lain yang
kemampuan ulun lampung dalam bercocok berafiliasi kepada pengertian desa di
tanam, terutama dalam mengelola sawah, Lampung, diubah menjadi pemerintahan
meningkat. Terjadi peningkatan jumlah negeri. Aturan ini didasarkan pada Undang-
persawahan ketika kolonisasi mulai masuk Undang No. 22 Tahun 1948 tentang
ke Lampung. Selain itu, kolonisasi juga Penetapan Aturan Mengenai Pemerintahan
membuat perubahan yang cukup besar Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak
dalam kehidupan sosial ulun Lampung. Mengatur dan Mengurus Rumah
Masyarakat Lampung yang ratusan tahun Tangganya Sendiri. Desa dianggap sebagai
hidup dalam kondisi yang cenderung daerah otonom tingkat III yang berhak
homogen, terdiri atas etnis tunggal ulun mengatur dan mengurus rumah tangganya
Lampung, mengalami heterogenisasi sendiri dan dibimbing oleh pemerintah
dengan masuknya kolonis ke wilayah ini. untuk bekerja bersama-sama (Bab XII No.
Masyarakat pendatang yang sejak awal 31 bagian penjelasan UU No. 22 Tahun
diterima dengan tangan terbuka, lambat 1948). Semangat otonomi tersebut melatar
laun mendominasi kehidupan masyarakat belakangi aturan bahwa kepala negeri,
Lampung, baik secara kuantitas ataupun harus merepresentasikan seluruh warga
skill dalam memenuhi kebutuhan hidup. negeri, oleh karena itu warga turut andil
dalam pemilihan pemimpinnya. Tidak
Secara kuantitas, ulun Lampung menjadi
terjadi adanya kekerasan dalam proses
komunitas yang minoritas di kampung
transisi dari kekuasaan yang dipegang oleh
halamannya sendiri. Sedangkan dari segi
punyimbang kepada kepala negeri, semua
kemampuan mengolah tanah, mereka juga
berlangsung dengan mulus karena pada
kalah dari etnis jawa yang sudah berabad
dasarnya yang menjadi kepala negeri
memiliki kemampuan teknis membuat dan
adalah punyimbang.
mengolah sawah dan perkebunan. Kondisi
ini yang menurut Risma Margareta Sinaga Pemisahan ini makin tegas dengan
membuat ulun Lampung menjadi dikeluarkannya Undang-Undang No. 5
termarjinalkan dan terasing tanah Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
kelahirannya sendiri (Sinaga, 2012). Dalam Undang-undang tersebut,
Populasi pendatang yang lebih besar dinyatakan desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai yang dilakukan oleh pemerintah orde baru
kesatuan masyarakat hukum yang demi mencapai stabilitas. Penetrasi yang
mempunyai organisasi pemerintah terendah dilakukan dilakukan diharapkan
langsung dibawah Camat dan berhak mempermudah kontrol terhadap aktivitas
menyelenggarakan rumah tangganya masyarakat desa dan deteksi dini atas
sendiri dalam ikatan NKRI. Dilihat dari anasir-anasir yang berpotensi mengganggu
pengertiannya, tampak bahwa pemerintah stabilitas. Selain penyeragaman
saat itu menganggap desa, hanya sebuah administrasi, pemerintah Orde Baru yang
komunitas masyarakat bagian dari NKRI, militeristik membentuk lembaga Bintara
tanpa memiliki kekhasan budaya dan adat Pembina Desa (Babinsa) yang juga
istiadat. Birokrasinya diseragamkan, mempunyai tugas pokok dan fungsi
dengan posisi Kepala Desa, Sekretariat melakukan kontrol dalam kehidupan
Desa, Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala masyarakat desa.
Dusun, yang baku dari Daerah Istimewa Pemerintah Orde Baru, menjalankan
Aceh sampai Irian Jaya. Semua perangkat program transmigrasi, dengan dalih
desa tersebut bertanggung jawab kepada pemerataan ekonomi dan penduduk.
Camat dan kepada warga desa yang Namun perlu kita cermati, tujuan
memilihnya, hanya sebatas memberi sebenarnya yaitu menggenjot produksi
keterangan pertanggung jawaban kepada pangan, terutama padi, untuk mencapai
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang swasembada pangan. Dengan menjalankan
merupakan representasi masyarakat desa. transmigrasi, pemerintah berharap akan
Dalam Undang-Undang ini sama sekali mendapat tambahan produksi dari tanah-
tidak disinggung sama sekali tentang peran tanah yang tak bertuan di wilayah Smuatera
dan fungsi kearifan lokal dan institusi adat dan Kalimantan dengan memanfaatkan
dalam pengelolaan desa. Pengelolaan desa tenaga kerja yang cukup murah dari segi
semata-mata dilakukan dengan pendekatan biaya operasional. Namun mereka tidak
birokratis dan menjadikan masyarakat pernah memperhitungkan kerusakan
sebagai objek birokrasi dengan prinsip lingkungan, perubahan sosial dan ekonomi
melayani dan dilayani. Tidak ada lagi dalam lingkungan masyarakat yang
bentuk desa sebagai sebuah komunitas yang menjadi tujuan kolonisasi. Saat ini, banyak
dinamis, dimana setiap unsurnya bergerak tanah yang awalnya diperuntukkan sebagai
dan berkontribusi dengan semangat piil lahan transmigrasi, dikuasai oleh pemodal
pesenggiri. Secara langsung, kondisi inilah besar untuk dijadikan perkebunan sawit,
yang makin mengikis eksistensi piil karet dan tebu. Bahkan banyak warga yang
pesenggiri dalam kehidupan sehari-hari semula datang sebagai transmigran dan
masyarakat. Karena telah dipisahkan peran medapat jatah lahan untuk dikelola, menjal
dan fungsinya, maka lembaga adat, dalam tanahnya ke perusahaan perkebunan dan
hal ini Punyimbang dan Perwatin, hanya beralih menjadi buruh perkebunan (Tirto,
menjalankan fungsi adat yang tidak diatur 2019).
oleh Undang-Undang, yaitu urusan
penyelenggaraan prosesi perkawinan.
Perkawinan adalah fase kedua bagi D. Kekerasan struktural dalam
masyarakat Lampung yang ditandai dengan Masyarakat Lampung
prosesi lamaran, intar, begawi cakak Penetrasi secara administrasi birokrasi
pepadun, ngakuk adok dan lain-lain dimana dan komersialisasi lahan pertanian makin
kesemuanya itu masih merupakan membuat eksistensi ulun Lampung makin
wewenang lembaga adat. terpinggirkan. Dengan populasi minoritas,
Penerbitan aturan perundangan ini mereka makin tidak percaya diri untuk
merupakan bagian dari politik administrasi menunjukkan identitasnya sebagai ulun
Lampung. Dari sudut pandang bina damai,
pelemahan piil pesenggiri pada era ini, ber-piil pesenggiri, penulis melihat bahwa
walaupun terjadi dengan progresif, tidak kekerasan struktural terjadi sejak
mempunyai relasi secara langsung terhadap berkuasanya pemerintah Hindia Belanda
kekerasan. Pemerintah, terutama era orde pada tahun 1800. Besarnya ketimpangan
baru, menjalankan kekuasaan secara relasi kuasa antara penguasa dan
otoriter dan militeristik. Setiap potensi masyarakat, membuat pemerintah kolonial
kekerasan, konflik dan gesekan yang akan dapat berbuat sesuka hati mereka.
muncul dalam masyarakat, akan digebuk Perlawanan di sejumlah daerah juga
sebelum berkembang menjadi lebih masif. membuat tekanan kepada masyarakat juga
Masyarakat cenderung menghindari makin besar. Masyarakat sulit mengakses
kekerasan dalam menyelesaikan masalah kebutuhan pokok, jika ada, harganya juga
karena tidak ingin berurusan dengan sulit dijangkau. Menurut salah seorang
negara. Pada era tersebut, masyarakat narasumber yang bernama Drs.
malah menjadi objek dari kekerasan Suryansyah, ketika zaman Belanda, beras
struktural. adalah sesuatu yang mahal. Masyarakat
Menurut Galtung, setiap individu lebih sering memakan nasi jagung atau
mempunyai hak untuk merealisasikan diri jantung pisang sebagai pengganti nasi.
(self-realization) dan hak untuk Melihat orang kelaparan adalah hal yang
mengembangkan diri (personal growth) biasa. Sulitnya akses terhadap kebutuhan
(Galtung dalam Windu, 1991). Jika kedua pokok menurut penulis memang disengaja
jenis hak tersebut dihalang-halangi, atau oleh pemerintah kolonial, dengan tujuan
menurut Galtung individu tersebut tidak melemahkan mental dan fisik warga
dapat merealisasikan potensinya, disitulah pribumi agar tunduk dan tidak melakukan
kekerasan terjadi. Dilihat dari konsep ini, perlawanan.
Majunya peradaban manusia bak dua sisi Pada era kemerdekaan, terutama masa
mata uang, dapat berpengaruh positif orde baru, kekerasan struktural ala
terhadap meningkatnya perdamaian tapi pemerintah kolonial juga muncul dalam
juga berpotensi meningkatkan kekerasan bentuk baru. Berbeda dengan pemerintah
dalam masyarakat. Majunya teknologi kolonial yang melakukan kekerasan
pertanian membuat produksi melimpah dan struktural untuk mengamankan
makin banyak perut yang dapat dibuat kepentingan ekonomi mereka, pemerintah
kenyang. Namun ketika sejmlah orde baru melakukan kekerasan struktutral
masyarakat tidak dapat mengakses dengan dalih stabilitas. Pada era ini juga
makanan tersebut karena harga yang tidak terjadi perpindahan kepemilikan tanah dari
terjangkau, persebaran yang tidak merata ulun Lampung ke pendatang dan
dan lain-lain, disitulah kekerasan terjadi. masyarakat luar. kebijakan kolonisasi dan
Dalam bentuk kekerasan menurut transmigrasi yang juga mencaplok
Galtung, ketidak-mampuan atau kondisi sejumlah lahan adat juga turut berkontribusi
seseorang mendapat halangan untuk dalam perindahan kepemilikan lahan.
mendapatkan kebutuhan mereka yang Kepemilikan lahan yang rendah di
muncul karena struktur sosial atau institusi, masyarakat yang menggantungkan hidup
disebut sebagai kekerasan struktural. pada sektor pertanian adalah sebuah bentuk
Kekuasaan yang tidak seimbang, kekerasan struktural, yang menurut Galtung
ketimpangan dan wewenang untuk yang mempunyai empat macam
mengambil keputusan mengenai distribusi mekanisme, yaitu eskploitasi, penetrasi,
sumber daya yang tidak merata adalah
fragmentasi dan marginalisasi. (Windu,
kondisi dimana kekerasan struktural telah 1991). Masyarakat yang tidak mempunyai
terjadi (Galtung dalam Windu, 1991). kecakapan di luar bertani termarjinalkan
Dalam konteks masyarakat Lampung yang karena kehilangan mata pencaharian.
Tingkat pengangguran yang mencapai penulis dalam relasi kekerasan dan piil
63%, akhirnya memicu kekerasan langsung pesenggiri. kekerasan yang melibatkan ulun
dalam bentuk bullying, intimidasi, Lampung cenderung dipicu motif gengsi
pencurian dan kontak fisik. atau harga diri. Harga diri sebagai native
dengan relasi kuasa yang rendah, baik
Pola birokrasi pemerintah orde baru
terhadap penguasa atau pendatang. Harga
yang jawasentris, dimana banyak
diri sebagai pribumi yang seharusnya jaya
kedudukan birokratis yang diiisi oleh
di tanah sendiri namun kenyataan berbicara
orang-orang pendatang, juga menciptakan
sebaliknya. Gengsi yang sebenarnya
rasa rendah diri dan menekan motivasi ulun
muncul dari rasa ingin terlihat gagah, lebih
Lampung untuk dapat maju dan
hebat dari orang lain, sebagai Lampung asli
berkembang.
yang merasa ingin lebih sukses dan
dihormati pendatang. Namun gengsi
E. Relasi Melemahnya Piil Pesenggiri dan tersebut dibungkus dengan kain indah
Kekerasan bernama piil, agar perilaku negatif dan
kekerasan yang dilakukan, mendapat
Paska reformasi, muncul sejumlah
legitimasi dalam masyarakat. Dengan
kekerasan dengan skala yang cukup besar
menjadikan piil pesenggiri sebagai dalih,
di Provinsi Lampung. Konflik di
secara tidak langsung ulun Lampung
Balinuraga Lampung Selatan pada tahun
akhirnya menurunkan citranya dalam
2012, merupakan salah satu dari lima
peradaban Lampung yang heterogen.
kerusuhan sosial terbesar di Indonesia.
Kejadian tersebut melibatkan etnis Kondisi ini yang kemudian disebut
Lampung dan etnis Bali dengan korban Johan Galtung sebagai kekerasan kultural.
jiwa ±100 orang, 532 rumah terbakar dan Galtung menyatakan bahwa kekerasan
kerugian mencapai hampir 25 Miliar rupiah kultural adalah semua aspek yang berkaitan
(Laporan Khusus Badan Kesbangpol dengan kebudayaan seperti agama,
Provinsi Lampung kepada Mendagri dan ideologi, bahasa, seni, ilmu empiris dan
Gubernur Lampung pada tanggal 29 ilmu formal yang dapat digunakan untuk
Oktober 2012 tentang Kerusuhan di membenarkan atau melegitimasi tindakan
Balinuraga). Selain itu, ada pula konflik kekerasan langsung atupun kekerasan
antara Etnis Lampung dan Etnis Jawa di struktural (Galtung, 1990). Banyak
Desa Bumi Nabung Kabupaten Lampung kekerasan struktural atau kekerasan
tengah pada tahun 2014 yang langsung di dunia ini, terlihat atau seolah
mengakibatkan sejumlah warga tewas dan bukan sesuatu yang salah, karena
puluhan rumah rusak (Data Peristiwa dilegitimasi oleh pelakunya dengan simbol-
Menonjol di Provinsi Lampung Tahun 2014 simbol agama, etnis, pilihan politik dan
yang disampaikan Posko Pusat lain-lain. Adalah hal yang menarik ketika
Pengendalian Krisis Provinsi Lampung sebuah nilai yang menjadi panduan
kepada Gubernur Lampung tanggal 26 masyarakat selama berabad-abad untuk
Januari 2015). Selain kedua koerusuhan hidup dalam sebuah harmoni, menjadi
sosial tersebut, masih banyak konflik sebuah legitimasi masyarakatnya untuk
dengan skala yang lebih kecil, baik yang melakukan kekerasan.
tercatat atau tidak, terselesaikan dengan Menjadikan piil pesenggiri sebagai
baik atau tidak. dalih atas kekerasan yang dilakukan,
Krisis identitas dan kekerasan struktural merupakan sebuah cara bagi ulun Lampung
yang dialami oleh masyarakat Lampung, untuk menegaskan identitasnya. Menurut
menjadi argumen utama dalam penulis, sebagai sebuah social capital dan
meningkatnya kekerasan. Selain kedua hal identity maker bagi mereka. Dengan
diatas, ada satu hal yang menjadi perhatian membawa piil pesenggiri, mereka
itu yaitu minimnya transfer pengetahuan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah
dari para tetua adat dan masyarakat yang terlihat upaya pemerintah pusat untuk
memahami konsep piil pesenggiridan mengembalikan institusi lokal dalam
sulitnya mengakses rujukan tertulis tentang struktur masyarakat desa. Oleh karena itu
aturan-aturan tertulis. perlu langkah konkret alih-alih kebijakan
simbolistik. Saran penulis, perlu diadakan
Melemahnya piil pesenggiri secara
pendidikan muatan lokal di sekolah yang
institusi, menyebabkan konsep piil itu juga
menanamkan nilai-nilai piil pesenggiri
bergeser dalam masyarakat. kekerabatan
sejak dini kepada anak-anak. Selain itu
sebagai core dari piil pesenggiri yang
perlu adanya jabatan dalam setiap level
sebelumnya menjaga ikatan persaudaraan
pemerintahan daerah di Lampung yang
ulun Lampung, telah mengendur.
secara khusus menangani dan mewadahi
Kekerabatan yang mengendur melemahkan
upaya revitalisasi piil pesenggiri. Makin
kontrol perilaku masyarakat. Penafsiran
rendah level birokrasinya, makin teknis
ulun Lampung yang menyempit atas piil
urusannya, terutama dalam pemerintahan
pesenggiri semata-mata hanya pada harga
desa yang menjadi ujung tombak upaya
diri, menjadikannya sebagai dalih atas
tersebut. Ide-ide dari akademi dan tokoh
perilaku kekerasan terhadap rang lain yang
masyarakat yang peduli atas eksistensi piil
sebenarnya disebabkan oleh kekerasan
pesenggiri juga harus diakomodasi dengan
struktural, tekanan ekonomi, rasa tidak
melibatkan masyarakat untuk memahami
percaya diri dan marjinalisasi oleh sistem.
kebutuhan mereka dalam diskursus yang
Kekerabatan yang melemah dan penafsiran
terjadi.
yang menyempit membuat piil pesenggiri
tidak lagi efektif dalam memecahkan Saran penulis yang ketiga, yaitu perlu
kekerasan. Tingginya jumlah kekerasan agar ulun Lampung diberi ruang yang lebih
bukan berarti kekerasan yang untuk beraktualisasi sesuai dengan
meningkat, tetapi disebabkan efektifitas kompetensi demi menumbuhkan sense of
piil pesenggiri yang berkurang. collectivism dan kepercayaan diri mereka.
Dengan adanya kepercayaan diri, tentu
mereka akan lebih bangga dalam
B. Saran menghidupkan kembali piil pesenggiri.
Pertama, perlu upaya untuk menguatkan
kembali hubungan kekerabatan atau
kemuakhian ditengah masyarakat DAFTAR PUSTAKA
Lampung. Kekerabatan yang dikuatkan
tidak hanya di dalam keluarga dalam satu Artikel jurnal:
keturunan, namun juga kekerabatan
didalam sebuah tiyuh, kebuaiayan,
perserikatan adat bahkan seluruh ulun Basri, Hasan. 2016. Kearifan Lokal Bisa
Lampung yang ada saat ini. kekerabatan Menyejukkan Lampung (Perspektif
yang kuat, secara langsung juga akan Komunikasi Lintas Budaya). Jurnal
melestarikan prinsip-prinsip bejuluk- Ilmu Komunikasi Volume 7 Nomer 1
beadok, nemuy nyimah, nengah nyappur Maret 2016. Universitas Riau. Pekan
dan sakai sambayan. Dalam pola interaksi Baru.
masyarakat dengan kekerabatan yang kuat,
ulun Lampung akan mengoperasionalkan
Galtung, Johan. 1990. Cultural Violence.
prinsip-prinsip diatas.
Journal of Peace Research. Vol. 27
Kedua, perlu ada kontribusi dan fasilitasi No. 3 1990. Hal. 291 – 305. Sage
dari pemerintah daerah terhadap upaya Publications.
revitalisasi piil pesenggiri. Dalam Peraturan